PENGETAHUAN ILMU ILMU PENGETAHUAN DAN FI

PENGETAHUAN, ILMU, ILMU PENGETAHUAN, DAN
FILSAFAT ILMU

[Bahan Kuliah Filsafat Ilmu]

Harry Firman
FPMIPA UPI

1. Apakah Pengetahuan Itu?
Manusia bersifat ingin tahu. Melalui pengamatan terhadap lingkungan dan pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan, manusia mengkonstruksi pengetahuan (knowledge) dalam
benaknya, untuk memuaskan keingintahuannya. Dengan pengetahuan itu selanjutnya manusia
dapat membuat keputusan-keputusan yang menguntungkan. Sebagai contoh, manusia
menggunakan bahan aluminium untuk rangka jendela, karena tahu bahwa aluminium relatif
ringan dan sukar berkarat.
Orang yang tahu disebut mempunyai pengetahuan. Jadi pengetahuan sesungguhnya
adalah hasil tahu, serta pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui. Nasution (1988)
menyatakan bahwa pengetahuan sebagai hasil naluri ingin tahu. Keingintahuan manusia tidak
terpuaskan ketika manusia sekedar memperoleh pengetahuan, melainkan lebih jauh ingin
memiliki pengetahuan yang benar. Hal ini menyebabkan lahirnya pemikiran tentang kriteria
kebenaran pengetahuan dan bagaimana mencapai kebenaran yang hakiki.

Terdapat dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan khusus dan pengetahuan umum
(Poedjawijatna, 1991). Pengetahuan khusus ialah berkenaan dengan satu fakta, misalnya
logam tembaga menghantarkan panas, yang berlaku hanya untuk tembaga. Sementara itu
terdapat pengetahuan yang berlaku umum sebagai kesimpulan dari sejumlah faka, misalnya
logam menghantar panas, yang berlaku untuk semua logam tidak mempersoalkan jenis logam
apa.
Baik pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus, keduanya menjadi milik
manusia berlandaskan pengalaman, entah pengalaman dirinya atau pengalaman orang lain
(Poedjawijatna, 1991). Ajaran empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari
pengalaman empiris manusia (Latif, 2014). Namun demikian, pembentukan pengetahuan
dalam diri seseorang pun memerlukan penarikan kesimpulan dengan penalaran yang dipandu
oleh logika. Dalam konteks ini, Rene Descartes menyatakan bahwa pengetahuan yang sejati
tentang alam semesta ini hanya dapat diperoleh lewat penalaran yang dituntun oleh logika
(Latif, 2014)

harry firman/sps-upi/pendidikan ipa/filsafat ilmu/2016

1

Keterbatasan daya pengamanatan empiris manusia bisa menimbulkan kesalahan

manusia dalam mengkonstruksi pengetahuan yang didapatnya. Selain itu kesalahpahaman
seringkali terjadi juga ketika pengetahuan dikomunikasikan oleh seseorang kepada orang
lain. Pengetahuan seperti itu diterima individu atas dasar kewibawaan penyampainya, dan
adakalanya bukan merupakan kebenaran. Sebelum memperoleh verifikasi secara ilmiah,
pengetahuan baru mencapai tingkat “kepercayaan (belief)” yang belum pasti kebenarannya
(Soetriono & Hanafie, 2007).
Pengetahuan yang benar harus memenuhi kriteria kebenaran ilmiah. Suriasumantri
(2010) memaparkan teori kebenaran ilmiah, yang melandaskan kebenaran pada tiga kriteria,
yakni korespondensi, koherensi, dan pragmatisme. Menurut teori korespondensi (dipelopori
Bertrand Russell) suatu pernyataan adalah benar jika berkorenspondensi (bersesuaian)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu (faktual). Pengetahuan yang benar ditunjang
oleh fakta-fakta empiris. Menurut teori koherensi (dipelopori Plato dan Socrates), suatu
pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataanpernyataan sebelumnya yang dipandang sebagai kebenaran. Menurut teori pragmatisme
(dipelopori Wiliam James dan John Dewey), kebenaran suatu pernyataan ditinjau dari kriteria
apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan
dapat dipandang benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.

2. Apakah Ilmu Itu?
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang

suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat
digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ilmu ialah susunan berbagai pengetahuan secara berstruktur untuk satu bidang
tertentu. Ilmu (science) mengorganisasikan pengetahuan-pengetahuan ilmiah (konsep,
prinsip, hukum, prosedur, dan teori) ke dalam struktur yang logis dan sistematis.
Dipercayai bahwa kelahiran pengetahuan ilmiah bersamaan dengan kelahiran filsafat,
manakala pengetahuan diformulasi berdasarkan temuan empiris dan pemikiran logis dan
rasional serta terbebas dari mitos-mitos. Pada awal perkembangan ilmu (masih didominasi
oleh spekulasi-spekulasi), fisuf dapat juga dipandang sebagai ilmuwan, sehingga mereka
layak disebut sebagai ahli filsafat alam (natural philosophy). Sebagai contoh, Hipocrates
(460-370 BC) adalah filsuf yang juga ahli ilmu kedokteran, Aristoteles (284-322 BC) adalah
filsuf yang juga penyelidik mahluk-mahluk hidup laut, dan Democritus (470-380 BC) yang
terkenal dengan pemikiran tentang atom (atomos) sebagai unit terkecil dari materi. Dalam
perkembangan selanjutnya, disiplin-disiplin ilmu menjadi semakin berdiri-sendiri yang
terpisah dari filsafat, seiring dengan semakin kuatnya penggunaan landasan empiris dan
kuantitatif serta metode ilmiah, khususnya eksperimen, dalam pengkajian-pengkajian
terhadap fenomena alam.
harry firman/sps-upi/pendidikan ipa/filsafat ilmu/2016

2


Dewasa ini terdapat perbedaan yang jelas antara ilmu dan filsafat. Ilmu bersifat
aposteriori, kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian empiris secara berulang-ulang.
Filsafat bersifat apriori, kesimpulan ditarik tanpa pengujian, sebab terbebas dari pengalaman
inderawi apapun. Ilmu bersifat empirik, sedangkan fisafat bersifat spekulatif. Kesamaan
antara ilmu dan filsafat ialah keduanya menggunakan aktivitas berpikir, walaupun cara
berpikir ilmuwan berbeda dengan cara berpikir filsuf
Semakin lama fenomena yang disadari menarik dan penting untuk dikaji semakin
beragam. Situasi ini mendorong pengkhususan kajian yang dilakukan para ilmuwan, dalam
disiplin ilmu spesifik. Setiap disiplin ilmu selanjutnya menfokuskan kajian pada wilayah
kajian spesifik dan mengembangkan asumsi, pola pikir, dan pendekatan yang spesifik pula.
Oleh karenanya cabang-cabang ilmu semakin terspesialisasi, dan semakin sukar berinteraksi
satu sama lain (Bakhtiar, 2004).
Pada dasarnya ilmu mempunyai “obyek material” dan “obyek formal”. Obyek material
merujuk pada sasaran penyelidikan. Sasaran penyelidikan dalam pelbagai disiplin ilmu dapat
saja sama, seperti misalnya manusia yang menjadi sasaran penyelidikan psikologi,
pendidikan, biologi, ilmu sosial, dll. Namun demikian, sudut pandang, pendekatan dan
metode penyelidikan disiplin ilmu-ilmu tersebut terhadap manusia berbeda-beda. Setiap
disiplin ilmu mempunyai obyek formal tertentu, yang membedakan satu sama lain dalam
melakukan kajian terhadap obyek material yang sama. Obyek formal suatu disiplin ilmu

berhubungan dengan sudut pandang, pendekatan, metode khas yang dilakukan oleh ilmuwan
dalam disiplin itu. Perbedaan obyek formal psikologi, biologi, ilmu sosial terhadap manusia,
membedakan pengetahuan-pengetahuan yang dikumpulkan dan diorganisir dalam masingmasing disiplin tersebut. Ilmu-ilmu berbeda-beda bukan terutama karena obyek material
berbeda, tetapi khususnya karena masing-masing berbeda menurut obyek formalnya (Van
Melsen, 1985).

3. Apakah Ilmu Berbeda dari Ilmu Pengetahuan?
Ungkapan “ilmu pengetahuan” lazim digunakan yang wacana sehari-hari. Ungkapan ini
digunakan juga dalam memberi nama fakultas di perguruan tinggi. Dalam konteks ini
Suriasumantri (2009) berpendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan
menerapkan metode keilmuan (metode ilmiah), sehingga ilmu dapat disebut sebagai
pengetahuan ilmiah. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa agar tidak terjadi kekacauan antara
pengertian “ilmu (science)” dan pengetahuan (knowledge) maka lebih menguntungkan
apabila kita menggunakan istilah “ilmu” daripada “ilmu pengetahuan”.
Dalam konteks peristilahan ilmu pengetahuan, Soetriono dan Hanafie (2007)
memandang ada dua jenis pengetahuan, yakni “pengetahuan biasa” dan “pengetahuan ilmiah
(ilmu)”. Pengetahuan yang digunakan awam untuk kehidupan sehari-hari tanpa mengetahui
seluk-beluk yang sedalam-dalamnya dinamakan pengetahuan biasa. Jenis pengetahuan lain,
yakni pengetahuan yang merupakan hasil telaahan yang mendalam oleh ilmuwan, yang
disebut sebagai “ilmu pengetahuan”. Jadi, pada dasarnya ilmu pengetahuan bermakna sama

harry firman/sps-upi/pendidikan ipa/filsafat ilmu/2016

3

dengan ilmu. Penggunaan istilah ilmu pengetahuan semata-mata untuk menegaskan sifat
keilmiahan ilmu tersebut, sekaligus membedakannya dengan ilmu-ilmu lainnya yang tidak
memenuhi kriteria keilmiahan pengetahuan-pengetahuan penyusunnya.
4. Apakah Filsafat Ilmu Itu?
Suriasumantri (2010) menyatakan bahwa filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat
yang hendak menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, baik ditinjau dari sudut ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Telaahan filsafat ilmu dilakukan melalui proses dialektika secara
mendalam (radikal), sistematis, dan spekulatif. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat
ilmu menyangkut obyek apa yang ditelaah ilmu (landasan ontologi), bagaimana memperoleh
pengetahuan (landasan epistemologi), dan bagaimana ilmu digunakan (landasan aksiologi).
Aspek ontologi ilmu meliputi bagaimana wujud hakiki dari obyek itu dan hubungan antara
obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (berpikir dan mengidera) yang membuahkan
pengetahuan. Aspek epistemologi ilmu mencakup sumber pengetahuan, prosedur menggali
pengetahuan secara ilmiah, kriteria kebenaran ilmiah. Aspek aksiologi ilmu bertalian dengan
kaidah moral dalam penggunaan ilmu.
Filsafat ilmu ialah salah satu cabang filsafat. Sesuai dengan kekhasan filsafat, kajian

filsafat ilmu pun bersifat mendasar, universal, konseptual, dan spekulatif. Kini filsafat ilmu
telah berkembang sebagai suatu ilmu (Latif, 2014), yang mempunyai obyek material
pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), dan obyek formal problem-problem mendasar dari
ilmu.
Problem-problem mendasar dari ilmu antara lain: Hakikat ilmu (the nature of science),
metode ilmiah (scientific method), kebenaran ilmiah (scientific truth), penalaran ilmiah
(scientific reasoning), eksplanasi ilmiah (scientific explanation), teori ilmiah (scientific
theory), revolusi pengetahuan ilmiah (scientific revolution), realisme sains (scientific
realism), keterbatasan sains (limitation of science), dan implikasi moral-etis dari aplikasi
pengetahuan ilmiah (social-moral implication of science). Aspek-aspek filsafat ilmu ini
menjadi bahan kajian (subject matter) utama dalam matakuliah filsafat ilmu.
Rujukan
Bakhtiar, A. (2004). Filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996). Jakarta: Balai Pustaka
Latif, M. (2014). Orientasi ke arah pemahaman filsafat ilmu. Jakarta: Kencana.
Nasution, A. H. (1988). Pengantar ke filsafat sains. Bogor: Litera Antar Nusa.
Poedjawijatna, I. R. (1991). Tahun dan Pengetahuan: Pengantar ke ilmu dan filsafat. Jakarta: Rineka
Cipta.
Soetriono & Hanafie, R. (2007). Filsafat ilmu dan metodologi penelitian. Yogyakarta: Andi.
Suriasumantri, J. S. (2010). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar popular. Jakarta: Sinar Harapan.

Van Melsen, A. G. M. (1985). Ilmu pengetauan dan tanggun jawab kita. Jakarta: Gramedia.

harry firman/sps-upi/pendidikan ipa/filsafat ilmu/2016

4