KESELAMATAN ALLAH HUKUM DAN RAHMAT
KESELAMATAN ALLAH: HUKUM DAN RAHMAT
Pengantar
Manusia diciptakan oleh Allah baik adanya. Selain itu manusia diciptakan dalam
keadaan kudus supaya manusia menjadi kudus seperti Allah sendiri adalah kudus. Dengan
kata lain, manusia dianugerahi oleh Allah yaitu rahmat kekudusan. Allah tidak hanya
menganugerahi rahmat kekudusan, tetapi juga keselaran dalam relasi. Keselarasan itu
menyangkut hubungan antara sesama manusia, alam, Allah dan dirinya sendiri. Keselarasan
ini merupakan cerminan dari keadilan asli dan juga tidak adanya kecenderungan kepada dosa.
Hal inilah yang memampukan manusia mengatur dirinya dan mengarahkan dirinya kepada
Allah.
Disisi lain manusia juga memiliki kebebasan. Kebebasan ini diberikan kepada
manusia oleh Allah. Allah menghendaki manusia menghayati relasi-Nya dengan manusia
bukan karena keterpaksaan, namun lahir dari kebebasan manusia sendiri. Disini manusia
dibawa pada kepatuhan bebas kepada Allah sendiri. Sebaliknya kebebasan yang
disalahgunakan membawa manusia kepada dosa. Dosa itu membawa manusia kehilangan
kekudusan, keadilan asali dan keselarasan dengan Allah, sesama, alam dan diri sendiri. Selain
itu dosa membawa manusia menjauh dari keselamatan. 1
Dalam keadaan keberdosaan manusia, muncul pertanyaan bagaimana manusia
memperoleh keselamatan, keadilan asali dan kekudusan kembali. Dalam menjawab
pentanyaan ini, ada dua hal yang menjadi bahan diskusi dalam paper ini. Apakah manusia
memperoleh keselamatan, keadilan dan kekudusan karena melakukan hukum atau karena
rahmat dari Allah? Sebelum menjawab pertanyaan itu, akan dijelaskan terlebih dahulu apa
itu dosa dan hukum, kemudian akan dijelaskan kaitannya. Dalam kerangka berpikir ini,
jawaban akan pertanyaan itu mulai dijelaskan secara bertahap. Kemudian pada akhir paper ini
akan dibahas pula relevansi praktisnya.
Dosa
Dosa dalam Kitab Suci
Dalam kitab suci, gagasan mengenai dosa terus berkembang dalam sejarahnya.
Gagasan dosa, juga dipengaruhi oleh masyarakatnya. Masyarakat dengan strong group grid
melihat dosa sebagai tindakan yang melawan aturan suci (melanggar aturan, hukum,
1
Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk dicinta, hlm. 100.
1
perintah yang berasal dari Allah).2 Semua pelanggaran terhadap aturan merusak
keseimbangan dan keselarasan. Disini setiap bentuk pelanggaran baik yang disengaja maupun
tidak, tetap mengacaukan keselarasan. Pelanggaran terhadap aturan akhirnya membawa
akibat bagi seluruh masyarakat yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam kisah Yos 7. 3 Gagasan
dosa semacam ini menjadi struktur dasar sebagian besar Perjanjian Lama. Skema yang
demikian dapat ditemukan di Pentateukh, Mazmur, Kitab-kitab sejarah, Amsal, Yesus bin
Sirakh.
Dalam Perjanjian Lama, dosa dan akibatnya memiliki kaitan erat. Selain itu kerap
kaitan itu tidak terputuskan. Kesalahan yang dilakukan seseorang akan berakibat dan kembali
kepadanya (bdk. Ams 26:26-27, 28:10. 17-18). Disini hukum sebab akibat sangat kuat
pengaruhnya. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat memiliki tanggung jawab dalam
melindungi dirinya agar tidak sampai jatuh pada pelanggaran. Disisi lain semua pelanggar
aturan perlu mendapat hukuman ataupun mengurbankan binatang. 4 Hal ini dilakukan agar
akibat dosa tidak menimpa masyarakat seluruhnya.
Dosa erat kaitannya juga dengan pelanggaran hukum berbangsa dan beragama. Hal ini
dapat dipahami, karena hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/ berbangsa dan
beragama merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, pelanggaran hukum di dalam
kehidupan bermasyarakat dikaitkan dengan pelanggaran
terhadap Allah. 5 Dosa sebagai
pelanggaran hukum, kemudian dapat diartikan pula sebagai tindakan melawan kebenaran
(tsedeqah). Kebenaran yang dimaksudkan disini tidak hanya apa yang benar menurut
pandangan manusia, melainkan kebenaran Allah sendiri.6 Disini kebenaran merujuk pada
suatu tindakan yang sesuai dengan relasi yang telah ditetapkan. Kebenaran itu merujuk pada
terlaksananya perjanjian yang dijalin kedua belah pihak. Sebaliknya dosa merujuk pada
tindakan melanggar “perjanjian” itu sendiri (bdk Ul 12-16).7
Dari pemahaman di atas, hukum dapat dilihat menjadi saluran kasih di pihak manusia
kepada Allah sendiri. Dengan kata lain kepatuhan terhadap hukum tersebut, merupakan
tanggapan manusia atas kasih Allah yang telah mengasihi manusia. Sebaliknya pelanggaran
terhadap
hukum,
sebenarnya
merupakan
pemberontakan
terhadap
kasih
Allah.
Pemberontakan manusia terhadap kasih Allah dapat dikatakan sebagai tindakan membenci
Allah sendiri. Pemberontakan itu bukan hanya menyangkut tindakan fisik, namun
2
Bdk. Dr. C. Groenen OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 92.
Ibid., hlm. 93.
4
Ibid., hlm. 94.
5
Ibid., hlm.96.
6
Ibid., hlm. 99.
7
Ibid., hlm. 96.
3
2
menyangkut hati manusia sendiri.8 Dalam hati manusia, dosa itu berakar (bdk. 1 Sam 16:7;
Yer 17:1). Disanalah, keangkuhan manusia (Kej 3:5. 22) dan kebanggaan diri manusia
terhadap dirinya (Hos 14:2-9) berada. Selain itu dalam hati, manusia juga tidak mampu
berterimakasih kepada Allah dan karunianya (Yes 1:3).
Gagasan dosa terus berkembang. Hal itu juga dapat dilihat dari Perjanjian Baru,
dimana masyarakat ada dalam weak group grid. Gagasan dosa tidak terlalu dilihat sebagai
pelanggaran terhadap hukum atau aturan yang ada dalam masyarakat.9 Dosa lebih dikaitkan
dengan disposisi batin seseorang. Disini dosa lebih dikaitkan dengan niat seseorang. Gagasan
dosa ini berbeda dengan Perjanjian Lama yang lebih melihat dosa sebagai pelanggaran
hukum. Disisi lain ada kemiripan gagasan dosa pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
yaitu mengenai aspek “perjanjian”.10 Dosa dilihat sebagai pelanggaran terhadap “perjanjian”
yang telah disepakati.
Perubahan gagasan mengenai dosa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
terletak pada tanggung jawab manusia akan dosa. Dalam Perjanjian Lama, dosa yang
dilakukan seseorang harus ditanggung oleh seluruh orang. Disini, dimensi sosial akan dosa
sangat ditekankan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, tanggung jawab dosa lebih bersifat
personal.11 Namun disalah satu sisi dimensi sosial akan dosa juga tetap ada.
Dimensi sosial dosa dalam Perjanjian Baru tampak dari keberdosaan manusia. Disini
manusia tidak hanya melakukan dosa, tetapi menyandang keadaan atas dosa yang diperbuat.
Keadaan manusia menyandang dosa disebut kedosaan. Kedosaan ini bukan hanya karena
tindakan personal manusia, tetapi juga akibat dosa “manusia pertama” (bdk. Rm 5:12. 17).
Pandangan Paulus ini menyatakan bahwa seluruh manusia berdosa dan tidak ada yang benar
(bdk. Rm 3:10).
Dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat dilihat pemahaman tentang dosa terus
berkembang. Pada Perjanjian Lama, dosa yang dikaitkan erat dengan pelanggaran hukum.
Pelanggaran itu mendatangkan kemalangan/ hukuman bagi seluruh umat manusia. Sedangkan
dalam Perjanjian Baru, dosa lebih dilihat dari aspek personal. Ketika manusia berdosa,
manusia menyandang keberdosaan. Keberdosaan ini bukan hanya karena akibat dari
tindakannya sendiri, tetapi karena keberdosaan itu ia terima dari manusia pertama. Dengan
demikian tampak bahwa dosa menyangkut aspek personal dan juga aspek sosial.
8
Ibid., hlm. 100.
Ibid., hlm.90-91.
10
Ibid., hlm. 96.
11
Ibid., hlm.104.
9
3
Dosa dalam Katekismus
Gagasan dosa sebagai sebagai aspek personal juga dijelaskan pada katekismus. Dalam
katekismus, dosa dilihat sebagai penyalahgunaan kebebasan personal. Kebebasan yang
diberikan Allah ternyata tidak dapat digunakan oleh manusia secara baik. Sebaliknya manusia
justru tidak mematuhi perintah Allah. Hal ini nyata dalam diri manusia pertama. Disini
manusia berpaling dari Allah dan mementingkan kepentingan sendiri. Ia mengabaikan Allah
dan ingin menentukan mana yang baik dan yang jahat. Ia juga kemudian ingin menentukan
norma-norma kesusilaan dan otonom tanpa campur tangan Allah. Ia berusaha untuk
melepaskan diri dari Allah. Dalam keterlepasan itu manusia kehilangan rahmat kekudusan,
keadilan asali dan keselarasan. Dengan hilangnya kekudusan, manusia mengarahkan dirinya
pada kecenderungan untuk berbuat dosa. Hilangnya kekudusan manusia dapat disebut juga
sebagai rusaknya kodrat manusia.12
Ketika manusia kehilangan kekudusannya, hubungan antara Allah, sesama, alam dan
diri sendiri akhirnya juga terganggu. Manusia akhirnya menjadi takut dengan Allah,
bermusuhan dengan Allah, tidak setia dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Allah.
Dalam hubungannya dengan sesama, kesatuan manusia mengalami ketegangan. Manusia
kemudian ingin berkuasa dan cenderung mengalihkan kesalahan kepada orang lain.
Sedangkan dalam hubungan dengan alam, manusia melihat alam sebagai sesuatu yang asing
dan bermusuhan dengan manusia. Dalam kaitannya dengan diri sendiri manusia ditaklukan
kepada kelemahan yaitu pada kebodohan, kesengsaraan dan kekuasaan kematian.13
Penjelasan dari katekismus mendefinisikan dosa dalam gagasan Perjanjian Baru yang
menekankan aspek personal. Dosa dilihat sebagai penyalahgunaan kebebasan. Namun dosa
menyangkut aspek sosial, dimana manusia akhirnya kehilangan rahmat kekudusan. Hal ini
semakin menggambarkan dosa secara holistik. Dosa bukan hanya menyangkut seseorang
saja, namun menyangkut seluruh umat manusia. Pemahaman dosa semacam ini dapat
dipahami, karena manusia makhluk relasional.
Hukum
Hukum dalam Kitab Suci
Dalam penjelasan sebelumnya, dosa erat dikaitkan dengan pelanggaran hukum.
Darisitu pemahaman mengenai hukum diperlukan. Dalam Perjanjian Lama, Taurat
merupakan hukum yang digunakan oleh bangsa Israel. Di dalam Taurat terdapat aturan,
12
13
Rm. Handoko, Op.Cit., hlm. 100-101.
Ibid., hlm.101.
4
ketetapan, kesaksian dan juga adat istiadat. Namun bila dilihat secara detail, taurat lebih erat
pada pengajaran. Dengan kata lain, hukum bangsa Israel pada dasarnya merupakan
pengajaran akan apa yang baik dan benar. Dalam Taurat hal yang diutamakan bukanlah
hukum itu sendiri, namun perjanjian antara Allah dengan manusia. Disini taurat pertamatama tidak dilihat sebagai kontrak resmi atau legalistis. Hal yang utama adalah perjanjian
kasih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum disini dilihat saluran kasih dari pihak
manusia kepada Allah. Disisi lain hukum merupakan pengamalan akan kasih Allah (bdk. Ul
4:34-38). 14
Perjanjian Baru mengaitkan hukum pada ajaran Yesus ketika di atas bukit. Hukum
disini tidak merujuk atas tindakan eksternal tetapi lebih pada tindakan internal. Penekanan
hukum Perjanjian Baru lebih pada disposisi batin manusia. Hal ini merupakan nubuat dari
Yeremia mengenai hukum yang tertulis dalam hati (Yer 31-31-33). Dalam pandangan Paulus,
hukum telah terpenuhi dalam diri Yesus dan barangsiapa percaya kepada-Nya akan
dibenarkan. Ia berpendapat bahwa seluruh hukum taurat dipersiapkan untuk kedatangan
Yesus. 15
Hukum dalam Katekismus
Pandangan mengenai hukum secara lebih rinci dijelaskan di dalam katekismus
daripada dalam Kitab Suci. Katekismus menyebutkan beberapa hukum moral yang ada.
Hukum moral itu terdiri dari hukum abadi, hukum kodrati, hukum yang diwahyukan dan
hukum negara (serta hukum gereja). Hukum moral yang ada merupakan pedagogi dari Allah.
Hukum itu ditentukan agar manusia memperoleh kebahagiaan yang dijanjikan Allah. Disisi
lain hukum itu mengarahkan manusia untuk tidak melakukan kejahatan. Hukum moral tidak
hanya berisi larangan untuk tidak melakukan kejahatan, namun juga membawa manusia pada
sebuah ikatan. Disini Allah dan manusia diikat dalam sebuah perjanjian.16
Hukum moral bersumber pertama-tama dari hukum abadi yang berasal dari Allah
sendiri. Hukum abadi itu kemudian meresapi seluruh kebenaran yang terdapat dalam hukum
kodrati, hukum yang diwahyukan dan juga hukum negara (juga hukum gereja). Hukum moral
yang meliputi hukum kodrati dan hukum yang diwahyukan dijelaskan secara lebih rinci
dalam katekismus. Hukum kodrati mengantar manusia untuk mampu membedakan mana
yang baik dan buruk; mana yang benar dan yang bohong. Pembedaan yang baik dan buruk
(benar dan bohong) dimungkinkan, karena manusia dianugerahi akal budi. Selain akal budi,
14
Bdk. Edmund Hill, Being Human, London: Geoffrey Chapman, 1984, hlm. 238.
Ibid., hlm. 232.
16
Bdk. KGK. 1952.
15
5
hukum kodrati itu juga terdapat dalam di hati manusia. Hukum kodrati yang ada dalam diri
manusia ini, pada dasarnya mengarahkan manusia pada prinsip-prinsip universal.17
Selain hukum kodrati, hukum moral lainnya terwujud dalam hukum yang
diwahyukan. Hukum yang diwahyukan meliputi hukum lama dan hukum baru. Hukum lama
itu terangkum pada dekalog. Hukum ini merupakan hukum yang menunjukkan kepada
manusia apa yang harus diperbuatnya. Namun hukum ini tidak memberikan daya kepada
manusia untuk melakukannya. Selain itu, hukum lama ini tidak dapat menghapuskan dosa.
Hukum ini hanya menyingkapkan keberdosaan manusia saja.
Hukum lain yang diwahyukan adalah hukum baru. Hukum itu nyata dalam injil dan
diterima manusia ketika ia beriman kepada Yesus Kristus sendiri. Hukum ini berbeda dengan
hukum lama. Dalam katekismus dijelaskan:
Hukum baru dinamakan hukum kasih, sebab hukum itu membuat kita bertindak
lebih karena kasih yang Roh Kudus curahkan, daripada karena takut. Ia juga
dinamakan hukum rahmat, karena ia memberi rahmat, supaya dapat bertindak
berkat kekuatan iman dan Sakramen-sakramen. Ia juga disebut hukum
kebebasan
Bdk. Yak 1:25; 2:12.
, karena ia membebaskan kita dari peraturan-peraturan
ritual dan legal dari hukum lama, membuat kita rela bertindak dengan dorongan
kasih secara spontan dan mengangkat kita dari status hamba.18
Setelah melihat pemahaman dari Kitab Suci dan Katekismus, esensi hukum adalah
relasi personal antara Allah dan manusia. Relasi itu dalam Kitab Suci disebut dengan
“perjanjian”. Perjanjian yang diadakan Allah dengan manusia, menunjukkan betapa Allah
mencintai manusia. Namun disisi lain manusia juga mau menanggapi cinta Allah itu dalam
sebuah “perjanjian”. Cinta itu itu dibakukan dalam hukum agar cinta itu tetap mengarah pada
Allah sendiri.
Rahmat
Rahmat dalam Kitab Suci
Kata “rahmat” sering merujuk pada keadaan manusia yang selamat. Dalam
Perjanjian Lama keadaan manusia yang selamat disebut sebagai keadaan damai sejahtera
(syalom). Syalom mencakup kebahagiaan manusia seluruhnya baik rohani maupun jasmani
(Kel 18:23).
Dalam arti yang lebih luas, syalom merupakan tindakan Allah yang
membebaskan manusia dari segala bahaya. Misalnya, pembebasan dari penindasan
17
18
Bdk. KGK. 1954- 1960.
Bdk. KGK. 1972.
6
(Kel14:30). Disisi lain dalam Deutero –Yesaya, syalom tidak hanya pengharapan akan
pembebasan
dari
penindasan,
tetapi
juga
pengharapan
akan
kedatangan
dan
pemerintahanYHWH (Yes 52:7).
Dalam Perjanjian Baru kata “rahmat” sering dipakai oleh Paulus. Kata ini merujuk
pada keutuhan pribadi manusia di dalam Allah dan untuk persekutuan dengan Bapa, Putra
dan Roh Kudus. Selain itu kata tersebut mengacu pada “kerajaan Allah, perjanjian yang baru,
hidup kekal, pengenalan dan kasih Allah, pembenaran, penyembuhan, pengampunan dosa,
pelunasan dosa, damai, ciptaan baru, kelahiran kembali, pengangkatan menjadi anak-anak
Allah..”.19
Rahmat dalam Katekismus
Rahmat adalah kemurahan hati, pertolongan sukarela yang Allah berikan kepada
manusia, agar manusia dapat menjawab panggilan-Nya. Sebab panggilannya ialah menjadi
anak-anak Allah. Dengan menjadi anak-anak Allah, manusia diikutsertakan dalam kehidupan
Allah. Dengan kata
lain rahmat itu mengantar manusia masuk ke dalam kehidupan
Tritunggal yang paling dalam.
Rahmat Allah berarti bahwa Allah memberi kehidupan-Nya secara cuma-cuma
kepada manusia. Ia mencurahkannya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, untuk
menyembuhkannya dari dosa, membenarkan dan menguduskannya. Itulah rahmat
pengudusan atau rahmat pengilahian. Rahmat pengudusan adalah satu anugerah yang tetap,
satu kecondongan adikodrati yang tetap. Rahmat itu menyempurnakan jiwa, supaya
memungkinkannya hidup bersama dengan Allah dan bertindak karena kasih-Nya. Selain itu
rahmat memampukan manusia berkarya demi keselamatan orang lain dan pertumbuhan
Tubuh Kristus.20
Keselamatan
Keselamatan dalam Perjanjian Baru erat kaitannya dengan penebusan, penebusan
dosa, pembenaran dan pembebasan. Penebusan merupakan usaha “membeli kembali”
properti dari pihak keluarga terdekat yang telah menjadi milik orang lain. Namun penebusan
juga berkaitan juga pembelian atau pembebasan seorang budak. Gambaran penebusan ini
nyata dalam usaha Allah melepaskan Israel dari belenggu perbudakan (Kel 6:6-7).
19
20
Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 136-140.
Bdk. KGK. 1996-2005.
7
Gagasan keselamatan, juga dikaitkan pula dengan penebusan dosa. Hal ini nyata
dalam perkataan Paulus, “karena semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam
Kristus Yesus” (Rm 3:23-24). Gagasan penebusan dosa semacam ini lahir dari pesta Yahudi
yaitu hari penebusan dosa. Disini orang Yahudi mempersembahkan korban untuk memohon
ampun kepada Allah atas dosanya.
Keselamatan juga dikaitkan erat dengan pembenaran. Kata “pembenaran”
merupakan kata yang berasal dari bahasa hukum. Kebenaran adalah atribut yang dikenakan
oleh Allah. Dengan demikian pembenaran tidak lain adalah anugerah dari Allah kepada
manusia. Manusia yang bersalah dilepaskan dari kesalahan dan dianugerahkan belas kasih
dari Allah sendiri. Keselamatan akhirnya dikaitkan dengan pembebasan. Disini manusia
dilepaskan dari semua belenggu dari dosa, kematian, hukum, ketakutan, keputusasaan,
kehidupan yang egois, materialisme, harga diri dan kekuasaan. 21
Keselamatan manusia diperoleh manusia atas rahmat yang diperoleh dari hukum baru.
Hukum itu digenapi dalam diri Yesus dan hukum itulah yang memberikan rahmat Roh
Kudus. Dengan rahmat itulah manusia dapat melakukan “perjanjian” antara Allah dan
manusia. Dengan rahmat dari Roh Kudus, manusia memperoleh kekudusannya kembali. Ia
juga diarahkan pada keadilan asali. Selain itu manusia dibawa kepada keselarasan kembali
dalam relasinya dengan Allah, sesama, alam dan dirinya sendiri. Semua hal ini terwujud
bukan atas usaha manusia sendiri, melainkan anugerah dari Allah sendiri.
Kedosaan dan keselamatan
Setelah penjelasan mengenai dosa, hukum, rahmat dan keselamatan, pembahasan
selanjutnya adalah berkenaan dengan kaitan satu sama lain. Gagasan (seperti pada penjelasan
sebelumnya) dosa merujuk pada pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dimaksud
tidak hanya berkenaan dengan pelanggaran terhadap aturan yang ada. Lebih jauh dari itu,
pelanggaran itu merupakan sebuah pemutusan relasi antar manusia dan akhirnya juga
pemutusan relasi dengan Allah sendiri. Dengan melanggar hukum, manusia menolak
“perjanjian” dengan Allah yang penuh cinta. Pelanggaran terhadap hukum menunjukkan
penyalahgunaan manusia terhadap kebebasan yang ia peroleh.
Dosa membuat manusia akhirnya menjauh dari tawaran cinta Allah kepada manusia.
Kenyataan itu membuat manusia menjauh dari rahmat Allah sendiri. Manusia yang berdosa
itu menjauh dari Allah, sang kehidupan. Rasul Paulus menyatakan secara jelas hal ini dengan
21
Bdk. Denis Edwards, What are they saying about salvation?, New York, Paulist Press, 1986, hlm. 7-11.
8
mengatakan “upah dosa adalah maut” (Rm 6:23). Selain itu manusia akhirnya menjadi
hamba/ upahan dari dosa itu sendiri. Dosa itu membawa manusia menanggung kedosaan.
Kedosaan itu membuat manusia tidak lagi mampu menjadi tuan atas dirinya. Ia tidak lagi
memiliki kebebasan atas dirinya (Yoh 8:34).
Perbudakan manusia terhadap dosa membuat manusia tidak mampu lagi membuat
manusia melakukan hukum yang ada (Taurat). Manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa,
tidak dapat melepaskan dirinya sendiri. Ia tidak dapat melepaskan belenggu itu dengan
melakukan hukum. Dalam perbudakan ini, manusia membutuhkan rahmat dari Allah yang
menyelamatkan. Penyelamatan itu bukanlah dalam arti fisik seperti pembebasan Israel dari
Mesir (Kel 12). Pembebasan itu merupakan pembebasan rohani yang dikerjakan Yesus
Kristus. Dengan pengorbanan di salib, Yesus berusaha menyelamatkan manusia. Yesus
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa (Mat 1:21). Manusia akhirnya dilepaskan dari
perbudakan dosa dan diberi kebebasan. Kebebasan yang diberikan kepada manusia bukan
hanya kebebasan sebagai budak, tetapi kebebasan sebagai anak Allah.
Rahmat Allah memberikan keselamatan kepada manusia. Dengan demikian manusia
dilepaskan dari dosa. Manusia kemudian mendapat pembenaran dari Allah. Selain itu
manusia kembali mendapat rahmat kekudusan dan dimasukkan kembali dalam relasinya
dengan Allah. Keselamatan yang diperoleh manusia, akhirnya memperbaharui kembali
“perjanjian” yang telah diputus oleh dosa.
Dengan keselamatan ini, manusia tidak hanya dijadikan kudus tetapi juga memiliki
kebebasan. Rahmat pengudus mengantar manusia untuk senantiasa mengarahkan diri kepada
Allah. Rahmat pengudus itu tidak lain berasal dari Roh Kudus yang diberikan oleh Allah
ketika Allah memberikan keselamatan. Roh Kudus menjadi daya dalam diri orang dan
menjadi pendorong menuju Allah. Hal ini bertolak belakang dengan keberdosaan yang
mengarahkan manusia kepada dosa.
Selain rahmat kekudusan, manusia juga memperoleh kebebasan yang memampukan ia
melakukan hukum yang baru (hukum cinta kasih). Hukum ini berbeda dengan hukum lama
(Taurat) yang mengajar manusia untuk membedakan apa yang baik dan buruk. Hukum baru
ini adalah hukum kasih (Mat 22: 34-40). Hukum ini tidak lagi berisi aturan-aturan, melainkan
perintah untuk mengasihi. Hukum baru ini menekankan kembali relasi antara Allah dan
manusia. Disisi lain hukum ini juga menekankan relasi manusia dengan sesama. Semua relasi
itu tidak didasari akan rasa takut atas hukuman yang diterima bila tidak melakukan hukum
itu. Namun relasi itu didasari oleh kasih. Disini esensi hukum yang asali dikembalikan lagi
9
makna sesungguhnya. Namun hal yang lebih penting adalah manusia dimampukan untuk
melakukan hukum itu karena Roh Kudus sendiri.
Dari seluruh penjelasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah manusia
memperoleh keselamatan bila manusia memperoleh rahmat dari Allah. Dengan rahmat itu
manusia dilepaskan dari belenggu dosa. Disini manusia memperoleh kekudusan asali
sehingga relasi dengan Allah dipulihkan. Selain itu rahmat kekudusan manusia juga
dimampukan juga melakukan hukum baru. Hal ini dimampukan karena keselarasan antara
Allah, sesama dan alam telah dipulihkan. Sehingga dengan keselarasan asali itu, manusia
dapat menggunakan kebebasannya kepada tujuan asali hidupnya.
Relevansi
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering jatuh dalam kesalahan dan dosa. Dosa
itu terus berulang dan semakin menjauhkan umat Allah pada relasi mesra dengan Allah.
Keengganan umat Allah untuk berdoa, membaca kitab suci, pergi ke gereja, mengaku dosa
dan hal-hal lainnya, merupakan hal sederhana dimana umat Allah mulai menjauh dari Allah.
Selain itu, relasi yang mulai menjauh dari Allah ditunjukkan dengan dosa-dosa yang terus
diulang, sehingga hati nurani pun menjadi tumpul. Kenyataan inilah yang menujukkan
manusia yang dikuasai dosa.
Belenggu dosa yang dialami manusia, hanya dapat dilepas atas kuasa Allah sendiri.
Rahmat itu dapat diterima lewat pengakuan dosa. Rahmat itu mengembalikan hubungan
manusia dengan Allah. Oleh sebab itu, penerimaan sakramen pengakuan dosa tidak hanya
dilihat sebagai ritus penerimaan pengampunan, tetapi juga pelepasan terhadap belenggu dosa.
Hal yang perlu disadari dan ditumbuhkan dalam umat beriman adalah sejauh mana rahmat itu
dirasakan. Umat Allah diminta mengalami sendiri, bagaimana Allah juga mulai melepaskan
dirinya dari belenggu dosa. Selain itu umat Allah mulai diajak menyadari rahmat dari Allah
yang menuntun kita untuk mencintai Allah dan sesama dalam perjalanan hidup sehari-hari.
Penutup
Dalam keadaan yang berdosa, manusia menjauh dari Allah dan keselamatan-Nya. Manusia
memperoleh keselamatan dari rahmat yang diberikan Allah melalui iman akan Yesus. Dalam
iman akan ialah manusia memperoleh rahmat Roh Kudus yang memampukan manusia
menjadi anak-anak Allah kembali dan hidup menurut “perjanjian” yang ada.
10
Daftar pustaka
Dister, Nico Syukur OFM. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Edwards, Denis. What are they saying about salvation?. New York. Paulist Press. 1986.
Groenen, C. OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius. 1989.
Handoko, Petrus Maria. Dicipta untuk dicinta.
Hill, Edmund. Being Human. London: Geoffrey Chapman. 1984.
Katekismus Gereja Katolik
11
Pengantar
Manusia diciptakan oleh Allah baik adanya. Selain itu manusia diciptakan dalam
keadaan kudus supaya manusia menjadi kudus seperti Allah sendiri adalah kudus. Dengan
kata lain, manusia dianugerahi oleh Allah yaitu rahmat kekudusan. Allah tidak hanya
menganugerahi rahmat kekudusan, tetapi juga keselaran dalam relasi. Keselarasan itu
menyangkut hubungan antara sesama manusia, alam, Allah dan dirinya sendiri. Keselarasan
ini merupakan cerminan dari keadilan asli dan juga tidak adanya kecenderungan kepada dosa.
Hal inilah yang memampukan manusia mengatur dirinya dan mengarahkan dirinya kepada
Allah.
Disisi lain manusia juga memiliki kebebasan. Kebebasan ini diberikan kepada
manusia oleh Allah. Allah menghendaki manusia menghayati relasi-Nya dengan manusia
bukan karena keterpaksaan, namun lahir dari kebebasan manusia sendiri. Disini manusia
dibawa pada kepatuhan bebas kepada Allah sendiri. Sebaliknya kebebasan yang
disalahgunakan membawa manusia kepada dosa. Dosa itu membawa manusia kehilangan
kekudusan, keadilan asali dan keselarasan dengan Allah, sesama, alam dan diri sendiri. Selain
itu dosa membawa manusia menjauh dari keselamatan. 1
Dalam keadaan keberdosaan manusia, muncul pertanyaan bagaimana manusia
memperoleh keselamatan, keadilan asali dan kekudusan kembali. Dalam menjawab
pentanyaan ini, ada dua hal yang menjadi bahan diskusi dalam paper ini. Apakah manusia
memperoleh keselamatan, keadilan dan kekudusan karena melakukan hukum atau karena
rahmat dari Allah? Sebelum menjawab pertanyaan itu, akan dijelaskan terlebih dahulu apa
itu dosa dan hukum, kemudian akan dijelaskan kaitannya. Dalam kerangka berpikir ini,
jawaban akan pertanyaan itu mulai dijelaskan secara bertahap. Kemudian pada akhir paper ini
akan dibahas pula relevansi praktisnya.
Dosa
Dosa dalam Kitab Suci
Dalam kitab suci, gagasan mengenai dosa terus berkembang dalam sejarahnya.
Gagasan dosa, juga dipengaruhi oleh masyarakatnya. Masyarakat dengan strong group grid
melihat dosa sebagai tindakan yang melawan aturan suci (melanggar aturan, hukum,
1
Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk dicinta, hlm. 100.
1
perintah yang berasal dari Allah).2 Semua pelanggaran terhadap aturan merusak
keseimbangan dan keselarasan. Disini setiap bentuk pelanggaran baik yang disengaja maupun
tidak, tetap mengacaukan keselarasan. Pelanggaran terhadap aturan akhirnya membawa
akibat bagi seluruh masyarakat yang ada. Hal ini dapat dilihat dalam kisah Yos 7. 3 Gagasan
dosa semacam ini menjadi struktur dasar sebagian besar Perjanjian Lama. Skema yang
demikian dapat ditemukan di Pentateukh, Mazmur, Kitab-kitab sejarah, Amsal, Yesus bin
Sirakh.
Dalam Perjanjian Lama, dosa dan akibatnya memiliki kaitan erat. Selain itu kerap
kaitan itu tidak terputuskan. Kesalahan yang dilakukan seseorang akan berakibat dan kembali
kepadanya (bdk. Ams 26:26-27, 28:10. 17-18). Disini hukum sebab akibat sangat kuat
pengaruhnya. Oleh sebab itu, seluruh masyarakat memiliki tanggung jawab dalam
melindungi dirinya agar tidak sampai jatuh pada pelanggaran. Disisi lain semua pelanggar
aturan perlu mendapat hukuman ataupun mengurbankan binatang. 4 Hal ini dilakukan agar
akibat dosa tidak menimpa masyarakat seluruhnya.
Dosa erat kaitannya juga dengan pelanggaran hukum berbangsa dan beragama. Hal ini
dapat dipahami, karena hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/ berbangsa dan
beragama merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, pelanggaran hukum di dalam
kehidupan bermasyarakat dikaitkan dengan pelanggaran
terhadap Allah. 5 Dosa sebagai
pelanggaran hukum, kemudian dapat diartikan pula sebagai tindakan melawan kebenaran
(tsedeqah). Kebenaran yang dimaksudkan disini tidak hanya apa yang benar menurut
pandangan manusia, melainkan kebenaran Allah sendiri.6 Disini kebenaran merujuk pada
suatu tindakan yang sesuai dengan relasi yang telah ditetapkan. Kebenaran itu merujuk pada
terlaksananya perjanjian yang dijalin kedua belah pihak. Sebaliknya dosa merujuk pada
tindakan melanggar “perjanjian” itu sendiri (bdk Ul 12-16).7
Dari pemahaman di atas, hukum dapat dilihat menjadi saluran kasih di pihak manusia
kepada Allah sendiri. Dengan kata lain kepatuhan terhadap hukum tersebut, merupakan
tanggapan manusia atas kasih Allah yang telah mengasihi manusia. Sebaliknya pelanggaran
terhadap
hukum,
sebenarnya
merupakan
pemberontakan
terhadap
kasih
Allah.
Pemberontakan manusia terhadap kasih Allah dapat dikatakan sebagai tindakan membenci
Allah sendiri. Pemberontakan itu bukan hanya menyangkut tindakan fisik, namun
2
Bdk. Dr. C. Groenen OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 92.
Ibid., hlm. 93.
4
Ibid., hlm. 94.
5
Ibid., hlm.96.
6
Ibid., hlm. 99.
7
Ibid., hlm. 96.
3
2
menyangkut hati manusia sendiri.8 Dalam hati manusia, dosa itu berakar (bdk. 1 Sam 16:7;
Yer 17:1). Disanalah, keangkuhan manusia (Kej 3:5. 22) dan kebanggaan diri manusia
terhadap dirinya (Hos 14:2-9) berada. Selain itu dalam hati, manusia juga tidak mampu
berterimakasih kepada Allah dan karunianya (Yes 1:3).
Gagasan dosa terus berkembang. Hal itu juga dapat dilihat dari Perjanjian Baru,
dimana masyarakat ada dalam weak group grid. Gagasan dosa tidak terlalu dilihat sebagai
pelanggaran terhadap hukum atau aturan yang ada dalam masyarakat.9 Dosa lebih dikaitkan
dengan disposisi batin seseorang. Disini dosa lebih dikaitkan dengan niat seseorang. Gagasan
dosa ini berbeda dengan Perjanjian Lama yang lebih melihat dosa sebagai pelanggaran
hukum. Disisi lain ada kemiripan gagasan dosa pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
yaitu mengenai aspek “perjanjian”.10 Dosa dilihat sebagai pelanggaran terhadap “perjanjian”
yang telah disepakati.
Perubahan gagasan mengenai dosa dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
terletak pada tanggung jawab manusia akan dosa. Dalam Perjanjian Lama, dosa yang
dilakukan seseorang harus ditanggung oleh seluruh orang. Disini, dimensi sosial akan dosa
sangat ditekankan. Sedangkan dalam Perjanjian Baru, tanggung jawab dosa lebih bersifat
personal.11 Namun disalah satu sisi dimensi sosial akan dosa juga tetap ada.
Dimensi sosial dosa dalam Perjanjian Baru tampak dari keberdosaan manusia. Disini
manusia tidak hanya melakukan dosa, tetapi menyandang keadaan atas dosa yang diperbuat.
Keadaan manusia menyandang dosa disebut kedosaan. Kedosaan ini bukan hanya karena
tindakan personal manusia, tetapi juga akibat dosa “manusia pertama” (bdk. Rm 5:12. 17).
Pandangan Paulus ini menyatakan bahwa seluruh manusia berdosa dan tidak ada yang benar
(bdk. Rm 3:10).
Dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat dilihat pemahaman tentang dosa terus
berkembang. Pada Perjanjian Lama, dosa yang dikaitkan erat dengan pelanggaran hukum.
Pelanggaran itu mendatangkan kemalangan/ hukuman bagi seluruh umat manusia. Sedangkan
dalam Perjanjian Baru, dosa lebih dilihat dari aspek personal. Ketika manusia berdosa,
manusia menyandang keberdosaan. Keberdosaan ini bukan hanya karena akibat dari
tindakannya sendiri, tetapi karena keberdosaan itu ia terima dari manusia pertama. Dengan
demikian tampak bahwa dosa menyangkut aspek personal dan juga aspek sosial.
8
Ibid., hlm. 100.
Ibid., hlm.90-91.
10
Ibid., hlm. 96.
11
Ibid., hlm.104.
9
3
Dosa dalam Katekismus
Gagasan dosa sebagai sebagai aspek personal juga dijelaskan pada katekismus. Dalam
katekismus, dosa dilihat sebagai penyalahgunaan kebebasan personal. Kebebasan yang
diberikan Allah ternyata tidak dapat digunakan oleh manusia secara baik. Sebaliknya manusia
justru tidak mematuhi perintah Allah. Hal ini nyata dalam diri manusia pertama. Disini
manusia berpaling dari Allah dan mementingkan kepentingan sendiri. Ia mengabaikan Allah
dan ingin menentukan mana yang baik dan yang jahat. Ia juga kemudian ingin menentukan
norma-norma kesusilaan dan otonom tanpa campur tangan Allah. Ia berusaha untuk
melepaskan diri dari Allah. Dalam keterlepasan itu manusia kehilangan rahmat kekudusan,
keadilan asali dan keselarasan. Dengan hilangnya kekudusan, manusia mengarahkan dirinya
pada kecenderungan untuk berbuat dosa. Hilangnya kekudusan manusia dapat disebut juga
sebagai rusaknya kodrat manusia.12
Ketika manusia kehilangan kekudusannya, hubungan antara Allah, sesama, alam dan
diri sendiri akhirnya juga terganggu. Manusia akhirnya menjadi takut dengan Allah,
bermusuhan dengan Allah, tidak setia dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Allah.
Dalam hubungannya dengan sesama, kesatuan manusia mengalami ketegangan. Manusia
kemudian ingin berkuasa dan cenderung mengalihkan kesalahan kepada orang lain.
Sedangkan dalam hubungan dengan alam, manusia melihat alam sebagai sesuatu yang asing
dan bermusuhan dengan manusia. Dalam kaitannya dengan diri sendiri manusia ditaklukan
kepada kelemahan yaitu pada kebodohan, kesengsaraan dan kekuasaan kematian.13
Penjelasan dari katekismus mendefinisikan dosa dalam gagasan Perjanjian Baru yang
menekankan aspek personal. Dosa dilihat sebagai penyalahgunaan kebebasan. Namun dosa
menyangkut aspek sosial, dimana manusia akhirnya kehilangan rahmat kekudusan. Hal ini
semakin menggambarkan dosa secara holistik. Dosa bukan hanya menyangkut seseorang
saja, namun menyangkut seluruh umat manusia. Pemahaman dosa semacam ini dapat
dipahami, karena manusia makhluk relasional.
Hukum
Hukum dalam Kitab Suci
Dalam penjelasan sebelumnya, dosa erat dikaitkan dengan pelanggaran hukum.
Darisitu pemahaman mengenai hukum diperlukan. Dalam Perjanjian Lama, Taurat
merupakan hukum yang digunakan oleh bangsa Israel. Di dalam Taurat terdapat aturan,
12
13
Rm. Handoko, Op.Cit., hlm. 100-101.
Ibid., hlm.101.
4
ketetapan, kesaksian dan juga adat istiadat. Namun bila dilihat secara detail, taurat lebih erat
pada pengajaran. Dengan kata lain, hukum bangsa Israel pada dasarnya merupakan
pengajaran akan apa yang baik dan benar. Dalam Taurat hal yang diutamakan bukanlah
hukum itu sendiri, namun perjanjian antara Allah dengan manusia. Disini taurat pertamatama tidak dilihat sebagai kontrak resmi atau legalistis. Hal yang utama adalah perjanjian
kasih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum disini dilihat saluran kasih dari pihak
manusia kepada Allah. Disisi lain hukum merupakan pengamalan akan kasih Allah (bdk. Ul
4:34-38). 14
Perjanjian Baru mengaitkan hukum pada ajaran Yesus ketika di atas bukit. Hukum
disini tidak merujuk atas tindakan eksternal tetapi lebih pada tindakan internal. Penekanan
hukum Perjanjian Baru lebih pada disposisi batin manusia. Hal ini merupakan nubuat dari
Yeremia mengenai hukum yang tertulis dalam hati (Yer 31-31-33). Dalam pandangan Paulus,
hukum telah terpenuhi dalam diri Yesus dan barangsiapa percaya kepada-Nya akan
dibenarkan. Ia berpendapat bahwa seluruh hukum taurat dipersiapkan untuk kedatangan
Yesus. 15
Hukum dalam Katekismus
Pandangan mengenai hukum secara lebih rinci dijelaskan di dalam katekismus
daripada dalam Kitab Suci. Katekismus menyebutkan beberapa hukum moral yang ada.
Hukum moral itu terdiri dari hukum abadi, hukum kodrati, hukum yang diwahyukan dan
hukum negara (serta hukum gereja). Hukum moral yang ada merupakan pedagogi dari Allah.
Hukum itu ditentukan agar manusia memperoleh kebahagiaan yang dijanjikan Allah. Disisi
lain hukum itu mengarahkan manusia untuk tidak melakukan kejahatan. Hukum moral tidak
hanya berisi larangan untuk tidak melakukan kejahatan, namun juga membawa manusia pada
sebuah ikatan. Disini Allah dan manusia diikat dalam sebuah perjanjian.16
Hukum moral bersumber pertama-tama dari hukum abadi yang berasal dari Allah
sendiri. Hukum abadi itu kemudian meresapi seluruh kebenaran yang terdapat dalam hukum
kodrati, hukum yang diwahyukan dan juga hukum negara (juga hukum gereja). Hukum moral
yang meliputi hukum kodrati dan hukum yang diwahyukan dijelaskan secara lebih rinci
dalam katekismus. Hukum kodrati mengantar manusia untuk mampu membedakan mana
yang baik dan buruk; mana yang benar dan yang bohong. Pembedaan yang baik dan buruk
(benar dan bohong) dimungkinkan, karena manusia dianugerahi akal budi. Selain akal budi,
14
Bdk. Edmund Hill, Being Human, London: Geoffrey Chapman, 1984, hlm. 238.
Ibid., hlm. 232.
16
Bdk. KGK. 1952.
15
5
hukum kodrati itu juga terdapat dalam di hati manusia. Hukum kodrati yang ada dalam diri
manusia ini, pada dasarnya mengarahkan manusia pada prinsip-prinsip universal.17
Selain hukum kodrati, hukum moral lainnya terwujud dalam hukum yang
diwahyukan. Hukum yang diwahyukan meliputi hukum lama dan hukum baru. Hukum lama
itu terangkum pada dekalog. Hukum ini merupakan hukum yang menunjukkan kepada
manusia apa yang harus diperbuatnya. Namun hukum ini tidak memberikan daya kepada
manusia untuk melakukannya. Selain itu, hukum lama ini tidak dapat menghapuskan dosa.
Hukum ini hanya menyingkapkan keberdosaan manusia saja.
Hukum lain yang diwahyukan adalah hukum baru. Hukum itu nyata dalam injil dan
diterima manusia ketika ia beriman kepada Yesus Kristus sendiri. Hukum ini berbeda dengan
hukum lama. Dalam katekismus dijelaskan:
Hukum baru dinamakan hukum kasih, sebab hukum itu membuat kita bertindak
lebih karena kasih yang Roh Kudus curahkan, daripada karena takut. Ia juga
dinamakan hukum rahmat, karena ia memberi rahmat, supaya dapat bertindak
berkat kekuatan iman dan Sakramen-sakramen. Ia juga disebut hukum
kebebasan
Bdk. Yak 1:25; 2:12.
, karena ia membebaskan kita dari peraturan-peraturan
ritual dan legal dari hukum lama, membuat kita rela bertindak dengan dorongan
kasih secara spontan dan mengangkat kita dari status hamba.18
Setelah melihat pemahaman dari Kitab Suci dan Katekismus, esensi hukum adalah
relasi personal antara Allah dan manusia. Relasi itu dalam Kitab Suci disebut dengan
“perjanjian”. Perjanjian yang diadakan Allah dengan manusia, menunjukkan betapa Allah
mencintai manusia. Namun disisi lain manusia juga mau menanggapi cinta Allah itu dalam
sebuah “perjanjian”. Cinta itu itu dibakukan dalam hukum agar cinta itu tetap mengarah pada
Allah sendiri.
Rahmat
Rahmat dalam Kitab Suci
Kata “rahmat” sering merujuk pada keadaan manusia yang selamat. Dalam
Perjanjian Lama keadaan manusia yang selamat disebut sebagai keadaan damai sejahtera
(syalom). Syalom mencakup kebahagiaan manusia seluruhnya baik rohani maupun jasmani
(Kel 18:23).
Dalam arti yang lebih luas, syalom merupakan tindakan Allah yang
membebaskan manusia dari segala bahaya. Misalnya, pembebasan dari penindasan
17
18
Bdk. KGK. 1954- 1960.
Bdk. KGK. 1972.
6
(Kel14:30). Disisi lain dalam Deutero –Yesaya, syalom tidak hanya pengharapan akan
pembebasan
dari
penindasan,
tetapi
juga
pengharapan
akan
kedatangan
dan
pemerintahanYHWH (Yes 52:7).
Dalam Perjanjian Baru kata “rahmat” sering dipakai oleh Paulus. Kata ini merujuk
pada keutuhan pribadi manusia di dalam Allah dan untuk persekutuan dengan Bapa, Putra
dan Roh Kudus. Selain itu kata tersebut mengacu pada “kerajaan Allah, perjanjian yang baru,
hidup kekal, pengenalan dan kasih Allah, pembenaran, penyembuhan, pengampunan dosa,
pelunasan dosa, damai, ciptaan baru, kelahiran kembali, pengangkatan menjadi anak-anak
Allah..”.19
Rahmat dalam Katekismus
Rahmat adalah kemurahan hati, pertolongan sukarela yang Allah berikan kepada
manusia, agar manusia dapat menjawab panggilan-Nya. Sebab panggilannya ialah menjadi
anak-anak Allah. Dengan menjadi anak-anak Allah, manusia diikutsertakan dalam kehidupan
Allah. Dengan kata
lain rahmat itu mengantar manusia masuk ke dalam kehidupan
Tritunggal yang paling dalam.
Rahmat Allah berarti bahwa Allah memberi kehidupan-Nya secara cuma-cuma
kepada manusia. Ia mencurahkannya ke dalam hati kita melalui Roh Kudus, untuk
menyembuhkannya dari dosa, membenarkan dan menguduskannya. Itulah rahmat
pengudusan atau rahmat pengilahian. Rahmat pengudusan adalah satu anugerah yang tetap,
satu kecondongan adikodrati yang tetap. Rahmat itu menyempurnakan jiwa, supaya
memungkinkannya hidup bersama dengan Allah dan bertindak karena kasih-Nya. Selain itu
rahmat memampukan manusia berkarya demi keselamatan orang lain dan pertumbuhan
Tubuh Kristus.20
Keselamatan
Keselamatan dalam Perjanjian Baru erat kaitannya dengan penebusan, penebusan
dosa, pembenaran dan pembebasan. Penebusan merupakan usaha “membeli kembali”
properti dari pihak keluarga terdekat yang telah menjadi milik orang lain. Namun penebusan
juga berkaitan juga pembelian atau pembebasan seorang budak. Gambaran penebusan ini
nyata dalam usaha Allah melepaskan Israel dari belenggu perbudakan (Kel 6:6-7).
19
20
Bdk. Dr. Nico Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, hlm. 136-140.
Bdk. KGK. 1996-2005.
7
Gagasan keselamatan, juga dikaitkan pula dengan penebusan dosa. Hal ini nyata
dalam perkataan Paulus, “karena semua orang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan
Allah dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam
Kristus Yesus” (Rm 3:23-24). Gagasan penebusan dosa semacam ini lahir dari pesta Yahudi
yaitu hari penebusan dosa. Disini orang Yahudi mempersembahkan korban untuk memohon
ampun kepada Allah atas dosanya.
Keselamatan juga dikaitkan erat dengan pembenaran. Kata “pembenaran”
merupakan kata yang berasal dari bahasa hukum. Kebenaran adalah atribut yang dikenakan
oleh Allah. Dengan demikian pembenaran tidak lain adalah anugerah dari Allah kepada
manusia. Manusia yang bersalah dilepaskan dari kesalahan dan dianugerahkan belas kasih
dari Allah sendiri. Keselamatan akhirnya dikaitkan dengan pembebasan. Disini manusia
dilepaskan dari semua belenggu dari dosa, kematian, hukum, ketakutan, keputusasaan,
kehidupan yang egois, materialisme, harga diri dan kekuasaan. 21
Keselamatan manusia diperoleh manusia atas rahmat yang diperoleh dari hukum baru.
Hukum itu digenapi dalam diri Yesus dan hukum itulah yang memberikan rahmat Roh
Kudus. Dengan rahmat itulah manusia dapat melakukan “perjanjian” antara Allah dan
manusia. Dengan rahmat dari Roh Kudus, manusia memperoleh kekudusannya kembali. Ia
juga diarahkan pada keadilan asali. Selain itu manusia dibawa kepada keselarasan kembali
dalam relasinya dengan Allah, sesama, alam dan dirinya sendiri. Semua hal ini terwujud
bukan atas usaha manusia sendiri, melainkan anugerah dari Allah sendiri.
Kedosaan dan keselamatan
Setelah penjelasan mengenai dosa, hukum, rahmat dan keselamatan, pembahasan
selanjutnya adalah berkenaan dengan kaitan satu sama lain. Gagasan (seperti pada penjelasan
sebelumnya) dosa merujuk pada pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum yang dimaksud
tidak hanya berkenaan dengan pelanggaran terhadap aturan yang ada. Lebih jauh dari itu,
pelanggaran itu merupakan sebuah pemutusan relasi antar manusia dan akhirnya juga
pemutusan relasi dengan Allah sendiri. Dengan melanggar hukum, manusia menolak
“perjanjian” dengan Allah yang penuh cinta. Pelanggaran terhadap hukum menunjukkan
penyalahgunaan manusia terhadap kebebasan yang ia peroleh.
Dosa membuat manusia akhirnya menjauh dari tawaran cinta Allah kepada manusia.
Kenyataan itu membuat manusia menjauh dari rahmat Allah sendiri. Manusia yang berdosa
itu menjauh dari Allah, sang kehidupan. Rasul Paulus menyatakan secara jelas hal ini dengan
21
Bdk. Denis Edwards, What are they saying about salvation?, New York, Paulist Press, 1986, hlm. 7-11.
8
mengatakan “upah dosa adalah maut” (Rm 6:23). Selain itu manusia akhirnya menjadi
hamba/ upahan dari dosa itu sendiri. Dosa itu membawa manusia menanggung kedosaan.
Kedosaan itu membuat manusia tidak lagi mampu menjadi tuan atas dirinya. Ia tidak lagi
memiliki kebebasan atas dirinya (Yoh 8:34).
Perbudakan manusia terhadap dosa membuat manusia tidak mampu lagi membuat
manusia melakukan hukum yang ada (Taurat). Manusia yang jatuh dalam perbudakan dosa,
tidak dapat melepaskan dirinya sendiri. Ia tidak dapat melepaskan belenggu itu dengan
melakukan hukum. Dalam perbudakan ini, manusia membutuhkan rahmat dari Allah yang
menyelamatkan. Penyelamatan itu bukanlah dalam arti fisik seperti pembebasan Israel dari
Mesir (Kel 12). Pembebasan itu merupakan pembebasan rohani yang dikerjakan Yesus
Kristus. Dengan pengorbanan di salib, Yesus berusaha menyelamatkan manusia. Yesus
menyelamatkan manusia dari belenggu dosa (Mat 1:21). Manusia akhirnya dilepaskan dari
perbudakan dosa dan diberi kebebasan. Kebebasan yang diberikan kepada manusia bukan
hanya kebebasan sebagai budak, tetapi kebebasan sebagai anak Allah.
Rahmat Allah memberikan keselamatan kepada manusia. Dengan demikian manusia
dilepaskan dari dosa. Manusia kemudian mendapat pembenaran dari Allah. Selain itu
manusia kembali mendapat rahmat kekudusan dan dimasukkan kembali dalam relasinya
dengan Allah. Keselamatan yang diperoleh manusia, akhirnya memperbaharui kembali
“perjanjian” yang telah diputus oleh dosa.
Dengan keselamatan ini, manusia tidak hanya dijadikan kudus tetapi juga memiliki
kebebasan. Rahmat pengudus mengantar manusia untuk senantiasa mengarahkan diri kepada
Allah. Rahmat pengudus itu tidak lain berasal dari Roh Kudus yang diberikan oleh Allah
ketika Allah memberikan keselamatan. Roh Kudus menjadi daya dalam diri orang dan
menjadi pendorong menuju Allah. Hal ini bertolak belakang dengan keberdosaan yang
mengarahkan manusia kepada dosa.
Selain rahmat kekudusan, manusia juga memperoleh kebebasan yang memampukan ia
melakukan hukum yang baru (hukum cinta kasih). Hukum ini berbeda dengan hukum lama
(Taurat) yang mengajar manusia untuk membedakan apa yang baik dan buruk. Hukum baru
ini adalah hukum kasih (Mat 22: 34-40). Hukum ini tidak lagi berisi aturan-aturan, melainkan
perintah untuk mengasihi. Hukum baru ini menekankan kembali relasi antara Allah dan
manusia. Disisi lain hukum ini juga menekankan relasi manusia dengan sesama. Semua relasi
itu tidak didasari akan rasa takut atas hukuman yang diterima bila tidak melakukan hukum
itu. Namun relasi itu didasari oleh kasih. Disini esensi hukum yang asali dikembalikan lagi
9
makna sesungguhnya. Namun hal yang lebih penting adalah manusia dimampukan untuk
melakukan hukum itu karena Roh Kudus sendiri.
Dari seluruh penjelasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah manusia
memperoleh keselamatan bila manusia memperoleh rahmat dari Allah. Dengan rahmat itu
manusia dilepaskan dari belenggu dosa. Disini manusia memperoleh kekudusan asali
sehingga relasi dengan Allah dipulihkan. Selain itu rahmat kekudusan manusia juga
dimampukan juga melakukan hukum baru. Hal ini dimampukan karena keselarasan antara
Allah, sesama dan alam telah dipulihkan. Sehingga dengan keselarasan asali itu, manusia
dapat menggunakan kebebasannya kepada tujuan asali hidupnya.
Relevansi
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering jatuh dalam kesalahan dan dosa. Dosa
itu terus berulang dan semakin menjauhkan umat Allah pada relasi mesra dengan Allah.
Keengganan umat Allah untuk berdoa, membaca kitab suci, pergi ke gereja, mengaku dosa
dan hal-hal lainnya, merupakan hal sederhana dimana umat Allah mulai menjauh dari Allah.
Selain itu, relasi yang mulai menjauh dari Allah ditunjukkan dengan dosa-dosa yang terus
diulang, sehingga hati nurani pun menjadi tumpul. Kenyataan inilah yang menujukkan
manusia yang dikuasai dosa.
Belenggu dosa yang dialami manusia, hanya dapat dilepas atas kuasa Allah sendiri.
Rahmat itu dapat diterima lewat pengakuan dosa. Rahmat itu mengembalikan hubungan
manusia dengan Allah. Oleh sebab itu, penerimaan sakramen pengakuan dosa tidak hanya
dilihat sebagai ritus penerimaan pengampunan, tetapi juga pelepasan terhadap belenggu dosa.
Hal yang perlu disadari dan ditumbuhkan dalam umat beriman adalah sejauh mana rahmat itu
dirasakan. Umat Allah diminta mengalami sendiri, bagaimana Allah juga mulai melepaskan
dirinya dari belenggu dosa. Selain itu umat Allah mulai diajak menyadari rahmat dari Allah
yang menuntun kita untuk mencintai Allah dan sesama dalam perjalanan hidup sehari-hari.
Penutup
Dalam keadaan yang berdosa, manusia menjauh dari Allah dan keselamatan-Nya. Manusia
memperoleh keselamatan dari rahmat yang diberikan Allah melalui iman akan Yesus. Dalam
iman akan ialah manusia memperoleh rahmat Roh Kudus yang memampukan manusia
menjadi anak-anak Allah kembali dan hidup menurut “perjanjian” yang ada.
10
Daftar pustaka
Dister, Nico Syukur OFM. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Edwards, Denis. What are they saying about salvation?. New York. Paulist Press. 1986.
Groenen, C. OFM, Soteriologi Alkitabiah, Yogyakarta: Kanisius. 1989.
Handoko, Petrus Maria. Dicipta untuk dicinta.
Hill, Edmund. Being Human. London: Geoffrey Chapman. 1984.
Katekismus Gereja Katolik
11