Fungsi Dan Struktur Tari Anak Yang Diiringi Musik Sikambang Dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah Di Kecamatan Sibolga Kota

(1)

FUNGSI DAN STRUKTUR TARI ANAK YANG DIIRINGI MUSIK

SIKAMBANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN

MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA TAPANULI TENGAH DI

KECAMATAN SIBOLGA KOTA

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA: EVI NENTA SIPAHUTAR NIM: 060707009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepata Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kekuatanm kemampuan, dan berkat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul FUNGSI DAN STRUKTUR TARI ANAK YANG DIIRINGI MUSIK SIKAMBANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT

PESISIR SIBOLGA TAPANULI TENGAH DI KECAMATAN SIBOLGA KOTA, yang

diajukan sebagai salah satu syarat unutk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis secara khusus mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yaitu ayahanda Todo M. Sipahutar, S.Sos., dan ibunda Asima Uli Basa Hutabarat, abangku Marthin Sipahutar dan Adikku Siska Sipahutar, A.md, Ibu Sahara Silaban S.Pd., serta keluarga yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materil, serta motivasi yang tidak habis-habisnya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Dekan Fakultas Ilmu Budaya Dr. Syahron Lubis, M.A, bapak Drs. Muhammad Takari, M. Hum., Ph.D. selaku ketua Departemen Etnomusikologi. Begitu juga kepada bapak Drs. Fadlin M.A sebagai dosen pembimbing I dan ibu Arifni Netrirosa S.ST., M.A, sebagai dosen pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, kepada ibu Heristina Dewi, M.Pd selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi dan Kak Adri yang telah banyak membantu dalam proses birokrasi serta dosen-dosen lainnya yang menjadi staf pengajar di Departemen Etnomusikologi yang juga telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan mata kuliah selama perkuliahan.


(5)

Penulis juga berterimakasih kepada para informan Bapak Rajoki Nainggolan, Bapak Faruddin Sinaga dan informan lainnya yang telah bersedia dengan kemurahan hati membantu penulis dalam mengumpulkan data selama melakukan penelitian. Kepada teman-temanku ETNOLSIX terimakasih atas dorongan semangatnya selama ini serta penulis berterimakasih kepada bang franseda dan bang david atas bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, serta kepada semua teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dan yang terakhir penulis berterimakasih kepada yang terkasih Johannes Derral Sihombing yang tidak pernah bosan memberikan semangat, mendengarkan keluhan dan masalah penulis, serta telah memberikan waktunya dari awal penulisan hingga skripsi ini selesai.

Penulis telah berusaha memberikan yang terbaik untuk menyelsaikan tulisan ini, akan tetapi karena kelemahan dan keterbatasan dari penulis sehingga penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dalam penyempurnaan tulisan ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan meminta maaf kepada pembaca apabila terdapat kesalahan dalam tulisan yang diluar kesengajaan penulis.

Medan, Agustus 2012 Penulis


(6)

ABSTARKSI

Perkawinan pada masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah memiliki tata cara dan aturan pelaksanaannya. Dimulai dari Risik-risik (memastikan seorang calon), Sirih Tanyo (bertanya kesediann calon), Maminang (menanyakan uang mahar), Manganta kepeng (mengantar uang mahar yang telah disepakati), Mato Karajo ( akad nikah), Adat Malam Sikambang, Manjalang-jalang (mohon doa restu orangtua laki-laki). Selain itu ada upacara adat yang dilaksanakan pada malam hari sebelum perkawinan, acara adat ini disebut “Malam Bainai” atau “ber-inai” yang dipakai pada kaki dan tangan pengantin, adat ini lakukan dirumah pengantin masing-masing.

Pada mulanya memasang inai tidak saja upaya menampilkan kecantikan pada bagian dari anggota tangan pengantin, namun juga menurut kepercayaan zaman dahulu, kegiatan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin ini juga mengandung arti magis. Ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan untuk melindungi pengantin dari kemungkinan ada manusia yang iri dengan calon pengantin. Kuku-kuku yang telah diberi pewarna merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya.

Pelaksanaan upacara adat perkawinan ini tidak terlepas dari iringan musik dan tari yang disebut Kesenian Musik Sikambang. Sikambang berasal dari dua kata yaitu “Si” dan “Kambang”. Secara umum masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah mengartikan Sikambang sebagai salah satu jenis kesenian pada masyarakat Pesisir, dimana kesenian tersebut bercorakkan petuah, berirama lagu, dan berwujud tari. Jenis alat musik yang dipakai untuk mengiringi Nyanyian dan Tarian dalam Kesenian Sikambang adalah Gandang


(7)

tempo pada musik, dan Akordion. Berbagai macam tarian yang diiringi dengan Kesenian Sikambang yaituTari Adok, Tari Saputangan yang diiringi Lagu Kapri, Tari Payung, Tari Perak-Perak, Tari Sampaya, Tari Anak yang diiringi Lagu Sikambang dan lain sebagainya. Namun yang menjadi focus dalam skripsi ini adalah Tari Anak yang terkait dalam konteks Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli tengah tepat nya di Kecamatan Sibolga Kota.

Tari Anak ini dibawakan oleh sepasang penari laki-laki dan perempuan dewasa. Awalnya tari ini menjadi tarian yang selalu dipakai dalam setiap Upacara Adat Perkawianan masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Namun seiring dengan berkembangnya zaman kedudukan tarian ini pun perlahan bergerser. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, yang mana penggunaannya sekarang ini memakan biaya yang cukup mahal. Namun demikian, masih ada sebagian masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah yang menggunakan tarian ini dalam upacara adat perkawinan. Dalam konteks perkawinan Tari Anak ini diiringi dengan iringan musik dan lagu Sikambang. Teks Lagu Sikambang ini berisikan tentang nasihat-nasihat, doa, dan uangkapan rasa bahagia/sukacita dari orang tua kepada kedua mempelai, dan semuanya diwujudkan dalam bentuk sebuah tarian.

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah sejauh apa fungsi Tari Anak dalam kebudayaan, terutama pada Upacara Adat Perkawianan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, serta melihat bagaimana bentuk struktur dari Tari Anak tersebut dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Untuk mengkaji permasalahan diatas maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan kerja lapangan serta kerja laboratorium. Dengan tersedianya data serta narasumber dilokasi penelitian maka akan memungkinka studi ini dilakukan. Hasil dari penelitian ini akan dilaporkan dalam format skripsi dengan judul


(8)

FUNGSI DAN STRUKTUR TARI ANAK YANG DIIRINGI MUSIK SIKAMBANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA TAPANULI TENGAH DI KECAMATAN SIBOLGA KO


(9)

DAFTAR ISI

Kata Pegantar ………... i

Abstraksi ……….... iii

Daftar Isi ……… vi

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Pokok Permasalahan ………..…..…………... 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….………..……….. 4

1.3.1 Tujuan Penelitian ………. 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ………... 5

1.4 Konsep dan Teori ……….. 5

1.4.1 Konsep ………... 5

1.4.2 Teori ………... 6

1.5 Metode Penelitian ……….. 9

1.5.1 Studi Kepustakaan ……… 10

1.5.2 Penelitian Lapangan ………. 11

1.5.3 Kerja laboratorium ………... 11

1.5.4 Lokasi Penelitian ………... 12

BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA TAPANULI TENGAH ………. 13

2.1. Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi ……….. 13

2.1.1 Sejarah Kota Sibolga Tapanuli Tengah ……….. 14

2.1.2. Demografi Kota Sibolga ………... 19


(10)

2.2 Masyarakat Pesisir di Kecamatan Sibolga Kota ……….. 23

2.2.1 Mata Pencaharian ……… 23

2.2.2 Sistem Bahasa ………... 25

2.2.3 Sisten Religi ………... 27

2.2.4 Kesenian ……… 28

BAB III PERKAWINAN PADA MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA ……….. 32

3.1. Sistem Kekerabatan ……… 32

3.2. Adat Sumando Pesisir ………. 33

3.3. Tinjauan Umum Upacara Perkawinan pada Masyarakat Pesisir Sibolga .…. 34 3.4. Urutan Acara pada Upacara Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga ………. 34

3.4.1. Risik-risik ( memastikan seorang calon ) ……… 35

3.4.2. Sirih Tanyo ( bertanya kesediaan calon ) ……… 36

3.4.3. Maminang ( menanyakan pemberian bantuan dan mahar ) ………….…. 37

3.4.4. Manganta Kepeng ( mengantar bantuan uang yang telah disepakati ) ….. 40

3.4.5. Mato Karajo ( Akad nkah ) ……….. 42

3.4.6. Adat malam Sikambang ……… 44

3.4.6.1Bainai Gadang (Berinai Besar) ………..……….... 44

3.4.6.2Malam Bacilok (Bahaning-haning) ……… 44

3.4.7 Manjalang-jalang (mohon doa rerstu dari orang tua) ………... 49

BAB IV FUNGSI TARI ANAK ………. 50

4.1. Deskripsi Tari Anak ……….. 50


(11)

4.1.2. Pengertian Tari Anak ……….. 51

4.2. Tari Anak Dalam Upacara Adat Perkawinan ………..………. 51

4.2.1. Penyajian Tari Anak Dalam Upacara Perkawianan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah ………. 52

4.3. Fungsi Tari Anak dalam Upacara Perkawinan ……… 52

4.3.1. Fungsi Pengungkapan Emosional ……….. 54

4.3.2. Fungsi Hiburan ……… 54

4.3.3. Fungsi Komunikasi ……….. 55

4.3.4. Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Agama ……….. 55

4.3.5. Fungsi Pengintegrasian Masyarakat ………. 56

4.4. Sturktur Yang Digunakan Dalam Tarian Anak Tersebut ………..……... 56

4.4.1. Pola Lantai Yang Dipakai Dalam Tari Anak …..……….. 57

4.4.2. Ragam Gerak Dalam Tari Anak ………..… 58

4.4.3. Makna Setiap Gerak Yang Dibawakan Dalam Tari Anak ………..……… 66

4.4.4. Perlengkapan Yang Dipakai Dalam Tari Anak ………... 70

4.4.4.1. Panggung ……….… 70

4.4.4.2. Kostum ………... 71

4.4.4.3. Properti tari Yang Digunakan ………... 72

4.4.5. Alat Musik Yang Dipakai Dalam Mengiringi Tari Anak ………... 72

4.4.5.1. Akordion ………... 73

4.4.5.2. Gandang Sikambang ………. 73

4.4.6. Hubungan Tari Dan Musik ………. 74

4.5. Transkripsi ……… 75


(12)

4.6.1. Nada Dasar ………. 76

4.6.2. Interval ……… 78

4.6.3. Frekuensi Pemakaian Nada ……….. 79

4.6.4. Pola Kadens ……… 80

4.6.5. Formula Melodi ………. 82

4.6.6. Kountur ………. 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 86

5.1. Kesimpulan ……… 86

5.2. Saran ………... 87

DAFTAR PUSTAKA ………... 89

DAFTAR INFORMAN ……….………….. 92


(13)

ABSTARKSI

Perkawinan pada masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah memiliki tata cara dan aturan pelaksanaannya. Dimulai dari Risik-risik (memastikan seorang calon), Sirih Tanyo (bertanya kesediann calon), Maminang (menanyakan uang mahar), Manganta kepeng (mengantar uang mahar yang telah disepakati), Mato Karajo ( akad nikah), Adat Malam Sikambang, Manjalang-jalang (mohon doa restu orangtua laki-laki). Selain itu ada upacara adat yang dilaksanakan pada malam hari sebelum perkawinan, acara adat ini disebut “Malam Bainai” atau “ber-inai” yang dipakai pada kaki dan tangan pengantin, adat ini lakukan dirumah pengantin masing-masing.

Pada mulanya memasang inai tidak saja upaya menampilkan kecantikan pada bagian dari anggota tangan pengantin, namun juga menurut kepercayaan zaman dahulu, kegiatan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin ini juga mengandung arti magis. Ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan untuk melindungi pengantin dari kemungkinan ada manusia yang iri dengan calon pengantin. Kuku-kuku yang telah diberi pewarna merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya.

Pelaksanaan upacara adat perkawinan ini tidak terlepas dari iringan musik dan tari yang disebut Kesenian Musik Sikambang. Sikambang berasal dari dua kata yaitu “Si” dan “Kambang”. Secara umum masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah mengartikan Sikambang sebagai salah satu jenis kesenian pada masyarakat Pesisir, dimana kesenian tersebut bercorakkan petuah, berirama lagu, dan berwujud tari. Jenis alat musik yang dipakai untuk mengiringi Nyanyian dan Tarian dalam Kesenian Sikambang adalah Gandang Sikambang, Gandang Batapik, Singkadu, carano yang biasa digunakan untuk mengatur


(14)

tempo pada musik, dan Akordion. Berbagai macam tarian yang diiringi dengan Kesenian Sikambang yaituTari Adok, Tari Saputangan yang diiringi Lagu Kapri, Tari Payung, Tari Perak-Perak, Tari Sampaya, Tari Anak yang diiringi Lagu Sikambang dan lain sebagainya. Namun yang menjadi focus dalam skripsi ini adalah Tari Anak yang terkait dalam konteks Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli tengah tepat nya di Kecamatan Sibolga Kota.

Tari Anak ini dibawakan oleh sepasang penari laki-laki dan perempuan dewasa. Awalnya tari ini menjadi tarian yang selalu dipakai dalam setiap Upacara Adat Perkawianan masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Namun seiring dengan berkembangnya zaman kedudukan tarian ini pun perlahan bergerser. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, yang mana penggunaannya sekarang ini memakan biaya yang cukup mahal. Namun demikian, masih ada sebagian masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah yang menggunakan tarian ini dalam upacara adat perkawinan. Dalam konteks perkawinan Tari Anak ini diiringi dengan iringan musik dan lagu Sikambang. Teks Lagu Sikambang ini berisikan tentang nasihat-nasihat, doa, dan uangkapan rasa bahagia/sukacita dari orang tua kepada kedua mempelai, dan semuanya diwujudkan dalam bentuk sebuah tarian.

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah sejauh apa fungsi Tari Anak dalam kebudayaan, terutama pada Upacara Adat Perkawianan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, serta melihat bagaimana bentuk struktur dari Tari Anak tersebut dalam Upacara Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Untuk mengkaji permasalahan diatas maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan kerja lapangan serta kerja laboratorium. Dengan tersedianya data serta narasumber dilokasi penelitian maka akan memungkinka studi ini dilakukan. Hasil dari penelitian ini akan dilaporkan dalam format skripsi dengan judul


(15)

FUNGSI DAN STRUKTUR TARI ANAK YANG DIIRINGI MUSIK SIKAMBANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA TAPANULI TENGAH DI KECAMATAN SIBOLGA KO


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkawinan pada masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah memiliki tata cara dan aturan pelaksanaannya. Dimulai dari merisik, meminang, bertunangan, dan akad nikah (pernikahan). Selain itu, ada upacara adat yang dilakasanakan pada malam hari sebelum perkawinan, yang disebut malam bainai atau berinai. Adat ini dilakukan di rumah pengantin perempuan. Maksud dari upacara tersebut adalah malam ketika kedua pengantin memakai inai di tangan dan kaki mereka. Pelaksanaan upacara adat perkawinan ini, tidak pernah lepas dari iringan musik dan tari yang disebut Kesenian Musik Sikambang.

Sikambang berasal dari dua kata yaitu si dan kambang. Secara umum masyarakat pesisir Sibolga mengartikan sikambang sebagai salah satu jenis musik pada masyarakat Pesisir. Musik Sikambang, bercorak petuah, berirama lagu, dan berwujud tari. Berikut merupakan jenis alat musik dan klasifikasinya yang dipakai dalam mengiringi lagu dan tarian adalah gandang sikambang (membranophone), gandang batapik (membranophone), singkadu (aerophone), canang (aerophone) yang dulunya dilakukan dengan bersiul (baisiu), terbuat dari tembaga (carano) dipadukan dengan biola serta harmonika (sekarang diganti akordion). Berbagai macam tarian yang diiringi oleh Musik Sikambang yaitu tari adok, tari sapu tangan diiringi lagu kapri, tari payung, tari perak-perak, tari sampaya, tari anak dan lain-lain sebagainya.

Hadirnya tari di lingkungan kehidupan manusia bersamaan dengan tumbuhnya peradaban manusia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edi Sedyawati, bahwa tari tumbuh dalam rangkuman yang erat dalam ketiga unsur budaya, yaitu bahasa, adat istiadat, dan norma-norma kehidupan (Edi Sedyawati, 1991:110). Kemudian yang menjadi fokus dalam


(17)

skripsi ini adalah Tari Anak yang terkait dalam konteks upacara adat perkawinan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.

Awalnya Tari Anak ini selalu dipertunjukkan dalam setiap upacara perkawinan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Namun seiring dengan berkembangnya zaman kedudukan tarian ini pun perlahan bergeser. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi, karena dalam penggunaannya sekarang ini Kesenian Sikambang dalam upacara adat perkawinan memakan biaya yang cukup mahal. Namun demikian, ada sebagian masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah yang masih menggunakan tarian ini dalam upacara adat perkawinan.

Tari Anak ini dibawakan oleh sepasang penari, laki-laki dan perempuan dewasa, yang memakai pakaian pesisir dan menggunakan properti (perlengkapan) seperti kampi sirih (tepak), galeta (tempat air), boneka anak bayi, selendang dua helai, ayunan tajak (ayunan untuk bayi). Durasi tarian anak ini tidak begitu lama, dan posisi Tari Anak tersebut dimainkan tepat didepan pelaminan. Upacara adat Malam Sikambang ini dilakukan pada malam setelah akad nikah dilaksanakan dan biasanya dimulai pukul 21.00 sampai dengan 24.00 WIB.

Tari Anak ini sesungguhnya bukan hanya dipertunjukkan dalam upacara adat perkawinan saja tetapi tari anak ini dapat digunakan dalam acara-acara lain seperti sunat rasul, turun ka rai, masuk rumah, dan ulang tahun. Karena Tari Anak bermaksud untuk mendoakan agar hubungan antara orangtua dan anak dapat perlangsung dengan baik dan semakin diberkati kedepannya..


(18)

Dalam konteks perkawainan Tari Anak ini diiringi dengan iringan musik dan Lagu Sikambang. Dalam sebuah tarian peranan musik sangat penting, karena bisa dirasakan kehadiran tari tanpa musik terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton. Berikut beberapa syair pantun yang dinyanyikan dalam mengiringi tarian anak ini.

Kayu gadang di lereng gunung, (kayu besar dipinggir bukit) Di tabang dibala duo, (ditebang dibelah dua)

Ala sanang hati bundo kandung, (sangat senang hati ibu kandung) Anak sorang manjadi duo. (satu anak menjadi dua)

Makna dari syair tersebut adalah akan bertambah nya satu lagi anggota keluar dari masing-masing keluarga kedua mempelai. Tadinya anak tersebut sendiri tetapi karena telah menikah si anak membawa anggota keluarga baru yaitu menantu. Begitu juga sebaliknya.

Pancarinek ditapi ai (pancarinek ditepi air) Sudah mati mukan babuah (sudah mati baru berbuah) Jimek-jimek tuan balai (hati-hati tuan melaut) Lawik sati ranto batuah (laut lepas banyak tantangan)

Makna dari syair tersebut adalah hati-hatilah untuk menjalankan bahtera rumah tangga karena dalam berumah tangga akan menghadapi banyak tantangan. Baik rumah tangga yang mapan (sudah lama menjalani rumah tangga) ataupun yang baru menjalani bahtera rumah tangga pasti akan menghadapin tantangan seperti gelombang laut yang ada di laut lepas.

Labek ujan di mursala, (lebat hujan di mursala) Kambang lah bungo parautan, (berkembang lah bunga parautan) Bintang dilangit punyo sala, (bintang dilangit punya salah) Ombang di lawik mananggungkan. (ombak dilaut yang menaggungkan)


(19)

Makna dari syair tersebut adalah seorang anak adalah fitrah (bersih) tergantung kepada orang tuanya. Kalaupun ingin menjadi baik maka tetaplah baik, tidak memandang miskin ataupun kaya. Karena apapun yang dilakukan orang tua akan berdampak pada anaknya kelak. Ketika orang tua berbuat salah maka anak akan menerima akibatnya, begitu juga sebaliknya.

Menurut Soedarsono (1986:109) dikatakan bahwa musik dalam tari bukan hanya sekedar iringan, tetapi musik adalah partner tari yang secara langsung dapat mendukung dan memperkuat sajian tari.

1.2 Pokok Permasalahan

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ;

1. Apa fungsi Tari Anak dalam kebudayaan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, terutama pada upacara adat perkawinan pesisir Sibolga Tapanuli tengah ? 2. Bagaimana bentuk struktur dari Tari Anak tersebut dalam upacara perkawinan

masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah ;

1. Untuk mengetahui apa sebenarnya fungsi Tari Anak yang diiringi Musik Sikambang bagi masyarakat pesisir terutama dalam upacara adat perkawinan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk struktur dari Tari Anak tersebut dalam upacara perkawinan masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.


(20)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah ;

1. Untuk menambah wawasan penulis dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat selama mengikuti perkuliahan di Departemen Etnomusikologi serta mengetahui tentang tari nusantara seperti Sibolga

2. Untuk menambah referensi penulisan tentang tari-tarian yang ada di nusantara. 3. Dengan adanya penelitian ini dapat menjadi acuan bagi peneliti lainnya.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Koentjaraningrat (1992:21), mengemukakan konsep sebenarnya adalah secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala. Konsep merupakan defenisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan antara variabel-variabel mana yang kita inginkan untuk menentukan hubungan empiris.

Fungi dapat dikatakan sebagai manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Dalam penulisan ini penulis akan melihat apa fungi dan kegunaan Tari Anak dalam kehidupan masyarakat Pesisir Sibolga.

Menurut BPH Suryodiningrat, Tari adalah gerakan-gerakan dari seluruh bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunya maksud tertentu. Tari Anak merupakan salah satu tarian yang dimiliki masyarakat Pesisir Sibolga yang dalam pertunjukannya diiringi oleh musik Sikambang dalam upacara adat perkawinan masyarakat pesisir. Tarian ini disertai dengan nyanyian, pantun dan syair.

Masyarakat menurut para ahli Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal disuatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya (Carol R. Ember dan Melvin Ember dalam T.O. Ihromi 1987:22).


(21)

Masyarakat pesisir yang dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat yang tinggal di Kecamatan Sibolga Kota. Daerah ini sesuai dengan daerah yang menjadi tempat penelitian penulis dimana daerah ini masih terdapat pelaksanaan upacara perkawinan yang mempertunjukkan Tari anak.

1.4.2 Teori

Teori adalah salah satu acuan yang digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang timbul dalam tulisan ini. Dengan pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman kita sendiri merupakan landasan dan pemikiran untuk memperoleh suatu teori-teori yang bersangkutan (koentjaraningrat, 1983:30).

Koentjaraningrat (1985:243) juga mengatakan bahwa komponen upacara ada empat yaitu tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat upacara, serta orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara. Melihat teori diatas bahwa Tari Anak merupakan tarian yang terdapat dalam upacara adat perkawinan masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah. Tarian ini mempunyai waktu dan tempat yang disediakan dalam upacara adat perkawinan, beberapa orang penari dan pemusik yang mengiringi tarian. Upacara adat perkawinan ini dipimpim oleh seorang “Alek”. Alek adalah sebutan untuk para pemain Musik Sikambang.

Fungsi adalah sesuatu yang tidak dapat didengar atau dilihat dari penyajian musik saja; tetapi dapat dipelajari dengan cara melihat, mendengar, dan memahami secara keseluruhan penyajian musik pada saat musik dimainkan. Seperti yang dikatakan oleh Merriam dalam bukunya: The Anthropology of Music (1964:210) :

The function, however. May be something quite different assessed through analytical evaluation stemming from thr folk evaluation. The student can, for example, learn something of the values of a culture by analyzing song texts for what they express;… function, im particular, may not be expressed or even understood from the standpoint of folk evaluation-such evaluations we would group under the heading of “concepts.” The sense in which we use these terms, then, refers to the understanding of what music does for


(22)

human beings as evaluated by the observer who seeks to increase his range of comprehension by this means…”function” concerns the reasons for its employment and particularly the broader purpose which it serves.

Bahwa musik adalah sesuatu yang berbeda dari hasil analisa yang dilakukan oleh masyarakat lokal. Fungsi tidak dapat dipahami dari pandangan orang lokal saja namun pandangan lokal bisa kita anggap sebagai konsep. Jika kita dapat memahami pemahaman sebagai peneliti luar inilah yang disebut dengan fungsi. Dengan kata lain fungsi berbicara tentang alasan-alasan pemakainya.

Dalam buku Merriam menegaskan bahwa ada sepuluh fungsi utama musik, yaitu: fungsi (1) pengungkapan emosional, (2) fungsi penghayatan estetis, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) fungsi kesinambungan kebudayaan, (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

Dari sepuluh fungsi utama musik yang diungkapkan oleh Merriam penulis membahas beberapa fungsi yang berhubungan dengan upacara perkawinan yang mempertunjukkan Tari Anak, Yaitu: (1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi hiburan, (3) fungsi komunikasi, (4) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, dan (5) fungsi pengintegrasian masyarakat. Dikatakan sebagai hiburan karena musik sebagai pengiring tari bisa menjadi reaksi yang menimbulkan kesenangan bagi yang melihat, dan sebagai komunikasi karena dilihat dari setiap gerakan tari yang mempunyai arti.

Untuk mengkaji struktur Tari Anak penulis menggunakan teori-teori tari yang ditawarkan oleh Sal Murgiyanto, Snyder, dan Ellfeld. Menurut Sal Murgiyanto (2011:3) Tari adalah salah satu saka guru seni pertunjukan tradisi Indonesia. Tari yang merupakan cabang seni pertunjukan tertua lahir bersamaan dengan lahirnya kebudayaan manusia. Ironisnya, sebagai disiplin studi, tari justru merupakan disiplin yang paling muda. Menurutnya


(23)

jenis-disebut sebagai daerah asal dan pusat Budaya Melayu, tetapi juga kelompok Melayu dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, bahkan yang berasal dari Malaysia. Dalam hal ini Tari Anak di kawasan budaya Pesisir memiliki hubungan dengan tarian sejenis di dalam kebudayaan Minangkabau dan Melayu.

Tari adalah salah satu ekspresi budaya yang sangat kaya, tetapi paling sulit untuk dianalisis dan diinterpretasikan. Mengamati gerak laku sangat mudah, tetapi tidak mengetahui maknanya. Tari dapat diinterpretasikan dalam berbagai tingkat persepsi. untuk memahami maksud yang hendak dikomunikasikan dari sebuah tarian, orang perlu tahu tentang kapan, kenapa, dan oleh siapa tari dilakukan. Dalam mengukur kedalaman sebuah tarian atau menjelaskan sebuah pertunjukan dari kebudayaan lain dituntut pemahaman cara dan pandangan hidup masyarakat yang menciptakan dan menerima tarian tersebut (Kuper via Snyder, 1984: 5). Dalam hal ini struktur Tari Anak dalam kebudayaan Pesisir adalah mencerminkan cara dan pandangan hidup masyarakatnya.

Keterampilan gerak biasanya dikuasai secara instingtif dan intuitif. Tari sebagai ungkapan seni mulai hadir ketika orang mulai sadar akan pentingnya teknik atau keterampilan gerak, dan ketika itu orang mulai mengatur gerak, artinya mulai ada tuntutan keteraturan atau bentuk. Sejalan dengan pertumbuhan itu mulai tumbuh kepekaan nilai pengalaman dan perasaan yang dihayati secara lebih mendalam. Masalah dasar dalam kesenian adalah pengaturan yang terkendali dari suatu medium dalam rangka mengkomunikasikan imaji-imaji dari pengalaman manusia (Ellfeldt, 1976: 160). Teori ini akan dipergunakan untuk menkaji sejauh apa imaji-imaji masyarakat Pesisir yang terkandung dalam struktur Tari Anak.


(24)

Dalam meneliti gerak Tari Anak tersebut terdapat Notasi Laban (Edy Sedyawati, 2006:298) yang membahas secara detail bentuk dan polanya, mengingat penulis tidak memfokuskan secara detail pada gerak tari pada teori Notasi Laban, maka penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana yang dapat mewakilkan pola gerak Tari Anak.

Hubungan musik dan tari adalah suatu fenomena yang berbeda tetapi dapat juga digabungkan dengan aspek yang mendukung. Musik merupakan rangkaian ritme dan nada sedangkan tarian adalah rangkaian gerak, ritme, dan ruang dimana fenomena keduanya merupakan suatu yang berlawanan, yang mana musik merupakan fenomena yang terdengar tapi tidak terlihat dan tarian merupakan fenomena yang terlihat tapi tidak terdengar (Wimbrayardi 1999:9-10).

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau jalan menyangkut masalah kerja yang dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat:1985). Secara umum metode penelitian dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong 1989 : 3).

Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1985:581), metode penelitian diartikan sebagai cara mencari kebenaran azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan. Menurut Curt Sachs (1962:16) penelitian dalam etnomusikologi dapat dibagi manjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas musikal dalam sebuah kebudayaan


(25)

manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi pentranskripsian, menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data (Curt Sachs dalam Bruno Nettl 1964 : 62).

Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan paham relativisme, dimana peneliti harus membuang ukuran-ukuran yang ada dalam dirinya sendiri dan mencoba mengerti masyarakat itu sesuai dengan pandangan kebudayaannya atau masyarakatnya (Nakagawa 2000:11). Secara sederhana dapat dikatakan dalam penelitian lapangan sedapat mungkin peneliti atau outsider itu menjadi insider terlebih dahulu, baru kemudian menulis. Dalam hal ini yang dikatakan outsider adalah peneliti dan insider adalah pemilik kebudayaan. Cara ini kelihatannya mudah dan sangat sederhana sekali, namun dalam kenyataannya tidak, dimana penulis memandang kebudayaan pesisir dengan paham relativisme, serta paham ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk mencari tulisan-tulisan pendukung, penulis melakukan adanya studi kepustakaan dan kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam tulisan ini. Sumber bacaan yang digunakan dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dimana sumber bacaan diperoleh dari buku, majalah, buletin, jurnal, artikel, dan situs internet. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti.


(26)

1.5.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dalam kerja lapangan pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman terhadap upacara yang berlangsung, dan perekaman ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif berupa gambar maupun video yang diperlukan penulis.

Adapun dalam penelitian lapangan disertai wawancara yang dilakukan penulis, wawancara yang dilakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu membuat pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak hanya berfokus pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk memperoleh berbagai ragam data, namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan (Koentjaraningrat 1985:139). Hal ini penulis lakukan untuk mendukung data yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi kepustakaan.

Sebagai alat yang membantu merekam hasil wawancara penulis menggunakan handphone Blackberry Gemini 8520, untul mengabadikan petunjukan acara adat Malam Sikambang khususnya Tari Anak ini penulis menggunakan Handycam Canon Legria FS306. Dan untuk mendokumentasikan gambar Tari Anak dalam acara tersebut penulis juga menggunakan kamera Canon EOS Kiss X4 EF – S 18 – 135 IS Kit.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Untuk menyeleksi data-data yang ada dari penelitian lapangan dan studi kepustakaan akan dianalisis untuk selanjutnya diseleksi sehingga menghasilkan suatu tulisan tulisan yang baik. Pada saat kerja laboratorium, hasil rekaman juga penulis lihat secara berulang-ulang untuk mendapatkan data yang maksimal.


(27)

1.5.4 Lokasi Penelitian

Untuk lokasi penelitian penulis memilih daerah Kecamatan Sibolga Kota, karena dikota ini masih ditemukan upacara yang menyajikan Tari Anak, yang merupakan objek penelitian penulis.


(28)

BAB II

ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA TAPANULI TENGAH

2.1. Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi

Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai lokasi dimana penulis melakukan penelitian melalui deskripsi etnografi. Dimana etnografi merupakan suatu deskripsi mengenai lokasi suatu bangsa disuatu lokasi tertentu, suatu wilayah geografis dan administratif suatu bangsa, limgkungan alam dan demografi serta sejarah asal mula suatu suku bangsa. Menyangkut hal ini Fetterman mengungkapkan “ethnography is the science of describing a group of culture” yang mana artinya adalah “etnografi bukan hanya sekedar ilmu melainkan juga seni tentang pendeskripsian suatu bangsa” (Fetterman 1989:11).

Untuk menjelaskan mengenai budaya dan adat istiadat yang terdapat di masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah Koentjaraningrat mengungkapkan dalam bukunya Pengantar Ilmu Antropologi bahwa ada 7 unsur yang membentuk suatu kebudayaan dalam masyarakat yaitu Bahasa, Teknologi, Mata Pencaharian (ekonomi), Organisasi Sosial, Sistem pengetahuan, Kesenian dan Sistem Religi (Koentjaraningrat, pengantar ilmu antropologi 1979:333). Tetapi dalam pembahsan ini penulis akan membahas 4 dari 7 unsur tersebut yaitu (1) Mata Pencaharian, (2) Sistem Bahasa, (3) Sistem Religi dan Kepercayaan, dan (4) Kesenian.

Hal yang akan dibahas dalam Bab II ini adalah mengenai sejarah daerah penelitian, lokasi lingkungan alam dan demografis, begitu pula dengan keadaan masyarakat pesisir kota Sibolga Tapanuli Tengah dan hubungannya dengan budaya adat istiadat yang dituliskan secara ringkas.


(29)

2.1.1 Sejarah Kota Sibolga Tapanuli Tengah

Sebelum Sibolga terbentuk teluk Tapian Nauli merupakan salah satu tempat yang ramai dengan aktivitas perdagangan, hal tersebut diketahui pada cacatan pelawat Islam pada abad ke-7 dan Portugis di abad ke-16, dimana teluk Tapian Nauli ,merupakan salah satu pintu masuk perdagangan yang pertama di Pantai Barat Sumatera Utara yang berpelabuhan di Barus 1.

Tengku Luckman Sinar dalam tulisannya yang berjudul “lintasan sejarah Sibolga dan pantai barat Sumatera Utara 1981”. Beliau menyampaikan tentang kondisi teluk Tapian Nauli pada saat itu telah mengalami interaksi antara masyarakat di pesisir pantai teluk Tapian Nauli dengan orang-orang yang tinggal di pedalaman yang sangat membutuhkan bahan-bahan yang hanya dapat diperoleh dari pesisir pantai, sistem perdagangan yang digunakan dengan melakukan barter dengan hasil hutan yang mereka dapatkan. Hal tersebut sering dilakukan oleh “Parlanja”2 atau disebut juga pedagang, dan makin lama semakin banyak orang hilir mudik, dan menetap dipesisir pantai.

Awal berdirinya kota Sibolga dimulai dari dibukanya kampung oleh Ompu Datu Horinjom yang berasal dari daerah Silindung (Tapanuli Utara) di Simaninggir yang saat ini termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Tengah. Letak Simaninggir tersebut berada di gunung dekat teluk tapian nauli. Oleh para “parlanja” atau pedagang tempat ini dijadikan sebagai tempat istirahatnya ketika hendak menuju daerah pesisir pantai ataupun sesudah sekembali dari daerah pesisi pantai sebelum kembali kedaerahnya.

1

Tengku Luckman Sinar, SH. Lintas Sejarah Sibolga dan Pantai Barat Sumatera Utara, Harian Waspada 23 juni 1981

2

Pengertian parlanja adalah orang yang membawa barang dengan pikulan dan melakukan kegiatan barter dalam melakukan transaksi


(30)

Kawasan Teluk Tapian Nauli diwarnai dengan perdagangan secara paksa antara penduduk dengan pihak Inggris yang berkembang menjadi perang. Sehingga Ompu Datu Horinjom memindahkan permukiman mendekati teluk, yaitu di Simare-mare (salah satu daerah di Kecamatan Sibolga Kota) dan terus melakukan perlawanan terhadap pihak Inggris yang memonopoli perdagangan di teluk Tapian Nauli.

Pada tanggal 13 Maret 1815 pihak Inggris mengadakan suatu ikatan perjanjian persahabatan dengan Datuk-Datuk di Teluk Tapian Nauli dengan istilah “Batigo BadusanakI ”. Dengan Raja Sibolga serta Datuk-Datuk yang berada di pulau-pulau kecil disekitar teluk Tapian Nauli yaitu pulau Poncan Ketek (kecil) dan Poncan Gadang (besar) yang saat itu tunduk di bawah kekuasaan Inggris dan disanalah Inggris mendirikan benteng dan pada tahun 1801 ditetapkan Jhon Prince sebagai residennya.

Menurut Tengku Luckman Sinar bahwa dari hasil catatan riset seorang pembesar Belanda EB. Kielstra : dalam periode 1833 – 1838 di Sibolga di huni penduduk segala etnis terutama orang Batak yang berasal dari wilayah Angkola yang mengungsi, dan setelah pusat pemerintahan asisten Resideni Tapanuli bertempat di sekitar Aek Doras. Sibolga menjadi ramai, meskipun di kelilingi oleh sawah dan rawa-rawa, penduduk suku Batak yang sudah beragama Islam ssudah menjadi “pesisir” dengan adat sendiri yang spesifik.

Periode selanjutnya antara tahun 1838 – 1842 setelah Belanda membuka jalan dari Sibolga hingga Portibi (Tapanuli Selatan) dan pada saat itu Sumatera Barat sudah meningkat menjadi “Gouvernent” (propinsi) dan Tapanuli menjadi salah satu Residennya. Pada tanggal 7 Desember 1842 ditetapkan Sibolga menjadi Ibukota Residen Tapanuli yang dipimpin oleh seorang Afdelinghoof (kepala daerah).

Wilayah yang termasuk afdeling. Sibolga ialah : Sibolga, Tapian Nauli, Badiri, Sarudik, Tukka, Sai Ni Huta, dan pulau-pulau kecil didepan teluk Tapian Nauli, yang mana disetiap daerah dikepalai oleh seorang Districhoof (Demang). Pada tahun 1947, A. M.


(31)

Djalaluddin diangkat menjadi kepala daerah Sibolga di waktu jabatan Beliau ini lah Sibolga dibentuk menjadi daerah otonom tingkat B sesuai dengan surat keputusan Residen Tapanuli N. R. I (Negara Republik Indonesia) tanggal 29 November 1946 Nomor 999, san selaku realisasi dari surat keputusan Gubernur Sumatera Utara N. R. I tanggal 17 Mei 1946 no. 103, dan kota otonom Sibolga itu dipimpin seorang Walikota yang dirangkakan kepada Bupati Tapanuli Tengah3.

Terhitung pada tanggal 24 November 1956 sejak berlakunya undang-undang darurat nomor 8 tahun 1956, yang mengatur pembentukan daerah otonom kota-kota besar dalam lingkungan daerah Propinsi Sumatera Utara, dimana dalam pasal 1 dalam undang-undang darurat no. 8 tahun 1946 itu ditetapkan pembentukan 4 kota besar yaitu: Medan, Pematang Siantar, Sibolga, dan Kutaraja. Menurut undang-undang darurat ini Sibolga menjadi kota besar dengan batas wilayah sesuai dengan keputusan Residen Tapanuli tanggl 29 November 1946 no. 999.

Setelah keluarnya surat keputusan menteri dalam negeri tanggal Desember 1957 no.u.p15/2/1 diangkatlah D. E Sutan Radja Bungaran menjadi Walikota Sibolga, dan sejak 1 Januari 1958 berakhir pula perangkapan jabatan Walikota Sibolga oleh Bupati Kabupaten Tapanuli Tengah dan secara administratif menjadi Kotamadya di luar Kabupaten Tapanuli Tengah.

3

Dalam tulisan Prof. M. Solly Lubis, SH. “Sibolga dan Sekeping Sejarahnya” dalam buku hari jadi sibolga,Pemko Sibolga, 1998. 16:111.


(32)

Berikut merupakan nama-nama Kepala Daerah di Kota Sibolga sejak Era Proklamasi hingga Sekarang.

Table 1

No NAMA PERIODE

1 A.M Djalaluddin 06-11-1947 s/d 10-12-1947

2 M. Sorimuda 11-12 1947 s/d 11-08-1952

3 Ibnu Saadan 12-08-1952 s/d 10-02-1954

4 R. Djungdjungan Lubis 11-02-1954 s/d 31-12-1957 5 D.E.Sutan Radja Bungaran 01-01-1958 s/d 31-08-1959 6 H.A. Murad Tandjung 01-09-1959 s/d 04-03-1965 7 Syariful Alamsyah 05-03-1965 s/d 24-11-1965 8 Firman Simanjuntak 24-11-1965 s/d 18-06-1974 9 Pandapotan Nasution, SH 19-06-1974 s/d 19-0601979 10 Khairuddin Siregar, SH 19-06-1979 s/d 19-06-1984 11 Baharuddin Lubis, SH 19-06-1984 s/d 19-06-1989 12 Drs. Ali Amran Lubis, SH 19-06-1989 s/d 18-06-1994 13 Drs. Zainuddin Siregar 18-06-1994 s/d 19-06-1999 14 Drs. Sahat P. Panggabean 19-06-1999 s/d 28-08-2010 15 Drs. H.M. Syarfi Hutauruk 28-08-2010 s/d Sekarang


(33)

Secara Goegrafisnya Sibolga terletak antara 10 44’LU (Lintang Utara) dan 980 47’ BT (Bujur Timur). Wilayah administratif Kota Sibolga terdiri dari 4 Kecamatan dan 17 Kelurahan. Berikut merupakan batas-batas wilayah Kecamatan Kota Sibolga dan Kelurahan di Kota Sibolga.

Table 2

No Kecamatan Kelurahan Banyak lingkungan

1 Sibolga Utara Sibolga ilir 4

Angin Nauli 5

Huta Tonga-tonga 4

Huta Barangan 3

Simare-mare 4

2 Sibolga Kota Kota Baringin 4

Pasar Baru 4

Pasar Belakang 4

Pancuran Gerobak 4

3 Sibolga Selatan Aek Habil 4

Aek Manis 4

Aek Parombunan 4

Aek Muara Pinang 4

4 Sibolga Sambas Pancuran Dewa 4

Pancuran Bambu 4

Pancuran Pinang 4

Pancuran Kerambi 4


(34)

2.1.2. Demografi Kota Sibolga

Jumlah penduduk Kota Sibolga menurut catatan biro pusat statistic kota Sibolga yang dikeluarkan oleh Kantor BPS Sibolga untuk laporan tahun 2010 dengan data laporan tahun 2009, terlihat bahwa jumlah penduduk Sibolga adalah 96.341 jiwa dengan luas wilayah daerah 10,77 Km2 dengan rata-rata pertumbuhan prnduduk 1,99 pertahun

Tabel 4

Jumlah penduduk Kota Sibolga

Kota

Sensus Penduduk (population cencus) Tahun 1990 Tahun 2000 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

Sibolga 71.895 82.310 91.941 93.207 94.614 96.341 Sumber : bpssibolga:http//sumut.bps.go.id/sibolga

Pada umumnya Kota Sibolga sendiri terdiri dari berbagai etnik yaitu Toba, Mandailing, Angkola, Nias, Minang, Aceh, Bugis, Melayu, serta etnis Cina dan Jawa, pemerintah kota Sibolga sendiri pada saat ini memiliki motto/semboyongan : Negeri Berbilang Kaum.

2.1.3. Identitas Kultural Etnik Pesisir

Etnik pesisir Sibolga Tapanuli tengah merupakan salah satu kelompok masyarakat yang awal keberadaannya sebagai suatu etnik yang berada si Pesisir Pantai Barat Pulau Sumatera tepatnya di Proponsi Sumatera Utara, dimana kelompok masyarakatnya memiliki sejarah yang panjang sebagai suatu etnik tersendiri yaitu “etnik Pesisir”.


(35)

Sejarah yang panjang sebagai suatu etnik adalah dimana awal keberadaan dan terbentuknya etnik ini tidaklah terjadi begitu saja, melainkan telah melalui beberapa situasi an kejadian tertentu seperti : kelahiran, kematian, penjajahan (colonisasi), perang, kejadian bencana alam dan perpindahan penduduk, salah satunya adalah terjadinya peperangan antara Aceh dengan kelompok masyarakat Batak 1523 sehingga banyak penduduk yang membuka permukiman baru di wilayah Barat4. Dan adanya perang Monjo (Bonjol) tahun 1700 orang Batak dari Silindung berangsur-angsur menyebar kearah Pantai Barat Sumatera Utara salah satu keturunan yang melakukan perpindahan kewilayah pesisir Pantai Barat adalah keturunan dari marga Hutagalung yang kemudian membuka perkampungan di sekitar aliran Aek Doras, yang mana kemudian masyarakat Silindung tersebut berkembang dan membentuk kelompok masyarakat yang terstruktur dan dipimpin oleh sorang Kepala Kuria/ Raja. Lambat laun keadaan daerah terus-menerus mulai berkembang, terdapat juga beberapa kelompok masyarakat dari luar daerah yang berbaur didaerah tersebut, seperti kelompok masyarakat dari etnik Mandailing, etnik Angkola, dan Minang.

Dalam perkembangannya beberapa kelompok masyarakat tersebut kemudian meyesuaikan kebudayaannya masing-masing yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan untuk membentuk suatu etnik dan pemeliharaan batas-batas kesamaan yang ada pada dua atau lebih kelompok masyarakat tersebut, kemudian atas kesepakatan bersama disatukan yang kemudian menjadi etnik.

4

Batak dulu dan Sekarang W. Simanjuntak. 1961:14, dikutip dari skripsi Chandra C. Prawira, 2011. Kajian Organologi Singkadu Alat Musik Tiup Pesisir Sibolga Buatan Bapak Kadirun, Medan.


(36)

Terjadinya proses tersebut dapat dilihat dari ciri yang dimiliki individu (manusia) Etnik Pesisir dimana sebagian masyarakatnya masih menggunakan marga baik itu marga Toba ataupun Mandailing, dalam kenyataannya memang marga tersebut bukanlah suatu hal yang mutlak sebagai ketentuan didalam Adat Sumando5 pesisir. Setiap anggota kelompok tertentu yang melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercabut dari akar budaya etniknya karena mangdopsi nilai-nilai baru. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya (keturunan dan pertalian darah) dan juga tetap diakui sebagai kelompok etniknya.

Dalam etnik Pesisir sendiri terdapat beberapa kelompok masyarakat etnik Minang maupun etnik Batak yang telah tergabung didalam satu ikatan etnik Sumando pesisir yang berdasarkan Islam, tidaklah mutlak secara keseluruhan status yang dimilikinya akan dihilangkan baik itu Marga maupun hubungannya terhadap kelompok masyarakat awalnya. Sebagai suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan menjadi fakta bahwa individu tersebut sebelum menjalin ikatan dengan Adat Sumando Pesisir merupakan individu yang memiliki identitas kultur sendiri dan menjalin suatu ikatan hubungan dengan etnik Pesisir yang disahkan melalui Adat Sumando. Begitupun ada kelompok masyarakat awalnya juga tidak dapat memungkiri bahwasanya berdasarkan identitas maupun status individunya tersebut merupakan satu kesatuan dengannya, tetapi dalam ruang lingkup adat dan budaya telah berbeda.

5. Adat Sumando adalah pertambahan atau percampuran satu keluarga dengan keluarga lain yang seagama, yang diikat dengan tali pernikahan menurut hukum Islam dan disyahkan dengan suatu acara adat pesisir.


(37)

Etnik Pesisir yang terdapat di Pesisir Barat Sumatera Utara ini dalam proses terbentuknya sebagai suatu etnik tidak terlepas dari proses Asimilasi6 dengan beberapa kelompok masyarakat diluar letak geografisnya7, seperti etnis Batak Toba, etnik Minang, dan etnik Mandailing yang dalam perkembangannya menjadi suatu etnik yang berbeda secara budaya dan adat dengan beberapa kelompok etnik masyarakat disekitarnya.

Mengenai hal tersebut Koentjaraningrat menyampaikan “Kesatuan Kebuadayaan” bukan suatu hal yang ditentukan oleh orang luar, misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, melainkan oleh warga kebuadayaan bersangkutan itu sendiri. Seperti contoh kebudayaan Sunda yang memiliki kebudayaan tersendiri yang berbeda dengan kebudayaan Jawa, atau Banten, ataupun dengan Bali, bukan karena ada peneliti-peneliti luar yang telah menentukan kebudayaan Sunda itu sendiri, tetapi karena orang-orang Sunda sendiri sadar bahwa diantara mereka ada keberagaman mengenai kebudayaan mereka, sehingga membuat kebudayaan Sunda memiliki kepribadian dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan tetangga-tetangganya8.

6 Asimilasi adalah proses sosial yang timbul dari beberapa golongan-golongan manusi dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif unutk waktu yang lama sehingga kebudayaan golongan-golongan tadi masing-masing berubah sifat khasnya sehingha lambat laun membentuk satu kebudayaan yang baru (budaya campuran)

7 Letak Geografis adalah letak suatu daerah dilihat dari kenyataanya di bumi atau posisi daerah itu pada bola bumi dibandingkan dengan posisi daerah lain. Letak geografis ditentukan pula oleh segi astronomi, geologis, fisiografis, dan sosial budaya.


(38)

2.2 Masyarakat Pesisir di Kecamatan Sibolga Kota

Kota Siboga merupakan daerah Otonomi Tingkat II yang dipimpin oleh seorang Walikota. Pada Tahun 2002 berdasarkan SK Walikota Sibolga, Kota Sibolga dibagi menjadi 4 kecamatan, yaitu:

1. Kecamatan Sibolga Utara 2. Kecamatan Sibolga Kota

3. Kecamatan Sibolga Selatan, dan 4. Kecamatan Sibolga Sambas

Sesuai dengan lokasi penelitian yang dietapkan oleh penuli, maka Kecamatan Sibolga Kota adalah lokasi yang tepat, karena hamper semua masyarakat yang tinggal di Kecamatan Sibolga Kota ini adalah orang-orang Pesisir dan masih memakai Kesenian Sikambang dalam acara-acara mereka terutama acara adat perkawinan, walaupun tidak semua dikarena biaya nya yang cukup mahal.

2.2.1 Mata Pencaharian.

Masyarakat Suku Pesisir sebagai penduduk asli dikawasan Pesisir Pantai Barat Sumatera Utara mempunyai mata pencaharian sebagai Nelayan, Petani, Pedagang, Pegawai Negeri, ABRI, Buruh, Pengerajin, Penarik becak, dan lain-lain.

Sesuai dengan alam pantai, tentunya sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah sebagai nelayan. Namun perlu kita ketahui bahwa dulunya masyarakat sibolga juga memiliki karya seni kerajinan tenun Kain Pelekat dan Selendang Maduara serta Kendang-Kendang Suji Malako yang sampai sekarang masih dikenal walaupun tidak seperti dahulu kala, karena Selendang Maduara merupakan suatu kebanggaan dan tradisi yang telah diadatkan apabila pengantin baru wanita (Anak Daro) berkunjung kerumah mertuanya maka pengantin wanita tesebut akan memakai Selendang Maduara. Kendang-kendang Suji Malako


(39)

dipakaikan kepada pengantin wanita sebagai penutup dada, sebagian bagian dari pakaian adat yang dipakai wanita bernama Sanggu Gadang ketika berlangsungnya Peresmian Perkawinan.

Brerikut merupakan beberapa jenis nelayan serta cara menangkap ikan : a. Nelayan Pamukek

Nelayan Pamukek adalah nelayan yang menggunakan pukat atau jaring untuk menangkap ikan dilaut, yang digerakkan oleh mesin maupun tenaga manusia untuk menarik jaring dan mengangkat ikan tangkapannya.

b. Nelayan Penjaring

Nelayan yang pekerjaannya menangkap ikan dilaut dengan mempergunakan jaring yang digerakkan oleh mesin dan tenaga manusia bersama-sama baik ditengah laut maupun ditepi pantai.

c. Pukek Tapi

Nelayan yang pekerjaannya menangkap ikan dengan pukat ditepi pantai dengan mempergunakan tenaga manusia yang ditarik dari kejauhan 1 km dari pantai bersama-sama dan biasanya para Nelayan Pamuge akan membeli ikan yang telah siap dipasarkan kepada masyarakat ditempat penangkapan ikan.

d. Nelayan Pamuge

Nelayan pamuge adalah nelayan yang pekerjaannya membeli ikan dari nelayan ditengan laut, dari para nelayan penjaring atau nelayan yang menangkap ikan ditengah laut.

e. Nelayan Paralong-alaong/Parlanja

Nelayan Paralong-along dan Parlanja adalah nelayan yang pekerjaannya membeli ikan dari para Nelayan Pamuge ditepi pantai dan para nelayan paralong-along/parlanja menjajakan ikan kepada masyarakat dalam kampong.


(40)

f. Nelayan Panjamu

Nelayan Panjamu adalah nelayan yang pekerjaannya hanya menjemur ikan yang telah dibelinya dari nelayan penjaring dan kemudian setelah ikan kering maka akan dijual kepada nelayan pagudang (orang yang membeli ikan yang sudah kering untuk dipasarkan kedaerah lain).

g. Nelayan Pagudang

Nelayan Pagudang adalah nelayan yang pekerjaannya sebagai pembeli ikan yang sudah dijemur oleh nelayan panjamu untuk dikumpulkan ditempat pergudangannya dan dijual kepada para pedagang ikan dari luar kota sibolga.

2.2.2 Sistem Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi untuk menyampaikan keinginan dan maksud seseorang kepada orang lain dengan berbagai cara dan lambang, antara lain dengan tulisan, lisan, isyarat dan gerakan yang seusaha mungkin dimengerti orang lain.

Bahasa pesisir merupakan bahasa yang dipakai masyarakat pesisir Sibolga dalam berinteraksi antara sesamanya, bahasa pesisir merupakan percampuran bahasa dari daerah lain diluar daerah pesisir Sibolga, seperti bahasa Minang dan Batak walaupun bahasa Pesisir mempunyai persamaan kalimat dengan daerah lain, namun fungsi dan penempatannya sangat berbeda menurut artinya misalnya perkataan :

Kau kata ini hanya digunakan sebagai kata panggilan bagi orang yang berkelamin perempuan dan tidak berlaku untuk laki-laki.

Ang khusus dipakai untuk panggilan kepada laki-laki. Ta’uti khusus kepada kakak ipar.

Ta’ajo khusus kepada abang ipar.


(41)

Angku sebutan untuk kakek.

Aya merupakan panggilan kepada Ayah kandung. Umak merupakan panggilan kepada Ibu kandung.

Ambo dalam bahasa pesisir Sibolga dipakai kata yang menyatakan Saya atau Aku. Munak untuk menyatakan orang kedua dan orang ketiga tunggal.

Bahasa pesisir Sibolga sendiri terdapat beberapa kosa kata yang digunakan untuk menyatakan waktu seperti kata Nanti atau Besok didalam bahasa pesisir Sibolga kata tersebut dinyatakan melalui kata be’ko sebagai kata menyatakan Nanti dan kata Barisuk untuk menyatakan Besok, kata Kapatang dalam bahasa pesisir kata ini digunakan untuk menyatakan Kemarin dan kata Sabanta yang memiliki arti Sebentar.

Sedangkan untuk menyatakan suatu bentuk dalam bahasa pesisir Sibolga menggunakan kata-kata seperti kata Kepeng untuk menyatakan uang, kata ini meliliki persamaan dengan kata hepeng dalam bahasa Batak. Kata lain yang sering digunakan adalah kata Gadang untuk menyatakan Besar dan kata Ketek untuk menyatakan Kecil, dimana dalam hal ini kata Gadang dan Ketek ini juga digunakan oleh masyarakat Minang untuk menyatakan Ruang dan Bentuk.

Selanjutnya dalam bahasa pesisir Sibolga terdapat beberapa kata yang dipakai untuk menyatakan Parange9, seperti kata Jahek dan Songe untuk menyatakan sifat jahat dan Songe = rupa yang buruk, kata Rancak untuk menyatakan rupa yang Cantik. Dalam keberadaannya bahasa pesisir ini lebih dominan dipakai oleh masyarakat Sibolga yang berdomisili didaerah Sibolga bagian selatan, bagian utara, dan sibolga sambas dimana didaerah tersebut masyarakatnya mayoritas adalah masyarakat dengan mata pencaharian nelayan, yang mana dalam besosialisasinya sehari-hari selalu menggunakan bahasa pesisir ini.


(42)

Beberapa kalimat dalam bahasa Pesisir :

1. Kamarin ambo ala pai karuma Ta’uti nandak manyalasekan utang piutang kitotu, tapi katonyo diamisuk sajola karano inyo nandak pai pulo ka siboga.

2. Ala dikecekkan Uci kadimunak, jangan bamain juo disanjo barebuktu baiko tasapo, tapi munak indak picayo, kiniko rasaila.

Artinya :

1. Kemarin saya sudah pergi kerumah kakak ipar untuk menyelesaikan hutang piutang kita, tapi katanya dua hari lagilah karena dia mau pergi ke Sibolga.

2. Sudah dikatakan Nenek kepada kalian, jangan bermain juga diwaktu senja menjelang Magrib, nanti kalian keteguran, tapi kalian tidak percaya, sekarang rasakanlah.

2.2.3 Sisten Religi

Selain dari keberagaman etnis, kota Sibolga juga meiliki keberagaman agama yang dianut masyarakatnya, berdasarkan sensus yang diadakan oleh biro pusat statistik kota Sibolga untuk laporan tahun 2008, mayoritas penduduk Sibolga beragama Islam yang mencapai 47.763 jiwa atau sekitar 58,46 % dari total penduduk Sibolga, dan agama Kristen Protestan sekitar 26.436 jiwa atau sekitar 32,36%, Budha 3000 jiwa, Hindu 115 jiwa dan penganut agama kepercayaan sekitar 0,1%10.


(43)

Sekitar tahun 1858 masyarakat Kuria Sibolga masih menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang, sedangkan orang-orang yang tinggal dipulau-pulau sekitar Teluk Tapian Nauli sudah beragama Islam, yang masuk melalui pantai Barus orang-orang yang tinggal dikepulauan sekitar Teluk Tapian Nauli menyebut orang-orang yang tinggal di Kuria Sibolga dengan sebutan “orang Topi” (orang-orang daratan yang masih parbegu). Setelah tahun 1860 orang-orang yang ada di Kuria Sibolga mulai memeluk Agama Islam dan mengikat perkawinan dengan keluarga Datuk Pasar (Datuk yang mengepalai pulau-pulau kecil disekitar teluk Tapian Nauli) dan mulai mempergunakan adat Sumando.

2.2.4 Kesenian

Seni budaya zaman dahulu seperti Tari, Nyanyi, Pantun Rande dan Talibun maupun Teater, Puisi, Seni Bela diri, Pencak Silat dan lain-lain di Sibolga Tapanuli Tengah Pesisir Pantai Barat Sumatera Utara merupakan gayung bersambut dengan menunjukkan kepribadian dari masyarakat Etnis Pesisir yang mempunyai perasaan halus. Kesenian pesisir Sibolga Tapanuli Tengah dikenal dengan nama SIKAMBANG yang mempunyai ciri khas tersendiri naik dalam bentuk alat music, irama, maupun lirik lagunya.


(44)

Kesenian Sikambang pada umumnya ditampilkan dalam upacara-upacara adat di masyarakat pesisir Sibolga yang dimainkan oleh anak Alek11 . Salah satu upacara adat yang sering di jadikan sarana pertunjukan kesenian Sikambang adalah upacara pernikahan. Dimana dalam Sikambang itu sendiri dalam setiap penyajiannya selalu diiringi Nyanyian.

Beberapa Tarian Tradisional masyarakat Pesisir dalam hal ini Tarian dan Nyanyian yang diiringi dengan beberapa instrument alat musik itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan dari penggabungan tersebut menjadikan kesenian Sikambang ini menjadi kesenian utama masyarakat Pesisir Sibolga. Disamping kesenian lainnya yang meiliki bentuk dan ciri tersendiri yang juga menjadi warna kesenian masyarakat Pesisir Sibolga seperti kesenian Talibun dan Pantun.

Dalam masyarakat Pesisir Sibolga terdapat ragam bentuk dan jenis tari yang biasa dipertunjukkan dalam acara-acara adat di masyarakat Pesisir Sibolga seperti acara adat pernikahan dan acara adat lainnya. Berikut ini merupakan jenis tari-tarian yang ada pada masyarakat Pesisir Sibolga :

1. Tari Saputangan yang diiringi dengan lagu Kapri

2. Tari Payung atau Tari Lagu Pulo Pinang, dimana dalam tari ini para penari menggunakan payung.

3. Tari Selendang diiringi dengan Lagu Duo, tari ini dimainkan oleh sepasang pria dan wanita.

4. Tari Pedang yang diiringi Lagu Sikambang Botan. 5. Tari Kipas, tari ini diiringi dengan Lagu Perak-perak.

6. Tari Pahlawan tari yang diiringi dengan Lagu Simati dibunuh. 7. Tari Adok atau Tari Kain yang diiringi dengan Lagu Adok. 8. Tari Anak yang diiringi Lagu Sikambang.

11


(45)

Musik pada masyarakat Pesisir Sibolga secara umum adalah Sikambang, dimana Sikambang tersebut merupakan kesenian yang bagian pokoknya terdiri dari tari dan musik yang dalam perkembangannya tidak terlepas dari kelompok masyarakat laut/nelayan. Dimana dari beberapa informasi melalui buku maupun wawancara mengenai keberadaan musik Sikambang dalam hal ini awal munculnya Sikambang secara vocal berawal dari berlayarnya seorang pelaut yang melantunkan syair-syair pantun dengan memukul-mukul papan perahunya sebagai alat musiknya dan disini mulai dikenal dengan Sikambang secara vocal dan selanjutnya dikembangkan oleh masyarkat nelayan yang sudah mengenal nyanyian Sikambang tersebut sehingga dalam perkembangan selanjutnya Sikambang menjadi salah satu kesenian di masyarakat Pesisir Sibolga.

Dalam sejarahnya awal Sikambang T.Luckman Sinar dan kawan-kawan menggambarkan Sikambang berawal dari nama seorang pemuda yang merupakan nahkoda dari puteri Runduk yang berlayar daro Lobu Tua ke Pulau Mursala (Tapanuli tengah). Dalam pelayarannya pemuda tersebut selalu melantunkan syair-syair sambil memukul-mukul papan didinding perahunya, berikut merupakan syair yang dilantunkan pemuda tersebut “pulo banamo haram dewa tampek malape laying-layang, biar diancam samo sewa jangan diputus kasih sayang”,yang selanjutnya dikenal sebagai Sikambang yang dinyanyikan secara vokal.

Dalam Sikambang sendiri lagu yang menjadi lagu pokok adalah lagu sebagai berikut, Lagu Duo, Lagu Pulo Pinang, Lagu Perak-perak, Lagu Adok, Lagu Simati Dibunuh, Lagu Sikambang Botan, dan Lagu Kapri atau yang dikenal dengan (Sikambang Lawik). Sikambang Lawik ini merupakan repertoar yang paling tua dimana keberadaaanyapada awalnya merupakan salah satu syair yang biasa dinyanyikan oleh seorang dukun untuk mengendalikan angin agar tidak terjadi badai saaat berada di tengah lautan.


(46)

Alat Musik Pesisir terdiri dari :

1. Gandang Sikambang (Membranophone Single skin frame drums) yang berfungsi sebagai rithem.

2. Gandang Batapik (Double skin cylindrical drums) berfungsi sebagai peningkah dari rithem gandang sikambang.

3. Biola (Chordophone bow lutes) berfungsi sebagai pembawa melodi untuk lagu. 4. Singkadu (Aerophone) berfungsi sebagai pembawa melodi.

5. Carano (Struc idiophone) sejenis tempat yang terbuat dari tembaga dan berfungsi sebagai penentu tempo.

Kesenian Sikambang tersebut biasanya dipertunjukkan dalam acara-acara adat/upacara sebagai berikut :

1. Upacara adat pesta Perkawinan 2. Upacara pesta khinatan/sunat rasul

3. Upacara penyambutran tamu/pembesar negeri 4. Upacara penobatan/pemberian gelar

5. Upacara turun karai (turun tanah) mengayun dan menabalkan nama anak (pemberian nama).

6. Menempati /memasuki rumah baru. 7. Pertunjukkan kesenian/pergelaran. 8. Peresmian-peresmian.


(47)

BAB III

PERKAWINAN PADA MASYARAKAT PESISIR SIBOLGA

3.1 Sistem Kekerabatan

Didalam sistem kekerabatan masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli tengah garis keturunan ditarik dari pihak laki-laki (Patrilinear) dimana dalam hal ini pihak Ayah di masyarakat pesisir adalah orang pertama mengambil keputusan dalam suatu rumah tangga dan apabila dalam keluarga tersebut lahir anggota keluarga baru dalam hal ini anak, maka sianak akan memakai gelar/marga yang dimiliki si ayah.

Dalam struktur kekerabatan masyarakat pesisir Sibolga memiliki sistem kekerabatan adat Sumando yang mana bagi masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, sumando merupakan ikatan batin yang sangat kuat baik itu hubungan kekeluargaan dan persaudaraan yang mana keputusan mengenai masalah adat dan keluarga tanpa melibatkan semua musyawarah anggota keluarga baik keluarga pihak laki-laki maupun keluarga perempuan yang telah bersatu dengan adat Sumando Pesisir dan disah kan berdasarkan agama Islam.

Berbeda dengan pertuturan dalam system kekerabatan komunitas masyarakat adat Batak, yang sudah terstruktur dalam system kekerabatan dalihan natolu, tutur yang sama dapat dituturkan kepada yang tua maupun yang muda, bila posisi kekerabatannya sama. Seperti panggilan Tulang pada saudara laki-laki ibu kita. Tetap dengan panggilan tutur tulang baik kepada abang maupun adik dari ibu kita. Dan kepada isteri mereka tetap dipanggil dengan tutur yang sama yakni Nantulang.

Sedangkan pertuturan pada masyarakat adat pesisir Sibolga Tapanuli tengah, berlaku sistem kekerabatan yang tua dituakan, dan yang muda dimudakan. Pertuturan ini selain berorientasi kepada tua dan muda, juga sangat member arti pada tingkat keakraban, kedekatan atau kemanjaan antara mereka yang bertutur. Misalnya seorang adik menyapa


(48)

abang kandungnya dengan panggilan nama, seperti nama siabang adalah “Erwin”, maka adiknya menyapa abangnya dengan “win”.

Pertuturan dalam keluarga atau perbahasaan dalam masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli tengah sangat beragam dan sama sekali berbeda dengan bahasa tutur dalam masyarakat Batak. Hal itu barangkali berkaitan dengan masyarakat asalnya yang heterogen.

3.2 Adat Sumando Pesisir

Sumando bagi adat Pesisir Sibolga Tapanuli tengah diartikan sebagai satu kesatuan, yakni pertambahan atau percampuran satu keluarga dengan keluarga lain yang seagama, yang diikat dengan tali pernikahan menurut hukum Islam dan disyahkan dengan suatu acara peresmian yang disebut dengan “baralek” secara adat pesisir. Bagi masyarakat pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, Sumando merupakan ikatan batin yang sangat kuat hubungan kekeluargaan dan sangat menghargai serta menghormati ikatan kekeluargaan adat Sumando. Itulah sebabnya dalam mengatasi hal atau peristiwa yang terjadi selalu diputuskan secara musyawarah yang melibatkan semua anggota keluarga.

Adapun ketentuan adat Sumando antara lain, pernikahan dapat terjadi apabila sang pria meminang wanita terlebih dahulu, dengan menyerahkan uang hantaran yang disebut “jinamu” sebagai tanda pengikat (bertunangan), adat Sumando tidak mengenal Tuhor seperti pernikahan didalam adat Batak. Dalam adat Sumando tanggungjawab berada dipihak laki-laki dan keturunan yang akan dilahirkan mengikuti marga atau suku orang tua laki-laki-laki-laki, berbeda dengan adat Minang.


(49)

3.3 Tinjauan Umum Upacara Perkawinan pada Masyarakat Pesisir Sibolga

Adat perkawinan pada masyarakat Pesisir Sibolga juga memiliki kekhasan, meski memiliki persamaan/kemiripan dengan etnis Minang dan etnis lainnya tapi dia meiliki pesan adat tersendiri. Semua proses adat perkawinan pesisir Sibolga Tapanuli Tengah dilaksanakan dengan khidmat, sehingga Anak Daro (sebutan untuk pengantin wanita) dan Marapulai (sebutan untuk pengantin laki-laki) dapat merasakan bahwa mereka adalah anak Pesisit Sibolga Tapanuli Tengah. Tidak hanya sekedar ucapan seremonial tanpa arti, mereka juga merasakan tidak hanya sekedar sebagai Raja dan Ratu sehari, tapi tutur kata yang disampaikan oleh petuah-petuah adat, benar-benar dapat menjadi bekal buat mereka dalam mengayuhkan bahtera rumah tangga kelak.

3.4 Urutan Acara pada Upacara Perkawinan Masyarakat Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah.

Adat Perkawinan bagi msyarakat Peisir Sibolga Tapanuli Tengah menurut tradisi dan kebiasaan dapat dilaksankan melalui beberapa tahap seperti yang telah dibiasakan sejak dari zaman dahulu secara turun-temurun sampai sekarang. Adapun urutan dan tata cara yang dilakukan dalam adat tersebut adalah :

1. Risik-risik (memastikan seorang calon) 2. Sirih Tanyo (bertanya kesediann calon) 3. Maminang (menanyakan uang mahar)

4. Manganta kepeng (mengantar uang mahar yang telah disepakati) 5. Mato Karajo ( akad nikah)

6. Adat Malam Sikambang


(50)

Untuk mengetahui tata cara tahap demi tahap dari pelaksanaan adat istiadat ini diperlukan seorang ahli yang telah berpengalaman mewakili keluarga untuk menghubungi keluarga yang dihajad dan yang dikenal sebagai Talangke yang diberikan kepercayaan untuk mengatur dan melaksanakan amanah.

Talangke adalah sebagai utusan dalam keluarga yang bertanggungjawab sebagai wakil olrang tua pihak laki-laki untuk menjalankan adat merisik sampai pada hari pernikahan dan adat manjalang-jalang.

3.4.1 Risik-risik (Memastikan Seorang Calon)

Risik-risik dengan pengertian bahwa pihak keluarga laki-laki berkunjung kerumah keluarga pihak gadis yang diinginkan oleh pihak laki-laki untuk bercengkrama ingin mengetahui adakah anak gadis yang diinginkan oleh pihak laki-laki. Risik-risik dilakukan dengan santai, biasanya dilakukan keluarga pihak laki-laki yang disebut “Talangke”. Terlangkai itu dalam menyelidiki perempuan dengan bertandang atau bincang-bincang dengan keluarga perempuan. Risik-risik ini dilakukan oleh beberapa orang tua dan biasanya dilakukan oleh ibu-ibu.

Gbr. Risik_Risik

Setelah mengetahui ada seorang gadis dirumah yang dituju maka Talangke akan menyampaikan kepada orangtua laki-laki untuk mempersiapkan kelanjutan untuk menanyakan kesediaan orangtua dari pihak perempuan. Namun begitu keluarga pihak


(51)

perempuan sudah dapat merasakan maksud kedatangan sanak famili yang agak lain dari biasanya. Setelah pihak laki-laki mengetahui dan mengenal lebih dekat yang akan menjadi calon menantunya, kemudian utusan pihak laki-laki meminta diri untuk kembali kerumah mereka dan memberitahukan adanya seorang Gadis sebagai calon kepada orangtua pihak laki-laki yang telah mengutus mereka.

Dalam tradisi Masyarakat pesisir, kedatangan Talangke merupakan suatu hal yang mulia yang disambut penuh persaudaraan karena ada makna yang mulia terkandung didalam pertemuan dan perbincangan yang akan membawa kebahagiaan bagi kedua keluarga.

3.4.2 Sirih Tanyo ( Bertanya Kesediaan Calon)

Seminggu kemudian, Talangke laki-laki kembali datang dan mengingatkan kedatangan mereka minggu lalu dan sekarang mereka ingin menjelaskan kedatangan mereka sambil menyodorkan Tepak Sirih (Pohan / Kampi Sirih Bakatuk) yang dibawa pihak laki-laki dihulurkan/diberikan kepada pihak perempuan sebagai adat istiadat pembukaan kata dan menanyakan kesedihan salah seorang putri mereka untuk di persunting.

Sirih Tanyo adalah sirih sebagai adat untuk mendapat keputusan atau jawaban pasti dari pada pihak perempuan. Pihak perempuan juga menghulurkan tepak sirih sebagai mengawali komunikasi diantara kedua keluarga. Keluarga pihak perempuan kemudian menyatakan setuju menerima lamaran dari pihak laki-laki. Setelah mendapatkan jawaban dari pihak perempuan, pihak laki-laki menanyakan berapa lama tempo adat Meminang. Pihak perempuan kemudian memberikan tempo selama 2 minggu kepada pihak laki-laki unutk mengadakan acara adat meminang/pertunangan. Dan dalam waktu 2 minggu pihak keluarga laki-laki melakukan persiapan petunangan. Termasuk mempersiapkan apa yang diminta sebagai hantaran oleh pihak laki-laki.


(52)

3.4.3 Maminang (Menanyakan Pemberian Mahar)

Setelah waktu yang ditentukan tiba, pihak laki-laki bersiap-siap melaksanakan tugas untuk datang kerumah calon pengantin perempuan. Sebelum berangkat terlebih dahulu diadakan musyawarah dirumah pihak laki-laki agar segala sesuatu yang diminta oleh pihak perempuan nanti dapat diselesaikan dengan baik, dan seorang ketua adat memberikan nasehat kepada semua utusan agar tidak membuat malu kepada pihak keluarga laki-laki.

Pada pertemuan itu, disusunlah barang-barang yang akan dibawa kerumah pihak perempuan, seperti Kampi Sirih Bakatuk 2 (dua) buah untuk membuka dan mengawali pembicaraan dan sekaligus disajikan makanan ringan tradisi masyarakat pesisir bernama Nasi Tue.

setelah mereka sampai dirumah yang dituju, pihak tuan rumah menyambut kedatangan rombongan pihak laki-laki sambil membawa masuk para tetamunya kedalam rumah dan duduk ditempat yang telah disediakan, maka selanjutnya pihak perempuan mengucapkan selamat datang dan ucapan terimah kasih atas kedatangan yang telah menepati janji untuk melanjutkan perbincangan pernikahan di kedua belah pihak. Sebelum perbincanmgan dimulai, utusan pihak laki-laki menyampaikan Kampi Sirih Bakatuk (Tepak Sirih) kepada tuan rumah satu persatu sehingga semua sanak saudara yang berada diatas rumah mendapat sajian Tepak Sirih sebagai tanda kedatanga pihak laki-laki.

Kemudian pihak perempuan menyapaikan ucapan selamat datang “Assalamu ‘alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”, maka dijawab oleh pihak laki-laki dan dilanujtkan oleh pihak perempuan dengan menggunakan pantun Pasisi/Pesisir, sebagai berikut:

Dipotong Batang Dicucukkan Dalam Dinanti Tumbu Jaman Kejaman Selamat Datang Kami Ucapkan


(53)

Wakil keluarga pihak perempuan kembali bertanya maksud kedatangan pihak laki-laki seolah-olah mereka tidak mengetahuinya, dan berpura-pura tidak pernah bertemu sebelumnya, mereka bertamya :

Bapak –bapak dan ibu-ibu sanak famili kami handai tolan sadonyo bak kato urang Pasisi :

Kok Balai Kaponcan Bako

Nampak Ombank Anak Baranak Kok Buli Kamiko Batanyo

Maksud Apo Hajat Dusanak

Maka utusan pihak laki-laki menjawab pertanyaan pihak perempuan :

Ala Gaharu Cindano Pulo

Kok Ala Tau Mangapo Batanya Pulo

Mutik Cangke Digunung Tamang Batang Kape Barapi-api Maksud Kami Datang Maminang

Datang Maliek Sikandak Ati Kemudian pihak perempuan bertanya pula :

Taserak Padi Dek Balam Jongon Gala Kami Halokan Tasirok Ati Kami Didalam

Jongon Galak Sajo Kami Katokan

Terpesona pihak laki-laki melihat calon pengantin perempuan, karena senang dan menerima kenyataan dengan senyum dan gembira.


(54)

Utusan pihak laki-laki menjawab :

Ala Pata Galewang Adok Pata Ditimpo Kaki Dulang

Jangan Cewang Ati Kami Nan Tagok Barapo Kami Mambai Utang

Setelah mendengarkan pantun yang dibawakan oleh kedua belah pihak keluarga, maka wakil dari pihak perempuan menyampaikan jawaban atas permintaan laki-laki mengenai “Uang Bantuan” (mahar) yang akan diberikan oleh pihak laki-laki, apakah mereka bersedia dan sanggup memenuhinya, atau kalaupun tidak bagaimana jalan keluarnya agar hubungan persaudaraan bertambah erat. Setelah masing-masing selesai bermusyawarah maka pihak perempuan menyampaikan kembali hasil musyawarah mereka kepada pihal laki-laki dan kebetulan pengantin perempuan melangkahi kakaknya maka juga dipikirkan apa hadiah yang sesuai untuk diberikan kepada si kakak tersebut. Kemudian pihak laki-laki menjawab tentang keadaan yang dihadapi mereka juga adalah sama.

Setelah musyawarah selesai maka pihak perempuan memberitahukan pihak laki-laki tentang permintaan mereka, yaitu berupa Jinamu atau mahar, emas sebanyak sebanyak 10 Gram, Beras 1 Goni, Kelapa 50 Gandeng dan uang sebanyak Rp. 25.000.000,- (zaman sekarang ini) dan seratus duo puluh limo satali serta seekor kerbau (zaman dahulu). Maka pihak laki-laki pun menjawab permintaan pihak perempuan agar jangan terlalu berat beban yang dipikul oleh pihak laki-laki. Setelah musyawarah maka pihak laki-laki mengemukakan hasil musyawarah mereka, antara lain mereka setuju memberikan baju dan kain serta selendang kepada kakak pengantin sebagai Langka Sumangek karena dia lebih dahulu mendapat jodoh, setelah perundingan telah disetujui oleh kedua belah pihak. Kemudian pihak


(55)

wanita menyatakan kedatangan Pihak laki-laki 2 minggu lagi karena pihak perempuan akan mengundang sanak saudara yang jauh dan dekat.

3.4.4 Manganta Kepeng (Mengantar Mahar yang telah disepakati)

Setelah proses meminang dilaksanakan, adat yang di lakukan selanjutnya adalah Manganta Kepeng (mengantar mahar yang telah disepakati). Manganta Kepeng adalah mengantarkan sesuatu pemberian bantuan/hantaran yang telah disepakati dan pada saat acara tersebut akan ditentukan hari pernikahan, dan hal tersebut juga telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Setelah tiba hari yang ditetapkan, keluarga pihak laki-laki mengadakan pertemuan dan jamuan bersama-sama di rumah pihak laki-laki. Tuan rumah menjemput beberapa Orangtua, Tuan Guru, Alim Ulama, Ketua Adat serta Sanak Saudara dan Jiran Tetangga yang ikut menghantarkan Uang Hantaran (uang Jinamu) yang telah ditetapkan oleh pihak perempuan beberapa minggu yang lalu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kebiasaan ataupun suatu Tradisi di Daerah Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah ialah menghantarkan Jinamu (mahar) kepada pihak calon pengantin perempuan.

Rombongan Calon pengantin laki-laki telah berkumpul dirumahnya dan mempersiapkan keperluan yang akan dibawa ketempat calon pengantin perempuan berupa “Uang Bantuan”(mahar) sebanyak Rp. 25.000.000,-, yang zaman dahulu seratus dua puluh lima setali, 1 Goni Beras, 50 Gandeng Kelapa (100 biji kelapa) dan seekor Kerbau. Mengenai Emas dan Cincin untuk Mahar atau Jinamu sesuai dengan tradisi orang Pesisir, ia diberikan sewaktu diadakan Akad Nikah bersama dengan pemberian pakaian pengantin selengkapnya serta pakaian untuk hadiah kepada kakak calon pengantin karena telah “Melangkahi” yaitu mendahului kakaknya menikah.


(56)

Setelah segalanya dipersiapkan seperti : Kampi Sirih Bakatuk yang isinya selengkapnya seperti Beras Kunyit, Lilin, Imbalo, Kemiri, Benang 2 warna, Jarum dan Sirih secukupnya dengan Pinang yang di Kanyam, Pinang Hijau, Pinang Berkulit dan setelah makan bersama dan disudahi dengan doa, maka rombongan calon pengantin laki-laki berangkat menuju kerumah calon pengantin perempuan. Setelah rombongan sampai dirumah keluarga pengantin perempuan, maka rombongan berkumpul bersama-sama sambil menyampaikan salam : Asslamu’Alaikum……..ala datang kami ale……”,lalu salam tersebut disambut hangat oleh pihak perempuan : “Wa’alaikum Salam……Ala Datang Munak Iyo…..Masuklah Dahulu, Jangan lai Malu-malu Munak, anggap sajolah ruma kito sendiri”.

Dalam pertemuan tersebut diperlukan pembicaraan yang jelas dan tegas agar tidak terjadi salah paham dibelakang hari sehingga memberikan kesan yang tidak baik kepada kedua pihak. Ikatan pertunangan ini harus dilandasi dengan perjanjian yang patut diikuti oleh kedua belah pihak seperti syarat sebagai berikut :

 Jika pihak Laki-laki tidak menempati janjinya/memungkiri perjanjian seperti tidak bersedia untui Menikah dengan perempuan yang telah menjadi tunangannya maka segala yang diberikan kepada pihak perempuan tidak akan dikembalikan, kecuali laiki-laki tersebut meninggal dunia atau cacat seumur hidup. Namun perempuan mau dan bersedia unutk menikah dengan tunangannya yang cacat itu maka ia tidak jadi masalah.

 Jika perempuan yang tidak menepati janji, maka pihak perempuan akan membayar dua kali lipat dari pada pemberian laki-laki, kecuali perempuan itu meninggal dunia atau cacat seumur hidup, yang hal ini tergantung kepada pihak laki apakah laki-laki tesebut bersedia untuk menikah dengan perempuan itu.


(57)

Perjanjian tersebut diadakan dihadapan para sanak keluarga, kawan sekampung/tetangga, dan penghulu kampong serta alim ulama yang diundang untuk menmyaksikan pertunangan tersebut agar kedua belah pihak sama-sama berkenan di hati dalam mengikat tali kekeluargaan.

Setelah perjanjian di lafazkan dihadapan para saksi, maka ditetapkanlah tempo pertunangan. Walau sebagaimanapun, kedua belah pihak hendaklah meneriman isi dari perjanjian itu supaya tidak menimbulkan pemikiran yang tidak baik setalah perjanjian dibuat. Pada kebiasannya pertunangan berlangsung selama enam bulan hingga setahun karena kedua belah pihak ingin membuat persediaan perkawinan. Biasanya pihak pengantin perempuan akan mempersiapkan jahitannya atau jika belum pandai menjahit akan diajari oleh kelujarganya menjahit, memasak, mempersiapkan diri menghadapi penghidupan baru yaitu berumah tangga. Setelah perjanjian dilaksanakan, maka rombongan pihak laki-laki memohon izin untuk kembali pulang dan melaporkan perbincangan yang telah ditunggu-tunggu oleh orang tua laki-laki.

3.4.5 Matto Karajo ( Akad Nikah)

Mato karajo (Akad Nikah) adalah hari pernikahan yang akan dilangsungkan sesuai dengan Hukum Islam yang diyakini oleh kedau calon pengantin disertai dengan adat Pesisir yang lazaim disebut oleh masyarakat Etnik Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah dengan nama Adat Sumando.


(58)

Maka pada hari yang ditentukan bersama, diadakanlah acara pernikahan dirumah pihak perempuan. Namun sebelum diadakan pernikahan, terlebih dahulu diadakan persiapan tertentu oleh kedua belah pihak. Pekerjaan yang diutamakan adalah waktu yang tepat untuk memulai acara yang direncanakan yaitu “Mengambik Hari dan Mangantungi” yaitu memakai peralatan kebesaran adat pesisir dirumah pengantin laki-laki dan dirumah pengantin perempuan yang dimulai sejak hari kamis, jum’at, pada hari sabtu pernikahan calom pengantin perempuan terlebih dahulu dipersiapkan dengan Bakonde (rambut dipotong sedikit bahagian atas depan oleh orang tua kandung calon pengantin perempuan) yang dipandu Induk Inang dengan peralatan :

1. Pisang Manis satu sisir

2. Kelapa Muda yang diukir satu buah

3. Pisau/Gunting Rambut dan penataan dengan hiasan-hiasan lainnya.

Setelah Akad Nikah diadakan Mandi Tigo kedua pengantin, disaksikan oleh ibu-ibu sanak famili. Sebelum pesta dimulai, maka pihak keluarga perempuan mengundang para jiran dan tetangga serta pemuda-pemuda dan anak-anak dara maupun orang-orang tua yang pakar tentang adat pesisir untuk dapat membantu melaksanakan pesta perkawinan secara adat pesisir. Menurut tradisi yang menjadi teradat pada masyarakat suku pesisir Sibolga Tapanuli Tengah, jika ada pesta perkawinan yang akan dilangsungkan dikampung, sesuai dengan tradisi maka seluruh pemuda maupun anak dara ikut membantu menyumbangkan tenaga maupun pikiran agar pelaksanaan pesta perkawinan terselanggara dengan baik. Biasanya para pemuda menolong pekerjaan yang berat-berat seperti bertanak nasi, memasak air, memasang taratak maupun memasang hiasan-hiasan pelaminan untuk pengantin yang diawasi oleh seorang “Bidan Pengantin” atau Induk Inang. Dalam hal ini tugas orang tua membantu menyelenggarakan pernikahan dan menerima tamu yang jauh maupun yang dekat, terutama tamu dari pihak laki-laki agar terdapat kesan yang baik sebagai Besan. Layanan yang


(59)

diberikan ini merupakan penghormatan sehingga terdapat keharmonisan berkeluarga Sumando Orang Pesisir.

3.4.6. Adat malam Sikambang

Dulunya sebelum perkembangan adat upacara perkawinan pesisir, seperti yang dikatakan pada penjelasan tentang Mato Karajo (Akad Nikah) bahwa acara adat telah dilaksanakan sebelum Akad Nikah dilakukan. Banyak acara-acara adat yangg dilakukan 2 hari sebelum pernikahan, yaitu :

3.4.6.1 Bainai Gadang (Berinai Besar)

Bainai Gadang (berinai besar) dilakukan dirumah pihak pengantin laki-laki. Dimana calon pengantin laki-laki dimalam itu memakai inai yang menghiasi tangan dan kakinya. Dalam acara ini pengantin laki-laki melakukan acara adat malam sikambang dan juga tepung tawar yang dilakukan oleh sanak keluarga pihak calon pengantin laki-laki. Dalam acara ini calon pengantin laki-laki mengenakan pakainan pengantin adat pesisir.

3.4.6.2Malam Bacilok (Bahaning-haning)

Malam Bacilok (Bahaning-haning) atau juga dikenal dengan sebutan baiani Ketek dilakukan di rumah calon pengantin perempan. Acara yang dilakukan sama seperti di rumah calon pengantin laki-laki, memakaikan calon pengantin perempuan inai di tangan dan kakinya, dimalam bacilok atau bahaning-haning ini semua keluarga dan sanak saudara dari pihak perempuan juga ikut memakai inai. Dalam acara ini juga dilakukan adat malam sikambang dan tepung tawar yang mana calon pengantin perempuan mengenakan pakaian pengantin adat pesisir.


(60)

Gbr. Malam Bacilok (Bahaning-haning)

Pada mulanya memasang inai tidak saja upaya menampilkan kecantikan pada bagian dari anggota tangan anak daro, namun juga menurut kepercayaan kat zaman dahulu, kegiatan memeahkan kuku-kuku jari calon anak daro ini juga mengandung arti magis. Ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan untuk melindungi si calon anak daro dari kemungkinan ada manusia yang iri dengan si calon anak daro. Kuku-kuku yang telah diberi pewarna merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta, warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja.

Setelah kedua pengantin melakukan adat malam bainai dirumah masing-masing keesokan harinya dilangsungkan Akad Nikah atau Mato Karajo. Dimana kedua pengantin diresmikan menjadi sepasang suami isteri. Dan pada malam hari setelah akad nikah dilangsungkan lah acara Adat Malam Sikambang Basanding (Bersanding) dimana pada malam ini kedua mempelai disandingkan dalam satu pelaminan, acara ini biasanya dilakukan di rumah pengantin perempuan.


(61)

Gbr. Pengantin dan Pelaminan Pesisr Sibolga Tapanuli Tengah

Dalam acara Adat Malam Sikambang Basanding ini kedua mempelai tidak langsung didudukkan dalam satu tempat, ada urutan-urutan acara adat yang harus diikuti oleh pihak pengantin laki-laki. Awalnya pengantin laki-laki didudukkan dalam sebuah Kereta-Kereta yang merupakan tempat duduk pengantin laki-laki yang juga berada di satu ruangan dengan pengantin wanita yang duduk di Tampek Anak Daro (Pelaminan).

Acara dibuka dengan Tari Saputangan yang diiringi Lagu kapri. Tarian ini menggambarkan suatu cerita/kisah pergaulan diantara muda-mudi masyarakat di daerah Sibolga Tapanuli Tengah dalam mengikat tali persaudaraan antara satu dengan lainnya sehingga masyarakat Pesisir bisa menjalin keakraban dan terbuka terhadap siapapun.

Gbr. Tari Saputangan

Setelah Tarian Saputangan acara dilanjutkan dengan penampilan Tarian Selendang yang diitingi Lagu Duo. Tarian ini menggambarkan kisah seorang pemuda dan sorang pemudi yang sedang dalam memadu janji untuk melanjutkan hubungan mereka hingga


(62)

menjadi suami isteri, agar orang tua kedua pihak dapat menentukan sikap sehingga orang tua laki-laki tidak enggan mengutus seorang “Telangke” untuk merisik keluarga perempuan agar dapat dijadikan sebagai menantu.

Gbr. Tari Selendang

Setelah Tarian Selendang, dilanjutkan dengan Tari Payung yang diiringi lagu Kapulo Pinang. Tarian ini menggambarkan suatu kisah sepasang suami isteri yang baru saja melangsungkan perkawinan,. Pada suatu hari sang suami akan meninggalkan isterinya pergi berlayar mengarungi lautan untuk mencari nafkah di negeri orang dalam memenuhi tanggung jawab sebagai suami dengan mempergunakan kapal yang membawa dagangannya dari Pulau Poncan Ketek ke Pulau Pinang Malaysia.

Gbr. Tari Payung

Selanjutnya pengantin laki-laki (Marapulai/Marapule) akan bersanding dengan pengantin perempuan (Anak Daro), tetapi sebelumnya prosesi ini diselingi dengan acara adat


(1)

(2)

114

Universitas Sumatera Utara


(3)

(4)

116

Universitas Sumatera Utara


(5)

(6)

118

Universitas Sumatera Utara