MILITER POLITIK DI MASA ORDE LAMA DAN OR

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur kehadirat Allah Swt untuk rahmat, bimbingan dan hidayah-Nya, makalah
ini akhirnya dapat diselesaikan dalam tepat waktu dan tidak lupa penyusunmengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu referensi, acuan maupun
pedoman bagi pembaca dalam mempelajari tentang peran militer dalam politik di masa orde
lama dan orde baru.
Harapan penyusun, semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca.Penyususn mengakui bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh
karena itu, tim penyusun berharap kepada pembaca supaya dapat memeberi masukkan serta
komentar yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini, sehingga penyusun dapat
memperbaiki susunan maupun isi dari makalah ini menjadi lebih baik untuk ke depannya.

Pekanbaru, 2 April 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Contents

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..................................................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................................................2
1.3. Tujuan Penulisan...............................................................................................................................2
1.4. Manfaat Penulisan............................................................................................................................3
1.5. Metodologi Penulisan.......................................................................................................................3
BAB II...........................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................4
2.1. Lahirnya Tentara Nasional Indonesia................................................................................................4
2.1. Asal-mula Peranan Politik Tentara.....................................................................................................4
2.2. Tentara sebagai Kekuatan Politik 1945-1965.....................................................................................5
2.2.1. Masa Demokrasi Parlementer....................................................................................................5
2.2.2. TNI-AD dan Jatuhnya Kabinet Ali................................................................................................9
2.2.3. Munculnya Militer sebagai Kekuatan Politik pada Masa Transisi 1957-1959...........................10
2.2.4. Politik setelah RI Kembali ke Undang Undang Dasar 1945.......................................................13
2.3. Krisis Nasional 1965-1966 dan Benih Dominasi Politik Oleh Militer...............................................15
2.3.1. Kudeta Berdarah dan PKI.........................................................................................................15

2.3.2. Tampilnya Jenderal Soeharto sebagai Figure-Head TNI-AD......................................................16
2.3.3. Gerakan 30 September Digagalkan..........................................................................................16
2.4. Surat Perintah 11 Maret..............................................................................................................16
2.5. Pengebirian Partai-Partai Politik......................................................................................................18
BAB III........................................................................................................................................................20
PENUTUP...................................................................................................................................................20
3.1. Kesimpulan.....................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................21

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu organ yang perlu dimiliki pemerintah suatu Negara adalah militer,
yang merupakan suatu kelompok orang-orang yang diorganisir dengan disiplin untuk
melakukan pertempuran, yang diperbedakan dari orang-orang sipil. Finer
mengemukakan tujuan pokok adanya militer dalam suatu Negara yaitu: untuk
bertempur dan memenangkan peperangan guna mempertahankan dan memelihara
eksistensi Negara.1Fungsi militer di dalam Negara adalah melakukan tugas dibidang
pertahanan dan keamanan, yang disebut “fungsi militer”.Sedangkan tugas tugas di

luar bidang pertahanan dan keamanan negara menjadi tugas golongan sipil.2
Akan tetapi, kaum militer di Negara berkembang dalam kadar yang berbedabeda dan dengan variasi yang bermacam-macam melakukan fungsi sosial dan politik,
memikul tugas-tugas sipil, bahkan memegang peranan politik yang dominan melebihi
kaum sipil. Ada beberapa sebab yang mendorong militer secara aktif memasuki arena
politik dan memainkan peranan politik.Factor-faktor ini lebih terletak pada kehidupan
politik atau system politik, bukan pada militer, dan dikelompokkan menjadi
tiga.3Pertama, rangkaian-sebab yang menyangkut adanya ketidakstabilan system
politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang
yang besar untuk menggunakan kekerasan di dalam kehidupan politik. System politik
yang peka ini pula yang paling sering mengakibatkan timbulnya hal-hal yang
mendikreditkan pemerintahan sipil.
Kedua, rangkaian-sebab yang bertalian dengan kemampuan golongan militer
untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik, bahkan untuk memperoleh perananperanan politik yang menentukan.Dalam beberapa hal, dominasi militer di dalam
politik justru “diundang” atau dipermudah oleh golongan sipil.Hal ini dilakukan
karena militer diperlukan untuk menghadapi musuh dari luar atau guna mengatasi
pergolakan di dalam negeri.Kapasitas militer dalam mempengaruhi kehidupan politik
bergantung pada kecakapan, perlengkapan dan persenjataan yang dimilikinya.Namun
tidak dapat dipastikan adanya hubungan langsung antara kemampuan berpolitik kaum
militer dengan tingkah-laku politik militer.4
Ketiga, rangkaian-sebab yang berhubungan dengan political perspectiveskaum

militer.Yang paling menonjol dari perspektif politik mereka adalah peranan dan status
1S.E, Finer.The Man On Horseback: The Role of the Military in Politics. (New York, N.Y.: Frederick. A.
Praeger, 1962), hal. 7.
2 Yahya A. Muhaimin. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1965.(Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 2005), Hal. 2.
3John P. Lovell dan C.I Eugene Kim.The Military and Political Change in Asia.(Pacific Affairs: University
of British Columbia, 1967).
4 Ibid.

mereka di masyarakat, dan juga persepsi mereka terhadap kepemimpinan kaum sipil
dan terhadap system politik secara keseluruhan. Dalam suatu keadaan di mana
kepemimpinan politik sipil dianggap oleh mereka itu tidak beres, korup, lemah dan
tidak mampu melaksanakan tugas-tugas pokok pemerintahan maka drongan untuk
melakukan intervensi ke dalam politik oleh golongan militer akan besar.5
Pada Negara di mana lembaga militer relative telah berkembang mantap dan
sudah memiliki pola perkembangan tersendiri, para perwiranya tidak mau mengambil
tindakan politik yang berarti, atau tidak mau mengambil-alih kekuasaan
pemerintahan. Alasan mereka biasanya adalah partispasi mereka secara intensif di
dalam politik akan mengancam profesionalisme kemiliteran mereka.6
Terdapat alasan subyektif yang mendorong militer memasuki dunia politik, hal

ini disebut mood.Ada dua elemen dalam hal ini. Satu, kaum militer menyadari dirinya
memiliki kekuatan tidak terkalahkan di dalam masyarakatnya sehingga mereka
merasa tidak akan ada yang mampu mencegah tindakannya. Dua, berkaitan dengan
yang pertama, yaitu adanya perasaan dendam atau rasa kecewa pada kalangan militer
terhadap rakyat sipil karena harga-dirinya yang tinggi tadi merasa tersinggung oleh
kelompok masyarakat lainnya atau pemerintaha sipil.Jadi hal ini sepenuhnya
menyangkut hal pikologis.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan rumusan
masalahnya sebagai berikut: “Bagaimana Peran serta Militer dalam Politik di
Masa Orde Lama dan Orde Baru ?”
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:
1. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk pengumpulan tugas mata
kuliah Sistem Politik Indonesia.
2. Untuk mengetahui peran militer dalam politik di masa orde lama dan
orde baru.

1.4. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1. Bahan informasi dan kajian bagi akademisi terkait peran militer dalam
politik di masa orde lama dan orde baru, khususnya mahasiswa
Hubungan Internasional se-Indonesia.

5 Ibid.
6 Samuel P. Huntington. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations.
(Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1967).

2. Manfaat praktis: di mana dalam manfaat praktisnya penulisan makalah
ini diharapkan untuk mengajukan penelitian selanjutnya seperti:
penulisan tugas-tugas selanjutnya, proposal dan skripsi.
1.5. Metodologi Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan.
Cara-cara yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka: dalam
metode penulisan ini penulis membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan
makalah ini seperti: majalah berita, buku referensi, artikel, jurnal dan berbagai jenis
buku lainnya, serta berbagai sumber dari internet yang berhubungan dengan militer
dan politik di masa orde lama dan orde baru serta sesuai dengan tema makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Lahirnya Tentara Nasional Indonesia
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, adalah sumber
daripada seluruh tatanan dan kehidupan politik bagi Indonesia sebagai Negara
baru.Sehari setelah pernyataan kemerdekaan itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia mulai mengadakan tiga kali sidang untuk membicarakan hal-hal yang urgen
sehubungan dengan telah berdirinya Reublik Indonesia.
Kalangan pemuda dan pejuang bersenjata mempunyai anggapan yang kuat,
bahwa adalah suatu kelambatan dan kesalahan besar yang dilakukan pimpinan
kemerdekaan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan itu tidak serta merta juga disertai
dengan pernyataan atau dekrit oleh pimpinan Negara dan revolusi untuk menjadikan
bekas-bekas Heiho dan PETA menjadi tentara nasional sebagai Angkatan Perang
Negara yang merupakan aparat vital yang menentukan tegak rubuhnya serta timbul
tenggelamnya Negara.7
TNI adalah tentara yang menciptakan diri sendiri (self created army), artinya
bahwa mereka tidak diciptakan oleh pemerintah, juga tidak oleh suatu partai politik
sebagaimana layaknya terjadi pada negara demokratis lainnya. Tentara Indonesia
terbentuk, mempersenjatai diri dan mengorganisasi dirinya sendiri. Hal ini terjadi
akibat adanya keengganan pemerintah sipil pada waktu itu untuk menciptakan
tentara. Pemerintah pusat yang didominasi oleh generasi tua dibawah pimpinan

Soekarno, berharap bisa mencapai kemerdekaan secara damai. Namun, Tentara
Indonesia yang pada saat itu dimotori oleh para pemuda berpendapat lain dengan
Sukarno, mereka kemudian berinisiatif untuk mempersenjatai diri dan mendirikan
organisasi tentara sendiri, dengan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan yang
baru saja diproklamasikan tersebut.8
2.1. Asal-mula Peranan Politik Tentara
Persepi tentara mengenai dirinya sebagai kekuatan politik berasal dari
perbedaan yang kabur tentang fungsi militer dan fungsi politik dalam masa perang
kemerdekaan melawan Belanda.Sifat perjuangan itu bersifat politik sekaligus
militer.Para pemuda yang waktu itu mngangkat senjata melawan Belanda tidak
didorong oleh keinginan untuk membina karir dalam kehidupan militer, tetapi oleh
semangat patriotic yang dinyatakan terhadap republik yang telah diproklamasikan
oleh para politisi dari kalangan nasionalis.Watak perjuangan tersebut selanjutnya telah
memperkuat kecondongan golongan militer ke soal-soal politik.Tiadanya tradisi yang
apolitis di kalangan tentara lebih memudahkan para pemimpin tentara memainkan
peran-peran mereka semacam revolusi.9
7 Yahya A. Muhaimin, op. cit., hal. 22-23.
8 Salim Said, Genesis of Power, General Sudirman and The Indonesian Military in Politics: 1945-1949,
Singapura dan Jakarta: ISEAS dan Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal. 5.
9 Harold Crouch, op. cit,.hal. 22.


Para akademisi lulusan Belanda yang bertolak dari paham Barat
mengindoktrinasi agar tentara bersikap netral dalam politik, para pemimpin tentara
nonprofessional yang dilatih Jepang menganggap tidak perlu merasa enggan untuk
terlibat dalam dunia politik, sementara para pemuda yang memasuki kesatuan-keatuan
laskar sering pula menjadi anggota-anggota salah satu organisasi politik atau
organisasi yang lain. Dengan demikian, terdapat pemimipin-pemimpin korps
termasuk beberapa komandan yang berpandangan bahwa angkatan bersenjata adalah
alat Negara yang bersifat non-politik, sementara banyak pula yang merasa siap
memasuki gelanggang perpolitikan.
Hingga pada akhirnya, kejadian-kejadian antara tahun 1956 dan 1958 telah
memberikan pengaruh amat luas, baik terhadap system politik Indonesia secara
keseluruhan maupun peranan Angkatan Darat di dalamnya. Keadaan darurat perang
telah membuka jalan bagi perluasan yang cepat dari peranan tentara bukan saja di
bidang politik tetapi juga di bidang-bidang administrasi umum dan pengelolaan
ekonomi. Setelah membuktikan bahwa tentara adalah kekuatan yang tak mungkin
terelakkan dalam menghadapi krisis yang ditimbulkan oleh pemberontakkan,
pimpinan tentara telah menegaskan pula tuntutannya akan peran yang lebih kuat
dalam pemerintahan.
2.2. Tentara sebagai Kekuatan Politik 1945-1965

Tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan
militer.Para perwira beranggapan bahwa peranan mereka di bidang politik sesewaktu
diperlukan, tetapi mereka tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama di
tengah-tengah arena. Namun, sepadan dengan kelemahan kehidupan politik yang
disebabkan oleh system parlementer yang makin lama makin nyata, telah memperkuat
keyakinan di kalangan perwira-perwira militer bahwa mereka juga memiliki beban
tanggung jawab untuk campur tangan agar Negara dapat diselamatkan.10
Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada bulan April 1965, tentara
mencetuskan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata memiliki
peranan rangkap yaitu sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial politik”.
Sebagai “kekuatan sosial politik”, kegiatan-kegiatan tentara meliputi bidang-bidang
“ideology, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan keagamaan”.11
2.2.1. Masa Demokrasi Parlementer
Peristiwa 17 Oktober 1952 serta kejadian yang mengawali dan mengakhirinya,
mungkin dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang paling dapat menjelaskan awal
keterlibatan kembali tentara dalam percaturan politik pada masa ini. Pada saat itu
terjadi demonstrasi di gedung parlemen, demonstrasi dilakukan oleh sekitar 5000
orang dan kemudian bertambah sampai sekitar 30.000 orang[12]. Demonstrasi ini
kemudian bergerak ke istana presiden, dimana massa menuntut pembubaran parlemen
10 Harold Crouch. Militer dan Politik di Indonesia.(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hal. 21.

11 Angkatan Darat, 1965: Buku Induk, bab 3.

dan menggantinya dengan parlemen baru, serta menuntut segera dilaksanakannya
pemilihan umum.
Peristiwa ini dipicu oleh mosi Manai Sophiaan, Sekretaris Jenderal PNI, yang
diawali oleh serangkaian kegiatan politik di parlemen yang menurut penilaian TNI
telah mencampuri teknis militer. Mosi Manai Sophiaan bermula dari rencana TNI
untuk me-reorganisasi TNI menjadi tentara Indonesia yang profesional dan “to
transform the existing army into highly trained core army”[13]. Rencana ini disetujui
dan didukung oleh Menteri Hamengkubuwono, namun rencana demobilisasi ini
ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno yang pada bulan Juli 1952 kemudian
mendesak kepada Presiden Sukarno untuk mengganti Kepala Staf Angkatan Darat
Kolonel A.H. Nasution. Akibat konflik intern Angkatan Darat ini, Kolonel Bambang
Supeno kemudian dipecat.

Sementara itu, persoalan ini ternyata telah

menjadi sorotan parlemen Komisi Pertahanan sehingga akhirnya masalah ini menjadi
political issue, yang memancing munculnya serangkaian mosi di parlemen. Tanggal
28 September 1952, Zainal Baharuddin (Ketua Komisi Pertahanan), yang didukung
oleh Partai Murba, Partai Buruh, PRN dan PKI mengajukan mosi yang menyatakan
“tidak percaya dan tidak menerima policy yang dijalankan Menteri Pertahanan dalam
menyelesaikan konflik di dalam tubuh TNI dan meminta agar diadakan reformasi
serta reorganisasi pimpinan Kementrian Pertahanan serta pimpinan Militer”.
Berikutnya pada tanggal 13 Oktober 1952, I.J. Kasimo dari partai Katholik
mengajukan mosi yang merupakan counter motion dengan dukungan dari wakil-wakil
partai Masyumi, Parkindo dan Parindra, yang intinya berisikan kemungkinan
penyempurnaan struktur Kementrian Pertahanan dan struktur kemiliteran. Pada
tanggal 14 Oktober 1952 muncul mosi ketiga yang dimotori oleh Sekjen PNI, Manai
Sophiaan yang didukung oleh NU (Nahdlatul Ulama) dan PSII yang intinya agar
Panitia Negara memberikan saran “kemungkinan penyempurnaan pimpinan dan
organisasi Kementrian Pertahanan dan Kemiliteran”. Mosi Manai Sophiaan ini
memungkinkan dilakukannya pemecatan atau penggantian pimpinan-pimpinan militer
yang tidak disetujuinya, dan ternyata mosi ini mendapat dukungan yang diam-diam

12 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit
Gadjah Mada Press, 1982, hal 73.
13Lihat Herbert Feith, The Wilopo Cabinet…., hal 108.

dari Presiden Sukarno, yang melalui Mr. Ishaq dan Mr. Sunarjo mendesak agar
pimpinan PNI (Ali Sastroamidjojo dan Sartono) mendukung mosi tersebut[14].
Demonstrasi pagi tanggal 17 Oktober 1952 tersebut direncanakan oleh Markas
Besar Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Soetoko dan
Letnan Kolonel S. Parman akibat perasaan tidak puas dikalangan militer karena
urusannya dicampuri oleh orang non-militer. Pelaksanaannya saat itu diorganisir oleh
Kolonel Dr. Mustopo, Kepala Kedokteran Gigi Angkatan Darat dan Perwira
Penghubung Presiden, dan Mayor Kemal Idris, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi
Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar ibukota dengan
menggunakan kendaraan truk militer.
Pada waktu itu pasukan tank muncul di Lapangan Merdeka dengan moncong
meriam diarahkan ke Istana Presiden, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kemal Idris.
[15] Dalam gerakannya, para demonstran memasuki gedung parlemen sambil
berteriak: ”Ini peringatan! Ini peringatan!” dan mereka juga merusak alat-alat
perlengkapan parlemen.[16]
Pada hari itu juga, KSAD dan beberapa perwira senior TNI AD menghadap
Presiden. Para perwira tersebut terdiri atas para panglima tentara dan teritorium, serta
perwira di Mabes Angkatan Darat. Sebagai juru bicara saat itu adalah sang penggagas
ide demonstrasi, Deputy KSAD Kolonel Soetoko. Turut hadir dalam pertemuan
tersebut adalah Wakil Presiden, Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX yang didampingi KSAP Jenderal Mayor T.B.
Simatupang.[17] Dari pertemuan tersebut terungkap bahwa tentara (khususnya
Angkatan Darat) menganggap bahwa mosi Manai Sophiaan yang berisi tentang upaya
penyempurnaan organisasi kementrian pertahanan, dianggap telah melampaui batas
kewenangan DPRS dan melakukan intervensi politik yang merupakan kewenangan
teknis militer, sehingga delegasi mendesak Presiden untuk membubarkan parlemen
dan secepatnya mengadakan pemilu. Hal-hal tersebut di atas juga dianggap oleh A.H.
Nasution sebagai akibat dari terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap
masalah intern APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia)[18].
14 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit
Gadjah Mada Press, 1982, hal 72.
15 Sejarah Tentara Nasional Indonesia, Mabes TNI, Jilid Kedua, 2000, hal. 17
16 Dinas Sejarah Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, op. cit., hal. 580.
17 Drs. Saleh As’ad Djamhari, Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI 1945-sekarang, Markas Besar Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia-Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1995, hal. 83.
18Lihat hasil wawancara dengan A.H. Nasution, Juni 1985, dalam Buku Kedua Sejarah Tentara Nasional
Indonesia, Markas Besar TNI, 2000, hal. 24.

Bentuk campur tangan politisi sipil dalam rumah tangga militer, yang
dilakukan semasa demokrasi parlementer ini, telah menarik kembali tentara ke
panggung politik. Suka atau tidak suka, fakta sejarah menyatakan bahwa saat
otonomi tentara dalam mengatur dirinya sendiri diganggu serta diintervensi oleh
elemen politik sipil, ada kecenderungan tentara untuk kembali masuk dalam ajang
politik praktis untuk memperjuangkan hak-haknya mengatur rumah tangga sendiri.
Lebih daripada itu, campur tangan pihak sipil selalu mempunyai pengaruh penting
terhadap para perwira militer. Tindakan yang demikian biasanya dianggap sebagai
penghinaan terhadap profesionalisme prajurit dan citra diri para perwira dengan cara
menggantikan kriteria prestasi dengan kriteria politik, menimbulkan keraguan
terhadap identitas militer sebagai pesona yang netral dan bebas serta dihormati,
mengangkangi hierarki yang sudah baku, serta merusak kemampuan perwira didalam
mempertahankan kepentingan mereka bersama. Campur tangan sipil terhadap urusanurusan militer akan sangat menyakitkan bagi citra diri korps militer dan dapat menjadi
sumber utama bagi terjadinya kudeta berdarah[19]. Peristiwa 17 Oktober ini pada
akhirnya adalah merupakan manuver politik TNI [20] yang gagal, karena Presiden
Sukarno sampai akhir pertemuan dengan pimpinan TNI menolak untuk melakukan
tindakan diktator dengan membubarkan parlemen seperti yang diharapkan oleh TNI.
Namun peristiwa ini tidaklah hanya sampai disitu saja, masalah ini berekor panjang
dikemudian hari dan menjadi inspirasi bagi para pimpinan TNI untuk kembali ke
dalam gelanggang politik.
2.2.2. TNI-AD dan Jatuhnya Kabinet Ali
Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia Afrika digelar,
KSAD Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong oleh
ketidakmampuannya melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari
penyelesaian peristiwa 17 Oktober. Untuk menduduki jabatan tersebut, kabinet
berketetapan akan mengangkat salah satu perwira dari “kelompok anti 17 Oktober”
dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan TNI AD menjelang akhir
Mei menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD harus didasarkan pada
19 Eric A. Nordlinger, Soldiers in Politics: Military Coups and Government, Prentice-Hall,
Englewood Cliffs, New Jersey, 1977, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Militer dalam Politik,
Penerbit Rineka Cipta, 1990, hal 103.
20Lihat pembahasan peristiwa “17 Oktober” secara lengkap pada karangan Herbert Feith, The Wilopo
Cabinet…, hal 107-126. Louis Fischer pernah menanyakan juga peristiwa ini kepada Mayor Jenderal
A.H. Nasution pada tanggal 18 Mei 1958, dan Nasution dalam interview mengatakan, bahwa peristiwa
tersebut adalah sebagai half a coup, Lihat Louis Fischer, op. cit., hal 216 dan 289.

senioritas dan kecakapan sejalan dengan kepentingan militer.21Tetapi kemudian
kabinet Ali memutuskan untuk mengangkat Kolonel Bambang Utojo menjadi KSAD
yang baru, yang sebenarnya pada saat itu senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI
menolak keputusan tersebut, dan menganacam akan melakukan boycott terhadap
pengangkatan Bambang Utojo apabila tetap akan dilaksanakan.

Pada hari

pengangkatan Kolonel Bambang Utojo dengan suatu upacara pelantikan sebagai
KSAD, dengan pangkat Mayor Jenderal, Pimpinan TNI dan para perwira yang
diundang memboikotnya atas perintah Pejabat KSAD Zulkifli Lubis, dan Lubis
menolak untuk menyerahkan otoritasnya kepada Bambang Utojo.

Pemerintah

kemudian melalui menteri pertahanan Mr. Iwa Kusuma Sumantri atas instruksi dari
Presiden Sukarno bertindak dengan memecat Lubis dari segala jabatannya. Kolonel
Lubis tidak menggubris pemecatan itu dengan menyatakan bahwa dia didukung oleh
seluruh perwira Komandan Teritorium, serta seluruh pimpinan TNI. Akhirnya
timbullah polemik dimana para pimpinan TNI disatu pihak dan Pemerintah di pihak
yang lain tetap berkeras pada keputusan masing-masing. Sementara itu, ternyata
keputusan politik pemerintah terhadap TNI AD itu ditentang oleh partai-partai, dan
bahkan partai-partai pemerintah di Parlemen mengajukan mosi tidak percaya atas
keputusan tersebut, serta menuntut agar menteri-menterinya ditarik dari kabinet.
Hanya PNI dan PKI-lah yang tetap mendukung keputusan tersebut, dan menyuarakan
dalam media massa tentang adanya bahaya diktator militer.22
Karena masalah ini berlarut-larut, maka pada tanggal 13 Juli 1955, menteri
Iwa Kusuma Sumantri mengundurkan diri, sehingga mengakibatkan krisis politik
yang demikian hebat dan memaksa Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya
kembali kepada Pejabat Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 24 Juli
1955.23Walaupun apabila dilihat dari mekanisme sistem politik kabinet Ali jatuh
karena partai-partai politik dan parlemen, namun pada hakikatnya momentum
jatuhnya kabinet Ali adalah karena Angkatan Darat. Dan sejak saat itulah Angkatan
Darat secara de facto merupakan suatu kekuatan politik yang mulai aktif memainkan
peranannya.

21Lihat dokumen Piagam keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia dalam buku Sejarah Tentara
Nasional Indonesia, Jakarta, Mabes TNI, Buku Kedua, 1999.
22 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit
Gadjah Mada Press, 1982, hal 81.
23Pada saat itu Presiden Sukarno mengadakan perjalanan ke luar negeri, meninggalkan negara dalam
krisis politik yang hebat, dan Mohammad hatta selaku Wakil Presiden menjadi Pejabat Presiden.

2.2.3. Munculnya Militer sebagai Kekuatan Politik pada Masa Transisi 19571959
Profesor Finer berpendapat mengenai peranan politik yang mungkin dimiliki
oleh Militer, bahwa sekalipun militer memiliki political strenght, namun Militer
sebagai suatu institusi menderita political weakness yang lebih besar, yaitu bahwa
walaupun militer pada suatu ketika telah merupakan suatu kekuatan politik de facto
(political force), tetapi Militer dengan demikian saja masih selalu dalam keadaan
“tidak mempunyai kewibawaan untuk memerintah” atau lack of legitimacy.Hal ini
berarti, bahwa sekalipun Militer telah merupakan suatu kekuatan politik secara de
facto, tetapi kaum sipil tidak mau mengakui keadaan itu, dan kewibawaannya tidak
diakui kaum sipil.
Pada masa transisi di dalam kehidupan politik di Indonesia ini Tentara
Nasional Indonesia melalui Mayor Jenderal A. H. Nasution sebagai KSAD, menitik
beratkan tindakannya untuk mengurangi, dan bahkan untuk menghilangkan kerapuhan
politis yang merupakan kelemahan paling fundamentil yang ada pada TNI. Dan
Jenderal Nasution menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan legitimacy atau
“dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan non-militer dalam hal ini
peranan politik yang selama ini belum dimiliki TNI.
Pada bulan Oktober 1956, Presiden Sukarno menawarkan alternatif sistem
pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”, yang merupakan konsepsinya sendiri yang
kemudian pada tanggal 21 Pebruari 1957, Sukarno mengemukakan konsepnya
dihadapan pimpinan-pimpinan organisasi sipil dan militer di Istana Negara[ 24].
Usulan-usulan Sukarno dalam rangka pelaksanaan ide Demokrasi Terpimpin adalah
pertama, dibentuk kabinet baru yang mencakup semua partai besar – termasuk PKI,
kedua, dibentuk suatu badan penasehat tertinggi yang anggotanya terdiri dari seluruh
wakil golongan fungsionil di dalam masyarakat[ 25].

Akibat konsepsi yang

dilemparkan oleh Bung Karno tersebut, timbullah reaksi pro dan kontra yang luar
biasa dikalangan masyarakat dan terutama di kalangan partai-partai politik, sehingga
muncul polarisasi antara dua kekuatan yang pro Sukarno maupun yang kontra
Sukarno. Bahkan daerah-daerah sudah banyak yang kemudian semakin keras
24 Sampai di sini, tindakan Presiden Sukarno dengan tidak hanya mengundang partai politik, namun
juga mengundang pihak militer, menunjukkan kepada kita bahwa militer telah memiliki kekuatan
politik dikalangan pimpinan nasional lainnya, walaupun belum memiliki apa yang dinamakan S.E. Finer
Authority
25 Kabinet ini diusulkan bernama Kabinet Gotong Royong, dan badan penasehat yang dimaksud
oleh Sukarno, diusulkan bernama Dewan Nasional. Lihat “Konsepsi Bung Karno”, Penjuluh Agama:
“Disekitar Konsepsi Bung Karno”, Djakarta, 1957, hal 5-7.

menentang pemerintah pusat dan diantaranya menyatakan daerah kekuasaannya
dalam keadaan darurat perang[26]. Melihat pimpinan pusat TNI yang terus berdiam
diri sehubungan dengan gagasan politik Sukarno, hal bagi Sukarno menunjukkan
keinginan TNI secara tersirat untuk “mendapatkan lebih banyak porsi kekuasaan”.
Sehingga ketika Jenderal Nasution tidak berhasil mengkompromikan kaum daerah
dengan pusat, dan lalu mendesak Presiden Sukarno agar menyatakan seluruh wilayah
negara berlaku “keadaan darurat perang”, Sukarno-pun lalu mendesak Perdana
Menteri Ali, yang pada saat itu memng tidak mampu lagi menghadapi tantangan yang
ada, untuk menyetujui peraturan negara dalam keadaan darurat perang. Sehingga
pada tanggal 14 Maret 1957, sesaat sebelum Perdana Menteri Ali menyerahkan
mandatnya kembali kepada Presiden, dia menandatangani sebuah dekrit yang
menatakan “keadaan darurat perang” untuk seluruh negara. Pada hari itu juga
Presiden Sukarno mengumumkan Negara dalam keadaan darurat/bahaya perang, atau
S.O.B[27].
SOB inilah yang akhirnya memberikan dasar hukum legitimacy kepada
militer, untuk melakukan tindakan-tindakan non-militer khususnya tindakan politik.
Setelah kabinet Ali kedua jatuh, Presiden menunjuk Suwirjo untuk membentuk
kabinet, namun upaya inipun gagal sehingga akhirnya Sukarno menunjuk dirinya
sendiri sebagai “warganegara Sukarno” menjadi formatir guna membentuk suatu
kabinet darurat.

Sukarno berhasil membentuk kabinet dengan Ir. Djuanda

Kartawidjaja sebagai Perdana Menteri merangkap sebagai Menteri Pertahanan, dan
kabinet tersebut diberi nama Kabinet Kerja. Dalam proses pemilihan anggota Kabinet
Kerja tersebut, terlihat dengan kentara bahwa militer telah dijadikan landasan utama
oleh pemerintah, dengan mengurangi peranan partai-partai politik serta parlemen, dan
sebaliknya selaras dengan naiknya peranan politik Presiden dan Angkatan Darat[ 28].
26 Panglima Komando Daerah Militer VII, Letnan Kolonel Ventje Sumual yang membawahi
wilyah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku menyatakan tindakan menetapkan wilayahnya dalam
darurat perang adalah suatu gerakan yang dinamakannya “Perjuangan Semesta” (Permesta) , yang
tuntutannya hampir sama dengan gerakan para Panglima Militer di Sumatera, yaitu secara tersirat
mengharapkan agar Wakil Presiden Hatta dikembalikan pada fungsi pemerintahan yang dominan.
27 Keadaan Darurat Perang didasarkan pada statuta jaman Hindia Belanda yaitu Regeling op den Staat
van Oorlog en beleg atau berarti “Peraturan Negara dalam Bahaya dan Perang, yang lazimnya disingkat
SOB. Pasal 37 dari SOB itu antara lain memberikan kekuasaan kepada Militer untuk menyimpang dari
perundang-undngan yang ada guna mengambil suatu tindakan dalam suatu keadaan darurat yang
memaksa, apapun dan bagaimanapun macamnya itu; lihat Daniel S. Lev, The transition to Guided
Democracy: Indonesian Politics, 1957-1959, Monograph Series, Cornell Modern Indonesia Project,
Ithaca, New York, 1966,hal 15-16.
28 Lihat George McT. Kahin, “Indonesia,” dalam, George McT. Kahin (ed), Major Government of Asia,
Cornell University Press, N.Y., 1967, second edition, hal 644.

Dengan dasar SOB ini pula Kabinet Djuanda membentuk suatu Dewan Nasional,
yang keanggotaannya didasarkan pada golongan fungsionil, sehingga militer terutama
TNI-AD yang juga termasuk dalam golongan ini sangat mendukung adanya Dewan
Nasional. Sukarno beranggapan bahwa Dewan Nasional ini merefleksikan seluruh
masyarakat Indonesia berkedudukan lebih tinggi dari kabinet yang hanya mewakili
parlemen[29].
Atas dasar SOB ini Angkatan Darat yang dimotori oleh Jenderal Nasution,
lebih berkesempatan memasuki arena politik, dan berusaha merenggangkan hubungan
partai politik dengan kalangan fungsional yang merupakan inti perjuangannya.
Nasution mendirikan berbagai organisasi yang berlabelkan Badan Kerja Sama, seperti
BKS-PM (Badan Kerja Sama – Pemuda Militer), BKS-Bumil dan BKS-Tamil (Tani
Militer dan Buruh Militer), dll. Namun upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil
karena pada akhirnya hanya organisasi Veteran di bawah TNI saja yang tetap eksis.
Langkah selanjutnya TNI berhasil membentuk organisasi Front Nasional Pembebasan
Irian Barat (FNIB) yang berbasiskan “Badan Kerja Sama Sipil-Militer” itu.
Pemberontakan PRRI-Permesta yang dimotori oleh militer di daerah
merupakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijaksanaan politik pemerintah
pusat, namun pada akhirnya pemberontakan tersebut dapat dikuasai oleh TNI. Bagi
internal TNI sendiri hal tersebut membawa dua akibat yaitu pertama, tersingkirnya
beberapa perwira yang menurut Ahmad Yani adalah “perwira kelompok
radikal”.Kedua, TNI memiliki dan mendapatkan posisi yang lebih kuat di dalam
pemerintahan, ditambah dengan berlakunya SOB. Karena itu, setelah pemberontakan
PRRI-Permesta lumpuh, Angkatan Darat mengeluarkan dua pokok tujuan sehubungan
dengan peranan politik yang sedang diraihnya. Pertama, mengurangi peranan partai
politik seminimum mungkin; dan kedua, menjadikan peranan politik yang telah
dimiliki oleh TNI bersifat permanen, tidak bergantung pada SOB, yang justru sifatnya
hanya sementara, sehingga menjadi peranan politik yang memuaskan baik misi dan
ambisi kaum elite-TNI.
2.2.4. Politik setelah RI Kembali ke Undang Undang Dasar 1945
Selaras dengan dua tujuan yang telah ditetapkan pimpinan Angkatan Darat
sebelumnya,

Nasution

mengusulkan

kepada

Presiden

untuk

mengusahakan

mengurangi ketegangan diantara partai-partai politik, dan perlunya suatu peraturan
29 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit Gadjah Mada
University Press, 1982, hal 99.

yang membatasi jumlah partai. Kemudian kepada Dewan Nasional, Nasution juga
mengusulkan agar seluruh pegawai negeri dilarang memasuki suatu partai politik,
termasuk di dalamnya adalah anggota militer dan polisi. Sebagai implikasinya ia
mengusulkan agar wakil-wakil militer harus ditunjuk untuk duduk di parlemen, serta
badan-badan pemerintahan lainnya. Inilah yang merupakan hal kunci dari pemikiran
Nasution untuk mengurangi ketidakstabilan peranan politik TNI dan kemudian
memberikan kedudukan tetap dalam pemerintahan. Kunci pokok yang kedua,
menurut Nasution, berdasarkan pengalaman revolusi, Indonesia selalu membutuhkan
kepemimpinan yang secure dan stabil. Hal ini menurutnya hanya dicapai dengan
UUD 1945.

Kita dapat menganalisis tentang latar belakang pengusulan

diberlakukannya kembali UUD 1945 bagi TNI baik secara konstitusional maupun
secara politis. Pertama, dalam UUD 1945 ada pasal tertentu yang bisa ditafsirkan
guna membentuk golongan fungsional. Kedua, guna membubarkan Konstituante
yang dianggap suatu perang ideologi partai[ 30]. Terhadap usul-usul Nasution di
Dewan Nasional itu, sekalipun ada yang mendukung, namun sebagian besar menolak
dan tidak mau menerimanya.
Namun pada saat berikutnya, berawal dari pemberitaan pers yang berturutturut tentang beberapa kudeta militer di luar negeri, kemudian hingga Nasution
memberikan ceramahnya pada peringatan Hari Ulang Tahun Akademi Militer
Nasional di Magelang pada tanggal 12 Nopember 1958, yang oleh disebut pidato
“jalan tengah”[31], issue tentang wakil golongan fungsional gagasan Nasution itu
memperoleh kemajuan yang berarti.32Namun pidato middle way Nasution, sungguh
telah memberikan dampak psikologis yang menguntungkan bagi TNI, dimana
30 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Penerbit Gadjah Mada
University Press, 1982, hal 108.
31 Pidato “Jalan Tengah” Nasution pada intinya menyatakan bahwa TNI-AD tidak bisa mengikuti
tingkah laku kaum militer di Amerika Latin yang memainkan peranan politik secara langsung, tetapi
tidak pula akan merupakan suatu institusi yang pasif dalam politik sebagaimana militer di Eropa barat,
maka TNI-AD akan mencari “jalan tengah” diantara kedua jalan yang ekstrim tersebut. Nasution
menyatakan bahwa TNI harus diberi kesempatan untuk melakukan partisipasinya di dalam
pemerintahan, menentukan politik negara di berbagai bidang, sehingga TNI harus diberi juga tempat
di segala lembaga kenegaraan, tidak hanya dalam kabinet dan Dewan Nasional, seperti yang pada
waktu itu telah dilaksanakan, tetapi juga dalam Dewan Perancang Nasional, korps diplomatik,
parlemen, dan lain-lain badan pemerintahan. Apabila ini tidak dilaksanakan, Nasution mengancam,
bahwa tidak dapat dipertanggungjawabkan kemungkinan dilakukannya kekerasan oleh TNI guna
menghindari “diskriminasi” TNI oleh orang sipil.
32 Namun perlu diingat, bahwa sebenarnya sejak tahun 1945 pada saat konsep tentang golongan
fungsional untuk pertama kalinya diperkenalkan dalam UUD 1945, maka kaum militer Indonesia
sekali-kali tidaklah dimaksudkan dan tidak termasuk sebagai golongan fungsional. Golongan militer
sudah selayaknya berada di luar arena politik sebagaimana idealisme pemerintahan sipil.

memberikan pilihan yang sulit bagi Dewan Nasional: apakah TNI akan diberi
kesempatan, atau TNI akan dipaksa untuk “merebut” kesempatan itu. Akhirnya pada
sidang tanggal 21-23 Nopember 1958, Dewan Nasional menyetujui TNI diakui
sebagai golongan fungsional Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dewan
Nasional kemudian mengambil keputusan untuk kembali memakai UUD 1945
sebagai sistem pelaksanaan Demokrasi Terpimpin nantinya, dan keputusan ini lalu
diajukan kepada Kabinet Djuanda. Dan pada tanggal 19 Februari 1959, kabinet
dengan suara bulat menyetujui keputusan tersebut serta mengucapkan keputusan
kembali ke UUD 1945 di depan sidang pleno DPR pada tanggal 2 Maret 1959.
Ditambah dengan deadlock-nya Konstituante sejak bulan Februari 1959 dalam rangka
merumuskan serta memutuskan dasar negara, akhirnya dengan dukungan dari TNI
Presiden Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit yang antara lain
menyatakan pembubaran Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945 (setelah
UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi). Akhirnya, dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 ini dapat dikatakan bahwa tujuan yang terkandung dalam
peristiwa “17 Oktober” tercapai di sini.
2.3. Krisis Nasional 1965-1966 dan Benih Dominasi Politik Oleh Militer
Meletusnya peristiwa “Gerakan 30 September” pada tanggal 1 September
1965, merupakan suatu turning point dalam perkembangan politik nasional
Indonesia.Selama Republik Indonesia berdiri, kejadian ini adalah yang paling
mengancam eksistensi dan keutuhan Negara.Yang paling penting dalam hubungan ini
ialah bahwa krisis yang ditimbulkan oleh Gerakan 30 September telah menjadi
momentum yang membuka pintu selebar-lebarnya kepada TNI-AD untuk kemudian
memegang peranan politik dan pemerintahan.
2.3.1. Kudeta Berdarah dan PKI
Menjelang fajar tanggal 1 Oktober 1965, enam orang perwira tinggi dari
Pimpinan TNI-AD diculik dan kemudian dibunuh dalam suatu suasana “pesta para
harum bunga" di Lubang Buaya, di daerah dalam kompleks Pangkalan Udara AURI
Halim Perdana Kusuma.33
PASUKAN Bimassakti yang dipimpin Kapten Suradi telah menguasai pusat
jaringan komunikasi dan siaran pusat (RRI) Radio Republik Indonesia, pada tanggal 1
Oktober pukul 7.20.RRI menyiarkan tentang telah dilaksanakannya suatu gerakan
33John Hughes, Indonesia Upheaval.(New York: David Mc-Kay Company, Inc., 1967), hal. 27-56.

bernama “Gerakan 30 September” di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung,
Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Pribadi Presiden
Soekarno.
Pada pukul 14.00, RRI menyiarkan “Dekrit No. I” yang pokok isinya adalah:
(1) telah dilakukan pembersihan di Jakarta oleh Gerakan 30 September terhadap
anggota Dewan Jenderal yang merencanakan akan melakukan kudeta menjelang 5
Oktober, dan beberapa orang jenderal telah ditangkap oleh “Gerakan 30 September”,
serta kekuasaan sepenuhnya berada di dalam tangan gerakan; (2) GERAKAN 30
September adalah gerakan dalam tubuh angkatan darat; (3) oleh Pimpinan Gerakan 30
September segera akan dibentuk suatu Dewan Revolusi Indonesia yang merupakan
sumber daripada segala kekuasaan di dalam Negara Republik Indonesia; (4) Kabinet
Dwikora – yang dipimpin Presiden Soekarno – dinyatakan demisioner dengan
sendirinya.34
Tidak lama setelah Gerakan 30 September dilancarkan, Aidit kemudian
tertangkap di Surakarta. Sebelum ditembak mati, D.N. Aidit menerangkan, bahwa
pelaksanaan kudeta itu memang dipersiapkan PKI, namun sebenarnya baru akan
dilancarkan pada tahun 1970. Menurut pengakuan Aidit, rencana PKI untuk
melakukan kudeta itu dilakukan terlalu tergesa-gesa sebab rencan itu telah bocor dan
sampai diketahui oleh Angkatan Darat.35
2.3.2. Tampilnya Jenderal Soeharto sebagai Figure-Head TNI-AD
Pergolakan yang ditimbulkan oleh “Gerakan 30 September”

etlah

menampilkan seorang Jenderal yang sebelum meletusnya peristiwa itu kurang dikenal
dalam percaturan politik di Indonesia, seorang Jenderal yang hampir sepenuhnya
memainkan kecakapannya di bidang militer; Mayor Jenderal Soeharto.
2.3.3. Gerakan 30 September Digagalkan
Ada dua factor pokok yang menggagalkan

kudeta

“Gerakan

30

September”.Pertama, anak buah Letnan Kolonel Untung tidak berhasil menculik dan
membinasakan Jenderal A.H. Nasution.Nasution adalah seorang perwira senior yang
masih bertugas aktif dalam bidang militer dan berpengalaman dalam memimpin
strategi gerilya, yang justru telah pula memimpin TNI, Angkatan Darat khususnya
dalam memasuki arena percaturan politk.
34 Pusat Kehakiman AD (AHM-PTHM). G-30-S di Hadapan Mahmillub: Perkara Untung.(Jakarta,
1996).Hal. 4-6.
35 John Hughes, op. cit,.hal. 168-172.

Factor kedua, para perencana dan pimpinan

“Gerakan 30 September”

mengabaikan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (KOSTRAD) untuk sekurang-kurangnya dinetralisasikan lebih
dahulu sebelum kudeta dilancarkan. Soeharto adalah seorang nasionalis yang kuat
serta setia kepada Jenderal Ahmad Yani serta Nasution yang anti-komunis.Soeharto
memegang komando pasukan KOSTRAD yang memiliki pasukan tempur yang amat
ampuh serta unit-unit pasukan lapis baja yang sangat kuat, yang kesemuanya dapat
bergerak secara bebas dari Staf Umum Angkatan Darat.
2.4. Surat Perintah 11 Maret
Pengumuman Preisden Soekarno mengenai perubahan keanggotaan cabinet
merupakan puncak dari serangkaian tindakan sejak dua bulan terakhir untuk
menegakkan kembali kekuasaannya.Tindakannya memberhentikan Nasution dan
beberapa menteri yang pro-Angkatan Darat, lalu mengangkat kembali Subandrio dan
lain-lain yang merupakan lawan utama pimpinan Angkatan Darat.Hal ini
menunjukkan bahwa Presiden tidak berniat untuk menerima tuntutan Angkatan Darat
untuk peran dominan dalam pemerintahan. Pengangkatan menteri pertahanan dan
keamanan member indikasi bahwa ia akan mengisolasi pimpinan Angkatan Darat
dengan harapan baha Soeharto akan menerima kdudukan sebagai bawahan.
Soeharto menyadari semakn merenggangnya keterikatan para pendukung
presiden dalam kalangan Angkatan Darat, dan merupakan obsesi baginya untuk
menghindari tindakan terlalu awal yang dapat membalikkan situasi, menjadikan
perwira-perwira pro-Soekarno merasa perlu untuk menyatakan berpihak kepada
presiden melaan pimpinan Angkatan Darat. Jalan yang dipilih yakni member restu
kepada sekelompok perwira yang sangat anti-Soekarno yang member dukungan
kepada para mahasiswa untuk menciptakan suasan anarkis di ibu kota. Setelah situasi
mulai tidak terkendali, presiden merasa perlumeminta bantuan Soeharto yang
dianggap moderat untuk memulihkan keamanan daripada membiarkan sekelompok
tentara yang ekstrim mendapatkan kemenangan.
Pada

tanggal

11

Maret

sidang

cabinet

lengkap

berlangsung

di

Jakarta.Mahasiswa kembali turun ke jalan menghalangi lalu lintas, walaupun ada
gangguan tersebut, semua menteri dapat hadir.Namun Soeharto tidak menghadiri
pertemuan tersebut dikarenakan sakit tenggorokan ringan. Saat pertemuan
berlangsung, sebuah nota yang bertuliskan bahwa sekelompk pasukan tak dikenal

telah mengepung depan istana, telah diberikan kepada presiden melalui ajudannya.
Mengetahui hal tersebut, presiden, Subandrio dan Chaerul Saleh pergi meninggalkan
istana menggunakan helicopter.
Mengetahui hal tersebut, Soeharto memerintahkan Amir Machmud, Mayor
Jenderal Mohamad Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar) dan Mayor Jenderal Basuki
Rachmat (Menteri Urusan Veteran dan Demobilisasi) untuk menemui Presiden
Soekarno. Dari hasil pembicaraan tersebut, terdapat hasil berupa “Surat Perintah
Sebelas Maret”, dimana presiden mengintruksikan Soeharto untuk “mengambil segala
tindakan yang dianggapnya pelu demi menjamin keamanan, ketenangan dan stabilitas
pemerintahan dan revolusi, serta juga menjamin keselamatan pribadi serta
kewibawaan Presiden/ Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris
MPRS demi Kesatuan Republik Indonesiadan untuk meneruskan segala ajaran
Pemimpin Besar Revolusi”. Dan hal itu kemudian dikenal dengan “Supersemar”.
2.5. Pengebirian Partai-Partai Politik
Munculnya Angkatan Darat ke posisi dominan yang tak tertandingi dalam
pemerintahan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sebagian
besar lainnya menerima hal itu sebagai hal yang tak terhindarkan.Pemerintahan
Angkatan Darat bermaksud menjamin iklim politik yang lebih stabil.
Walaupun Angkatan Darat memperketat penguasaannya atas pemerintahan
pada tahun 1966-1967, partai-partai politik tetap mewakili kekuatan-kekuatan yang
sesungguhnya dalam masyarakat.terlepas dari peranan yang semakin kecil dari partaipartai non-komunis di dalam percaturan politik di Jakarta pada masa Demokrasi
Terpimpin, massa di pedesaan tetap menganggap diri anggota salah satu partai politik.
Pemimpin-pemimpin Angkatan Darat kemudian memperbaiki strateginya
terhadap partai-partai politik dalam pertengahan tahun 1967, yakni mereka tidak
terlampau memperhatikan pembersihan parta-partai dari pendukung Orde Lama, tapi
lebih sibuk menggalang basis kerja samadi mana partai-partai tidak akan menentang
peranan utama Angkatan Darat.
Penasihat-penasihat presiden Soeharto agak ragu-ragu dan merasa tidak
pastitentang diadakannya pemilihan umum pada tahun 1971 seperti yang
direncanakan MPRS, dan presiden tidak menjelaskan kepada pemimpin-pemimpin
partai apakah pemilihan akan benar-benar dilaksanakan, sampai bulan Oktober 1969.

Dalam memutuskan untuk melanjutkan pemilu, pemerintah menerima
pandangan bahwa hasil pemilu hanya akan memperkuat status quo parlemen yang
kira-kira 60 persen dari kursinya diduduki oleh wakil-wakil partai. Walaupun
pemerintah merencanakan untuk mengembangkan Sekretariat Bersama Golongan
Karya, pemerintah tidak telalu berharap dapat menciptakan mesin pemilihan yang
benar-benar dapat menyusutkan art-arti pemerintahan yang telah mapan.
Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemrintah dan Angkatan Darat untuk
memperkuat Golkarternyata lebih efektif dari perkiraan semula.Pada tanggal 5 Juli
1975, Golkar mencatat kemenangan yang meyakinkan, memenangkan 62,8% suara
yaitu 236 dari kursiyang diperebutkan, sehingga memberikan mayoritas luar biasa
dalam DPR bagi pemerintah. Kemenangan Golkar secara drastic telah mengurangi
kemampuan beroposisidari organisasi-organisasi sipil terhadap regim tentara.
Terlepas dari keberhasilan dalam pemilu, Golkar pada dasarnya adalah hasil
ciptaan para penguasa militer dan tidak dapat dipisahkan identitasnya dari mereka.
Golkar yang tidak berlandaskan suatu organisasi partai dan tidak memiliki akar sama
sekali di masyarakat, adalah sebuah federasi yang majemuk yang dimobilisasi pihak
tentara secara temporer dengan maksud untuk melemahkan kedudukan partai-partai
politik.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Angkatan Darat Indonesia berbeda dengan Angkatan Darat pada umumnya
yang telah merebut kekuasaan politik, karena tidak pernah sebelumnya menganggap
diri sebagai suatu organisasi yang tidak berpolitik. Dari awal sejarahnya dalam tahun
1945 sebagai tentara gerilya yang memerangi kembalinya kekuasaan penjajah
Belanda sampai konsolidasi kekuasaan politiknya di bawah Orde Baru, para perwira
Angkatan Darat Indonesia senantiasa melibatkan dirinya ke dalam masalah-masalah
politik dan hampir sepanjang masa itu dengan giat memainkan peran politik yang
penting.
Walaupun kekuasaan militer terhadap pemerintahan nampaknya tak
tertandingi, namun tampak adanya tanda-tanda bahwa posisi kelompok jenderaljenderal “politik” dan “uang” semakin tidak mantap. Apabila jenderal-jenderal
Angkatan 1945 yang telah berjuang telah mencapai usia pension, suatu generasi baru
dari pe