KELEMBAGAAN DAN TATA PEMERINTAHAN KECAMA

KELEMBAGAAN DAN TATA PEMERINTAHAN KECAMATAN
DI ERA OTONOMI DAERAH
“ Makalah Tentang Implementasi, Permasalahan dan Rekomendasi Penguatan
Kelembagaan”

I.

Pendahuluan
Sejak dilaksanakannya otonomi daerah yakni dengan diberlakukannya Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan direvisi dengan Undang Undang 32 Tahun 2004 yang
memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Bupati sementara di sisi lain, secara
kelembagaan Pemerintah Kecamatan dimana Camat sebagai pimpinan dalam menjalankan
Tugas dan Fungsinya disamping yang telah diamanatkan didalam undang undang yakni
kewenangan atributif, Camat juga menerima pelimpahan kewenangan dari Bupati.Sesuai
amanat peraturan perundangan, Kecamatan menerima delegasi kewenangan dari
Bupati/WaliKota. Dari hasil kajian dari berbagai ahli dapat diketahui bahwa pada saat itu
sudah ada daerah-daerah yang telah melakukan pelimpahan kewenangan kepada Kecamatan,
walau hampir 90% belum menerima pelimpahan dari Bupati dan WaliKota selaku perangkat
daerah. Kini setelah beberapa tahun berselang, dengan adanya sederet permasalahan pada
awal perubahannya, maka penting untuk mengetahui efektivitas kelembagaan Kecamatan.
Jika pada kajian sebelumnya berfokus pada perubahan-perubahan yang terjadi pada

Kecamatan pada masa transisi, maka dengan berbagai perubahan tersebut seperti penataan
dalam strukturnya, dan pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota, timbul pertanyaan
apakah kelembagaan Kecamatan sekarang ini efektif dalam menjalankan tugas dan
fungsinya. Hal ini penting karena Kecamatan merupakan ujung tombak dalam pelayanan
masyarakat mengingat ia merupakan unit organisasi yang terdekat dengan masyarakat yang
dilayani oleh organisasi perangkat daerah.Perubahan kedudukan Kecamatan dari perangkat
dekonsentrasi menjadi perangkat desentralisasi masih mengandung dualisme. Pendekatan
kewilayahan sebagaimana dianut dalam UU No. 5 tahun 1974 sedikit banyak masih
mewarnai sehingga tuntutan seorang Camat tahu segala apa yang terjadi di wilayahnya masih
begitu kuat. Namun demikian tuntutan yang begitu kuat ini terbentur pada kedudukan
Kecamatan/Camat sebagai perangkat daerah yang tidak mempunyai kewenangan untuk
mengontrol segala hal yang ada di wilayahnya. Dualisme yang terjadi juga menjadi potensi
timbulnya masalah dan konflik antara Kecamatan dengan instansi pemerintah lain seperti
instansi vertikal dan organisasi perangkat daerah lainnya yang ada di tingkat
Kecamatan.Dengan berbagai gambaran tersebut diatas, dapat dikaji mengenai bagaimanakah
penataan kelembagaan Kecamatan saat ini dan apa permasalahan yang berkembang dalam
penataan tersebut, bagaimanakah efektivitas kelembagaan kecamatan saat ini, dan bagaimana
strategi meningkatkan efektivitas kelembagaan kecamatan. Dari rumusan tersebut, hasil yang
diharapkan dari kajian ini adalah tersusunnya suatu makalah yang berisi deskripsi penataan
kelembagaan kecamatan saat ini, deskripsi efektivitas kelembagaan kecamatan, dan

rekomendasi meningkatkan efektivitas kelembagaan Kecamatan.Kajian ini disusun
berdasarkan gambaran permasalahan yang terjadi di lingkup pemerintah kecamatan yang
menggambarkan keadaan obyek yang diteliti apa adanya sehingga bisa menjadi bahan
masukan dalam peningkatan efektivitas kelembagaan kecamatan.

II.

Kondisi ideal dan Faktual Kelembagaan Pemerintah Kecamatan.
a.

Kondisi Ideal dan Faktual Tentang Pelimpahan Kewenagan
Secara normative ideal, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan
peluang adanya pendelegasian kewenangan dari Bupati ke kecamatan untuk urusan
urusan tertentu sebagaimana yang tertuang dalam pasal 126 ayat 2. Pelimpahan
kewenangan tersebut selanjutnya akan memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi
Camat dan Kecamatan untuk mengoperasionalisasikan fungsi-fungsi yang harus
diperankannya. Namun dalam implementasinya, hingga saat ini belum dilaksanakan
amanat undang-undang tersebut. Masalah lain juga akan muncul jikalau pelimpahan
kewenangan ini telah dilaksanakan, apakah disertai dengan dukungan anggaran, SDM
dan sarana prasarana yang mencukupi, sehingga secara ringkas beberapa situasi yang

dihadapi oleh Camat diwilayah kewenangan yakni, bahwa kewenangan tetap berada di
tangan Bupati dan didistribusikan secara proporsional kepada dinas-dinas teknis sebagai
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pendukung organisasi pemerintahan kabupaten.
Camat atau pemerintah kecamatan tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan
fungsinya, sekalipun diwilayahnya ditemukan kekosongan intervensi dari dinas teknis,
karena kewenangan tersebut tidak dilimpahkan. Situasi yang juga dihadapi Camat dalam
kewenangan ini yaitu tidak adanya political will dari Bupati untuk mengalihkan sebagian
kewenangan dinas yang tidak efektif kepada Camat karena beragam alasan mengapa
pelimpahan kewenangan ini tidak dilaksanakan yang merentang dari alasan politis
praktis hingga alasan teknis seperti kelegowoan dinas dalam membagikan tugasnya ke
Kecamatan.

b. Kondisi Ideal dan Faktual tentang Penganggaran
Implementasi tentang sistim penganggaran dipemerintahan kecamatan atau
pendanaan bagi operasionalisasi fungsi-fungsi kecamatan. Selama ini penganggaran
pendanaan bagi SKPD berpedoman pada peraturan pemerintah yang memperoleh
penyusunan anggaran berbasis kinerja. Namun, khusus bagi Kecamatan yang dipakai
adalah plafonisasi atau anggaran dalam jumlah yang tetap sepanjang tahun dan kalaupun
ada penambahan, penambahannya juga tidak terlalu segnifikan betapapun ada kebutuhan
berkembang yang seharusnya dipenuhi. Artinya, sekalipun diwilayahnya ditemukan ada

kebutuhan pembangunan yang mendesak untuk segera dipenuhi, namun karena
ketiadaan kewenangan, maka Kecamatan tidak berhak untuk mengajukan pendanaan
bagi pemenuhan kebutuhan tersebut sekalipun permasalahan itu berada didepan mata.
Dari perfektif pendanaan pembangunan, Kecamatan dihadapkan pada posisi yang
serba sulit. Disatu sisi, segala persoalan secara kasat mata dihadapi oleh Camat secara
nyata, namun disisi lain, secara ilegal Kecamatan tidak memiliki kuasa untuk mengakses
dana. Artinya, Kecamatan tidak mampu mengubah keadaan tesebut karena tidak ada
alokasi anggaran yang sah sehingga yang dilakukan adalah membiarkan persoalan
berjalan tanpa penanganan.

c.

Kondisi Ideal dan Faktual tentang Insfrastruktur Penopang Keberfungsian Kecamatan
Sebuah kelembagaan pemerintahan yang efektif dan efesien selayaknya didukung
oleh adanya Insfratruktur berupa peralatan atau teknologi yang memadai. Dalam hal
dukungan institusi kecamatan dalam hal dukungan tekhnologi, institusi kecamatan
berada dalam hal yang sangat memperihatinkan. Hal ini disebabkan rentetan dari
ketiadaan kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan. Namun, sebenarnya selain
undang undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah patut juga diperhatikan
undang – undang no. 26 tahun 2007 tentang tata ruang. Dan undang – undang no. 5

tahun 2004 tentang perencanaan pembangunan daerah, disana sangat jelas tampak
betapa peran penting kecamatan sebagai elemen perencaan wilayah. Dijelaskan undang
– undang no. 26 tahun 2007 bahwa kecamatan secara idealnya memiliki kemampuan
untuk menyusun rencana detail tentang tata ruang. Roh pilosofi yang dibangun dalam
tata ruang tersebut adalah desentralisasi system perencanaan wilayah, dimana desa atau
wilayah pedesaan menjadi pusat bermulanya semua perencaaan wilayah. Dengan
tuntutan seperti ini, maka perencaan antara desa yang dikoordinasikan oleh camat
menjadi titik sangat menentukan bagi perencaan wilayah regional. Dengan tuntutan
peran kecamatan yang senantiasa berkembang dari hari ke hari, maka penguatan
kelengkapan fisik teknologi kecamatan menjadi kebutuhan mendesak yang harus
dipenuhi. Persoalannya lagi - lagi pada ketiadaan akses pada pendanaan yang
menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan perlengkapan kelembagaan tidak dapat
dicapai.

d. Kondisi Ideal dan Faktual tentang Sumber Daya Manusia.
persoalan SDM yang dihadapi oleh kecamatan cukup rumit. Kerumitan itu
disebabkan persoalan SDM bukan hanya soal sekedar menyangkut tingkat pendidikan
yang kurang mencukupi kebutuhan yang berkembang serta skill atau ability para
aparatnya yang tidak memenuhi perkembangan. Namun persoalan SDM lebih jauh dari
semua itu seperti kekosongan kemampuan kewirausahaan sosial yang selayaknya

dimiliki oleh Camat sebagai pejabat publik dengan fungsi kemasyarakatan yang melekat
erat padanya. Kemampuan ini selayaknya bisa ditunjukkan oleh Camat pada saat
Kecamatan menghadapi persoalan – persoalan kritis seperti konflik sosial yang kronis
atau persoalan kemiskinan maupun kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Camat
dan kecamatan kedepan dituntut untuk mampu menginflementasikan prinsip – prinsip
pembangunan yang berkelanjutan, partisipatif dan mengembangkan aksi komunikatif
dari pada sekedar memposisikan dirinya sebagai alat pengamanan kebijakan pemerintah.
Permasalahan SDM lainnya yakni standar moralitas yang minimal yang dapat menjamin
good governance prantice ditingkat kecamatan. Kebanyakan keluhan masyarakat yang
selama ini di layani oleh kecamatan sering kali berputar – putar pada isu instransparansi
dan akuntabilitas yang rendah atas dana pungutan yang ditarik oleh kecamatan pada saat
warga mengurus segala macam urusan kekecamatan. Dari hal ini pertanian yang harus
dijawab dalam penguatan kecamatan adalah bagaimana mengembangkan menganisme
yang bisa menjamin standar pelayanan kecamatan seraya tetap memenuhi kebutuhan

warga akan pelayanan public artinya SDM kecamatan kedepan sepantasnya responsive
dan memunuhi kualifikasi atas tuntutan tata pemerintahan yang baik.
Dari berbagai kondisi factual dan hal ideal yang telah digambarkan diatas, secara
kelembagaan kecamatan dalam pemerintahan daerah terlihat kondisi yang sangat lebar
dan rumit, dimana kondisi factual yang terjadi dilapangan tidak seperti kondisi ideal

yang diharapkan pemerintah kecamatan dalam menjalankan fungsi kelembagaannya.
III.

Rekomendasi Penguatan Kelembagaan Pemerintahan Kecamatan
Dengan sederet kondisi ideal dan faktual yang telah digambarkan sebelumnya, maka jika
kecamatan diharapkan tetap eksis dan justru dituntut untuk berperan lebih besar dari apa yang
berlangsung saat ini, maka beberapa langkah harus ditempuh secara sekaligus, yaitu :
1.
Tindakan dijalur strukturalisme – fungsional harus ditempuh. Langkahnya adalah
berupa penyusunan dan realisasi peraturan pemerintah (PP) tentang kecamatan secara segera.
PP tersebut berisi penegasan – penegasan tentang dimanakah “ruang bermain” kecamatan
dalam pemerintah daerah yang sesungguhnya. Dengan PP ini, maka amanat pasal 126 ayat 2
UU no. 32/2004 tentang pelimpahan kewenangan dari bupati kepada camat/kecamatan bisa
dioperasionalisasikan secara nyata. Dengan demikian political will pelimpahan kewenangan
dapat diwujudkan melalui instrument peraturan pemerintah.
2.
Paralel dengan upaya perwujudan PP tentang kecamatan, diperlukan juga upaya untuk
mendefiniskan secara baik dan jelas tentang kategori kewenangan bagi setiap kecamatan
dalam pemerintahan, pembangunan dan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.
Tidaklah bijaksana memberikan kewenangan dengan bobot yang sama dan rata kepada setiap

kecamatan, sementara fakta menunjukkan bahwa jenis persoalan, dimensi permasalahan, luas
wilayah, serta jumlah penduduk yang diurus oleh satu dan lain kecamatan berbeda – beda.
3.
Dari jalur governance, dilakukan penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia
(SDM) di aras kecamatan yang dilakukan secara sistematis, yang arasnya adalah perbesaran
kapasitas kelembagaan agar mampu “menangkap permasalahan dan mencari solusi” segera di
tingkat local. Dengan demikian, kecamatan akan bergerak dinamis dalam menjalankan tugas
dan fungsinya. Gairah kerja kecamatan sebagai SKPD bisa dirangsang melalui pendelegasian
urusan (kegiatan) yang sesuai dengan kebutuhan local (khas local). Oleh karenanya,
kecamatan sepantasnya diberikan peluang untuk menyusun usulan – usulan kegiatan teknis
yang rasional dan berkonsekuensi pada pendanaan berbasis kinerja seperti yang dilakukan
oleh SKPD lainnya (lihat PP No. 58 tahun tentang keuangan daerah khususnya pasal 36
tentang penyusunan anggaran berbasis kinerja bagi SKPD). Pengajuan kegiatan haruslah
khas local (strictly distinct) yang berada diluar jangkauan penanganan oleh instansi teknis
sektoral. Studi ini membuktikan terdapat banyak permasalahan di aras kecamatan yang harus
dipecahkan segera, sementara pemerintah kabupaten (atau bahkan pusat) tidak mampu
menanganinya. Ketidakmampuan pemerintah kabupatentuk merespons segera menanganinya.
Ketidakmampuan pemerintah kabupaten untuk merespons segera dan menangani setiap

masalah oleh persoalan organisasional yaitu seringkali permasalahan – permasalahan tersebut

berada di luar jangkauan tugas pokok dan fungsi dinas sektoral. Sebagai missal : masalah
resolusi konflik sumberdaya alam, perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam diatas desa
dan masyarakat, manajemen krisis bencana alam, fungsi ombudsman (saluran informasi) ata
segala keluhan dari desa yang harus disampaikan ke kabupaten, pengawasan pemanfaatan
sumberdaya alam, lalu – lintas manusia di daerah perbatasan antar Negara, dan sebagainya.
Dengan demikian, keberfungsian social kelembagaan institusi kecamtan akan meningkat
manakala institusi ini mampu menangani persoalan khas local dan menyelesaikan dengan
baik.
4.
Penguatan kelembagaan dan SDM kecamatan harus dimaknai sebagai proses investasi
kepemimpinan lokal jangka panjang, sehingga camat dan stafnya ke depan tidak sekedar
diharapkan mampu menjalankan fungsi koordinasi, fasilitasi, dan bantuan kepada pemerintah
kabupaten atau masalah dan mencari solusi khas lokal atas kebutuhan atau masalah yang
berkembang diwilayahnya. Dengan cara ini, maka camat tidak akan lagi menghadapi
sindroma “macan ompong” yang tidak dapat berbuat banyak di depan publiknya.
5.
Paralel dengan semua hal di atas, harus dilakukan pendekatan di jalur social
psikologikal yaitu mendidik masyarakat agar mengetahui benar – benar bahwa rejim
pemerintahan daerah telah berubah dak sebagaimana yang terdapat dimasa UU no. 5 tahun
1974 yang lalu dimana camat adalah penguasa tunggal kecamatan. Proses pembangunan

kesepahaman antara bupati dan masyarakat melalui sosialisasi tanpa henti, juga dilakukan
untuk memberikan pemahaman bahwa kecamatan bukanlah struktur pengembangan karir
aparat pemerintah yang professional. Hanya dengan demikian, maka innvovasi – innvovasi
kelembagaan akan terangsang untuk dilakukan oleh camat dan stafnya.