Miskonsepsi Matematika Siswa Sekolah Das

37
MISKONSEPSI SISWA DALAM MATA PELAJARAN
MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR
Oleh:

Desy Andini
NIM: 1102175
e-mail: dinidesy@rocketmail.com

PENDAHULUAN
Sejumlah masalah muncul dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar. Baik
itu siswa, orang tua, guru, dan masyrakat pun membenarkan hal tersebut.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu sekolah atau satu daerah saja, namun
terjadi juga di berbagai belahan dunia (dikutip dari PISA -Programme for
International Student Assessment- dalam Ryan dan Williams, 2007). Lebih spesifik
lagi dalam data PISA tahun 2012 tentang kemampuan Matematika siswa, rerata
Indonesia kurang dari standar minimal yang ditetapkan pada skala internasional.
Berbagai metode atau model atau strategi diadaptasi pada pembelajaran matematika
guna meningkatkan kualitas dan keterampilan peserta didik untuk menyelesaikan
masalah maatematis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Namun
penggunaannya harus merujuk pada inti permasalahan yang muncul dari siswa.

Miskonsepsi atau kesalahpahaman konsep dalam mentransfer informasi yang
diperoleh siswa ke dalam kerangka kerjanya, merupakan hal yang sering dijumpai
di sekolah dasar, mulai dari permasalahan di kelas rendah tentang bilangan bulat
dan operasi hitungnya, hingga permasalahan di kelas tinggi terkait materi statistika
dan peluang.
Miskonsepsi yang berkelanjutan jika tidak ditangani secara tepat dan diatasi
sedini mungkin, akan menimbulkan masalah pada pembelajaran selanjutnya.
Sedangkan belajar matematika perlu sebagai bekal siswa di masa yang akan datang,
sehingga pembelajaran matematika tidak hanya tentang bagaimana siswa terampil
melakukan operasi hitung, namun lebih dari itu, penanaman konsep pun perlu agar
siswa memahami makna dari apa yang ia pelajari. Sayangnya, miskonsepsi ini
sering dipandang sebagai ketidakmampuan kognitif siswa untuk menyerap materi

yang ia pelajari. Adapun anggapan lain yaitu kesalahan jawaban siswa karena
masalah prosedural pengerjaan soal tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis mengidentifikasi beberapa
permasalahan, yaitu : (1) Apa pengertian miskonsepsi?; (2) Bagaimana bentuk-

bentuk miskonsepsi di sekolah dasar?; (3) Bagaimana respon guru terhadap
miskonsepsi siswa?; dan (4) Bagaimana tekhnik menghilangkan miskonsepsi?

DEFINISI MISKONSEPSI
Siswa berpikir mengenai apa yang ia lakukan dalam berbagai hal. Misalnya rumus,
keterkaitan antar konsep, rasa jenuh dan kesenangan yang merupakan bagian dari
sikap dan pemahaman mereka tentang matematika. Satu masalah pokok yang
sangat serius mengenai sulitnya belajar matematika yaitu miskonsepsi siswa yang
telah diperoleh dari pengalaman siswa sebelumnya mungkin masih tidak cukup,
atau siswa tidak mengingatnya dengan baik. Hal ini dapat difenisikan sebagai
miskonsepsi. Dikutip dari Oxford Learner‟s Pocket Dictionary edisi keempat:
“Misconception (about) belief or idea that is not based on correct information.”
Miskonsepsi mencakup pemahaman atau pemikiran yang tidak berlandaskan pada
informasi yang tepat. Keabsahan suatu informasi merujuk pada sumber yang tepat
serta disertai bukti-bukti yang otentik. Mengubah kerangka kerja siswa merupakan
kunci tercapainya tujuan untuk memperbaiki miskonsepsi matematika.
Pines (dalam Allen, 2007) menyatakan bahwa “hubungan antar-konsep yang
diperoleh, bisa jadi tidak tepat dengan beberapa konteks. Ini yang disebut sebagai
miskonsepsi. Sebuah miskonsepsi tidak muncul dengan bebas, tetapi merupakan
kesatuan dari kerangka kerja yang telah ada. Miskonsepsi dapat diganti atau
dihilangkan dengan mengubah kerangka kerja.” Pemahaman konsep baru yang
diperoleh, bisa jadi mendukung, kurang tepat atau bahkan bertentangan dengan
pehamanan konsep sebelumnya. Hal ini didukung oleh pendapat Gooding dan

Metz (2011): “Ketika informasi datang mencapai lapisan luar celebral untuk
dianalisis, otak akan mencoba untuk mencocokkan berbagai komponen dengan
melihat kembali memori yang sudah ia ingat sebelumnya dengan ciri yang sama.”
BENTUK-BENTUK MISKONSEPSI DI SEKOLAH DASAR
Gagasan miskonsepsi didasarkan pada hipotesis logika yang bertentangan: "logika
obyektif" merupakan konsep, dan bahwa "psiko-logika" itu adalah miskonsepsi.
Konstruktivis memandang bahwa psiko-logika memiliki fungsi yang signifikan
dalam pengembangan konseptual. Siswa tidak "lupa" miskonsepsi mereka ketika
mereka disajikan dengan konsep formal. Mereka pertama memahami matematika
dari kesalahpahaman perspektif, yang diperbaiki dan digeneralisasi ulang pada
pengetahuan mereka secara bertahap. Dengan demikian, konstruktivis menganggap
miskonsepsi sebagai suatu bagian dan merujuk pada hal yang berkaitan dengan

37 - 2

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

perkembangan seperti "prakonsepsi," "kerangka alternatif primitif," atau "Ide-ide
intuitif naif." Konstruktivis mungkin menganggap bahwa kesalahan ide-ide pada
miskonsepsi siswa semakin berkembang karena instruksi ambigu yang tidak diubah

dalam pembelajaran berikutnya. Sebagai contoh, perhatikan kasus anak kelas 3
Kevin, yang berpikir bahwa sudut kanan selalu terdiri dari garis horisontal dan garis
vertikal. Ketika Kevin belajar tentang sudut kanan, gurunya selalu membuat bentuk
di papan sebagai sudut antara garis horisontal dan vertikal baris. Teman sekelasnya,
Jamahl, tidak setuju. Dia berpikir bahwa hanya setengah dari gambar Kevin tentang
sudut kanan itu benar, dan setengah lainnya dari garis vertikal dan garis horisontal
itu merupakan "sudut kiri."
1. Prakonsepsi
Konseptualisasi adalah proses pembelajaran yang mengasimilasi pengalaman baru
ke dalam struktur yang memperluas skemata kognitif dan skemata konseptual.
Kerelatifan dalam pemahaman konseptual ini dapat dilihat dari tingkat fleksibilitas
dan dekontekstualisasi. Selama proses pembelajaran, prakonsepsi mewakili baik
overgeneralization maupun undergeneralization dari konsep matematika. Contoh
dari kedua jenis prakonsepsi yaitu dalam cakupan materi aritmatika, aljabar,
geometri, dan peluang dan statistik yang tercantum dalam Tabel 3.1.
Dalam tabel tersebut merupakan contoh-contoh dari prakonsepsi yang biasa
terjadi di kelas. Meskipun secara umum prakonsepsi siswa tersebut pada akhirnya
diganti dengan konsep-konsep matematika yang tepat, instruksi yang timbal balik
dan berpengetahuan luas melalui proses pembelajaran yang dapat
mempercepatnya.

Tabel 1. Prakonsepsi Arithmetic, Aljabar, Geometri, dan Peluang dan Statistik
Topik Pembelajaran
Matematika
Geometri
(Pengukuran / pengertian
bilangan)

Prakonsepsi
Konsep bilangan dibatasi untuk
bilangan asli. Berilah penggaris, siswa
akan menganggap titik awal untuk
pengukuran panjang dimulai dari satu,
bukan dari nol pada alat ukur.

Geometri

Orientasi relevan dengan definisi
bentuk geometris.

Geometri


Sudut-sudut dipengaruhi oleh orientasi
garis dalam ruang dan dengan panjang
garis yang mengapitnya.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 3

Aritmatika (bilangan bulat)

Siswa sekolah dasar beranggapan
bahwa tidak ada bilangan yang lebih
kecil dari nol.

Aritmatika (pecahan)

Perkalian adalah selalu penambahan
berulang.


Aritmatika (pecahan)

Pecahan selalu mewakili hubungan
bagian-keseluruhan.

Pra-aljabar

Tanda sama dengan (=) merupakan
perintah untuk melaksanakan
serangkaian operasi aritmatika, bukan
sebagai tanda untuk hubungan
"kesetaraan."

Pra-aljabar

Sejumlah besar siswa mengabaikan
huruf-huruf, menggantinya dengan
nilai-nilai numerik yang spesifik, atau
menganggap mereka sebagai nama atau
label pengukuran.


(Huruf mewakili jumlah yang
tidak ditentukan)
Aljabar (struktur)

2.

Jawaban tidak dapat menyertakan
tanda-tanda operasi hitung. Siswa tidak
mengerti bagaimana -dalam aljabar- dua
persepsi yang berbeda bisa sama.

Undergeneralization

Undergeneralization dinyatakan dalam pemahaman yang terbatas dan kemampuan
terbatas untuk menerapkan konsep-konsep. Pemahaman yang terbatas ini,
menjelaskan berbagai keadaan mengenai pengetahuan siswa pada saat seluruh ideide matematika berkembang. Beberapa ujian/tes dapat menggambarkan bagaimana
pemahaman yang terbatas tersebut merusak konsepsi kunci-kunci gagasan
matematika.
Kasus pada bilangan rasional mungkin salah satu hal yang paling bermasalah

untuk siswa sekolah menengah. Banyak studi penelitian menunjukkan bahwa siswa
sekolah menengah memahami bilangan rasional hanya sebagai hubungan bagiankeseluruhan. Bahkan, penafsiran pecahan sebagai hubungan bagian-keseluruhan
hanya merupakan subconcept atau salah satu cara memahami bilangan rasional.

37 - 4

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

Subkonsep bilangan rasional lainnya termasuk pecahan yang menampilkan rasio,
perbandingan, pengukuran, dan pengerjaan/operasi hitung. Sebagai contoh,
seorang siswa dengan pemahaman terbatas mengenai bilangan rasional mungkin
tidak beranggapan 6:7 sama dengan 6/7 karena bentuk yang dikembangkan dalam
konteks belajar tentang rasio sedangkan pembelajaran yang terakhir ia pahami yaitu
tentang konteks pembagian (operasi hitung). Seorang siswa mungkin tidak
memahami 3/4 sebagai hubungan keseluruhan-keseluruhan atau sebagian-sebagian,
karena siswa memahami rasio hanya sebagai hubungan bagian-keseluruhan.
Konseptualisasi bilangan rasional mencakup baik mengenai diferensiasi
maupun integrasi subkonsep. Sebelum konsep bilangan rasional berkembang
dengan matang, siswa hanya memahami secara terbatas. Maka instruksi pada sistem
bilangan harus mampu menjawab permasalah dari undergeneralization karena ada

anggapan jika ciri-ciri tertentu dalam sistem bilangan menghambat pemahaman
umum (Gelman dalam Ben-Hur: 2006).
Pada bidang lain pula ditemukan kesulitan besar pada siswa yang tidak
memahami struktur matematika formal ketika siswa belajar aritmatika yang
melibatkan transisi dari aritmatika ke pemikiran aljabar. Intuisi kuantitatif yang
membantu siswa memahami aritmatika ini menjadi sia-sia karena mereka
mengalihkan pemahaman dari aritmatika ke aljabar. Siswa tidak dapat melakukan
operasi hitung pada bilangan yang tidak diketahui/dirahasiakan, siswa tidak dapat
mengenali bagian-bagian tertentu dalam bentuk umum dan tidak dapat
menerapkan bentuk umum untuk kasus tertentu. Sebagai contoh, siswa tersebut
tidak dapat memahami persamaan seperti "2x + 3 = 8 - x" karena "2x + 3" tidak
membentuk "8 - x." Mereka tidak memahami hal tersebut sebagai bentuk persamaan.
Sama seperti (a - b) (a + b) dan (a + b) (a - b), ab dan ba, atau a (b + c) dan ab + ac
karena mereka tidak bisa "memeriksa untuk mengetahui apakah itu benar."
Pemahaman konsep-konsep matematika merupakan tantangan utama, sedangkan
memperkuat pemahaman atau membuat siswa memahami bahasa formal atau
bentuk aljabar, adalah hal lain.
3.

Overgeneralization


Kesalahan interpretasi menyebabkan pemahaman yang keliru namun berbeda-beda
cara, seperti pada kasus overgeneralization dan penerapan konsep yang kurang
dipahami dan aturan yang mereka anggap tidak relevan. Guru sekolah menengah
sangat jelas melihat masalah ini bahwa siswa menghadapi perluasan sistem
bilangan, mulai dari bilangan asli menjadi bilangan bulat, dan dari bilangan bulat ke
bilangan rasional, kebingungan operasi dengan angka dan notasi ilmiah, dan transisi
dari aritmatika ke aljabar. Siswa dengan tipe overgeneralize menganggap bahwa
"Anda tidak bisa memiliki lebih sedikit daripada tidak sama sekali" hingga mereka
memahami bilangan bulat dan pemahaman yang sebelumnya tidak berlaku lagi.
Siswa secara khusus memahami secara berlebihan bahwa hasil operasi hitung selalu
lebih besar dari faktornya.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 5

Overgeneralization muncul ketika siswa mengerjakan operasi pengurangan
bilangan yang memiliki dua digit dengan cara mengurangi bilangan yang lebih kecil
dari bilangan yang lebih besar (contoh: 32 – 17 = 25). Bisa jadi karena siswa berpikir
melakukan pengurangan dua digit tanpa membawa atau menggabungkan pada
langkah awal, mereka mengembangkan metode tentang penyelesaian soal tersebut
tetapi mereka tidak memahami seluruh permasalahan pada operasi pengurangan
bilangan dua digit. Contoh overgeneralization yang lainnya yaitu pemahaman siswa
bahwa perkalian selalu memunculkan hasil yang lebih besar (atau pembagian selalu
memunculkan hasil yang lebih kecil), misalnya 0,52 pasti lebih besar dari 0,5 dan
sebagainya. Adapun pada level sederhana, siswa mengabaikan lambang yang
mengindikasi bahwa bilangan tersebut merupakan bilangan desimal, pecahan,
persen, atau bilangan negatif. Dengan demikian, 30% dianggap sebagai 30, bilangan
bulat -5 dibaca sebagai 5, atau menghilangkan simbol koma (,) seperti contoh: 1,2 +3
= 1,5. Hal yang serupa terjadi pada operasi hitung 5 – 9 = 4 dan 1 ÷ 7 = 7 yang
merupakan jenis kesalahan pembatasan perspektif bilangan bulat.
4.

Modelling Error (Kesalahan Pemodelan)

Terkadang siswa menemukan permasalahan dalam konteks tugas yang sulit
dipahami yang dinyatakan dengan cara lain daripada apa yang diharapkan, oleh
guru matematika. Ketika guru mennggunakan tehnik pemodelan sebagai cara untuk
menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari, hal ini mewakili
penggunaan matematika yang kontekstual. Ada pendapat yang menyatakan
mungkin ketika siswa mengalami kesalahan pemodelan, siswa tersebut memiliki
pemodelan versi dirinya sendiri pada situasi tersebut, pada permasalahan dengan
pemodelan matematika, kecuali dalam konteks pembelajaran di sekolah. Transisi
dari bentuk informal dan kontekstual menjadi bahasa matematis yang formal
merupakan hal yang sulit namun sangatlah penting. Pendapat pegagogik
menyatakan masalah ini muncul ketika siswa menerima pengetahuan informal dan
ketika dikenalkan dengan bahasa matematis formal. Contoh pada kehidupan seharihari yaitu saat mendengarkan komentator olahraga mengucapkan „0,32‟ detik ketika
mengumumkan hasil finish dalam acara olahraga. Bahasa informal yang digunakan
mungkin memaknai „0,32‟ sebagai 32 dalam ratusan. Namun hal ini lebih parah lagi
ketika siswa berhadapan dengan desimal yang panjangnya berbeda, misal „0,5‟ dan
„0,32‟, siswa akan mengalami miskonsepsi bahwa 0,5 pasti lebih kecil dari 0,32.
Umumnya, konteks kehidupan sehari-hari sangat perlu disajikan untuk
dijadikan sumber pembentukan mental matematis. Dalam mengajarkan pecahan,
guru menggunakan contoh dengan cara membagi kue menjadi beberapa bagian
karena kita tahu bahwa siswa telah memiliki pengetahuan cara membagi kue
sehingga kita dapat memanfaatkan hal tersebut untuk pembelajaran di kelas. Siswa
telah mengetahui bagaimana kue tersebut harus dipotong untuk dibagikan pada
dua orang, empat orang, atau lebih. Kemudian, ketika siswa menganggap bahwa
salah satu gambar yang disajikan pada gambar 2 menunjukkan bagian ¼, kita dapat

37 - 6

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

mengungkapkan kembali bagaimana cara pembagian kue dan menanyakan apakah
hasil potongan ke dua kue ini sama atau tidak

Gambar 1
5.

Prototyping Error (Kesalahan Contoh Baku)

Ketika siswa mempelajari suatu hal, siswa cenderung tidak mempelajarinya tidak
secara matematis. Hal ini tampak dari perkembangan pengerjaan dari konsep yang
lebih bersifat baku. Dengan menggunakan contoh baku untuk sebuah konsep yang
kita anggap sebagai tipe contoh satu-satunya. Dari sebuah eksperimen, siswa
mengikuti segala hal yang dipaparkan atau dikemukakan oleh guru. Mintalah siswa
anda membayangkan sebuah segi empat. Tanynakan seperti apa bentunya? Apakah
segi empat itu diletakkan mendatar dengan sisi panjang yang sejajar horizontal?
Apakah tingginya setengah dari sisi panjang atau justru tingginya tiga kali lebih
panjang dari sisi panjangnya? Pada kelas tinggi, ditemukan bahwa hanya satu atau
dua dari Gambar 3 yang dianggap sebagai persegi. Berpikir secara baku ini tidak
mencakup bujur sangkar sebagai contoh dari persegi.

Gambar 2
Siswa menganggap bahwa persegi atau bujur sangkar selalu dalam posisi
mendatar sejajar dengan horizontal, dan pada level yang lebih tinggi mereka
menolak untuk mengakui bahwa bujur sangkar adalah persegi panjang, atau persegi
panjang juga merupakan jajargenjang.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 7

Kesalahan lazim lainnya yaitu dalam membaca skala (lihat gambar 4), siswa
membacanya 2,2 bukan 2,4. Umumnya siswa akan menganggap satu skala sebagai 1,
sehingga sangat jarang siswa yang menganggap satu skala mewakili 2 atau 4 satuan.
Oleh karena itu siswa cenderung menyalahartikan. Pada kasus seperti ini, siswa
harus mencoba mengukur dengan skala berbeda, sehingga mereka mengetahui
kesalahan mereka dan menghitung ulang dengan cara mencoba dan mengubah
basisnya.

Gambar 3
Kesalahan contoh baku juga ditemukan dalam konsep bangun datar dan
bangun ruang pada permasalahan pencerminan atau transformasi, yang terjadi
ketika siswa menggunakan contoh baku pencerminan (atau titik pusat pada sumbu
putar). Pada contoh baku biasanya menggunakan cermin sejajar sumbu vertikal atau
horizontal, dan jika disajikan cermin dalam posisi diagonal maka bayangan dalam
cermin bukan merupakan hasil pencerminannya.

Gambar 5

37 - 8

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

6.

Process Object Error (Kesalahan mengolah objek)

Masalah siswa yang paling awal dijumpai ketika mengenal bilangan, yaitu saat
siswa menjawab pertanyaan misalnya „ada berapa banyak kancing?‟ yang diajukan
oleh guru, jawabannya yaitu bilangan terakhir yang diucapkan saat siswa
membilang banyaknya kancing yang disediakan oleh guru, seperti 1, 2, 3, 4,….8.
Ketika ditanya kembali „ada berapa banyak kancing?‟ siswa mungkin berpikir untuk
menjumlahkan kancing yang disediakan oleh guru. Dengan demikian, kata kunci
„ada berapa banyak…..‟ merupakan petunjuk untuk menjumlahkan. Namun proses
menjumlahkan ini belum disadari sebagai bentuk objek yang terdiri dari 8 kancing.
Kebanyakan hasilnya diperoleh dengan cara membilang sejumlah kancing tersebut.
Belajar matematika melibatkan banyak pengolahan antar objek dan kesalahan
pada pembelajaran seringkali dianggap sebagai kesalahan siswa saat menyelesaikan
pengolahan objek „pemisalan‟. Siswa menganggap bahwa 548 menupakan jawaban
dari penjumlahan μ – 1452 = 2000. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa
terhadap soal tidak memadai, terutama pada simbol sama dengan (=). Siswa
pertama-tama memahami tanda sama dengan, sebagai instruksi untuk
menghasilkan bilangan melalui proses aritmatik, contoh: 3 + 5 = ? Proses yang
terjadi saat siswa melihat tanda sama dengan, yaitu memproses 3 ditambahkan
dengan 5 menghasilkan 8. Lambang sama dengan seharusnya dimaknai sebagai
„setara dengan‟ atau „adalah sama dengan‟. Sehingga 8 setara dengan 3 ditambah 5.
Pada konteks pengukuran panjang, siswa mungkin kesulitan mengidentifikasi
hubungan antara label bilangan dengan cara mengukur yang digunakan. Dengan
demikian, label 5 pada penggaris menunjukkan adanya 5 unit panjang (misal,
sentimeter) yang diukur mencapai label 5, jika diukur dari label nol pada penggaris.
Jelaskan pada siswa bahwa 5 unit tersebut adalah interval diantara angka-angka
pada penggaris yang sebenarnya terdapat enam angka yaitu: 0, 1, 2, 3, 4, 5.
Penjelasan tentang hubungan interval ini mungkin dapat menjelaskan banyaknya
kesalahan dalam operasi hitung meskipun masih menggunakan proses penjumlahan
pada garis bilangan. Siswa mungkin menjawab 18 – 14 = 15 dengan cara
menghitung mundur angka 18, 17, 16, 15, atau menghitung pada garis bilangan
tanpa melihat interval diantara bilangan tersebut.
RESPON GURU TERHADAP MISKONSEPSI SISWA
Pemahaman tentang miskonsepsi siswa dan strategi efektif untuk membantu
menghilangkan miskonsepsi tersebut, merupakan aspek penting dalam kemampuan
pedagogikal konten matematika (Mathematic‟s Pedagogical Content Knowledge).
Dalam penjumlahan, guru telah berusaha menggunakan serangkaian cara untuk
menghilangkan miskonsepsi, guru juga harus melakukan pendekatan untuk
menghadapi miskonsepsi yang tidak bisa diacuhkan tersebut. Segera setelah
miskonsepsi terdeteksi, guru harus menentukan strategi apa yang bisa mereka
gunakan. Jika mengajarkan ulang maka ketegasan harus dibuat mengenai apa yang

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 9

harus ditekankan/dicirii dan bagaimana cara mengingatnya. Dalam mengalamatkan
miskonsepsi siswa, pendekatan yang digunakan guru mungkin berpusat pada aspek
prosedural atau aspek konseptual. Hiebert dan Lefevre (dalam Cockburn, 2008)
membedakan pengetahuan konseptual yang dijabarkan sebagai cara menumbuhkan
relasi yang baik, sedangkan pengetahuan prosedural memfokuskan pada gambaran
simbolis dan algoritmis. Kurikulum memperhatikan kedua aspek tersebut, salah
satu tantangan pembelajaran yaitu kedua aspek tersebut harus dicapai,
permasalahan ini memburuk apabila guru kurang fasih dalam memahami konsep
tema yang dibahas. (Chick, 2003).
Menyelidiki kemampuan pedagogis guru dan cara yang digunakan oleh guru
merupakan pembuktian yang menantang, karena kemampuan pedagogis muncul
ketika menghadapi kelas yang dikelolanya. Kondisi kelas berubah dari waktu ke
waktu dan berbeda dari satu masalah ke masalah lain sehingga banyak sekali cara
untuk mengobservasi dua orang guru pada kelasnya masing-masing pada saat
menggunakan kemampuan pedagogik yang muncul dan membandingkan
keduanya bukanlah hal yang mudah. Untuk pembelajaran berskala besar,
diperlukan sumber rujukan karena mempengaruhi luas cakupan pengujian
kemampuan pedagogik.
Penelitian respon guru terhadap miskonsepsi siswa pernah dilakukan oleh
Chick dan Baker pada sembilan orang guru australia. Saat itu partisipan merupakan
pengajar di kelas 5 dan 6 (siswa usia 10-12 tahun). Partisipan telah berpengalaman
mengajar antara 2 hingga 22 tahun, tetapi tidak semua pengalaman mengajar itu
hanya pada kelas 5 atau 6 saja. Penelitian kemampuan pedagogik ini dilakukan
dengan cara melengkapi kuesioner dan wawancara mengenai jawaban yang tertulis
dalam kuesioner. Kuesioner tersebut berisi beberapa butir pertanyaan yang
berkaitan dengan situasi pembelajaran matematika dan cara pandang guru,
partisipan menjawab tanpa batasan waktu dan sumber jawaban. Peneliti
mewawancarai partisipan untuk memperjelas jawaban ambigu atau kesalahan
penulisan. Partisipan menjawab empat butir dari keseluruhan kuesioner. Empat
butir pertanyaan didesain untuk mengeksplorasi bagaimana respon guru pada
miskonsepsi siswa, dengan fokus pada pengurangan algoritma, pembagian pecahan,
penjumlahan pecahan, dan keterkaitan antara luas dan keliling.
Strategi yang digunakan guru dalam merespon miskonsepsi siswa
ditunjukkan pada Tabel 2 kategori disunting berdasarkan identifikasi tema dari
data.
Tabel 2. Kategori strategi gutu dalam merespon miskonsepsi siswa
Kategori

Definisi

Menjelaskan ulang

Menjelaskan atau menjelaskan ulang bagian
dari tiap konsep ataupun prosedur.

37 - 10

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

Konflik Kognitif

Mengatur
situasi
pembelajaran
yang
memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi
pertentangan asas matematika antara jawaban
asli dengan jawaban siswa, dengan demikian
siswa dapat mengevaluasi ulang kesalahannya
sesuai dengan yang diharapkan guru.

Permasalahan pemahaman
siswa

Mintalah siswa menjelaskan cara pengerjaan
atau cara berpikir siswa saat mengerjakan
soal, hal ini dilakukan untuk menemukan apa
yang siswa pahami sehingga guru dapat
menentukan apa yang harus dilakukan
kedepannya serta mengetahui kesalahan
siswa. (Jika data yang diperoleh tidak
ditindaklanjuti oleh guru, maka tidak ada
bedanya).

Lain-lain

Jika strategi dari kategori sebelumnya belum
jelas, gunakanlah contoh paling mudah

Ketika guru memberikan penjelasan atau bagaimana cara mengatasi masalah
siswa dengan tepat, penjelasannya lebih pada kategori konseptual atau prosedural
atau keduanya. Untuk justifikasi bahwa masalah siswa merupakan respon
konseptual, maka harus menggunakan referensi tepat untuk menanamkan prinsip
matematika, atau bagi yang bertentangan kerap kali memberikan teknik prosedural
tanpa justifikasi yang tepat. Pada akhirnya, respon partisipan diuji lebih lanjut
untuk memperjelas identifikasi aspek keterampilan pedagogik dalam penjelasan
mereka.
Tabel 3 menunjukkan strategi yang digunakan guru dalam merespon
miskonsepsi siswa. Menjelaskan ulang merupakan strategi yang paling lazim,
meskipun lebih sedikit digunakan untuk menjelaskan luas dan keliling bangun
datar.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 11

Tabel 3. Banyaknya guru yang menggunakan strategi khusus dalam merespon
miskonsepsi. Guru boleh menggunakan lebih dari satu pendekatan.

Katerangan:
*Angka dalam tanda kurung menunjukkan adanya respon tambahan saat
wawancara yang berbeda dengan jawaban yang tertera pada kuesioner.
*Salah satu guru meyakini adanya miskonsepsi, sehingga tidak menyarankan
strategi apapun.
Tabel 4 menunjukkan penjelasan yang digunakan guru dalam merespon
miskonsepsi siswa, apakah termasuk kategori prosedural atau konseptual. Tipe
respon tampak tergantung pada materi. Guru lebih senang menggunakan
penjelasan prosedural untuk materi pengurangan dan pembagian. Sangat kontras
dengan materi penjumlahan pecahan serta luas dan keliling bangun datar, yang
menggunakan penjelasan secara konseptual. Banyak pula yang menggabungkan
aspek konseptual dan prosedural, seperti pada materi penjumlahan, yang mana
penanaman konsep diperlukan untuk memperkuat keterampilan prosedural.
Tabel 4. Banyaknya guru yang menggunakan penjelasan prosedural atau
konseptual dalam merespon miskonsepsi siswa.

37 - 12

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

TEKHNIK MENGHILANGKAN MISKONSEPSI
Seperti yang sudah disebutkan, miskonsepsi harus dibangun kembali, dan guru
harus membantu siswa merekonstruksi dengan konsep yang tepat. Lochead &
Mestre 1988 dalam Allen, menyatakan tekhniknya yaitu:
1.

Selidiki dan tentukan pemahaman dari segi kualitatif

Kualitas pemahaman siswa terhadap materi harus diketahui sehingga guru dapat
memperbaiki miskonsepsi tersebut menggunakan metode dan strategi yang efektif.
2.

Selidiki dan tentukan pemahaman dari segi kuantitatif

Banyaknya jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi pun harus diketahui. Karena
bisa jadi penggunaan metode yang kurang tepat pada pembelajaran sebelumnya
menyebabkan banyak bermunculan miskonsepsi di kelas
3.

Selidiki dan temukan alasan yang konseptual

Berikan pemahaman yang bertahap dari tiap konsep. Diawali dari hal yang
kongkrit, ikonik dan simbolik (Menurut Ausubel) sesuai tahap berpikir siswa.
Ketiga hal tersebut sangat menunjang ketika guru menghadapkan siswa dengan
menyajikan contoh yang berlawanan dengan miskonsepsinya. Dari contoh yang
berlawanan tersebut akan muncul penemuan sendiri yang bersifat lebih kuat.
Miskonsepsi itu akan tergantikan ketika terjadi perubahan konsepsi siswa. Berbagai
metode atau model atau strategi atau pendekatan dapat dikembangkan oleh guru
sesuai dengan kondisi kelas.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dapat kita ketahui bahwa miskonsepsi merupakan kesalahan konsep yang tidak
berlandaskan pada informasi yang tepat. Miskonsepsi dapat terjadi karena
hubungan antar-konsep yang tidak saling berkaitan. Adapun miskonsepsi ini erat
hubungannya dengan „prakonsepsi‟, „kerangka alternatif primitif,‟ atau „Ide-ide
intuitif naif‟. Bentuk-bentuk miskonsepsi yaitu prakonsepsi, undergeneralization,
overgeneralization, modelling error, prototyping error, dan process-object error.
Sebagian partisipan (guru) dalam penelitian Chick dab Baker (2007), berupaya
mengajarkan ulang siswa agar lepas dari miskonsepsi dengan cara penanaman
konseptual, sebagian lain memfokuskan pada melatih kemampuan prosedural
operasi bilangan, dan sebagian lagi mengajarkan baik dari aspek konseptual
maupun prosedural. Adapun tekhnik yang yang harus dilakukan yaitu guru harus
menyelidiki dan tentukan pemahaman dari segi kualitatif dan kuantitatif, serta
menemukan alasan yang konseptual terkait perkembangan kognitif siswa dan
materi yang diajarkan.

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual

37 - 13

REKOMENDASI
Kemampuan memahami tiap konsep dalam matematika tidak bisa diabaikan begitu
saja karena jika terjadi miskonsepsi akan menghambat proses kognitif siswa, yang
mungkin kemampuan tersebut menjadi prasyarat untuk memahami pembelajaran
atau permasalahan selanjutnya. Guru harus merespon dengan baik hambatan siswa
saat pembelajaran sehingga miskonsepsi dapat dihindari atau dihilangkan.
Pendekatan konsetual dan prosedural dapat digunakan sebagai acuan pembelajaran
atau remidiasi miskonsepsi.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G. D. (2007). Student Thinking. Department of Mathematics. Texas: A&M
University Jauhar, Mohammad. (2011). Implementasi PAIKEM. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya.
Ben-Hur, M. (2006). Concept-Rich Mathematics Instruction. Alexandra: Association
for Supervision and Curriculum Development.
Chick, H. L. dan Baker, M. K. (2005). Investigating Teacher‟s Responses To Student
Misconceptions. University of Melbourne.Mudjiono. (2006). Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Cockburn, A. D. dan Littler G. (2008). Mathematical Misconceptions; A Guide for
Primari Teacher. London: Replika Press.
Gooding, J. dan Metz, B. (2011). The Teacher‟s Science Journal. From Misconception
to Conceptual Change, hlmn 34-37.
Yuan-Chen, L., Hong-Yan, L., dan Wei-Kai, W. (2002). Mathematic Guide-Leraning
System to the Misconception of Elementary Student. Proceedings of
International Conference on Computers in Education.
Ryan, J. dan Williams, J. (2007). Children‟s Mathematics 4-15; Learning From Errors
and Mosconceptions. UK: Open University Press.

37 - 14

Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kontekstual