Pemberdayaan Sosial Ekonomi sebagai Stra

DINAMIKA PENANGANAN GERAKAN KEAGAMAAN

Pemikiran dan Gerakan Keagamaan Mahasiswa: Strategi Budaya Taqiyah: Dilema Penyembunyian Merebaknya Radikalisme Islam di Kampus

Identitas dalam Perkembangan Syiah

Arifuddin Ismail

M. Alie Humaedi

Harmoni dalam Keragaman: Konstruksi Ajaran-ajaran Purifikasi Islam menurut Majelis Perdamaian dalam Relasi Islam - Katolik -

Tafsir Al-Qur’an (MTA) yang Berpotensi Sunda Wiwitan di Kali Minggir dan

Menimbulkan Konflik

Nagaherang Tasikmalaya

Amir Mu’allim

Fitri Annisa

Dinamika Agama Adam: Strategi Adaptasi Potensi Konflik dan Integrasi Kehidupan

di Tengah Perubahan Sosial

Keagamaan di Provinsi Gorontalo

Sulaeman

Abdul Jamil

Identifikasi Potensi Rawan Konflik dalam Mewujudkan Harmonis Kehidupan Umat Beragama di Kalimantan Barat Muhammad

Juli - September 2012

ISSN 1412-663X

HARMONI

Jurnal Multikultural & Multireligius

DINAMIKA PENANGANAN GERAKAN KEAGAMAAN

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius

Volume 11, Nomor 3, Juli-September 2012

PEMBINA: Kepala Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI

PENGARAH: Sekretaris Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI

PENANGGUNG JAWAB: Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan

MITRA BESTARI: Rusdi Muchtar (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Dwi Purwoko (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Endang Turmudi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M. Ridwan Lubis (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Lukmanul Hakim (LaKIP Jakarta) Rikza Chamami (IAIN Semarang)

PEMIMPIN REDAKSI: Haidlor Ali Ahmad

SEKRETARIS REDAKSI: Reslawati

DEWAN REDAKSI: Yusuf Asry (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Ahmad Syafi’i Mufid (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Nuhrison M. Nuh (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Koeswinarno (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Bashori A. Hakim (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Mursyid Ali (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Kustini (Puslitbang Kehidupan Keagamaan) Ibnu Hasan Muchtar (Puslitbang Kehidupan Keagamaan)

SIRKULASI & KEUANGAN: Nuryati & Fauziah

SEKRETARIAT: Achmad Rosidi, Akmal Salim R dan I Nyoman Suwardika

REDAKSI & TATA USAHA: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta Telp. 021-3920425/Fax. 021-3920421 Email : jurnalharmoni@yahoo.com

SETTING & LAYOUT Achmad Rosidi

COVER Mundzir Fadli

PENERBIT: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI

HARMONI Juli - September 2012

HARMONI ISSN 1412-663X

Jurnal Multikultural & Multireligius

Volume 11, Nomor 3, Juli-September 2012

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi Pimpinan Redaksi

Gagasan Utama

Strategi Budaya Taqiyah:Dilema Penyembunyian Identitas dalam Perkembangan Syi’ah

M. Alie Humaedi

Pemberdayaan Sosial-Ekonomi sebagai Strategi Penanganan Gerakan Keagamaan pada Kasus Jama’ah An-Nadzir di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan

Mustaqim Pabbajah

Penelitian

Pemikiran dan Gerakan Keagamaan Mahasiswa: Menelusuri Merebaknya Radikalisme Islam di Kampus

Arifuddin Ismail

Ajaran-Ajaran Purifikasi Islam menurut Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) Berpotensi Menimbulkan Konflik

Amir Mu’allim

Dinamika Agama Adam: Strategi Adaptasi di Tengah Perubahan Sosial Sulaeman

77 Model Penanganan Konflik Keagamaan antara Jama’ah Qur’ani dan Jama’ah Sunnah

di Desa Cibunar Tarogong Kidul Kabupaten Garut Asep Achmad Hidayat

Harmoni dalam Keragaman: Konstruksi Perdamaian dalam Relasi Islam Katolik- Sunda Wiwitan di Kali Minggir dan Nagaherang Tasikmalaya

Fitri Anisa

Potensi Konflik dan Integrasi Kehidupan Keagamaan di Provinsi Gorontalo Abdul Jamil

Model Penanganan Konflik Bernuansa SARA di Kota Pontianak Kalimantan Barat

Lailial Muhtifah

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius

Volume 11, Nomor 3, Juli-September 2012

Identifikasi Potensi Rawan Konflik dalam Mewujudkan Harmonis Kehidupan Umat Beragama di Kalimantan Tengah

Muhammad

Pemberdayaan Umat Beragama melalui Pemberdayaan Wakaf di Rumah Sakit Islam (RSI) UNISMA Malang

Agus Mulyono

Telaah Pustaka

Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam Achmad Rosidi 166

Pedoman Penulisan

Lembar Abstrak

Indeks Penulis

Ucapan Terima Kasih

HARMONI Juli - September 2012

P engantar r edaksi

P engantar r edaksi

Dinamika Penanganan Gerakan Keagamaan

tandingan tokoh tua ia akan berhasil antarkelompok, dan antarnegara tidak

Berbagai relasi

antarmanusia,

menguasai sebagian dari sumber daya pernah bersih dari muatan kepentingan,

manusia (SDM) yang ada di wilayah penguasaan,

penyebaran ajarannya itu. Dengan penindasan. Ini merupakan kodrat

permusuhan,

bahkan

penguasaan SDM tersebut akan mengalir sosial dalam sejarah umat manusia.

dana dalam bentuk “infak wajib” atau Demikian pula hubungan antarmanusia

pungutan-pungutan dengan dalih amal dalam kelompok keagamaan, antara

jariah dan lain-lain. Dengan adanya pendiri (pemimpin) kelompok dengan

tersebut secara anggotanya. Fenomena “infak wajib”

pungutan-pungutan

langsung maupun tidak kebutuhan hidup dalam kelompok-kelompok keagamaan

tokoh muda akan tercukupi atau bahkan merupakan salah satu bukti muatan

bisa berlebihan.

kepentingan penguasaan jika tidak boleh dikatakan sebagai penindasan. Itulah

Banyak alasan bagi kemunculan antara lain yang merupakan alasan

berbagai gerakan keagamaan tersebut, kenapa selalu muncul berbagai gerakan

dengan dalih pemurnian agama, keagamaan bermasalah yang berbeda

atau menghadirkan kelompok agama dengan kelompok keagamaan mainstream

pemersatu meski pada kenyataannya yang sudah ada.

telah menambah jumlah kelompok agama yang berarti telah memberi andil semakin

Sering terjadi seorang tokoh muda menambah crucial fenomena perpecahan setelah pulang dari pengembaraan

dalam gerakan keagamaan bermasalah. spiritualnya (belajar agama di tempat lain), kemudian di kampung halamannya

Dari ilustrasi di atas fenomena menyebarkan ajaran dan melakukan

munculnya gerakan keagamaan itu dapat gerakan keagamaan yang berbeda dengan

difahami dari sisi lain (non keagamaan). ajaran yang sudah ada. Meski dahulu

Sehingga menjadi tidak aneh jika ada tokoh muda tersebut pernah belajar agama

pendiri gerakan keagamaan yang tidak kepada tokoh tua (tokoh lama) yang ada

memiliki latar belakang pendidikan di kampung itu. Ini adalah suatu strategi

agama yang memadai, misalnya di bagi tokoh muda untuk dapat lepas dari

Aceh seorang guru umum di SMP, di bayang-bayang dominasi tokoh tua. Jika

Padang hanya tamatan Sekolah Teknik ia tetap menganut faham yang sudah

Menengah (STM), di Bogor seorang ada ia hanya akan menjadi tokoh kedua,

pelatih bulu tangkis. Munculnya gerakan bahkan tidak pernah diperhitungkan

keagamaan bermasalah yang berbeda orang. Apalagi jika tokoh-tokoh agama

(menyimpang) dari ajaran mainstream yang sudah mapan adalah dari kalangan

misalnya tidak perlu shalat lima waktu, “darah biru” para kyai, sementara tokoh

shalat Jumat tidak wajib, merupakan muda dari kalangan kebanyakan. Tetapi

uapaya penyesuaian dengan penguasaan apabila tokoh muda itu tampil sebagai

ilmu agama yang dimiliki pendirinya pimpinan suatu gerakan keagamaan baru

dan kebiasaan olah spiritual yang biasa ia akan menjadi tokoh tandingan dari

dilakukannya. Karena ajarannya yang tokoh tua yang sudah mapan.

menyimpang dari ajaran mainstream maka kelompok tersebut sering dikategorikan

Dengan strategi tersebut tokoh sebagai “kelompok sempalan (splinter muda yang telah berhasil menjadi tokoh

group). Yang hampir menjadi ciri umum

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

6 P emimPin r edaksi

dari kelompok tersebut adalah lebih Penanganan terhadap gerakan menekankan amalan-amalan berupa

keagamaan bermasalah yang dianggap infak, shadaqah dan jariyah dengan kata

menyimpang tersebut pada jaman orde lain hanya mengutamakan pengumpulan

lama cenderung lebih mengutamakan dana.

pendekatan hukum. Sedangakan pada era orde baru – karena sangat

peran pemerintah – bermasalah ini tidak jarang kemudian

Munculnya gerakan keagamaan

dominannya

cenderung bersifat menimbulkan keresahan masyarakat,

penanganannya

represif. Hal itu misalnya dapat kita lihat sehingga mengakibatkan munculnya

dalam penanganan kelompok Haur konflik disertai dengan kekerasan. Meski

Koneng, di Desa Sinargalih, Kecamatan sebenarnya konflik keagamaan sulit

Bantarrujeg Majalengka. Kelompok dipisahkan dengan non keagamaan.

Haur Koneng yang hanya merupakan Karena di dalam konflik keagamaan

kelompok kecil yang melakukan uzlah sebenarnya juga ada perebutan sumber

(ekslusif) menempati pemukiman terpisah daya, baik sumber daya manusia,

dari warga lain, sebagai tindakan ekonomi dan kadang juga ada

protes terhadap arogansi pejabat, serta interes politik. Namun Lewis Coser

kurangperhatiannya pemerintah terhadap mengategorikan konflik

kemiskinan dan kepapaan masyarakat, sebagai konflik nonrealistic, yaitu konflik

keagamaan

disikapi oleh pemerintah dengan tidakan yang didorong oleh keinginan yang tidak

sangat represif. Kelompok Haur Koneng rasional dan cenderung bersifat ideologis,

dipandang sebagai kelompok sesat dan sebagaimana

diselesaikan dengan cara penggerebekan antaretnis, dan antarkepercayaan.

konflik

antaragama,

oleh pasukan TNI dan Polri sehingga Konflik nonrealistis merupakan suatu

banyak menimbulkan korban meninggal cara menurunkan ketegangan atau

dan luka-luka. (lihat Mursyid Ali, 2002: mempertegas indentitas suatu kelompok.

32-34).

Konflik nonrealistis cenderung sulit untuk menemukan resolusi konflik, konsensus,

Dewasa ini di era reformasi, sikap dan perdamaian tidak mudah untuk

pemerintah dalam menghadapi berbagai dicapai. (Novri Susan, 2010: 61).

gerakan keagamaan bermasalah sudah mengalami dinamika yang jauh berbeda.

Dalam penanganan munculnya Keterlibatan pemerintah lebih pada sisi berbagai gerakan keagamaan bermasalah/ keamanan, setelah mendapat laporan “sempalan” ini pemerintah sejak jaman dari masyarakat bahwa munculnya orde lama telah melakukan berbagai kelompok keagamaan tersebut telah upaya, antara lain lahirnya Penetapan menimbulkan keresahan atau konflik Prsiden Republik Indonesia Nomor disertai kekerasan. Misalnya keterlibatan

1 Tahun 1965, tentang Pencegahan dalam menangani Jemaat Ahmadiyah Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Indonesia (JAI) dilakukan setelah Agama. Pasal 1 dalam Penetapan terjadi konflik disertai kekerasan antara Presiden tersebut berbunyi: “Setiap masyarakat Muslim pada umumnya orang dilarang dengan sengaja dimuka dengan kelompok JAI di berbagai daerah. umum menceritakan, menganjurkan atau Dalam hal ini, pemerintah selain tetap mengusahakan dukungan umum, untuk berpegang kepada Penetapan Presiden melakukan penafsiran tentang sesuatu RI nomor 1 tahun 1965, yang sudah agama yang dianut di Indonesia atau ditingkatkan menjadi UU PNPS nomor melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan

1 tahun 1965, juga melalui berberapa yang

menyerupai

kegiatan-kegiatan

tahapan, yaitu dialog dengan pihak JAI. keagamaan dari agama itu; penafsiran Dialog dilakukan hingga beberapa kali dan kegiatan mana menyimpang dari pertemuan, sehingga melahirkan 12 poin pokok-pokok ajaran agama itu”. pernyataan JAI. Selanjutnya dilakukan

HARMONI Juli - September 2012

7 pemantauan terhadap 12 poin pernyataan

P engantar r edaksi

Gerakan Keagamaan di Indonesia: Studi tersebut. Dari hasil pemantauan tersebut

Kasus Jamaah An-Nadzir di kabupaten diperoleh bukti-bukti bahwa pihak JAI

Gowa Sulawesi Selatan”, Amir Mu’allim tidak mematuhi 12 poin pernyataannya

“Ajaran-ajaran Purifikasi Islam menurut sehingga pemerintah cq Menteri Agama,

MajelisTafsir Al-Quran (MTA) yang Jaksa Agung dan Menteri Dalam

Menimbulkan Konflik”, Negeri mengeluarkan SKB Tahun 2008

Berpotensi

Sulaeman: “Dinamika Agama Adam: tentang Peringatan dan Perintah kepada

Strategi Adaptasi di Tengah Perubahan Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Sosial”, dan Asep Ahmad Hidayat “Model Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia

Penanganan Konflik Keagamaan antara (JAI) dan Warga Masyarakat.

Jamaah Qurani dan Jamaah Sunnah: Dalam edisi ini Jurnal Harmoni

Studi Kasus Konflik Aliran Keagamaan di menurunkan artikel-artikel

Desa Cibunar Tarogong Kidul Kabupaten sesuai dengan tema utama “Dinamika

yang

Garut”.

Penanganan Gerakan

Keagamaan”

sebagai berikut: M. Alie Humaidi Selain tulisan tersebut, Harmoni “Strategi

nomor 3 Tahun 2012 menurunkan Penyembunyian

Budaya Taqiyah:

Dilema

beberapa tulisan lain yang masih sesuai Perkembangan Syiah”, Arifuddin Ismail

Identitas

dalam

dengan tugas dan fungsi (tusi) Puslibang “Pemikiran dan Gerakan Keagamaan

Kehidupan Keagamaan, sebagai lembaga Mahasiswa: Menelusuri Merebaknya

penerbit jurnal ini. Kami berharap tulisan- Radikalisme Islam di Kampus”, Mustaqim

tulisan tersebut mampu menambah Pabbajah “Pemberdayaan Sosial-

pengetahuan kita tentang persoalan- Ekonomi sebagai Strategi Penanganan

persoalan seputar gerakan keagamaan yang muncul dan berkembang di sekitar kita. Selamat membaca.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

8 m. a lie H umaedi

Strategi Budaya Taqiyah: Dilema Penyembunyian Identitas dalam Perkembangan Syiah

M. Alie Humaedi

Peneliti Pusat Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Abstract

Abstrak

Constelation strangthening of Indonesia

konstelasi politik di politics

Menguatnya

Indonesia seolah berjalan lurus dengan dissemination of transnationalism of Islam

has been

paralleled with

makin tersebarnya gerakan Islam trans movements. The movement is borderless

nasional. Sebuah gerakan “tanpa ruang in terms of nation states, that promoting

agenda of khilafiah Islamiyah and batas kewilayahan nation state” yang romaticism of Islamic victory. The Syiah

mempromosikan agenda khilafah Islamiyah stream is quite different, its development in

dan romantisme kejayaan Islam, termasuk Indonesia in line with the history of Islam

semangat pembumian dan penegakan in this country, slowly moved with taqiyah.

syariat Islam. Tidak demikian dengan Its fear in showing of its identity has been

paham keagamaan Syiah, ia ada seiring part of the Syiah lesson and its strategy for

adanya sejarah Islam di Indonesia, serta spreading its teaching in this country. This

tumbuh an berkembang kembang secara dilemma could be visible in development

perlahan dengan cara taqiyah. Ketakutan and tragic experiences of communities in

Pekalongan, Batang, Jepara, and Sampang, menampakan identitas merupakan bagian Madura.

dari ajaran syiah dan strategi budaya dalam politik identitas pada proses perkembangan

Keywords: syiah, taqiyah, cultural strategy, Syiah di Indonesia. Dilema seperti ini political identity, religious development

tercermin

perkembangan dan tragedi yang dialami masyarakat Syiah di Pekalongan, Batang, Jepara dan Sampang Madura. Tulisan ini hendak menjelaskan perkembangan Syiah jejaring Jawa, beserta penerapan taqiyah sebagai strategi budaya politik identitas ditengah tuduhan-tuduhan miring kelompok Islam mayoritas.

pada

Kata kunci: Syiah, taqiyah, stretagi budaya, politik identitas, perkembangan keagamaan

Pendahuluan

ini pun terus berlangsung dan telah menelan korban jiwa, korban luka-luka,

Bertepatan dengan Hari Raya dan kerugian material dan fisik yang Idul Fitri tahun 2012, peristiwa tragis

relatif besar. Peristiwanya sebagaimana menimpa kelompok Syiah di Sampang

tragedi jilid pertama, April 2012, terhenti Madura. Mereka diserang oleh kelompok

sementara ketika adanya campur tangan warga yang mengaku diri sebagai

pemerintah dan organisasi keagamaan kelompok Sunni, sebut saja organisasi

mainstream, beserta pemberitaan yang mainstream yang ada di sana. Kejadian terus menerus oleh media nasional

HARMONI Juli - September 2012

9 dan internasional. Penyebab tragedi

s trategi B udaya T aqiyah :d ilema P enyemBunyian i dentitas dalam P erkemBangan s yiaH

juga Sunni, yaitu Syiah bekerja secara Sampang banyak ragam, ia tidak semata

konsisten menyusun jaringan lintas etnis, didasarkan pada perbedaan aliran

sektoral, dan teritorial. Jaringan pengikut atau madzhab pemikiran keagamaan,

Syiah di Indonesia yang terpecah menjadi tetapi juga telah bercampurbaur dengan

kelompok Syiah organisasi keturunan persoalan-persoalan kompleks ekonomi,

Arab (selanjutnya disebut Syiah sosial kemasyarakatan, dan politik, baik

alawiyin) dan Ikatan Jamaah Ahlul Bait perseorangan ataupun komunal.

Indonesia (Ijabi) pimpinan Jalaluddin Rakhmat yang anggotanya lebih banyak

Pembacaan terhadap tragedi di berasal dari keturunan Indonesia, atas juga harus dilihat dari sisi peta

telah membuktikan sebagai kekuatan keagamaan kontemporer yang ada di

yang patut dipertimbangkan dalam Indonesia saat ini. Pada dua dekade

gerakan sosial keagamaan. Fenomena terakhir, peta keagamaan Indonesia

perkembangannya muncul pasca revolusi diramaikan oleh wacana dan praktik

Iran tahun 1979 (Irfani 1983; Zayar 2000), trans national Islamic movement; sebuah dan semakin menguat ketika Iran selalu gerakan

menampilkan diri sebagai kekuatan Wahabisme, dan Ikhwanul Muslimin.

oposisi dari kekuasaan Amerika. Banyak dugaan bahwa terorisme dan

radikalisme kerap dihubungkan ke peta Perkembangan kelompok Syiah gerakan itu. Beberapa ide paham ini

dapat divariasikan ke dua bentuk. diserap beberapa partai politik, meskipun

Bentuk pertama didasarkan pada paham dalam

keagamaan dari tokoh utama (marji) sembunyi dibalik nuansa demokrasi

pengungkapannya

masih

nya. Dalam bentuk ini Syiah dapat dan pluralisme ke-Indonesiaan. Namun,

dikelompokkan ke paham Itsna Isyarah, kontestasi politiknya semakin tampak

Jafariyah, dan lainnya. Bentuk kedua, dapat ke permukaan, ketika partai berasaskan

didasarkan pada jaringan penyebarnya. Islam literar dapat memenangi beberapa

Dalam konteks Indonesia, penyebar pilkada, dan meletakkan kader

ini dapat dikelompokkan menjadi dua; terbaiknya di parlemen. Partai seperti ini

Syiah alawiyyin, kelompok Syiah yang tidak lagi sekadar partai politik, tetapi

dibangun dan disebarkan para keturunan telah menjadi firqah (faham) keagamaan.

Arab; dan Syiah Ijabi, kelompok Syiah Bahkan Muhammadiyah menyebutkan

yang disebarkan orang Indonesia. Pada bahwa PKS, misalnya tidak lagi sekadar

tulisan ini, penekanannya lebih banyak partai politik, tetapi menjadi bagian

pada bentuk kedua, yaitu mengurai faham keagamaan tersendiri (SK PP

perkembangan Syiah dari kelompok para Muhammadiyah No.149 Kep/1.0/b/2006,

penyebarnya.

alawiyin, secara Organisasi). Representasi politik-agama,

Kebijakan tentang

Konsolidasi

Syiah

organisasional tidak mengelompok pada seperti cikal bakal konspirasi Bani Su’ud

satu induk organisasi besar. Mereka dan Muhammad bin Abdul Wahab, adalah

memilih menggunakan pola organisasi tabiat Wahabisme yang membungkam

sel, kecil tetapi banyak. Jumlah organisasi demokrasi, pluralisme, dan gerakan civil

Syiah alawiyin sampai tahun 2010 society.

mencapai angka 88 buah. Organisasi Namun, saat perhatian publik-

ini mewujud dalam bentuk yayasan, pesantren, lembaga pendidikan usia

keagamaan dan politik, hampir semuanya dini dan dasar, kursus, serta klinik tertuju ke arah presentasi dari kontestasi kesehatan. Sementara itu, hanya ada 18 politik Islam trans nasional, secara pelan organisasi dari sayap organisasi Ijabi dan tapi pasti, antitesa Wahabisme dan LSM Syiah (Prosiding Pertemuan Syiah

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

10 m. a lie H umaedi

HARMONI Juli - September 2012

2000). Organisasi itu bersifat otonom, independen, dan memiliki tata kelola sendiri. Perbedaan di antara organisasi tidak begitu mencolok, karena dapat dikelompokkan sesuai patron marji. Marji adalah ulama setingkat mujtahid (penentu hukum agama). Ada tujuh marji Syiah dan semuanya berada di Iran. Setiap marji memiliki konsorsium yang dikhususkan untuk perekrutan dan penyusunan jaringan pelajar dan pengikut Syiah. Tujuh marji yang dikenal publik, seperti (i) Ayatollah al-Uzhma Syeikh Muhammad Taqi Behjat; (ii) Ayatollah al-Uzhma Sayyid Ali Khamenei; (iii) Ayatollah al- Uzhma Syeikh Hasan Vahid Khurasani; (iv) Ayatollah al-Uzhma Shabiri Zanjani; (v) Ayatollah al-Uzhma Nasir Makarim Syirazi; (vi) Ayatollah Uzhma Luthfullah Shafi Golpaigani; dan (vii) Ayatollah al- Uzhma Sayyid Ali Sistani ( www.ahlulbait indonesia.org , Januari 2008) Ada tiga konsorsium marji yang berkembang dan memiliki sel organisasi Syiah di Indonesia. Ikatan terhadap marji berasal dari perjalanan belajar santri kepada guru, baik hauzah di Indonesia maupun di Iran. Seperti organisasi Ijabi yang memiliki cabang di daerah, organisasi Syiah alawiyin juga demikian dan bersifat otonom. Kedua kelompok ini sama-sama memiliki kesadaran mengembangkan Syiah di Indonesia.

Dalam perspektif perkembangan di atas, muncul dua pertanyaan. Pertama, bagaimana perkembangan Syiah di Jawa? Kedua, sejauhmana nilai-nilai gerakan Syiah yang tercermin dalam taqiyah dihayati secara sendiri maupun bersama, dan diimplementasikan ke pola pemahaman dan penafsiran bagi hubungan antar kelompok keagamaan? Dua pertanyaan ini berkaitan dengan pemaknaan nilai agama dalam politik identitas, sekaligus usaha mengurai driving integrating motive yang mampu memberi semangat bagi tumbuhnya partisipasi sosial-politik kelompok Syiah pada masyarakat Indonesia.

Kerangka Teori

Syiah sebagaimana paham lain akan lah tidak bisa dilepaskan dari konsepsi “identitas yang melekat pada dirinya”. Menyebut Syiah, bagi sebagian Muslim adalah kelompok lain di luar dirinya yang mayoritas. Bahkan Syiah bisa dikenakan kata menjadi “lawan, musuh” bila pendekatannya pada konflik substansial yang terkandung pada ajaran yang dipahami berbeda dengan para penilainya; atau kata minoritas bila dilihat dari perspektif kuantitas. Stuart Hall (Woodward 2004: 51) mendefinisikan identitas sebagai proses bentukan sistem bawah sadar yang berjalan melalui waktu dan membentuk bayangan imajiner. Ia menilai identitas sebagai proses menjadi (becoming) daripada nilai baku atau taken for granted. Sependapat dengannya, Barker, identitas diartikan “it pertains to cultural descriptions of persons with which we emotionally identify and which concern sameness and difference, the personal and the social”. Identitas terlebih politik identitasnya lebih berasal dari konstruksi budaya karena “the discursive resources that form the material for identity formation are cultural in character”. Hal ini menambah pengertian bahwa politik identitas bukan sesuatu terberi (given), tetapi sesuatu yang dibuat (created). Identitas adalah sesuatu yang dibentuk dalam interaksi antar individu dengan sentuhan politisasi atasnya (Ainlay & Coleman 1986). Artinya, identitas itu pengertiannya

sangat bergantung pada situasi di mana orang itu lahir dan ada di masyarakat seperti apa. Wajar Cressida Heyes memberi definisi politik identitas dengan segala aktivitas politik dalam arti luas yang secara teoritik menemukan pengalaman ketidakadilan yang dirasakan kelompok tertentu dalam situasi sosial tertentu. Politik identitas lebih mengarah pada gerakan dari ‘kaum terpinggirkan’ dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam masyarakat (Maalouf 2004:41).

11 Secara lebih mendalam, Fuad

s trategi B udaya T aqiyah :d ilema P enyemBunyian i dentitas dalam P erkemBangan s yiaH

Metode Penelitian

Hassan (Kompas 2006:4) membedakan secara jelas modus interaksi antar subjek,

data tentang yaitu modus kami (we-object) dan modus

Pengumpulan

perkembangan Syiah dilakukan dengan kita (we-subject). Pada modus kami, atau

penelitian lapangan melalui wawancara Hasan Hanafi menyebutnya kami yang

dengan informan kunci dan keterlibatan diri (al-ana) dan mereka yang lain (al-

langsung di banyak pengajian yang akhar), hubungan individu diibaratkan

diadakan oleh majelis Syiah, baik sebagai hubungan diametral yang

kelompok Syiah alawiyin di Yogyakarta, membuat satu kelompok berhadapan

Solo, Jepara, Pekalongan dan Jakarta; dengan kelompok lain. Ada segmentasi

dan Syiah Indonesia di Bandung, kultural cukup kuat dalam cara subjek

Yogyakarta, dan Jakarta, selama delapan menghadapi yang lain dan itu terbentuk

bulan secara acak di tahun 2007-2009. dalam pandangan bahwa subjek lain

Seluruh data dikategorisasikan sesuai adalah objek (Hanafi 1997:57-62). Hal ini

wilayah dan permasalahannya. Analisis yang memungkinkan bahkan menjadi

dan interpretasi atas data dan temuan pemicu utama munculnya konflik, baik

kembali kepada dalam arti konflik fisik ataupun konflik

dikonfirmasikan

informan kunci yang dianggap paling laten, seperti the clash of fundamental

mengetahui persoalan, sehingga jawaban yang dinyatakan Thariq Ali dan clash of

atas permasalahan yang diajukan ini civilization Huntington (Parekh 2008).

benar-benar telah teruji. Secara praktik terlihat ketika kelompok

Syiah harus bertaqiyah, strategi budaya menyembunyikan

identitas

dirinya.

Perkembangan Jejaring Syiah di Jawa

Taqiyah tidak semata dilihat sebagai Tidak seperti faham atau organisasi bagian ajaran Syiah, tetapi ia ada karena keagamaan lain, perkembangan Syiah di

berproses dalam rentang waktu dan Indonesia dapat dikatakan unik. Unik, tempat “menyelamatkan diri” dari karena Syiah dalam sejarah Indonesia

ketakutan yang datang saat pelekatan dianggap faham Islam yang pertama identitas itu dinyatakan. kali masuk ke Nusantara, seiring

Hubungan individu diandaikan menyebarnya Islam ke daerah “pusaran sebagai hubungan komplementer yang

angin” (Sanusi 1952). Argumentasi membuat suatu kelompok dapat bekerja

pandangan ini berkisar pada soal sama dengan kelompok lain dengan

hubungan geografis yang memasukkan cara yang lebih baik. Subjek di sini tidak

Persia dan Gujarat dalam rute jalur berupaya membuat jenis pemisah antar

sutra perdagangan dan islamisasi. Dua subjek, namun menganggap subjek lain

daerah ini dikenal sebagai pusat Syiah sama seperti dirinya. Modus ini tidak

di Timur Tengah dan Asia Tengah. Kuat membawa masalah bagi hubungan antar

dugaan, jaringan Syiah terbentuk seiring agama atau interaksi individu berbeda

masuknya Islam di Indonesia (Azra identitas. Modus ini yang mengarah

Perkembangan jaringan pada harmoni dan penghargaan atas

2007:44-67).

dapat dibagi ke dua periode. Sel periode realitas multikulturalisme. Modusnya

klasik, dapat dipetakan ke teritorial sebenarnya telah ada di masyarakat,

Persia-Gujarat-Pasai-Banten-Bangil. Sel baik berupa praktik budaya ataupun

ini menyusun cikal bakal perkembangan pemahaman kontekstual tentang identitas

Syiah di Indonesia pada periode modern, lain. Ia dapat dibangkitkan kembali atau

yaitu pasca revolusi Iran, termasuk dikuatkan melalui gugahan partisipasi

pengaruhnya ke tarekat Sattariyah dan masyarakat dan stimulasi pemerintah.

Rifaiyah. Dua tarekat ini lalu berkembang

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

12 m. a lie H umaedi

HARMONI Juli - September 2012

di pesisir Barat Aceh, dari Lhoong Nga sampai Singkil. Pengaruhnya juga masuk ke wilayah pucok Aceh, seperti Teunom, Takengon, Kuala Simpang, Simpang Seumadam, dan seterusnya. Ulama- ulama seperti Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniry, dan Abdur Rauf as-Singkili menjadi ilustrasi besarnya pengaruh Syiah dalam praktik pemikiran keagamaan dan kemanusiaan. Konsepsi wilayatul faqih dan imamah misalnya, digambarkan secara jelas dengan konsep kesultanan pada kitab Bustanussalatin dan Tajussalatin.

Setelah di Aceh, Syiah menyebar ke seluruh Sumatra dan Jawa. Beberapa tradisi maulidan, tabot, Arbain, debus, dan hari as-Syura yang menampilkan teaterikal berdarah dari gambaran pembunuhan Husein bin Ali bin Abi Talib yang kerap diadakan di Sumatera bagian selatan dan barat, serta di Jawa menjadi bukti bahwa kepercayaan dan praktik Syiah telah mendarah-daging bagi masyarakat Indonesia. Meskipun dalam perkembangannya, mereka tidak lagi mengakui bahwa teaterikal itu dilandasi ajaran Syiah. Pemangkiran ini adalah hasil upaya terus-menerus yang dilakukan ulama-ulama Sunni Sumatera dan Jawa.

Syiah lalu dibawa ke Banten, Cirebon, dan daerah lain di Jawa bagian utara. Di daerah ini, Syiah tidak lagi murni. Ia tercampur dengan tradisi Sunni yang dibawa pedagang Islam lain yang mengambil rute Yaman dan Irak. Walaupun begitu, faham Syiah khususnya ajaran rahasia tujuh dan tigabelas khalik dan makhluk masih mempengaruhi praktik tarekat Syattariah, Rifaiyah, dan Sidzilyah. Pada periode klasik Syiah sepertinya terhenti di Bangil. Di sanalah Syiah “diendapkan” oleh keturunan Arab yang berasal dari fam-fam tertentu. Tidak semua keturunan Arab mengakui atau menjadi pengikut Syiah. Faham Syiah dalam pandangan Alawiyin Sunni

adalah “anak tiri lain bapak” (Wawancara dengan Habib K di Pekalongan, Oktober 2007; Bpk M di Bangsri Jepara, 2008). Dapat dikatakan, sebelum revolusi Iran, Syiah menjadi faham yang hanya dipegang secara individu. Perdebatan ajarannya terjadi sebatas di tingkat ulama, tidak masuk sebagai wacana masyarakat umum.

Sesaat revolusi Iran 1979, Syiah dianggap “barang baru” di bumi Indonesia. Setelah 1980, pesona Syiah mulai tersebar ke masyarakat seiring mengharumnya nama Imam Khumaeni yang menjalankan revolusi Iran dengan menjungkirkan Syah Iran dukungan Amerika. Jaringan Syiah lalu lebih berkembang, selain melalui sel periode klasik, Syiah berkembang ke semua daerah melalui sel konsorsium marji. Di samping itu, para guru dan pengikut Syiah dapat berkomunikasi langsung dengan Iran mengenai perkembangan setiap marjinya. Berdasar tiga marji yang berkembang di Indonesia, ada tiga sel teritori, yaitu (i) Bangil-(sebar)-Iran; (ii) Jepara-Pekalongan-Bogor-Jakarta-Iran; dan (iii) Solo-Yogyakarta- Bandung- Jakarta-Iran. Tiga sel ini membawa dampak bagi karakter Syiah di tiap daerah. Karakternya

berhubungan

dengan kecenderungan faham marji, juga interaksi penyebar dengan masyarakat. Belum lagi soal pertentangan pada kelompok fam- fam Arab sendiri. Sel pertama misalnya menganggap dirinya Syiah istimewa. Di samping anggotanya lebih banyak berasal dari keturunan Arab, sel ini dianggap sel pelopor perkembangan Syiah paling awal di Jawa. Sel Syiah kedua memiliki kecenderungan berada di tengah, antara mengakomodasi kepentingan keturunan Arab, juga memberi pelayanan faham Syiah bagi pengikut Syiah asli Indonesia. Dua kelompok sel ini tidak mau terikat dengan identitas organisasi masyarakat. Mereka lebih memilih bekerja dengan mendirikan yayasan sendiri; yayasan pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya, dengan kecenderungan faham marji, juga interaksi penyebar dengan masyarakat. Belum lagi soal pertentangan pada kelompok fam- fam Arab sendiri. Sel pertama misalnya menganggap dirinya Syiah istimewa. Di samping anggotanya lebih banyak berasal dari keturunan Arab, sel ini dianggap sel pelopor perkembangan Syiah paling awal di Jawa. Sel Syiah kedua memiliki kecenderungan berada di tengah, antara mengakomodasi kepentingan keturunan Arab, juga memberi pelayanan faham Syiah bagi pengikut Syiah asli Indonesia. Dua kelompok sel ini tidak mau terikat dengan identitas organisasi masyarakat. Mereka lebih memilih bekerja dengan mendirikan yayasan sendiri; yayasan pendidikan dan kesehatan. Sebaliknya,

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11 No. 3

sel ketiga lebih banyak dianggotai oleh orang Indonesia. Sel inilah yang membentuk ormas Ijabi pimpinan Jalaluddin Rakhmat.

Karakteristik di atas berasal dari ide dan aktor penyebar awal. Banyak pendapat mengenai aktor penyebar dan penyusun jaringan Syiah pasca revolusi Iran. Sebagian guru Syiah beranggapan bahwa Syiah bermadzhab, yang mempunyai karakter atas persoalan fikh marji dimulai dari jaringan Jawa Timur (pesantren Bangil). Argumen ini didasarkan pada kerja institusi. Ada pula pendapat Syiah beserta fiqh dan komunitasnya muncul dari wilayah Jepara, yaitu saat Habib Abdul Kadir Bafaqih menahbiskan diri sebagai seorang Syiah pasca revolusi, dan diikuti sebagian masyarakat Candi Bangsri Jepara (Wawancara dengan Ahmad Baragbah dan Miqdad Turkam, Oktober 2007). Melalui jaringan Bangsri lah, ide Syiah menyebar ke seluruh Jawa, termasuk Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Segaf al-Jufri berpandangan lain, tumbuh dan berkembangnya Syiah pasca revolusi Iran dengan berbagai selnya, sebagai tanda dimulainya Syiah zaman modern, adalah saat merebaknya penyebaran dan pembagian kitab Syiah yang berasal dari Najaf dan Iran pada tahun 1980. Dalam kapasitas ini, Ali Ba’bud, seorang keturunan Arab Bangil Pasuruan yang tinggal lama di Iran dan menggeluti ilmu akidah Syiah menjadi pelopor pembagian kitab dan bagian tidak terpisahkan dari proses pengelompokan Syiah di beberapa tempat. Ali Ba’bud mengirimkan kitab-kitab itu kepada Segaf al-Jufri dan Musthofa Shahab. Dua nama ini diberikan Ali Ba’bud atas dasar referensi dari Abdullah Masayyih, kakak Ali Ba’bud yang tinggal di Bangil dan sering melakukan perjalanan ke Solo dan Semarang.

Segaf

al-Jufri

lebih lanjut menyatakan, selain dua orang di atas, Habib Abdul Kadir Bafaqih, pimpinan

Pondok al-Qairat Bangsri Jepara juga mendapat kiriman kitab. Waktu itu, Bafaqih yang disebutnya wong kulon masih berada di Tegal dan Pekalongan sebagai santri Sunni. Segaf al-Jufri tidak mengakui Abdul Kadir Bafaqih adalah pendorong utama perkembangan Syiah di Jawa Tengah pasca revolusi Iran. Sebaliknya, Ibrahim Musawa dan Segaf al-Jufri sendiri lah yang menjadi pelopor perkembangan Syiah di Jawa Tengah, khususnya Surakarta dan Yogyakarta. Segaf al-Jufri mendapat kesempatan mengunjungi Iran secara kenegaraan di tahun 1982. Di sana ia mendapat kesempatan berkenalan dengan Ayatullah, marji dan mullah, serta mengunjungi hauzah dan universitas Iran. Dalam perkembangannya, ustadz dan pengusaha paling senior di Solo ini menjadi penghubung dan pereferensi dari mahasiswa yang akan dikirim belajar ke Iran. Para mahasiswa itu diberi beasiswa penuh selama studi dan pasca studi, yaitu fasilitas tanah, bangunan, dan kitab untuk pesantren atau hauzah di Jawa. Inilah salah satu cara proses penyusunan sel konsorsium marji Syiah Iran di Indonesia ( www.icg.org , diakses pada 6 Februari 2008).

Perbedaan pandangan di atas yang menurunkan perbedaan pengelompokan secara geneologis gerakan Syiah di Indonesia. Dari sini pula lahir perbedaan antara Ormas Ijabi dengan yayasan yang dibentuk Syiah alawiyin. Segaf al-Jufri misalnya diangkat Ijabi sebagai ketua Dewan Syuro Ijabi. Dalam anggapan pengikut Syiah akar rumput Jogja, Solo dan Pekalongan misalnya, pengangkatan Segaf al-Jufri adalah usaha politis Ijabi untuk

mempertahankan kelompok alawiyyin dalam basis organisasi yang mendasarkan diri pada kecintaan mereka kepada ahlul bait (keluarga nabi). Bila tanpa kehadiran kelompok alawiyyin pada Ijabi, dikhawatirkan muncul pandangan masyarakat yang akan menyatakan pasti ada sesuatu yang salah di antara mereka. Tidak demikian

14 m. a lie H umaedi

halnya dengan orang Syiah alawiyin alawiyyin (Baswedan 1982; Suryadinata lainnya, mereka lebih memilih untuk

1994). Pengunduran Abdullah Assegaf, tidak bergabung kepada Ijabi, meskipun

sebagai lulusan Qum 1985 pun tidak mempunyai sikap “tenggangrasa” dan

dapat dicegah oleh Jalaluddin Rakhmat. kesadaran solidaritas sesama Syiah.

Akhirnya, ada semacam gambaran bahwa Ijabi hanya menaungi kelompok Syiah

Ketidak-ikutan

Syiah alawiyin

dari keturunan lokal. Mereka tidak dapat didasari pula pada beberapa alasan:

menaungi orang Syiah alawiyin yang (i) (kesan yang diterima) sebagai

lebih memilih memisahkan diri. kelompok alawiyin, ada anggapan

mereka adalah kelompok bertingkat Ustadz Syiah alawiyin yang highlander (kelompok pertama) pewarisan

tidak bergabung kepada Ijabi lebih ahlul bait Nabi. Sikap semacam ini

lembaganya. Abdullah tidak jauh berbeda dengan kelompok

mengurusi

Assegaf mendirikan IPABI di tahun 1997, alawiyin Sunni, yang mempunyai

jauh sebelum Ijabi berdiri, penerbitan kecenderungan dan sifat mentalitas

al-Huda di Bogor (2004), juga beberapa lebih tinggi dibandingkan orang Islam

lembaga pendidikan seperti Hauzah lokal Indonesia; (ii) Adanya keyakinan

Amirul Mukminin di Ciomas, klinik bahwa keturunan Arab yang berfaham

kesehatan, dan Lembaga Masyarakat Syiah tidak dapat dikategorikan sebagai

Peduli Pemilu dan Pilkada (2005). Segaf muqallid (pengikut) murni sepenuhnya

al-Jufri, Dewan Syuro Ijabi, ia mendirikan atau sederajat dengan muqallid dari

yayasan doa kumail atau biasa disebut orang Indonesia. Tingkat pengetahuan

majelis Amben di Surakarta (1996). keagamaan dan keahlian berbahasa

Ahmad Baragbah mendirikan pesantren Arab mereka lebih tinggi dibandingkan

al-Huda di Pekalongan (tanah wakaf di kelompok Syiah Jawa. Mereka berhak

tahun 1970-an, berdiri tahun 1985) dan masuk dalam kategori muqqallid marji

Batang (tanah dibeli tahun 1982, berdiri level pertama, di mana sosoknya dapat

1987), masjid, bidang usaha ekonomi, dan menjadi contoh bagi muqallid pada level

bersama Abdullah Assegaf mendirikan berikutnya.

Solidaritas Muslim Indonesia untuk al- Quds (SMIQ) di tahun 2000. Demikian

Dua alasan di atas yang membuat juga Umar Ibrahim Musawa di Surakarta orang Syiah alawiyin menjadi ustadz orang mendirikan Yayasan Pendidikan Anak Syiah Jawa. Dalam posisi semacam ini, Usia Dini (PAUD Husaini-2006) dan mereka berposisi sederajat (minimalnya) kursus pendidikan Teknologi Informasi dengan Jalaluddin Rakhmat. Dalam (2004). Ustadz Mustofa al-Jufri di Jakarta anggapan ustadz Syiah alawiyin, mana mendirikan yayasan pendidikan dan mungkin mereka menjadi pengikut atau penerbitan buku (Lentera Hati, 2004). anggota di tingkat Ijabi cabang yang Seorang alawiyyin, Ali Muthalib bin kebanyakan ketuanya berasal dari orang Assegaf, bergerilya dengan dakwah dan Jawa-Sunda. Pemisahan dua kelompok diskusi. Menurut informasi, Ali Muthalib atas dasar etnisitas ini sesungguhnya mendirikan yayasan pendidikan, di pernah menjadi isu hangat saat Abdullah samping memiliki jaringan dengan SMIQ. Assegaf (Abdullah Shom/KDS-Korban

Dullah Shom) sebagai ketua Ikatan Dalam pelaksanaannya, yayasan Pemuda Ahlul Bait Indonesia (IPABI)

yang didirikan Syiah alawiyyin tetap mengundurkan diri dari Ijabi di tahun

melibatkan dan memberdayakan 2002. Isu yang beredar kerap berhubungan

orang pribumi. Mereka menjadi santri tentang

keistimewaan

kelompok

pengajian atau hauzah, juga massa dalam

HARMONI Juli - September 2012 HARMONI Juli - September 2012

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11

No. 3

kegiatan bersifat ibadah dan sosial politik seperti demonstrasi SMIQ. Meskipun tampak terjadi perbedaan dan ketiadaan koordinasi antara satu sama lainnya, dalam momen tertentu dan penting, lembaga-lembaga ini saling berkoordinasi. Tentu koordinator utama bukanlah Ijabi. Ada semacam penghubung antara satu yayasan dengan yayasan lain yang berbeda marji. Pihak penghubung secara kelembagaan dapat difasilitasi oleh Islamic Culture Center (ICC) yang berada di bawah naungan konsorsium marji Ayatollah al-Uzhma Syeikh Muhammad Taqi Behjat Iran, marji yang dianggap paling

penghubung antara konsorsium dengan Atase Kebudayaan dan Pendidikan Kedutaan Besar Iran. Beberapa Ustadz seperti Ahmad Baragbah, Abdullah Beik, dan Hasan Daliel dapat dikategorikan sebagai penghubung personal antar jejaring Syiah di Indonesia. Selain mereka, alumni Universitas Qum Iran, Universitas Beirut, dan beberapa Hauzah di Iran juga menjadi sel penghubung jaringan pemikiran, pendanaan, dan rekruitmen orang Syiah Indonesia dengan Syiah Iran. Mereka berhak merekomendasikan orang untuk belajar agama dan teknik di Iran dan Libanon. Kelompok Syiah sendiri tidak pernah mengurusi soal bantuan pengiriman pasukan atau pendanaan ke wilayah konflik di Timur Tengah, khususnya yang berhubungan dengan pasukan Hizbullah Libanon. Meskipun harus diakui, mereka memuji pasukan Hizbullah, baik dari segi keagamaan, integritas kebangsaan, komitmen perjuangan, maupun toleransi terhadap orang non-Islam. Hizbullah bagi mereka adalah tentara sunnatullah yang mengusung kepentingan umat Islam dengan tidak membedakan antara kelompok Sunni ataupun Syiah untuk melawan kekuatan asing di Libanon, khususnya kaum Yahudi Israel.

Pengalaman Pahit Beridentitas Syiah

Dalam perkembangan Syiah di Jawa, meskipun anggota bertaqiyah (menyembunyikan diri) sebagai strategi budaya politik identitasnya, tetap saja ada pengalaman tragis dan pertentangan yang menimpanya, baik yang dilakukan kelompok non-Syiah atau sesama Syiah (Ijabi dengan Syiah alawiyin). Selain tragedi Sampang di akhir Agustus 2012, salah satu kasus yang mendapat perhatian adalah perusakan pesantren al-Hadi pimpinan Ahmad Baragbah di Batang pada 1999 dan 2002. Pelaku perusakan berasal dari masyarakat Wonotunggal, Brayo, Brotoh, dan Siwatu Pekalongan, juga kelompok massa yang berasal dari Pekalongan Kota. Salah satu faktor pendorong aksi itu adalah kejengkelan masyarakat

dari proses pendirian pesantren Syiah ini yang sebelumnya tidak meminta izin masyarakat.

Pada tahun 1982, ustadz Ahmad Baragbah membeli tanah 3.000 meter. Baragbah

menginformasikan ke masyarakat bahwa tanah itu akan dipakai untuk sawah, dan bila ada rezeki ia akan mendirikan pesantren. Masyarakat tidak diberitahu pesantren jenis apa yang akan ada. Masyarakat menduga bahwa pesantren itu mungkin seperti pesantren lain di Batang dan Pekalongan, pesantren NU. Dugaan itu muncul karena Baragbah adalah habib, di mana dalam pandangan mereka bahwa habib adalah keturunan Nabi, juga berilmu lebih tinggi dibandingkan kiai lokal. Apalagi perdebatan pemikiran Syiah saat itu belum dikenal di Batang. Di tahun 1985, saat pembangunan tiga gedung dimulai, kesejatian diri Syiah Baragbah mulai terungkap. Setelah pesantren dibuka 1987, tampak perbedaan ritual ibadah dengan masyarakat sekitar. Sejak tahun itu pula, Ahmad Baragbah melakukan ceramah yang isinya, menurut versi masyarakat, menghujat Sahabat Nabi dan khalifah non-Ali bin Abi Thalib, juga

16 m. a lie H umaedi

terhadap habaib Sunni yang dianggap dan Bafaqih. Mereka rata-rata mendirikan telah mengingkari tradisi ahlul bait.

masjid dan madrasah sesuai prinsip Dari versi masyarakat (peneliti belum

dan faham yang sesuai dengan ciri khas mendapatinya), beberapa kaset ceramah

famnya. Ada juga masjid dan madrasah dan selebaran ajaran Syiah pun telah

alawiyyin, sebutan sayid dan syarifah yang diedarkan. Di samping itu, puluhan santri

bekerjasama dalam operasionalisasinya. didatangkan dari luar daerah, seperti

Salah satunya adalah Ma’had al-Islam Banjarnegara, Wonosobo, Kendal, bahkan

di Pekalongan, dahulu disebut Ma’had ada yang berasal dari NTB (generasi

al-Islami Abdullah Hinduan. Rupanya Hasan Bima) dan Kalimantan. Sampai

tindak tanduk Baragbah, anak ustadz tahun 2002, jumlah santri luar mencapai

Abdur Rachman 120-an orang, hanya ada dua santri yang

Muhammad bin

Baragbah yang tidak Syiah, meskipun berasal dari wilayah sekitar.

telah memiliki koleksi kitab ulama Syiah Najhaf, mulai dicurigai para habib lain.

Beberapa tokoh agama mulai resah dengan serangan faham baru

Mengapa dicurigai? Selain menjadi beserta komponen pelaku dari luar

pemimpin keagamaan, habib biasanya daerah dan luar negeri, juga atas kondisi

menjadi saudagar atau pedagang kayon “penyelewengan” praktik ibadah yang

(mebel), percetakan, dan transportasi. dilakukan santri di pesantren itu.

Sebaliknya, Ahmad Baragbah tidak Resistensi mulai tumbuh di kalangan

melakukan usaha itu, kecuali adiknya, mereka. Beberapa dai yang berasal dari

yaitu Abdullah Baragbah (mebel) dan Bib habaib Sunni mulai didatangkan, seperti

Ali Baragbah (Batik). Saat ia membeli dan Habib Thahir al-Kaff dari Tegal dan Habib

membangun pesantren al-Hadi cabang Luthfi al-Idrus ketua Rabithah Tarikat

Wonotunggal, para habib curiga tentang Mutabarah dari Pekalongan. Di tahun

perolehan dana Ahmad Baragbah. Bukan 1997, respon bernuansa permusuhan

rahasia lagi bahwa ada aliran dana yang mulai tampak ke permukaan. Masyarakat

didapati dari Iran, apalagi diketahui mulai terang-terangan memutus kontak

setelah itu bahwa Baragbah di tahun 2005 dengan semua aktivitas pesantren al-Hadi

diangkat menjadi Presiden al-Muammal ini. Beberapa tokoh NU Wonotunggal

Foundation Internasional, di mana Batang pun mulai berkonsentrasi dan

pada tiap bulan para penyelia datang berkoordinasi satu sama lain untuk

ke pondok al-Hadi. Selanjutnya akan menangkis faham Syiah di daerah mereka.

diantarkan Baragbah untuk berkeliling kepada para anggota, masjid, musholla

Para pelaku kerap menyatakan Syiah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. bahwa tindakan mereka bersifat spontan.

Kehadiran penyelia ini semakin dicurigai, Dilihat secara kronologis, sangat nyata

saat beberapa habib sunni di Pekalongan bahwa aktor intelektualnya berasal dari

telah mulai dikunjungi dan didekati. habaib Sunni keturunan Arab. Mereka

Kondisi ini yang membuat habib Sunni adalah “oknum” organisasi Arab al-Irsyad

mulai marah. Mereka menyakini Syiah dan Rabithah al-Alawiyah, serta maqam

bukanlah faham ahlul bait, dan jangan keluarga fam al-Attas di Pekalongan.

pernah menyamakan ahlul bait dengan Seperti sejarah sebelumnya, pertentangan

Syiah. Ahlul bait adalah keluarga besar “keturunan/fam dan nasionalisme” di

alawiyyin, keluarga dan pengikut setia antara keturunan Arab sudah genting.

sunnah rasul dan sahabat, demikian Persaingan habaib di Pekalongan, seperti

juga khalifah di dalamnya. Habib yang di Solo sangat kentara. Ada lima jalur fam

masuk ke Syiah dianggap “bukan yang berebut kepemimpinan spiritual,

bagian ahlul bait” karena hanya pengikut yaitu al-Attas, al-Kaff, al-Idrus, Baragbah

Abdullah Saba, seorang munafik Yahudi.

HARMONI Juli - September 2012 HARMONI Juli - September 2012

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 11

No. 3

Beberapa habib Sunni di Pekalongan mengkhawatirkan perkembangan Syiah, lebih khusus ketika pesantren al-Hadi mendirikan pesantren cabang, sebagai pesantren persiapan dan alternatif untuk pesantren al-Hadi pusat.

Para habib Sunni, dipelopori Thahir al-Kaff dan Habib Luthfi al-Idrus, pemimpin Rabithah Tariqah Mutabirah, Habib Abdullah al-Kaff, ketua Rabithah al-Alawiyyah Darul Aitam, dan beberapa oknum di al-Irsyad dan Mahad Islam, juga beberapa kiai lokal seperti K. Saelan di tahun 1980-1996 pemimpin Ribatul Mutaallimin dan K.H. Taufik, pemimpin pesantren at-Taufiqy Watucongol mulai menceramahkan dengan lembut dan keras soal masuknya Syiah. Sejak 1994, habib Sunni mulai mengonsentrasikan dirinya atas gerak-gerik faham Syiah di pesantren al-Hadi, bahkan hal ini kerap diulang saat berceramah di luar kota. Puncaknya, di tahun 1997 dan 2002, muncul gerakan massa yang “diketahui” oleh Habib Luthfi dan beberapa habib al-Irsyad dan Rabithah al-Alawiyah serta anggota maqam al-Attas untuk menghentikan aktivitas pesantren Syiah di Wonotunggal Batang. Beberapa kontak wilayah dibangun, dari GP Anshor sampai pengurus ranting NU di setiap desa di Wonotunggal. Akhirnya, massa tanpa identitas NU menyusup sebagai anggota masyarakat sekitar untuk menghentikan pesantren al-Hadi. Aksi massa itu sebenarnya telah diketahui para habib dan kiai Sunni (al-Irsyad dan NU) Pekalongan. Inilah sebuah gerakan dan politik keagamaan kaum Sunni versi lokal saat menghadapi faham Syiah.