contoh cerpen bahasa Indonesia. docxx
A LITTLE HOPE IN CLANE’S CANDY
-Tania I. Sitompul
Senin, 29 September 2014
Pagi yang cerah untuk memulai hariku. Kulepas selimut yang sejak semalam menemani tidurku.
Udara yang dingin, harumnya Chicken burrito kesukaan yang menggoda, dan si Pussy yang manis
sedang tidur melingkar di dekatku. Yaaa..., setidaknya begitulah yang kurasakan, sampai kugunakan
kacamataku.
Semuanya tampak jelas sekarang. Beberapa, umm... maksudku semua hal yang kukatakan tadi
berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Sial!! Lagi – lagi hanya mimpi, ucapku dalam hati
sambil memegangi kepalaku. Mataku memang sudah hampir minus 3, mau bagaimana lagi, banyak
faktor penyebabnya.
Karena aku sudah menggunakan kacamata, mungkin aku harus bercerita kembali.
Pagi yang buruk untuk memulai hariku. Kulepas selimut yang sudah lain baunya karena sudah 3 bulan
belum dicuci. Keringat bercucuran di kamar yang pengap, bau keju busuk dan acar kaleng
bertumpahan di lantai (sungguh! Baunya benar-benar mengusikku), dan lagi tikus kecil yang
berlangganan mengerogoti keju itu-setidaknya aku tidak perlu membersihkannya lagi. Mungkin kau
sudah membayangkan kondisi kamarku sekarang. Namun percayalah, kamarku lebih buruk dari yang
bisa kau bayangkan.
Aku dibangunkan oleh jam weker Winnie de Pooh-ku, Kupikir hanya ini barang yang masih terlihat
normal di kamarku-sebelum terlempar tadi pagi. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk mematikan
bunyi alarm-nya yang sudah terdengar seperti lagu Linking Park yang sedang dikejar anjing di
kepalaku.
Argh! Lagi-lagi aku memegang kepalaku yang sakitnya sudah meradang sejak kemarin. Mungkin ini
pengaruh dari apple pie setengah basi semalam.
Dengan gontai kuangkat badanku dan mulai melangkah mengambil handuk. Langkahku terhenti di
depan kaca. Kulihat bayangan yang sama setiap harinya. Bayangan seorang gadis yang jauh dari kesan
ceria. Tiba-tiba handphone-ku bergetar. Segera korogoh kantongku dan melihat layarnya. Wajar kan,
kalau aku berharap seseorang mengirim ucapan selamat pagi? Tapi malah yang tertulis :
“ Jangan lupa bayar uang sewa kamarmu, atau kau akan pergi dari sini!”
Seperti yang kau lihat, rasanya aku ingin belari dan langsung menjambak rambut Ny. Rampty yang
sudah memutih itu. Ya, dia pemilik apartemen tempatku tinggal. Dia adalah tipe nenek tua yang
berbadan gempal, suka memakai perhiasan berlebihan, sangat tidak ramah lingkungan, dan sangat
sering menaikkan uang sewa. Kau bisa lihat kan? Mungkin sebentar lagi aku akan berubah menjadi
Hulk versi perempuan, kalau aku punya kekuatan seperti itu tentunya.
Kembali ke kamarku.
Kulihat jam di handphone-ku, sudah pukul setengah delapan. 30 menit lagi sebelum bel masuk
sekolah. Aku langsung bergegas mandi dan berkemas dan langsung pergi meniggalkan rumah itu.
Jarak dari ‘rumah’ ke sekolahku cukup dekat, aku hanya perlu berjalan saja. Aku baru saja bersekolah
di SMA (mungkin penjara) sekitar satu setengah bulan . Sebagai anak kelas satu di SMA terbaik di
kota Birmingham, aku memiliki banyak tekanan di sana. Si Culun, Si Penginjak Apel, dan beberapa
julukan aneh sudah melekat di diriku sejak hari pertama sekolah. Mungkin karena dandananku yang
aneh kata orang. Entahlah, menurutku tidak ada yang aneh dengan rambut yang selalu digulung,
poni rata, serta kacamata model standar dan terlihat nerdy. Apa salahnya berpenampilan berbeda?
Dengan tinggi 167 cm, berat badan 50 kg, rambut pirang lebat, dan gigi yang rapi seharusnya aku bisa
mendapat posisi yang baik di sekolah, tapi yasudah lah. Oh iya, aku lupa dengan satu hal, mungkin
banyak hal. Namaku Oline Horan. Umurku 16 tahun. Orangtuaku sudah meninggal dan aku bekerja
sebagai pelayan di sebuah kafe di One Victoria Square.
Kurasa tidak ada hal yang lebih buruk dari hidupku sekarang.
Sepanjang jalan di Hill St. Ternyata sudah dihiasi oleh beberapa pernak pernik. Aku lalu membuka
kalender di pomate (sebutan untuk handphone-ku) Ternyata sebentar lagi sudah memasuki bulan
Oktober. Mungkin kalian belum tahu tentang tradisi di kota ini. Setiap memasuki bulan Oktober kota
Birmingham rutin mengadakan festival seni, khususnya di daerah ku. Memang kota ini dikenal akan
kreatifitas yang bermacam-macam. Sebenarnya aku tidak terlalu memperdulikan hal ini.
Di tengah perjalanan, aku selalu termenung. Lalu lalang kendaraan dan kebisingan kota lainnya tidak
kuhiraukan. Sampai seseorang menepuk pundakku dengan tiba-tiba.
PLOK!
“Aduhh..!” spontan aku berteriak. Kacamataku pun melorot sehingga harus kuperbaiki posisinya.
“Hey! Kau tampak tidak bersemangat”
“Dan selalu tampak tidak bersemangat” jawabku sekenanya.
“Ayolah, sebentar lagi ada perayaan besar. Kita tidak boleh melewatkan kesempatan ini!”
Dia Clancy Stella Freddy. Dia satu-satunya alasan mengapa aku masih bisa bertahan di ‘penjara’ itu –
selain karena aku mendapat beasiswa. Dia selalu bisa menghiasi wajahnya dengan senyuman dan
tawa setiap hari, berbeda denganku. Aku tidak tahu mengapa dia bisa seperti itu. Bukan, bukan
karena dia kaya, hanya dibesarkan di keluarga sederhana, namun sangat baik, sedikit lebih beruntung
daripadaku. Sebaliknya, aku sangat beruntung memiliki teman - satu-satunya teman seperti dia.
Tingkahnya yang humoris mampu mengguratkan sedikit senyum di wajahku dan membuat aku
melupakan beban walaupun hanya sementara.
Aku jadi teringat sesuatu. Saat mendapat tugas pelajaran seni pertama, yaitu membuat drama, aku
satu kelompok dengan Clancy. Aku membuat kesalahan kecil, oke, oke, kesalahan besar. Aku yang
menggunakan jubah saat itu seharusnya menendang sebuah apel merah (aku lupa mengapa aku
harus menendang apel). Karena aku menggunakan jubah yang terlalu panjang, saat menendang aku
tidak sengaja menginjak bawah jubahku, aku melayang, kakiku menendang apel, aku terjatuh di
lantai, dan apel pun melayang dan jatuh tepat di atas wajahku. Spontan satu kelas langsung
menertawaiku. Mungkin dari kejadian itu aku dijuluki ‘si penginjak Apel’. Menyedihkan? Ya!
Memalukan? Ayolah, jangan bertanya seperti itu.
Sejak kejadian itu aku semakin dijauhkan. Tetapi Clancy tidak berbuat demikian.
“Melewatkan kesempatan apa?” tanyaku mulai mencari tahu. Melanjutkan percakapan kami tadi.
“Yaaa...., seperti kesempatan untuk-... , hei, sepertinya kau penasaran. Benar kan Oline?” katanya
menggodaku tanpa sempat melanjutkan perkataannya.
“Berhenti mengusikku. Kau tahu aku tidak suka hal yang bertele-tele. Ayo cepat katakan!”
“Mungkin kau harus datang ke rumahku untuk mengetahui jawabannya. Oh ya, jangan lupa
membawa buku tugas Matematika. Ada beberapa hal yang tidak kumengerti. Ingat! Pukul 4 sore.
Kau tidak bekerja hari ini kan? Sampai jumpa Nona Apel !” sambil mencubit lenganku dan langsung
berlari memasuki gerbang sekolah.
“Tidak. Clancy kemari kau! Aku tidak akan memaafkanmuuuu...!!!”
“Hahaha..., kejar aku kalau kau bisa. Hahaha”
“Tunggu aku!! Hahahaa..”
Gelak tawa kami membludak sambil berkejar kejaran di lapangan sekolah.
Begitulah kebiasaan kami setiap hari sebelum memulai sekolah.
Tidak ada yang spesial selama pelajaran sekolah. Hanya mendengarkan guru menjelaskan pelajaran
yang sebagian besar kutulis di buku ku, mengerjakan tugas, pergi ke kantin saat bel istirahat, dan
kemudian memulai pelajaran lagi.
Tidak terasa jam sekolah sudah berakhir. Sebelum ke rumah Clancy aku pulang ke rumahku terlebih
dahulu.
Kembali ke kehidupanku yang membosankan. Sebelum ke rumah Clancy biasanya aku membersihkan
kamarku terlebih dahulu. Biasanya aku akan diajak makan bersama di rumahnya. Sesudah merapikan
kamar, mandi, dan berganti pakaian, aku langsung keluar dan mengunci pintu kamarku. Di tangga
aku bertemu dengan Ny. Rampty.
“Kau sudah membaca pesanku, Oline?”
“Pesanmu tadi pagi? Oh, sudah nyonya. “
“Lalu, apa jawabanmu?”
Aku terdiam dan memikirkan alasan.
“ Aku tidak tahu kapan aku bisa membayarnya. Aku masih punya waktu satu bulan lagi bukan?”
“Ya, benar. Tapi jangan lupa kau harus.....
Pendengaranku mendadak hilang ketika dia mulai menasihatiku. Dia selalu melakukan itu setiap ada
kesempatan atau sedang berpapasan denganku. Dan seperti yang kau tahu, jawabanku terakhirku
selalu :
“Baik Nyonya.”
Kutinggalkan dia tanpa melihat wajahnya yang sudah seperti tomat itu.
Perjalanan ke rumah Clancy hanya membutuhkan 10 menit perjalanan. Aku mengenakan jaket
berwarna cokelat sambil membawa payung motif bunga oranye. Hanya untuk berjaga jaga. Kau tidak
bisa menduga kapan akan turun hujan jika berada disini.
Pohon-pohon sepanjang jalan menari-nari mengikuti gerakan angin. Daun- daun berguguran di
sepanjang jalan dan menutupi Swallow St. Kulihat para penyapu jalan menghela napas dan
mengeluh kecil sambil melihat daun – daun itu berserakan diterbangkan oleh angin. Aku tersenyum
melihat hal itu. Lalu lalang mobil yang berkejar kejaran seakan menambah suasana kebisingan di kota
Birmingham. Kuusap kacamataku yang sudah berembun. Kurapatkan kancing jaketku dan
kumasukkan tanganku ke kantongnya. Kulihat orang lain juga melakukan hal yang sama denganku. Ku
tutup wajahku dengan topi. Musim gugur kali ini sepertinya lebih dingin dari biasanya.
Sampailah aku di rumah Clancy.
Tok, tok, tok. “Halo, Selamat sore !”
Pintu terbuka. Cekrek!
“Halo Bibi Freddy. Boleh saya masuk?“. Ternyata yang membuka pintu adalah Ibu Clancy.
“Halo Oline! Silahkan.”
“Silahkan duduk. Akan kupanggilkan Clancy sambil menyiapkan teh hangat untukmu. Kau mau kue
jahe?” katanya sambil menyodorkan setoples kue kepadaku
“Terimakasih Bibi, “ aku mengambilnya dan langsung melahapnya. “Yumm, ini enak sekali. Boleh aku
minta lagi?”
“Silahkan, ambil sesukamu. Itu Clancy sudah datang. Aku mau ke dapur dulu.” Bibi Freddy pun
langsung meninggalkan kami.
“Kau lama sekali. Aku sudah menguap 3 kali karena menunggumu turun. “ Kataku membuka
percakapan kami
“Dasar cerewet. Aku baru menyelesaikan tugas Matematika ku.”
“kau bilang kau tidak mengerti mengerjakannya?” nada suaraku naik. Sepertinya aku sudah ditipu.
“Kalau aku tidak berbohong kau mungkin tidak akan datang.” Ucapnya santai.
Lagi-lagi dia tersenyum penuh kemenangan.
“Baiklah, sekarang katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi pagi. “
“Rencananya aku ingin mengajakmu membuka toko permen kecil selama perayaan festival nanti.”
Aku terdiam. Mendadak muncul sebuah ide di kepalaku.
“Bagaimana? Kau mau tidak?”
“Apa kau yakin? Kita tidak bisa membuat permen dengan berdua saja. Memasak panekuk saja aku
tidak bisa. ”
“Itu gampang. Ibuku dulu bekerja di sebuah toko permen. Dia pandai meracik lolipop dan lain-lain.
Ayolah, ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. ”
“Aku masih bingung. Kau tahu kan, aku hidup sendiri. Aku tidak punya modal yang cukup. Lagipula
aku harus bekerja,”
“Kita akan meminjam dari Bank. Tidak ada salahnya kan? Aku yakin usaha kita akan berhasil.
Rumahku terletak di pinggir jalan. Aku yakin kita bisa menarik banyak peminat,” Nada nya benar
benar ingin meyakinkanku.
“Baiklah.” Ucapku mengalah. “Lalu nama tokonya?”
“Mungkin bisa kita ambil dari gabungan nama kita, seperti Clane’s Candy shop. Gabungan dari Clancy
dan Oline. Kita akan meletakkan meja meja kecil di depan rumahku. Aku akan meminta tolong
Ayahku......blablabla.”
Dan begitulah sore itu kami habiskan dengan menggabungkan rencana brilian Clancy dengan
imajinasi –imajinasiku yang aneh namun patut untuk dicoba. Malam pun tiba. Setelah makan
bersama dengan keluarganya aku langsung berpamitan pulang. Sebenarnya aku sangat tertarik
dengan usaha permen ini. Sebenarnya tidak hanya permen, rencananya kami juga ingin menjual
minuman. Yaa, bisa dibilang kami ingin membuat cafe terbuka berukuran mini.
Rabu, 1 Oktober
Sekarang sudah pukul 4 sore. Aku bergegas pergi bekerja di Victoria Square. Seharusnya sekarang
jadwalku untuk pergi dengan Clancy pergi meminjam uang ke Bank. Tapi dia terlalu bersemangat dan
memaklumi keadaanku. Jadi dia pergi dengan Bibi Freddy saja. Oh Tuhan, aku benar- benar
bersyukur memiliki teman seperti dia.
Kulihat di sepanjang Paradise St sudah mulai dikerumuni oleh van – van mobil yang ingin
berpartisipasi di festival kali ini. Kemeriahan suasana di Victoria Square juga semakin bertambah
karena dihisasi lampion-lampion dan patung bermotif menarik.
Mungkin karena aku juga bersemangat untuk ber-cafe ria, aku jadi menghayal selama bekerja.
Bahkan pada hari ini aku dimarahi atasanku. Dan akhirnya? Dipecat. Ya, itu semua karena aku salah
memberi kembalian, hampir menabrak pelanggan yang baru datang, dan menumpahkan jus
strawberry di kepala pelanggan yang botak , padahal sedikit lagi dia akan melamar kekasihnya.
Mungkin lebih baik seperti ini, agar aku bisa lebih fokus menata Cafe impian kami.
Sabtu, 4 Oktober 2014
Persiapan kami semakin matang! Kami akan resmi memulai Clane’s Candy Shop ini pada hari senin
depan. Sudah banyak permen dan manisan lain yang sudah kami buat. Dan bagian terbaik dari
membuat permen? Tentu saja saat kami bisa mencicipinya sesuka hati. Di sekolah pun kami sibuk
membahas persiapan persiapan untuk memulai usaha kami agar berjalan dengan lancar. Dan
malahan tadi saat quis pelajaran Sejarah aku hampir melakukan ini:
1. Terangkan perjalanan Christopher Colombus sebelum mencapai tanah Amerika!
Jawab : Gula 500 gr, karamel secukupnya, pewarna makanan 50 ml, panaskan, lalu aduk sampai
merata, dan diamkan selama 10 menit.
Dan aku benar- benar melakukannya. Aku ditertawai (lagi) oleh satu kelas. Tapi itu tidak terlalu buruk
menurutku, karena aku masih mendapat nilai B+ . Hanya sekedar informasi.
Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Clancy. Rencananya sepulang sekolah nanti
kami akan memasang papan nama untuk Cafe mini kami. Lihat sisi baiknya, aku jadi tidak perlu
melihat dan mendengar celotehan Ny. Rampty itu, walaupun aku masih bingung untuk membayar
uang sewanya. Aku benar- benar berharap usaha kami bisa meraup untung.
Senin, 8 Oktober 2014
Wow! Ini dia hari yang ditunggu tunggu bagiku-dan keluarga Clancy. Karena puncak festival ini ada di
minggu ini, maka sekolah kami pun diliburkan.
Jam 8 pagi. Aku sudah berada di rumah Paman Freddy. Kami melahap pie apel dan anggur sebagai
sarapan kami. Perlengkapan berjualan sudah dikeluarkan semua. Saking nerveous -nya Clancy
mondar mandir di depan ku seperti :
“Apa permen nya sudah manis rasanya?”
“Tentu saja, sangat manis dan menggiurkan.” Jawabku
“Bagaimana dengan meja? Apa sudah bagus posisinya?”
“Kurasa begitu.”
“Permennya sudah dikeluarkan kan?”
“Iya Nona Clancy yang pelupa,” jawabku meyakinkan dia.
“Ohh, bagaimana dengan papan nama, hiasan, lampu, minuman, daftar menu?”
“Semuanya sudah beres. Kau tenang saja.”
“Oke....... emm, kotak permen nya ada dimana sekarang?”
“-__-“
Pukul setengah tiga sore. Kami sudah berada di luar rumah menanti pelanggan kami. Hiruk pikuk
orang berjalan kulihat disini. Mereka sibuk melihat lihat stan-stan, mobil van, dan kedai kedai kecil di
festival ini. Ada pula yang melihat lihat pameran lukisan dan patung kecil. Ada juga yang melihat
tarian tradisional Inggris dan mengabadikan dengan kameranya. “Hmm, mungkin dia turis asing,”
pikirku.
Dan inilah mini Cafe kami :
Clane’s Candy Shop
Sweeties :
Buble Caramel Candy
£ 1.30
Disco Lollipop (Chocolate, Strawberry, Melon)
£ 1.70
Shocking Jelly Soda
£ 2.40
Autumn’s mini Tree candy
£ 2.30
Clane’s Gummy Mints
£ 1.50
Dessert n Drinks :
Rainbow cake
£ 1. 50
Ginger Bread
£ 1.70
Fruit Trifle or Pudding
£ 2.60
Hot Chocolatte
£ 2.30
Autumn Mocca
£ 2.50
Clane’s chino
£ 2.50
Ice Tea
£ 1.80
Milkshake
£ 2.60
Daftar menu itu kami buat di papan tulis hitam mengunakan kapur warna warni.
Satu jam telah berlalu. Dua jam, tiga jam bahkan lebih. Sekarang sudah jam 7 malam. Para penjaja
makanan lain sudah bersiap siap membereskan kedai nya. Hari ini kami hanya mendapat 3 pelanggan
saja. “Mungkin karena ini baru hari pertama,” ujarku dalam hati optimis. Kulihat wajah Clancy.
Sepertinya dia juga berpikir demikian, walaupun ia tidak bisa menyembunyikan raut kecewa di
wajahnya.
Namun esoknya pelanggan kami masih sedikit juga. Begitu pula keesokan harinya. Apakah rasa
manisan kami kurang enak? Rasaku tidak. Atau mungkin kedai kami kurang menarik? Mungkin. Raut
kecewa semakin tampak jelas di wajah Clancy, tetapi dia berusaha menutupinya . Sungguh aku tidak
tega melihatnya. Ah, sepertinya aku harus mencari akal!
Jumat, 12 Oktober 2014
Sial! Pelanggan kami masih tetap sedikit. Aku berusaha untuk mencari akal untuk menarik minat
pelanggan. Sembari menunggu pelanggan, Clancy mendatangiku.
“Oline, sepertinya aku salah. Seharusnya aku tidak memaksamu untuk melakukan ini. Aku terlalu
berharap ini semua berhasil”
“Tidak, kita belum gagal. Masih ada 2 hari lagi kan? Tenang saja, semuanya akan berhasil nanti.”
“Kau serius?”
Sebenarnya tidak. Tapi hanya itu yang bisa kukatakan kepadanya.
Sampai satu ide terlintas di benakku.
“Clancy, apa kau punya microphone ?”
“Ada, tetapi untuk apa?”
“Tenang saja, lihat saja nanti. Ada dimana?”
“Di atas lemari pakaian di kamarku. Sepertinya sudah berdebu karena tidak pernah digunakan.”
Bergegas aku mengambil mik itu dan kembali ke cafe. Clancy tampak bingung denganku.
“Kau mau melakukan apa?”
“Aku ingin melakukan keajaiban” ujarku sambil tersenyum.
Kuhidupkan speaker music ku keras-keras. Kudekatkan mik yang sudah kubersihkan tadi ke mulutku.
Aku berdiri di pinggir jalan Swallow St. Perlahan kukeluarkan suaraku dan mulai menyanyikan sebuah
lagu
There’s always gonna be a thousand mountain
I always want to make it move
Always wanna be an uphill battle
Sometimes I gotta have to lose
Perlahan Clancy mengikuti nyanyianku dan berdiri di dekatku. Kami bernyanyi bersama
Ain’t about how fast I get there
Ain’t about what’s waiting on the other side
It’s the climb...
Suara riuh tepuk tangan mulai kedengaran. Aku langsung memeluk Clancy yang hampir menangis
terharu.Kemudian perlahan orang-orang berdatangan ke mini Cafe kami. Semakin malam semakin
banyak yang datang. Dan semuanya habis terjual.
....
Begitulah seterusnya. Sebelum atau sesudah berjualan kami menyempatkan diri untuk tampil
menyanyikan sebuah lagu. Dan akhirnya mini Cafe kami pun laku sekali. Aku akhirnya bisa membayar
uang sewa kamarku kepada Ny. Rampty. Dan Sekarang aku sudah tinggal di rumah Clancy.
Orangtuanya sudah menganggapku seperti anak mereka.
Festival Seni di Birmingham telah usai. Namun kami masih didatangi oleh pelanggan kami. Bukan
karena suara kami, tetapi rasa manisan yang benar-benar bisa mengubah mood yang dicari
pelanggan kami.
Sekarang aku sedang duduk di cafe kami sambil menghirup angin sore ditemani secangkir caramel
latte. Taburan persahabatan yang manis di atas karamel harapan menghangatku di musim gugur yang
dingin ini. Lalu lalang mobil bukan menjadi suara bising lagi di telingaku, melainkan sebagai musik
pelengkap yang beriringan menembus udara dingin di Swallow Street.
This year is gonna be the incredible experiences for me and my best buddy in Birmingham’s Art
Festival !
THE END
-Tania I. Sitompul
Senin, 29 September 2014
Pagi yang cerah untuk memulai hariku. Kulepas selimut yang sejak semalam menemani tidurku.
Udara yang dingin, harumnya Chicken burrito kesukaan yang menggoda, dan si Pussy yang manis
sedang tidur melingkar di dekatku. Yaaa..., setidaknya begitulah yang kurasakan, sampai kugunakan
kacamataku.
Semuanya tampak jelas sekarang. Beberapa, umm... maksudku semua hal yang kukatakan tadi
berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Sial!! Lagi – lagi hanya mimpi, ucapku dalam hati
sambil memegangi kepalaku. Mataku memang sudah hampir minus 3, mau bagaimana lagi, banyak
faktor penyebabnya.
Karena aku sudah menggunakan kacamata, mungkin aku harus bercerita kembali.
Pagi yang buruk untuk memulai hariku. Kulepas selimut yang sudah lain baunya karena sudah 3 bulan
belum dicuci. Keringat bercucuran di kamar yang pengap, bau keju busuk dan acar kaleng
bertumpahan di lantai (sungguh! Baunya benar-benar mengusikku), dan lagi tikus kecil yang
berlangganan mengerogoti keju itu-setidaknya aku tidak perlu membersihkannya lagi. Mungkin kau
sudah membayangkan kondisi kamarku sekarang. Namun percayalah, kamarku lebih buruk dari yang
bisa kau bayangkan.
Aku dibangunkan oleh jam weker Winnie de Pooh-ku, Kupikir hanya ini barang yang masih terlihat
normal di kamarku-sebelum terlempar tadi pagi. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk mematikan
bunyi alarm-nya yang sudah terdengar seperti lagu Linking Park yang sedang dikejar anjing di
kepalaku.
Argh! Lagi-lagi aku memegang kepalaku yang sakitnya sudah meradang sejak kemarin. Mungkin ini
pengaruh dari apple pie setengah basi semalam.
Dengan gontai kuangkat badanku dan mulai melangkah mengambil handuk. Langkahku terhenti di
depan kaca. Kulihat bayangan yang sama setiap harinya. Bayangan seorang gadis yang jauh dari kesan
ceria. Tiba-tiba handphone-ku bergetar. Segera korogoh kantongku dan melihat layarnya. Wajar kan,
kalau aku berharap seseorang mengirim ucapan selamat pagi? Tapi malah yang tertulis :
“ Jangan lupa bayar uang sewa kamarmu, atau kau akan pergi dari sini!”
Seperti yang kau lihat, rasanya aku ingin belari dan langsung menjambak rambut Ny. Rampty yang
sudah memutih itu. Ya, dia pemilik apartemen tempatku tinggal. Dia adalah tipe nenek tua yang
berbadan gempal, suka memakai perhiasan berlebihan, sangat tidak ramah lingkungan, dan sangat
sering menaikkan uang sewa. Kau bisa lihat kan? Mungkin sebentar lagi aku akan berubah menjadi
Hulk versi perempuan, kalau aku punya kekuatan seperti itu tentunya.
Kembali ke kamarku.
Kulihat jam di handphone-ku, sudah pukul setengah delapan. 30 menit lagi sebelum bel masuk
sekolah. Aku langsung bergegas mandi dan berkemas dan langsung pergi meniggalkan rumah itu.
Jarak dari ‘rumah’ ke sekolahku cukup dekat, aku hanya perlu berjalan saja. Aku baru saja bersekolah
di SMA (mungkin penjara) sekitar satu setengah bulan . Sebagai anak kelas satu di SMA terbaik di
kota Birmingham, aku memiliki banyak tekanan di sana. Si Culun, Si Penginjak Apel, dan beberapa
julukan aneh sudah melekat di diriku sejak hari pertama sekolah. Mungkin karena dandananku yang
aneh kata orang. Entahlah, menurutku tidak ada yang aneh dengan rambut yang selalu digulung,
poni rata, serta kacamata model standar dan terlihat nerdy. Apa salahnya berpenampilan berbeda?
Dengan tinggi 167 cm, berat badan 50 kg, rambut pirang lebat, dan gigi yang rapi seharusnya aku bisa
mendapat posisi yang baik di sekolah, tapi yasudah lah. Oh iya, aku lupa dengan satu hal, mungkin
banyak hal. Namaku Oline Horan. Umurku 16 tahun. Orangtuaku sudah meninggal dan aku bekerja
sebagai pelayan di sebuah kafe di One Victoria Square.
Kurasa tidak ada hal yang lebih buruk dari hidupku sekarang.
Sepanjang jalan di Hill St. Ternyata sudah dihiasi oleh beberapa pernak pernik. Aku lalu membuka
kalender di pomate (sebutan untuk handphone-ku) Ternyata sebentar lagi sudah memasuki bulan
Oktober. Mungkin kalian belum tahu tentang tradisi di kota ini. Setiap memasuki bulan Oktober kota
Birmingham rutin mengadakan festival seni, khususnya di daerah ku. Memang kota ini dikenal akan
kreatifitas yang bermacam-macam. Sebenarnya aku tidak terlalu memperdulikan hal ini.
Di tengah perjalanan, aku selalu termenung. Lalu lalang kendaraan dan kebisingan kota lainnya tidak
kuhiraukan. Sampai seseorang menepuk pundakku dengan tiba-tiba.
PLOK!
“Aduhh..!” spontan aku berteriak. Kacamataku pun melorot sehingga harus kuperbaiki posisinya.
“Hey! Kau tampak tidak bersemangat”
“Dan selalu tampak tidak bersemangat” jawabku sekenanya.
“Ayolah, sebentar lagi ada perayaan besar. Kita tidak boleh melewatkan kesempatan ini!”
Dia Clancy Stella Freddy. Dia satu-satunya alasan mengapa aku masih bisa bertahan di ‘penjara’ itu –
selain karena aku mendapat beasiswa. Dia selalu bisa menghiasi wajahnya dengan senyuman dan
tawa setiap hari, berbeda denganku. Aku tidak tahu mengapa dia bisa seperti itu. Bukan, bukan
karena dia kaya, hanya dibesarkan di keluarga sederhana, namun sangat baik, sedikit lebih beruntung
daripadaku. Sebaliknya, aku sangat beruntung memiliki teman - satu-satunya teman seperti dia.
Tingkahnya yang humoris mampu mengguratkan sedikit senyum di wajahku dan membuat aku
melupakan beban walaupun hanya sementara.
Aku jadi teringat sesuatu. Saat mendapat tugas pelajaran seni pertama, yaitu membuat drama, aku
satu kelompok dengan Clancy. Aku membuat kesalahan kecil, oke, oke, kesalahan besar. Aku yang
menggunakan jubah saat itu seharusnya menendang sebuah apel merah (aku lupa mengapa aku
harus menendang apel). Karena aku menggunakan jubah yang terlalu panjang, saat menendang aku
tidak sengaja menginjak bawah jubahku, aku melayang, kakiku menendang apel, aku terjatuh di
lantai, dan apel pun melayang dan jatuh tepat di atas wajahku. Spontan satu kelas langsung
menertawaiku. Mungkin dari kejadian itu aku dijuluki ‘si penginjak Apel’. Menyedihkan? Ya!
Memalukan? Ayolah, jangan bertanya seperti itu.
Sejak kejadian itu aku semakin dijauhkan. Tetapi Clancy tidak berbuat demikian.
“Melewatkan kesempatan apa?” tanyaku mulai mencari tahu. Melanjutkan percakapan kami tadi.
“Yaaa...., seperti kesempatan untuk-... , hei, sepertinya kau penasaran. Benar kan Oline?” katanya
menggodaku tanpa sempat melanjutkan perkataannya.
“Berhenti mengusikku. Kau tahu aku tidak suka hal yang bertele-tele. Ayo cepat katakan!”
“Mungkin kau harus datang ke rumahku untuk mengetahui jawabannya. Oh ya, jangan lupa
membawa buku tugas Matematika. Ada beberapa hal yang tidak kumengerti. Ingat! Pukul 4 sore.
Kau tidak bekerja hari ini kan? Sampai jumpa Nona Apel !” sambil mencubit lenganku dan langsung
berlari memasuki gerbang sekolah.
“Tidak. Clancy kemari kau! Aku tidak akan memaafkanmuuuu...!!!”
“Hahaha..., kejar aku kalau kau bisa. Hahaha”
“Tunggu aku!! Hahahaa..”
Gelak tawa kami membludak sambil berkejar kejaran di lapangan sekolah.
Begitulah kebiasaan kami setiap hari sebelum memulai sekolah.
Tidak ada yang spesial selama pelajaran sekolah. Hanya mendengarkan guru menjelaskan pelajaran
yang sebagian besar kutulis di buku ku, mengerjakan tugas, pergi ke kantin saat bel istirahat, dan
kemudian memulai pelajaran lagi.
Tidak terasa jam sekolah sudah berakhir. Sebelum ke rumah Clancy aku pulang ke rumahku terlebih
dahulu.
Kembali ke kehidupanku yang membosankan. Sebelum ke rumah Clancy biasanya aku membersihkan
kamarku terlebih dahulu. Biasanya aku akan diajak makan bersama di rumahnya. Sesudah merapikan
kamar, mandi, dan berganti pakaian, aku langsung keluar dan mengunci pintu kamarku. Di tangga
aku bertemu dengan Ny. Rampty.
“Kau sudah membaca pesanku, Oline?”
“Pesanmu tadi pagi? Oh, sudah nyonya. “
“Lalu, apa jawabanmu?”
Aku terdiam dan memikirkan alasan.
“ Aku tidak tahu kapan aku bisa membayarnya. Aku masih punya waktu satu bulan lagi bukan?”
“Ya, benar. Tapi jangan lupa kau harus.....
Pendengaranku mendadak hilang ketika dia mulai menasihatiku. Dia selalu melakukan itu setiap ada
kesempatan atau sedang berpapasan denganku. Dan seperti yang kau tahu, jawabanku terakhirku
selalu :
“Baik Nyonya.”
Kutinggalkan dia tanpa melihat wajahnya yang sudah seperti tomat itu.
Perjalanan ke rumah Clancy hanya membutuhkan 10 menit perjalanan. Aku mengenakan jaket
berwarna cokelat sambil membawa payung motif bunga oranye. Hanya untuk berjaga jaga. Kau tidak
bisa menduga kapan akan turun hujan jika berada disini.
Pohon-pohon sepanjang jalan menari-nari mengikuti gerakan angin. Daun- daun berguguran di
sepanjang jalan dan menutupi Swallow St. Kulihat para penyapu jalan menghela napas dan
mengeluh kecil sambil melihat daun – daun itu berserakan diterbangkan oleh angin. Aku tersenyum
melihat hal itu. Lalu lalang mobil yang berkejar kejaran seakan menambah suasana kebisingan di kota
Birmingham. Kuusap kacamataku yang sudah berembun. Kurapatkan kancing jaketku dan
kumasukkan tanganku ke kantongnya. Kulihat orang lain juga melakukan hal yang sama denganku. Ku
tutup wajahku dengan topi. Musim gugur kali ini sepertinya lebih dingin dari biasanya.
Sampailah aku di rumah Clancy.
Tok, tok, tok. “Halo, Selamat sore !”
Pintu terbuka. Cekrek!
“Halo Bibi Freddy. Boleh saya masuk?“. Ternyata yang membuka pintu adalah Ibu Clancy.
“Halo Oline! Silahkan.”
“Silahkan duduk. Akan kupanggilkan Clancy sambil menyiapkan teh hangat untukmu. Kau mau kue
jahe?” katanya sambil menyodorkan setoples kue kepadaku
“Terimakasih Bibi, “ aku mengambilnya dan langsung melahapnya. “Yumm, ini enak sekali. Boleh aku
minta lagi?”
“Silahkan, ambil sesukamu. Itu Clancy sudah datang. Aku mau ke dapur dulu.” Bibi Freddy pun
langsung meninggalkan kami.
“Kau lama sekali. Aku sudah menguap 3 kali karena menunggumu turun. “ Kataku membuka
percakapan kami
“Dasar cerewet. Aku baru menyelesaikan tugas Matematika ku.”
“kau bilang kau tidak mengerti mengerjakannya?” nada suaraku naik. Sepertinya aku sudah ditipu.
“Kalau aku tidak berbohong kau mungkin tidak akan datang.” Ucapnya santai.
Lagi-lagi dia tersenyum penuh kemenangan.
“Baiklah, sekarang katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi pagi. “
“Rencananya aku ingin mengajakmu membuka toko permen kecil selama perayaan festival nanti.”
Aku terdiam. Mendadak muncul sebuah ide di kepalaku.
“Bagaimana? Kau mau tidak?”
“Apa kau yakin? Kita tidak bisa membuat permen dengan berdua saja. Memasak panekuk saja aku
tidak bisa. ”
“Itu gampang. Ibuku dulu bekerja di sebuah toko permen. Dia pandai meracik lolipop dan lain-lain.
Ayolah, ini akan menjadi pengalaman yang menyenangkan. ”
“Aku masih bingung. Kau tahu kan, aku hidup sendiri. Aku tidak punya modal yang cukup. Lagipula
aku harus bekerja,”
“Kita akan meminjam dari Bank. Tidak ada salahnya kan? Aku yakin usaha kita akan berhasil.
Rumahku terletak di pinggir jalan. Aku yakin kita bisa menarik banyak peminat,” Nada nya benar
benar ingin meyakinkanku.
“Baiklah.” Ucapku mengalah. “Lalu nama tokonya?”
“Mungkin bisa kita ambil dari gabungan nama kita, seperti Clane’s Candy shop. Gabungan dari Clancy
dan Oline. Kita akan meletakkan meja meja kecil di depan rumahku. Aku akan meminta tolong
Ayahku......blablabla.”
Dan begitulah sore itu kami habiskan dengan menggabungkan rencana brilian Clancy dengan
imajinasi –imajinasiku yang aneh namun patut untuk dicoba. Malam pun tiba. Setelah makan
bersama dengan keluarganya aku langsung berpamitan pulang. Sebenarnya aku sangat tertarik
dengan usaha permen ini. Sebenarnya tidak hanya permen, rencananya kami juga ingin menjual
minuman. Yaa, bisa dibilang kami ingin membuat cafe terbuka berukuran mini.
Rabu, 1 Oktober
Sekarang sudah pukul 4 sore. Aku bergegas pergi bekerja di Victoria Square. Seharusnya sekarang
jadwalku untuk pergi dengan Clancy pergi meminjam uang ke Bank. Tapi dia terlalu bersemangat dan
memaklumi keadaanku. Jadi dia pergi dengan Bibi Freddy saja. Oh Tuhan, aku benar- benar
bersyukur memiliki teman seperti dia.
Kulihat di sepanjang Paradise St sudah mulai dikerumuni oleh van – van mobil yang ingin
berpartisipasi di festival kali ini. Kemeriahan suasana di Victoria Square juga semakin bertambah
karena dihisasi lampion-lampion dan patung bermotif menarik.
Mungkin karena aku juga bersemangat untuk ber-cafe ria, aku jadi menghayal selama bekerja.
Bahkan pada hari ini aku dimarahi atasanku. Dan akhirnya? Dipecat. Ya, itu semua karena aku salah
memberi kembalian, hampir menabrak pelanggan yang baru datang, dan menumpahkan jus
strawberry di kepala pelanggan yang botak , padahal sedikit lagi dia akan melamar kekasihnya.
Mungkin lebih baik seperti ini, agar aku bisa lebih fokus menata Cafe impian kami.
Sabtu, 4 Oktober 2014
Persiapan kami semakin matang! Kami akan resmi memulai Clane’s Candy Shop ini pada hari senin
depan. Sudah banyak permen dan manisan lain yang sudah kami buat. Dan bagian terbaik dari
membuat permen? Tentu saja saat kami bisa mencicipinya sesuka hati. Di sekolah pun kami sibuk
membahas persiapan persiapan untuk memulai usaha kami agar berjalan dengan lancar. Dan
malahan tadi saat quis pelajaran Sejarah aku hampir melakukan ini:
1. Terangkan perjalanan Christopher Colombus sebelum mencapai tanah Amerika!
Jawab : Gula 500 gr, karamel secukupnya, pewarna makanan 50 ml, panaskan, lalu aduk sampai
merata, dan diamkan selama 10 menit.
Dan aku benar- benar melakukannya. Aku ditertawai (lagi) oleh satu kelas. Tapi itu tidak terlalu buruk
menurutku, karena aku masih mendapat nilai B+ . Hanya sekedar informasi.
Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Clancy. Rencananya sepulang sekolah nanti
kami akan memasang papan nama untuk Cafe mini kami. Lihat sisi baiknya, aku jadi tidak perlu
melihat dan mendengar celotehan Ny. Rampty itu, walaupun aku masih bingung untuk membayar
uang sewanya. Aku benar- benar berharap usaha kami bisa meraup untung.
Senin, 8 Oktober 2014
Wow! Ini dia hari yang ditunggu tunggu bagiku-dan keluarga Clancy. Karena puncak festival ini ada di
minggu ini, maka sekolah kami pun diliburkan.
Jam 8 pagi. Aku sudah berada di rumah Paman Freddy. Kami melahap pie apel dan anggur sebagai
sarapan kami. Perlengkapan berjualan sudah dikeluarkan semua. Saking nerveous -nya Clancy
mondar mandir di depan ku seperti :
“Apa permen nya sudah manis rasanya?”
“Tentu saja, sangat manis dan menggiurkan.” Jawabku
“Bagaimana dengan meja? Apa sudah bagus posisinya?”
“Kurasa begitu.”
“Permennya sudah dikeluarkan kan?”
“Iya Nona Clancy yang pelupa,” jawabku meyakinkan dia.
“Ohh, bagaimana dengan papan nama, hiasan, lampu, minuman, daftar menu?”
“Semuanya sudah beres. Kau tenang saja.”
“Oke....... emm, kotak permen nya ada dimana sekarang?”
“-__-“
Pukul setengah tiga sore. Kami sudah berada di luar rumah menanti pelanggan kami. Hiruk pikuk
orang berjalan kulihat disini. Mereka sibuk melihat lihat stan-stan, mobil van, dan kedai kedai kecil di
festival ini. Ada pula yang melihat lihat pameran lukisan dan patung kecil. Ada juga yang melihat
tarian tradisional Inggris dan mengabadikan dengan kameranya. “Hmm, mungkin dia turis asing,”
pikirku.
Dan inilah mini Cafe kami :
Clane’s Candy Shop
Sweeties :
Buble Caramel Candy
£ 1.30
Disco Lollipop (Chocolate, Strawberry, Melon)
£ 1.70
Shocking Jelly Soda
£ 2.40
Autumn’s mini Tree candy
£ 2.30
Clane’s Gummy Mints
£ 1.50
Dessert n Drinks :
Rainbow cake
£ 1. 50
Ginger Bread
£ 1.70
Fruit Trifle or Pudding
£ 2.60
Hot Chocolatte
£ 2.30
Autumn Mocca
£ 2.50
Clane’s chino
£ 2.50
Ice Tea
£ 1.80
Milkshake
£ 2.60
Daftar menu itu kami buat di papan tulis hitam mengunakan kapur warna warni.
Satu jam telah berlalu. Dua jam, tiga jam bahkan lebih. Sekarang sudah jam 7 malam. Para penjaja
makanan lain sudah bersiap siap membereskan kedai nya. Hari ini kami hanya mendapat 3 pelanggan
saja. “Mungkin karena ini baru hari pertama,” ujarku dalam hati optimis. Kulihat wajah Clancy.
Sepertinya dia juga berpikir demikian, walaupun ia tidak bisa menyembunyikan raut kecewa di
wajahnya.
Namun esoknya pelanggan kami masih sedikit juga. Begitu pula keesokan harinya. Apakah rasa
manisan kami kurang enak? Rasaku tidak. Atau mungkin kedai kami kurang menarik? Mungkin. Raut
kecewa semakin tampak jelas di wajah Clancy, tetapi dia berusaha menutupinya . Sungguh aku tidak
tega melihatnya. Ah, sepertinya aku harus mencari akal!
Jumat, 12 Oktober 2014
Sial! Pelanggan kami masih tetap sedikit. Aku berusaha untuk mencari akal untuk menarik minat
pelanggan. Sembari menunggu pelanggan, Clancy mendatangiku.
“Oline, sepertinya aku salah. Seharusnya aku tidak memaksamu untuk melakukan ini. Aku terlalu
berharap ini semua berhasil”
“Tidak, kita belum gagal. Masih ada 2 hari lagi kan? Tenang saja, semuanya akan berhasil nanti.”
“Kau serius?”
Sebenarnya tidak. Tapi hanya itu yang bisa kukatakan kepadanya.
Sampai satu ide terlintas di benakku.
“Clancy, apa kau punya microphone ?”
“Ada, tetapi untuk apa?”
“Tenang saja, lihat saja nanti. Ada dimana?”
“Di atas lemari pakaian di kamarku. Sepertinya sudah berdebu karena tidak pernah digunakan.”
Bergegas aku mengambil mik itu dan kembali ke cafe. Clancy tampak bingung denganku.
“Kau mau melakukan apa?”
“Aku ingin melakukan keajaiban” ujarku sambil tersenyum.
Kuhidupkan speaker music ku keras-keras. Kudekatkan mik yang sudah kubersihkan tadi ke mulutku.
Aku berdiri di pinggir jalan Swallow St. Perlahan kukeluarkan suaraku dan mulai menyanyikan sebuah
lagu
There’s always gonna be a thousand mountain
I always want to make it move
Always wanna be an uphill battle
Sometimes I gotta have to lose
Perlahan Clancy mengikuti nyanyianku dan berdiri di dekatku. Kami bernyanyi bersama
Ain’t about how fast I get there
Ain’t about what’s waiting on the other side
It’s the climb...
Suara riuh tepuk tangan mulai kedengaran. Aku langsung memeluk Clancy yang hampir menangis
terharu.Kemudian perlahan orang-orang berdatangan ke mini Cafe kami. Semakin malam semakin
banyak yang datang. Dan semuanya habis terjual.
....
Begitulah seterusnya. Sebelum atau sesudah berjualan kami menyempatkan diri untuk tampil
menyanyikan sebuah lagu. Dan akhirnya mini Cafe kami pun laku sekali. Aku akhirnya bisa membayar
uang sewa kamarku kepada Ny. Rampty. Dan Sekarang aku sudah tinggal di rumah Clancy.
Orangtuanya sudah menganggapku seperti anak mereka.
Festival Seni di Birmingham telah usai. Namun kami masih didatangi oleh pelanggan kami. Bukan
karena suara kami, tetapi rasa manisan yang benar-benar bisa mengubah mood yang dicari
pelanggan kami.
Sekarang aku sedang duduk di cafe kami sambil menghirup angin sore ditemani secangkir caramel
latte. Taburan persahabatan yang manis di atas karamel harapan menghangatku di musim gugur yang
dingin ini. Lalu lalang mobil bukan menjadi suara bising lagi di telingaku, melainkan sebagai musik
pelengkap yang beriringan menembus udara dingin di Swallow Street.
This year is gonna be the incredible experiences for me and my best buddy in Birmingham’s Art
Festival !
THE END