KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SEBAGAI DAS

1

GUGAT CERAI AKIBAT KDRT

A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan

hal

yang

sakral

bagi

manusia

yang

menjalaninya,tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah
keluarga yang harmonisyang dapat membentuk suasana bahagia menuju

terwujudnya ketenangan,kenyamanan bagi suami isteri serta anggota keluarga.
Islam dengan segala kesempurnanya memandang perkawinan adalah suatu
peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena Islam memandang
perkawinan merupakan kebutuhan dasar manusia, juga merupakan ikatan tali
suci atau merupakan perjanjian suciantara laki-laki dan perempuan. Di
samping itu perkawinan adalah merupakan sarana yang terbaik untuk
mewujudkan rasa kasih sayang sesama manusia daripadanya dapat diharapkan
untuk melestarikan proses historis keberadaan manusia dalam kehidupan di
dunia ini yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit kecil
sebagai dari kehidupan dalam masyarakat.1
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya;
2. Tiap-tiap perkawinan dapat dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam agama Islam perkawinan disebut “Nikah“ yang berarti melakukan akad
atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antar keduanya, dengan
dasar suka-sama, suka rela dan persetujuan bersama demi terwujudnya
keluarga (rumah tangga) bahagia, diridhoi oleh Allah SWT. 2 diluhat dari aspek
hukum perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengandung


tiga

karakter khusus, yaitu:3
1

Djamal Latief, H. M SH , Aneka Hukum Peceraian Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia
Hlm. 12
2
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan.(Yogyakarta:
Liberty,1986), Hal.15
3
Soemiyati, Hukum Perkainan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Lyberty Yogyakarta, Hlm
10

2

a. perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsure sukarela dari kedua
belah pihak;
b. kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan)yang mengikat persetujuan

itu saling mempunyai hak untuk memutuskan hal tersebut berdasarkajn
ketentuan yang ada dalam hukum-hukumnya;
c. persetujuan perkawinan itu mengandung batas-batas hukum mengenai
hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Namun, adakalanya perkawinan tidak berjalan dengan mulus dan
menimbulkan perceraian diantara suami istri. Perceraian adalah penghapusan
perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam
perkawinan4. Dalam istilah fikih perceraian perceraian dikenal dengan istilah
talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian.
Sedangkan furqah berarti bercerai yang merupakan lawan dari kata berkumpul.
5

Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud perceraian adalah putusnya

perkawinan antara suami dengan istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah
tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami dan setelah
sebelumnya dilakukan upaya perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua
belah pihak.6 Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada
perceraian tanpa diawali oleh pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan
merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.dalam semua
tradisi hukum baik civil law, common law, maupun Islamic law, perkawinan
merupakan kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi
antara seorang pria dan seorang wanitauntuk menjadi suami istri. Dalam hal
ini perkawinan selalu dipandang sebagai dasarbagi unit keluarga yang
mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan

4

5

6

Soebekti SH. Prof,Pokok-Pokok Hukum Perdata,.Cet XX1: PT Inter Massa, 1987, Hal. 247
Soemiyati, Hukum Perkawinan Dalam Islamdan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 , Liberty, Yogyakarta, 2004, Hlm. 103
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian Perkara Di
Lingkungan Peradilan Agama, Dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al Hikmah Dan DIT
BINBAPERA, Jakarta, No 52 Tahun XII, 2001, Hlm. 7


3

pembentukan peradaban.7
Salah satu penyebab perceraian adalah adanya Tindak kekerasan dalam
rumah tangga. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Menyatakan “ Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman

untuk

melakukan

perbuatan,

pemaksaan,

atau


perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Jadi
bentuk-bentuk kekerasan tersebutlah yang dapat memicu terjadinya perceraian.
Perceraian menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak yaitu suami
dan istri. Perceraian yang sah adalah perceraian yang telah mendapat putusan
dari hakim pengadilan negeri maupun pengadilan agama. Dewasa ini, tingkat
perceraian yang diakibatkan oleh gugat cerai sangat signifikan, terutama gugat
cerai yang diakibatkan oleh kekerasan dalam rumah tangga. Dalam makalah ini
penulis ingin mengupas masalah cerai gugat yang diakibatkan KDRT dan
akibat hukum dari peceraian itu sendiri.
B. Perumusan masalah
1. Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya KDRT sehingga
menyebabkan perceraian?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari perceraian disebabkan tindak kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT)?
3. Bagaimanakah Prosedur yang harus dilakukan para pihak yang ingin
melakukan perceraian?
C. Pembahasan

1. Faktor penyebab timbulnya KDRT sehingga menyebabkan perceraian
Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang menjadi dasar gugat adalah sebagai
berikut:

7

Rifyal Ka’bah, Permasalahan Dalam Perkawinan, Majalah Varia Peradilan, No 271 Juni 2008,
IKAHI, Jakarta, 2008 Hlm.. 7

4

a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruksi
sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat.
Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala
yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi
merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap
istrinya. Jika sudah demikian halnya maka ketimpangan hubungan
kekuasaan antara suami dan istri akan selalu menjadi akar dari perilaku

keras dalam rumah tangga.
b. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa
istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa
menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadanya ia tetap
enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi
kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini
dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada
istrinya.
c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan,

ataupun

kekecewaan

karena


tidak

dipenuhinya

keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri
dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus
diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
d. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena
merasa frustai tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi
tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang
1) Belum siap kawin

5

2) belum juga mempunyai keturunan, sehingga menyebabkan suami atau
istri merasa menyalahkan satu sama lain yang memicu pertengkaran

3)

yang menyebabkan perceraian;
Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang

mencukupi kebutuhan rumah tangga.
4) Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada
orang tua atau mertua. Dalam kasus ini biasanya suami mencari
pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain yang
berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya,
5)

memukulnya, membentaknya dan tindakan lain yang semacamnya.
Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban
suami istri. Istri biasanya berada pada posisi lemah karena kurangnya
pemahaman akan hokum oleh kaum perempuan terutama mereka yang
berada pada tingakt ekonomi lemah serta tingkat pendidikan yang
rendah, sehingga perempuan selalu disudutkan dan dijadikan kambing

hitam atas segala kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri.

2. Akibat hukum dari perceraian disebabkan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT)
Adanya perceraian membawa akibat terputusnya ikatan suami isteri. Apabila
dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa
akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak
secara bersama-sama lagi. Untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada
salah satu dari orang tua. Berkaitan dengan masalah pemeliharaan anak setelah
perceraian, di dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat
ketentuan yang mengatur hal ini. Adapun bunyi ketentuan Pasal 41 tersebut
adalah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak–
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anakanak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi
putusan.

6

b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab
pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat
melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan
bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan /atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas
isteri.
Dari ketentuan Pasal 41 diatas, dapat diketahui bahwa baik bapak
maupun ibu mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap pemeliharaan
anak meskipun telah bercerai. Dalam prakteknya, sehubungan dengan
pemeliharaan anak ini sering timbul masalah baru setelah perceraian, yaitu
orang yang bercerai memperebutkan hak pemeliharaan anaknya. Masalah
seperti ini sering membutuhkan waktu persidangan yang lama di Pengadilan,
karena masing-masing bapak dan ibu tidak mau mengalah, dalam hal demikian
biasanya hakim akan memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak yang masih
dibawah umur 12 tahun (belum Mumayyis) diserahkan kepada ibu, sedang hak
pemeliharaan anak untuk anak yang berumur 12 tahun dan/atau lebih
ditentukan berdasarkan pilihan anak sendiri, ingin dipelihara ibu atau
dipelihara bapaknya. Namun demikian ada pengecualian terhadap hal ini, yaitu
jika anak yang masih di bawah umur 12 tahun sudah dapat memilih, maka anak
disuruh memilih sendiri untuk dipelihara ibu atau bapaknya. pada dasarnya
ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
menentukan kewajiban yang sama bagi orang tua yang bercerai untuk
memelihara anaknya, hal mana yang justru sering menimbulkan persengketaan
baru antara orang tua untuk memperebutkan hak pemeliharaan anaknya
tersebut. Dalam hal ini yang paling penting diperhatikan dalam menentukan
pemberian pemeliharaan anak adalah kepentingan anak itu sendiri, dalam arti
akan dilihat siapakah yang lebih mampu menjamin kehidupan anak, baik dari
segi materi, pendidikan formal, pendidikan akhlak dan kepentingankepentingan anak lainnya. Untuk menentukan orang yang paling dapat
dipercaya untuk memelihara anak, di dalam pengadilan biasanya hakim akan

7

mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Informasi ini dapat berasal
dari para pihak sendiri, maupun berasal dari saksi-saksi yang biasanya
dihadirkan dalam persidangan. Dan khusus untuk akibat perceraian terhadap
anak, dapat dilihat dalam Pasal 156 huruf a sampai f Kompilasi Hukum Islam.
Adapun ketentuan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam tersebut jika
dibandingkan dengan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, jauh lebih lengkap. Hal ini wajar, mengingat ketentuan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 merupakan peraturan yang sifatnya umum (untuk semua
agama), sedangkan Kompilasi Hukum Islam merupakan peraturan yang khusus
untuk pemeluk agama Islam saja, sehingga ketentuan-ketentuan yang dimuat
harus sedetail-detailnya.
Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus
dibagi harta bersama antara suami isteri tersebut. Hal ini sering menjadi
sengketa antara suami dan isteri yang harus diselesaikan di Pengadilan.
Sengketa ini berkisar dalam masalah perebutan harta yang diakui sebagian
milik pribadi, padahal harta itu adalah harta bersama. Harta kekayaan setelah
perceraian, diatur di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
yang berbunyi “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing“.Di dalam penjelasan Pasal 37 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
“Hukumnya masing-masing“ adalah Hukum Agama, Hukum Adat dan hukumhukum lainnya. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya atau putusnya
perkawinan. Dalam pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)
disebutkan Perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak, (2)
keadaan tidak hadirnya suami atau isteri selama 10 Tahun diikuti perkawinan
baru si isteri atau suami setelah mendapat izin dari Hakim, (3) karena putusan
hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta pembuktian bubarnya
perkawinan dalam register catatan sipil, (4). Perceraian. Sedangkan perceraian
yang menjadi dasar bubarnya perkawinan adalah perceraian yang tidak
didahului oleh perpisahan meja dan ranjang. Tentang hal ini ditentukan dalam
pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu (1) Zina baik yang

8

dilakukan oleh suami atau isteri, (2) Meningggalkan tempat tinggal bersama
dengan sengaja, (3) Suami atau isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau
lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan, (4) Salah satu pihak
melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain
(suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa perceraian
tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.
Dalam pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak
meninggal dunia, karena perceraian dan karena adanya putusan pengadilan .
Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan
perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri tidak akan hidup
sebagai suami isteri. Ketentuan ini dipertegas lagi dalam penjelasan pasal 39
ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang
mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan
perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3. Prosedur yang harus dilakukan para pihak yang ingin melakukan
perceraian
Prosedur yang harus dilakukan para pihak yang ingin melakukan
perceraian harus mengajukan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

9

menentukan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak“. Jadi jika dalam Sidang Pengadilan Hakim
dapat mendamaikan kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian
tidak jadi dilakukan. Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus
dilakukan di depan Sidang Pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian
hokum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang
berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat dan
bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan
adanya sifat mengikatnya putusan Pengadilan, maka para pihak yang tidak
mentaati putusan Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang
ditentukan oleh Pengadilan selama isteri masih dalam masa iddah/tidak mau
memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak yang diwajibkan
kepadanya, dapat dituntut oleh bekas isteri dengan menggunakan dasar putusan
Pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami. Adapun
Pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah
Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Setelah perkawinan
putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para
pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinan karena perceraian.
Jika dari perkawinan yang telah dilakukan terdapat anak, maka terhadap anak
tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Di lain pihak bagi pemeluk
Agama Islam akibat putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 149–162
Kompilasi Hukum Islam.
D. Kesimpulan
1. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang menjadi dasar gugat cerai adalah
Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri,

10

Ketergantungan ekonomi, Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan
konflik, Frustasi yang biasa terjadi pada pasangan yang Belum siap kawin,
belum juga mempunyai keturunan setelahlama menikah, Suami belum
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan
rumah tangga, Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih
menumpang pada orang tua atau mertua, Kesempatan yang kurang bagi
perempuan dalam proses hukum.
2. Akibat hukum dari adanya perceraian diantaranya adalah masalah perwalian
anak dan pembagian harta bersama. Dalam hal ini yang paling penting
diperhatikan dalam menentukan pemberian pemeliharaan anak adalah
kepentingan anak itu sendiri, dalam arti akan dilihat siapakah yang lebih
mampu menjamin kehidupan anak, baik dari segi materi, pendidikan formal,
pendidikan akhlak dan kepentingan-kepentingan anak lainnya.
3. Prosedur yang harus dilakukan para pihak yang ingin melakukan perceraian
harus mengajukan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Adanya
ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan,
semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri.
Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan
mempunyai kepastian hukum yang kuat dan bersifat mengikat para pihak
yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat mengikatnya
putusan Pengadilan, maka para pihak yang tidak mentaati putusan
Pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

11

DAFTAR PUSTAKA
Djamal Latief, H. M SH , Aneka Hukum Peceraian Di Indonesia, Jakarta : Ghalia
Indonesia
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan.
(Yogyakarta: Liberty,1986)
Soemiyati, Hukum Perkainan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Lyberty
Yogyakarta
Soebekti SH. Prof,Pokok-Pokok Hukum Perdata,.Cet XX1: PT Inter Massa, 1987,
Soemiyati, Hukum Perkawinan Dalam Islamdan Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 , Liberty, Yogyakarta, 2004
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina Dalam Proses Penyelesaian
Perkara Di Lingkungan Peradilan Agama, Dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al
Hikmah Dan DIT BINBAPERA, Jakarta, No 52 Tahun XII, 2001, Hlm. 7
Rifyal Ka’bah, Permasalahan Dalam Perkawinan, Majalah Varia Peradilan, No
271 Juni 2008, IKAHI, Jakarta, 2008 Hlm.. 7