BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Usaha Tani Padi Organik (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang B

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sejarah Perkembangan Pertanian Organik di Indonesia

  Perkembangan pertanian organik diawali dengan lahirnya gerakan-gerakan yang mengajak untuk melakukan usahatani secara organik. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan dari dampak yang ditimbulkan pada revolusi hijau. Pada era orde baru, beberapa petani melakukan upaya mempromosikan pertanian organik sebagai bentuk perlawanan yang berisiko tinggi karena pada masa ini pemerintah melarang mempromosikan pertanian organik (Eliyas, 2008).

  Gerakan-gerakan pertanian organik seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)/ PAN Indonesia, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) Internasional yang menjadi donor LSM Indonesia dan kalangan rohaniawan menjadi sumber informasi bagi penggiat pertanian organik untuk mengembangkan pertanian organik. Pada tahun 1987, Pesticide Action Network Indonesia (PAN Indonesia) melakukan kampanye tentang bahaya pestisida dan mempromosikan cara bertani alternatif yang dikenal sebagai pertanian organik (Eliyas, 2008).

  Ada beberapa pihak yang mendukung perkembangan produk-produk pertanian di Indonesia seperti Pemerintahan Jerman membuka pasar dalam negerinya bagi produk pangan organik yang berasal dari Indonesia. Pada tahun 2012, pihak Jerman tertarik untuk mengimpor beras organik dari Indonesia. Mereka memberikan kesempatan bagi pengusaha Indonesia untuk mengekspor hasil pertanian organik yang sesuai persyaratan yang berlaku di Jerman. Hal ini merupakan peluang yang besar untuk mengembangkan pertanian organik di Indonesia (Organic Indonesia, 2012).

2.1.2 Padi Organik

  Padi organik merupakan padi yang dibudidayakan secara organik atau tanpa pengaplikasian pupuk kimia dan pestisida kimia. Oleh karena tanpa bahan kimia, padi organik tersebut pun terbebas dari residu pupuk kimia dan pestisida kimia yang sangat berbahaya bagi manusia (Andoko,2009).

  Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam padi secara konvensional. Perbedaannya hanyalah pada pemilihan varietas dan penggunaan pupuk dasar. Pertanian organik biasanya diawali dengan pemilihan bibit atau benih tanaman non-hibrida. Selain untuk mempertahankan keanekaragaman hayati, bibit non-hibrida sendiri secara teknis memang memungkinkan untuk ditanam secara organik. Ini dikarenakan bibit nonhibrida dapat hidup dan berproduksi optimal pada kondisi yang alami. Sementara bibit atau benih hibrida biasanya dikondisikan untuk dibudidayakan secara non- organik, seperti harus menggunakan pupuk kimia atau pemberantasannya hanya dengan pestisida kimia (Andoko,2009).

  Adapun teknologi budi daya padi organik sebagai berikut : 1)

  Pemilihan Varietas Varietas padi yang cocok ditanam secara organik yaitu varietas alami. Agar berproduksi optimal, jenis padi ini tidak menuntut penggunaan pupuk kimia.

  Varietas alami merupakan varietas yang tidak mengandung bahan-bahan kimia.

  2) Persemaian

  Langkah awalnya adalah melakukan seleksi benih. Benih bermutu merupakan syarat untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Kebutuhan akan benih maksimal hanya 30 kg/ha, dengan asumsi jarak tanam 25 cm x 25 cm, sehingga asumsi daya tumbuh sekitar 90%. Lahan sawah dapat ditambahkan dengan pupuk pupuk kandang sebanyak 40 kg atau sesuai yang dibutuhkan dengan cara ditebar merata. Selanjutnya pupuk kandang tersebut diinjak-injak kembali agar menyatu dengan tanah. Di antara kedua bedengan yang berdekatan dibuat selokan dengan ukuran lebar 30-40 cm.

  Benih yang akan disemaikan terlebih dahulu direndam dalam air untuk menyeleksi benih yang kurang baik. Benih yang terapung dan melayang harus dibuang. Perendaman dilakukan agar terjadi proses fisiologis yaitu proses terjadinya perubahan di dalam benih yang akhimya benih cepat berkecambah.

  Benih direndam dalam air selama 24 jam. Kemudian diperam selama 48 jam, agar di dalam pemeraman tersebut benih berkecambah. Benih yang telah berkecambah dengan panjang kurang lebih 1 mm telah siap untuk ditebar di bedengan dengan syarat benih tersebar rata dan kerapatan benih harus sama.

  Pengurangan air pada persemaian dimaksudkan agar benih yang disebar dapat merata dan mudah melekat di tanah sehingga akar mudah masuk ke dalam tanah, benih tidak busuk akibat genangan air, memudahkan benih bernafas/mengambil oksigen langsung dari udara sehingga proses perkecambahan lebih cepat, serta benih mendapat sinar matahari secara langsung.

  3) Pengolahan Lahan

  Pengolahan tanah bertujuan mengubah keadaan tanah pertanian dengan alat tertentu hingga memperoleh susunan tanah (struktur tanah) yang dikehendaki oleh tanaman. Pengolahan tanah sawah terdiri dari beberapa tahap seperti pembersihan yang dilakukan di selokan-selokan dan jerami yang ada perlu dibabat untuk pembuatan kompos, pencangkulan yang dilakukan untuk perbaikan pematang dan petak sawah yang sukar dibajak serta pembajakan yang berguna memecah tanah menjadi bongkahan-bongkahan tanah, membalikkan tanah beserta tumbuhan rumput (jerami) sehingga akhirnya membusuk dan dilakukan penggaruan guna meratakan dan menghancurkan gumpalan-gumpalan tanah menjadi butiran tanah yang lunak dan halus (koloid).

  4) Penanaman

  Umur bibit berpengaruh terhadap produktivitas. Umur bibit terbaik untuk dipindahkan adalah 18-25 hari; bibit berdaun 5-7 helai; batang bagian bawah besar dan kuat; pertumbuhan bibit seragam (pada jenis padi yang sama) dan bibit tidak terserang hama dan penyakit dapat segera dipindahkan ke lahan yang telah disiapkan. Jarak tanam yang paling banyak digunakan petani di Indonesia adalah

  25 cm x 25 xm dan 30 cm x 30 cm. Pemakaian bibit tiap lubang antara 3-4 batang, tetapi bibit yang ditanam terlalu dalam/dangkal menyebabkan pertumbuhan tanaman kurang baik, kedalaman tanaman yang baik 3-4 cm. Penanaman bibit padi diawali dengan menggaris tanah/menggunakan tali pengukur untuk menentukan jarak tanam. Setelah pengukuran jarak tanam selesai dilakukan penanaman padi secara serentak.

  5) Pemeliharaan

  Pemeliharaan tanaman padi terdiri dari penyulaman dan penyiangan, pengairan serta pemupukan. Yang harus diperhatikan dalam penyulaman (penggantian bibit yang rusak), yaitu bibit yang digunakan harus jenis yang sama, bibit yang digunakan merupakan sisa bibit yang terdahulu, penyulaman tidak boleh melampaui 10 hari setelah tanam, dan selain tanaman pokok (tanaman pengganggu) supaya dihilangkan. Penyiangan dilakukan dengan cara pencabutan gulma. Dalam satu musim tanam, dilakukan tiga kali penyiangan. Penyiangan pertama dilakukan saat tanaman berumur sekitar 4 minggu, kedua umur 35 hari, dan ketiga umur 55 hari.

  Pengairan di sawah dapat dibedakan atas pengairan secara terus menerus dan pengairan secara periodik. Pemupukan tujuannya adalah untuk mencukupi kebutuhan makanan yang berperan sangat penting bagi tanaman baik dalam proses pertumbuhan/produksi. Pupuk organik yang digunakan sebagai pupuk dasar berupa pupuk kandang atau pupuk fermentasi sekitar 1,5-2 ton/ha.

  Setelah itu dilakukan pemupukan susulan. Pemupukan susulan tahap pertama dilakukan saat tanaman berumur 15 hari sebanyak 1 ton/ha pupuk kandang atau 0,5 ton/ha pupuk fermentasi. Pemupukan susulan tahap kedua pada saat tanaman berumur 25-60 hari yaitu menyemprotkan sebanyak 1 liter pupuk organik cair dilarutkan dalam 17 liter air yang kandungan unsur N-nya tinggi. Pemupukan susulan tahap ketiga yaitu setelah tanaman berumur 60 hari dengan menyemprotkan pupuk organik cair yang mengandung unsur P dan K tinggi. Dosisnya 2-3 sendok makan pupuk organik yang dicampur dalam 15 liter air. Pupuk tersebut disemprotkan ke tanaman dengan frekuensi seminggu sekali.

  6) Pengendalian Hama dan Penyakit

  Pada budi daya padi organik pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan varietas yang tahan dan dapat pula dilakukan secara terpadu antara teknik budi daya, biologis, fisik (perangkap atau umpan), dan kimia (pestisida organik). Pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan menggunakan cara biologis, yaitu pemberantasan hama yang dilakukan dengan menggunakan musuh alaminya, namun juga dilakukan dengan memperhatikan pengaturan air pada pertanaman padi. Cara fisik atau mekanik dengan mengumpulkan telur-telur hama yang belum menetas kemudian memusnahkannya (Andoko,2009).

  7) Panen

  Sekitar sepuluh hari sebelum panen, sawah harus dikeringkan agar masaknya padi berlangsung serentak. Selain itu, keringnya sawah akan lebih memudahkan pemanenan. Panen padi dapat dihitung berdasar umur tanaman, kadar air gabah, atau hari setelah berbunga. Dengan metode ini padi dipanen pada saat malai berumur 30-35 hari setelah berbunga (HSB). Tanda-tandanya ialah 95% malai tampak kuning dan kadar air gabah berkisar antara 21-26%. Panen dengan ani-ani menyebabkan banyak malai tertinggal dilapangan, karena pemanen menjadi lebih selektif (Suparyono dan Setyono, 1993).

  8) Pasca Panen

  Setelah dipanen, gabah harus segera dirontokkan dari malainya. Tempat perontokan dapat langsung dilakukan di lahan atau di halaman rumah setelah diangkut ke rumah. Perontokan ini dapat dilakukan dengan perontok bermesin ataupun dengan menggunakan tenaga manusia. Bila menggunakan mesin, perontokan dilakukan dengan menyentuhkan malai padi ke gerigi alat yang berputar. Sementara perontokan dengan tenaga manusia dilakukan dengan cara batang padi dipukul-pukul ke kayu hingga gabah berjatuhan. Untuk mengantisipasi agar gabah tidak terbuang saat perontokan maka tempat perontokan harus diberi alas dari anyaman bambu atau menggunakan terpal, hingga seluruh gabah dapat tertampung.

  Agar tahan lama disimpan dan dapat digiling menjadi beras maka gabah harus dikeringkan. Pengeringan gabah umumnya dilakukan di bawah sinar matahari.

  Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air sampai suatu tingkat tertentu. Pada saat cuaca cerah, penjemuran padi dilakukan selama satu sampai dua hari dengan pembalikan 4-7 kali. Gabah yang dijemur di tempat yang dilengkapi dengan alas amparan semen memiliki kualitas lebih baik dibanding dengan yang dijemur dengan alas penjemuran lembaran plastik dan karung goni (Suparyono dan Setyono, 1993).

2.1.3 Penelitian Terdahulu

  Hasil Penelitian Widiarta (2011) menunjukkan bahwa tingkat kompleksitas mempengaruhi tingkat adopsi pertanian organik. Tingkat kompleksitas pertanian organik lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian secara konvensional. Faktor- faktor yang berhubungan adalah masa konversi lahan anorganik ke organik, penggunaan pupuk organik dan pestisida organik, penggunaan bibit lokal.

  Hasil Penelitian Putri (2011) menunjukkan bahwa variabel dari karakateristik suatu inovasi berhubungan dengan tingkat adopsi pertanian padi organik. Dari segi keuntungan, pertanian organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan konvensional. Ada kesesuaian penerapan padi organik dengan kebiasaan petani dalam tahapan usahatani padi. Tingkat kerumitan lebih tinggi dirasakan pada saat permulaan dalam melakukan usahatani padi secara organik. Dalam hal kemungkinan untuk dicoba, peneraparan organik dapat diterapkan dengan lahan yang kecil dan jumlah benih yang lebih sedikit dan modal yang sedikit.

  Sedangkan dalam hal kemungkinan untuk diamati, petani sangat dapat merasakan hasilnya seperti rasanya lebih enak dan peningkatan jumlah dan biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan yang konvensional.

2.2 Landasan Teori

  Penelitian ini dilandaskan pada teori mengenai adopsi yang dijabarkan sebagai berikut.

2.2.1 Pengertian Adopsi

  Adopsi dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasinya dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metode maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya (Mardikanto dan Sutarni, 1983). Menurut Junaidi (2007), adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan proses berdasarkan dimensi waktu. Dalam penyuluhan pertanian, banyak kenyataan petani biasanya tidak menerima begitu saja, tetapi untuk sampai tahapan mereka mau menerima ide-ide tersebut diperlukan waktu yang relatif lama.

2.2.2 Kaitan Adopsi dengan Sikap, Perilaku, Penilaian Terhadap Suatu Inovasi

  Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar “tahu”, tetapi sampai benar-benar dapat melakanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan, dan atau ketrampilannya (Mardikanto, 1993).

  Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi: "Sesuatu ide, produk, informasi teknologi,kelembagaan, perilaku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan" (Mardikanto, 1988).

2.2.3 Tahapan Adopsi

  Menurut Rogers (2003), Beberapa tahapan adopsi dari proses pengambilan keputusan inovasi mencakup : 1)

  Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi.

  2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik.

  3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.

  4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika seorang individu atau unit pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.

  

5 . Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit

  pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya

  

2.2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Tingkat Adopsi suatu

Inovasi

  Inovasi merupakan suatu ide, praktek, atau objek yang dianggap baru oleh individu atau unit adopsi lainnya. Pengambilan keputusan oleh petani, baik berupa penolakan maupun penerimaan suatu inovasi tidak terlepas dari berbagai pertimbangan menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu teknologi bagi pengusahanya (petani). Tingkat adopsi terhadap suatu inovasi berhubungan dengan karakteristik inovasi itu sendiri, karaktersitik penerima inovasi (adopter) dan saluran komunikasi. Menurut Rogers (2003) faktor-faktor karakteristik suatu inovasi itu terbagi atas lima, yaitu : 1)

  Keuntungan relatif (relative advantage), merupakan derajat dimana inovasi diterima dan dipandang jauh lebih baik daripada teknologi sebelumnya, yang biasanya dilihat dari segi keuntungan ekonomi dan keuntungan sosial (prestise dan persetujuan sosial).

  2) Kesesuaian (compatibility), merupakan derajat dimana inovasi dipandang sesuai/konsisten dengan nilai-nilai sosial budaya yang ada, pengalaman masa lalu, dan kebutuhan-kebutuhan adopter.

  3) Kerumitan (complexity), merupakan derajat dimana inovasi dianggap sulit untuk dimengerti dan digunakan.

  4) Kemungkinan untuk dicoba (trialability), merupakan derajat dimana inovasi dianggap mungkin untuk diuji cobakan secara teknis dalam skala kecil.

  5) Kemungkinan untuk diamati/dirasakan hasilnya (observability), merupakan derajat dimana hasil dari inovasi dapat dilihat atau dirasakan oleh adopter.

  Terdapat beberapa karakteristik penerima inovasi (petani) dalam suatu inovasi seperti umur, pendidikan, pengalaman bertani, pendapatan, luas lahan, tingkat kosmopolitan, tingkat partisipasi. Beberapa karakteristik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut ini : 1)

  Umur Menurut Hasyim (2006), Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Umur dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam melihat aktivitas seorang dalam bekerja dimana dengan kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal.

  Semakin muda umur petani, maka akan semakin semangat untuk mengetahui hal baru. Sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi (Lubis, 2000). 2)

  Pendidikan Tingkat pengetahuan seseorang berhubungan dengan tingkat penilaian dan keputusan adopsi inovasi. Orang-orang yang mengadopsi inovasi lebih awal dalam proses difusi, cenderung lebih berpendidikan. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi.

  Pendidikan merupakan sarana belajar dimana selanjutnya akan menanamkan sikap pengertian yang menguntungkan menuju pembangunan praktek pertanian yang lebih modern. Mereka yang berpendidikan tinggi adalah yang relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi, begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat (Lubis, 2000).

  3) Pengalaman bertani

  Faktor pengalaman mempunyai hubungan positif dengan kecepatan adopsi inovasi. Petani yang berpengalaman lebih cepat mengadopsi teknologi dibandingkan dengan petani yang belum atau kurang berpengalaman. Petani yang sudah lama bertani akan lebih mudah menerapkan inovasi atau menerapkan anjuran penyuluhan dan penerapan teknologi daripada petani pemula atau petani baru (Soekartawi, 1994).

  Menurut Hasyim (2006), Lamanya berusahatani untuk setiap orang berbeda- beda. Oleh karena itu lamanya berusahatani dapat dijadikan bahan pertimbangan agar tidak melakukan kesalahan yang sama sehingga dapat melakukan hal-hal yang baik untuk waktu berikutnya.

  4) Luas Lahan

  Luas lahan menentukan petani untuk dapat mengambil keputusan dalam upaya menerapkan suatu unsur inovasi. Ukuran lahan usahatani berhubungan positif dengan adopsi. Petani yang mempunyai lahan yang luas akan lebih mudah menerapkan anjuran penyuluhan demikian pula halnya dengan penerapan adopsi inovasi daripada yang memiliki lahan sempit. Hal ini dikarenakan keefisienan dalam penggunaan sarana produksi (Soekartawi, 1994).

  5) Jumlah tanggungan

  Banyaknya jumlah anggota keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerima suatu inovasi.

  Jumlah tanggungan keluarga tersebut adalah banyaknya beban tanggungan petani dalam satuan jiwa (Lubis, 2000).

  6) Tingkat Kosmopolitan

  Menurut Soekartawi (1988), Tingkat kosmopolitan petani dapat diketahui dengan mengetahui frekuensi petani keluar dari desanya ke desa lain atau ke kota, frekuensi mengikuti penyuluhan, frekuensi petani bertemu dengan tokoh inovator, koran yang dibaca, siaran TV yang ditonton, dan siaran radio yang didengar. Tingkat kosmopolitan dapat diukur dengan penggunaan sumber inovasi baru antara lain media elektronik (televisi, radio, telepon), media cetak (surat kabar, tabloid, majalah) dan bepergiannya petani keluar daerah tinggal mereka atau keluar desa dalam rangka memasarkan hasil usahataninya juga untuk mendapatkan pendidikan dan informasi mengenai inovasi pertaian. Tingkat Kosmopolitan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat adopsi petani. Semakin tinggi tingkat kosmopolitannya maka semakin tinggi pula tingkat adopsi petani dalam suatu usahatani.

  7) Tingkat Partisipasi

  Menurut Soekartawi (1998), Tingkat partisipasi akan membuat perubahan- perubahan yang lebih besar dalam cara berfikir petani. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini tidak akan bertahan lama jika petani menuruti saran-saran dari penyuluh pertanian. Petani yang lebih sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan usahatani akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih banyak sehingga semakin banyak partisipasi petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani dalam melakukan suatu usahatani. Menurut Rogers (2003), saluran komunikasi juga berhubungan dengan tingkat adopsi suatu inovasi, yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu: 1)

  Saluran media massa (Mass Media Channel), media massa dapat berupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah dapat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. 2)

  Saluran antarpribadi (Interpersonal Channel), saluran antarpribadi melibatkan upaya pertukaran informasi tatap muka antara dua atau lebih individu.

2.3 Kerangka Pemikiran

  Pertanian organik merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia ataupun pestisida kimia yang berlebihan dan saat ini sebagian besar petani mulai beralih kepada pembudidayaan padi organik. Ada beberapa alasan sehingga mereka mengembangkannya, diantaranya rasanya yang lebih enak, harganya yang lebih mahal dan dari segi kesehatan lebih sehat karena bebas dari bahan kimia. Namun demikian, karena padi organik merupakan inovasi, maka tentu tidak langsung diterima atau diadopsi oleh masyarakat, karena adopsi memiliki proses yang panjang mulai dari tahap pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, kemudian akhirnya menerimanya dan menerapkannya pada lahan mereka.

  Sebagian besar petani sudah ada yang berpikir ke arah usahatani secara organik dengan menggunakan pupuk kandang dan pupuk kimia dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan yang konvensional. Kelompok ini mulai sudah berpikir untuk menyuburkan tanah dengan menggunakan bahan-bahan organik sedangkan penggunaan pupuk kimia tujuannya adalah agar produksinya tidak drastic menurun. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk peningkatan produksi pada padi organik. Kelompok ini dikatakan sebagai kelompok yang menerapkan usahatani padi secara semiorganik.

  Tingkat adopsi petani yang berbeda-beda di setiap daerah. Perbedaan ini berhubungan dengan kondisi dari petani dilihat dari berbagai faktor-faktor seperti faktor sosial dan ekonomi petani (umur, tingkat pendidikan, lamanya berusahatani, frekuensi mengikuti penyuluhan, tingkat kosmopolitan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan). Selain itu diperlukan media untuk menyebarkan informasi mengenai pertanian organik baik secara langsung maupun tidak langsung. Desa Lubuk Bayas merupakan salah satu daerah yang menerapkan sistem pertanian padi secara organik. Di daerah tersebut terdapat petani yang menerapkan usahatani padi secara organik. Selain petani yang menerapkan organik, terdapat juga petani yang menerapkan usahatani padi secara konvensional dan secara semiorganik. Terdapat perbedaan persepsi dalam ketiga kelompok yang melakukan usahatani padi ini. Oleh karena itu perlu dikaji, bagaimana tingkat adopsi petani terhadap usahatani padi secara organik di daerah tersebut dan juga faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat adopsi petani tersebut.

  Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat Adopsi terhadap sistem pertanian padi organik adalah keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan untuk dicoba, kemungkinan untuk diamati, umur, pendidikan, pengalaman bertani, pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan, tingkat kosmopolitan, tingkat partisipasi, saluran media dan saluran antarpribadi. Faktor-faktor tersebut memiliki hubungan sehingga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menerapkan usahatani secara organik. Ilustrasi kerangka pemikiran ini dapat dilihat pada Gambar 1.

    Faktor-Faktor yang Berhubungan

    Dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Sistem Pertanian Padi

    Organik

   

  1) Keuntungan Relatif

   

  2) Kesesuaian

   

  3) Kerumitan

   

  4)

    Kemungkinan Dicoba   5)

  Kemungkinan Diamati

   

  6) Umur

  Tingkat Adopsi  

  7) Pendidikan

   

  8) Pengalaman Bertani

   

  9) Luas Lahan

   

  10) Jumlah Tanggungan

   

  11) Tingkat Kosmopolitan

   

  12) Tingkat Partisipasi

   

  13) Saluran Media Massa

   

  14) Saluran Antarpribadi

  Keterangan :

  : Hubungan

   

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Skema Pemikiran

2.4 Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan identifikasi masalah, tinjauan pustaka, landasan teori, dan kerangka pemikiran, hipotesis dalam penelitian ini adalah keuntungan relatif, kesesuaian, kerumitan, kemungkinan untuk dicoba, kemungkinan untuk diamati, umur, pendidikan, pengalaman bertani, pendapatan, luas lahan, jumlah tanggungan, tingkat kosmopolitan, tingkat partisipasi, saluran media dan saluran berhubungan nyata dengan tingkat adopsi terhadap sistem pertanian padi organik.

Dokumen yang terkait

Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Usaha Tani Padi Organik (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

6 82 136

Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi Pertanian Terpadu Usahatani Padi Organik(Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai )

9 95 91

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Hubungan Antara Karakteristik Petani Peternak Sapi Dengan Kinerja Penyuluh (Kasus: Desa Ara Condong, Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat)

0 3 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Perbandingan Peran Penyuluh Pertanian Lapangan (Ppl) Di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai Dengan Desa Karang Anyar Kecamatan Beringin, K

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Pertanian Organik - Analisis Finansial Usahatani Padi Organik (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai)

0 2 10

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kacang Kedelai

0 1 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Pengaruh Bantuan Pupuk, Benih, dan Pestisida PT. Perkebunan Nusantara III Terhadap Tingkat Pendapatan Petani Padi

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Analisis Finansial Dan Pemasaran Stroberi Di Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rayat, Kabupaten Karo

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN - Strategi Pengembangan Kud Di Kabupaten Deli Serdang

0 0 17

Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Tingkat Adopsi Petani Terhadap Usaha Tani Padi Organik (Studi Kasus : Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 0 37