PERBANDINGAN FUNGSI HAK UJI PERATURAN JU

PERBANDINGAN FUNGSI HAK UJI PERATURAN (JUDICIAL REVIEW)
ANTARA MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DENGAN DEWAN
KONSTITUSI PERANCIS
oleh

Muhammad Gibty Al
PENDAHULUAN
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan suatu perangkat peraturan
yang menetukan kekuasaan dan tanggung jawab dari berbagai alat kenegaraan. Konstitusi juga
menentukan batas-batas berbagai pusat kekuasaan itu dan memaparkan hubungan-hubungan di
antara mereka. Menurut sarjana hukum E.C.S. Wade dalam buku Constitutional Law, UndangUndang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan
pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut.1 K. C.
Wheare berpendapat bahwa konstitusi adalah produk resultante berdasar situasi sosial, politik,
dan ekonomi pada waktu dibuat.2 Prof. Sri Soemantri berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar
sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal. Dokumen tersebut berisi: (1) hasil
perjuangan politik bangsa di waktu lampau, (2) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak
diwujudkan baik dalam waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang, (3) suatu
keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin, (4)
tingkat-tingkat tertinggi ketatanegaraan bangsa.3
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif
yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Jika norma

hukum yang di dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam undangundang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku, sedangkan undang-undang
harus memberikan jalan untuk itu (it prevails and the ordinary law must give way). Konstitusi
merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi
merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan
perundang-undangan lainnya.4
Dalam kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teori
mengenai jenjang norma hukum (Stufentheori). Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma
hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti,
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).5
Dalam kehidupan bernegara, penting untuk menjaga konsistensi hukum atau peraturan
perundang-undangan. Suatu produk hukum, tidak boleh bertentangan dengan produk hukum
yang lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferior). Kesatuan sistem hukum yang disusun
secara hierarkis kelihatannya dipersoalkan ketika norma hukum di tingkat lebih rendah gagal
menyesuaikan (baik penciptaannya atau muatannya) dengan norma di tingkat yang lebih tinggi.
1
2


3
4

5

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 169-170.
Dikutip Oleh Mahfud MD dalam tulisan Rambu Pembatas Dan Perluasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Hukum Nomor 4 Volume 16, tanpa tahun, hlm. 451-452.
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 2.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar Tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, hlm. 8.
Dikutip oleh Maria Farida Indrati S. dalam buku Ilmu Perundang-Undangan Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Yogyakarta: PT Kanisius, 2007, hlm. 41.

1

Dengan kata lain, ketika norma di tingkat yang lebih rendah berlawanan dengan determinasi
yang mendasari urutan hierarkis norma-norma akan menjadi permasalahan. Permasalahan disini
adalah masalah “norma bertentangan dengan norma”, yaitu undang-undang yang tidak
konstitusional, peraturan tidak sah (perasturan yang bertentangan dengan undang-undang).

Apabila sebuah undang-undang baik dalam cara penciptaannya maupun dalam muatannya gagal
menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan konstitusi yang berlaku, undang-undang tersebut
dapat dianggap sah atau dianggap tidak sah oleh penguasa yang ditunjuk misalnya oleh sebuah
pengadilan konstitusional yang mempunyai kewenangan untuk menentukan sah atau tidak
sahnya suatu undang-undang.6 Untuk menjaga konsistensi peraturan perundang-undangan,
diperlukan keberadaan lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk mengawal dan
menjaga agar suatu peraturan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (konsisten).
Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk
menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya
jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan
organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional
court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan
kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung seperti di Amerika Serikat. Organ
khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang
tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.7
Pada akhir abad ke-19 di Austria, George Jellinek mengembangkan gagasan agar
kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh
John Marshal di Amerika. Pada tahun 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan
kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik

berhadapan dengan pemerintah. Hans Kelsen berpendapat bahwa perlu dibentuk suatu lembaga
yang diberi nama Verfassungsgerichtshofth atau Mahkamah Konstitusi (Constitusional Court)
yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The
Kelsenian Model”.8
Edward F. Cooke dalam bukunya Detailed Analysis of the Constitution mengatakan
bahwa: “judicial review refers to the action of a court in declaring an act of the legislature null
and void, e.i., unconstitutional”.9
Baik dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji,
yaitu: (a) hak menguji formal (formele toetsingrecht) dan (b) hak menguji material (materiele
toetsingrecht).10 Hak menguji formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk
legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana
telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak.
Sedangkan, hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende
macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.11
6
7

8


9

10

11

Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, terj. Siwi Purwandari, Bandung: Nusa Media, 2012, hlm. 115-116.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, New York: Russell & Russell,
1961, hlm. 157.
Jimly Asshiddiqie; M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Sekretarian Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 140.
Edward F. Cooke, Detailed Analysis of the Constitution, Littlefield, Adam & Co., Paterson, New Jersey, 1960,
hlm. 16.
Ph. Kleintjes, Staatsinstellingen van Nederlansch Indie, Eeerste Deel, Amsterdam JH. De Bussy, 1917, hlm. 326327, dikutip oleh Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 5.
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1982, hlm. 6-8.

2

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran

hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.12 Terkait dengan eksistensi
Mahkamah Konstitusi di banyak negara, yang mempunyai kewenangan menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, dalam tulisan ini penulis akan membandingkan fungsi uji
materil peraturan (judicial review) antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Mahkamah
Konstitusi Perancis. Alasan penulis membandingkan Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan
Mahkamah Konstitusi Perancis adalah karena kedua dewan konstitusi tersebut sama-sama
mempunyai kewenangan untuk melakukan judicial review. Dengan demikian ada persamaan
fungsi yang dapat diperbandingkan. Perbandingan ini terdiri dari perbandingan secara
komprehensif atau menyeluruh (perbandingan makro) dan perbandingan dengan skala kecil
(perbandingan mikro).
Dalam penelitian mengenai perbandingan antara Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan
Dewan Konstitusi Perancis ini, Mahkamah Konstitusi Indonesia berkedudukan sebagai primum
comparasionis. Sedangkan, Dewan Konstitusi Perancis berkedudukan sebagai secundum
comparasionis. Selanjutnya, yang berkedudukan sebagai tertium comparasionis adalah fungsi
pengujian undang-undang (judicial review).
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, yaitu:
1. Untuk memberikan deskripsi mengenai fungsi dewan konstitusi sebagai lembaga yang
berwenang untuk melakukan uji materil (judicial review) terhadap undang-undang kepada
undang-undang dasar.
2. Untuk memberikan penjelasan mengenai perbedaan dan persamaan mengenai fungsi

Mahkamah Konstitusi Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Perancis sebagai lembaga
yudikatif yang berwenang untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang kepada
undang-undang dasar.
3. Untuk memberikan pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan fungsi Mahkamah
Konstitusi Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Perancis sebagai lembaga yudikatif yang
berwenang untuk melakukan judicial review terhadap undang-undang kepada undang-undang
dasar.
4. Untuk mengevaluasi fungsi Mahkamah Konstitusi Indonesia sebagai lembaga negara yang
mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
PEMBAHASAN
A. Perbandingan Makro Antar Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Dewan
Konstitusi Perancis
1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Latarbelakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi RI
Pemikiran mengenai pentingnya suatu pengadilan konstitusi telah muncul dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia sebelum kemerdekaan. Pada saat pembahasan rancangan UUD di
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), anggota BPUPKI
Prof. Muhammad Yamin telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah Agung (MA) perlu
diberi kewenangan untuk membanding Undang-Undang. Namun ide ini ditolak oleh Prof.

Soepomo berdasarkan dua alasan, pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang

12

Mahkamah
Konstitusi
Republik
Indonesia,
Sejarah
Pembentukan
Mahkamah
Konstitusi,
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1), diakses pada 06/12/2014 pukul
08.14 WIB.

3

kemudian menjadi UUD 1945) tidak menganut paham trias politika. Kedua, pada saat itu jumlah
sarjana hukum kita belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal ini.13
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi, pendapat mengenai

pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi muncul kembali. Perubahan UUD 1945 yang terjadi
dalam era reformasi telah menyebabkan MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena
perubahan yang mendasar ini maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan
konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa
antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling
mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan agar tradisi pengujian
peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah
undang-undang melainkan juga atas undang-undang terhadap UUD 1945. Kewenangan
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 itu diberikan kepada sebuah
mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah
Konstitusi yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah keniscayaan.14
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. Sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang
disahkan pada 9 Nopember 2001.15
Pasca Amandemen UUD 1945, yaitu amandemen ke-tiga yang dilakukan pada tahun
2001, wajah lembaga yudikatif (kekuasaan kehakiman) di Indonesia banyak mengalami
perubahan. Pasca amandemen UUD 1945, kekuasaan kehakiman di Indonesia terdiri atas

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pada
umumnya keberadaan Mahkamah Konstitusi suatu negara tidak lepas dari sistem pemerintahan
otoriter.16 Di negara Indonesia, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
UUD 1945.17 Dalam UUD 1945, kekuasaan kehakiman (the judicial power) diatur dalam bab
tersendiri, yaitu Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Bab ini terdiri dari lima pasal yaitu,
Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, di samping
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal
24 Ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”.
Selanjutnya, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

13

14
15
16

17

Asshiddiqie, supranote 4, hlm. 21.
Ibid.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,supranote 12.
Dikutip oleh H. Achmad Surkati dalam tulisan Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Ditinjau dari
Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman, dan Thailand, Jurnal
Equality, No. 1 Vol. 11, Februari 2006, hlm. 43.
Lihat bagian menimbang huruf a dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

4

Dalam rangka melaksanakan amanat dalam Pasal 24C UUD 1945, pada tahun 2003
ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Selanjutnya, pada
tahun 2011 dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka
ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5226).
Wewenang, Tugas, dan Fungsi Mahkamah Konstitusi RI
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and
balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan
langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaga negara. Dalam UUD 1945,
ketentuan mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C, pasal tersebut terdiri dari
enam ayat. Dalam Pasal 24C UUD 1945, pengeturan mengenai kewenangan Mahkamah
Konstitusi terdapat pada Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2).
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
Selanjutnya, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah Konstitusi
wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
Berdasarkan kelima wewenang yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki
fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) hal itu sesuai dengan dasar
keberadaan untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi
Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusi yang bersifat
final (the final interpreter of the constitution). Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD
1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan
jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi
sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights),
pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen‟s constitutional rights),
serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).18
Dengan mencabut atau menyatakan tidak berlaku (cukup) satu dua pasal dari undangundang, Mahkamah Konstitusi de facto membongkar dan menata ulang sistem atau tatanan yang
hendak dibangun di dalam satu kesatuan peraturan perundang-undangan. Dengan kekuasaan
“legislatif” seperti itu, kekuasaan kehakiman (muncul kehadapan masyarakat secara konkrit
dalam putusan-putusan) diyakini dapat berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang. Kehendak elite
politik (pemerintah dan/atau DPR) yang muncul dalam kebijakan dan peraturan perundangundangan dapat diuji dan dipertanyakan masyarakat melalui forum hak uji (material atau
konstitusional).19
Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi RI
Perihal susunan Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 mengatur hal tersebut dalam Pasal
24C Ayat (3) dan Ayat (4). Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah
18
19

Asshiddiqie, Supranote 4, hlm. 24.
Tristam Pascal Moeliono, Putusan Pengadilan: Dalam Dialog tentang Hukum dan Keadilan, disampaikan dalam
Pidato Orasi Dies Natalis Ke-56 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung 2014.

5

Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden,
yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”.
Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi”.
Komposisi keanggotaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ditentukan oleh tiga
institusi kenegaraan, yaitu: (i) tiga orang oleh Mahkamah Agung, (ii) tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan (iii) tiga orang oleh Presiden.
Hakim konstitusi sangat berbeda dari hakim biasa yang merupakan hakim karena profesi
atau judges by profession. Sedangkan hakim konstitusi adalah hakim karena jabatan lima
tahunan.20 Selanjutnya, dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut
mengenai susunan Mahkamah Konstitusi. Ketentuan mengenai susunan Mahkamah Konstitusi
Indonesia terdapat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 4 UndangUndang Mahkamah Konstitusi ditetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan
orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Susunan
Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua
merangkap anggota, dan tujuh orang anggota hakim konstitusi.
Dalam Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi juga ditetapkan bahwa
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi
untuk masa jabatan selama dua tahun enam bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang
terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpilih, rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang paling tua usianya.21
Persyaratan untuk menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi RI tercantum dalam Pasal 15
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Sebagaian dari persyaratan tersebut adalah: (a) warga
Negara Indonesia, (2) berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum, (3) berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat
pengangkatan, dan lain-lain.22
2. Dewan Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel)
Latarbelakang Pembentukan Dewan Konstitusi Perancis
Dewan Konstitusi Perancis didirikan pada 1958 yang bertepatan dengan berlakunya
Konstitusi Republik Kelima. Semula ide pembentukan organ ini memang didesain untuk
melucuti kekuasaan Parlemen. Oleh karena itu, organ yang disebut Conseil Constitutionnel
sering pula dikatakan sebagai bentuk paling muktahir dari sistem pengujian konstitusional. 23

20

21

22

23

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, hlm. 154.
Lebih lanjut lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011. Pasal tersebut terdiri dari sebelas ayat yang
mengatur mengenai susunan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, termasuk mengenai tata cara pemilihan
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Lebih lanjut guna mengetahui persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam
undang-undang tersebut, ketentuan mengenai persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi tercantum pada Pasal
15 Undang-Undang tersebut.
Jimly Asshiddiqie; Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2012, hlm.
136.

6

Sejak dibentuk, lembaga inilah yang sering dikaitkan dengan „mahkamah konstitusi‟ Perancis,
meskipun sebutannya adalah „dewan‟ (conseil), bukan „mahkamah‟ (cour).24
Ahli hukum tata negara Perancis, Jhon Bell dalam bukunya Frnech Constitutional Law,
mengatakan bahwa:25“The creation of the Conseil Constitutionnel was originally intended as an
additional mechanism to ensure executive by keeping Parliament within constitutional role”.
Dewan Konstitusi Perancis adalah organ yang merdeka dari pengaruh kekuasaan Parlemen. Dan
putusannya bersifat final serta mengikat organ-organ lain. Dewan Konstitusi Perancis adalah
benteng terdepan dari potensi produktivitasnya sistem hukum yang tidak konstitusional.26
Wewenang, Tugas, dan Fungsi Dewan Konstitusi Perancis
Keberadaan Dewan Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel) secara yuridis diatur
dalam Konstitusi Republik Kelima Perancis 1958. Dalam konstitusi Perancis tersebut, Conseil
Constitutionnel diatur dalam Bab VII tentang Dewan Konstitusi (Title VII: The Constitutional
Council). Bab tersebut terdiri dari delapan pasal, yaitu Pasal 56 sampai dengan Pasal 63. 27 Dalam
konstitusi Perancis28, kewenangan Conseil Constitutionnel daiatur dalam Pasal 61, yang pada
intinya menetapkan bahwa, sebelum suatu undang-undang organik dinyatakan berlaku, terlebih
dahulu harus disampaikan kepada Conseil Constitutionnel.
Dewan Konstitusi Perancis mengawasi jangkauan masing-masing la loi (undang-undang)
dan le regelment (peraturan). Paradigma ini menentukan bahwa Dewan Konstitusi memiliki
tanggung jawab penuh dalam menguji tingkat keselarasan produk hukum dengan konstitusi. Hal
itu meliputi undang-undang organik (secara umum) dan peraturan tata tertib permanen National
Assembly dan Senate. Disamping itu, pengujian juga dapat diarahkan kepada perjanjian
internasional (Article 54)29 yang dibuat oleh pemerintah. Kewenangan untuk meratifikasi atau
menyetujui perjanjian internasional oleh dewan berlaku sejak perubahan Konstitusi tahun 1974.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, rancangan undang-undang organik yang dinilai dan
dinyatakan tidak konstitusional tidak dapat diberlakukan lagi. Putusan Dewan Konstitusi itu
sendiri bersifat final dan mengikat terhadap seluruh kekuasaan publik, kewenangan administratif
maupun badan peradilan umum lainnya (Lihat Pasal 62 Konstitusi Republik Kelima Perancis
1958).30
Kekuasaan serta kewenangan Conseil Constitutionnel ini tidak hanya terbatas untuk
menyatakan suatu undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Disamping kekuasaan dan
wewenang tersebut, Conseil Constitutionnel juga berwenang untuk: (a) menjamin atau
mengamankan (to ensure) pemilihan Presiden Perancis (Pasal 58), (b) menjamin dan
mengamankan pemilihan anggota-anggota National Assembly dan Senate (Pasal 59), (c)
menjamin dan mengamankan prosedur referendum (Pasal 60).31
Kedudukan dan Susunan Dewan Konstitusi Perancis
24

25
26
27
28

29

30
31

Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi,
(http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/),
diakses pada 13/12/2014.
Dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, dalam buku Peradilan Konstitusi di 10 Negara.
Asshiddiqie, supranote 23, hlm. 137.
Lebih lanjut lihat Konstitusi Republik Kelima Perancis 1958 (France Constitution of October 4, 1958).
Conseil Constitutionnel, Constitution of 4 October 1958, (http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-1958.25742.html) diakses pada 11/12/2014.
Pasal 54 Konstitusi Republik Perancis 1958: “if, on reference from the President of the Republic, the Prime
Minister, or the President of either chamber, or 60 deputies or senator, the Conseil constitutionnel declares that
an international agreement includes a clause contrary to the Constitution, authorization to ratify or approve it
may only be given after a revision of the Constituion”.
Asshiddiqie, supranote 23, hlm. 155.
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Allumni, 1982, hlm. 33.

7

Di dalam sistem konstitusi Perancis, jelas tercantum ketentuan mengenai „Cour
de‟Cassation‟ yang terpisah keberadaannya dari „Conseil Constitutionnel‟.32 „Cour
de‟Cassation‟ adalah Mahkamah Agung, lembaga peradilan, sedangkan „Conseil
Constitutionnel‟ bukan pengadilan, melainkan lembaga politik. Karena itu sebutannya bukan
„cour‟ (pengadilan) tetapi „conseil‟ (dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua
lembaga ini jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di Mahkamah
Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi sebagai hakim, maka dalam
susunan keanggotaan „Conseil Constitutionnel‟ tidak demikian. Anggotanya dapat berasal dari
partai politik atau birokrat dan sebagainya, meskipun sebagian terbesar di antaranya selalu para
ahli hukum. Memang pada hakikatnya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga pengawal
konstitusi Perancis ini bukanlah fungsi-fungsi peradilan dalam arti yang lazim. Dalam sistem
konstitusi Perancis, lembaga ini lebih bersifat semi-peradilan.33 Maurice Duverger menyatakan
bahwa Dewan Konstitusi sebenarnya adalah lembaga politik. Artinya, institusi tersebut sematamata dibentuk untuk memenuhi kepentingan yang bersifat politik.34
Ketentuan konstitusional yang relevan dengan mekanisme rekrutmen dan komposisi
(susunan) Dewan Konstitusional seperti termaktub dalam Konstitusi Republik Kelima Perancis
1958 telah diatur dalam Pasal 56, sebagai berikut:
“The constitutional Council is composed of 9 members who serve 9 year,
nonrenewable terms. Three of its are namaed by the President of the Republic, three
by the President of Nationall Assembly, three by the President of the Senate. In
addition to the 9 members of the Constitutional Council”.
Komposisi keanggotaan Dewan Konstitusi Perancis ditentukan oleh tiga institusi
kenegaraan, yaitu: (i) tiga orang diangkat oleh Presiden, (ii) tiga orang diangkat oleh Ketua
Majelis Nasional, dan (iii) tiga orang diangkat oleh Ketua Senat.
Keanggotaan mantan Presiden dalam Dewan Konstitusi adalah seumur hidup, sedangkan
masa jabatan Sembilan anggota Dewan Konstitusional tidak boleh lebih dari sembilan tahun.
Artinya anggota dewan tidak dapat diangkat kembali. Jadi, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Namun, pemberhentian atau berakhirnya masa jabatan Sembilan anggota dewan tidak dilakukan
secara serentak pada waktu yang bersamaan. Melainkan sepertiga dari anggota berhenti tiap tiga
tahun sekali. Artinya, tiap tiga tahun aka nada tiga orang anggota baru yang menggantikan tiga
orang anggota yang berhenti.35
Bagi ketentuan yang berlaku di Perancis, untuk menjadi anggota Dewan Konstitusi hanya
dipersyaratkan bagi mereka yang telah berusia di atas 18 tahun dan tidak ada kriteria formal
lainnya yang diperlukan untuk mengisi keanggotaan dewan. Dengan Perkataan lain, mekanisme
pengangkatan yang berlaku di Perancis sama sekali tidak menggambarkan kondisi yang dapat
digunakan sebagai instrumen preventif untuk menolak seorang kandidat menjadi anggota Dewan
Konstitusi. Dalam praktik yang berkembang dewasa ini, kriteria umum untuk mengisi komposisi
Dewan Konstitusi dilakukan melalui afiliasi politik. Akibatnya, keanggotaan dewan didominasi
oleh politis profesional. Data statistik yang dibuat oleh Stone dari 1958 hingga 1988,
memperlihatkan 41 orang anggota yang telah diangkat menjadi anggota dewan, 59% di
antaranya atau setara dengan 24 orang, diangkat dari alumni parlemen dan kabinet pemerintahan
Perancis. Kriteria tersebut memperlihatkan bahwa di Perancis tidak berlaku persyaratan khusus
untuk menjadi seorang Dewan Konstitusional. Meskipun terdapat diantara mereka yang
berpendidikan hukum, tetapi syarat pendidikan formal hukum bukan suatu keharusan.36
32
33
34
35
36

Lihat Undang-Undang Dasar Perancis (Konstitusi Republik Perancis 1958).
Asshiddiqie, supranote 24.
Asshiddiqie, supranote 23, hlm. 151.
Asshiddiqie, supranote 23, hlm. 153.
Ibid.

8

B. Perbandingan Mikro Antar Mahkamah Konstitusi Indonesia dengan Dewan Konstitusi
Perancis
1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Fungsi Pengujian Peraturan
Pasal 22A UUD 1945 menetapkan bahwa, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Dalam rangka
melaksanakan amanat konstitusi tersebut, maka pada tahun 2011 ditetapkanlah Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234). Undang-Undang
tersebut ditetapkan dengan tujuan untuk memberikan tuntunan bagi lembaga yang memiliki
kewenang untuk membuat peraturan. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan terdapat dalam ketentuan Bab III tentang Jenis, Hierarki, dan Materi
Muatan Peraturan Perundang-Undangan. Selanjuntnya, Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menetapkan bahwa,
“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Peraturan yang lebih lendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi,
yaitu UUD 1945 (lex superiori derogat legi inferior). Hal tersebut bertujuan agar menjaga
konsistensi peraturan yang berlaku. Agar tidak terjadi tumpang tindih antara satu peraturan
dengan peraturan lainnya (yang lebih tinggi). Peraturan yang lebih rendah harus menyesuaikan
dengang peraturan yang lebih tinggi. Apabila suatu peraturan dirasa bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, maka dapat dilakukan pengujian terhadap peraturan yang dianggap
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut (judicial review).
Di Indonesia, pengujian peraturan (judicial review) dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
dan Mahkamah Agung. Lalu, apa perbedaan antara judicial review yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi dan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung?. Jawabannya adalah,
Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian terhadap undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan, Mahkamah Agung berwenang melakukan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan undang-undang. Pada bagian dari tulisan ini penulis akan membahas
mengenai Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan judicial
review.
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah hak yang diberikan
oleh konstitusi kepada warga negara agar hak-hak konstitusionalnya tetap dihormati. Untuk
menjamin hak-hak konstitusional warga negara dihormati, pengujian ini baik terhadap materi
undang-undang (pasal atau ayat-ayat tertentu) maupun prosedur pembentukannya yang dianggap

9

melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Inilah yang disebut judicial review yang
merupakan wewenang.37
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat meliputi pengujian
formil ataupun pengujian materiil. Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa, “Dalam permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan a. berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. Materi muatan dalam ayat, pasal, dan atau bagian undang-b. undang yang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
I Dewa Gede Palguna berpendapat bahwa dalam pengujian formil harus dibuktikan
bahwa pembentukan suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, dan jika terbukti
maka keseluruhan undang-undang itu akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pengujian materiil, terkait dengan bagian
tertentu dari undang-undang itu yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan jika
terbukti maka bagian itu saja yang akan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.38 Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian materiil
dapat dilakukan terhadap keseluruhan undang-undang, ataupun bagian-bagian tertentu. Bagianbagian itu meliputi bab, pasal, ayat, frasa, kata, ataupun bahkan tanda baca. Selain itu juga
dimungkinkan dilakukan pengujian terhadap penjelasan dan lampiran, bahkan mungkin juga ada
pengujian terhadap konsideran suatu undang-undang.39
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk Melakukan Pengujian
Peraturan (Judicial Review)
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Secara yuridis, kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut terdapat dalam ketentuan:
a. Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945;
b. Pasal 10 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.;
c. Pasal 29 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Nomor 157 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5076);
d. Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menetapkan bahwa, “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Diantara beberapa
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam ketentuan Pasal 24C Ayat (1), dalam
37

38

39

Hamdan Zoelvah, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) dalam Sistem Peradilan di Indonesia,
Jurnal Sekretariat Negara Republik Indonesia, Nomor 16, Mei 2010, hlm. 47.
Dikutip Oleh Muchamad Ali Safa‟at dalam Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang-Undang,
Jurnal Konstitusi, No. 1, Vol. 7, Februari 2010, hlm. 8-9.
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2005, hlm. 57-61.

10

tulisan ini penulis akan berfokus pada salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yaitu
menguji undang-undang terhadapUndang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memutuskan apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi.Kewenangan pertama Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai
“judicial review”. Namun istilah ini harus diluruskan dan diganti dengan istilah “constitutional
review” atau pengujian konstitusional mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Per definisi, konsep “constitutional
review” merupakan perkembangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis
yang didasarkan atas ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation
of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam
sistem “constitutional review” itu tercakup dua tugas pokok, yaitu:40
1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau “interpaly” antara
cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Constitutional review dimaksudkan
untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyahgunaan kekuasaan oleh salah satu
cabang kekuasaan.
2. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh
lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam
konstitusi.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, mengatur mengenai prosedur pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk
diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap
berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden,
dan Mahkamah Agung. Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji,
DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam
undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Judicial Review kepada Mahkamah
Konstitusi RI
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:41
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur
dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
40

41

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Perss, 2005, hlm.
10-11.
Lihat Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

11

Sebagaimana telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya bahwa salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah melakukan pengujian undang-undang kepada
UUD 1945. Hasil (output) dari pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi RI
selanjutnya dicantumkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI.
Ada beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang dinilai melampaui batas
kewenangan dan masuk ke ranah legislatif, padahal putusan Mahkamah Konstitusi RI bersifat
final dan mengikat. Disamping itu, pengaturan konstitusi tentang pengujian peraturan perundangundangan telah sedikit merancukan konsentrasi kekuasaan kehakiman dalam penanganan antara
konflik peraturan dan konfil orang dan atau lembaga. Masih ada permasalahan lain yakni adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 005/PUU-V/2006 yang mengeluarkan hakim-hakim
Mahkamah Konstitusi dari obyek pengawasan Komisi Yudisial.42
Untuk masalah yang pertama, ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat
ultra petita (tidak diminta) yang mengarah pada intervensi ke dalam bidang legislasi, ada juga
putusan yang dapat melanggar asas nemo judex in causa sua (larangan memutus hal-hal yang
menyangkut dirinya sendiri).43 Dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
005/PUU-V/2006 yang memutuskan mengeluarkan hakim-hakim Mahkamah Konstitusi dari
obyek pengawasan Komisi Yudisial menurut hemat penulis putusan ini melanggar asas nemo
judex in causa sua. Putusan tersebut mencerminkan bahwa Mahkamah Konstitusi RI adalah
lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga negara „setengah dewa‟. Dengan
dikeluarkannya putusan tersebut juga menunjukan bahwa Mahkamah Konstitusi mengatur agar
dirinya tidak menjadi obyek pengawasan dari Komisi Yudisial. Dalam memutus perkara
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi perlu
mempertimbangkan maksud serta tujuan dari para perumus Undang-Undang Dasar (dalam hal
ini adalah kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR).
Sejak dibentuknya Mahkamah Konstitusi, yaitu pasca perubahan ke-tiga UUD 1945,
telah cukup banyak undang-undang yang dimintakan judicial review. Dari tahun 2003 sampai
dengan tahun 2014, Mahkamah Konstitusi telah melakukan judicial review sebanyak 329
undang-undang.44 Lalu, apakah yang harus dipikirkan agar undang-undang tidak sering
dimintakan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi?. Sri Soemantri berpendapat bahwa,
DPR sebagai lembaga legislasi perlu tambahan tenaga yang mempunyai kualifikasi tertentu,
khususnya dalam bidang ilmu perundang-undangan, teori konstitusi, dan hukum konstitusi.
Apabila hal tersebut sudah dapat dilakukan, kualitas undang-undang yang dihasilkan akan jauh
lebih baik dibandingkan sebelumnya. Di samping itu, dengar pendapat dengan para pakar dari
berbagai perguruan tinggi dan lain-lain kelomppok dalam masyarakat juga perlu diintensifkan.
Apabila pembentukan undang-undang sudah dilakukan seperti dikemukakan diatas, kualitasnya
akan jauh lebih baik, sehingga kemungkinannya sangat kecil untuk dimintakan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi.45
2. Dewan Konstitusi Perancis
Kewenangan untuk Melakukan Pengujian Peraturan (Judicial Review)
Secara konstitusional Dewan bukanlah satu-satunya organ penjamin konstitusi. Karena
jika dicermati secara teliti diktum Pasal 5 Konstitusi Republik Kelima (1958). Presiden Republik
Perancis juga tugas untuk menegak dan menghormati konstitusi. Bunyi Pasal 5 itu, antara lain
42

43
44

45

Mahfud MD; Jazim Hamidi; I Dewa Gede Palguna; Muchamad Ali Safa‟at; Mustafa Lutfi, Constitutional
Question Alternatif Baru Pencara Keadilan Konstitusional, Malang: Universitas Brawijaya Press, 2010, hlm. 13.
Ibid.
Data Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang diperoleh penulis dari website Mahkamah Konstitusi
(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU) diakses pada 14/12/2014.
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2014, hlm. 214.

12

menandaskan: “The President of the Republic shall ensure the respect of the Constitution”.
Berlandaskan pada ketentuan pasal ini, maka sewaktu-waktu presiden dapat mengamankan
kebijaksannya sendiri melalui upaya justifikasi konstitusional suatu tanggung jawab untuk
menghormati konstitusi selain dari Dewan Konstitusi. Melalui ketentuan tersebut, Presiden
Republik Perancis juga diasumsikan sebagai pelindung konstitusi. Bahkan di bawah situasi
tertentu pemerintah melalui kekuatannya di parlemen, memiliki kekuasaan untuk menjatuhkan
penilaian definitif terhadap konstitusionalitas suatu rancangan undang-undang (bills) sebelum
diundangkan. Hal ini dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan presiden masing-masing komisi
dalam dua kamar. Melalui mekanisme motion d‟irrecevabilitie (mosi tidak dapat menerima)
mereka dapat menyatakan bahwa rancangan undang-undang yang telah diusulkan oleh parlemen
itu tidak dapat diterima (motion d‟irrecevabilitie). 46
Hak uji material di Perancis mempunyai sifat yang khas dan dilakukan oleh sebuah
lembaga khas.47 Sehubungan dengan persoalan ini Herman Finer mengatakan:48 “Even the Fifth
Republic does not institute the judicial guarantee of constitutionality; decisions of
constitutionality are reserved for the Constitutional Council”.
Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) untuk menjalankan fungsi pengujian
konstitusionalitas. Pada mulanya, Perancis termasuk bersama-sama dengan Inggris dan Belanda
dikenal sebagai penentang keras gagasan memberikan kewenangan kepada hakim atau
pengadilan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas atas undang-undang. Namun dalam
perkembangan di kemudian hari, ide pengujian konstitusionalitas itu sendiri diterima, tetapi
sebagai alternatifnya, sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga peradilan,
melainkan oleh lembaga non-peradilan. Karena itu, yang dirumuskan dalam Konstitusi Perancis
bukan „cour‟ (pengadilan), melainkan „conseil‟ (dewan), sehingga dibentuk lembaga „Conseil
Constitutionnel‟, bukan „Cour Constitutionnel‟.49
Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Judicial Review kepada Dewan Konstitusi
Perancis
Sebagaimana telah dipaparkan pada bahasan sebelumnya bahwa Conseil Constitutionnel
terdiri dari semua mantan Presiden Perancis dan Sembilan anggota tambahan. Dewan Konstitusi
Perancis tersebut dapat menyatakan bahwa suatu usulan undang-undang bertentangan dengan
Konstitusi, namun Dewan hanya boleh mempertimbangkan perkara itu atas permintaan Presiden
Republik, Perdana Menteri, ketua salah satu dari dua majelis dalam parlemen Perancis (National
Assembly dan Senate), atau suatu kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya 60 anggota
dari tiap-tiap majelis tersebut.50
Putusan Dewan Konstitusi Perancis
Pasal 62 Konstitusi Republik Kelima Perancis menyatakan bahwa ketentuan hukum yang
telah dinyatakan tidak konstitusional oleh Dewan Konstitusi, selanjutnya ketentuan tersebut tidak
dapat berlaku atau diimplementasikan. Putusan Dewan memiliki aspek yang secara efektif
mengikat rancangan undang-undang yang diusulkan presiden, maupun terhadap perjanjian
internasional yang dibuat oleh pemerintah. Begitu pula persoalannya dengan rancangan undangundang yang telah diusulkan oleh pemerintah sebagai pelaksana mandat perlemen. Secara

46
47
48
49
50

Asshiddiqie, supranote 23, hlm. 158.
Sri Soemantri, supranote 11, hlm. 32.
Dikutip oleh Sri Soemantri dalam Hak Menguji Material di Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni, 1982, hlm 32.
Asshiddiqie, supranote 24.
Michael Bodgan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, terj. Derta Sri Widowatie, Bandung: Nusa Media,
2010, hlm. 228.

13

konstitusional putusan Dewan Konstitusi juga berkekuatan final dan mengikat atas rancangan
undang-undang yang diusulkan oleh pemerintah.51
KESIMPULAN
Dari serangkaian pembahasan yang telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan bahwa terdapat persamaan maupun perbedaan antara dewan konstitusi di
Indonesia dengan di Perancis. Selanjutnya, beranjak dari persamaan dan perbedaan tersebut,
penulis akan memberikan evaluasi.
Persamaan tersebut antara lain adalah: (1) baik Mahkamah Konstitusi RI dan Dewan
Konstitusi Perancis (Conseil Constitutionnel) mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengujian undang-undang terhdap Undang-Undang Dasar, (2) Putusan Mahkaman Konstitusi RI
dan Conseil Constitutionnel bersifat final dan mengikat (final and binding), (3) Kewenangan
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diemban oleh Mahkamah
Konstitusi RI dan Conseil Constitutionnel Perancis adalah kewenangan yang diatur dalam
konstitusi masing-masing negara.
Disamping persamaan, terdapat pula perbedaan antara Mahkamah Konstitusi RI dengan
Conseil Constitutionnel Perancis. Perbedaan tersebut antara lain adalah: (1) Mahkamah
Konstitusi RI adalah lembaga yudikatif, sedangkan Conseil Constitutionnel adalah lembaga
politik, (2) Para Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi RI haruslah orang yang mempunyai
latarbelakang pendidikan hukum, sedangkan anggota Conseil Constitutionnel tidak harus berasal
dari orang yang mempunyai latarbelakang pendidikan hukum, (3) Komposisi Mahkamah
Konstitusi RI adalah sembilan orang Hakim Konstitusi (termasuk didalamnya Ketua dan Wakil
Ketua merangkap sebagai anggota), sedangkan komposisi Conseil Constitutionnel adalah
sembilan orang anggota dewan ditambah mantan Presiden Preancis sebagai anggota ex-officio.
(4) Mahkamah Konstitusi RI berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, sedangkan Conseil Constitu

Dokumen yang terkait

PERANCANGAN DAN ANALISIS ALAT UJI GETARAN PAKSA MENGGUNAKAN FFT (FAST FOURIER TRANSFORM)

23 212 19

UJI AKTIVITAS TONIKUM EKSTRAK ETANOL DAUN MANGKOKAN( Polyscias scutellaria Merr ) dan EKSTRAK ETANOL SEDIAAN SERBUK GINSENG TERHADAP DAYA TAHAN BERENANG MENCIT JANTAN (Musmusculus)

50 334 24

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

UJI EFEKTIVITAS BENZALKONIUM KLORIDA KONSENTRASI 0,001% DENGAN pH 5 (Terhadap Aktivitas Bakteri Staphylococcus aureus)

10 193 21

FUNGSI DAN KEWENANGAN BADAN PENGAWAS PASAR MODAL (BAPEPAM) DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM DI BURSA EFEK JAKARTA (BEJ)

5 65 215

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DITINJAU DARI PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

6 77 70

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

11 75 34

PERBANDINGAN HASIL BELAJAR FISIKA SISWA ANTARA MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING(PBL) DAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI)

6 62 67

RECONSTRUCTION PROCESS PLANNING REGULATORY FRAMEWORK IN THE REGIONAL AUTONOMY (STUDY IN THE FORMATION OF REGULATION IN THE REGENCY LAMPUNG MIDDLE ) REKONSTRUKSI PERENCANAAN PERATURAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH (STUDI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

0 34 50

THE EFFECTIVENESS OF THE LEADERSHIP'S ROLE AND FUNCTION OF MUHAMMADIYAH ELEMENTARY SCHOOL PRINCIPAL OF METRO EFEKTIVITAS PERAN DAN FUNGSI KEPALA SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH METRO

3 69 100