TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN P

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN PENDUDUK SIPIL TERHADAP
PENGGUNAAN UNMANNED AERIAL VEHICLE DALAM SITUASI PERANG
BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNATIONAL
(STUDI KASUS TERHADAP PENGGUNAAN DRONE DALAM PERANG OLEH
AMERIKA SERIKAT)
Diajukan untuk melakukan penelitian hukum
Dalam rangka memenuhi tugas Hukum Internasional
Oleh
Habibie Hendra Carlo
NIM : 010001500194

Dosen :Prof.Dr.Kuntoro,SH.MH.
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
2018

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN........................................................................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah................................................................................................................................................5
C. Tujuan Penelitian..................................................................................................................................................5
D. Metode Penelitian.................................................................................................................................................5
1. Jenis Penelitian..................................................................................................................................................5
2. Pendekatan.........................................................................................................................................................6
3. Data Penelitian...................................................................................................................................................6
4. Teknik Pengumpulan Data.................................................................................................................................6
5. Analisa Data.......................................................................................................................................................7
KERANGKA TEORI....................................................................................................................................................8
1. Tinjauan mengenai Hukum Internasional.............................................................................................................8
2. Tinjauan umum mengenai Hukum Humaniter....................................................................................................10
3. Tinjauan umum mengenai Penggunaan Drone dalam situasi perang..................................................................11
4. Tinjauan umum mengenai Hukum Perjanjian Internasional...............................................................................13
5. Tinjauan umum mengenai tanggung jawab negara.............................................................................................14
ANALISIS DAN PEMBAHASAN............................................................................................................................18
3.1 Keabsahan penggunaan drone dalam perang berdasarkan hukum humaniter internasional.............................18
2.2 Pertanggungjawaban negara dalam penggunaan drone pada masa perang.......................................................19
BAB IV. PENUTUP....................................................................................................................................................20
Kesimpulan.............................................................................................................................................................20
Daftar Pustaka.............................................................................................................................................................21


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan terjadinya
pergeseran nilai – nilai dan cara – cara berperang. Perkembangan teknologi di bidang alat tempur menyebabkan
berubahnya nilai – nilai perlindungan terhadap penduduk sipil dalam kondisi perang. Unmanned Aerial Vehicle
(Drone) sebagai salah satu hasil dari kemajuan teknologi telah digunakan sebagai alat tempur oleh beberapa
negara. Namun, Penggunaan Drone kerap kali menimbulkan berbagai permasalahan yang sebelumnya tidak
ditemukan dalam perang konvensional. Pengaturan mengenai penggunaan Drone dalam situasi perang menjadi
sangat penting karena penggunaan drone dapat berpotensi menyebabkan dampak yang sangat besar terhadap
perlindungan penduduk sipil. Secara umum penggunaan drone untuk keperluan militer mulai digunakan secara
massive oleh Amerika Serikat sejak peristiwa 9/11 , dalam serangan melawan teroris. Tahun 2002, CIA, Badan
Intelijen Amerika, pertama kali menggunakan drone jenis Predator, yang menargetkan Osama Bin Laden di
provinsi Paktia, Afghanistan. Namun, Penggunaan Drone yang sebelumnya digunakan dalam pemberantasan
terorisme sangat berpotensi untuk menjadi senjata pemusnah massal apabila tidak diatur penggunaannya di dalam
hukum international.
Menurut Arlina Permanasari, Hukum mengenai perang diatur dalam Hukum Humaniter Internasional. Tujuan
dari hukum humaniter internasional adalah untuk memanusiakan perang.1 Menurut KGPH. Haryomataram2, tujuan
utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menjadi korban
perang, baik mereka yang secara nyata/aktif turut serta dalam permusuhan maupun tidak turut serta dalam

permusuhan. Maka dapat disimpulkan bahwa hukum humaniter pada hakikatnya tidak melarang perang, tetapi
mengatur perang. Dalam hal ini hukum humaniter mengatur alat dan cara berperang, serta mengatur perlindungan
terhadap korban perang.3

11.

Permanasari, Arlina, Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta:International Committe of the Red Cross, 1999) ,

11- 12
22.

Haryomataram, KGPH, Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 3

33.

Andrey Sudjatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 172.

Di dalam Hukum humaniter international terdapat beberapa prinsip diantaranya prinsip kepentingan militer ,
prinsip kesatriaan, dan prinsip pembedaan. Dalam prinsip pembedaan, negara yang sedang berperang diwajibkan
untuk mengindentifikasi objek yang akan diserang. Negara wajib melakukan identifikasi apakah objek yang akan

diserang merupakan objek militer atau objek sipil. Selain itu, Negara pun wajib mengidentifikasi subjek yang akan
diserang yang dibagi menjadi 3 diantaranya Combatant, Non-Combatant, dan Civilian. Dalam menggunakan
drone , Negara yang sedang berperang wajib untuk menghormati prinsip pembedaan ini. Namun, Dalam
penerapannya seringkali penggunaan drone menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip perbedaan. Selain itu,
sangat sulit untuk melakukan identifikasi baik terhadap objek maupun subjek penyerangan apabila penyerangan
dilakukan dengan menggunakan drone.
Pada tahun 2002 , Amerika Serikat melakukan penyerangan terhadap Afganistan dengan menggunakan
Drone dalam rangka menangkap Osama Bin Laden. Beberapa hari kemudian jurnalis di lapangan mulai
melaporkan bahwa drone justru membidik warga sipil yang sedang membawa besi tua. Berita tersebut membuat
publik mempertanyakan kebijakan penggunaan drone di Amerika. Namun, drone terus digunakan oleh Amerika di
medan perang. Sebuah lembaga think tank, Stimson Center, di Washington, pertengahan tahun ini melaporkan
bahwa penggunaan drone di lapangan justru berpotensi mengancam stabilitas di medan perang.

Salah satu

Lembaga pemerhati hak asasi manusia, Amnesty International, bahkan menyebut penggunaan drone oleh AS
berada diluar jalur hukum dan kemanusiaan. Dalam situsnya, Amnesty International menyebutkan,"Hukum
internasional mengizinkan penggunaan senjata mematikan namun dalam batasan yang sangat sempit. (Amnesty
International) menyerukan pemrintah AS untuk tunduk pada hukum internasional yang berlaku."4
Tanggung jawab atas penggunaan Drone yang tidak sesuai dengan aturan HHI. Aturan HHI terhadap pesawat

udara militer berlaku bagi Drone: Konvensi Den Haag dan Protokol Tambahan 1977, Hukum Kebiasan
Internasional dibidang HHI, termasuk dalam rancangan RAW (Rule of Air Warfare) Den Haag 1922-1923 yang
dirumuskan oleh Komite Ahli Hukum. Contohnya drone tidak boleh dijatuhkan ke pemukiman yang banyak
penduduknya sama seperti aturan terhadap pesawat udara milter (Konvensi Den Haag IV) RAW mengatur tentang

44.

CNN Indonesia, Penggunaan drone yang mengundang kontroversi, https://www.cnnindonesia.com/

internasional/2014103011294-134-8859/penggunaan-drone-yang-mengundang-kontroversi/ Diakses pada 1
Desember 2017

penggunaan peralatan tanpa kabel termasuk juga pesawat. Dapat juga digunakan untuk membatasi penggunaan
drone. Namun RAW sampai sekarang belum menjadi konvensi. Tetapi aturan-aturannya sudah digunakan oleh
negara-negara dalam praktek berperang, maka sudah mengikat berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Prinsip
pembedaan berkaitan pertempuran dari udara yang relevan terhadap drone.5
Dengan melihat latar belakang tersebut, penulis sangat tertarik untuk membahas masalah ini dengan mengambil
judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan Unmanned Aerial Venichle dalam situasi perang berdasarkan Hukum
Humaniter Internasional”


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang diatas maka Permasalahan yang akan diteliti dalam karya ilmiah hukum ini adalah
- Bagaimanakah keabsahan penggunaan drone dalam situasi perang berdasarkan hukum humaniter internasional ?
- Bagaimanakah pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan yang disebabkan oleh penggunaan drone dalam
situasi perang ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah
-

Ingin Mendeskripsikan keabsahan penggunaan drone dalam situasi perang berdasarkan hukum humaniter

internasional.
- Ingin mendeskripsikan pertanggungjawaban negara terhadap kerusakan yang disebabkan oleh penggunaan drone
dalam situasi perang.

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normative. Menurut
Soejono Soekanto, Penelitian hukum normative cenderung mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif dimana

hanya melihat hukum dari sudut pandang norma – normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. 6

55.

Universitas Syiah Kuala, Drone dalam perspektif hukum humaniter internasional, Dalam http://www.law.

unsyiah.ac.id/306-Drone-Dalam-Perspektif-Hukum-Humaniter-Internasional, Diakses pada 1 Desember 2017.

2. Pendekatan
Pendekatan penelitian adalah cara mengadakan penelitian.7 Dari ungkapan konsep tersebut jelas bahwa yang
dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan menghendaki makna yang berada di balik bahan
hukum.
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian normative, maka dapat
digunakan lebih dari satu pendekatan.8 Dalam penelitian ini akan digunakan pendekatan perundang – undangan dan
pendekatan kasus.
Pendekatan perundang – undangan dilakukan untuk meneliti pengaturan mengenai penggunaan drone dalam
situasi perang di dalam Geneva Convention, Den Hauge Convention, maupun peraturan lain di bidang hukum
humaniter internasional. Sedangkan, Pendekatan kasus dilakukan untuk menganalisis penggunaan drone dalam
perang seperti pada kasus Katanga maupun pada perang Amerika Serikat – Afghanistan.
3. Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu :
Data sekunder adalah bahan hukum dalam penelitian yang diambil dari studi kepustakaan yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tersier. Data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan
penelusuran literature yang berkaitan dengan hukum humaniter dan teori yang mendukungnya.
a. Bahan hukum primer adalah Bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya memiliki suatu otoritas mutlak dan
mengikat.
b. Bahan hukum sekunnder adalah Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
c. Bahan tersier adalah Bahan hukum yang relevan. (contoh: kamus hukum internasional).

66.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian hukum normatif tinjauan singkat (Jakarta:Rajawali Pers,

2006).
77.

Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).

88.


Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang:Bayumedia Publishing, 2006).

4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi
kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui literatur dan dokumen lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang ada.

5. Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif.

KERANGKA TEORI
1. Tinjauan mengenai Hukum Internasional
Menurut Brierly “Hukum ada dalam setiap masyarakat; dan tidak akan ada masyarakat tanpa adanya suatu
sistem hukum yang mengatur hubungan diantara setiap anggota masyarakat”. Dalam Hubungan Internasional
sering terjadi perbedaan pendapat dan kepentingan diantara Negara – negara dalam sebuah hubungan Internasional
sehingga diperlukan hukum yang mengatur hubungan antara negara – negara tersebut. Dalam perkembanganya
terdapat banyak istilah mengenai hukum internasional yakni “Hukum Bangsa – Bangsa dan “Hukum Antar
Negara”.9 Menurut Mochtar Kusumaatmadja , Hukum Internasional Publik adalah Keseluruhan kaidah dan asas
hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: a) Negara dengan negara; b)
Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain. 10 Dalam Hukum

Internasional terdapat subjek – subjek hukum internasional :
- Negara
- Organisasi Internasional
- Palang Merah Internasional
- Takhta Suci Vatican
- Pihak – Pihak yang bersengketa (Beligerent)
- Individu
Untuk mengatur hubungan diantara subjek – subjek hukum internasional maka diperlukan suatu aturan – aturan
yang mengikat diantara subjek hukum internasional. Berdasarkan Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional,
Sumber Hukum Internasional adalah:
- Perjanjian Internasional
- Kebiasaan Internasional
- Prinsip – prinsip hukum umum
- Yurisprudensi
99.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni, 2002), 4.

1010.


Ibid, 95 - 110

- Doktrin
Di dalam Hukum Internasional terdapat 2 aliran utama yaitu
a) Golongan Naturalis : Prinsip – prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia,
tetapi berasal dari prinsip – prinsip hukum yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui
dengan akal sehat.
b) Golongan Positivis : Hukum yang mengatur hubungan antara negara adalah prinsip – prinsip yang dibuat oleh
negara – negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama yang
diwujudkan dalam perjanjian – perjanjian dan kebiasaan – kebiasaan internasional.11

1111. Boer Mauna, Hukum International (Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era Dinamika Global)

(Bandung;
Alumni, 2015), 6.

2. Tinjauan umum mengenai Hukum Humaniter
Di dalam hubungan internasional, sering terjadi sengketa diantara subyek – subyek hukum internasional.
Meskipun dalam konvensi penyelesaian sengketa internasional secara damai, dianjurkan agar sengketa
internasional sebaiknya diselesaikan dengan cara damai12 namun kita tidak dapat menutupi fakta bahwa terkadang
perang dapat menjadi alternative yang dipilih dalam menyelesaikan sengketa diantara kedua negara. Di dalam
perang diperlukan suatu aturan – aturan yang membatasi agar hak – hak warga sipil tetap terlindungi dalam situasi
perang. Hukum ini disebut dengan “Hukum Humaniter”. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum humaniter
adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan – ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan
hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri”.13 Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi 2 aturan pokok yaitu:14
1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag)
2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang.
(Hukum Jenewa)
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, tetapi hukum humaniter mencoba agar suatu
perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip – prinsip kemanusiaan . Menurut Frederic De
Mullinen, Tujuan hukum humaniter adalah:
1. Memberikan perlidungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu.
2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan
yang jatuh ketangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.15
Dalam hukum humaniter terdapat 3 asas utama yaitu:16
1. Asas Kepentingan militer
1212.

Pasal 1 Konvensi Penyelesaian Sengketa International dengan cara damai

1313.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum internasional humaniter dalam pelaksanaan dan penerapannya di

Indonesia( 1980), 5.
1414.

Haryomataram, Sekelumit tentang hukum humaniter (Surakarta: Sebelas maret University Press,1994), 1.

1515.

Frederic de Mullinen, Handbook on the law of the war for Armed Forces, (Geneva: ICRC, 1987), 2

1616.

Permanasari, Arlina, et al, Op cit, 11

Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan
lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
2. Asas Perikemanusiaan
Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan dimana
mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan
yang tidak perlu.
3. Asas Kesatriaan
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat – alat yang
tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara – cara yang bersifat khianat dilarang.
Selain asas – asas diatas, terdapat suatu asas yang penting didalam hukum humaniter internasional yakni asas /
Prinsip pembedaan. Prinsip pembedaan adalah suatu asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu
negara yang sedang berperang atau yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yakni
kombatan dan penduduk sipil. Pembedaan ini diperlukan untuk mengetahui mereka yang boleh turut serta dalam
permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan, dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam
permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan.

3. Tinjauan umum mengenai Penggunaan Drone dalam situasi perang
The unmanned aerial vehicle yang lebih umum dikenal sebagai drones merupakan pesawat tanpa awak dengan
kendali jarak jauh yang sengaja dibuat untuk kepentingan militer. 17 Pesawat ini termasuk dalam kategori pesawat
tempur paling moderen, memiliki konfigurasi otomatis autopilot, dilengkapi dengan berbagai sensor serta
diprogram untuk bermanuver rutin sesuai dengan pengaturan awal. 18 Pada dasarnya, berbagai jenis drone terbagi
dalam dua kategori besar, yaitu drone yang sengaja diprogram untuk melakukan pengintaian serta pengawasan dan
drone yang dipersenjatai dengan rudal ataupun bom.19 Pesawat tempur tanpa awak ini memiliki nilai lebih dengan

1717. Air Force officials announce remotely piloted aircraft pilot training pipeline", www.af.mil. Diakses pada 21

Desember 2017
1818. Taylor, A. J. P. Jane's Book of Remotely Piloted Vehicles.
1919.

Jane Meyer, ‘The Predator war’, dalam The New Yorker, 26 Oktober 2009, http://www.newyorker.com/

reporting/2009/10/26/091026fa_fact_mayer. Diakses pada 21 Desember 2017.

tidak menempatkan pilot dalam situasi yang beresiko tinggi.Konfigurasi dari penggunaan pesawat tanpa awak ini
bersifat aerodinamis, taktis dan memberikan keuntungan ekonomi.20
Perkembangan senjata yang digunakan dalam peperangan, konflik maupun dalam perlindungan untuk sebuah
negara dan keamanan internasional tetap berada dalam koridor regulatif dalam Pasal 36 dari Protokol Tambahan I
dari Konvensi Jenewa 1949.21 Pasal ini bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan
baik oleh negara dan organisasi- organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga dan tidak melewati
batas-batas dari prinsip-prinsip hukum internasional yang telah ada.22Dewasa ini, penggunaan remote- controlled
weapon systems merupakan sebuah refleksi dari sejumlah peristiwa yang meresahkan dunia internasional.
Kemungkinan setiap pengembangan senjata membawa situasi global kepada tahap apa yang sering disebut sebagai
security dilemma.23
Apakah penggunaan drone bersenjata merupakan agresi atau tindakan membela diri yang sah,
keduanya harus berlangsung dalam situasi konflik bersenjata dan memenuhi kriteria
perhubungan yang relevan (lihat di subbagian bawah tentang perhubungan konflik) keduanya juga akan dinilai

berdasarkan jus in bello yang berlaku, khususnya HHI. Dengan demikian, mereka harus mematuhi, minimal, aturan
HHI yang berlaku pada perilaku perang, khususnya aturan-aturan yang berkaitan dengan tindakan pencegahan
dalam serangan, pembedaan, dan proporsionalitas, dan keduanya tidak harus menggunakan senjata yang
penggunaannya melanggar hukum berdasarkan HHI.24 Menurut Stuart Casey Maslen, Hukum kebiasaan melarang

2020.

Ibid.

2121.

Texts and commentaries of 1949 Conventions & Additional Protocols

2222.

Agenda [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Terdapat dalam:

http://castroller.com/podcasts/
TheAgendaVideo/3019369 "he Morality of Drone Warfare"].(2012).
2323. Afhseen John Radsan; Murphy "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-Targeted Killing"

University of Illinois Law Review, 2011 (2011). 1201–1241.
2424.

Sabrina Mirza, DRONES- An Inhumanly Attack: Analisa Hukum Humaniter Internasional, https://

www.academia.edu/3818434/DRONES_An_Inhumanly_Attack_Analisa_Hukum_Humaniter_Internasional , 78. Diakses pada 21 Desember 2017

penggunaan, baik dalam konflik bersenjata internasional atau non-internasional, senjata yang sifatnya membabi
buta, serta senjata yang sifatnya berlebihan hingga menyebabkan cedera atau penderitaan yang tidak perlu.25

4. Tinjauan umum mengenai Hukum Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional adalah Suatu persetujuan internasional yang telah diatur oleh hukum internasional dan
dirumuskan dalam bentuk tertulis:
(1) Antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional
(2) Sesama Organisasi internasional, baik persetujuan itu berupa satu instrument atau lebih dari satu instrument
yang saling berkaitan tanpa memandang apapun namanya.26
Subjek hukum internasional yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah27
1. Negara
2. Negara Bagian
3. Tahta Suci Vatican
4. Organisasi Internasional
5. Wilayah Perwalian
6. Beligerent
7. Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.
Dalam perumusan perjanjian internasional terdapat beberapa langkah yang harus dilalui yakni:
1. Penunjukan wakil – wakil yang akan melakukan perundingan
2. Penerimaaan naskah perjanjian
3. Pengontentikasian naskah perjanjian
4. Persetujuan untuk terikat pada perjanjian
Persetujuan untuk terikat pada perjanjian dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1. Persetujuan untuk terikat pada perjanjian yang dinyatakan dengan cara penandatanganan.
2. Persetujuan untuk terikat pada perjanjian yang dinyatakan dengan pertukaran instrument – instrument yang
membentuk perjanjian.
3. Persetujuan untuk terikat pada perjanjian yang dinyatakan dengan ratifikasi , akseptasi, atau persetujuan.
2525. Stuart Casey Maslen, Serangan Drone menurut jus ad bellum, jus in bello, dan hukum hak asasi manusia

internasional. International Review of the red cross, 94, No.886 (2012)
2626.

Pasal 2 ayat (1) butir a konvensi wina 1986

2727.

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1 (Jakarta: Mandar Maju, 2002), 19.

4. Persetujuan untuk terikat pada perjanjian yang dinyatakan dengan cara aksesi
5. Persetujuan untuk terikat pada sebagian dari perjanjian28

5. Tinjauan umum mengenai tanggung jawab negara
Pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara
dibatasi pada perbuatan yang melanggar hukum internasional. Perbuatan negara yang merugikan negara lain
namun tidak melanggar hukum internasional tidak akan menimbulkan pertanggungjawaban negara. Tanggung
jawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum
internasional.29
Secara garis besar tanggung jawab negara dibagi menjadi :
a.Tanggung jawab perbuatan melawan hukum (delictual liability)
Tanggung jawab ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah
negaranya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena :


Eksplorasi ruang angkasa



Eksplorasi nuklir



Kegiatan Lintas Batas Nasional

b. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian
Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara melanggar perjanjian internasional (treaty) yang dibuat
dengan negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya.
Menurut Sharon Williams,30 ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya
pertanggungjawaban negara yaitu :
1. Subjective fault criteria
2828.

Ibid, 93 - 148

2929.

Malcolm N Shaw, International Law, (Cambrige:Cambrigde University Press, 1997), 541

3030.

Sharon Williams, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” Univ. of Queensland Law

Journal, 13, No.2 (1984); 114-118

2. Objective fault criteria
3. Strict Liability
4. Absolute Liability
1. Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk
menetapkan adanya pertanggungjawaban negara. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan adanya
pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional.
Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan pihak ketiga, negara yang
bersangkutan dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut.
2. Konsep strict liability membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat
yang terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran dan mengakibatkan kerugian di wilayah negara lain,
meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts of God, tindakan
pihak ketiga atau forcé majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate). Menurut konsep absolute
liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini
terdapat total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.31
Dalam keadaan-keadaan tertentu, suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional tidak mengakibatkan
negara tersebut bertanggungjawab terhadapnya. Keadaan-keadaan yang dimaksud secara umum adalah:
1. Adanya persetujuan dari negara yang dirugikan (consent). 32 Persetujuan ini harus diberikan sebelum atau saat
pelanggaran terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadi pelanggaran berarti penanggalan hak untuk
mengklaim ganti rugi, tetapi tidak menghilangkan unsur pelanggaran hukum internasional.
2. Tindakan mempertahankan diri (self defense) Yang menjadi tolak ukur adalah bahwa tindakan tersebut harus
sesuai dengan piagam PBB.33
3. Keadaan memaksa ( force majeure)
3131.

Ibid

3232.

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, (Jakarta: CV Rajawali, 1991), 185

3333.

Ibid

Pasal 23
ILC Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Act (2001) yang mengatakan kesalahan
negara dapat dihindari apabila tindakan itu disebabkan karena adanya kekuatan yang tak dapat diduga sebelumnya
di luar kontrol atau pengawasan suatu negara yang membuatnya secara materiil tidak mungkin memenuhi
kewajiban internasional tersebut.34
4. Keadaan yang berbahaya ( distress)
Tindakan yang oleh si pelaku memang tidak ada cara lain karena alasan yang berbahaya guna menyelamatkan
jiwanya atau keselamatan jiwa orang lain yang berada di bawah pengawasannya.35
5. Keadaan yang sangat diperlukan (necessity ) Suatu negara dapat melakukan suatu tindakan yang “merupakan
satu -satunya jalan untuk menyelamatkan kepentingan yang esensil terhadap bahaya yang sangat besar”. Perbedaan
antara Doctrine of Necessity dengan Force Majeure adalah, dalam Doctrine of Necessity tindakan pelanggaran
dilakukan karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara untuk melindungi kepentingan vitalnya, sedangkan
Force Majeure adalah keadaan dimana kekuatan yang bersifat di luar kemampuan dan tidak dapat dihindari.36

3434.

Ibid

3535.

Malcolm N Shaw, Opcit, 419

3636.

Ibid

ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Keabsahan penggunaan drone dalam perang berdasarkan hukum humaniter internasional
Penggunaan drone dalam masa perang merupakan salah satu permasalahan baru dalam hukum humaniter
internasional. Di dalam hukum humaniter internasional dikenal beberapa asas yakni asas kepentingan militer, asas
kesatriaan, dan asas peri kemanusiaan. Setiap tindakan yang dilakukan pada masa perang harus didasarkan pada
asas dan prinsip di dalam hukum humaniter internasional. Dalam hukum humaniter internasional, terdapat
beberapa prinsip yang telah diakui sebagai hukum kebiasaan internasional. Salah satu prinsip yang telah diakui
sebagai hukum kebiasaan internasional adalah prinsip perbedaan. Prinsip perbedaan mewajibkan suatu negara
untuk membedakan antara militer dan warga sipil serta objek militer dan objek sipil. Penggunaan drone pada masa
perang seringkali menimbulkan masalah baru yakni apakah penggunaan drone dalam masa perang bertentangan
dengan prinsip perbedaan sebagaimana diatur dalam hukum humaniter internasional. Berdasarkan putusan kasus
Katanga,37 Penggunaan alat bukti drone dalam bentuk pengamatan udara diizinkan didalam international criminal
court sehingga putusan ini telah memberikan legitimasi terhadap penggunaan drone dalam rangka melakukan
pengamatan udara. Namun, apakah pengunaan drone yang diperlengkapi oleh rudal maupun roket diperkenankan
di dalam hukum humaniter internasional. Salah satu syarat serangan di dalam hukum humaniter internasional
adalah serangan tersebut tidak boleh membabi buta (widespread) dan tidak boleh ditargetkan kepada objek maupun
penduduk sipil.38 Namun dapatkah dipastikan bahwa serangan yang dilakukan dengan menggunakan drone tidak
akan membabi buta. Dalam serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat seringkali ditujukan kepada objek sipil
maupun penduduk sipil. Pengidentifikasian yang dilakukan dengan mendasarkan pada pola – pola tingkah laku
bukan dengan identifikasi individual secara spesifik merupakan salah satu pelanggaran terhadap hukum humaniter
internasional. Amerika seringkali menjustifikasi korban sipil yang meninggal akibat operasi drone amerika serikat
sebagai dampak yang tidak dapat dihindari. Namun, untuk dapat diklasifikasi sebagai dampak yang tidak dapat
dihindari serangan itu harus didasari oleh adanya kepentingan militer. Apabila serangan yang dilakukan oleh
3737.

Katanga, ICC-01/04-01/07, ¶¶161-165

3838.

AP-I, art.51(3); AP-II, art.13(3); Nils Melzer, Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in

Hostilities Under International Humanitarian Law, (Geneva : International Commite of the Red Cross, 2009),
46.

Amerika Serikat tidak didasari oleh adanya kepentingan militer maka Amerika Serikat melalui penggunaan drone
dalam perang dapat diklasifikasikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip perbedaan. Menurut Rubiyanto, 39 Setiap
konflik militer yang muncul, selalu menimbulkan korban lebih banyak dari pihak sipil, oleh karenanya perlu ada
tekanan internasional terhadap militer yang melanggar hukum humaniter baik melalui sanksi politik, sanksi
ekonomi maupun sanksi militer.

2.2 Pertanggungjawaban negara dalam penggunaan drone pada masa perang
Sebagai salah satu peserta Geneva Convention dan Den hauge convention, Amerika terikat dalam peraturan –
peraturan dalam hukum humaniter dan wajib mematuhi segala ketentuan – ketentuan dalam hukum humaniter.
Dengan melakukan pengeboman dengan menggunakan drone yang ditujukkan terhadap objek sipil maka Amerika
telah melanggar prinsip perbedaan. Selain itu serangan yang dilakukan oleh Amerika dapat dikategorikan sebagai
widespread dan systematic. Dalam hal penggunaan drone pada masa perang yang dilakukan oleh Amerika telah
melanggar ketentuan hukum humaniter internasional, maka Negara yang bersangkutan wajib bertanggung jawab
atas tindakan melanggar hukum yang dilakukan. Maka, jika kita melihat dalam penggunaan drone dalam perang
yang dilakukan oleh Amerika telah melanggar hukum humaniter internasional. Dalam hal ini setiap tindakan yang
dilakukan oleh Amerika Serikat telah memenuhi unsur – unsur pertanggungjawaban negara. Selain itu, ketiadaan
alasan pemaaf yang dapat menjustifikasi tindakan Amerika Serikat membuktikan bahwa Amerika Serikat tidak
mempunyai alasan untuk bebas dari pertanggungjawabanya. Sehingga Amerika Serikat seharusnya diwajibkan
untuk melakukan pemulihan kerusakan yang diakibatkan oleh serangan Drone yang dilakukan oleh Amerika
Serikat.

3939.

Rubiyanto, Perkembangan hukum humaniter dalam konflik militer internasional, Jurnal ilmiah UNTAG

Semarang, 5, No.2 (2016), 13

BAB IV. PENUTUP
Kesimpulan
Penggunaan drone pada masa perang diizinkan di dalam hukum humaniter internasional, namun dalam penggunaan
drone negara harus memperhatikan prinsip – prinsip dan asas dalam hukum humaniter internasional..Penggunaan
drone tanpa memperhatikan prinsip – prinsip dan asas dalam hukum internasional akan menyebabkan pelanggaran
terhadap hukum humaniter internasional. Apabila serangan yang dilakukan bertentangan dengan hukum humaniter
internasional, maka Negara dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk melakukan pemulihan terhadap
kerusakan yang diakibatkan oleh serangan yang melawan hukum tersebut.

Daftar Pustaka
Buku
Adolf, Huala. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: CV Rajawali, 1991
Arikunto, Suharsimi. Prosedur penelitian: Suatu pendekatan praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
De mullinen, Frederic. Handbook on the law of the war for Armed Forces, Geneva:ICRC, 1987.
Haryomataram. Sekelumit tentang hukum humaniter, Surakarta: Sebelas maret University Press, 1994.
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , Malang: Bayumedia Publishing, 2006.
Kusumaatmadja, Mochtar. Hukum internasional humaniter dalam pelaksanaan dan penerapannya di Indonesia,
1980
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2002.
Mauna, Boer. Hukum International (Pengertian Peranan dan Fungsi dalam era Dinamika Global): Bandung;
Alumni, 2015.
Melzer, Nils. Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in Hostilities Under International
Humanitarian Law, Geneva: International Commite of the Red Cross, 2009.
Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1, Jakarta: Mandar Maju, 2002.
Permanasari, Arlina, et al, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC, 1999.
Shaw, Malcolm N, International Law, Cambrige: Cambrigde University Press, 1997.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian hukum normatif tinjauan singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Sudjatmoko, Andrey , Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Jurnal
Maslen, Stuart Casey. Serangan Drone menurut jus ad bellum, jus in bello, dan hukum hak asasi manusia
internasional. International Review of the red cross, 94, No.886 (2012)
Radsan, Afhseen John; Murphy. "Measure Twice, Shoot Once: Higher Care for Cia-Targeted Killing", University
of Illinois Law Review, 2011 (2011).
Rubiyanto, Perkembangan hukum humaniter dalam konflik militer internasional, Jurnal ilmiah UNTAG Semarang,
5, No.2 (2016)
William, Sharon. “Public International Governing Trans-boundary Pollution” Univ. of Queensland Law Journal,
13, No.2 (1984)

Artikel
Agenda [( Agenda. 2012. The Morality of Drone Warfare. Terdapat dalam:
http://castroller.com/podcasts/ TheAgendaVideo/3019369 "he Morality of Drone Warfare"].(2012). Diakses
pada 21 Desember 2017.
CNN Indonesia, Penggunaan drone yang mengundang kontroversi, https://www.cnnindonesia.com/
internasional/2014103011294-134-8859/penggunaan-drone-yang-mengundang-kontroversi/ Diakses pada 1
Desember 2017
Jane Meyer, ‘The Predator war’, dalam The New Yorker, 26 Oktober 2009, http://www.newyorker.com/
reporting/2009/10/26/091026fa_fact_mayer. Diakses pada 21 Desember 2017.
Sabrina Mirza, DRONES- An Inhumanly Attack: Analisa Hukum Humaniter Internasional, https: //www.
academia.edu/3818434/DRONES_An_Inhumanly_Attack_Analisa_Hukum_Humaniter_Internasional , Diakses
pada 21 Desember 2017.
Universitas Syiah Kuala, Drone dalam perspektif hukum humaniter internasional, Dalam http://www.law.
unsyiah.ac.id/306-Drone-Dalam-Perspektif-Hukum-Humaniter-Internasional, Diakses pada 1 Desember 2017.