BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skabies 2.1.1. Pengertian Skabies - Pengaruh Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies pada Anak Usia Sekolah di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skabies

2.1.1. Pengertian Skabies

  Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya yang termasuk dalam kelas Arachnida. Infestasi merupakan penetrasi dari hidupnya kutu skabies pada predileksi kulit sedangkan sensitasi adalah proses reaksi tubuh terhadap infestasi skabies pada kulit tersebut. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut the itch,

  

seven year itch , gudikan, gatal agogo, budukan, suku badan, atau penyakit ampera

(Mansjoer, 2000).

  Penyakit skabies sangat mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan kepada manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tidak langsung melalui baju, sprei, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah digunakan oleh penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya (Yosefw, 2007 ). Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti di sela-sela jari, siku, selangkangan.

  Penyakit terjadi karena kondisi kebersihan diri kurang terjaga dan sanitasi yang buruk (Putri, 2008).

  .

  9

Gambar 2.1. Skabies

2.1.2. Etiologi

  Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitasi tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Sarcoptes scabiei adalah tungau dari famili Sarcoptidae, ordo Acaria, kelas Arachnida. Badannya berbentuk oval, pipih datar di bagian ventral, dan convex di bagian dorsal. Yang jantan berukuran 150-200 mikron, sedang yang betina 300-350 mikron. Alat mulut terdiri dari selisere yang bergigi dan palpi menjadi satu dengan hypostom. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang menghadap ke depan dan 2 pasang menghadap ke belakang.

  Setelah melakukan kopulasi yang jantan mati dan yang betina gravid mencari tempat untuk meletakkan telurnya di stratum korneum dari kulit dengan membuat terowongan sambil meletakkan telur 4-5 butir sehari sampai selesai 40-50 butir. Dalam waktu 5 hari, telur akan menetas dan keluar larva dengan 3 pasang kaki. Larva ini akan meneruskan membuat terowongan ke arah lateral, membuat terowongan baru atau menembus mencari jalan keluar, lalu terjadi 2 stadium nimfa, lalu menjadi dewasa. Lingkaran hidup berlangsung 8-17 hari dan tungau betina dapat hidup 2-3 minggu sampai 1 bulan (Safar, 2009).

  2.1.3. Gambaran Klinis

  Gejala klinis utama pada skabies adalah rasa gatal, terutama dirasakan pada malam hari (pruritus nokturnal) atau bila cuaca panas serta pasien berkeringat, oleh karena rasa gatal disertai gejala lainnya, biasanya timbul 3-4 minggu setelah tersensitisasi oleh produk tungau di bawah kulit. Lesi yang timbul di kulit pada umumnya simetris dan tempat predileksi utama adalah sela jari tangan fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan, aerola mammae, umbilikus, penis, aksila, abdomen, bagian bawah dan bokong. Pada anak – anak usia kurang dari 2 tahun, lesi cenderung di seluruh ubuh, terutama kepala, leher, telapak, tangan dan kaki, sedangkan pada anak yang lebih besar predileksi lesi menyerupai orang dewasa (Sudibyo, 2007).

  Pada kulit anak akan terlihat papul-papul eritematosa berukuran 1-2 mm sebagai gejala awal infestasi. Tetapi karena sangat gatal dan akibat garukan dapat timbul erosi, pustul, ekskoriasi, kusta, dan infeksi sekunder yang menyebabkan gambaran lesi primer tersebut menjadi kabur dan tidak khas lagi. Juga dapat tampak vesikel di sepanjang terowongan yang pada bagian ujungnya biasanya dapat ditemukan tungau.

  Pada skabies yang kronik, kulit penderita dapat menebal (likenifikasi) dan tampak berwarna lebih gelap (hiperpigmentasi). Erupsi dapat meluas tanpa mengenal batas predileksi atau target zone yang disebabkan oleh reaksi alergi. Terganggu akibat rasa gatal pada malam hari, akibatnya nafsu makan berkurang. Beberapa bentuk klinis skabies antara lain: 1)

  Skabies pada orang bersih (Scabies of cultivated) Bentuk ini ditandai dengan lesi berupa papul dan terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar ditemukan. Dalam penelitian dari 1000 orang penderita skabies, hanya pada 7% penderita skabies tersebut ditemukan terowongan.

  2) Skabies in cognito

  Bentuk ini timbul pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan penularan masih dapat terjadi. Skabies in cognito sering juga menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa seperti distribusi atipik, lesi luas yang menyerupai penyakit kulit lainnya.

  3) Skabies nodular

  Pada bentuk ini lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus biasanya terdapat pada daerah yang tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal, dan aksila. Nodus timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau skabies. Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus dapat bertahan selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberikan pengobatan anti skabies dan kortikosteroid.

  4) Skabies yang ditularkan melalui hewan

  Sumber utama jenis skabies ini adalah hewan jenis anjing. Kelainan ini berbeda dengan skabies pada manusia yaitu tidak terdapat terowongan, tidak menyerang sela jari dan genitalia eksterna. Lesi biasanya terdapat pada daerah dimana orang sering kontak langsung atau memeluk hewan peliharaannya yaitu pada paha, dada, dan lengan. Masa inkubasi lebih pendek dan transmisi lebih mudah. Kelainan ini bersifat sementara (4-8 minggu) dan dapat sembuh sendiri karena skabies varietas binatang tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya pada manusia. 5)

  Skabies krustosa (skabies norwegia) Skabies krustosa atau norwegia pertama kali dilaporkan oleh Danielsen, seorang warga Norwegia yang menderita kusta. Skabies ini juga tidak hanya terjadi pada anak dengan retardasi mental, dementia senilis, penderita dengan kelemahan imunologik.

  6) Skabies pada bayi dan anak-anak

  Dalam kelompok usia ini, wajah, kulit, kepala, telapak tangan, dan telapak kaki umumnya diserang. Yang paling umum menimbulkan lesi adalah papule, vesicopustules dan nodules, akan tetapi distribusi dapat bersifat atipikal. Eksemastisasi dan impetigenisasi adalah paling sering terjadi pada bayi (Stone, 2007).

2.1.4. Patogenesis

  Tungau betina yang telah dibuahi mempunyai kemampuan untuk membuat terowongan pada kulit sampai di perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari. Di dalam terowongan ini tungau betina akan bertelur sebanyak 2 – 3 butir setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur sebanyak 40 – 50 butir semasa siklus hidupnya yang berlangsung kurang lebih 30 hari. Telur akan menetas dalam waktu 3-4 hari dan menjadi larva kemudian berubah menjadi nimfa dengan 4 pasang kaki dan selanjutnya menjadi tungau dewasa.

  Siklus hidup tungau mulai dari telur sampai dewasa memerlukan waktu selama 10-14 hari. Pada suhu kamar (21 C dengan kelembaban relatif 40-80) tungau masih dapat hidup di luar pejamu selama 24-36 jam. Penelitian lain tahun 1997 menemukan rata-rata 11 tungau betina pada seorang pasien skabies. Masuknya

  

Sarcoptes scabiei ke dalam epidermis tidak segera memberikan gejala pruritus. Rasa

  gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta adanya infestasi kedua sebagai manifestasi respon imun terhadap tungau maupun sekret yang dihasilkannya di terowongan bawah kulit. Sekret dan ekskreta yang dikeluarkan tungau betina bersifat toksik atau antigenik.

  Pada bayi dan anak sebagai kelompok yang paling banyak mengalami skabies, selain faktor imunitas yang belum memadai faktor penularan dari orangtua, terutama ibu, serta faktor anak yang sudah mulai beraktivitas di luar rumah dan di sekolah juga ikut berperan terhadap timbulnya skabies (Boediardja, 2003).

2.1.5. Epidemiologi

A. Distribusi 1) Distribusi Menurut Orang (Person)

  Di beberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6- 27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Suatu surveilans yang dilakukan pada tahun 2003 di sepanjang Sungai Ucayali, Peru, ditemukan beberapa desa dimana semua anak-anak di desa tersebut menderita skabies. Di India, Gulati dilaporkan prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun

  (Harahap, 2000).

  Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan usia dewasa muda, hal ini disebabkan karena anak-anak dan remaja memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena mereka belum telaten merawat diri serta belum memiliki pengalaman. Insiden pada laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan. Perempuan akan lebih kecil berisiko terpapar skabies karena perempuan cenderung lebih menjaga dan merawat penampilan, dengan demikian kebersihan diri perempuan juga lebih terawat.

  Sedangkan laki-laki cenderung tidak memperhatikan penampilan diri, hal itu tentunya akan berpengaruh terhadap perawatan kebersihan diri, dan kebersihan diri yang buruk tersebut akan berpengaruh terhadap kejadian skabies.

  Pada kelompok dengan pendidikan yang tinggi akan memiliki risiko terpapar skabies yang lebih kecil, karena semakin tinggi pendidikan formal yang dicapai, maka semakin baik pula proses pemahaman seseorang dalam menerima sebuah informasi tentang skabies. Kelompok etnik meliputi kelompok homogen berdasarkan kebiasaan hidup maupun homogenitas biologis. Dari segi epidemiologi kelompok orang-orang yang tinggal dan hidup bersama dalam waktu yang cukup lama lebih berisiko terpapar skabies.

2) Distribusi Menurut Tempat (Place)

  Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Pada tahun 2005 di Behl ditemukan prevalensi anak-anak terkena skabies di desa-desa Indian adalah 10%. Di Santiago, Chili insiden tertinggi terdapat pada anak-anak. Pada daerah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi juga ditemukan angka kejadian yang lebih tinggi (Harahap, 2000).

  Menurut Departemen Kesehatan republik Indonesia, prevalensi skabies di Puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6-12,9%, dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Pada tahun 2003 prevalensi skabies adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai (Depkes. RI, 2004).

3) Distribusi Menurut Waktu (Time)

  Berdasarkan waktu, angka kejadian banyak ditemukan pada musim gugur dan dingin, karena aktifitas manusia yang lebih banyak di rumah dan menggunakan baju hangat yang berulang-ulang (lama tidak dibersihkan), dan kuman berkembang lebih baik pada musim dingin dan musim gugur.

B. Determinan 1) Faktor Agen

  Penyebab (agen) penyakit skabies adalah Sarcoptes scabiei. Berdasarkan hospes alaminya, Sarcoptes scabiei varian hominis pada manusia, varian hominis ovis pada domba, varian hominis canis pada anjing dan kucing, dan varian suis pada babi. Morfologi berbagai varian tersebut mirip satu dengan lainnya. Sarcoptes scabiei adalah tungau kecil, parasit berbentuk lonjong, bagian dorsal konveks, sedangkan

  bagian ventral pipih. Tungau ini mempunyai palpus dengan 3 segmen, tidak mempunyai mata maupun trakea. Seluruh permukaan tubuhnya tertutup garis-garis paralel halus. Kaki-kakinya memiliki epimer, pasangan kaki posterior tak melewati batas tepi badan. Pulvilus terdapat pada kaki pertama dan kedua parasit betina, sedangkan pada yang jantan, pulvilus terdapat pada kaki pertama, kedua dan keempat (Soedarto, 2003).

2) Faktor Host

  a) Usia

  Penyakit skabies banyak dijumpai pada anak dan usia dewasa muda, hal ini disebabkan karena anak-anak dan remaja memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena mereka belum telaten merawat diri serta belum memiliki pengalaman.

  b) Jenis Kelamin Faktor jenis kelamin memiliki risiko yang berbeda terhadap kejadian skabies.

  Berdasarkan penelitian Topik Hidayat (2011) wanita memiliki kecenderungan berperilaku bersih dan sehat positif sebanyak 1,014 kali lebih besar daripada laki-laki sehingga kejadian penyakit skabies pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.

  c) Pendidikan

  Pada kelompok dengan pendidikan yang tinggi akan memiliki risiko terpapar skabies yang lebih kecil, karena semakin tinggi pendidikan formal yang dicapai, maka semakin baik pula proses pemahaman seseorang dalam menerima sebuah informasi tentang skabies (Iskandar, 2000).

3) Faktor Lingkungan Lingkungan biologis, fisik dan sosial sangat mempengaruhi kejadian skabies.

  Lingkungan biologi yang mendukung perkembangan agen yaitu sarcoptes scabiei akan meningkatkan interaksi agen dengan manusia, sehingga risiko terjadinya penyakit semakin meningkat. Lingkungan fisik seperti udara, keadaaan cuaca, kelembaban, air, dan lain-lain sangat mempengaruhi keberadaan agen serta interaksinya dengan manusia. Lingkungan sosial yang meliputi kebiasaan hidup, status sosial dan budaya, ekonomi, serta sistem organisasi tempat tinggal sangat mempengaruhi kejadian skabies.

2.1.6. Diagnosis

  Menurut Handoko, 2007, diagnosis ditegakkan jika terdapat setidaknya dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu: 1)

  Pruritus nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

2) Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok.

  3) Adanya terowongan pada tempat- tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu- abuan, berbentuk lurus atau berkelok, rata- rata panjang 1cm, dan pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Tempat predileksinya adalah tempat-tempat dengan stratum korneum yang tipis seperti jari-jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, umbilikus, genetalia pria dan perut bagian bawah.

  4) Menemukan tungau. Untuk menemukan tungau atau terowongan, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: a)

  Kerokan kulit Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak mineral/ KOH, kemudian dikerok dengan scalpel steril untuk mengangkat atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan ditutup dengan lensa mantap, lalu diperiksa di bawah mikroskop.

  b) Mengambil tungau dengan jarum

  Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.

  c) Epidermal shave biopsy

  Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan telunjuk lalu diiris dengan scalpel no. 15 sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan tidak perlu anestesi.

  d) Burrow ink test

  Papul skabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan selama dua menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig- zag.

  e) Swab kulit Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan cepat.

  Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan mikroskop. f) Uji tetrasiklin

  Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan, kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin dalam terowongan akan menunjukkan fluoresensi.

2.1.7. Pencegahan Penyakit Skabies

  Penyakit skabies sangat erat kaitannya dengan kebersihan diri dan lingkungan yang tidak sehat, maka pencegahan penyakit skabies yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1)

  Menjaga kebersihan kulit dengan cara mandi minimal dua kali sehari dengan menggunakan sabun dan menggosok kulit agar kuman dapat diangkat dari kulit.

  2) Mencuci tangan dan kaki dan menjaga agar tangan dan kali tidak lembab khususnya sela-sela jari.

  3) Mencuci pakaian dan linen dengan deterjen, menyetrika dan menyimpannya pada tempat yang bersih.

  4) Menjemur kasur dan bantal minimal sekali seminggu. 5) Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain. 6) Membersihkan tempat tidur dan kamar tidur setiap hari. 7)

  Apabila memelihara hewan peliharaan agar merawat hewan tersebut dan kandangnya.

  8) Menjaga kelembapan, pencahayaan, dan luas ventilasi serta kepadatan penghuni kamar sesuai dengan persyaratan kesehatan lingkungan rumah.

  9) Menghindari kontak dengan orang-orang, hewan serta kain atau barang-barang yang dicurigai terinfeksi skabies (Soedarto, 2003).

2.2. Personal Hygiene Personal hygiene merupakan faktor intrinsik yang melekat pada host.

  

Personal hygiene atau kebersihan diri adalah upaya seseorang dalam memelihara

  kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperoleh kesejahteraan fisik dan psikologis (Wartonah, 2010). Tujuan personal hygiene adalah untuk memelihara kebersihan diri, menciptakan keindahan, serta meningkatkan derajat kesehatan individu sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit pada diri sendiri maupun orang lain.

2.2.1. Faktor yang Memengaruhi Personal Hygiene

  Faktor-faktor yang memengaruhi personal hygiene antara lain: 1)

  Budaya Sejumlah mitos yang berkembang di masyarakat menjelaskan bahwa saat individu sakit ia tidak boleh dimandikan karena dapat memperparah sakitnya.

  2) Status Sosial-Ekonomi

  Untuk melakukan personal hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang cukup (misalnya; sabun, sikat gigi, shampo, dan lain-lain). Hal tersebut membutuhkan biaya, dengan kata lain, sumber keuangan individu akan berpengaruh pada kemampuannya mempertahankan personal hygiene yang baik.

  3) Tingkat Pengetahuan atau Perkembangan Individu

  Kedewasaan seseorang akan memberi pengaruh tertentu pada kualitas diri orang tersebut, salah satunya adalah pengetahuan yang lebih baik. Pengetahuan penting dalam meningkatkan status kesehatan individu, sebagai contoh, agar terhindar dari penyakit kulit, maka harus mandi dengan bersih setiap hari.

  4) Status Kesehatan

  Kondisi sakit atau cedera akan menghambat kemampuan individu dalam melakukan perawatan diri. Hal ini tentunya berpengaruh pada tingkat kesehatan individu. Individu akan semakin lemah dan jatuh sakit. 5)

  Kebiasaan Kebiasaan individu dalam menggunakan produk-produk atau benda tertentu dalam melakukan perawatan diri, misalnya menggunakan showers, sabun orang lain, pakaian atau handuk orang lain dapat menimbulkan penularan penyakit skabies. 6)

  Cacat Jasmani/Mental Bawaan Kondisi cacat dan gangguan mental menghambat kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri secara mandiri (Alimul, 2009).

2.2.2. Faktor-faktor Personal Hygiene yang Memengaruhi Kejadian Skabies

  Faktor-Fakror personal hygiene yang memengaruhi kejadian skabies adalah sebagai berikut:

A. Kebersihan Kulit

  Kulit merupakan salah satu bagian penting dari tubuh yang dapat melindungi tubuh dari berbagai kuman atau trauma, sehingga diperlukan perawatan yang adekuat

  (cukup) dalam memepertahankan fungsinya. Sebagai bagian dari organ pelindung, kulit secara anatomis terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan epidermis dan lapisan dermis. Kulit memiliki fungsi sebagai berikut : 1)

  Melindungi tubuh dari masuknya berbagai kuman atau trauma jaringan dalam yang juga dapat menjaga keutuhan kulit.

  2) Mengatur keseimbangan suhu tubuh dan membantu produksi keringat serta penguapan.

  3) Sebagai alat peraba yang dapat membantu tubuh menerima rangsangan dari luar melalui rasa sakit, sentuhan, tekanan, atau suhu.

4) Sebagai alat ekskresi keringat melalui pengeluaran air, garam, dan nitrogen.

  5) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit yang bertugas mencegah pengeluaran cairan tubuh secara berlebihan.

  6) Memproduksi dan menyerap vitamin D sebagai penghubung atau pemberi vitamin D dari sinar ultraviolet matahari.

  Perubahan dan keutuhan kulit sangat dipengaruhi oleh usia, jaringan kulit, dan keadaan lingkungan. Kulit anak sangat rawan terhadap berbagai trauma dan masuknya kuman, sebaliknya pada orang dewasa kematangan kulit sudah sempurna sehingga fungsinya sebagai pelindung sudah baik. Jaringan kulit yang rusak akan merubah struktur kulit. Selain itu, keadaan lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keadaan kulit, contohnya kondisi panas dapat membuat kulit lebih sensitif terhadap paparan (Alimul, 2009).

  Kebersihan kulit merupakan cerminan kesehatan yang paling pertama memberikan kesan. Oleh karena itu perlu memelihara kulit sebaik-baiknya.

  Pemeliharaan kesehatan kulit tidak dapat terlepas dari kebersihan lingkungan, makanan yang dimakan serta kebiasaan hidup sehari-hari. Dalam memelihara kebersihan kulit kebiasaan-kebiasaan yang sehat harus selalu diperhatikan adalah menggunakan barang-barang keperluan sehari-hari milik sendiri, mandi minimal 2 kali sehari, mandi memakai sabun, menjaga kebersihan pakaian, makan yang bergizi terutama banyak sayur dan buah, dan menjaga kebersihan lingkungan.

  Kulit menerima berbagai rangsangan dari luar dan menjadi pintu masuk utama kuman patogen ke dalam tubuh. Bila kulit bersih dan terpelihara, kita dapat terhindar dari berbagai penyakit, gangguan, atau kelainan yang mungkin muncul. Selainitu, kondisi kulit yang bersih akan menciptakan perasaan segar dan nyaman, serta membuat seseorang sehat.

  Pada umumnya kulit dibersihkan dengan cara mandi. ketika mandi, kita sebaiknya menggunakan jenis sabun yang banyak mengandung lemak nabati karena dapat mencegah hilangnya kelembapan dan menghaluskan kulit. Kebersihan kulit anak harus lebih diperhatikan karena sering sekali buang air dan senang bermain dengan kotoran. Cara perawatan kulit adalah biasakan mandi minimal dua kali sehari atau setelah beraktivitas, gunakan sabun yang tidak bersifat iritasi. Seluruh tubuh harus dibersihkan dengan cara mandi menggunakan sabun terutama area lipatan kulit, lalu keringkan tubuh dengan handuk yang lembut dari wajah, tangan, badan, hingga kaki.

B. Kebersihan Tangan

  Seperti halnya kulit, tangan harus dipelihara dan ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup sehari-hari. Tangan yang bersih menghindarkan manusia dari berbagai penyakit. Tangan yang kotor dapat menyebabkan bahaya kontaminasi dan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu.

  Untuk menghindari bahaya kontaminasi maka harus membersihkan tangan sebelum makan, memotong kuku secara teratur, dan membersihkan lingkungan.

  Tangan adalah anggota tubuh yang paling banyak berhubungan dengan apa saja. Tangan digunakan untuk menjamah makanan setiap hari. Selain itu, sehabis memegang sesuatu yang kotor atau mengandung kuman penyakit, selalu tangan langsung menyentuh mata, hidung, mulut, makanan serta minuman. Hal ini dapat menyebabkan pemindahan sesuatu yang dapat berupa penyebab terganggunya kesehatan karena tangan merupakan perantara penularan kuman.

  Berdasarkan penelitan WHO dalam National Campaign for Handwashing

  

with Soap (2007) menunjukkan mencuci tangan pakai sabun dengan benar pada 5

  waktu penting yaitu sebelum makan, sesudah buang air besar, sebelum memegang bayi, sesudah menceboki anak, dan sebelum menyiapkan makanan dapat mengurangi angka kejadian skabies sampai 40%. Cuci tangan pakai sabun dengan benar juga dapat mencegah penyakit menular lainnya.

  Langkah yang tepat cuci tangan pakai sabun adalah seperti berikut (National

  Campaign for Handwashing with Soap , 2007):

  1) Basuh tangan dengan air mengalir dan gosokkan kedua permukaan tangan dengan sabun secara merata, terutama sela-sela jari.

  2) Bilas kedua tangan sampai bersih dengan air yang mengalir. 3) Keringkan tangan dengan menggunakan kain lap yang bersih dan kering.

  C. Kebersihan Kaki

  Kebersihan kaki harus dijaga yaitu dengan menggunakan sepatu dan kaus kaki yang kering dan bersih, agar terhindar dari penyakit skabies karena tungau

  Sarcoptes scabiei selalu hidup pada tempat yang lembab dan tertutup, sehingga sela-

  sela jari merupakan bagian kaki yang sering mengalami skabies. Di samping itu kebersihan kuku kaki sangat penting untuk diperhatikan karena kuku merupakan pelengkap kulit.

  Kuku yang sehat berwarna merah muda. Cara merawat kuku antara lain: kuku jari tengah dapat dipotong dengan pengikir atau memotongnya dalam bentuk oval (bujur) atau mengikuti bentuk jari, sedangkan kuku jari kaki dipotong dalam bentuk lurus. Jangan memotong kuku terlalu pendek karena bisa melukai selaput kulit dan kulit di sekitar kuku. Jangan membersihkan kotoran di balik kuku dengan benda tajam, sebab akan merusak jaringan di bawah kuku. Potong kuku seminggu sekali atau sesuai kebutuhan (Proverawati, 2012).

  D. Kebersihan Pakaian

  Pakaian yang kotor akan menghalangi seseorang untuk sehat dan segar walaupun seluruh tubuh sudah bersih. Pakaian banyak menyerap keringat, lemak dan kotoran yang dikeluarkan badan. Dalam sehari saja, pakaian berkeringat dan berlemak ini akan berbau busuk dan menganggu. Untuk itu perlu mengganti pakaian setiap hari. Saat tidur hendaknya mengenakan pakaian yang khusus untuk tidur dan bukannya pakaian yang sudah dikenakan sehari-hari yang sudah kotor.

E. Kebersihan Handuk

  Handuk merupakan kain yang digunakan untuk mengeringkan tubuh setelah mandi. Handuk yang bersih harus dicuci dengan deterjen, dikeringkan, disetrika dan disimpan di tempat yang bersih. Apabila digunakan, setiap hari harus dijemur di bawah sinar matahari. Penggantian harus dilakukan sekali seminggu dan tidak boleh dipakai oleh orang lain atau digunakan bergantian (Soejadi, 2007).

2.3. Sanitasi Lingkungan

  Menurut Notoadmojo (2003), sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, dan sebagainya. Banyak sekali permasalahan lingkungan yang harus dicapai dan sangat mengganggu terhadap tercapainya kesehatan lingkungan. Kesehatan lingkungan bisa berakibat positif terhadap kondisi elemen-elemen hayati dan non hayati dalam ekosistem. Menurut Entjang (2000), personal hygiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologi, sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Perilaku yang kurang baik dari manusia akan mengakibatkan perubahan ekosistem dan timbulnya sejumlah masalah sanitasi lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit skabies.

  Beberapa bagian sanitasi lingkungan yang mempengaruhi kejadian skabies adalah sebagai berikut:

2.3.1. Ketersediaan Air Bersih

  Air merupakan suatu sarana untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di samping itu air merupakan salah satu media dari berbagai macam penularan penyakit (Slamet, 2009). Menurut Notoatmodjo (2003), penyediaan air bersih harus memenuhi persyaratan yaitu : 1)

  Syarat fisik : persyaratan fisik untuk air bersih yang sehat adalah bening, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau.

  2) Syarat bakteriologis : air merupakan keperluan yang sehat yang harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen.

  3) Syarat kimia : air bersih yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu dalam jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia di dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.

  Selain syarat kualitas air, syarat kontinuitas air merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan penyakit skabies. Kurang tersedianya air bersih untuk menjaga kebersihan diri, dapat menimbulkan berbagai penyakit kulit seperti skabies. Hai ini terjadi karena kebersihan tubuh dan lingkungan yang tidak terjaga karena tidak tersedianya air bersih sehingga dapat menimbulkan penyakit skabies serta mempunyai kesempatan untuk berkembang dan menyebabkan penularan terhadap anggota keluarga yang lainnya. Berdasarkan Permenkes No. 829/Menkes/SK/

  VII/1999 kuantitas air yang harus tersedia adalah 60 liter/hari/orang. Dengan jumlah tersebut dapat mencegah kejadian skabies, karena skabies merupakan water based

  

disease , yaitu penularan penyakit yang berkaitan erat dengan penggunaan air untuk

kebersihan diri dan alat-alat.

  2.3.2. Kebersihan Tempat Tidur

  Salah satu penyebab skabies adalah tempat tidur yang tidak bersih, yaitu kasur, bantal, sprei, sarung bantal, dan selimut. Tungau Sarcoptes scabiei dapat hidup pada kasur dan bantal yang tidak dijemur teratur sekali seminggu, serta linen yang kotor yang digunakan.

  2.3.3. Kebersihan Kamar Tidur

  Kamar tidur merupakan tempat yang relatif kecil dan menjadi tempat tinggal manusia secara intens, maka harus dijaga agar dalam keadaan bersih. Sebaiknya jendela kamar tidur dibuka setiap pagi agar terjadi sirkulasi udara dan menjaga kelembaban udara agar kuman tidak dapat berkembangbiak. Kamar tidur sebaiknya dibersihkan setiap hari agar debu maupun kotoran tidak tinggal di dalam kamar sehingga mencegah berkembangnya kuman penyebab skabies di dalam kamar tidur.

  2.3.4. Keberadaan Hewan Peliharaan

  Penyakit skabies dapat ditularkan oleh hewan seperti anjing, kambing, kucing, babi, dan lain-lain (Harahap, 2000). Apabila memiliki hewan peliharaan sebaiknya hewan tersebut memiliki kandang dan dibersihkan secara teratur. Kebersihan dan kesehatan hewan peliharaan juga harus dijaga agar terhindar dari penyakit sehingga tidak menularkan penyakit kepada manusia (Soedarto, 2003).

  2.3.5. Pencahayaan

  Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup, karena suatu rumah yang tidak mempunyai cahaya selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan penyakit skabies. Sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan parasit dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri patogen. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan di dalam ruangan rumah terutama ruangan tidur. Pencahayaan alami atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Depkes RI,1999).

  2.3.6. Kelembaban Kelembaban sangat berperan penting dalam pertumbuhan kuman penyakit.

  Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Keadaan yang lembab dapat mendukung terjadinya penularan penyakit. Menurut Kepmenkes RI/No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan dari aspek kelembaban udara ruang, dipersyaratkan ruangan mempunyai tingkat kelembaban udara yang diperbolehakan antara 40-70%. Tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat ditambah dengan perilaku tidak sehat, misalnya dengan penempatan yang tidak tepat pada berbagai barang dan baju, handuk, sarung yang tidak tertata rapi, ikut berperan dalam penularan penyakit berbasis lingkungan seperti skabies (Soedjadi, 2003).

  2.3.7. Luas Ventilasi

  Udara segar dalam rumah diperlukan untuk mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Udara segar diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembapan dalam ruangan. Rumah yang sehat adalah rumah yang memiliki sistem pertukaran udara yang baik, karena penghuni memerlukan udara yang segar. Setiap ruang atau kamar tidur juga harus memiliki ventilasi yang cukup untuk mememnuhi kondisi atmosfer yang menyehatkan penghuninya. Ventilasi bermanfaat untuk sirkulasi atau pergantian udara dalam rumah dan mengurangi kelembaban.

  Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, mengencerkan konsentrasi debu atau kotoran terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet yang dapat masuk ke dalam rumah (Mukono, 2011). Menurut persyaratan ventilasi yang baik adalah

  ≥ 10 % dari luas rumah (Kepmenkes 1999).

  2.3.8. Kepadatan Penghuni Kamar Tidur

  Kepadatan hunian kamar tidur sangat berpengaruh terhadap jumlah kuman penyebab penyakit skabies. Selain itu kepadatan hunian kamar tidur dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam kamar tidur. Dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara dalam kamar tidur mengalami pencemaran oleh karena CO

  2 dalam rumah akan cepat meningkat dan akan menurunkan kadar O

  2

  di udara. Menurut Kepmenkes RI (1999), kepadatan dapat dilihat dari kepadatan

  2

  hunian ruang tidur yaitu luas ruangan tidur minimal 8 m dan tidak dianjurkan lebih dari dua orang dalam satu ruangan tidur, kecuali anak di bawah usia 5 tahun.

2.4. Anak Usia Sekolah

  Menurut UU No 20 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, anak usia sekolah adalah usia 4 tahun sampai dengan usia 18 tahun dan yang belum menikah. Batas usia anak tersebut ditentukan berdasarkan pertumbuhan fisik, psikososial, perkembangan anak dan karakteristik kesehatannya. Pembagian golongannya adalah taman kanak- kanak (usia 4-6 tahun), sekolah dasar (7-12 tahun), dan sekolah lanjutan/ remaja (13- 18 tahun).

  Anak usia sekolah mempunyai ciri pertumbuhan sangat cepat, sangat aktif, masa pertumbuhan otak, sehingga harus mendapatkan kebutuhan fisik dan psikis yang tepat. Namun, banyak masalah kesehatan yang kerap timbul pada anak usia sekolah. Lingkungan fisik yang buruk dengan sanitasi lingkungan dan sosial ekonomi yang jelek, diperberat dengan perilaku keluarga dan anak sendiri yang tidak baik membuat keterpaparan anak terhadap berbagai jenis penyakit semakin mudah terjadi.

  Permasalahan kesehatan yang sering terjadi pada anak usia sekolah antara lain: 1)

  Penyakit Menular Sekolah adalah tempat yang paling penting guruku; sekaligus sebagai tempat sumber penularan penyakit infeksi pada anak sekolah. Penyakit menular yang kerap terjadi antara lain demam berdarah dengue, skabies, campak, cacar air, diare, dan lain-lain.

  2) Penyakit Tidak Menular

  Penyakit tidak menular juga dapat terjadi pada anak usia sekolah, penyakit yang sering terjadi adalah alergi, karena banyak organ tubuh anak yang masih hipersensitif terhadap zat atau benda tertentu.

  3) Gangguan Pertumbuhan

  Penyebab gangguan pertumbuhan diantaranya adalah kurangnya asupan gizi dan adanya penyakit infeksi yang diderita oleh anak. Penyebab yang jarang adalah ketidaknormalan kromosom seperti down syndrome dan turner’s syndrom, gangguan sistem organ besar seperti jantung, otak, dan lain-lain, ketidaknormalan sistem hormon, dan lain-lain. 4)

  Gangguan Perkembangan dan Perilaku Anak Usia Sekolah Gangguan perkembangan dan perilaku anak usia sekolah yang banyak terjadi adalah penolakan sekolah, gangguan belajar, hiperkinetik atau gangguan motorik berlebihan, gangguan koordinasi dan keseimbangan, gangguan konsentrasi, impulsif (melakukan aktifitas yang membahayakan), gangguan emosi, gangguan depresi, autism, dan attention deficit hyperactive disorders (gangguan pemusatan perhatian) (Suyatno, 2010).

2.5. Landasan Teori

  Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada faktor risiko kejadian skabies dan teori simpul determinan penyakit. Faktor risiko kejadian skabies dapat digambarkan sebagai berikut:

  Sarcoptes Scabiei

  Manusia (Bionomik)

  (Personal Hygiene) Sanitasi Lingkungan

Gambar 2.2 Faktor Risiko Kejadian Skabies Faktor risiko kejadian skabies adalah berbagai faktor yang memiliki peran dalam kejadian atau timbulnya skabies. Faktor risiko skabies terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu faktor personal hygiene dan sanitasi lingkungan.

  Adapun Teori Simpul dari timbulnya kejadian skabies sebagai berikut:

  Sumber Media Dampak Manusia Penularan Transmisi Kesehatan Penderita Sanitasi Personal Sakit/Sehat

  Lingkungan hygiene Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.3. Kerangka Teori

  Sumber : Achmadi, 2011

  Dengan mengacu pada gambar skematik tersebut di atas maka simpul-simpul dalam penelitian ini yang berhubungan dengan kejadian skabies adalah: a) Simpul 1 yaitu sumber penularan penyakit adalah orang yang menderita skabies; b) Simpul 2 yaitu media transmisi penyakit adalah sanitasi lingkungan rumah meliputi penyediaan air bersih, perilaku penghuni dalam membersihkan tempat tidur, perilaku penghuni rumah dalam membersihkan kamar tidur, keberdaan hewan peliharaan, pencahayaan, kelembaban, luas ventilasi dan kepadatan penghuni kamar tidur. c) Simpul 3 yaitu personal hygiene meliputi kebersihan kulit, kebersihan tangan, kebersihan kaki, kebersihan pakaian, dan kebersihan handuk d) Simpul 4 yaitu kejadian penyakit atau gangguan dari hasil hubungan interaktif manusia dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan manusia, yaitu sakit atau sehat (Achmadi, 2011).

2.6. Kerangka Konsep

  

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

  Personal Hygiene: 1.

  Kebersihan Kulit 2. Kebersihan Tangan 3. Kebersihan Kaki 4. Kebersihan Pakaian 5. Kebersihan Handuk

  Kejadian Skabies Sanitasi Lingkungan: 1.

  Ketersediaan Air Bersih 2. Kebersihan Tempat Tidur 3. Kebersihan Kamar Tidur 4. Keberadaan Hewan Peliharaan 5. Pencahayaan 6. Kelembaban 7. Ventilasi 8. Kepadatan Penghuni Kamar

Dokumen yang terkait

Pengaruh Karakteristik dan Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Panti Asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri Kota Langsa Tahun 2013

2 64 122

Pengaruh Personal Hygiene dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Skabies pada Anak Usia Sekolah di Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang Tahun 2013

8 87 219

Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Personal Hygiene terhadap Kejadian Penyakit Skabies pada Warga Binaan Pemasyarakatan yang Berobat Ke Klinik di Rumah Tahanan Negara Klas 1 Medan

10 99 155

Hubungan Personal Hygiene Santri dengan Kejadian Penyakit Kulit Infeksi Skabies dan Tinjauan Sanitasi Lingkungan Pesantren Darel Hikmah Kota Pekanbaru Tahun 2011

49 306 141

Pengaruh Komponen Fisik Rumah Susun, Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Rumah Susun Sederhana Sewa di Kota Medan Tahun 2015

3 56 197

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perjanjian Terapeutik 2.1.1. Pengertian Perjanjian Terapeutik - Analisis Penerapan Informed Consent Di Bagian SMF Bedah dan SMF Kandungan RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

0 1 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Kehidupan Anak Penyusun Batu Bata di Jalan Pelak Desa Sekip Kecamatan Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi - Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

0 3 34

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Skabies - Pengaruh Karakteristik dan Perilaku terhadap Kejadian Penyakit Skabies di Panti Asuhan Taman Harapan dan Bustanul Fikri Kota Langsa Tahun 2013

0 0 35

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hygiene dan Sanitasi - Hygiene Sanitasi Makanan dan Pemeriksaan Formalin Serta Boraks Pada Makanan Jajanan (Otak-Otak) di Kota Tanjungpinang Tahun 2013

0 13 27