TNI AD DAN KESATUAN AKSI MAHASISWA INDON (1)

1.1 TNI AD
Rekam jejak militer modern Indonesia, dalam arti tentara menggunakan persenjataan
canggih dan modern, mengalami tiga babakan, yaitu: masa Hindia Belanda, pendudukan militer
Jepang, dan masa Republik Indonesia. Tentara semasa Hindia Belanda dibentuk setelah perang
Diponegoro (1825-1830) berakhir. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memandang perlu adanya
suatu kesatuan yang menjaga keamanan dan ketertiban wilayah koloninya. Ide ini diawali oleh
pemikiran Van den Bosch selaku Gubernur Jenderal kala itu. Dimana, ide itu segera ditindaklanjuti
dengan membentuk kesatuan bernama Oost Indische Leger (Tentara Hindia Timur). Tahun 1836,
Raja William I (yang menguasai Belanda dan Belgia sekitar 1815an) memberi status Oost Indische
Leger itu sebagai Koninklijk Leger (Tentara Kerajaan). Namanya pun diganti menjadi Koninklijk
Nederlandsche Indische Leger disingkat KNIL.
Akan tetapi, meskipun diberi seragam militer dan status sebagai tentara Kerajaan Belanda,
keberadaan mereka lebih dipandang sebagai sekelompok tentara bayaran. KNIL dibangun
berdasarkan rasisme yang dibangun oleh pemerintah colonial. Di mana, terdapat beragam konflik
internal antara tentara Eropa dengan tentara pribumi yang terkait dengan urusan SARA dan fasilitas.
Konflik ini tidak pernah berakhir, bahkan sampai pemerintah colonial hengkang dari Hindia
Belanda (Indonesia). Sebagai tentara, KNIL tidak disiapkan untuk menghadapi kekuatan asing dari
luar. Kekuatan pasaukannya saja difokuskan pada kekuatan darat. Sehingga, hal ini menyebabkan
balatentara Jepang yang datang tanggal 1 Maret 1942, dengan mudah memukul mundur pasukan
KNIL. Jika, tentara KNIL tidak difokuskan hanya kekuatan daratnya saja, tentu akan beda hasilnya.
Tentara KNIL, khususnya yang pribumi, semasa pendudukan militer Jepang kemudian banyak yang

masuk sebagai tentara-tentara bentukan pemerintah militer Jepang; seperti Heiho, Gyugun, dan
PETA.
Pembentukan tentara-tentara oleh pemerintah militer Jepang ini bukan tanpa alasan. Mereka
berharap orang-orang pribumi ikut ambil bagian membantu Jepang dalam perang Pasifik, antara
Jepang melawan Sekutu. Meskipun tugas-tugas mereka tidak sepenting tentara Jepang asli yang ada
di meda perang, tetapi peran mereka sangat membantu. Dan ini juga menjadi pengalaman tersendiri
bagi orang-orang yang membentuk sejarah militer di Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Para

pionir ini, sebutlah A.H. Nasution, Alex Kawilarang, Sultan Hamid II, Supriyadi, Jenderal
Sudirman, dan lain sebagainya, mendapat pengalaman tempur di medan pertempuran modern. Hal
yang mana berhasil dijadikan acuan bagi orang-orang Indonesia kelak di masa kemerdekaan.
Sebutlah Abdul Haris Nasution yang berhasil menerapkan strategi perang gerilya, dan
menerbitkannya dalam buku berjudul Pokok-pokok Gerilya, (Petrik Matanasi, 2011: 5-6).
Pada awal bedirinya, Indonesia sama sekali tidak mempunyai kesatuan tentara. BKR (Badan
Keamanan Rakyat) yang dibentuk dalam siding PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Sukarno tanggal 23 Agustus 1945 bukanlah
tentara sebagai organisasi kemiliteran resmi. BKR, baik pusat dan daerah ada di bawah wewenang,
KNIP dan KNI daerah, sehingga tidak langsung di bawah perintah Presiden Sukarno, dan tidak juga
di bawah kordinasi menteri pertahanan. Tujuan pembentukan BKR adalah untuk memelihara
keamanan setempat agar tidak menimbulkan kesan bahwa Indonesia menyiapkan diri untuk

memulai peperangan menghadapi sekutu.
Akhirnya, melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945 (kini diperingati sebagai hari
kelahiran TNI), BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal 7 Januari 1946,
TKR diganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada 24 Januari 1946, diubah lagi
menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Karena, saat itu di Indonesia terdapat barisan-barisan
bersenjata lainnya, di samping TRI, maka tanggal 5 Mei 1947, Presiden Sukarno mengeluarkan
keputusan untuk mempersatukan TRI dengan barisan-barisan bersenjata tersebut menjadi Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Penyatuan itu terjadi dan diresmikan pada 3 Juni 1947, (Petrik
Matanasi, 2011: 116-117).
2.3 KAMI
Menurut Nazar E. Nasution, Sekretaris jenderal (Sekjen) Pengurus Besar (PB) Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) tahun 1966-1969 bahwa Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
adalah tuntutan sejarah. Ia dilahirkan secara bersamaan oleh sejumlah organisasi ekstrauniversitas,
yakni HMI, Perhimpunan Mahasiswa Katolik

Republik Indonesia (PMKRI), Pergerakan

Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Mahasiswa Pantjasila, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

(GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

(IMM), Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (SEMMI), Pelopor Mahasiswa Sosialis Indonesia
(Pelmasi), Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi),
Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), Corpus Studisorum
Bandungense (CSB), Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Ikatan Mahasiswa Bandung ((Imaba),
dan Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB). Kelahiran KAMI juga didorong oleh dr. Syarif
Thayeb, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan saat itu. Pengurus pusatnya berbentuk
presidium, yang memimpin organisasi secara bergilir (periodik), (M. Alfan Alfian, 2013:182-183).
Tanggal 25 Oktober 1965, Mayor Jenderal Sjarif Thayeb, Menteri Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pengetahuan (PTIP) mengumpulkan para tokoh berbagai organisasi mahasiswa nonkomunis di
rumahnya. Thayeb mengusulkan untuk membentuk sebuah organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Seluruh hadirin menyetujui usul Thayeb, dan KAMI berdiri. KAMI akan
menjadi motor utama dari kegiatan-kegiatan Angkatan ’66 dan memainkan peranan pokok dalam
arena politik selama dua tahun berikutnya. KAMI mengibarkan ideologi antikomunis dan
pembekuan organisasi-organisasi yang bernaung dibawahnya. Tuntutan ini, disebarluaskan ke jalanjalan raya sehingga rakyat Jakarta bangkit melawan PKI dan Sukarno, (Francois Raillon, 1989:1314).
Mengenai pembentukan KAMI, Ketua umum PB HMI Sulastomo tahun 1963-1966
mencatat: Di suatu sore bulan Oktober 1965, saya diminta datang di rumah Pak Syarif Thayeb di
jalan Imam Bonjol. Disana sudah ada beberapa mahasiswa juga. Pertemuan itu singkat saja, hanya
ada keputusan rapat tanpa sebuah rumusan. Mereka sepakat untuk menyatukan barisan dalam
menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi, terutama dalam menghadapi tekanan PPMI.
Maka, diputuskan pada waktu itu untuk membentuk organisasi yang diharapkan bisa menghambat

gerak dari PPMI. Baru muncullah KAMI sebagai sebuah nama organisasi yang telah disepakati.
Untuk Ketua Periodik pertama terpilih Zamroni dai PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia).
Kenapa HMI tidak muncul sebagai pemegang peran di KAMI, padahal HMI merupakan Organisasi
Mahasiswa Islam terbesar saat itu ? Sebelumnya HMI memang diminta oleh Pak Syarif Thayeb
untuk tidak munculdi ketua dengan alasan politis, ( M.Alfan Alfian, 2013:181).

Kelompok-kelompok

mahasiswa

itu

juga

mencoba

membersihkan

Perserikatan


Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dari unsur-unsur komunis dengan mengadakan kongres
luarbiasa. Namun, para mahasiswa yang dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) menghambat
upaya itu, dengan menunjukkan dukungannya kepada Sukarno. Tak ada tanda-tanda Sukarno akan
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Gagal dengan upaya kongres luarbiasa PPMI, para
mahasiswa dan pemuda itu mendapat "jalan" dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan
(PTIP), Syarif Thayeb. Pada 25 Oktober 1965, Syarif Thayeb mengundang tokoh-tokoh organisasi
mahasiswa nonkomunis berkumpul dirumahnya. Ia mengusulkan organisasi baru pengganti PPMI.
Usulan menteri ini diterima para mahasiswa. Saat itulah lahir KAMI, organisasi ini terdiri tas unsurunsur organisasi mahasiswa berdasarkan agama seperti HMI, PMKRI, GMKI, PMII, juga organisasi
non-agama. Dikalangan pelajar, dua bulan kemudian, terbentuk pula Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI). Setelah itu terbentuk banyak kesatuan aksi kalangan profesi. Ada Kesatuan
Aksi Guru (KAGI), Sarjana (KASI), dan Pengusaha Nasional (KAPNI), (Majalah Forum edisi
khusus "Tokoh Indonesia Masa Depan", Juni 1997 halaman 28-29).