WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM. dcox

WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM
Nama : Aryl Furqan Aswar
NIM : H031 17 1318
Topik : Masalah Nelayan
Judul : Nelayan Takalar: Struktur Kebudayaan dan Polemik
Kehidupan
A. Pengantar
Takalar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki
daerah laut. Daerah laut ini dimanfaatkan oleh penduduk di tempat tersebut untuk bekerja
sebagai nelayan. Nelayan-nelayan Takalar ini tidak hanya menyuplai hasil laut untuk
daerah sekitar Takalar saja, tetapi juga hingga diekspor ke luar negeri.
Meskipun begitu, ternyata nelayan di Takalar mengalami masalah, seperti lingkaran
kemiskinan dan adanya penambangan di laut Galesong yang meresahkan nelayan. Dengan
adanya artikel ini, diharapkan kita semakin mengetahui bagaimana kondisi masyarakat
nelayan Takalar saat ini, dan bagaimana kita mengatasi kondisi tersebut. Tujuannya jelas,
agar kesejahteraan masyarakat nelayan di Takalar dapat meningkat dan menguatkan
perekonomian dan ketahanan pangan Indonesia sebagai negara berbasis maritim.
Masyarakat nelayan Takalar bekerja secara berkelompok atau membentuk sebuah
organisasi. Organisasi ini dibagi menjadi ketua atau juragan-juragan dan para anggota yang
berfungsi sebagai pencari hasil laut. Pencari hasil laut ini (nelayan) akan memberikan
setoran kepada juragan yang telah menyediakan bahan bakar, kapal dan peralatan mencari

hasil laut lainnya, ditambah keuntungan yang didapatkan dari hasil menjual hasil laut
tersebut.
Masalah nelayan Takalar saat ini mencakup masalah kemiskinan dan masalah
adanya penambangan pasir di laut Takalar yang digunakan untuk pembangunan. Masalah
kemiskinan ini disebabkan oleh tingginya penawaran oleh masyarakat terkait ikan-ikan
yang dijual oleh para nelayan, dan karena tidak sesuainya pendapatan dan pengeluaran oleh
nelayan-nelayan. Penambangan pasir yang dilakukan telah merusak ekosistem laut,
sehingga menurunkan populasi ikan-ikan yang akan berdampak pada turunnya penghasilan
nelayan.

1

Masalah yang timbul adalah bagaimana mengetahui tatanan organisasi dan unsurunsur kebudayaan yang dianut dan diikuti oleh masyarakat nelayan Takalar. Masalah yang
timbul selanjutnya adalah bagaimana sesungguhnya problematika kehidupan yang saat ini
melanda masyarakat nelayan Takalar, khususnya terkait dengan kemiskinan dan
penambangan pasir yang akhir-akhir ini marak dilakukan.
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui tatanan organisasi dan unsur-unsur
kebudayaan masyarakat nelayan Takalar. Penulisan ini juga bertujuan untuk mengetahui
dan menganalisis masalah yang dihadapi masyarakat Takalar terkait kemiskinan dan
penambangan pasir

B. METODE PENULISAN
Penulisan artikel ini mengacu kepada referensi berupa jurnal-jurnal berbahasa
Indonesia yang diambil di id.portalgaruda.org dan menggunakan artikel-artikel yang
diunggah di internet dalam situs-situs. Jurnal yang diambil adalah jurnal yang dituliskan
oleh Andi Adrie Arief dan Andi Warnaen dkk., sedangkan situs yang diambil adalah situs
http://lintasterkini.com/01/04/2017/kehidupan-nelayan-galesong-dalam-lingkarankemiskinan.html

yang

dituliskan

oleh

Mujtahida,

http://www.mongabay.co.id/2017/05/30/ketika-laut-takalar-terus-terancam-tambang-pasir/
yang dituliskan oleh Rahmat Hardiansya, dan http://www.mongabay.co.id/2017/06/17/aksiwarga-takalar-menolak-tambang-pasir-jangan-paksa-kami-menjadi-teroris/ yang dituliskan
oleh Wahyu Chandra. Semua referensi didapatkan secara online dengan pencarian yang
dimulai pukul delapan malam hingga pukul sepuluh malam pada alamat public IP
114.125.197.185

C. Pembahasan
Perkembangan dalam empat tahun terakhir ini, potensi dan sumbangan yang dapat
diberikan oleh sektor kelautan dan perikanan masih sangat besar. Potensi perikanan
tangkap di laut dengan potensi lestari 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah tangkapan
hanya 4,4 juta ton per tahun. Dari potensi ini, ternyata masih banyak peluang yang belum
dimanfaatkan. Sementara itu di air tawar, tingkat pemanfaatannya hanya 400.000 ton per
tahun. Berdasarkan data ini, sumberdaya hayati laut yang dimiliki oleh negara ini masih
sangat banyak dan dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru yang berbasis
sumber daya (Arief, 2008).
2

Salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang menjadikan sektor perikanan
sebagai sektor andalan adalah Kabupaten Takalar khususnya di Desa Tamasaju, yang
penduduknya memiliki dua pekerjaan yakni sebagai nelatyan dan sebagai petani. Pekerjaan
ini dikerjakan secara paruh waktu maupun purnah waktu dari aktifitas utamanya sebagai
nelayan (Arief, 2008).
Keterhubungan sistem budaya lokal terhadap eksploitasi dan konservasi sumber
daya hayati perairan oleh masyarakat nelayan di Desa Tamasaju, diuraikan dalam tiap-tiap
unsur budaya serta hubungannya satu sama lain, yakni nilai (value), norma (norm),
kepercayaan (belief), simbolisasi (simbolization), pengetahuan (knowledge) dan teknologi

(technology). Nilai-nilai adalah suatu yang abstrak. Dalam konteks ini, masyarakat nelayan
masih memandang dirinya dan masyarakatnya bersama dengan aturan-aturannya, sebagai
ikrokosmos (zona kecil) yang harus berorientasi kepada lingkungan alam bersama dengan
aturan-aturannya sebagai makrokosmos. Dalam masyarakat nelayan ini ditemukan normanorma yang mengatur hubungan struktur social melalui kelompok kerja, hubungan social
kekerabatan melalui sistem bilateral atau parental dalam kelompok kerja dan pranata
ekonomi melalui sistem bagi hasil berdasarkan adat yang dipahami oleh masyarakat yang
berlaku secara umum pada setiap kelompok kerja (Arief, 2008).
Nelayan ini memandang penerapan nilai-nilai kepercayaan merupakan hal yang
fundamental dalam proses pemanfaatan sumberdaya laut. Komunikasi dengan alam
dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol alam yang berupa tanda-tanda alam dan
simbol-simbo tingkah laku yang mengandung makna-makna tertendu. Dalam kegiatan
eksploitasi yang dilakukan, ada dua macam “erang” yaitu erang passimombalang dan erang
pakboya-boyang. Kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan yang mengandung ilmu
lahir batin yang terdiri atas dua unsur, yaitu “baca” (mantera) dan “pappasang” (nasehat).
Beberapa alat yang digunakan masih relatif sama dengan apa yang pernah digunakan oleh
leluhur mereka, seperti pakkaja dan pancing yang ukurannya telah dikembangkan dari
sebelumnya (Arief, 2008).
Bentuk partisipasi nelayan dalam eksploitasi sumberdaya hayati meliputi proses
perencanaan, proses pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi. Acara akkarappungan
merupakan kegiatan diskusi yang dimotori oleh pemerintah desa dan tokoh masyarakat

yang dilaksanakan setiap persiapan keberangkatan kegiatan penangkapan ikan baik untuk
musim Barat maupun musim Timur. Dalam proses pelaksanaan, terjadi partisipasi aktif

3

dalam penggunaan teknologi dan cara kerja yang modern dalam mengembangkan usaha
penangkapan seperti penggunaan mesin dan jaring (jala). Dalam kegiatannya terjadi
relevansi antara Undang-Undang Perikanan No.31 tahun 2004 dan Undang-Undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 tahun 1997 dengan kaidah sosial yang telah menjadi
adat kenelayanan berdasarkan warisan dari leluhur mereka. Dalam proses pemanfaatan,
terjadi pengutamaan kalkulasi untung rugi (pappalele dan pedagang ikan) dalam pemasaran
hasil produksi akibat proses transisi dari nelayan subsisten ke nelayan komersil.
Pemantauan dan penyampaian ke pemerintah desa dilakukan baik secara individu maupun
kelompok terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat merusak ekosistem, seperti penggunaan
bom ikan, racun, maupun alat terlarang lainnya (Arief, 2008).
Bentuk-bentuk partisipasi nelayan dalam konservasi sumberdaya hayati perairan
juga dibedakan dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi. Masingmasing kelompok sosial nelayan baik yang sifatnya modern maupun tradisional
menggunakan alat tangkap yang diakui penggunaannya tidak merusak melalui peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti rengge (purse seine), lanra
(gill net), rere (drift gill net), meng (pancing) dan pakkaja. Pelaksanaan konservasi ini

menjadi lebih mudah dengan adanya kesadaran masyarakat nelayan untuk tidak berpikir
pintas dalam mengeksploitasi sumber daya alam, misalnya dengan bahan peledak, racun
atau pukat harimau. Konservasi yang dilaksanakan ini telah menimbulkan kesadaran untuk
mejaga fungsi ekosistem dan ketaatan dalam mematuhi aturan untuk tidak mengeksploitasi
atau memperdagangkan ikan-ikan yang dilindungi, serta tidak dijadikannya baru karang
sebgai bahan pembangunan rumah warga desa. Dalam upaya konservasi lahan ini,
dilakukan pemantauan terhadap kapal-kapal yang berasal dari luar yang melakukan
penangkapan ikan, serta dilakukan pengawasan tidak langsung terhadap ikan-ikan yang
dipasarkan di tempat pelelangan (Arief, 2008).
Dampak dari partisipasi masyarakat dalam eksploitasi dan konservasi ini dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat itu sendiri, Dari segi eksploitasi, modernisasi alat
tangkap yang merupakan norma-norma baru meripakan perubahan kebudayaan dalam
wujud fisik. Namun alat-alat baru tersebut tidak menimbulkan kesenjangan budaya secara
berarti. Hal ini dibuktikan dengan partisipasi masyarakat nelayan desa dalam menggunakan
teknologi penangkapan yang modern meskipun amsih dipadukan dengan tradisi-tradisi

4

lokal yang telah lama terbangun yang senanitasa berprinsip pada keserasian, harmonisasi
dan keseimbangan antara manusia dan sumber daya alam (Arief, 2008).

Dampak partisipasi masyarakat terhadap kesejahteraan nelayan terluhat pada sisi
ekonomi bisnis nelayan yang berada pada situasi struktur pasar input-output yang tidak
kompetitif. Pasar inputnya cenderung monopoli dan pasar outputnya bersifat monopsoni.
Sehingga walaupun usahanya sudah bersifat komersil namun pendapatan nelayan masih
tetap subsisten (Arief, 2008).
Partisipasi aktif masyarakat nelayan untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang, dipengaruhi oleh pengetahuan lokal yang membawa mereka bertingkah
laku yang bersifat protektif terhadap kelestarian sumber daya alam. Adanya potendsi
sumberdaya hayati perairan yang maksimal dan lestari serta didukung oleh partisipasi
warga dalam menjalankan keteraturan dan kepastian hukum, telah mengundang para
pengusaha dari berbagai penjuru menanamkan modalnya pada masyarakat nelayan ini
(Arief, 2008).
Faktor-faktor yang menghambat inovasi komunitas nelayan pada karakteristik
individu nelayan adalah karena pendapatan dan pendidikan yang rendah, takut mengambul
resiko, kepemilikan alat tangkap dan tingkat kemampuan bahasa Indonesia yang rendah.
Karakteristik inovasi yang menghambat inovasi nelayan adalah tingkat kerumitan, nilai
ekonomis, tingkat kemudahan untuk dicoba, dan bantuan politik (Warnaen dkk., 2013).
Saluran komunikasi nelayan berbeda dengan komunitas lainnya. Saluran yang
digunakan hanya mengandalkan komunikasi sesama nelayan, namun kurang melibatkan
penyuluh perikanan. Komunitas nelayan biasanya sulit menerapkan metode yang diberikan

oleh penyuluh sebab mahalnya peralatan tangkap yang harus dibeli. Pada tahap keputusan,
nelaya sangat dipengaruhi oleh kondisi modal, sehingga peran papalele (inovator dan
penerima dini) sebagai penyandang dana sangat memengaruhi (Warnaen dkk., 2013).
Sedangkan keterampilan yang dimiliki penduduk umumnya masih terbatas pada
masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung diversifikasi kegiatan. Waktu dan
tenaga yang tersita untuk kegiatan penangkapan ikan cukup besar sehingga kurang
mempunyai kesempatan untuk mencari usaha tambahan maupun memperhatikan keluarga.
Sebab pola yang digunakan oleh masyarakat nelayan adalah melaut sore, mendarat di pagi
hari dan siang hari beristirahat dan menyiapkan peralatan untuk penangkapan selanjutnya
(Warnaen dkk., 2013).

5

Pada langkah-langkah selanjutnya mereka cenderung untuk memilih kontak antar
personal dengan seorang yang mereka percaya berkompeten dan bermotivasi. Seharusnya
pemerintah lebih giat dan sering mengajak masyarakat melalui media massa, sehingg
amasyarakat secara tidak langsung menjadi sadar. Sebagaimana teori yang diungkapkan
oleh Cangara (2013), ia menyatakan bahwa untuk mencapai target sasaran yang sifatnya
massal maka metode penyebarluasan informasi yang banyak digunakan adalah media
massa. Penggunaan media massa biasanya digunakan model hierarchy effect. Model ini

memiliki dua fungsi yakni menginformasikan dan mempersuasi. Setelah dipersuasi oleh
media maka langkah selanjutnya dilakukan oleh para agen perubahan (Warnaen dkk.,
2013).
Masyarakat di Kabupaten Takalar, terutama untuk daerah pesisir, kebanyakan
merupakan nelayan yang mengandalkan penghasilannya dari hasil melaut. Hasil yang
didapatkan tidaklah mudah sebab mereka masih harus berjuang bahkan sampai bertaruh
nyawa untuk mendapatkannya. Setiap hari nelayan-nelayan ini melaut kecuali jika cuaca
tidak bersahabat. Hasil yang didapatkan dari melaut ini hanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, sehingga sulit bagi nelayan-nelayan ini untuk melepaskan diri dari
jerat kemiskinan (Mattola, 2017).
Nelayan, atau yang disebutkan oleh masyarakat sebagai “pabiring” menggunakan
perahu “lepa-lepa” yang harganya ditaksir sekitar sepuluh juta rupiah untuk setiap perahu.
Setiap hari para pabiring ini memiliki beberapa kegiatan seperti rinta’ (memancing ikan
kecil), parawe (memancing ikan besar), a’lanra sikuyu (menjaring kepiting), akkurita
(mencari gurita) dan sebagainya. Salah seorang nelayan menuturkan bahwa hasil dari
parawe terkadang sedikit terkadang pula banyak. Jika hasil parawe ini dijual akan
menghasilkan keuntungan sekitar Rp. 100.000 – Rp. 500.000,- saja, belum lagi bahanbakar dan keperluan lain yang semuanya membutuhkan

biaya. Pola kehidupan ini


membuat masyarakat semakin terkurung dalam lingkaran kemiskinan (Mattola, 2017).
Dampak dari lemahnya ekonomi nelayan ini sangat memengaruhi pendidikan anak
nelayan. Rata-rata anak hanya menempuh pendidikan hingga tahap Sekolah Menengah
Atas (SMA), bahkan ada yang tidak disekolahkan dengan alasan membantu ayahnya
bekerja sebagai nelayan. Pemerintah memang telah mengeluarkan dana yang besar untuk
memperbaiki kehidupan masyarakat nelayan ini, namun sampai saat ini bantuan itu belum
kunjung dirasakan oleh masyarakat (Mattola, 2017).

6

Selain itu, masalah yanbg sekarang dihadapi oleh nelayan Takalar adalah mengenai
penambangan pasir. Operasi penambangan pasir ini diajukan oleh tujuh perusahaan, yakni
PT. Yasmin Bumi Resources, PT. Mineratama Prima Abadi, PT Hamparan Laut Sejahtera,
PT. Alepu Karya Mandiri, PT. Gasing Sulawesi, PT. Lautan Phinisi Resources dan PT.
Banda Samudera. Namun nelayan-nelayan di Takalar tidak menyetujui adanya
penambangan pasir ini. Upaya demonstrasi telah dilakukan, begitu pula dengan
menyandera kapal tak dikenal yang mengambil pasir di laut Takalar, dimana nelayan dari
empat kecamatan di Takalar ini bergantung disana (Hardiansya, 2017).
Penambangan pasir ini dapat memberikan dampak yang sangat luas bagi kehidupan
masyarakat. Pengerukan pasir yang dilakukan dalam radius dua mil dari lepas pantai ini

dapat mengakibatkan Pulau Sanrobengi, suatu objek wisata di Takalar, lenyap karena pasir
yang ada di pulau tersebut dapat bergeser. Kekhawatiran warga ini diikuti oleh ketakutan
adanya abrasi karena tanggul pemecah ombak di pantai juga mulai rusak (Hardiansya,
2017).
Unjuk rasa penolakan tambang pasir terus dilakukan warga. Salah satu unjuk rasa
yang dilakukan adalah unjuk rasa yang dilakukan di area pembangunan Central Point
Indonesia (CPI) yang pembangunannya menggunakan material yang salah satunya berasal
dari laut Takalar. Salah seorang demonstran mengatakan bahwa unjuk rasa ini adalah unjuk
rasa secara damai yang terakhir, jika perusahaan tidak memenuhi tuntutan para nelayan
(Chandra, 2017).
Unjuk rasa ini adalah salah satu wujud dari kekhawatiran masyarakat terhadap
lingkungan laut yang mulai rusak oleh adanya kegiatan penambangan, juga karena
berkurangnya jumlah tangkapan ikan dan air laut yang mulai keruh. Reklamasi dan
penambangan pasir laut akan mengakibatkan kerusakan ekosistem laut dan akan memicu
banjir rob ke pemukiman warga. 60% terumbu karang juga akan rusak dan akan merusak
pesisir Takalar (Chandra, 2017).
Dalam demonstrasi ini dikeluarkan enam tuntutan. Tuntutan pertama adalah segera
menghentikan penambangan pasir laut Takalar, kedua menghentikan proyek CPI dan
proyek private sector lainnya, ketiga menghentikan pengerrukan pasir putih di Pulau
Gusung Tangayya, keempat menghentikan pembangunan energi kotor PLTU yang
mencemari pesisir, kelima pemulihan pesisir dan keenam menjaga laut. Pihak CPI
menyatakan di depan para pengunjuk rasa dan depan Kapoltabes Makassar bahwa tuntutan

7

ini akan segera disampaikan kepada atasan secepat mungkin dan berterimakasih karena
unjuk rasa dilakukan secara damai dan tidak anarkis. Pengunjuk rasa juga menegaskan
kembali kepada pihak CPI untuk tidak melakukan penambangan di laut Takalar baik secara
terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (Chandra, 2017).
D. Penutup
Masyarakat nelayan Takalar hingga saat ini masih memiliki dan mempertahankan
unsur-unsur kebudayaan yang dimiliki sebagai ciri kebudayaan mereka. Nelayan-nelayan
ini memiliki partisipasi aktif baik dalam memelihara lingkungan laut dan dalam menikmati
hasil-hasil laut. Namun ada faktor penghambat dalam inovasi masyarakat nelayan Takalar.
Hambatan ini berupa keterbatasan dalam pemanfaatan media dan teknologi, serta dalam
komunikasi. Masalah penambangan pasir dan penghasilan yang minim juga menjadi
masalah epic bagi masyarakat nelayan Takalar. Penambangan pasir yang dilakuakn bahkan
bisa saja merusak ekosistem laut.
Pengembangan inovasi masyarakat nelayan ini perlu dilakukan dengan inovasi
teknologi dalam masyarakat. Peranan mahasiswa sangat penting dalam upaya
pengembangan sector teknologi. Pemerintah juga harusnya paham bagaimana kemiskinan
yang dihadapi oleh masyarakat nelayan ini, sehingga dapat turun tangan membantu
menyelesaikan masalah kemiskinan ini. Masalah penambangan pasir adalah masalah yang
sangat serius bahkan dapat merusak lingkungan, sehingga peran pemerintah sebagai
pemegang keputusan sangat dibutuhkan untuk membatasi aktivitas penambangan di laut
Takalar yang dapat berujung kepada masalah dan bencana yang besar
E. Daftar Pustaka
Arief, Andi Adrie, 2008, Partisipasi Masyarakat Nelayan di Kabupaten Takalar, Jurnal
Hutan dan Masyarakat Volume 3 No.1 Hal 11-19, Makassar
Warnaen, Andi, Hafied Cangara dan Sitti Bulkis, 2013, Faktor-faktor yang Menghambat
Inovasi pada Komunitas Petani dan Nelayan dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat di Kabupaten Takalar, Jurnla Komunikasi Kareba Volume 2 No.3 Hal
241-249, Makassar

8

Hardiansya, Rahmat, 2017, Ketika Laut Takalar Terus Terancam Tambang Pasir dalam
URL

http://www.mongabay.co.id/2017/05/30/ketika-laut-takalar-terus-terancam-

tambang-pasir/ (diakses tanggal 3 Desember 2017)
Mujtahida, 2017, Kehidupan Nelayan Galesong dalam Lingkaran Kemiskinan dalam URL
http://lintasterkini.com/01/04/2017/kehidupan-nelayan-galesong-dalam-lingkarankemiskinan.html (diakses tanggal 3 Desember 2017)
Chandra, Wahyu, 2017, Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami
Menjadi Teroris dalam URL http://www.mongabay.co.id/2017/06/17/aksi-wargatakalar-menolak-tambang-pasir-jangan-paksa-kami-menjadi-teroris/

(diakses

tanggal 4 Desember 2017).

9