PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA MELALUI REAL ACTIVITIES MANIPULATION

PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA MELALUI REAL ACTIVITIES MANIPULATION

(Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2006-2008)

Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh: RITA BUDI ASTUTI

F. 1306604

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Jangan engkau khawatir, Tak perlu takut, Segalanya akan berlalu! Allah tak pernah ingkar. Dengan sabar dan tawakal, Segalanya akan tercapai! Siapa menjadi milik Allah Takkan kekurangan apapun.

Dia akan mencukupinya. (Coretan Santa Theresia)

Kupersembahkan kepada : Z Bapak dan Ibu tercinta Z Mas Andung, Mb’ Ningsih, Mb,

Dhayu, Mb’ Heni dan Nara Z Sahabat dan teman-temanku Z Almamater

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar sarjana akuntansi.

Dalam penulisan skripsi dengan judul “PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA MELALUI REAL ACTIVITIES MANIPULATION (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2006-2008)”. Berbagai kesulitan menyertai penulisan skripsi ini, namun demikian dengan bantuan berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat teratasi. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. Jaka Winarna, M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Drs. Subekti Djamaluddin, M.Si.,Ak. selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, kesabaran dan perhatian yang tinggi dalam memberikan bimbingan, serta pengarahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak, Ibu, Mas Andung, Mb’ Ningsih, Mb’ Dhayu, Mb’ Heni dan keponakanku Nara terimakasih buat doa dan dukungannya selama ini.

5. Rekan-rekan Akuntansi B Angkatan tahun 2006.

6. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berkenan memberikan bantuan selama proses penyusunan skripsi ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga segala kritik dan saran yang berguna bagi kesempurnaan skripsi ini masih sangat dibutuhkan. Semoga karya sederhana ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Surakarta, Januari 2010 Penulis

DAFTAR TABEL

TABEL Halaman

I.1 Ringkasan Penelitian Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Manajemen Laba ................................................................... 6

IV.1 Pemilihan Sampel ................................................................................. 51

IV.2 Statistik Deskriptif ............................................................................... 52

IV.3 Hasil Analisis Persamaan Regresi 1 ..................................................... 56

IV.4 Hasil Analisis Persamaan Regresi 2 ..................................................... 58

IV.5 Hasil Analisis Persamaan Regresi 3 ..................................................... 60

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

II.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 32

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh mekanisme corporate governance yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen dan kesesuaian komite audit terhadap manajemen laba melalui real activities manipulation. Penelitian ini menggunakan sampel dari 85 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2006-2008, perusahaan dipilih berdasarkan purposive sampling. Metode statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil pengujian menunjukkan bahwa (1) kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap management of sales, overproduction dan reduction of discretionary (2) kepemilikan institusional berpengaruh terhadap overproduction, dan tidak berpengaruh terhadap management of sales dan reduction of discretionary (3) komposisi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap management of sales, overproduction dan reduction of discretionary (4) kesesuaian komite audit tidak berpengaruh terhadap management of sales, overproduction dan reduction of discretionary .

Kata kunci : Mekanisme corporate governance, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen, kesesuaian komite audit, manajemen laba, real activities manipulation .

ABSTRACT

This research aims to examine the influence of corporate governance mechanism, namely managerial ownership, institutional ownership, composition of independent commissioner and audit committee to earnings management (which is measured by using real activities manipulation). The sample of this research consists of 85 companies in the manufacturing sector listed in Indonesia Stock Exchange from 2006 until 2008. Data were collected by means of purposive sampling. The analysis of this research uses multiple regressions. The result shows that (1) managerial ownership does not significantly influences to management of sales, overproduction and reduction of discretionary (2) institutional ownership significantly influences to overproduction and does not significantly influences to management of sales and reduction of discretionary (3) composition of independent commissioner does not significantly influences to management of sales, overproduction and reduction of discretionary (4) audit committee does not significantly influences to management of sales, overproduction and reduction of discretionary.

Key Words : Corporate governance mechanism, managerial ownership, institutional ownership, composition of independent commissioner, audit committee, earnings management, real activities manipulation, management of sales, overproduction, reduction of discretionary.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap perusahaan pada suatu periode akan melaporkan semua kegiatan keuangannya dalam bentuk ikhtisar keuangan atau laporan keuangan. Laporan keuangan merupakan alat komunikasi antara pihak internal perusahaan yaitu pihak manajemen dengan pihak eksternal yang terkait dengan perusahaan.

Tujuan umum laporan keuangan menurut PSAK No. 1 paragraf 05 adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas pengguna sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

Laporan keuangan yang lengkap meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan (PSAK No. 1 paragraf 07). Meski sebenarnya semua laporan keuangan adalah penting dan bermanfaat, namun kebanyakan investor dan pemakai laporan keuangan lainnya hanya memusatkan perhatian mereka pada laba. Seringkali perhatian investor yang hanya terfokus pada laba membuatnya tidak memperhatikan prosedur yang digunakan untuk menghasilkan angka laba tersebut. Ketergantungan investor, pihak eksternal terhadap informasi laba yang terdapat dalam laporan keuangan turut mendorong manajer melakukan manajemen laba (earnings management) untuk kepentingannya sendiri.

Di dalam perusahaan terdapat pihak pemilik perusahaan (principal) dan manajemen (agent). Baik pihak principal maupun agent masing-masing mempunyai kepentingan pribadi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Pihak manajemen atau manajer dituntut memenuhi kepentingan pemilik perusahaan namun di samping itu manajer juga memiliki tujuan pribadi yang mungkin saja berbeda dengan pemilik. Asimetri informasi (information asymmetry) antara pihak manajemen dan Di dalam perusahaan terdapat pihak pemilik perusahaan (principal) dan manajemen (agent). Baik pihak principal maupun agent masing-masing mempunyai kepentingan pribadi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Pihak manajemen atau manajer dituntut memenuhi kepentingan pemilik perusahaan namun di samping itu manajer juga memiliki tujuan pribadi yang mungkin saja berbeda dengan pemilik. Asimetri informasi (information asymmetry) antara pihak manajemen dan

Manajemen laba dapat dilakukan dengan cara manipulasi akrual murni (pure accruals) yaitu dengan discretionary accruals yang tidak memiliki pengaruh terhadap arus kas secara langsung yang disebut dengan manipulasi akrual (Roychowdhury, 2003). Manajemen akrual dilakukan pada akhir periode ketika manajer mengetahui laba sebelum direkayasa sehingga dapat mengetahui berapa besar manipulasi yang diperlukan agar target laba tercapai. Namun, manipulasi akrual dibatasi oleh GAAP dan manipulasi akrual di tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, manipulasi ini dapat terdeteksi oleh auditor, investor ataupun badan pemerintah sehingga dapat berdampak pada harga saham bahkan menyebabkan kebangkrutan atau kasus hukum. Oleh karena itu, terdapat cara lain yang sering dilakukan oleh manajer untuk mengatur laba yaitu dengan memanipulasi aktivitas riil (real activities manipulation ). Manipulasi ini terjadi sepanjang periode akuntansi dengan tujuan spesifik yaitu memenuhi target laba tertentu, menghindari kerugian, mencapai target analyst forecast.

Tindakan earnings management telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron, Xerox, Worldcom dan beberapa perusahaan lain di Amerika Serikat. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT Lippo Tbk. dan PT Kimia Farma

Tbk. juga berawal dari terdeteksinya manipulasi dalam laporan keuangan (Boediono, 2005).

Terdapatnya kasus-kasus tersebut menimbulkan suatu pertanyaan tentang keefektifan penerapan tata kelola perusahaan. Konsep tata kelola perusahaan (corporate governance) diajukan demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang lebih transparan bagi semua pengguna laporan keuangan. Bila konsep ini diterapkan dengan baik maka diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus menanjak seiring dengan transparansi pengelolaan perusahaan yang makin baik dan nantinya menguntungkan banyak pihak (Nasution dan Setiawan, 2007).

Corporate governance didefinisikan sebagai perangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2003).

Penelitian hubungan antara corporate governance dengan manajemen laba telah banyak dilakukan di Indonesia, antara lain: Midiastuty dan Machfoedz (2003), Boediono (2005), Siregar dan Utama (2006), Ujiyantho dan Pramuka (2007), serta Nasution dan Setiawan (2007). Penelitian- penelitian tersebut menggunakan ukuran manajemen laba melalui akrual.

Midiastuty dan Machfoedz (2003) menganalisis hubungan mekanisme corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan ukuran dewan komisaris) terhadap perilaku manajemen laba (diukur dengan discretionary accruals ) dan kualitas laba. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh negatif signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa mekanisme corporate governance yang meliputi kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan ukuran dewan komisaris mampu mengurangi tindakan manajemen laba yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas laba yang dilaporkan.

Boediono (2005) meneliti pengaruh mekanisme corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan komposisi dewan komisaris) terhadap manajemen laba (yang diukur dengan akrual abnormal) dan kualitas laba. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh mekanisme corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan komposisi dewan komisaris) secara individual berpengaruh positif terhadap manajemen laba, artinya penerapan mekanisme corporate governance kurang memberikan kontribusi dalam mengendalikan tindakan manajemen laba.

Siregar dan Utama (2006) menguji pengaruh dari struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, dan praktik corporate governance terhadap pengelolaan laba (earnings management) yang diproksikan dengan discretionary accrual. Praktik corporate governance diukur menggunakan tiga variabel yaitu kualitas audit, proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit.

Berdasarkan hasil pengujian ketiga variabel praktik corporate governance tidak terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba.

Ujiyantho dan Pramuka (2007) menguji pengaruh mekanisme corporate governance (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris, dan ukuran dewan komisaris) terhadap manajemen laba (yang diproksikan dengan discretionary accrual) dan kinerja keuangan. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kepemilikan institusional, dan jumlah dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, proporsi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba, sedangkan kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hal tersebut berarti kepemilikan manajerial telah mampu menjadi mekanisme corporate governance yang secara efektif dapat mengurangi tindakan manajemen laba.

Nasution dan Setiawan (2007) menguji hubungan mekanisme corporate governance : komposisi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, dan keberadaan komite audit terhadap praktik manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi dewan komisaris dan keberadaan komite audit berpengaruh negatif terhadap manajemen laba perusahaan perbankan, sedangkan ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba perusahaan perbankan.

Tabel 1.1

Ringkasan Penelitian Pengaruh Mekanisme

Corporate Governance terhadap Manajemen Laba

No. Peneliti

Variabel mekanisme

Hasil terhadap

corporate governance

manajemen laba (yang diproksikan dengan discretionary accruals)

1. Midiastuty dan

1. Berpengaruh negatif Machfoedz

1. Kepemilikan manajerial

2. Berpengaruh negatif (2003)

2. Kepemilikan

institusional

3. Berpengaruh positif

3. Ukuran dewan komisaris

2. Boediono (2005)

1. Kepemilikan manajerial

1. Berpengaruh positif

2. Kepemilikan

2. Berpengaruh positif

institusional

3. Berpengaruh positif

3. Komposisi dewan komisaris

1. Tidak berpengaruh Utama (2006)

3. Siregar dan

1. Proporsi dewan

komisaris independen

2. Tidak berpengaruh

2. Kualitas audit

3. Tidak berpengaruh

3. Keberadaan komite audit

4. Ujiyantho dan

1. Berpengaruh negatif Pramuka (2007)

1. Kepemilikan manajerial

2. Kepemilikan

2. Tidak berpengaruh

institusional

3. Berpengaruh positif

3. Proporsi dewan

4. Tidak berpengaruh

komisaris independen 4. Jumlah dewan komisaris

5. Nasution dan

1. Berpengaruh negatif Setiawan (2007)

1. Komposisi dewan

komisaris

2. Berpengaruh positif

2. Ukuran dewan komisaris

3. Berpengaruh negatif

3. Keberadaan komite audit

Tabel di atas merupakan ringkasan dari beberapa penelitian yang menguji pengaruh variabel mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accruals. Dari hasil tersebut masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hal ini mendorong peneliti untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dengan proksi yang berbeda yaitu manipulasi aktivitas riil.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Setiawan (2007). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Nasution dan Setiawan (2007) adalah seperti berikut.

1. Sampel penelitian Nasution dan Setiawan (2007) menggunakan sampel perusahaan perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek Jakarta. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaan manufaktur. Alasan dipilihnya perusahaan manufaktur sebagai sampel penelitian adalah karena perusahaan manufaktur dianggap dapat mewakili kondisi industri di Indonesia dan memiliki jumlah populasi paling besar dibandingkan jenis perusahaan lain.

2. Periode penelitian Nasution dan Setiawan (2007) menggunakan periode penelitian 2000- 2004, sedangkan penelitian ini menggunakan periode penelitian 2006- 2008. Dengan menggunakan periode penelitian tersebut diharapkan hasil penelitian lebih mencerminkan keadaan terkini.

3. Variabel penelitian Nasution dan Setiawan (2007) menggunakan variabel independen berupa komposisi dewan komisaris independen, ukuran dewan komisaris, dan keberadaan komite audit. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan variabel independen mekanisme corporate governance meliputi: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen, dan kesesuaian komite audit.

4. Model pengukuran manajemen laba yang digunakan Nasution dan Setiawan (2007) menggunakan akrual kelolaan, diperoleh dengan mengurangkan nilai Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) dengan nilai akrual non kelolaan. Penelitian ini menggunakan konsep alternatif akrual yang diperkenalkan oleh Roychowdury (2006) yaitu real activities manipulation. Dalam mendeteksi tindakan real activities manipulation yang dilakukan perusahaan, Roychowdhury menggunakan model Dechow et al. (1998) dengan tiga metode: management of sales , overproduction dan reduction of discretionary.

Atas dasar uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “PENGARUH MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP MANAJEMEN LABA MELALUI REAL ACTIVITIES MANIPULATION (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2006-2008)”.

B. Perumusan Masalah

Penelitian terdahulu yang menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accruals , masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hal ini mendorong peneliti untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dengan proksi yang berbeda yaitu real activities manipulation , sehingga masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah “Apakah mekanisme corporate governance dalam hal ini kepemilikan Penelitian terdahulu yang menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accruals , masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hal ini mendorong peneliti untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dengan proksi yang berbeda yaitu real activities manipulation , sehingga masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah “Apakah mekanisme corporate governance dalam hal ini kepemilikan

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil. Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kepemilikan manajerial terhadap manipulasi aktivitas riil.

2. Memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kepemilikan institusional terhadap manipulasi aktivitas riil.

3. Memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh komposisi komisaris independen terhadap manipulasi aktivitas riil.

4. Memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh kesesuaian komite audit terhadap manipulasi aktivitas riil.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dan pembuat kebijakan lainnya (Bapepam, Bursa Efek, dan IAI) di dalam menambah pemahaman dan merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan penerapan 1. Bagi pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dan pembuat kebijakan lainnya (Bapepam, Bursa Efek, dan IAI) di dalam menambah pemahaman dan merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan penerapan

2. Bagi investor Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi pada perusahaan manufaktur yang listing di Bursa Efek Indonesia.

3. Bagi perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi yang relevan dalam pengambilan keputusan oleh manajemen perusahaan dan dapat memberi masukan bagi pihak manajemen agar optimal dalam mencapai tujuan perusahaan.

4. Bagi peneliti berikutnya Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi penelitian berikutnya yang berkaitan dengan mekanisme corporate governance terhadap tindakan manajemen laba melalui manipulasi aktivitas riil.

BAB II TELAAH PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

A. Teori Keagenan (Agency Theory)

Dasar teori ini adalah hubungan antara prinsipal dan agen. Menurut Jensen and Meckling (1976), hubungan keagenan muncul ketika satu orang atau lebih (prinsipal) mempekerjakan orang lain (agen) yang bertindak atas nama dan untuk kepentingan prinsipal, sehingga atas tindakannya tersebut agen mendapatkan imbalan tertentu. Pada agency theory yang disebut prinsipal adalah pemegang saham dan yang dimaksud agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan.

Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa agency theory menggunakan tiga asumsi sifat manusia, yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality ), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu terobsesi dengan kepentingannya sendiri, sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen. Konflik kepentingan semakin meningkat terutama karena prinsipal tidak dapat memonitor aktivitas agen setiap saat dan tidak dapat memastikan bahwa agen bekerja sesuai keinginan pemegang saham.

Konflik agensi (agency conflict) yang mungkin terjadi karena perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menyebabkan Konflik agensi (agency conflict) yang mungkin terjadi karena perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen dapat menyebabkan

1. Biaya pengawasan (monitoring cost): Biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi agen sehingga dapat membatasi aktivitas yang menyimpang dari agen yang disebabkan perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal.

2. Biaya yang mengikat (bonding cost): Sumber daya perusahaan yang dibelanjakan agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut.

3. Biaya residu (residual cost): Nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami prinsipal jika terjadi divergensi antara keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen.

Penjelasan konsep manajemen laba menurut teori keagenan adalah bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agen) dan pemilik (prinsipal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Penelitian yang dilakukan oleh Watts and Zimmerman (1986) dalam Widyaningdyah (2001) secara empiris membuktikan bahwa hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi. Hal ini memacu manajemen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat Penjelasan konsep manajemen laba menurut teori keagenan adalah bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agen) dan pemilik (prinsipal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Penelitian yang dilakukan oleh Watts and Zimmerman (1986) dalam Widyaningdyah (2001) secara empiris membuktikan bahwa hubungan prinsipal dan agen sering ditentukan oleh angka akuntansi. Hal ini memacu manajemen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi tersebut dapat

Corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan, diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah mereka investasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri atau menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997 dalam Ujiyantho dan Pramuka 2007). Dengan kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurunkan biaya keagenan (agency cost).

B. Corporate Governance

Corporate governance didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan (FCGI, 2003).

Lebih jauh Shleifer dan Vishny (1997) dalam Boediono (2005) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme Lebih jauh Shleifer dan Vishny (1997) dalam Boediono (2005) mengemukakan bahwa corporate governance merupakan suatu mekanisme

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance (GCG) merupakan:

1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya.

2. Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.

3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Dari pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis yaitu sebagai berikut.

1. Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan di antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut (keseimbangan internal)

2. Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara 2. Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan antara

3. Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi yang tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai perusahaan. Kemudian

hak berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam pertumbuhannya.

4. Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa menguntungkan orang dalam (insider information for insider trading).

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), mengungkapkan empat unsur penting dalam corporate governance, yaitu sebagai berikut.

1. Kewajaran (Fairness) Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, 1. Kewajaran (Fairness) Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku. Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal,

kecurangan. Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent (hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair (jujur dan adil).

2. Transparansi (Transparency) Transparansi bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya 2. Transparansi (Transparency) Transparansi bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan, diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan. Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu, jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya

3. Akuntabilitas (Accountability) Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Kewajiban untuk memiliki Komisaris Independen dan Komite Audit sebagaimana yang ditetapkan oleh Bursa Efek Jakarta, merupakan salah satu implementasi prinsip ini. Tepatnya, berupaya memberdayakan fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Beberapa bentuk implementasi lain dari prinsip accountability antara lain sebagai berikut.

1) Praktik audit internal yang efektif.

2) Kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan Statement of Corporate Intent (Target Pencapaian Perusahaan di masa depan).

Bila prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi. Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency problem (benturan kepentingan peran).

4. Pertanggungjawaban (Responsibility) Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta 4. Pertanggungjawaban (Responsibility) Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta

Penerapan corporate governance memberikan empat manfaat yaitu sebagai berikut (FCGI, 2001).

1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan pelayanan kepada shareholders.

2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value .

3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders’s values dan dividen.

Konsep indikator mekanisme corporate governance dalam penelitian ini terdiri dari: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komposisi komisaris independen dan kesesuaian komite audit.

1. Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer yang menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham, sehingga kinerja perusahaan semakin bagus (Jensen dan Meckling, 1976).

Tekanan dari pasar modal menyebabkan perusahaan dengan kepemilikan manajerial yang rendah akan memilih metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan, yang sebenarnya tidak mencerminkan keadaan ekonomi dari perusahaan yang bersangkutan (Boediono, 2005).

Jensen dan Meckling (1976) menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer (pihak agen) dan pemegang saham (pihak principal). Semakin besar kepemilikan Jensen dan Meckling (1976) menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer (pihak agen) dan pemegang saham (pihak principal). Semakin besar kepemilikan

Penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003), Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan adanya hubungan negatif antara kepemilikan manajerial dengan manajemen laba (yang diproksikan dengan discretionary accrual ). Hasil ini menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial mampu menjadi mekanisme corporate governance yang dapat mengurangi masalah ketidakselarasan kepentingan antara manajemen dengan pemilik atau pemegang saham.

Hasil tersebut berlawanan dengan penelitian Boediono (2005) yang menunjukkan pola hubungan kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba adalah positif. Artinya semakin tinggi tingkat kepemilikan saham oleh pihak manajemen, semakin tinggi besaran manajemen laba pada perusahaan.

2. Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional berarti kepemilikan saham oleh pihak institusi lain yaitu kepemilikan oleh perusahaan atau lembaga lain. Kepemilikan saham oleh pihak-pihak yang berbentuk institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan intitusi lain.

Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict . Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan institusional merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengurangi agency conflict . Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional

Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga mengurangi tindakan manajer melakukan manajemen laba. Melalui kepemilikan institusional, keefektifan pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005).

Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Penelitian Midiastuty dan Machfoedz (2003) menemukan bahwa kepemilikan institusional berhubungan negatif dengan manajemen laba (yang diproksikan dengan discretionary accruals), yang berarti kepemilikan institusional mampu mengurangi tindak manajemen laba yang terjadi dalam perusahaan.

3. Komposisi Komisaris Independen

Istilah komisaris independen diperkenalkan baru pada tahun 2000 melalui peraturan Bursa Efek Indonesia, Kep-315/BEJ/06-2000, yang kemudian direvisi terakhir tahun 2001 melalui Kep-339/BEJ/07-2001, yang mensyaratkan bagi perusahaan publik yang listing di BEJ untuk menunjuk komisaris independen demi tercapainya pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance). Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Untuk mendukung independensi yang disyaratkan oleh regulator, keputusan tersebut menyatakan bahwa yang menjadi komisaris independen perusahaan tercatat harus:

a. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan tercatat yang bersangkutan,

b. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan kreditur dan atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan,

c. tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan dan

d. memahami peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Boediono (2005) serta Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan hubungan yang positif antara komposisi dewan komisaris dengan manajemen laba, sedangkan Nasution dan Pramuka (2007) menemukan d. memahami peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Boediono (2005) serta Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan hubungan yang positif antara komposisi dewan komisaris dengan manajemen laba, sedangkan Nasution dan Pramuka (2007) menemukan

4. Kesesuaian Komite Audit

Sesuai dengan Kep-29/PM/2004, komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan tugas pengawasan pengelolaan perusahaan. Kesesuaian komite audit sangat penting bagi pengelolaan perusahaan. Komite audit merupakan komponen baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak manajemen dalam menangani masalah pengendalian.

Dalam rangka penyelenggaran pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), Bursa Efek Indonesia mewajibkan perusahaan yang tercatat memiliki komite audit, melalui Surat Edaran Bursa Efek Indonesia No: SE-008/BEI/12/2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen. Pihak eksternal yang menurut surat edaran tersebut adalah pihak dari luar perusahaan tercatat yang bukan komisaris, direksi, dan karyawan perusahaan tercatat, sedangkan yang Dalam rangka penyelenggaran pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), Bursa Efek Indonesia mewajibkan perusahaan yang tercatat memiliki komite audit, melalui Surat Edaran Bursa Efek Indonesia No: SE-008/BEI/12/2001, keanggotaan komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang termasuk ketua komite audit. Anggota komite ini berasal dari komisaris hanya sebanyak satu orang, anggota komite yang berasal dari komisaris tersebut merupakan komisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite audit. Anggota lain yang bukan merupakan komisaris independen harus berasal dari pihak eksternal yang independen. Pihak eksternal yang menurut surat edaran tersebut adalah pihak dari luar perusahaan tercatat yang bukan komisaris, direksi, dan karyawan perusahaan tercatat, sedangkan yang

Dalam Kep-29/PM/2004 yang diatur bahwa komite audit beranggotakan minimal tiga orang yang independen dari perusahaan dan salah satunya adalah ahli di bidang akuntansi. Salah seorang anggota komite audit harus berasal dari anggota komisaris yang independen, sehingga anggota dewan tersebut merangkap tugasnya sebagai komite audit. Independensi yang dimiliki oleh anggota dewan komisaris tersebut dan anggota komite audit telah diatur pula dalam peraturan BAPEPAM tersebut, syarat keanggotaan komite audit dapat dilihat dari:

a. bukan merupakan orang dalam Kantor Akuntan Publik, kantor konsultan hukum atau pihak lain yang memberikan jasa audit, jasa non audit, dan atau jasa konsultan lain kepada emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam waktu dan bulan terakhir sebelum diangkat oleh komisaris.

b. bukan orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan kegiatan emiten atau perusahaan publik dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diangkat oleh komisaris, kecuali komisaris independen.

c. tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten. Dalam hal anggota komite audit memperoleh saham akibat suatu peristiwa hukum maka dalam jangka waktu paling lama enam bulan setelah diperolehnya saham tersebut wajib mengalihkan pada pihak lain.

d. tidak mempunyai:

1) hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua baik secara horizontal maupun vertikal dengan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama emiten dan atau;

2) hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkenaan dengan kegiatan usaha emiten.

C. Manajemen Laba

Scott (2000) mendefinisi manajemen laba sebagai tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan. Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa manajemen laba yang dilakukan perusahaan dapat bersifat efisien (dengan meningkatkan keinformatifan laba dalam mengkomunikasikan informasi privat untuk menguntungkan semua pihak yang terlibat) dan dapat bersifat oportunis (manajemen akan melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadi). Apabila manajemen laba bersifat oportunis, maka informasi laba tersebut dapat menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang salah bagi investor. Oleh Scott (2000) mendefinisi manajemen laba sebagai tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan dan atau nilai pasar perusahaan. Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa manajemen laba yang dilakukan perusahaan dapat bersifat efisien (dengan meningkatkan keinformatifan laba dalam mengkomunikasikan informasi privat untuk menguntungkan semua pihak yang terlibat) dan dapat bersifat oportunis (manajemen akan melaporkan laba secara oportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadi). Apabila manajemen laba bersifat oportunis, maka informasi laba tersebut dapat menyebabkan pengambilan keputusan investasi yang salah bagi investor. Oleh

Menurut Setiawati dan Na’im (2000), manajemen laba adalah campur tangan manajemen dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan pihak tertentu. Manajemen laba akan menambah bias laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa.

Teknik untuk merekayasa laba dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berikut ini (Setiawati dan Na’im, 2000).

1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi akuntansi, dalam hal ini manajemen mempengaruhi laba melalui pertimbangan (judgment) terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi, dan lain-lain.

2. Mengubah metode akuntansi, dalam hal ini perubahan metode akuntansi digunakan untuk mencatat suatu transaksi, misalnya mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode depresiasi angka tahun ke metode depresiasi garis lurus.

3. Menggeser periode biaya atau pendapatan atau manipulasi keputusan operasional. Sebagai contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat 3. Menggeser periode biaya atau pendapatan atau manipulasi keputusan operasional. Sebagai contoh rekayasa periode biaya atau pendapatan antara lain: mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya, mempercepat

Menurut Scott (2000) terdapat empat jenis manajemen laba yaitu sebagai berikut.

1. Pola taking a bath, dilakukan saat reorganisasi termasuk pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa datang. Pola ini dilakukan dengan cara mengakui biaya-biaya dan kerugian periode yang akan datang ke periode berjalan dan sebaliknya, menunda pendapatan periode berjalan ke periode berikutnya, sehingga mengorbankan laba periode berjalan hingga menjadi buruk atau mengalami kerugian yang drastis agar pada periode berikutnya perusahaan dapat meroketkan peningkatan labanya.

2. Pola income minimization, dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa pembebanan beban secara cepat atau menunda pengakuan pendapatan. Cara ini mirip dengan pola taking a bath, tetapi tidak lebih ekstrim dari pola taking a bath.

3. Pola income maximization, dilakukan saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian hutang.

4. Pola income smoothing, merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer. Pola ini dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan, sehingga mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.

D. Real Activities Manipulation