BERBAGAI PANDANGAN ASAL BANGSA DAN BAHAS (1)

BERBAGAI PANDANGAN ASAL BANGSA DAN BAHASA INDONESIA:
DARI KAJIAN LINGUSITIK HISTORIS KOMPARATIF SAMPAI
ARKEOLINGUISTIK DAN PALEOLINGUISTIK 1
Oleh
Agung Pramujiono
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
Email: pram4014@yahoo.com

ABSTRAK
Pandangan klasik menyatakan bahwa asal usul bangsa dan bahasa Indonesia
berasal dari luar Indonesia, yaitu dari Semenanjung Indocina (Yunan/Assam).
Pendapat ini lebih didasarkan pada adanya kesamaan atau kemiripan kosakata
dasar. Secara historis, kemiripan tersebut disebabkan oleh akulturasi atau asimilasi
budaya para pendatang dengan penduduk asli Nusantara (keturunan Homo Erectus
Soloensis dan Homo Erectus Wajakensis). Pandangan lain yang dianggap kurang
populer didasarkan pada hasil penelitian Arkeolinguistik dan Paleolinguistik, yaitu
ditemukannya fosil Homo Erectus Soloensis dan Homo Erectus Wajakensis.
Dengan mendasarkan pada hasil temuan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa
asal bangsa dan bahasa Indonesia adalah dari Solo atau Wajak (Pulau Jawa).
Keturunan manusia purba tersebut setelah memiliki ‘peradaban’ melakukan
perjalanan ke utara sampai ke Jepang dan ke timur sampai Papua Nugini dan

Australia. Pandangan ini diperkuat oleh kesamaan budaya dan kesamaan atau
kemiripan sejumlah kosakata dasar.

Kata Kunci:

asal bangsa dan bahasa Indonesia, kajian linguistik historis
komparatif, arkeolinguistik, paleolinguistik

A. Pendahuluan
Upaya untuk menemukan asal usul bangsa dan bahasa Indonesia sudah
dilakukan sejak abad ke-18. Tercatat beberapa pakar dari Barat sudah mulai
melakukan penelitian-penelitian dalam rangka menentukan asal-usul bangsa dan
bahasa Austronesia tersebut. Slametmuljana (1964) memaparkan nama-nama

1

Dimuat dalam Medan Bahasa Jurnal Ilmiah Kebahasaan Balai Bahasa Surabaya Volume 4
Nomor 2 Desember 2009 ISSN 1907-1787 hal 61-71

2


2
pakar dan karyanya sebagai berikut. (1) A. Reland (1676-1718) dalam bukunya
De Linguis Insularum Orientalium; (2) John Reinhold Foster (1776) dengan
bukunya Voyage Round the World; (3) William Marsden (1843) dengan karyanya
On The Polynesian or Est Insular Languages; (4) John Crawfurd (1848) dengan
bukunya On The Malayan and Polynesian Language dan Races; (5) Wilhelm von
Humboldt (1836) dengan bukunya Ueber die Kawi-Sprache auf der Insel Java; (6)
J.R. Logan (1848) menulis “Customs Common to the Hill Tribes Bordering on
Assam and those of Indian Archipelago” dalam Journal of the Indian Archipelago
and Eastern Asia; (7) A.H. Keane (1880) menulis artikel “On the Relations of the
Chinese and Interoceanic Races and Languages” dalam Journal of the
Anthropological Institute; (8) H. Kern (1889) dengan karangannya Taalkundige
Gegevens ter Bepaling van het Stamland der Maleisch-Polynesische Volken; (9)
Dyen (1956) dengan artikelnya “A Lexicostatistical Classification of the
Austronesian Languages” dalam International Journal of American Linguistics.
Selain pakar dari barat, beberapa penelitian juga dilakukan oleh pakar
yang berasal dari Timur, misalnya yang dilakukan oleh Slametmuljana (1964)
dengan bukunya Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara dan Gorys Keraf (1984)
dalam bukunya Linguistik Bandingan Historis. Keraf mencoba mengkritisi

berbagai pendapat yang diberikan oleh para pakar untuk kemudian mencoba
menarik simpulan tentang asal bangsa dan bahasa Indonesia.
Kajian-kajian terhadap asal bangsa dan bahasa Indonesia yang
dilakukan oleh para pakar di atas lebih banyak mendasarkan diri pada kajian

3

secara linguistik, terutama linguistik diakronis, yakni dilakukan dengan
membandingkan sejumlah kosakata dasar untuk kemudian dicari kemiripannya,
baik

kemiripan secara morfologis maupun semantis. Dari simpulan yang

dikemukakan terdapat kesimpangsiuran dari mana sebenarnya asal usul bangsa
dan bahasa Nusantara. Ada yang berpendapat nenek moyang bangsa Indonesia
berasal dari luar kepulauan Nusantara; demikian pula dengan protolanguage
bahasa Indonesia. Tetapi ada pula yang berpendapat sebaliknya, bangsa dan
bahasa Indonesia berasal dari kepulauan Nusantara.
Kajian secara antropologis terutama dari arkeolinguistik dan
paleolinguistik pada abad XX dilakukan oleh Peter Bellwood dari Australia

dengan bukunya Prehistory of The Indo-Malaysian Archipelago; Hideo Fujita dari
Jepang yang mencoba menelusuri Asal Bangsa dan Bahasa Jepang dalam
kaitannya dengan Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara, dan Abbas A. Badib dari
Indonesia yang dalam berbagai forum seminar Internasional dan Nasional serta
dalam beberapa jurnal banyak mengemukakan pemikiran-pemikiran tentang asal
usul bangsa dan bahasa Nusantara berdasarkan kajiannya secara Arkeolinguistik
dan Paleolinguistik.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan berbagai pandangan tentang asalusul bangsa dan bahasa Nusantara, baik secara linguistik, arkeolinguistik, dan
paleolinguistik sebagai hasil kajian dari beberapa pakar di atas untuk kemudian
dilakukan sebuah refleksi berkaitan dengan asal bangsa dan bahasa Indonesia.

4

B. Berbagai Pandangan Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia berdasarkan
Kajian Linguistik-Historis
Sneddon (1992) menjelaskan adanya dua macam linguistik komparatif.
Pertama, perbandingan tipologis untuk menemukan kesemestaan bahasa, dan
kedua linguistik historis (komparatif) yaitu perbandingan yang bertujuan untuk
menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang
lain. Secara lebih rinci Keraf (1984: 23-24) menjelaskan ruang lingkup kajian

linguistik

historis sebagai berikut: (1) mempersoalkan bahasa-bahasa yang

serumpun dengan mengadakan perbandingan mengenai unsur-unsur yang
menunjukkan kekerabatannya; (2) mengadakan rekonstruksi bahasa-bahasa yang
ada dewasa ini kepada bahasa-bahasa proto atau bahasa-bahasa yang menurunkan
bahasa-bahasa modern; (3) mengadakan pengelompokan bahasa-bahasa yang
termasuk dalam satu rumpun bahasa; dan (4) berusaha menemukan pusat-pusat
penyebaran/negeri asal (homeland/center of grativity) bahasa proto dari bahasa
kerabat dan menentukan gerak migrasi yang pernah terjadi. Dengan mendasarkan
pada pandangan tersebut, apa yang sudah dilakukan oleh para pakar dari Barat
pada abad XVIII-XIX merupakan upaya menerapkan linguistik historis dalam
rangka menemukan negeri asal (homeland) bangsa dan bahasa Nusantara.
Pendapat mereka tentang asal bangsa dan bahasa Nusantara dipaparkan sebagai
berikut.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Reland, Foster, Marsden, dan
Humboldt (Slametmuljana, 1964)

menunjukkan bahwa terdapat kekerabatan


antara bahasa Austronesia Timur dan bahasa-bahasa Austronesia Barat, sedangkan

5

Crawfurd (1848) meskipun menyatakan bahwa antara bahasa-bahasa Austronesia
Timur dan bahasa Austronesia Barat tidak mempunyai hubungan kekerabatan
tetapi dari data penelitiannya justru menunjukkan adanya kekerabatan (Keraf,
1984: 185).

Kemiripan kata-kata yang dibandingkan oleh Crawfurd sebagai

berikut. Dari 8.000 kata Malagasi hanya terdapat 140 kata yang mempunyai
kesamaan dengan bahasa Melayu dan Jawa; dari 4.850 kata Selandia Baru hanya
103 yang mirip dengan bahasa Jawa dan Melayu; dari 3.000 kata Marquesas
terdapat 70 kata yang sama; dan dari 9.000 kata dalam bahasa Tagalog ada 300
kata yang mirip dengan kata bahasa Melayu dan Jawa; serta dari 1.000 kata dalam
bahasa Madura, Lampung, Bugis, Kayan, dan Jawa ditemukan secara berurutan
jumlah kata yang mirip dengan bahasa Melayu adalah 675, 455, 470, 326, 114,
dan 56 kata. Yang dipersoalkan dari data yang dikumpulkan Crawfurd tersebut

adalah apakah kata-kata yang digunakan benar-benar merupakan kata dasar yang
memang dapat dipertanggungjawabkan secara genetis bahwa kata-kata tersebut
berkerabat.
Menurut Slametmuljana (1964: 14), Crawfurd dalam hal ini tidak
dapat disalahkan karena memang tidak memahami masalah kosakata dasar. Lebih
lanjut Slametmuljana mencatat hal yang menarik dari pandangan tokoh ini, yaitu:
(1) bahwa orang Indonesia tidak berasal dari mana-mana, tetapi malah merupakan
induk yang menyebar ke mana-mana (2) bahasa Jawa adalah bahasa tertua dan
bahasa induk dari bahasa-bahasa Austronesia yang lain. Pandangan ini dianggap
kontroversial dan masih perlu dibuktikan kebenarannya. Demikian pula dengan

6

istilah bahasa induk masih perlu penjelasan lebih lanjut. Apakah yang dimaksud
bahasa induk di sini adalah bahasa proto?
Berkaitan dengan asal bangsa dan bahasa Nusantara, J.R. Logan
(1848) berdasarkan kesamaan budaya beberapa suku di Sumatera, Kalimantan,
dan suku Naga di Assam berpendapat bahwa negeri asal bangsa Indonesia adalah
dari daerah Assam di Asia Tenggara. Kesamaan budaya tersebut adalah adat
memotong kepala dan menato kulit pada orang Naga sama dengan adat orang

Dayak di Kalimantan.

Upaya Logan ini dipuji oleh Slametmuljana karena

Loganlah orang pertama yang mencoba mencari asal bangsa Austronesia dari
luar Austronesia (Slametmuljana, 1964: 17)
Pendapat lain dikemukakan oleh A.H. Keane (1880). Dikemukakan
asal-usul bahasa-bahasa Austronesia sebagai berikut.
1. Mula-mula di Indo-Cina terdapat dua suku bangsa, yang pertama adalah
bangsa Mongol, berkulit kuning dan bahasanya ekasuku. Mereka menduduki
daerah: Birma, Khasi, Shan, Siam, Laos, dan Annam. Suku bangsa yang kedua
adalah bangsa Kaukasus berkulit keputih-putihan, berbahasa dwisuku dan
tinggal di daerah Kampuchea, Campa, Kui, Mois, dan Penong. Sementara itu
di kepulauan dan Semenanjung Malaka dihuni oleh orang berkulit hitam. Di
sebelah barat disebut Negrito dan di sebelah Timur disebut Papua.
2. Bangsa Kaukasus kemudian menyebar ke Selatan sampai ke Timur.
Percampuran bangsa Kaukasus dengan bangsa Papua menurunkan bangsa
Polinesia sekarang yang meliputi Samoa, Tahiti, Maori, Hawaii, Tonga, dan
maquesas. Sedangkan di daerah barat, diduduki langsung oleh bangsa


7

Kaukasus: Nis, Tapanuli, Aceh, Lampung, Pasemah, Kalimantan Tengah,
Sulawesi, dan Poru.
3. Kemudian datang lagi bangsa Mongol ke selatan yang akhirnya bercampur
dengan bangsa Kaukasus yang ada di sebelah barat. Percampuran ini
menurunkan bangsa Melayu. Sementara di sebelah timur, bangsa Mongol
bercampur dengan bangsa Kaukasus dan Papua yang menurunkan bangsa
Alfuru yang terdapat di Seram, Timor, Jailolo, Misol, kepulauan di sebelah
barat irian, Melanesia, Hibrida, Baru, Solomon, Fiji, dan Kaledonia.
4. Kesamaan antara yang ada antara bahasa Polinesia dan bahasa Melayu terjadi
karena bangsa Kaukasus (Keraf, 1984: 186-187).
Yang perlu dipertanyakan dari pendapat A.H. Keane di atas adalah apa
yang melatarbelakangi perpindahan bangsa Kaukasus dan Mongol dari utara ke
selatan dan ke timur tersebut. Dalam teori migrasi, perpindahan penduduk bisa
terjadi adanya ekspansi wilayah (peperangan) seperti yang dilakukan oleh bangsa
Mongol. Dalam sejarah tercatat bangsa Mongol gemar menaklukan bangsa lain
dengan kekuatan militernya yang dahsyat. Penaklukan tersebut dilakukan ke barat
sampai Turki, ke Timur sampai Jepang, dan ke Selatan sampai pulau Jawa.
Perpindahan juga dapat dilakukan karena adanya bencana alam sehingga terjadi

pengungsian atau bisa jadi karena perdagangan/perniagaan. Keane dalam
tulisannya tidak menjelaskan apa faktor penyebab perpindahan dan bagaimana
reaksi dari bangsa-bangsa yang menjadi tujuan migrasi tersebut.
Berbeda dengan Keane yang mencoba melihat asal bangsa dan bahasa
Nusantara dari aspek antropologi dan historis, Kern (1889) mencoba menelusuri

8

asal bangsa dan bahasa Nusantara dengan membandingkan 30 kata yang
kemudian dicari padanannya dalam lebih dari 100 bahasa yang tersebar dari
Malagasi sampai tepi barat Amerika Selatan, dari Formosa di sebelah utara
sampai Selandia Baru di Selatan. Kata-kata yang dibandingkan meliputi kosakata
yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ketiga puluh kata
tersebut adalah tebu, nyiur, buluh, ambu (awi), mentimun, jelatang, tuba, talas,
pisang (punti), pandan, ubi, padi, ikan hiu, gurita, dang, ikan pari, penyu, buaya,
tuna, nyamuk, lalat, babi, asu (anjing), kutu, walwa, lisa, laba-laba, langau, besi,
dan wangkang (Slametmuljana, 1964: 22).
Berdasarkan hasil temuannya, Kern mengemukakan hal-hal sebagai
berikut.
1. Dengan membandingkan kata-kata dari dunia tumbuh-tumbuhan, Kern

menetapkan bahwa negeri asal bahasa Austronesia berada di antara garis balik
atau setidak-setidaknya sedikit di luar garis itu. Nama tumbuh-tumbuhan yang
digunakan adalah tebu, nyiur, bambu, buluh, padi, ketimun, pandan, ubi,
jelatang, talas, dan tuba. Dikatakan tidak mungkin kemiripan kata-kata itu
karena kebetulan, apalagi dalam bahasa-bahasa tersebut kata bambu dibedakan
menjadi empat jenis buluh, petung, awi, dan aur. Pembedaan istilah padi dan
beras menurut Kern hanya mungkin terjadi bila kata itu merupakan warisan
dari bahasa proto yang sama. Karena semua tumbuhan tersebut berasal dari
daerah tropis, Kern menarik suatu simpulan negeri asal bahasa Austronesia
harus berada di antara garis balik.

9

2. Berdasarkan penelitian tentang binatang, disimpulkan bahwa negeri asal
bangsa-bangsa Melayu-Polinesia harus berbatasan dengan laut. Hal ini
dibuktikan dari nama-nama binatang yang sama atau mirip untuk bermacammacam binatang laut: hiu, gurita, udang, ikan pari, dan penyu. Di samping itu
ditemukan juga pada semua bahasa itu bentuk yang sama atau mirip: nyamuk,
lalat, kutu, telur kutu, laba-laba, tikus, anjing, babi, bangau, buaya, dan tuna.
3. Berdasarkan keterangan di atas, Kern memberikan simpulan bahwa negeri asal
bangsa Melayu-Polinesia bukan saja berbatasan dengan laut, tetapi harus
berada di daerah pantai. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa kata yang
menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa pelaut. Misalnya kata besi,
wangkang (kapal, banawa, banama, atau benow), dan layar, kayuh, dayang.
4. Berdasarkan ketiga simpulan sementara di atas, Kern membuat simpulan
bahwa negeri asal bangsa Melayu-Polinesia harus terletak di pantai Timur
Indo-Cina, yaitu paling utara di sebelah selatan Cina atau sekitar garis balik
utara serta di sebelah selatan tidak lebih jauh dari Pulau Jawa.
Kalau kita simak apa yang dikemukakan oleh Kern tersebut tampak
bahwa Kern sangat hati-hati dan tidak berani memberikan suatu simpulan yang
akurat dalam menentukan asal bangsa dan bahasa Nusantara. Kern hanya memberi
rambu-rambu yang masih cukup membingungkan. Rentangan jarak antara daerah
di sebelah selatan Cina sampai ke Pulau Jawa merupakan wilayah yang sangat
luas.
Berbeda dengan pakar sebelumnya yang menelusuri asal bangsa dan
bahasa Nusantara melalui metode kosakata dasar dan kesamaan budaya, Isidore

10

Dyen (1956) mencoba menelusuri asal usul bangsa dan bahasa Nusantara dengan
metode leksikostatistik.

Leksikostatistik merupakan suatu teknik dalam

pengelompokan bahasa yang lebih cenderung mengutamakan peneropongan katakata

(leksikon)

secara

statistik

untuk

kemudian

berusaha

menetapkan

pengelompokan berdasarkan persentase kesamaan dan perbedaan satu bahasa
dengan bahasa lain (Keraf, 1984: 121).
Berdasarkan hasil leksikostatistik, Dyen (Keraf, 1984: 192-193)
membagi wilayah bahasa Austronesia atas empat wilayah sebagai berikut. (1)
Wilayah barat meliputi Indonesia, Serawak,

daratan Asia Tenggara, dan

Madagaskar; (2) Wilayah Barat Laut yang meliputi Taiwan, Filipina, Kalimantan
Utara, dan Brunei; (3) Utara dan Timur yang meliputi Mikronesia dan Polinesia;
dan (4) Wilayah Tengah meliputi Irian Timur dan Melanesia. Berkaitan dengan
negeri asal bahasa-bahasa Melayu-Polinesia, Dyen menarik simpulan negeri asal
tersebut terletak di daerah Melanesia dan Irian Timur. Dua daerah yang dianggap
memiliki peluang menjadi negeri asal adalah New Hebrida dan New Britain. Dari
negeri asalnya tersebut kemudian terjadi migrasi ke barat, salah satu arus migrasi
tersebut melalui Indonesia bagian timur hingga ke Flores. Arus yang kedua
bergerak dari Palau dan atau Guam memasuki Sulawesi Utara; migrasi yang sama
dari Filipina menuju ke Kalimantan Utara yang kemudian menurunkan bahasabahasa Dusun dan Murut. Arus migrasi ketiga adalah bergerak ke arah formosa.
Bahasa-bahasa yang berada di Indonesia Barat berasal dari migrasi lanjutan dari
Kalimantan, sedangkan gerak migrasi ke Campa berasal dari salah satu bahsa di

11

Indonesia Barat. Subkerabat Dayak, merupakan satu gerak kembali ke Kalimantan
dari Jawa atau Sumatra.
Pandangan Dyen tersebut benar-benar berbeda dengan pakar
sebelumnya. Kalau sebelumnya migrasi bahasa itu dari daratan Asia bergerak ke
selatan dan ke timur; Dyen justru membalik pandangan tersebut bahwa migrasi
bahasa tersebut bergerak dari

timur ke barat.

Hal ini tentu akan sangat

kontradiktif apalagi jika dilihat dari temuan-temuan arkeologis tentang
keberadaan protohomonoid di Nusantara yang justru banyak ditemukan di pulau
Jawa.
Berkaitan dengan berbagai pandangan dari segi linguistik historis dan
antrologi yang terakhir adalah pandangan Slametmuljana (1964). Dalam upaya
menelusuri asal bangsa dan bahasa Nusantara, Slametmuljana tidak hanya
menggunakan hasil penelitian linguistik tetapi juga mencoba membandingkannya
dengan aspek historis. Secara linguistik, Slametmuljana membandingkan kata
bilangan, kata ganti diri, kata ganti penunjuk, kata ganti refleksif, kata tanya,
kata kerja, perbendaharaan kata, kata benda, bentuk ulangan, dan struktur
kalimat.

Berdasarkan kajian secara linguistik disimpulkan bahwa bahasa

Austronesia yang sudah berada di kepulauan mendapat pengaruh dari bahasabahasa di daratan Asia. Pengaruh tersebut dari aspek historis dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Sekitar tahun 2000 sebelum masehi, kerajaan Cina di bawah dinasti
Han menyerbu ke selatan mendesak suku Tai. Suku Wu memihak bangsa Han
dan ikut menyerbu suku Tai. Suku Tai tercerai berai, ada yang tunduk pada suku

12

Wu ada yang lari ke selatan dan ada yang lari ke pegunungan. Yang lari ke selatan
mendesak suku-suku Mon-Khmer dan Melayu Kontinental. Bahasa-bahasa suku
Tai ini lalu mempengaruhi bahasa-bahasa Austronesia di wilayah selatan,
khususnya Batak. Bahasa Batak yang sudah banyak terpengaruh tersebut
kemudian mempengaruhi bahasa-bahasa Austronesia yang lain sampai ke
Polinesia dan Malagasi. Di sisi lain, pada tahun 1500 sebelum masehi, bangsa
Arya menyerbu ke selatan melalui India Utara. Bangsa Munda menyingkir ke
selatan dan ke timur menuju Assam dan daerah Asia Selatan dan Tenggara. Di
sinilah terjadi banyak pengaruh dalam bidang kosakata. Pengaruh dalam bidang
tatabahasa tidak terjadi karena bahasa Sanskerta merupakan bahasa fleksi.
Dari hasil kajian Slametmuljana, Keraf (1984: 191-192) memberikan
catatan sebagai berikut.
1. Pengertian Austronesia dipakai untuk suku-suku yang sudah mendiami
Nusantara pada waktu itu. Jika ditemukan perubahan dalam bahasa-bahasa itu,
maka hal itu terjadi karena pengaruh dari bahasa-bahasa yang ada di daratan
Asia.
2. Masalah migrasi tidak terlalu penting, kecuali ekspansi dari daratan tinggi
Yunan ke daerah selatan. Andaikata terjadi migrasi, migrasi tersebut tidak
terjadi secara besar-besaran sedangkan pengaruh mereka atas bangsa-bangsa
Austronesia terjadi karena watak bangsa itu yang suka menerima orang-orang
dari luar.
3. Pengaruh dari daratan Asia menyangkut hampir semua katadasar bertentangan
dengan pendapat bahwa kosakata dasar itu sulit berubah. Dalam analisisnya

13

Slametmuljana menunjukkan bagaimana terjadi perubahan pada kata bilangan,
kaa penunjuk, dan sebagainya karena pengaruh dari daratan Asia.
4. Penyebaran pengaruh bahasa Asia terhadap bahasa-bahasa Austronesia mulamula berlangsung pada bahasa Batak kemudian baru mempengaruhi bahasabahasa Austronesia yang lain, ke timur sampai ke Polinesia dan ke barat
samapai Malagasi.
Berkaitan dengan catatan Keraf di atas perlu dicermati kembali.
Perubahan yang terjadi seperti dipaparkan dalam catatan ke-3 itu bisa jadi karena
adanya penggantian kosakata lama dengan kosakata baru sebagai serapan dari
bahasa lain. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sampai sekarang pun

ada

kecenderungan pemakai bahasa Indonesia lebih suka menggunakan istilah
asingnya daripada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bisa jadi sikap semacam
ini juga merupakan warisan dari pola pikir dan gaya hidup nenek moyang kita;
lebih bangga dan mengagungkan kata-kata atau istilah yang berasal dari bahasa
lain. Sebagai contoh pemakaian kata kitab dan buku. Ungkapan kitab suci
ditemukan, sedangkan buku suci tidak ditemukan. Demikian pula dengan
penggunaan kata-kata berbahasa Inggris yang banyak menggantikan kosakata
bahasa

Indonesia,

meeting

menggantikan

pertemuan/rapat;

shopping

menggantikan kata berbelanja; driver lebih dianggap bergengsi daripada sopir.
Sedangkan terkait dengan catatan keempat barangkali juga patut
dipertanyakan mengapa bahasa Batak yang menyebarkan pengaruh bahasa-bahasa
daratan Asia tersebut; mengapa bukan bahasa Melayu kuno atau bahasa Jawa
kalau kita ingat ekspansi Cina lewat bangsa Han dan Mongol bisa sampai ke Jawa

14

demikian pula dengan penyebaran Hindu dari India juga sampai ke pulau Jawa.
Dengan demikian, pandangan Slametmulyana ini juga masih patut dipertanyakan
kebenarannya.

C. Berbagai Pandangan Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia berdasarkan
Arkeolinguistik dan Paleolinguistik
Upaya meneliti asal usul bangsa dan bahasa Indonesia yang dilakukan
oleh pakar barat dengan mendasarkan pada metode kosakata dasar sebagai salah
satu metode dalam linguistik historis komparatif dianggap sebagai teori klasik
asal usul bangsa dan bahasa Indonesia (Badib, 2002: 15). Kajian mutakhir dalam
upaya menelusuri asal bangsa dan bahasa Indonesia
dengan membandingkan sejumlah

tidak hanya dilakukan

kosakata dasar, tetapi juga menggunakan

metode yang lain yaitu dengan arkeolinguistik dan paleolinguistik.
Hideo Fujita berdasarkan penuturannya dalam Seminar Internasional di
Nice Center (2002) adalah seorang ahli mesin yang menjadi konsultan di PT PAL
Surabaya.

Ketika 10 tahun (1990-2000) tinggal di Indonesia dan menjadi

konsultan mesin di PT PAL Surabaya itulah, Fujita tertarik untuk meneliti
kesamaan kosakata dalam bahasa Jepang dan Indonesia. Beliau juga tertarik
melihat adanya kemiripan bentuk-bentuk bangunan kuno di Indonesia dengan
bangunan kuil di Jepang. Bermula dari itulah, kajian tentang kaitan antara bangsa
dan bahasa Indonesia dengan bangsa dan bahasa Jepang dimulai. Dari seorang
pakar mesin, Fujita beralih minat menjadi seorang peneliti antropologi, arkeologi,
dan lingusitik.

15

Berdasarkan hasil penelitiannya, Fujita (2002) dalam tulisannya “Rute
Perpindahan Suku Pulau Selatan dan Perubahan Bahasa Jepang” memaparkan
bahwa sekitar 20.000 tahun yang lalu, suku Wajak dari Jawa datang ke Jepang
dengan menggunakan sampan yang dibuat dengan cara melubangi bagian dalam
pohon yang besar. Perjalanan jauh tersebut dilakukan dengan menyisiri pantai
guna menghindari badai.

Hal ini bisa dilakukan karena sebelum zaman es

mencair sekitar 18.000 tahun yang lalu, Indonesia belum terpisah dengan benua
Asia. Demikian pula dengan Jawa.
Berkaitan dengan rute perjalanan ke Jepang dan faktor yang
melatarbelakanginya oleh Fujita dijelaskan bahwa sesudah Zaman Es berakhir,
suhu mulai naik kemudian orang-orang dari selatan yang daerahnya panas
mencoba mencari daerah yang lebih sejuk. Orang-orang di selatan mendengar
bahwa di utara ada daerah yang sejuk. Mula-mula yang datang adalah orang-orang
yang tinggal di Taiwan karena Taiwan dekat dengan Jepang. Berikutnya yang
datang adalah orang-orang yang tinggal di semenanjung Indocina. Mereka adalah
orang-orang yang tinggal di sekitar Muangthai, Kamboja, dan Vietnam. Ketika
berdagang ke Taiwan, mereka menanyakan rute perjalanan ke Jepang sehingga
akhirnya mereka bisa sampai di Jepang setelah melewati Taiwan.
Orang Wajak dari Jawa, setelah zaman es berakhir juga ikut ke utara
untuk berdagang dan mencari tempat yang lebih sejuk. Mereka melakukan
perjalanan ke utara sampai ke semenanjung Indocina kemudian mendengar cerita
tentang Taiwan dan Jepang, yaitu negara di utara yang sejuk. Akhirnya, mereka
juga sampai ke Jepang. Orang-orang yang paling akhir datang ke Jepang adalah

16

bangsa India dan Burma. Sampai 300 tahun sebelum masehi, menurut Fujita
masih banyak orang-orang dari Indonesia datang ke Jepang dan tinggal di sana
(Fujita, 2002).
Yang menarik dari apa yang ditemukan oleh Fujita adalah adanya
peninggalan-peninggalan arkeologis yang membuktikan bahwa orang Wajak
benar-benar sampai di Jepang dan tentu bermukim di sana dalam waktu yang
cukup lama.

Peninggalan tersebut misalnya, di Pulau Tokunoshima (sebelah

selatan Okinawa) ditemukan batu bundar berasal dari lapisan tanah yang
diperkirakan berumur 12.000 tahun yang digunakan untuk membuat sampan. Jenis
batu yang sama juga ditemukan di Pulau Selatan (Indonesia). Hal ini
menunjukkan bahwa orang-orang dari Pulau Selatan tinggal di Jepang dalam
waktu yang lama dan di tempat barunya tersebut mereka tidak hanya berdagang
tetapi juga menciptakan peralatan-peralatan.
Dalam bidang linguistik, Fujita mengemukakan bahwa banyak katakata bahasa Indonesia yang mirip dengan bahasa Jepang. Misalnya dalam bahasa
Indonesia terdapat kata mundur, masakan, takabur, makan; dalam bahasa
Jepang terdapat kata-kata yang mirip yaitu modoru, masaka, takaburu, dan
makanau. Tentu kemiripan ini bukan suatu kebetulan.
Apa yang ditemukan oleh Fujita dapat menunjukkan kepada kita
bahwa asal bangsa dan bahasa Indonesia tidak dari luar Indonesia. Sekitar 20.000
tahun yang lalu wilayah-wilayah di Nusantara telah dihuni oleh manusia dan
mereka sudah mampu melakukan perjalanan jauh dengan meninggalkan daerah
asalnya untuk melakukan suatu perdagangan; dan setelah zaman es berakhir

17

mereka melakukan perjalanan ke utara untuk menghindari panas dengan mencari
daerah yang lebih sejuk. Mereka menghentikan perjalanan ke utara karena faktor
keamanan karena di utara terjadi peperangan, bangsa Jomon perang melawan
Yayoi (Fujita, 2002). Bangsa Jomon yang tidak pandai berperang seperti bangsa
Yayoi akhirnya menderita kekalahan sehingga penduduk yang menghuni Jepang
sebagian besar adalah bangsa Yayoi yang berasal dari keturunan bangsa Mongol.
Kajian tentang asal bangsa dan bahasa Indonesia lain yang menarik
untuk disimak adalah penelitian yang dilakukan oleh Abbas A. Badib. Dalam
pengukuhan Guru Besarnya, beliau menyatakan bahwa penelitian tersebut
dilakukan sejak Mei 1989 sampai dengan Januari 1996 (Badib, 2002).
Sebelumnya,

pada

tahun

1996

dalam

Konferensi

Internasional

yang

diselenggarakan oleh Pusat Studi Asia-Pasifik Universitas Gajah Mada, 24-26
Juni, Badib sudah mulai mengomunikasikan hasil penelitiannya. Dalam
makalahnya yang berjudul “Are Indonesians, Australians, and Papua New
Guineans Culturally, Linguistically and Genetically Related?”

dikemukakan

bukti-bukti yang menunjukkan hubungan ketiga bangsa tersebut. Misalnya
ditemukan

coretan-coretan pada batu (rock painting) di Makasar sebagai

pengaruh budaya Aborigins. Bahkan ditengarahi antara suku bugis dengan suku
Aborigin sudah saling berinteraksi, saling mengunjungi dengan menggunakan
perahu. Orang Aborigin yang berlayar ke Makasar tinggal di sana dan belajar cara
bercocok tanam. Keseringan kontak ini melahirkan Pidgin Macassarese atau
Malay-based Macassarese Language yang kemudian berkembang menjadi Creole
Macassarese.

Dari sinilah kemudian berkembang sebagai Aboriginal Lingua

18

Franca. Bukti hubungan antara bangsa Indonesia dengan suku Aborigin dapat
ditemukan pada ujaran-ujaran yang digunakan oleh orang-orang Tiwi yang tinggal
di Batghrurst Island dekat Darwin.
Hubungan kekerabatan antara bangsa Indonesia dengan orang-orang
Papua Nugini dapat dibuktikan dengan adanya kemiripan dalam berbagai aspek
budaya. Misalnya kebiasaan mengunyah sirih dan menghias/menato muka-tubuh
dan lengan. Di samping itu banyak ditemukan kosakata bahasa Indonesia dalam
bahasa Papua Nugini, misalnya nyamuk, binatang, sayur, kacang, dan kerbau.
Berkaitan dengan kekerabatan antara bangsa Indonesia, Papua Nugini,
dan Aborigin di Australia, Badib (1996) mengemukakan adanya kemungkinan
mereka berasal dari manusia Solo (Homo Erectus Soloensis) yang menyebar ke
Timur. Dalam catatan Heekeren (Badib, 2002), manusia Solo tersebut sudah
mempunyai volume otak 900cc dan mereka sudah mempunyai peralatan-peralatan
yang digunakan dalam kehidupan mereka. Mereka sudah berbahasa untuk
mengatur kehidupan sosialnya. Pandangan ini juga diperkuat oleh pendapat para
arkeolog Amerika yang menyatakan bahwa Benua Atlantis yang ada sebelum
zaman es mencair terletak di Indonesia. Setelah es mencair, Benua Atlantis itu
tinggal

menyisakan

Pulau

Jawa,

Sumatra,

dan

Kalimantan

(http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=202073&kat_id=13)
Dalam kaitannya dengan asal bangsa dan bahasa Jepang, Badib (2002)
menjelaskan bahwa salah satu hipotesis tentang asal usul bangsa Jepang adalah
bahwa penduduk asli Jepang

berasal dari orang-orang Indonesia (southern

hypothesis). Menurut prakiraan, orang-orang Indonesia sekitar 10.000-8.000 tahun

19

yang lalu sudah sampai di Jepang dengan membawa bahasa Austronesia. Orangorang tersebut adalah orang Ainu yang juga dianggap sebagai leluhurnya orang
Aborigin (Belwood dalam Badib, 2002).
Dari publikasi tulisannya, Badib ingin mengajak kita untuk tidak
menerima begitu saja teori klasik tentang asal usul bangsa dan bahasa Indonesia
yang menyatakan bahwa nenek moyang kita berasal dari daerah Yunan di
Semenanjung Indocina. Pendapat klasik tersebut bertentangan dengan temuantemuan arkeologis. Pandangan klasik tersebut sudah begitu populer tidak hanya
di

Indonesia, tetapi

juga di Malaysia. Dalam salah satu artikel di

http://www.idesa.net.my/modules/ news/print.php?storyid=42

yang memuat

tentang “Asal Bangsa dan Bahasa Melayu” dikemukakan bahwa di Malaysia lebih
populer pandangan bahwa asal bangsa dan bahasa Melayu dari Yunan
(Semenanjung Indocina) daripada pandangan yang menyatakan asal bangsa dan
bahasa Melayu dari kepulauan Nusantara (dalam hal ini Pulau Jawa karena adanya
temuan arkeologis manusia purba, Homo Wajakensis dan Homo Soloensis). Hal
semacam ini bisa jadi disebabkan oleh muatan politis.

D. Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia sebuah Refleksi
Dari berbagai pendapat yang telah dipaparkan di atas dapat dilakukan
sebuah perenungan dan pemikiran yang kritis tentang dari mana sebenarnya asal
bangsa dan bahasa Austronesia (Indonesia). Berdasarkan hasil temuan arkeologis
yaitu ditemukannya fosil Homo Erectus Soloensis di Trinil dan Sangiran Solo
serta Homo Erectus Wajakensis di Wajak Tulungagung Selatan dengan usia

20

sekitar 600.000 tahun yang lalu menunjukkan bahwa daerah-daerah atau sebagian
daerah di Nusantara telah berpenghuni. Manusia-manusia purba tersebut terus
mengalami evolusi dan mengalami pergantian generasi sesuai dengan hukum
alam. Setelah memiliki ‘peradaban’ mereka mulai melakukan pengembaraan baik
ke timur maupun ke utara. Perjalanan ke timur sampai ke Papua Nugini dan
Australia sehingga ditemukan kemiripan budaya; kebiasaan makan sirih dan
menghias/menato wajah dan lengan serta kesamaan/kemiripan kosakata.
Pengembaraan ke utara sampai ke semenanjung Indocina, Taiwan, dan akhirnya
sampai ke Jepang. Dengan demikian, sebenarnya orang-orang keturunan Homo
Soloensis dan Homo Wajakensis inilah penduduk asli Nusantara. Dari merekalah
asal bangsa dan bahasa Austronesia dan Polinesia. Wilayah Nusantara yang luas
sebelum zaman es mencair inilah yang oleh para pakar antropologi disebut
sebagai Benua Atlantis. Para pakar dari Amerika menyakini letak benua tersebut
di Indonesia. Setelah es mencair, Benua Atlantis tinggal menyisakan Pulau Jawa,
Sumatra, dan Kalimantan.
Sementara di Nusantara terjadi perkembangan manusia yang
merupakan keturunan Homo Erekctus Soloensis dan Homo Erectus Wajakensis, di
tempat lain juga ditemukan fosil-fosil manusia purba. Di Peking ditemukan fosil
Sinanthropus Pekinensis yang menjadi nenek moyang orang Cina; sedangkan di
Eropa ditemukan fosil Neanderthal. Lewat seleksi alam yang sangat ketat dan
ganas, manusia-manusia purba tersebut kemudian menurunkan generasi yang
tangguh. Misalnya di Eropa terdapat bangsa Aria dan di Asia terdapat bangsa
Mongol. Bangsa Aria melakukan pengembaraan (ekspansi) dari Eropa sampai ke

21

India. Demikian pula dengan bangsa Mongol, mereka juga melakukan ekspansi ke
timur sampai Jepang dan ke selatan sampai ke Semenanjung Indocina dan Pulau
Jawa. Orang-orang yang terdesak oleh bangsa yang agresif tersebut akhirnya
melakukan migrasi ke Selatan. Penduduk India asli yang terdesak oleh bangsa
Aria akhirnya mengungsi ke Timur hingga sampai ke Nusantara. Demikian pula
dengan penduduk asli Semenanjung Indocina yang terdesak oleh serbuan bangsa
Mongol, mereka juga mengungsi/migrasi ke Selatan.
Dengan adanya gelombang migrasi dari Semenanjung Indocina dan
dari India tersebut, maka terjadilah kontak antara penduduk asli (keturunan orang
Wajak dan Solo) dengan para pendatang. Hal inilah yang menyebabkan banyak
kosakata dasar yang mirip antara bahasa-bahasa di Semenanjung Indocina dan
bahasa Tamil dengan bahasa-bahasa Austronesia. Ini terjadi karena para
pendatang juga membawa bahasa mereka dan orang-orang Indonesia asli tersebut
dapat menerima kedatangan mereka dengan terbuka tanpa ada peperangan. Hal ini
tentu akan mempercepat akulkuturasi dan asimilasi budaya.

E. Simpulan
Asal usul bangsa dan bahasa merupakan masalah yang sangat pelik.
Kajian terhadap asal bangsa dan bahasa Indonesia telah dilakukan sejak abad ke18 sampai sekarang. Pandangan klasik menyatakan bahwa asal usul bangsa dan
bahasa Indonesia berasal dari luar Indonesia, yaitu dari Semenanjung Indocina
(Yunan/Assam). Pendapat ini lebih didasarkan pada adanya kesamaan atau
kemiripan kosakata dasar. Kalau dilihat dari aspek historis, kemiripan tersebut

22

disebabkan oleh akulturasi atau asimilasi budaya para pendatang dengan
penduduk asli Nusantara (keturunan Homo Erectus Soloensis dan Homo Erectus
Wajakensis).
Pandangan lain yang memang dianggap kurang populer didasarkan
pada hasil penelitian Arkeolinguistik dan Paleolinguistik, yaitu ditemukannya fosil
Homo Erectus Soloensis dan Homo Erectus Wajakensis. Dengan mendasarkan
pada hasil temuan

dalam bidang arkeologi dan antropologi tersebut ditarik

simpulan bahwa asal bangsa dan bahasa Indonesia adalah dari Solo atau Wajak
(Pulau Jawa). Keturunan manusia purba tersebut setelah memiliki ‘peradaban’
melakukan perjalanan ke utara sampai ke Jepang dan ke timur sampai Papua
Nugini dan Australia. Pandangan ini didukung oleh kesamaan budaya dan
kesamaan/kemiripan sejumlah kosakata dasar.

Daftar Pustaka

Badib, Abbas Achmad. 1996. Are Indonesians, Australians and Papua New
Guineans Culturally, Linguistically and Genetically Related? (Makalah
Konferensi Internasional di Universitas Gajah Mada 24-26 Juni 1996).
Yogyakarta: Pusat Studi Asia dan Pasific Universitas Gajah Mada.
------------. 2002. Terbentuknya Bangsa dan Bahasa Jepang, Bangsa dan
Bahasa Indonesia dalam Perspektif Lahirnya Manusia dan Bahasa di
Dunia: Kajian Terpadu Arkeolinguistik dan Paleolinguistik. (Pidato
Pengukuhan Guru Besar). Surabaya: Unesa.
Fujita, Hideo. 2002. Rute Perpindahan Suku Jawa ke Jepang dan Perubahan
Bahasa Jepang. Makalah disajikan dalam seminar sehari di NICE
Center (Jawa Pos), 15 Februari 2002.
http://www.idesa.net.my/modules/news/print.php?storyid=42 “Asal Bangsa dan
Bahasa Melayu” dikunjungi 10 November 2006.

23

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=202073&kat_id=13 “Benua
Atlantis terletak di Indonesia” dikunjungi 15 Februari 2007.
http://www.tutor.com.my/tutor/stpm/asal usul bahasa melayu.htm dikunjungi 10
November 2006
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.
Kern, H. 1956. Pertukaran Bunyi dalam Bahasa-Bahasa Melayu Polinesia.
Jakarta: PT Pustaka Rakyat.
---------------. 1957. Berbagai-bagai Keterangan berdasarkan Ilmu Bahasa
dipakai untuk Menetapkan Negeri Asal Bahasa-Bahasa MelayuPolinesia. (Terj. Sjaukat Djajadiningrat). Jakarta: PT Pustaka Rakyat.
Sneddon, James. 1992. Teori Linguistik Diakronis (Materi Penataran Lokakarya
Linguistik Sinkronis-Diakronis). Yogyakarta: FBS IKIP Sanata
Dharma.
Slametmuljana. 1964. Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara. Jakarta: PN Balai
Pustaka.