BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vektor 2.1.1. Defenisi Vektor - Hubungan Kondisi Kandang Ternak dengan Kejadia Malaria pada Masyarakat di Desa lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Vektor

  2.1.1. Defenisi Vektor

  Vektor adalah parasit arthropoda dan siput air yang berfungsi sebagai penular penyakit baik pada manusia maupun hewan. Ada beberapa jenis vektor dilihat dari cara kerjanya sebagai penular penyakit. Keberadaan vektor ini sangat penting karena kalau tidak ada vektor maka penyakit tersebut juga tidak akan menyebar (Soulsby dalam Beriajaya).

  2.1.2. Vektor Sebagai Penular Penyakit

  Arthropoda sebagai vektor yang mampu menularkan penyakit dapat berperan sebagai vektor penular dan sebagai intermediate host (Slamet, 1994).

1. Arthropoda Sebagai Vektor Penular

  Arthropoda sebagai penular berarti arthropoda sebagai media yang membawa

  

agent penyakit dan menularkannya kepada inang (host). Vektor dikategorikan atas 2

  yaitu :

  a. Vektor Mekanik Vektor mekanik merupakan vektor yang membawa agent penyakit dan menularkannya kepada inang melalui kaki-kakinya ataupun seluruh bagian luar tubuhnya dimana agent penyakitnya tidak mengalami perubahan bentuk maupun jumlah dalam tubuh vektor. Arthropoda yang termasuk ke dalam vektor mekanik antara lain kecoa dan lalat. b. Vektor Biologi Vektor biologi merupakan vektor yang membawa agent penyakit dimana agent penyakitnya mengalami perubahan bentuk dan jumlah dalam tubuh vektor. Vektor Biologi terbagi atas 3 berdasarkan perubahan agent dalam tubuh vektor, yaitu :

  i. Cyclo Propagative Cyclo propagative yaitu dimana infeksius agent mengalami perubahan

  bentuk dan pertambahan jumlah dalam tubuh vektor maupun dalam tubuh host. Misalnya, plasmodium dalam tubuh nyamuk anopheles betina.

  ii. Cyclo Development Cyclo development yaitu dimana infeksius agent mengalami perubahan

  bentuk namun tidak terjadi pertambahan jumlah dalam tubuh vektor maupun dalam tubuh host. Misalnya, microfilaria dalam tubuh manusia.

  iii. Propagative Propagative yaitu dimana infeksius agent tidak mengalami perubahan

  bentuk namun terjadi pertambahan jumlah dalam tubuh vektor maupun dalam tubuh host. Misalnya, Pasteurella pestis dalam tubuh xenopsila

  cheopis.

2. Arthropoda Sebagai Intemediate Host

  Arthropoda sebagai intermediate host artinya arthropoda berperan hanya sebagai tuan rumah ataupun tempat perantara agent infeksius tanpa memindahkan ataupun menularkan agent infeksius tersebut ke tubuh inang (host).

2.1.3. Pengendalian Vektor

  Dalam PERMENKES RI No 374/MENKES/PER/III/2010, pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk:

  1. Menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularanan penyakit di suatu wilayah.

  2. Menghindari kontak dengan vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah.

  Vektor merupakan makhluk hidup yang perlu untuk dikendalikan. Terdapat 3 metode pengendalian vektor yaitu:

  1. Pengendalian secara fisik dan mekanik Metode pengendalian fisik dan mekanik adalah upaya-upaya untuk mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik. Contohnya: modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan (3M, pembersihan lumut, penenman bakau, pengeringan, pengalihan/ drainase, dll), pemasangan kelambu, memakai baju lengan panjang, penggunaan hewan sebagai umpan nyamuk (cattle barrier), pemasangan kawat.

  2. Pengendalian secara biologi Pengendalian secara biologi yaitu pemanfaatan predator yang menjadi musuh vektor dan bioteknologi sebagai alat untuk mengendalikan vektor.

  Misalnya, predator pemakan jentik (ikan, mina padi,dan lain sebagainya), pemanfaatan bakteri, virus, fungi, manipulasi gen (penggunaan vektor jantan mandul dan lain sebagainya)

  3. Pengendalian secara kimia Pengendalian secara kimia merupakan pengendalian vektor dengan menggunakan pestisida kimia. Misalnya, penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida dan lain sebagainya

2.2. Vektor Penyakit Malaria

  Diperkirakan di dunia terdapat 422 spesies nyamuk Anopheles dan ada 67 spesies yang telah dikonfirmasi dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah diidentifikasi sebanyak 90 spesies, 20 diantaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria. Nyamuk Anopheles yang telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria A.

  

aconitus, A. punculatus, A. farauti, A.balabacencis, A. punculatus, A. farauti, A.

balabacencis, A. sundaicus, A. maculatus. Sedangkan di luar pulau tersebut khusunya

  Indonesia Tengah dan wilayah timur adalah A. punctulatus, A. farauti, A.koliensis, A.balabacencis, A. barbirostris, A. subpictus (Achmadi,2008).

  Beberapa faktor lingkungan sangat berperan dalam tumbuhnya nyamuk sebagai vektor penular penyakit malaria. Faktor-faktor tersebut antara lain, lingkungan fisik, seperti suhu udara. Suhu udara mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi ekstrinsik, yakni fase sopogoni dalam perut nyamuk. Kelembaban udara yang akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin besar kemungkinan perkembangbiakannya, sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. Sundaicus lebih suka tempat teduh. Faktor lain, adalah arus air. An. Barbirostris lebih suka aliran tenang sedikit mengalir. Oleh sebab itu pada musim hujan, populasi nyamuk ini berkurang (Susanna dalam Achmadi, 2008).

  Beberapa jenis nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah disebut endofagik, dan ada yang suka menggigit di luar rumah atau eksofagik. Setelah itu beristirahat di dalam (endofilik) atau di luar rumah (eksofilik), dan ada yang suka menggigit sore hari atau malam hari atau pada tempat teduh dan gelap. Tempat tinggal manusia dan ternak, khususnya atap yang terbuat dari kayu merupakan tempat yang paling disenangi oleh anopheles (Achmadi, 2008).

  Sumber: Achmadi, Umar Fahmi, 2005

2.2.1. Bionomik Nyamuk Malaria

  1. Tempat Perindukan Keberadaan nyamuk malaria di suatu daerah sangat tergantung pada lingkungan, keadaan wilayah seperti perkebunan, keberadaan pantai, curah hujan, kecepatan angin, suhu, sinar matahari, ketinggian tempat dan bentuk perairan yang ada. Nyamuk Anopheles aconitus dijumpai di daerah-daerah persawahan, tempat perkembangbiakan nyamuk ini terutama di sawah yang bertingkat-tingkat dan di saluran irigasi (Hiswani, 2004). Anopheles balabacencis dan An. maculatus adalah dua spesies nyamuk yang banyak ditemukan di daerah-daerah pegunungan non persawahan dekat hutan. Kedua spesies ini banyak dijumpai pada peralihan musim hujan ke musim kemarau dan sepanjang musim kemarau (Barodji dkk, 2001). Tempat perkembangbiakannya di genangan-genangan air yang terkena sinar matahari langsung seperti genganan air di sepanjang sungai, pada kobakan-kobakan air di tanah, di mata air - mata air dan alirannya, dan pada air di lubang batu-batu (Barodji, 1987).

  Kepadatan jentik nyamuk An. balabacencis bisa ditemukan baik pada musim penghujan maupun pada musim kemarau. Jentik-jentik An. balabacencis ditemukan di genangan air yang berasal dari mata air, seperti penampungan air yang dibuat untuk mengairi kolam, untuk merendam bambu/kayu, mata air, bekas telapak kaki kerbau dan kebun salak. Dari gambaran di atas tempat perindukan An. balabacencis tidak spesifik seperti An. maculatus dan An. aconitus, karena jentik An. Balabacencis dapat hidup di beberapa jenis genganan air, baik genangan air hujan maupun mata air, pada umumnya kehidupan jentik An. balabacencis dapat hidup secara optimal pada genangan air yang terlindung dari sinar matahari langsung, diantara tanaman/vegetasi yang homogen seperti kebun salak, kebun kapulaga dan lain-lain (Barodji dkk, 2001).

  

An. maculatus yang umum ditemukan di daerah pegunungan, ditemukan pula di

  daerah persawahan dan daerah pantai yang ada sungai kecil-kecil dan berbatu-batu (Barodji dkk, 2001).

  Puncak kepadatan An. maculatus dipengaruhi oleh musim, pada musim kemarau kepadatan meningkat, hal ini disebabkan banyak terbentuk tempat perindukan berupa genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau tergenang. Perkembangbiakan nyamuk An. maculatus cenderung menurun bila aliran sungai menjadi deras (flushing) yang tidak memungkinkan adanya genangan di pinggir sungai sebagai tempat perindukan (Sunaryo, 2001) An. sundaicus dijumpai di daerah pantai, tempat perindukannnya adalah di air payau dengan salinitas antara 0- 25 per mil, seperti rawa-rawa berair payau, tambak-tambak ikan tidak terurus yang banyak ditumbuhi lumut, lagun, muara-muara sungai yang banyak ditumbuhi tanaman air dan genangan air di bawah hutan bakau yang kena sinar matahari dan berlumut (Hiswani, 2004). An. sundaicus ditemukan sepanjang tahun dan paling banyak ditemukan pada pertengahan sampai akhir musim kemarau (September- Desember) (Sundararman dkk, 1957).

2. Tempat Istirahat

  Lingkungan fisik yang diperhatikan dalam kejadian malaria adalah jarak rumah dari tempat istirahat dan tempat perindukan yang disenangi nyamuk Anopheless seperti adanya semak yang rimbun akan menghalangi sinar matahari menembus permukaan tanah, sehingga adanya semak-semak yang rimbun berakibat lingkungan menjadi teduh serta lembab dan keadaan ini merupakan tempat istirahat yang disenangi nyamuk Anopheles, parit atau selokan yang digunakan untuk pembuangan air merupakan tempat berkembang biak yang disenangi nyamuk, dan kandang ternak sebagai tempat istirahat nyamuk sehingga jumlah populasi nyamuk di sekitar rumah bertambah (Handayani dkk, 2008).

  Tempat istirahat alam nyamuk Anopheles berbeda berdasarkan spesiesnya. Tempat istirahatnya An. aconitus pada pagi hari umumnya di lubang seresah yang lembab dan teduh, terletak di tengah kebun salak (Damar, 2002). Tempat istirahat An.

  

aconitus pada umumnya di tempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas

  cahaya rendah, serta di lubang tanah bersemak. An. aconitus hinggap di tempat- tempat dekat tanah. Nyamuk dewasa hinggap dalam rumah dan kandang, tetapi tempat hinggap yang paling disukai ialah di luar rumah. Nyamuk ini biasanya hinggap di daerah-daerah yang lembab, seperti di pinggir-pinggir parit, tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab (Hiswani, 2004). Tempat istirahat An.

  

balabacencis pada pagi hari umumnya di lubang seresah yang lembab dan teduh,

  terletak ditengah kebun salak (Damar, 2002). An. balabacencis juga ditemukan di tempat yang mempunyai kelembaban tinggi dan intensitas cahaya yang rendah serta di lubang tanah bersemak (Harijanto, 2000). Di luar rumah tempat istirahat An.

  

maculatus adalah di pinggiran sungai-sungai kecil dan di tanah yang lembab

  (Sundararman dkk, 1957). Perilaku istirahat nyamuk An. sundaicus ini biasanya hinggap di dinding-dinding rumah penduduk (Hiswani, 2004).

2.3. Malaria

2.3.1. Defenisi Malaria

  Istilah malaria diambil dari dua kata bahasa italia yaitu mal yaitu buruk dan

  area yaitu udara atau udara buruk karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa -

  rawa yang mengeluarkan bau busuk. Penyakit ini juga mempunyai nama lain seperti demam roma, demam rawa, demam tropik, demam pantai, demam charges, demam kura dan paludisme ( Prabowo, 2004 ).

  Malaria merupakan penyakit menular yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles yang disebabkan oleh parasit atau protozoa dari genus plasmodium. Terdapat empat spesies plasmodium penyebab malaria pada manusia, yaitu plasmodium vivax, plasmodium falciparum, plasmodium malariae, dan

  plasmodium ovale. (Anies, 2006). Jenis plasmodium tersebut menimbulkan malaria yang berbeda pola demam maupun gejala-gejala klinik yang ditimbulkannya.

  Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax, disebut juga malaria tertiana brnigna (jinak), sedangkan Plasmodium faciparum menimbulkan malaria falciparum atau malaria tertiana maligna (ganas). Selain itu Plasmodium falciparum juga menimbulkan malaria perniciosa dan Blackwater Fever. Plasmodium malariae menimbulkan malaria malariae, dan Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale. (Soedarto, 2009).

  Parasit Plasmodium berkembang di dalam sistem imun (kekebalan tubuh) manusia, menginfeksi hati, dan menghancurkan sel darah merah. Pada masa inkubasi,

  

Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel hati. Beberapa hari sebelum

  gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam.

  Demam ini dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi (FKUI, 1990).

2.3.2. Siklus Hidup Plasmodium Malaria

  Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya, yaitu manusia dan nyamuk Anopheles betina (Harijanto P.N.2000)

1. Siklus Pada Manusia

  Pada waktu nyamuk Anopheles infektif mengisap darah manusia, sporozoit yang berada dalam kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dsalam peredaran darah selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10.000 sampai 30.000 merozoit hati. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositer yang berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun- tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps (kambuh) (Depkes RI.2006)

  Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke dalam peredaran darah dan menginfeksi sela darah merah. Di dalam sel darah merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.

  Siklus inilah yang disebut dengan siklus eritrositer. Setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang meninfeksi sel darah merah dan membentuk stadium seksual yaitu gametosit jantan dan betina (Depkes RI. 2006)

2. Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina

  Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk, gamet jantan dan gamet betina melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot ini akan berkembang menjadi ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Di luar dinding lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit yang nantinya akan bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia (Harijanto, 2000)

  Masa inkubasi atau rentang waktu yang diperlukan mulai dari sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam bervariasi, tergantung dari spesies Plasmodium, sedangkan masa prepaten atau rentang waktu mulai dari sporozoit masuk sampai parasit dapat dideteksi dalam darah dengan pemeriksaan mikroskopik (Harijanto, 2000).

2.3.3. Penularan Malaria

  Infeksi malaria bermula ketika nyamuk betina anopheles menyuntikkan sporozoit salah satu bentuk dalam siklus kehidupan plasmodium di alam bebas ini, ketika nyamuk menghisap darah manusia. Bentuk sporozoit ini dikeluarkan dari kelenjar ludah nyamuk (Harrisons dalam Umar Fachmi, 2008).

  Pada keadaan tertentu, penularan dapat juga terjadi dengan masuknya bentuk aseksual (tropozoit) sehingga terjadi trophozoite incluced malaria. Penularan melalui transfusi darah, melalui plasenta yag rusak atau penularan melalui jarum suntik. (Soedarto, 1990).

  Faktor penentu penularan terbagi ke dalam 2 kelompok variabel, yaitu:

  1. Faktor yang berpengaruh langsung, rata-rata nyamuk menggigit manusia dalam sehari, rata-rata gametosit plasmodium pada populasi, lamanya siklus sporogonik dalam tubuh nyamuk, rata-rata kemampuan hidup harian pada nyamuk.

  2. Lingkungan dan iklim, curah hujan, kekeringan, pengelolaan lingkungan buatan, perubahan pola menggigit vektor, suhu udara, kelembaban (Susanna dalam Achmadi, 2008). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Tahun 2009 tentang Eliminasi malaria di Indonesia, penyebaran malaria disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:

  1. Perubahan lingkungan yang tidak terkendali dapat menimbulkan tempat perindukan nyamuk malaria.

  2. Banyaknya nyamuk Anopheles sp yang telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria (17 spesies), dari berbagai macam habitat.

  3. Mobilitas penduduk yang relatif tinggi dari dan ke daerah endemik malaria.

  4. Perilaku masyarakat yang memungkinkan terjadinya penularan.

  5. Semakin meluasnya penyebaran parasit malaria yang telah resisten terhadap obat anti malaria.

  6. Terbatasnya akses pelayanan kesehatan untuk menjangkau seluruh desa yang bermasalah malaria, karena hambatan geografis, ekonomi, dan sumber daya.

2.3.4. Gejala-Gejala Klinis Malaria

  Secara umum seorang yang mengalami penyakit malaria akan merasakan gejala penyakit seperti demam, pening, lemas, pucat (karena kurang darah), nyeri otot, chess pain, menggigil, suhu bisa mencapai 40 C terutama pada infeksi falciparum. Pada infeksi falciparum bahkan seringkali mengalami koma, mual, muntah. Komplikasi yang sering timbul adalah splenomegali (pembesaran limpa), hipoglikemia, serta kegagalan ginjal (Achmadi, 2008).

  1. Tahap demam menggigil atau stadium dingin (cold stage). Penderita akan merasa dingin menggigil yang amat sangat, nadi cepat dan lemah, bibir dan jari-jemari kebiru-biruan pucat, kadnag muntah. Pada anak-anak demam bisa menyebabkan kejang. Demam ini berkisar antara 15 menit hingga 1 jam.

  2. Tahap puncak demam (hot stage) yang berlangsung 2-6 jam, wajah memerah, kulit mengering, nyeri kepala, denyut nadi keras, haus yang amat sangat terus menerus, mual hingga muntah. Pada saat ini sebenarnya merupakan peristiwa pecahnya schizon matang menjadi merozoit-merozoit yang beramai-ramai memasuki aliran darah untuk menyerbu sel-sel darah merah.

  3. Stadium berkeringat. Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali.

  Hal ini bisa berlangsung 2 sampai 4 jam. Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik terutama pada anak-anak dan ibu hamil. Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena P.falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan. eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time) dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang (Mansjoer, 2001).

  Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria

  kronik. Limpa merupakan organ penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Pembesaran terjadi akibat timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah (Harijanto, 2000).

  Masa inkubasi setiap jenis malaria berbeda-beda. Pada malaria vivax dan malaria ovale inkubasi berlangsung antara 10 sampai 17 hari, pada malaria falciparum antara 8 sampai 12 hari dan pada malaria malariae, masa inkubasi berlangsung 21 sampai 40 hari (Soedarto, 2009)

2.3.5. Faktor Resiko Malaria

  Faktor resiko penyakit malaria adalah berbagai faktor yang memiliki peran dalam kejadian atau timbulnya penyakit malaria. Faktor resiko malaria terbagi ke dalam dua keompok besar, yakni faktor yang mempengaruhi siklus kehidupan plasmodium bersama kehidupan nyamuk sekaligus, serta siklus kehidupan plasmodium dalam tubuh penderita beserta perilaku kependudukannya.

  Menurut Achmadi, ada tiga faktor risiko malaria, yakni:

  1. Faktor risiko berkenaan dengan nyamuk, baik karakteristik maupun bionomiknya. Masing-masing wilayah dan nyamuk memiliki karakteristik ekosistem dan bionimik sendiri-sendiri, dan cara penularannya tergantung perilaku penduduk, kebiasaan, adat-istiadat, cara mencari nafkah, pekerjaan, dan lain-lain.

  2. Faktor risiko berkenaan dengan kependudukan. Kegiatan-kegiatan masyarakat yang dapat memberi peluang penularan malaria, tergantung jenis spesies yang ada. Contohnya, di Sumatera menyadap karet sering dilakukan pada pagi hari, kebiasaan nonton televisi di rumah, memelihara ternak di rumah karena takut di curi, dan lain sebagainya. Variabel lain yang berkenaan dengan kependudukan adalah mobilitas, lintas batas perladangan, konflik sosia yang menimbulkan pengungsian, serta bencana alam.

  3. Faktor risiko berkenaan dengan kondisi lingkungan. Faktor-faktor yang termasuk hal ini pada dasarnya adalah faktor-faktor yang membentuk ekosistem seperti topografi, suhu lingkungan, serta kondisi iklim yang berubah setiap musim. Iklim akan mempengaruhi kelembaban, suhu lingkungan, cahaya matahari, vegetasi dan sebagainya. Termasuk disini kondisi peruntukan lahan yang mengubah ekosistem menjadi ekosistem buatan, seperti perkebunan, persawahan, pertambangan.

2.3.6. Faktor-Faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria

1. Faktor Agen

  Nyamuk Anopheles dalam malariologi diartikan sebagai spesies yang mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai pembawa parasit (vektor) yang efisien.(Yudhastuti, 2005). Nyamuk Anopheles spp sebagai penular penyakit malaria yang menghisap darah hanya nyamuk betina yang diperlukan untuk pertumbuhan dan mematangkan telurnya. Jenis nyamuk Anopheles spp di Indonesia lebih dari 90 macam. Dari jenis yang ada 22 (ada yang menyebut 16) di antaranya mempunyai potensi untuk menularkan malaria. Setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2008).

  Menurut Achmadi (2008), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu: Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang. Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia. Zooanthropofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang dan juga manusia.

  Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus,

  A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya Indonesia wilayah tengah dan timur adalah A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis, A. punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis (Achmadi, 2008).

  Kepadatan nyamuk yang cukup tinggi akan menyebabkan penularan (transmisi) parasit antar manusia. Kepadatan nyamuk yang cukup tinggi dapat menyebabkan jumlah atau frekuensi kontak antara nyamuk dengan manusia cukup tinggi dan memperbesar keterpaparan serta risiko penularan ( Yudhastuti, 2005)

  2. Faktor Manusia

  Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Menurut Anies (2006), manusia menjadi sumber infeksi malaria bila mengandung gametosit dalam jumlah yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah manusia tersebut dan menularkan kepada orang lain.

  Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental (Anies, 2006).

  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2000). Di daerah endemis, penderita terutama anak-anak merupak sumber infeksi yang utama (Soedarto, 2009).

  3. Faktor Lingkungan

  Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, menurut Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu :

a) Lingkungan fisik

  i. Suhu Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus

  sporogoni atau masa inkubasi ekstrinsik. Suhu yang hangat membuat nyamuk mudah untuk berkembang biak dan agresif mengisap darah.

  Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar anatara 20-30 C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Pengaruh suhu ini berbeda bagi setiap spesies, pada suhu 26,70 C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falcifarum dan 8- 11 hari untuk P. vivax, 14-15 hari untuk P. malariae dan P. ovale. (Depkes RI, 2001) ii. Kelembaban

  Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek usia nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif atau lebih sering menggigit, juga mempengaruhi perilaku nyamuk, misalnya kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat, dan lain-lain dari nyamuk, sehingga meningkatkan penularan malaria. iii. Curah Hujan

  Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles. iv. Kecepatan Angin kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam merupakan saat terbang nyamuk ke dalam atau keluar rumah dan salah satu faktor yang ikut menentukan jumlah kontak antara manusia dan nyamuk adalah jarak terbang nyamuk (flight range) tidak lebih dari 0,5-3 km dari tempat perindukannya, jika ada tiupan angin yang kencang, bisa terbawa sejauh 20-30 km. v. Ketinggian

  Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria.

  Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut (di Bolivia). vi. Sinar matahari

  Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan

  A.pinctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.

  vii. Arus air

  A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau

  mengalir lambat, sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai air tergenang.

  b) Lingkungan biologik

  Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.

  c) Lingkungan kimiawi

  Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, seperti A. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.

d) Lingkungan sosial budaya

  Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.

  Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).

  Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap baik Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai risiko tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari.

2.4. Kandang Ternak

2.4.1. Defenisi Kandang ternak

  Kandang ternak adalah bangunan yang dapat digunakan untuk melindungi

ternak dari pengaruh cuaca buruk, seperti hujan, panas matahari, angin kencang dan

  gangguan lainnya.

2.4.2. Fungsi Kandang Ternak

  Walaupun karakteristik, genetik dan cara pemeliharaan berbeda-beda antara jenis ternak yang satu dengan jenis lainnya, namun secara umum fungsi kandang dalam suatu usaha peternakan dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Sebagai tempat tinggal bagi ternak agar terlindung dari pengaruh-pengaruh buruk iklim (hujan, panas dan angin) serta gangguan lainnya (hewan liar/buas dan pencurian).

  2. Menyediakan lingkungan yang nyaman agar ternak terhindar dari cekaman (stres) akibat perubahan lingkungan dan kebisingan, sehingga ternak dapat memberikan hasil produksi sebagaimana yang diharapkan.

  3. Mengendalikan kebutuhan ternak sesuai dengan tujuan pemeliharaan sebagai penghasil daging, telur, susu, wol dan kulit.

  4. Membatasi ruang gerak bagi ternak agar energi yang dikonsumsi dalam bentuk pakan dapat diubah secara efektif sehingga dapat meningkatkan efesiensi penggunaan pakan dan kebutuhan tenaga kerja.

  5. Menyediakan suhu ambang dengan kualitas udara yang baik, tingkat gas beracun yang rendah dan pencahayaan yang cukup.

  6. Menyediakan perlengkapan pakan dan minum yang baik.

  7. Membuat hasil produksi yang lebih bersih.

  8. Mempemudah pengelolaan dan pengawasan.

  9. Mempermudah pengontrolan internal parasit dan masalah penyakit.

  10. Mencegah pencemaran lingkungan dari ternak yang membuang kotoran sembarangan.

2.4.3. Syarat Kandang Ternak

  1. Cukup dapat sinar matahari, bersih, kering

  2. Ventilasi baik

  3. Drainase dalam dan luar kandang harus lancar

  4. Dalam satu kandang babi harus sejenis dan seumur

  5. Ukuran Kandang: i. Ukuran kandang anak babi 2,5 x 1,5 m/ekor ii. Babi pejantan 3 x 2 m/ekor iii. Kandang penggemukan 40 Kg (0,36 m/3kor), berat 40-90 Kg (0,50 m/ekor), daan berat >90 Kg (0,75 m/ekor).

  Membangun kandang dalam bentuk bangunan seperti untuk hewan besar seperti sapi, kerbau, kambing, domba dan lainnya banyak hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

  1. Struktur tanah, hal ini penting untuk mengurangi gangguan kesehatan pada ternak, tanah yang cenderung berawa atau berair dapat menjadi masalah serius dalam kesehatan ternak.

  2. Arah angin, sebelum membangun kandang perhatikanlah arah angin yang biasa bertiup di daerah anda ini bisa berguna menghindari rembesan air hujan masuk ke kandang ternak.

  3. Suhu rata-rata wilayah, di dataran tinggi suhu sudah pasati dingin, maka kandang di dataran tinggi sebaiknya lebih tertutup, begitu juga dengan kandang di dataran rendah sebaiknya agak terbuka untuk menjaga kestabilan sirkulasi udara yang masuk kedalam kandang.

  4. Bahan bangunan yang akan digunakan, hindarilah bahan bangunan yang bersipat sintetis khusus di bagian bawah kandang terutama dinding dan tempat pakan ternak, bial aitu satu-satunya pilihan maka sebainya sterilisasi seluruh bahan bangunan tersebut.

  5. Jenis hewan ternak, setiap hewan ternak berbeda perilaku hidup mereka seperti sapi lebih suka temapat yang kering bila dibandingkan dengan kerbau, kerbau sangat suka berkubang. Hala-hal seperti ini harus anda perhatikan agar efisien dalam menjaga kesehatan ternak.

  Sedangkan beberapa komponen sanitasi kandang yang harus kita perhatikan menurut HAKLI 2013 antara lain menyangkut letak bangunan kandang. Beberapa persyaratan letak kandang sebagai berikut :

  1. Harus memperhatikan faktor hygiene. Faktor higiene lingkungan penting untuk ternak maupun peternak, antara lain untuk menjamin kesehatan ternak dan lingkungan sekitar 2. Letak bangunan kandang juga harus jauh dari pemukiman penduduk.

  Kandang di dalam rumah tertutup dapat menarik nyamuk vektor An. aconitus (zoophilic), sehingga memungkinkan kontak dengan manusia makin besar.

  Berdasarkan teori dari Kusnoputranto H (2002) Dan MENRISTEK (2005) mengenai jarak kandang dengan rumah sebaiknya terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimum 10 meter.

  3. Dibangun dekat sumber air, yang berfungsi untuk air minum dan memandikan ternak serta sebagai sarana pembersih lantai.

  4. Mudah diakses transportasi

  5. Kandang tunggal menghadap ke timur, kandang ganda membujur utara- selatan

  6. Penggunaan sumber air untuk ternak tidak mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat. Persyaratan untuk topografi ini antara lain tempat kandang harus lebih tinggi dari sekitar, tanah mudah menyerap air sehingga mengurangi kemungkinan genangan air

  7. Tempat tidak terlalu tertutup pepohonan rindang yang dapat mengurangi sinar matahari dan sirkulasi udara

  8. Kandang harus dekat dengan petugas, sehingga mempermudah dan memperlancar pengawasan kesehatan, keamanan, dan tata laksana

  9. Ketersediaan air bersih untuk minuman ternak dan jarak dengan pakan ternak seperti rumput (HMT), sebaiknya di dekat kandang ada cukup sumber air bersih, seperti sumur, air pdam, atau mata air. Agar proses perawatan ternak lebih efisien.

2.4.4. Usaha Ternak Babi

  Suatu usaha peternakan babi, harus telah membuat perkiraan dampak lingkungan hidup, baik fisik, ekonomis dan sosial budaya. Berdasarkan analisis tersebut dapat diperkirakan secara terperinci dampak negatif dan positif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan beternak babi, sehingga sejak dini sudah dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya. Dampak yang perlu dipertimbangkan antara lain : banyak manusia yang akan terkait disekitarnya; luas wilayah penyebaran dampak; lama dampak berlangsung; intensitas dampak; banyak komponen lingkungan lainnya yang akan terkena; sifat komulatif dampak tersebut; berbalik (reversible) atau tidaknya (irreversibel) dampak (Kementerian Pertanian RI, 2012) Usaha peternakan babi seharusnya berada di daerah yang jauh dari penduduk.

  Hal ini sangat tepat untuk menghindari manusia dari pencemaran bau dan kebisingan dari peternakan babi. Limbah ternak babi dapat didaur ulang, sebagian besar menjadi pupuk dan sebagian ada yang mengolahnya untuk menghasilkan biogas. Pupuk yang dihasilkan kemudian dapat dipakai untuk memupuk tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pakan ternak babi itu sendiri. Peternakan babi harus dikelola secara lebih baik sehingga tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap lingkungan. Jika ingin membuang limbah ternak, maka dalam memilih lokasi penampungan limbah ternak pun perlu dilakukan secara hati-hati, sehingga limbah pembuangan tersebut tidak mencemari air tanah sekitarnya terutama lokasi pembuangan limbah tersebut. Untuk itu dapat dilakukan pengujian dengan cara menggali satu atau dua lubang untuk mengetahui ambang air tanah dan kondisi tanah, sehingga mempermudah memilih lokasi penampungan limbah ternak (Kementerian Pertanian RI, 2012).

2.4.5. Hasil Samping Ternak

  Disamping hasil utama, suatu usaha peternakan pasti menghasilkan hasil sampingan yaitu berupa limbah. Limbah ternak merupakan sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti limbah padat dan limbah cair yaitu feses, urine, sisa makanan dll. Volume limbah yang dihasilkan tergantung dari skala usaha, jenis ternak yang dipelihara, dan sistim perkandangan. Manajemen dan penampungan limbah ternak babi menggunakan teknologi terapan untuk menekan pencemaran dari usaha peternakan babi seminimal mungkin, misalnya menangani limbah ternak dengan cara : pengomposan, kolam oksidasi ataupun kocokan, kolam aerob alamiah, kolam anaerob, kolam fakultatif (aerob dan anaerob), Pencerna anaerob dan membuat biogas, dehidrasi, pensilasean, pengeringan, pengkonversian elektrokimiawi, penumbuhan simbiotik dengan ganggang (algae) atau bakteri. Limbah ternak babi perlu ditampung di suatu tempat penampungan sementara, misalnya lagun, yakni semacam kolam dengan sistem manajemen limbah yang praktis, mengurangi tenaga kerja dan cukup waktu menampung sebelum digunakan selanjutnya untuk berbagai tujuan, misalnya untuk tanaman pertanian (Kementerian Pertanian, 2012).

  Mengenai saluran pembuangan air limbah kandang ternak harus ada saluran pembuangan yang khusus dengan lantai dengan kemiringan ± 30 derajat yang bertujuan agar air limbah (air kencing dan kotoran) dengan mudah bisa dialirkan langsung ke parit (Dinas Peternakan dan Perikanan Bogor, 2005) atau tertampung di dalam bak penampungan dan tidak mengganggu sekelilingnya serta bisa dimanfaatkan untuk usaha-usaha pertanian. Ukuran bak ini tergantung dari persediaan bak yang ada serta jumlah babi atau luas kandang. Adanya saluran pembuangan air limbah pada kandang ternak yang baik dapat melindungi hewan ternak terhadap berbagai serangan penyakit dan menghindari intervensi dari serangga dan hama ke tempat hewan lain dan menularkan penyakit (Mukono Hj, 1999).

  Tempat penampungan harus memenuhi syarat sebagai berikut :

  a. Cukup volume penampungan agar jangan ada yang tercecer atau berserak;

  b. Tempat penampungan harus cukup menampung untuk jangka waktu tertentu dan jangan sampai limbah nilai haranya kurang; Struktur penampungan harus menjamin limbah agar jangan mencemari air; Limbah yang ditampung harus mudah diangkut untuk dipindah ke tempat lain.

2.4.6. Pengelolaan Manajemen Budidaya Ternak Babi Ramah Lingkungan

a. Manajemen pemeliharaan

  Untuk pencegahan penularan penyakit, maka pemeliharaan ternak babi di pedesaan harus dilakukan secara tertib dan memenuhi tata cara budidaya ternak babi yang baik terutama menyangkut masalah biosecuriti, higiene dan sanitasi dan pencemaran lingkungan. (Kementerian Pertanian, 2012). Hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut :

  1. Melakukan pembersihan dan pencucian kandang serta menyediakan desinfektan.

  2. Membersihkan lingkungan sekitar kandang;

  3. Melakukan desinfeksi kandang dan peralatan, penyemprotan insektisida terhadap serangga, lalat dan pembasmian terhadap hama lainnya;

  4. Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari suatu kelompok ternak ke kelompok ternak lainnya, pekerja yang melayani hewan sakit/kandang isolasi tidak diperkenankan untuk melayani ternak- ternak/kandang lainnya;

  5. Membakar atau mengubur bangkai babi yang mati karena penyakit hewan menular dibawah pengawasan Dokter Hewan Peternakan setempat;

  6. Setiap usaha peternakan babi harus menyediakan fasilitas desinfeksi untuk petugas dan tamu serta kendaraan di pintu masuk ke peternakan.

  7. Kandang ternak babi harus terpisah dengan kandang ternak lainnya.

  8. Pemberian pakan tambahan untuk menghilangkan bau kotoran dengan cara pemberian probiotik kedalam pakan babi.

  b. Kebersihan Kandang

  1. Kandang harus cukup luas, dibersihkan setiap hari dan didisinfeksi secara teratur ( 2 x dalam seminggu) serta memiliki ventilasi dan sirkulasi udara yang cukup.

  2. Hindarkan/cegah dan bersihkan makanan yang berceceran di sekitar kandang.

  c. Kesehatan Hewan dan Biosekuriti

  1. Situasi Penyakit Ternak Babi Situasi penyakit ternak babi yaitu penyakit cacing pita, hog cholera, brucellosis dan penyakit menular lain yang dapat menyerang ternak babi seperti desentri, cacar babi dan Influenza, Tuberculosis.

  2. Tindakan Pengamanan Penyakit yang perlu mendapat perhatian : a) Pemelihara ternak babi, perlu melakukan desinfeksi kandang dan peralatan, penyemprotan terhadap serangga, lalat dan pembasmian terhadap hama-hama lainnya dengan menggunakan desinfektan yang ramah lingkungan atau teregestrasi.

  b) Kandang-kandang yang ada harus dibersihkan dan didesinfeksi secara berkala.

  c) Menjaga kebersihan lingkungan sehingga memenuhi syarat higiene yang dapat dipertanggung jawabkan; ternak babi sebaiknya dimandikan 1-2 kali sehari tergantung suhu udara.

  d) Ternak babi yang menderita penyakit menular atau bangkai babi dan bahan yang berasal dari kandang yang bersangkutan tidak diperbolehkan dibawa keluar melainkan harus segera dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sesuai ketentuan yang berlaku; e) Ternak bersangkutan tidak diperbolehkan dibawa keluar melainkan harus segera dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur sesuai ketentuan yang berlaku;

  f) Setiap terjadinya kasus penyakit terutama yang dianggap/diduga penyakit menular, petugas/peternak segera melaporkan kepada Instansi/Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan atau ke Drh yang ada pada pos keswan;

  g) Lakukan pengawasan terhadap serangga, lalat dan pengganggu lainnya agar tidak masuk kedalam lokasi kandang; h) Masyarakat membantu pemerintah dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan menular.

2.5. Kerangka Konsep

  Karakteritik Responden

  1. Umur

  2. Pendidikan

  3. Pekerjaan Kejadian Malaria

  Karakteristik Kondisi kandang Ternak

  1. Jarak Kandang dengan rumah

  2. Kelembaban Kandang

  3. Kebersihan Kandang

  4. Genangan air di sekitar kandang ternak yang terdapat jentik

  5. Tindakan Pemeliharaan terhadap kandang ternak

2.6. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dibuat hipotesis penelitian sebagai berikut :

2.6.1. Hipotesis Mayor

  Ha: Ada hubungan kondisi kadang ternak dengan kejadian malaria di Desa Lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias

2.6.2. Hipotesis Minor

  Ha: Ada hubungan jarak kandang ternak dengan kejadian malaria di Desa Lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias

  Ha: Ada hubungan tingakat kelembaban kandang ternak dengan kejadian malaria di Desa Lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias Ha: Ada hubungan kebersihan kandang ternak dengan kejadian malaria di

  Desa Lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias Ha: Ada hubungan keberadaan genangan air di sekitar kandang ternak dengan kejadian malaria di Desa Lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias Ha: Ada hubungan tindakan pemeliharaan kandang ternak dengan kejadian malaria di Desa Lauri Kecamatan Gido Kabupaten Nias