MODEL INTEGRASI SAINS DAN ISLAM SEYYED H

MODEL INTEGRASI SAINS DAN ISLAM SEYYED HOSSEIN NASR:
PENDEKATAN KOSMOLOGI ISLAM TERHADAP
KRISIS EKOLOGI MODERN
Oleh: Selvia Santi
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
silvi.humaniora@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini akan membahas mengenai pemikiran seorang tokoh filosof Islam di
masa kontemporer, Seyyed Hossein Nasr. Sebagai seorang pemikir Nasr
merupakan salah satu tokoh Islam yang menguasai sains yang berkembang di
abad ini, dasar keilmuannya yang banyak meneliti sains secara murni menjadi
salah satu alasan yang tepat untuk melihat bagaimana prinsip sains modern
berkembang dari perspektif pengkajinya secara langsung, disisi lain latar belakang
keilmuan keislaman yang ia miliki menjadi identitas yang jelas akan jati diri
sebagai seorang muslim. Atas dasar bidang keilmuannya tersebut Nasr mendapati
permasalahan-permasalahan yang dialami oleh sebagian besar wilayah barat
sebagai konsekuensi penerapan prinsip sains yang hanya berfokus pada sisi
fisiknya belaka, untuk itu Nasr berusaha menguraikan permasalahan tersebut
dengan mengulas kembali tradisi-tradisi luhur yang diwariskan agama dalam
memandang agama sebagai sebuah kesatuan antara aspek fisik dan non fisik. Oleh

karena itu, Nasr kemudian merumuskan sebuah model integrasi sains dan Islam
pada beberapa aspek, dalam pembahasan kali ini aspek yang ditawarkan Nasr
yaitu dengan pendekatan Kosmologi Islam, sebuah konsep kosmologi yang tak
memilah dan membedakan antara kosmologi yang dikaji secara fisik dengan
metafisik, terlebih arah yang akan menuntunnya lebih pada harmonisasi antara
prinsip fisik dengan non fisik. Solusi inilah yang Nasr tawarkan untuk para pegiat
pengkaji krisis ekologi dengan identitas muslim utamanya.
Kata kunci : Integrasi, Sains, Agama, Kosmologi Islam, Krisis Ekologi.
Abstract
This study will discuss the thoughts of a contemporary Islamic philosopher,
Seyyed Hossein Nasr. As a thinker Nasr is one of the leading figures of Islam who
mastered the science that developed in this century, the scientific foundation of
many pure science is one of the best reasons to see how the principles of modern
1

science evolved from the perspective of the study directly, on the other hand the
background of scholarship the Islam he possesses becomes a clear identity of
identity as a Muslim. On the basis of his scientific field Nasr found the problems
experienced by most of the western region as a consequence of the application of
the principle of science that only focuses on the physical side alone, for that Nasr

trying to describe the problem by reviewing the noble traditions inherited religion
in view of religion as a unity between physical and non-physical aspects.
Therefore, Nasr then formulated a model of integration of science and Islam in
several aspects, in this discussion Nasr offered the aspect of the approach of
Islamic Cosmology, a cosmological concept that does not sort and distinguish
between cosmology which is studied physically with metaphysics, which will lead
to more harmony between physical and non-physical principles. It is this solution
that Nasr offers to ecologist ecological crisis strategists with its main Muslim
identity.
Keywords: Integration, Science, Religion, Islamic Cosmology, Ecological Crisis

A. Pendahuluan
Integrasi agama dan sains merupakan sebuah isu global, tidak hanya dalam
wilayah dunia Islam, dalam tradisi agama lain, terutama agama Kristen, sebuah
model integrasi agama dan sains telah dikaji secara sistematis dan menghasilkan
teori perjumpaan antara keduanya, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh
ilmuan sekaligus agamawan, Ian G Barbour. Dengan sistematis ia merumuskan 4
tipologi pertemuan antara agama dan sains, diantaranya konflik, independen,
dialog dan integrasi.1
Dalam 4 tipologi ini Ian menjelaskan bahwa antara sains dan agama

berjumpa dalam sebuah relasi atau hubungan yang terkadang menuai konflik,
1 Ian G Barbour, Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama terj. E.R Muhammad
(Bandung: Mizan, 2002), p. 22

2

namun disisi lain Ian melihat hubungan keduanya meskipun secara kesejarahan
terlibat permusuhan namun pada tataran tertentu mereka memiliki domainnya
masing-masing yang tak bisa di campur adukkan antara kepentingan domain
agama dan domain sains, berlanjut pada tipologi berikutnya, yaitu dialog, setelah
ia mengategorikan sains dan agama dalam ranahnya masing-masing, Ian melihat
dari sisi tersebut ada suatu perjumpaan yang menghasilkan pertemuan yang
membimbing sains dan agama ke arah dialog. Dan yang terakhir, tiplogi integrasi,
dalam tipologi ini Ian menghendaki kedekatan antara sains dan agama yang tidak
hanya bersifat semu, namun dapat dengan benar berintegrasi sehingga
menghasilkan sebuah kajian yang lebih produktif untuk kalangan agamawan
sekaligus ilmuan.
Dari pemikiran tokoh Kristen, setidaknya model integrasi tersebut yang
dipakai oleh para pemikir Kristen dalam melihat pola hubungan sains dan agama,
selain itu sarjana barat yang memang mengajinya banyak menjadikan tipologi

integrasi Barbour sebagai role model. Tak kalah menarik dengan apa yang terjadi
di dunia barat, dalam dunia Islam, memiliki latarbelakang sejarah integrasi agama
dan sains yang agak berbeda, sains dan agama dalam pandangan Islam bukanlah
hal terpisah yang berjalan sendiri-sendiri. Sains dan agama merupakan hal yang
padu, dilihat dari permukaan, wajah Islam yang ditampilkan dalam keragaman
paham didalamnya tampak menyetujui akan kesatuan sains dan agama, namun
jika diselami lagi ke dalam terdapat beberapa kerancuan dalam memaknai

3

integrasi sains dan agama, diantaranya ada yang menilai integrasi berarti
penyatuan dua wilayah tersebut secara definitif, kemudian ada yang menilai
penyatuan antara keduanya berarti memandang adanya kebenaran wahyu qur’an
oleh karena tebukti secara saintis dan dapat di buktikan. Selain itu adapula yang
mengolah integrasi agama dan sains dalam sebuah bentuk nyata terwujudnya
sekolah yang semula berbasis sekuler kemudian di integrasikan dengan
pendidikan agama.
Dan yang mungkin terakhir yaitu proses integrasi sains dan agama yang
lebih mengarah kepada harmonisasi kerangka sains global dengan nilai-nilai
esensial agama. Pada pola integrasi inilah yang menurut penulis, pemikiran tokoh

ini berada, Seyyed Hossein Nasr yang dikenal sebagai seorang filosof perennialis
yang secara tekun menggeluti bidang sains dan agama yang kemudian
direkonstruksi dalam sebuah model integrasi yang bernuansa mistik-filosofis.
Pada pembahasan ini pemikiran Nasr terhadap integrasi sains akan diarahkan pada
pendekatan kosmologi Islam yang diterapkan dalam permasalahan ekologi
modern. Pada bagian pembahasan didalamnya akan mengkaji pemikiran Nasr
kedalam beberapa aspek, diantaranya yang pertama jenis model integrasi sains
Seyyed Hossein Nasr: Kosmologi Islam sebagai sebuah pendekatan, pemikiran
nasr terhadap wacana sains modern: teori evolusi Darwin dan etika lingkungan,
dan model integrasi sains dan Islam Seyyed Hossein Nasr: pendekatan kosmologi
Islam terhadap krisis ekologi modern

4

B. Biografi Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr seorang tokoh ilmuan sekalgus filosof dalam dunia
Islam yang menguasai bidang-bidang keagamaan dan cabang sains yang jarang
dikuasai orang pada umumnya, yaitu bidang fisika dan paleontologi dari sebuah
universitas dengan peringkat pertama di dunia, Massacheusetts Institutte of
Technology. Nasr lahir di Iran, tepatnya di kota Teheran pada tanggal 7 april 1933.

Nasr bernasabkan keluarga yang ahli bidang keislaman, kakek buyutnya adalah
Syaikh yang disegani oleh masyarakat Iran, sedangkan ayahnya merupakan ahli
filsafat dan bahasa yang memiliki banyak jabatan penting di dunia akademik di
Iran.2
Selama masa hidup Nasr tidak hanya menetap di negara asalnya, ia
berpindah-pindah antara Iran dan Amerika Serikat. Pendidikan masa kecil Nasr
lewat cara formal dan non formal dengan berguru langsung kepada ahlinya.
Setelah selesai studi di negaranya ia melanjutkan berkuliah di MIT untuk gelar
sarjana dan master dibidang fisika, sedangkan gelar doktoralnya berasal dari
Harvard University.
Dalam proses pembelajarannya yang banyak dihabiskan di dunia barat,
Nasr banyak mendapat hal-hal baru yang menantang daya nalarnya atas kemajuan
sains dan teknologi dewasa ini, Nasr tak hanya memandang sains sebagai alat
2 Sayyed Hossein Nasr, In Search of The Sacred: A conversation with
Seyyed Hossein Nasr on his life and thought (California: ABC-CLIO,LLC,
2010), p. x.

5

dalam mewujudkan kehidupan dunia yang berbudaya lebih maju, lebih jauh ia

memandang bahwa sains yang dikembangkan dewasa ini memiliki akar peradaban
dan kesejarahan yang sangat dipengaruhi oleh nilai historis barat yang banyak
bertentangan dengan prisnsip Islam. Melihat fakta tersebut, Nasr kemudian
memberikan pemikirannya terhadap rekonstruksi sains yang dinilainya lebih
sesuai dengan dunia Islam.
Setelah lulus dari program doktoralnya, Nasr memutuskan untuk
bengembangkan karirnya di Amerika, ia pernah mengajar di beberapa kampus
kenamaan disana. Tercatat telah puluhan dan ratusan artikel telah ia hasilkan, ia
juga kerap mendapatkan penghargaan bergengsi di bidang hubungan sains dan
Islam, dan ia pun pernah mendapatkan penghargaan templeton prize.3
C. Kosmologi Islam sebagai pendekatan integrasi sains dan Islam
Dalam disertasinya, Nasr mengkaji bentuk integrasi sains dan Islam yang
mengarah pada masa kejayaan intelektual Islam, zaman ketika Islam mendapatkan
kejayaannya dengan tokoh filosof seperti Ibnu sina, Ibnu rusyd. Penelitian Nasr
ini kemudian diterbitkan oleh pihak Harvard University Press dan berjudul, An
Introduction to Islamic Cosmological Doctrines : conception of nature and
methods used for its study by the Ikhwan Al-Shafa, Al-Biruni and Ibn Sina.

3 Sayyed Hossein Nasr, In Search of The Sacred: A conversation with
Seyyed Hossein Nasr on his life and thought, p. 174.


6

Dalam buku yang diterbitkan tersebut, Nasr mengenalkan kosmologi sains
yang terwakili dalam pemikiran para tokoh Ikhwanul Shafa, Al-Biruni dan Ibnu
Sina. dari pemikiran ketiga tokoh ini, menurut Nasr kosmologi Islam akan
berkembang, pemilihan ketiga tokoh ini sebagai tokoh yang mengenalkan
kosmologi Islam karena pemikiran mereka akan menjadi sumber rujukan
kosmlogi Islam di masa yang akan datang, selain itu dari kosmologi dalam konsep
mereka juga mewakili pemikiran pada zamannya.4
Dalam bukunya tersebut, Nasr menerangkan tentang awal mula Islam
menghadapi berbagai pemikiran sains dan filsafat yang berkembang dan
bersumber dari berbagai tempat. Sikap Islam dalam menerima berbagai pemikiran
tersebut cukup terbuka, dan bahkan dalam beberapa masa pemerintahan di zaman
Abasyiyah, ilmu pengetahuan yang bersumber dari luar Islam tengah gencargencarnya dikaji, hal ini terlihat pada banyaknya buku-buku komentar terhadap
karya-karya filosof yunani, seperti aristoteles, phytagoras. Bentuk dukungan
pemerintah atas kemajuan ilmu juga terlihat lewat megahnya bait al-hikmah
sebagai pusat pengkajian serta penerjemahan karya-karya para pemikir dari
berbagai daerah. Pada masa ini, Islam menyerap ilmu-ilmu tersebut dan
mengintegrasikannya dengan pengajaran Islam.

Ketertarikan dunia Islam terhadap pemikiran-pemikiran luar tersebut
berlanjut hingga abad ke 4 dan 5, kali ini ilmu matematika dan juga ilmu alam
4 Seyyed Hossein Nasr, “An Introduction to Islamic Cosmological doctrines” in
http://ebooksclub.org_An_Introduction_to_cosmological_doctrines_copy, 2 November 2015.

7

menjadi fokus sentral atau menjadi bidang yang paling banyak dikaji. Cara
penerapan dalam mengkaji bidang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari pola atau
aturan sebagaimana yang diterapkan oleh sumber ilmu tersebut. Di masa-masa
inilah banyak melahirkan pemikir-pemikir cemerlang dunia Islam, seperti
Ikhwanul Shafa, Al-Biruni dan Ibnu Sina, yang mana pemikiran mereka
merangkumkan seluruh perspektif penting ilmu kosmologi dalam Islam. Untuk
mengetahui lebih jelasnya pemikiran masing-masing tokoh tersebut, berikut akan
diuraikan pemikiran serta signifikansi dari tiga tokoh diatas:
1. Ikhwan al-Shafa
Ikhwan Al-Shafa merupakan nama sebuah kelompok yang didalamnya
terdiri dari beberapa orang pemikir yang bermadzhabkan Syiah Ismailiyyah. Para
pemikir yang tergabung dalam kelompok ini mewakili pemikiran perspektif syiah
Ismaili. Kosmologi mereka lebih bernuansa pada kajian sufistik, sehingga

perkembangan selanjutnya lebih banyak disebar oleh para sufi.
Ikhwan Al-Shafa memiliki visi untuk mengembangkan kosmologi tidak
hanya berada pada tataran yang bersifat keilahian semata dengan pendekatan
metafisisnya, jauh lebih dari itu mereka ingin memahamkan konsep kosmologi
menjadi sebuah konsep umum yang dapat diajarkan pada sebuah wadah
pendidikan bagi orang umum.
Unsur metafisik yang sangat kental dalam teori-teori mereka ini, berprinsip
pada satu hal yaitu adanya keterhubungan antara kosmos atau alam semesta
8

dengan ketuhanan, pengkajian lebih mendalam tentang alam semseta menurtu
mereka merupakan salah satu langkah kedepan yang dapat diambil sebagai
seorang ilmuan dalam mengetahui realitas tuhan.

2. Al-Biruni
Al-Biruni merupakan seorang tokoh yang luar biasa, sebagai seorang saintis
dan juga filosof. Ia lahir di Khiva, di abad 973 M, kecintaannya pada bidang sains,
menjadikannya tak hanya ahli pada salah satu bidang, melainkan hamper seluruh
bidang yang berkaitan dengan perhitungan matematis dapat ia kuasai, seperti
halnya bidang astronomi. Tidak hanya itu, ia juga mengauasai kajian kesejarahan

dan kronologi. Adapun bidang lain yang ia kuasai yaitu, obat-batan, optik,
mineralogi dan farmakologi.
Pada kajian Nasr, Al-Biruni mewakili pemikiran kosmologi Islam
perspektif para pelajar dan penghimpun pengetahuan dalam dunia Islam, seperti
para ahli matematika dan astronomi. Perwakilan Al-Biruni dalam golongan
pemikir ini, merupakan suatu perlambang seorang ilmuan yang tak hanya dituntut
untuk memproduksi ilmu-ilmu alam namun juga menunjukkan bukti keshalihan
atau ketaatan mereka kepada tuhan disamping sebagai seorang ilmuan yang selalu
memakai pendekatan rasional dalam setiap penelitian atau observasinya.

9

Dalam memandang alam semesta, Al-Biruni memiliki pemikiran bahwa
semua alam semesta ini merupakan rancangan agung Tuhan, yang dengannya
menurut Al-Biruni manusia dapat mengkajinya dan mengobservasinya, tidak
hanya sebagai sebuah jalan untuk menuju pengetahuan atas alam semesta,
melainkan juga sebagai sebuah kewajiban bagi seorang yang beriman dengan
adanya tuhan.
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina atau yang lebih dikenal di dunia barat dengan sebutan Avicenna
lahir di dekat Bukhara di tahun 980 M. Ia lahir dari keluarga yang menganut
madzhab Ismaili, terlahir dari keluarga yang memilki andil dalam pemerintahan
membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi seorang yang terpelajar, proses
pembelajaran yang ia dapatkan biasanya langsung dari para ahli di bidangnya. Ia
belajar matematika, algoritma, literatur, hukum, teologi, qur’an, fisika, metafisika,
filsafat dan masih banyak yang lainnya yang kesemuanya dapat ia kuasai.
Dengan penguasaan hampir seluruh bidang keilmuan tersebut, tak
diragukan lagi kemampuannya dalam menganalisis permasalahan yang ada di
dalam bidang-bidang tersebut. Pemikiran Ibnu Sina terhadap kosmologi dalam
Islam sepertinya mewakili dari para pengkaji sains belakangan atau paling akhir
yang menyusun bidang kosmologi dalam Islam ke dalam suatu rumusan yang jauh
lebih sistematis dalam dua kerangka pembelajaran yang saling melengkapi,
menurut Nasr yaitu secara eksoteris dan esoteris.

10

Pada bentuk eksoteris atau secara formalnya, kajian kosmologi didekati
dengan cara sebagaimana berjalannya sekolah paripatetik sebagaimana yang
dilakukan oleh para neoplatonis. Peripatetik yang dimaksudkan oleh Ibnu Sina,
tidak hanya terpaku pada pola yang berjalan pada masa Aristotelian, melainkan
dipadukan dengan sentuhan Islam yaitu monoteistik dalam perspektif Islam. Pada
bentuk eksoterik ini, Ibnu Sina memasukkan kajian tentang alam semesta dengan
satu prinsip bahwa segala sesuatu yang ada akan kembali pada sumber yang satu.
Pada bentuk kedua, filsafat esoterik. Dalam bentuk ini nantinya akan mirip
dengan teosofi ishraqi, yang menganggap bahwa pengetahuan merupakan sebuah
proses yang akan mengubah seorang pengkaji alam menjadi seorang yang dapat
mengetahui hakikat terdalam dari pengetahuan yang akan menuntunnya pada
pengetahuan terhadap tuhan. Oleh karena banyak menyinggung tentang
permasalahan yang lebih mengarah pada penyingkapan alam semesta, maka
pendekatan ini akan lebih digunakan oleh para sufi.
Para pemikir yang telah diuraikan diatas, bagi Nasr telah cukup untuk
menggambarkan bagaimana pola pemikiran Islam dalam memandang ilmu
kosmologi atau yang lebih umum dalam memandang alam semesta lewat
kacamata sains yang mereka kembangkan lewat perspektif atau latarbelakang
Islam dengan konsep monoteistiknya.
Kesamaan pemikiran antara ketiga tokoh yang dikaji Nasr, tidak hanya
berdasar pada pendekatannya yang selalu mendasarkan pada perspektif Islam,

11

lebih jauh mereka juga memiliki kesepakatan dalam menilai bahwa penciptaan
dan pemeliharaan alam semesta secar konsisten dilakukan oleh sang pencipta atau
makhluknya yang ia perintahkan untuk ikut andil di dalamnya, seperti malaikat.
Sehingga dengan begitu terdapat keterkaitan yang erat antara keberadaan manusia
dengan alam lingkungan sekitarnya.
Dasar filsafat yang telah dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut
berlanjut pada pemikir-pemikir berikutnya seperti Ibnu Rusyd, sebagai seorang
dokter sekaligus filosof, Ibnu Rusyd juga dapat dijadikan sebuah model pemikiran
Islam masa klasik yang tidak hanya ahli di bidang sains namun juga menunjukkan
identitas keshalihan seorang muslim.5

D. Nasr dan wacana sains modern: teori evolusi Darwin dan etika
lingkungan
Pemikiran Nasr terhadap sains modern terlihat dalam karya-karyanya yang
sering mengkritik prinsip dasar sains dan teknologi modern yang menggunakan
teori Darwinian sebagai basisnya, secara ringkasnya, pemikiran Nasr terhadap dua
hal ini dapat dilihat dalam artikel jurnalnya yang berjudul The Spiritual and
Religious Dimensions of The Environmental Crisis.

5 Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam (Banjarmasin: Kafusari
Press, 2013), p. 314.

12

Dalam artikelnya tersebut Nasr menjelaskan krisis yang terjadi pada
manusia di Barat, mereka kehilangan prinsip dasar sudut pandang tradisi agama.
Tradisi agama yang mereka tinggalkan, mengandung tidak hanya nilai spiritualitas
namun juga mengatur kehidupan manusia serta ketersambungannya dengan alam
(kosmos). Contoh tradisi agama tersebut dapat dilihat dalam berbagai ajaran
agama, diantaranya pada china kuno, dikenal adanya Tao, dalam Hindu dan
Buddha dikenal adanya r’ta dan dhamma. Dalam Islam, dikenal adanya shariah
sebagai sebuah hukum tuhan yang mengatur alam. Semua ajaran agama tersebut,
tidak hanya mengatur kehidupan manusia namun juga mengatur alam semesta,
sehingga harmoni antara manusia dan alam menurut konsepsi ajaran agama dapat
terus berlangsung.6
Bagi orang-orang non barat, kehidupan mereka telah tertata dalam tatanan
kepercayaan agama yang beriringan antara kehidupannya dengan alam dan
kehidupannya secara spiritual dengan tuhan. Hal ini sebaliknya terjadi dalam
dunia barat yang tengah mengalami krisis spiritual dan berakibat pada krisis etika
lingkungan. Sebuah realitas tidak terlepas dari apa yang telah dijalani sejarah
barat yang cukup panjang dengan berbagai peristiwa tragis (dark ages) yang
memengaruhi pola pikir mereka dengan sistem rasionalitas hingga mencapai
kemajuan.7
6 Seyyed Hossein Nasr, “The Spiritual and Religious Dimensions of The
Environmental Crisis” in http://traditionalhikma.com/wp-content/uploads/2015/03/Thespiritual-andreligiousdimensions-of-the-environmental-crisis-Seyyed-Hossein-Nasr.pdf,
2
November 2015.
7 Moh Fauzan Januri & Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur-Barat (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), p. 26.

13

Berbagai usaha dijalankan oleh para saintis yang mengakui adanya krisis
lingkungan ini, beberapa diantara para saintis tersebut berargumen sebaiknya ada
satu jembatan yang dapat menghubungkan antara kemanusiaan dan sains, dalam
hal ini satu diantara saintis tersebut berargumen bahwa permasalahan tersebut
sebaiknya di dekati dengan pendekatan biologis, tepatnya biology yang
didasarkan pada teori evolusi Darwin.
Melihat fakta upaya para saintis tersebut, Nasr merasa langkah yang
mereka lakukan jelas tidak tepat, karena sebagai seorang saintis, Nasr mengetahui
dengan benar bagaimana teori Darwin tersebut dibentuk dan dikembangkan dalam
sebuah pola yang berlawanan dengan ajaran tradisional agama dan lebih
mengarah pada sudut pandang mekanistik. Selain itu bagi Nasr, teori evolusi
Darwin yang telah menjadi pondasi sains dan teknologi modern yang memiliki
konsep dasar atau pandangan alam seperti hukum rimba, dengan prinsipnya saling
makan dan memakan, dan akan selalu berlangsung sebagaiamana prinsip seleksi
alam, mereka yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi, sehingga
alam seperti sebuah pertarungan yang di dalamnya tak ada aturan yang mengatur
manusia secara harmonis.
Konsep sederhana “hukum rimba” yang diterapkan dalam manusia modern
di barat terlihat dalam penguasaan sains dan teknologi digunakan sebagai tameng
dan alat untuk mendapatkan kekuasaan diluar dari yang ia miliki. Untuk mendapat
kekuasaan dan dapat bertahan, maka manusia mendapatkan haknya untuk

14

menjalankan segala upaya tanpa memikirkan konsekuensi etika, spiritual dan
lingkungan. Konsep inilah yang membuat Nasr jelas tak setuju dengan teori
Evolusi terlebih untuk diaplikasikan lebih jauh untuk menjembatani hubungan
kemanusiaan

dan

sains.

Meskipun

dalam

dunia

barat

mereka

telah

mengembangkan dasar filosofis terhadap etika lingkungan, contohnya filsafat
proses, namun hal ini masih bergulir pada tataran filosofis dan belum terefleksi
secara sempurna dalam wajah sains dan agama.8
Kecenderungan akan dasar filosofis sains modern yang mekanistik ini
kemungkinan dapat menyebar pada orang-orang non barat karena kecenderungan
akan dibangunnya peradaban sains modern yang telah menyebar ke seluruh sudut
dunia. Namun menurut Nasr, bagi orang-orang non barat yang masih menganut
sistem kepercayaan agama dengan konsep pemahaman yang suci di alam.
E. Model Integrasi Sains dan Islam Seyyed Hossein Nasr: pendekatan
kosmologi Islam terhadap krisis ekologi modern
Sebelumnya telah dibahas mengenai sains dalam pandangan Nasr dari segi
kosmologi dan juga mengenai kritik Nasr terhadap krisis ekologi yang telah
terjadi pada masyarakat barat, untuk itu pada pembahasan ini akan diulas kembali
bagaimana argument Nasr terhadap krisis tersebut dari kacamata kosmologi Islam
yang berkembang di masa Ikhwan Al-shafa, Al-Biruni dan Ibnu Sina.

8 Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains (Bogor: pustaka
lentera antarnusa, 1989), p. 16

15

Krisis ekologi yang berkembang saat ini dihampir seluruh bagian dunia
yang disebabkan oleh pengabaian para pelaku pengembang sains dan teknologi
yang telah dibutakan dengan kepentingan-kepentingan politik negaranya masingmasing, latarbelakang ekonomi menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan sains,
dengan kuatnya faktor ekonomi secara langsung berpengaruh pada geopolitik
negara pemimpin sains yang tentunya akan menjadi kiblat bagi negara-negara
yang tengah berkembang. Sehingga akar krisis ekologi yang terjadi di dunia barat
nantinya akan menyebar dengan pola yang sama, negara-negara lain beranggapan
bahwa negara yang kuat secara ekonomi serta teknologi merupakan contoh ideal
yang harus dipanut, terkadang mereka tak memahami dengan benar konsep dasar
yang telah dibangun oleh orang-orang barat yang jika terlihat di permukaan
tengah berada pada masa adidayanya, namun jika lebih jauh ditelussuri, konsep
dasar kemajuan dan termasuk didalamnya sains yang mereka kembangkan
memiliki kecacatan yang akan terungkap diakhir kejayaan ketika mereka tengah
mengejar hal-hal fisik dan mengabaikan unsur-unsur non fisik diluarnya.
Konsep mekanistik pada orang-orang barat yang materialisme juga
tercermin pada pemikiran para saintis serta ilmuan lainnya yang secara tegas
menggunakan keahlian mereka untuk menyerang kepercayaan religius, tokoh
saintis tersebut diantaranya Francis Crick, Carl Sagan, Richard Dawkin, serta
beberapa tokoh lainnya.9
9 Keith Ward, Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu terj.Larasmoyo (Bandung: Mizan,
2002), p. 10

16

Untuk itu Nasr berpendapat diperlukan adanya pembongkaran secara
radikal apa yang telah menjadi ajaran baku para pengagum barat, sains mereka
yang didasarkan pada traumatis masa lalu yang panjang semenjak filsafat muncul
sebagai ilmu yang menyatu hingga pola filsafat yang bergerak menuju pembagian
ranah pembelajaran, kemudian masa silam yang dirasakan para saintis pada masa
kekuatan agama yang dogmatis, kebebasan mereka terkekang dengan dogma
hitam putih tanpa ada toleransi terhadap pembedaan, kemudian lagi berlanjut pada
masa kebangkitan sains semenjak revolusi industri, sehingga berkembang lagi
menjadi lebih terstruktur dengan landasan filosofis yang berbeda-beda sampai
sekarang pada pola yang lebih positifis dan mekanistis.
Nasr yang juga mengenal dengan baik peristiwa sejarah di Barat
mengungkapkan bahwa, pemahaman metafisika setidaknya dapat menjelaskan
fakta yang sering terlupakan bahwa masuk akalnya teori evolusi didasarkan pada
beberapa faktor non ilmiah akibat suasana filosofis umum di Eropa. Sehingga
pada dunia barat mngenal sebuah doktrin yang mengajarkan bahwa Tuhan
menciptakan dunia dan hukum-hukum alam, tetapi tidak lagi berperan dalam
fungsi selanjutnya, yang melepaskan tangan pencipta dari ciptaanNya dan
mereduksi realitas menjadi dua tingkatan, akal dan materi.10

10 Seyyed Hossein Nasr, “Evolusi: Sebuah Kemustahilan Metafisika”
dalam Osman Bakar, ed. Evolusi Ruhani: Kritik Perennialis atas Teori
Darwin terj. Eva Y Nukman (Bandung: Mizan, 1996), p. 63.

17

Atas dasar hal ini Nasr menginginkan adanya kesadaran oleh orang-orang
non barat yang masih memiliki nilai keagamaan yang kuat serta keterhubungan
spiritualitasnya yang masih kental terhadap tuhan dan juga sifat bijaknya terhadap
alam, merupakan sebuah tameng yang dapat membantu membendung pemikiran
luar yang tak sesuai dengan landasan kesejarahan dan yang telah tersekularisasi
tersebut agar dapat mengadaptasikan kemajuan zaman dengan filter dan sudut
pandang yang berbeda.
Seruan Nasr untuk kembali pada ajaran tradisional masing-masing
berdasar pada argumennya sebagai seorang filosof perennial yang menyetujui
pendapat Leibnisz, bahwa pada agama diluar Islam juga telah tertanam dan
dikembangkan sebuah konsep metafisis yang mengandung ajaran etika sebagai
tujuan akhir serta tentang yang transenden dan imanen dalam dunia yang
immemorial dan universal ini.11
Sebagaimana pada tradisi Islam, para saintis dan ilmuan lainnya Islam di
zaman Abbasyiyah, pada mulanya mereka mengkaji karya-karya filsafat yunani,
kegiatan menerjemahkan karya-karya tersebut menjadi proses dalam mempelajari
filsafat tersebut, kemudian memberikan komentar atas karya-karya mereka hingga
memberikan sebuah kemajuan-kemajuan baru, semua prosese tersebut dijalani
hingga mendapatkan hasil yang bervarian dari apa yang mereka pelajari dari
filsafat, mereka tidak menelan bulat apa yang dipelajari, lebih jauh mereka
11 Aldous Huxley, Filsafat Perennial (The Perennial Philosophy) , terj.
Ali Noer Zaman, (Yogyakarta: Qalam, 2001), p. 2.

18

mengadaptasikannya dalam prinsip-prinsip nilai keislaman serta nilai-nilai
kebijakan lain yang mereka peroleh dari berbagai macama tradisi agama dan
budaya namun tetap pada koridor Islam, meskipun mungkin ada yang berpendapat
bahwa tradisi keilmuan Islam hanya sebagai penyambung lidah dari apa yang
disampaikan oleh para filsuf, namun hal ini terbukti salah karena penelitian serta
penemuan yang luar biasa yang dihasilkan oleh para saintis muslim jelas
mengalami loncatan sejarah intektual yang tak terbayangkan sebelumnya.12
Oleh karena itu, Nasr ingin membangkitkan kembali semangat pengkajian
serta kesadaran akan masa gemilang dalam Islam ini untuk menunjukkan identitas
sebenarnya yang dimiliki muslim yang mana mereka disisi lain menjunjung
tinggia nilai profesionalitas dalam ranah keilmuan namun juga mendasarkan
semangat dan rasa keingintahuan mereka pada doktrin agama sehingga bagi
mereka menuntun sebuah ilmu adalah kewajiban bagi para penganut muslim,
kewajiban yang sama halnya dengan pelaksanaan shalat fardhu serta ibadah
lainnya.
Kosmologi Islam dalam hal ini menawarkan sebuah integrasi yang jelas,
mereka membedakan bidang atau aspek fisik dan non fisik bukan untuk
menghilangkan salah satu atau mengunggulkan salah satu, lebih jauh kosmologi
Islam yang mempelajari tentang angka-angka serta hal fisik lainnya tidak berjalan
sendiri-sendiri dengan kosmologi yang sifatnya metafisis yang menguraikan
12 Jonathan Lyons, The Great Bait Al-Hikmah: Kontribusi Islam dalam peradaban
dunia barat, terj. Maufur (Jakarta: Noura Books, 2013), p. 89.

19

makna dalam setiap benda alam yang ada, kosmologi ini jelas lebih
menghidupkan alam semesta yang dianggap secara fisik hanya sebagai objek
kajian, namun dalam aspek ini ia merupakan bagian dari kehidupan yang
memberikan pengaruh pada jalannya keteraturan alam. Nilai-nilai inilah yang
ingin dicapai Nasr, sebuah integrasi yang bukan berarti mencampur adukkan atau
sekadar pendefinisian namun lebih kepada menghubungkan kembali apa yang
terpisah dalam pikiran manusia modern tentang lingkungan dengan yang
dibaliknya, lebih jauh ia mengharmonisasikan kembali antara sains fisik dengan
kosmologi metafisik.
F. Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas mengenai pemikiran model
integrasi sains dan Islam sebagai landasan pendekatan kosmologi Islam terhadap
krisis ekologi modern, berikut beberapa hal yang dapat disimpulkan :
1. Seyyed Hossein Nasr mencoba untuk memberikan nuansa baru dalam
mendekati sains modern, salah satunya dengan adanya sebuah kajian
kosmologi Islam yang telah dikembangkan oleh para saintis seperti
Ikhwan Al-Shafa, Al-Biruni dan Ibnu Sina, ketiga tokoh tersebut menurut
Nasr dapat mewakili pemikiran Islam pada bidang kosmologi, mereka
mewakili pemikiran pihak saintis serta mistikus dalam memandang
kosmologi. Selain itu sikap konsistensi mereka dalam mengembangkan
kosmologi Islam yang berdasar prinsip Islam yang mengajak umatnya agar

20

senantiasa mengkaji alam semesta secara objektif atau dalam ranah saintis,
ajakan ini menurut para tokoh tersebut tidak hanya berupa anjuran
melainkan menjadi sebuah kewajiban layaknya kewajiban dalam
melaksanakn ibadah fardhu.
2. Pandangan serta kekhawatiran Nasr terhadap sains yang berkembang
didasarkan atas prinsip Darwinian berdampak pada krisis ekologi bagi
Nasr merupakan satu hal yang harus dihindari, karena teori evolusi Darwin
telah menjadi sebuah dasar yang tidak relevan dengan identitas negaranegara non barat yang masih sangat berpegang teguh pada nilai-nilai
keagamaan spiritual yang telah mengharmonisasi dalam setiap pola
tindakannya.
3. Kosmologi Islam menurut Nasr adalah sebuah kajian yang relevan serta
ideal dalam rangka membentuk pemikiran-pemikiran Darwinian yang
bersifat mekanistik serta sekularis yang telah mewabah di hamper seluruh
sudut bumi. Disisi lain bagi penganut agama non Islam ia menganjurkan
agar selalu berpegang teguh pada ajaran mereka masing-masing dan tidak
terpengaruh pada prinsip dasar perkembangan sain dan teknologi yang
telah melakukan banyak pengabaian dan menganggap realitas alam hanya
sebagai objek sumber dari kekuatan perekonomiannya. Pengkajian sains
harus lah tetap memperhatikan aspek non fisik dibaliknya, karena
kehidupan manusia tidak hanya berkutat pada hal-hal materiil tapi juga
non materiil, untuk itu bagi Nasr, tradisi-tradisi agama, terkhusus agama

21

Islam sangat ideal untuk melengkapi dan mengiringi kemajuan sains dan
teknologi modern.
REFERENSI
Barbour, Ian G.

Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama terj. E.R

Muhammad. Bandung: Mizan, 2002.
Hadariansyah. Pengantar Filsafat Islam. Banjarmasin: Kafusari
Press, 2013.

Huxley, Aldous. Filsafat Perennial (The Perennial Philosophy) ,
terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Januri, Moh Fauzan & Muhammad Alfan, Dialog Pemikiran Timur-Barat.
Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Lyons, Jonathan. The Great Bait Al-Hikmah: Kontribusi Islam dalam peradaban
dunia barat, terj. Maufur. Jakarta: Noura Books, 2013.
Nasr, Sayyed Hossein. In Search of The Sacred: A conversation
with Seyyed Hossein Nasr on his life and thought.
California: ABC-CLIO,LLC, 2010.
Nasr, Seyyed Hossein. “An Introduction to Islamic Cosmological doctrines”
dalam
http://ebooksclub.org_An_Introduction_to_cosmological_doctrines_copy,
diakses tanggal 2 November 2015.
Nasr, Seyyed Hossein. “The Spiritual and Religious Dimensions of The
Environmental
Crisis”dalamhttp://The_Spiritual_and_Religious_Dimensions_of_T
he_Environmental_Crisis, diakses pada 2 November 2015.

22

Nasr, Seyyed Hossein. “Evolusi: Sebuah Kemustahilan Metafisika”
dalam

Osman

Bakar,

ed.

Evolusi

Ruhani:

Kritik

Perennialis atas Teori Darwin terj. Eva Y Nukman.
Bandung: Mizan, 1996.

Nasution, Andi Hakim.

Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor:

pustaka lentera antarnusa, 1989.
Ward, Keith. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu terj.Larasmoyo. Bandung: Mizan,
2002.

23

24