KARST DAN POTENSI AIRTANAH DI KABUPATEN

KARST DAN POTENSI AIRTANAH DI KABUPATEN
GUNUNGKIDUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA
1

Ratri Purnama Dewi1
Departemen Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Email: 1ratripd@gmail.com
INTISARI

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya yang sangat
penting bagi kehidupan makhluk di bumi adalah suatu bentuklahan. Bentuklahan yang amat terkenal di
Indonesia adalah bentuklahan asal proses pelarutan atau solusional yakni berupa kawasan karst,
salah satunya di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan karst
memiliki berbagi ciri khusus seperti adanya doline, uvala, polje, dll. Karst terkenal akan kelangkaan
sumberdaya air permukaan tetapi kaya akan airtanah. Hal ini berkaitan dengan sistem hidrologi karst
berupa pola aliran diffuse dan conduit yakni melalui rekahan-rekahan batuan maupun lubang-lubang
hasil pelarutan sehingga semua air yang ada pdi permukaan masuk ke dalam sistem bawah tanah. Hal
ini menunjukkan bahwa sebenarnya kawasan karst bukan kawasan yang tidak memiliki sumberdaya
air sama sekali, hanya saja memang terbatas pada ketersediaan di permukaan.
Kata Kunci : Gunungkidul, Karst, Airtanah


I. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk pulau-pulau. Negeri ini sejak dahulu
kala sudah menjadi incaran bangsa lain karena keunikan wilayah dan sumberdaya alamnya.
Berbagai tanaman tumbuh disini dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jamrud khatulistiwa
atau permata khatulistiwa ini merupakan salah satu penyumbang terbesar hutan dunia
Selain sumberdaya alam berupa tanaman, Indonesia juga kaya akan bahan tambang,
perairan, dan lahan-lahan pertanian. Semua sumberdaya ini dapat terbentuk karena adanya
suatu wadah yang menjadi tempat tumbuh kembangnya sumberdaya tersebut. Tanpa suatu
wadah, maka segala jenis makhluk hidup tidak dapat tumbuh kembang serta tidak
terciptanya sebuah lingkungan hidup. Wadah tersebut merupakan suatu bentuklahan atau
landform, sebagai contoh adalah bentukan dataran, plato, pegunungan, hingga bagianbagian yang kecil dan detail seperti gisik dan sungai (Harvey, 2012).
Salah satu bentuklahan yang cukup terkenal di Indonesia adalah bentuklahan karst yang
merupakan bentuklahan asal proses solusional atau pelarutan. Ilmu yang mempelajari
tentang macam-macam bentuklahan adalah ilmu geomorfologi. Thornburry (1958)
mengatakan bahwa geomorfologi adalah studi tentang bentuk kenampakan bumi atau
dengan kata lain mempelajari suatu bentuklahan. Terdapat 8 macam bentuklahan yakni
berupa struktural, vulkanik, denudasional, fluvial, marine, aeolin, glasial, dan solusional.
Semuanya memiliki peran masing-masing dalam menyediakan sumberdaya alam.


[1]

Pemerintah melalui kementerian lingkungan hidup telah menetapkan sebuah ekoregion
dalam rangka mengatur pengelolaan dan menemukan potensi sumberdaya alam di masingmasing wilayah di Indonesia yakni melalui delineasi berdasarkan bentuklahan masingmasing wilayah (region). “Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri
iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup” (UU Nomor 32 Tahun 2009).
Bentuklahan karst tersebar di hampir seluruh pulau besar di Indonesia, seperti Pulau
Sulawesi (tepatnya di Sulawesi Selatan), Kalimantan, Jawa, dan sebagainya. Kabupaten
Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang
didominasi oleh bentuklahan karst sebagai bagian dari kompleks Perbukitan Karst
Gunungsewu. Bentuklahan ini sangat unik dan perlu diketahui oleh seluruh masyarakat
Indonesia karena memiliki berbagai potensi maupun permasalahan. Salah satu
permasalahan utama yang terjadi pada bentuklahan karst ini adalah ketersediaan
sumberdaya air. Sumberdaya air permukaan di kawasan karst amatlah sulit, tetapi
sebenarnya potensi airtanah atau air bawah permukaannya sangat besar. Oleh karenanya,
karst dan airtanah merupakan dua terminologi yang sangat berkaitan dan menyangkut hajat
hidup orang banyak, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut.

II. ISI
A. Karst dan Airtanah

Karst berasal dari bahasa Slovenia yang berarti suatu kawasan berbatuan gamping dan
memiliki tutupan lahan berupa rerumputan (Adji, dkk., 1999). Ada pula yang menyebutkan
bahwa karst merupakan suatu kawasan dimana tidak terdapat tutupan vegetasi yang banyak
sehingga kawasan menjadi gersang. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
No: 1456 K/20/MEM/2000 Tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst menyebutkan
dalam Bab III yakni berkaitan dengan nilai kawasan karst, bahwa kawasan karst memiliki
beberapa nilai yang sifatnya strategis, berupa (1) Nilai ekonomi, berkaitan dengan usaha
pertanian, kehutanan, pertambangan, pengelolaan air dan pariwisata; (2) Nilai ilmiah,
berkaitan dengan ilmu-ilmu kebumian, speleologi, biologi, arkeologi dan paleontologi; dan (3)
Nilai kemanusian, berkaitan dengan keindahan, rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual
dan agama atau kepercayaan. Berkaitan dengan salah satu fungsi kawasan karst sebagai
nilai ekonomi yakni dalam hal pengelolaan air dan pariwisata, dalam kajian ini dibahas
mengenai air dan karst. Sudah menjadi perbincangan umum yang membahas mengenai
kekeringan di daerah karst atau daerah kapur, sehingga kajian yang lebih spesifik mengenai
alasan mengapa daerah karst dapat mengalami kekeringan adalah suatu hal yang harus
diketahui oleh semua elemen negara sehingga nantinya tidak timbul permasalahanpermasalahan yang bertentangan dengan akademik dan juga praktis di dunia kebijakan.
Gunungkidul adalah sebuah kabupaten yang terletak di bagian timur Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Gunungkidul
juga terletak di Kompleks Perbukitan Karst Gunungsewu yang merupakan perbukitan karst


[2]

terpanjang di Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan Gunungkidul amat terkenal dengan
batuan kapurnya. Selain itu, wilayah ini juga dikenal sebagai wilayah sulit air. Namun, seiring
dengan kemajuan zaman dan teknologi, Gunungkidul saat ini justru sudah menggunakan
suatu cara tertentu untuk mendapatkan air karena sebenarnya potensi air berupa air bawah
permukaan amatlah banyak. Air bawah permukaan inilah yang dinamakan airtanah.
Airtanah atau groundwater merupakan air yang ada di bawah permukaan tanah. Purnama
(2010) menjelaskan bahwa airtanah adalah air yang terletak di zona jenuh air yang ada di
bawah permukaan tanah dan tekanan hidrostatis lebih besar dibandingkan tekanan
udaranya. Air di bumi terdiri dari air permukaan, air kedalaman, es dan gletser, atmosfer,
serta air laut (Ross, 1970 dalam Susana, 2003). Adapun Airtanah menurut Purnama (2010)
merupakan air tawar atau freshwater (selain es di kutub) yang jumlahnya paling banyak
yakni 96% dan sangat berpotensi untuk cadangan air dunia. Tanpa air, manusia, hewan, dan
tumbuhan tidak akan bisa hidup. Oleh karena itu, keberadaan airtanah sangatlah penting
sehingga untuk wilayah karst, perlu dilakukan pendugaan potensi airtanah yang dapat
dimanfaatkan.
Airtanah berada pada suatu formasi batuan tertentu, disebut akuifer. Akuifer sendiri
merupakan fomasi yang memiliki lapisan permeabel sehingga mampu menampung air dan
meloloskannya (Todd dan Mays, 2005). Terdapat beberapa jenis lapisan seperti akuiklud,

akuifug, dan akuitard. Akuiklud adalah lapisan yang dapat menyimpan air tetapi hanya
mengalirkan dalam jumlah sedikit, contoh materialnya adalah lempung. Akuifug adalah
lapisan yang tidak dapat menyimpan serta meloloskan air, contohnya adalah batuan granit
(Todd dan Mays, 2005). Adapun akuitard hampir sama seperti akuiklud, mampu meloloskan
air dalam jumlah yang sedikit. Bentuklahan karst yang memiliki batuan dasar gamping
merupakan material pembentuk akuifer yang cukup baik karena adanya rekahan-rekahan
pada batuan menyebabkan air dapat disimpan di gua-gua atau sungai bawah tanah
(Purnama, 2010).
B. Proses Pembentukan Karst
Karst terbentuk melalui proses pelarutan oleh air hujan pada batuan yang mudah terlarut.
Batuan mudah terlarut yang dimaksud adalah batuan karbonat yang biasanya terbentuk oleh
adanya pertumbuhan karang di atas gunungapi bawah laut (seamount) kemudian terangkat
dan menjadi terumbu karang serta mengalami lithifikasi menjadi batuan. Proses pelarutan
tidak selalu membentuk bentuklahan karst karena terdapat beberapa syarat. Syarat
pembentukan karst atau karstifikasi menurut Susanto (2016) adalah adanya zat pelarut atau
air hujan sehingga curah hujan harus tinggi setiap tahunnya; adanya batuan mudah terlarut
yang tebal, kompak, dan banyak rekahan; adanya tumbuhan sebagai penyuplai
karbondioksida; serta terakhir adalah suhu. Syarat-syarat ini harus dipenuhi agar
membentuk karst. Adapun apabila kondisi curah hujannya sedikit maka bentukan-bentukan
yang ada di karst akan sedikit berbeda seperti kasus di Sulawesi Selatan (Maros) berupa


[3]

“menara karst”. Adji, dkk (2009) menjelaskan bahwa bentukan yang ada di karst Maros
berupa Mogote atau Menara Karst dengan ketinggian 300-550 meter dan luas wilayahnya
mencapai 650 kilometer persegi. Berbeda dengan Maros, Provinsi Gunungkidul yang
letaknya di selatan khatulistiwa dan dekat dengan Samudra Hindia memiliki curah hujan
yang banyak sehingga morfologi yang terbentuk berupa kerucut karst atau kegle karst.
Syarat pembentukan karst yang telah dipenuhi kemudian akan dilanjutkan dengan proses
pelarutan, dimulai dari adanya air yang sedikit demi sedikit melarutkan batuan sehingga
terbentuklah ponor-ponor kecil yang kemudian semakin bertambah lebar seiring adanya
pelarutan intensif menjadi doline. Doline ini merupakan bentukan negatif atau berupa
cekungan pada bentuklahan karst. Goudie (2004) menjelaskan bahwa doline berasal dari
bahasa Slovenia “dolina” yang artinya suatu depresi pada suatu bentanglahan. Ia juga
menjelaskan bahwa dolina dapat terbentuk melalui beberapa proses yakni doline pelarutan;
doline runtuhan; doline ponor; dan doline amblesan. Doline pelarutan terbentuk pada saat
terjadinya pelarutan batuan karbonat oleh air, sedangkan doline runtuhan terbentuk akibat
adanya runtuhan dinding gua. Adapun doline ponor yakni doline yang terbentuk karena
tanah yang menutupi lubang ponor runtuh ke bawah, sedangkan doline amblesan terjadi
karena adanya amblesan tanah secara tiba-tiba. Apabila doline terisi air maka akan

membentuk danau dan biasanya saat musim penghujan akan dimanfaatkan para warga
Gunungkidul untuk mengambil air karena fungsinya hampir sama seperti telaga. Selanjutnya,
proses pelarutan yang kontinyu akan membentuk doline-doline yang semakin lebar dan
dalam yang disebut dengan uvala. Uvala ini apabila bertambah lebar akan membentuk polje
atau suatu lembah yang sangat luas dibatasi oleh dua igir dan material dasarnya berupa
endapan aluvial.
Bentuk cekungan atau depresi seperti yang disebutkan di atas menandakan bahwa
wilayah karst sangat rentan akan amblesan. Terdapat suatu bentukan yang bernama luweng,
hampir sama dengan ponor tetapi lebih lebar. Ponor sendiri apabila sangat dalam dapat
membentuk gua dalam tanah. Gua-gua inilah yang merupakan tempat mengalirnya sungai
bawah tanah. Aliran bawah tanah merupakan salah satu alasan mengapa wilayah karst
sangat sulit air karena air hujan yang jatuh akan melarukan batuan dan selain itu air juga
akan masuk ke bawah tanah melalui ponor-ponor. Kasus di Gunungkidul, sungai bawah
tanah dapat dilihat di Gua Seropan dan juga Kalisuci yang saat ini justru menjadi tempat
wisata.
C. Sistem Hidrologi Karst
Provinsi Gunungkidul yang merupakan wilayah sulit air sebenarnya memiliki cadangan
airtanah yang cukup besar. Hal ini dikarenakan pada dasarnya semua wilayah di Jawa ini
memiliki curah hujan yang relatif tinggi. Kemampuan akuiferlah yang kemudian mampu
menyimpan dan meloloskan air. Kondisi batuan di Gunungkidul yang amat porus

menyebabkan air tidak pernah bisa tertampung di permukaan. Air akan selalu mengalir ke
bawah tanah dan mencari celah atau ruang untuk terus mengalir yang pada akhirnya
bermuara di laut.

[4]

Sistem hidrologi yang ada di kawasan karst sangatlah unik dan berbeda dengan sistem
hidrologi pada bentuklahan lainnya. Karst memiliki dominasi aliran berpola diffuse atau aliran
permukaan yang bergerak menuju rekahan-rekahan batuan dan ada pula yang alirannya
sudah conduit atau air langsung masuk ke dalam ponor-ponor (Nuraini, 2012).
Perkembangan pola aliran ini bergantung pada tingkat perkembangan kawasan karst.
Semakin berumur dewasa, maka pola aliran semakin berarah kepada pola conduit karena
rekahan-rekahan yang semakin besar dan lama kelamaan akan membentuk ponor.
Pendugaan adanya aliran air di bawah permukaan tanah ini dapat dilakukan dengan
melakukan tracer atau perunutan aliran sungai bawah tanah. Dalam studi airtanah, aliran
airtanah dibagi menjadi dua yakni aliran isotropis dan aliran anisotropis. Aliran isotropis
adalah aliran yang kecepatannya sama ke segala arah sedangkan aliran anisotropis memiliki
kecepatan aliran yang tidak sama ke segala arah. Contoh dari aliran anisotropis adalah
aliran airtanah pada bentuklahan karst ini. Anisotropis memungkingkan air mengalir ketika
menemukan luang-lubang atau ruang-ruang bawah tanah sehingga perlu dilakukan tracer

agar dapat mengetahui ke arah mana air mengalir dan dimana saja lokasi keberadaan air
yang memungkinkan untuk dimanfaatkan.
Goldscheider, et al (2008) menjelaskan bahwa teknik perunutan atau tracer dapat
dilakukan dengan beberapa metode yakni konservatif, non konservatif, larutan, dan partikel.
Teknik konservatif adalah teknik perunutan pada airtanah stabil dan menunjukkan tidak
adanya interaksi dengan material akuifer. Adapun teknik menggunakan larutan merupakan
perunutan dengan suatu bahan yang larut dalam air contohnya uranin. Namun, kelemahan
menggunakan uranin adalah ketika pada kondisi lingkungan yang asam dan banyak
kandungan organik, tidak dapat terdeteksi. Oleh karena itu, ada beberapa bahan lain yakni
rhodamin, tinopal CBS-X, dan lain sebagainya. Awalnya, tracer yang sering dilakukan
menggunakan bahan rodhamin, tetapi karena zat tersebut berbahaya maka saat ini
penggunaan bahan untuk tracer yang sering dilakukan terutama di Gunungkidul adalah
dengan uranin.
Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan potensi airtanah di beberapa daerah
di Kabupaten Gunungkidul, salah satunya adalah penelitian di Gua Pindul. Suprayogi, dkk
(2016) menjelaskan bahwa Gua Pindul memiliki daerah tangkapan air seluas 15,44 kilometer
persegi. Sistem hidrogeologinya yakni aliran diffuse di bagian hulu dan aliran conduit di
bagian hilir. Luas sistem diffuse sebesar 13,96 kilometer persegi dan luas sistem conduit
sebesar 1,75 kilometer persegi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah potensi airtanah di
akuifer atas sejumlah 24.642.000 meter kubik dan disarankan pengambilannya pada

kedalaman yang lebih dari 40 meter. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya kawasan karst
Gunungkidul memiliki cadangan airtanah yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan secara
optimal. Penelitian yang lainnya yakni dilakukan oleh Setiawan dan Asgaf (2016) berkaitan
dengan potensi airtanah di Kecamatan Wonosari berupa pengukuran nilai transmisivitas.
Hasil penelitian yang didapatkan berupa klasifikasi transmisivitas yakni (1) zona sedang
untuk domestik dan sangat jelek untuk irigasi sebesar 1-8 m 2/hari; (2) zona baik untuk
domestik dan jelek untuk keperluan irigasi sebesar 8-50 m 2/hari; (3) zona sangat baik untuk

[5]

domestik dan jelek untuk untuk irigasi sebesar 50-300 m 2/hari; (4) zona sangat baik untuk
domestik dan sedang untuk irigasi sebesar 300-1000 m 2/hari; serta (5) zona sangat baik
untuk domestik dan baik.

III. PENUTUP
Bentuklahan karst terbentuk akibat adanya proses pelarutan batuan dengan
terpenuhinya syarat-syarat seperti batuan mudah larut, tebal, dan kompak; vegetasi banyak;
jumlah air melimpah; dan adanya rekahan-rekahan serta pengaruh suhu. Gunungkidul
merupakan salah satu kabupaten dengan kawasan karst yang memiliki karakteristik hidrologi
berupa pola aliran diffuse dan conduit sehingga air tidak tertampung di permukaan

melainkan di bawah permukaan tanah sebagai airtanah. Kawasan karst sebenarnya bukan
kawasan yang sama sekali tidak memiliki air tetapi merupakan kawasan yang justru potensi
air bawah permukaannya sangat banyak.

UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini terutama kepada dosen pembimbing mata kuliah praktikum
Geohidrologi, Ahmad Cahyadi, M.Sc.; seluruh asisten praktikum, Fuad Dwi Rahmawan dan
Hanindha Pradipa, panitia praktikum lapangan Geohidrologi, dan seluruh rekan-rekan
mahasiswa Departemen Geografi Lingkungan angkatan 2016.

DAFTAR PUSTAKA
Adji, T.N., Eko H., dan Suratman W. 1999. Kawasan Karst dan Prospek Pengembangannya
di Indonesia. Seminar PIT IGI, 26-27 Oktober 1999. Jakarta: Universitas Indonesia.
Goldscheider, N., Joe M., Michiel P., dan Christopher S. 2008. Tracer Test in Karst
Hydrogeology and Speleogy. International Journal of Speology, Vol. 37. Hal: 27-40.
Goudie, A.S. 2004. Encyclopedia of Geomorphology. London dan Canada: Routledge.
Harvey, A. 2012. Introducing Geomorphology : A Guide to Landforms and Processes.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor : 1456 K/20/MEM/2000
Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars. 3 November 2000. Jakarta.
Nuraini, F. 2012. Kajian Karakteristik dan Potensi Kawasan Karst untuk Pengembangan
Ekowisata di Kecamatan Ponjong Kabupaten Ponjong Kabupaten Gunungkidul.
Laporan Pelitian. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Purnama, S. 2010. Hidrologi Air Tanah. Yogyakarta; Penerbit Kanisius.
Setiawan, T. dan Novi M.A.A. 2016. Analisis Karakteristik Akuifer dan Zonasi Kuantitas Air
Tanah di Dataran Kars Wonosari dan Sekitarnya, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi
Daerah istimewa Yogyakarta. Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol. 7. Hal:
145-154.
Suprayogi, S., Setyawan P., Romza F.A., dan Ahmad C. 2016. Potensi Airtanah Statis di
Daerah Tangkapan Air Goa Pindul Kabupaten Gunungkidul. Prosiding Seminar

[6]

Nasional Geografi Lingkungan I, 27 November 2016. Yogyakarta: Fakultas Geografi,
Universitas Gadjah Mada.
Susana, T. 2003. Air Sebagai Sumber Kehidupan. Oseana, Vol.28. Hal: 17-25.
Susanto, H. 2016. Mengenal “Karst”. Didesikasikan untuk kegiatan “Menuju Biduk-biduk
sebagai Ekowisata Geologi Karst di Kalimantan, 5-6 Okober 2016. Kalimantan.
Thornbury, W.D. 1958. Principle of Geomorphology. New York: John Wilay & Sons, inc.
Todd, D.K. dan Mays, L.W. 2005. Groundwater Hydrology. New York: John Willey & Sons
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
Jakarta.

[7]