Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif (1)

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF FIKIH

La Jamaa

Fakultas Syariah IAIN Ambon Jl. Dr. H. Tarmizi Taher Kebun Cengkeh Batu Merah Atas Ambon E-mail: [email protected]

Abstract: Domestic Violence in Fiqh Perspective . his study intends to explore the views of Islamic Jurists against domestic violence and their perspective in preventing the violence in the house hold. According to Islamic jurisprudence, domestic violence committed by a husband to his wife is against law. he violence itself can be implemented by many forms such as physical, psychological, sexual, as well as economic violence. In order to give lesson, a husband is allowed to beat his wife, if only not hurting her. On the other hand, a husband is obliged to fulill economical, pschychological and sexual needs of his wife. As a preventive measure, jurisprudence ofer measures, such as choosing a devout husband or wife to be maried and preventing children become a target of domestic violence.

Keywords: islamic jurisprudence, nushūz, domestic violence Abstrak: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih. Studi ini bermaksud menggali pandangan ulama

ikih terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimana upaya preventif dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Menurut ikih Islam, kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami kepada istri adalah haram hukumnya, baik kekerasan isik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Karena itu dispensasi suami memukul istri yang nusyu hanyalah upaya edukatif namun tidak boleh menyakiti istri. Suami diharamkan mengancam, mengabaikan nafkah batin, nafkah lahiriah, serta kebutuhan seksual istrinya. Sebagai langkah preventif, ikih menawarkan langkah- langkah, antara lain memilih calon suami atau istri yang taat beragama dan menghindarkan anak dari suasana kekerasan dalam rumah tangga.

Kata Kunci: ikih Islam, nusyu, kekerasan dalam rumah tangga

Pendahuluan

ekonomi.

P ada prinsipnya Islam melalui Alquran dan Hadis Sebuah penelitian terhadap tindak kekerasan dalam memerintahkan suami agar bergaul dengan istri secara

rumah tangga yang disidangkan Pengadilan Negeri ma‘rūf serta bersabar terhadap tindakan-tindakan istri

Ambon diketahui bahwa bentuk kekerasan yang dialami yang tidak disukainya. Dalam konteks ini relasi suami

korban (istri pelaku) adalah kekerasan isik, kekerasan dan istri adalah relasi dua hati dan dua jiwa untuk

psikis, dan kekerasan ekonomi. Dari sembilan putusan mewujudkan kebahagiaan rumah tangga. Di samping

Pengadilan Negeri Ambon tahun 2007 s.d. 2011 yang itu Islam datang mengemban misi utama untuk

dijadikan sampel penelitian menunjukkan, kekerasan pembebasan, termasuk pembebasan dari kekerasan,

isik sebanyak tujuh kasus (77,78%), kekerasan psikis menuju peradaban yang egaliter. 1

sebanyak satu kasus (11,11%), dan kekerasan ekonomi Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak istri 2 sebanyak satu kasus (11,11%).

yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang Kondisi ini diperparah oleh pandangan yang bias dilakukan suaminya sendiri. Dari informasi media

gender yang memahami bahwa Alquran membenarkan massa, baik media cetak maupun media elektronik,

suami melakukan tindak kekerasan isik kepada istri diketahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga telah

yang nusyu. Bahkan, Muḥammad Nawāwī al-Bantanī memprihatinkan. Kekerasan yang dilakukan suami

membolehkan suami memukul istrinya jika istri kepada istri beragam bentuknya, yakni: kekerasan isik,

tidak berhias sesuai keinginan suami, menampakkan kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan

2 Hasil pengolahan data dari Putusan Pengadilan Negeri Ambon Naskah diterima: 27 Oktober 2012, direvisi: 16 Desember 2012,

Nomor: 346/PID.B/2008/PN.AB; 355/PID.B/2008/PN.AB; 56/ disetujui untuk terbit: 2 Januari 2013.

PID.B/2008/PN.AB; 368/PID.B/2009/PN.AB; 292/PID.B/2010/ 1 Nurul Huda SA, Cakrawala Pembebasan Agama, Pendidikan dan

PN.AB; 23/PID.B/2010/PN.AB; 132/PID.B/ 2011/PN.AB; 88/ Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), h. 73.

PID.B/2007/PN.AB; dan 406/PID.B/2009/PN.AB.

66 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

wajahnya kepada orang lain, atau keluar rumah tanpa

23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam izin. 3 Pandangan ulama harus dipahami sebagai hasil

Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap ijtihad yang keberlakuannya dalam masyarakat tidaklah

seseorang terutama perempuan yang berakibat bersifat mutlak dalam segala ruang dan waktu. Karena

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara isik, itu konsep ”nusyu” dan ketentuan ”suami memukul

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah istri yang nusyu ” dalam Alquran perlu dipahami secara

tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, kontekstual agar ajaran Islam senantiasa dapat dirasakan

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sebagai pelindung dan pemberi kedamaian dalam relasi

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 8 Dengan istri dengan suaminya.

demikian kekerasan dalam rumah tangga merupakan Demikian pula pandangan ikih mengenai kewajiban

salah satu tindak pidana (jarīmah) yang tidak hanya istri memenuhi kebutuhan biologis suaminya tidak

sekadar urusan pribadi antara suami istri namun telah harus dimaknai berlaku dalam kondisi apapun. Karena

berkembang menjadi ranah publik. itu Hadis yang menginformasikan bahwa malaikat akan

Dari penjelasan Undang-undang di atas dapat mengutuk istri jika tidak bersedia melayani kebutuhan

dipahami bahwa tindakan seseorang baru dapat seksual suaminya, 4 perlu dipahami secara tepat pula.

diklasiikasikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga Karena dalam realitasnya, ada suami yang memaksa istri

jika tindakan tersebut menimbulkan kesengsaraan atau melayani hasrat seksualnya pada saat istri haid, nifas,

5 penderitaan baik secara isik, seksual, pikologis, maupun atau melakukan anal seks (dubur). Ada juga suami yang

ekonomi, serta dilakukan oleh seseorang terhadap mengawali hubungan seksual dengan kekerasan isik,

6 orang lain dalam lingkup rumah tangga. Tegasnya, sehingga istri merasa diperkosa oleh suaminya sendiri, antara pelaku dengan korbannya terdapat hubungan

bahkan ada suami yang memaksa istri menjadi pelacur. hukum dalam lingkup rumah tangga, misalnya suami Di samping itu banyak suami yang tidak bertanggung

kepada istri atau sebaliknya, orang tua kepada anak atau jawab terhadap kebutuhan sandang dan pangan anggota

7 keluarga, sehingga anak istrinya menjadi terlantar. sebaliknya, majikan terhadap pembantu rumah tangga atau sebaliknya, serta pihak lain yang berada dalam Berdasarkan uraian di atas, tindak kekerasan dalam

tanggungjawabnya. Jika tidak memenuhi unsur-unsur rumah tangga yang dilakukan suami kepada istri perlu

dimaksud, maka tindakan tersebut bukanlah kekerasan dianalisis dari perspektif ikih Islam. Karena tidak

dalam rumah tangga.

sedikit pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah Menurut Pasal 5 Undang-undang tersebut bentuk Muslim. Penelitian ini bertujuan untuk membangun

kekerasan dalam rumah tangga ada empat, yakni: pemahaman yang benar bahwa hukum Islam anti

kekerasan isik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga. Di samping itu agar

penelantaran rumah tangga (kekerasan ekonomi). 9 pelaku dapat menyadari kekeliruannya sekaligus dapat

perbuatan yang memberikan advokasi terhadap korban kekerasan dalam

mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. rumah tangga yang selama ini belum mendapatkan

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan perlindungan hukum yang maksimal.

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya

kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Yang dimaksud kekerasan dalam rumah tangga Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan menurut pasal 1 butir 1 Undang-Undang RI Nomor

seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap

dalam lingkup rumah tangga tersebut atau pemaksaan

3 Lihat Muḥammad Nawāwī al-Bantanī, Sharḥ ‘Uqūd al-Lujjayn

hubungan seksual terhadap salah seorang dalam

fī Bayān al-Ḥuqūq al-Zawjayn (Surabaya: Dār al-‘Ilm, t.t.), h. 5.

Nawāwī al-Bantanī tidak bermaksud meligitimasi kekerasan isik suami

lingkup rumah tangga dengan orang lain untuk tujuan

kepada istri, sebab pada bagian lain beliau mencantumkan Hadis-

komersial dan/atau tujuan tertentu.

hadis yang menghargai perempuan, serta mengemukakan agar suami memperlakukan istrinya dengan baik.

Sedangkan kekerasan ekonomi adalah menelantarkan

4 Lihat Abū al-Ḥusayn Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī al-

orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal

Naysaburī, Ṣaḥiḥ Muslim, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992 M/ 1412 H), Juz

menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

I, h. 663. 5 Titiana Adinda, Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: PT. Elex

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan

Media Komputindo, 2008), h. 34.

kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada

6 Fathul Djannah, dkk., Kekerasan Terhadap Istri (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 48.

8 Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 7 Sulistyowati Irianto dan L.I. Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan

Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Jakarta: Sinar Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan (Jakarta: Yayasan Obor

Graika, 2005), h. 2.

Indonesia, 2006), h. 65. 9 Fathul Djannah, dkk., Kekerasan Terhadap Istri, h. 31.

La Jamaa: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih 67

orang tersebut. Hal itu berlaku juga bagi setiap orang secara bahasa berarti durhaka (al-ishyān) itu, dalam yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan

terminologi syarak, memiliki banyak maknanya. cara membatasi dan/atau melarang bekerja yang layak

Menurut Ibn Manẓūr (630-711 H), nusyu adalah rasa di dalam atau di laur rumah sehingga korban berada di

kebencian masing-masing suami dan istri terhadap

10 bawah kendali orang tersebut. 15 pasangannya. Istri timbul rasa benci kepada suami, dan Dalam penelitian Fathul Djannah dkk., diketahui

juga sebaliknya, suami timbul rasa benci kepada istri. bentuk-bentuk kekerasan isik yang dialami korban

Jadi, nusyu tidak berlaku bagi istri saja. Pada suami juga (istri pelaku) antara lain: dipukul, dilempar dengan

ada nusyu. Jelasnya, nusyu itu ada dua macam, yaitu: piring, dijambak rambutnya, dan ditendang pada waktu

nusyu yang dilakukan istri terhadap suami dan nusyu hamil. Bentuk-bentuk kekerasan itu menimbulkan efek 16 yang dilakukan suami terhadap istrinya. Demikian

yang berbeda, yakni sebagian korban pemukulan itu pula, Wahbah al-Zuhaylī, guru besar ilmu ikih dan meninggalkan bekas yang tampak seperti luka memar

usul ikih pada Universitas Damaskus, mengartikan di tubuh korban, bahkan ada yang menyebabkan

nusyu sebagai ketidakpatuhan atau rasa benci salah satu pendengaran korban berkurang. Namun pada sebagian 17 pihak terhadap pasangannya (ُهَبحا َص نيَجنوَزلا َنم ٌلُك ٌةَهاَرك).

korban lainnya tidak menimbulkan bekas pada anggota Ekspresi rasa benci (nusyu/nushūz) tersebut bisa tubuh. 11 melalui perkataan, seperti saat tidak taat, dipanggil

Selaras dengan hasil temuan Fathul Djannah, pura-pura setuju tetapi setelah itu berontak, dan bisa dalam penelitian Penulis diketahui bahwa semua

juga melalui perbuatan seperti berperilaku tidak baik di hadapan pasangannya. 18 Karena itu idealnya kedua

terdakwa melakukan kekerasan isik kepada korban belah pihak harus bergaul secara baik, saling menasihati

dengan karakteristik: memukul korban dengan kepalan dan saling mengingatkan apabila ada yang berbuat

tangan (tujuh terdakwa), mendorong/membenturkan kepala dan menginjak korban dilakukan (satu salah.

terdakwa), memukul korban dengan benda keras/kayu Jika ada pihak yang membuat hati timbul rasa (masing-masing satu terdakwa). 12 Bentuk kekerasan

benci, tugas pasangannya adalah mengembalikannya psikis dilakukan terdakwa, yakni mengancam akan

kepada jalan yang benar. Jika pertentangan itu muncul melenyapkan korban dan anak-anaknya. 13 Kata-kata

dari istri, maka suami harus mengingatkanya secara persuasif dengan langkah-langkah yang diajarkan Allah

terdakwa itu dipahami sebagai suatu rencana yang

dalam Alquran sebagai berikut:

dapat mengancam keselamatan hidup korban dan anak-anaknya sehingga menimbulkan ketakutan bagi

      korban.

Kekerasan Fisik dalam Rumah Tangga

Terjadinya konlik dalam rumah tangga erat         kaitannya dengan sikap istri yang dianggap sebagai

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan pembangkangan istri kepadanya. Sikap itu dalam term

nusyu , hendaklah kami beri nasihat kepada mereka, ikih biasa disebut nusyu (nushūz). Dalam kaitan ini

tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), konsep nusyu perlu ditelaah karena kadang-kadang

dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari

menimbulkan diskriminatif terhadap istri. alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah

Perlakuan diskriminatif terhadap istri itu akibat Mahatinggi lagi Mahabesar. (Q.s. al-Nisā’ [4]: 34). 19 dari pemahaman bahwa nusyu merupakan sikap pembangkangan atau ketidaktaatan istri terhadap suaminya. Sedangkan pada suami tidak ada nusyu,

cana Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),

sehingga suami tidak haram melakukan tindakan- h. 333.

15 Abū al-Fāḍil Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr

tindakan yang tidak disenangi istrinya karena agama

al-Afrīqī al-Miṣrī, Lisān al-‘Arab, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1990 M/ 1401

tidak mempermasalahkannya. 14 Padahal nusyu yang

H), Juz V, h. 418.

16 Lihat Muwāiq al-D ỉ�n ibn Qudāmah al-Maqdisī, al-Kāfī i al- Fiqh ‘Alā Madhhab Imām al-Mubajjil Aḥmad ibn Ḥanbal, (al-Qāhirah:

10 Fathul Djannah, dkk., Kekerasan Terhadap Istri, h. 4-5. Dār Ihyā’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1918 M/1336 H), Juz III, h. 94. 11 Fathul Djannah, dkk., Kekerasan Terhadap Istri, h. 4.

17 Wahbah al-Zuhaylī, Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, (Damaskus: 12 Hasil pengolahan data dari 9 Putusan Pengadilan Negeri

Dār al-Fikr, 1989), Juz VII, Cet. III, h. 338. Ambon.

18 Ibrāhīm al-Bajurī, Ḥāshiyyah al-Bājūrī, (Miṣr: Musṭafā al-Bāb 13 Lihat Putusan PN Ambon Nomor: 88/PID.B/2007/PN.AB

al-Ḥalabī, 1343 H), Juz II, h. 133.

tanggal 22 Mei 2007, h. 5. 19 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: 14 Abu Yasid (ed.), Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wa-

CV Indah Press, 2002), h. 108-109.

68 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

Ayat ini diturunkan untuk merespons permasalahan perantara itu tidak berlaku menurut syariat jika menurut yang timbul dari Sahabat Sa‘ad ibn Rābi‘ pada saat istrinya 24 pemikiran tidak akan menghasilkan maksudnya. Jadi,

yang bernama Ḥabībah bint Zayd ibn Khārijah ibn Abī suami tidak boleh memukul istri hanya berdasarkan Zuhayr durhaka, kemudian dia dipukul. Ayah Ḥabībah

emosinya semata, baik akibat mabuk, kalah judi, tidak terima perlakuan Sa‘ad lalu diadukan kepada

maupun kebencian semata kepada istri. Karena itu Rasulullah Saw., seraya berkata, ”Betapa rendahnya saya

meskipun suami diizinkan memberi penyadaran kepada ini, karena suami anakku telah menampar wajahnya.”

istri dengan pukulan, namun suami tidak bisa memukul Rasulullah Saw. bersabda, ”Balaslah!” Namun sebelum

istri dengan cara-cara yang mengarah kepada kekerasan Ḥabībah membalas tamparan suaminya, turunlah ayat

isik. Karena pada ujung ayat nusyu (Q.s. al-Mā’idah di tersebut. 20 Keputusan Nabi Saw., membolehkan

[5]: 34) itu terdapat ancaman terhadap orang-orang Ḥabībah membalas pukulan suaminya, mendapat

yang berbuat melampaui batas terhadap istrinya. protes kaum laki-laki di Madinah. Hal itu menunjukkan

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa kuatnya dominasi kaum laki-laki di masa turunnya ayat

pukulan kepada istri yang membangkang adalah ini. 21

pukulan ringan dengan menggunakan alat yang ringan Jadi, jika istri berbuat durhaka, suami harus

pula, seperti sikat gigi atau sejenisnya. Jadi, pukulan melakukan beberapa usaha perbaikan secara bertahap.

tersebut bukan pukulan yang menindas, menyiksa, Pertama , menasihati dan mengingatkan apa yang

dan menyakiti istri, tetapi pukulan yang mendidik, harus dilaksanakannya. Juga mengingatkan istri bahwa

menyadarkan, dan membina akhlak istri, dan bukan durhaka kepada suami akan menimbulkan akibat

pukulan kekerasan dan membinasakan isik istri. Cara- yang tidak baik di dunia dan akhirat. Kalau usaha ini

cara semacam itu akan direspons dengan baik oleh gagal, melangkah pada usaha selanjutnya. Kedua, pisah

istri, sebab dia tidak merasakan adanya kekerasan isik ranjang, membiarkan istri tidur sendiri, tidak ditemani

dari suaminya. Sebaliknya, jika suami yang melakukan hingga damai. Sebab pada umumnya perasaan istri akan

pembangkangan, maka istri harus mencari sumber guncang ketika ditinggal sendiri. Jika sampai di sini

penyebabnya. Karena sebagai manusia suami kadang- istri masih membangkang, dilakukan usaha terakhir.

kadang sengaja melakukan selingkuh dengan wanita Ketiga , memukulnya dengan batas tidak sampai

lain sehingga istrinya marah. Hal ini bisa saja terjadi mengakibatkannya jatuh sakit. Pukulan yang beradab,

pada saat istri sakit, tidak menarik lagi dalam pandangan bukan pukulan yang biadab. 22 suami, sehingga suami cenderung murung, tidak peduli

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dispensasi pada apa yang dilakukan istri, enggan berbicara, dan Alquran kepada suami memukul istri, hanya berlaku

kadang-kadang meremehkan dan menghina istrinya. dalam kondisi darurat, dan kondisi darurat itu harus

Karena itu dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga untuk diukur menurut ukurannya. Tindakan tersebut juga

mendamaikan kedua belah secara adil, yakni masing- merupakan sarana pendidikan yang bersifat insidental

masing seorang juru damai dari pihak istri dan seorang sebagai suatu pengecualian ketika upaya nasihat dan

dari pihak suami, yang biasa dikenal dengan ḥakamayn, pisah ranjang gagal menyadarkan kekeliruan istri. 23 sesuai ketentuan dalam Alquran berikut ini:

Dengan kata lain, suami harus yakin bahwa pukulan itu akan berfungsi sebagai jalan untuk mencapai

tujuannya yaitu perbaikan dan hukuman terhadap hawa

nafsu yang bersemayam pada jiwa si istri yang nusyu. Jika tidak berhasil, maka suami harus menghentikannya,

sebab yang dimaksudkan dari pemukulan hanya sebagai Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara perantara untuk mewujudkan perbaikan. Sedangkan

keduanya maka kirimlah seorang ḥakam dari keluarga laki-laki dan seorang ḥakam dari keluarga perempuan.

20 Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Anṣārī al-Qurṭubī, Jika kedua orang ḥakam itu bermaksud meng-adakan Al-Jāmi‘ Aḥkām al-Qur’ān, (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993

perbaikan, niscaya Allah memberi tauik kepada suami M/1413 H), Jilid III, Juz VI, h. 110. Lihat pula Abū Bakr Muḥammad

istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

ib ‘Abd Allāh ibn al-‘Arabī, Aḥkām al-Qur’ān, (Bayrūt: Dār al-Ma‘rifah, Maha Mengenal. (Q.s. al-Nisā’ [4]: 35)

t.th.), Juz I, h. 415.

Mengingat urgensi ḥakamayn ini, maka jika dari

Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Y - gyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), Cet. X, h. 133.

keluarga suami istri itu tidak ada orang yang pantas

22 Yūsuf al-Qaraḍawī, Hādī al-Islām Fatāwā Mu‘āṣirah, terj. As’ad

menjadi juru damai, maka bisa dikirim orang lain yang

Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Jilid I, Cet. I, h. 500-501.

24 Abū Zakariyyā Muḥy al-Dīn ibn Sharf al-Nawāwī, al-Majmū’ 23 Al-Khāṭib al-Sharbinī, Mughnī al-Muḥtāj, (Bayrūt: Dār al-Fikr,

Sharḥ al-Muhadhdhab, (Bayrūt: Dār al-Fikr, t.th.), Juz XVI, h. 449. t.th.), Juz III, h. 123.

25 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 109.

La Jamaa: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih 69

bukan berasal dari keluarga suami istri itu. 26 Dalam kekeliruannya,” dan bukan untuk ”menyakiti isik.” konteks ini ḥakam dapat juga ditunjuk oleh penguasa

Al-Qurṭubī juga berpendapat bahwa ”pukulan” (pengadilan), seperti yang pernah dilakukan ‘Umar

dalam ayat nusyu hanyalah sarana edukatif, bukan ibn al-Khaṭṭāb (681-644 M/ 23 H). Selaku kepala

untuk menyakiti, apalagi menzalimi istri, karena maksud negara ‘Umar pernah mengirim seorang ḥakam kepada

”pukulan” tersebut hanya untuk memperbaiki perilaku sepasang suami istri. Lalu ia kembali karena tidak

istri, bukan maksud yang lain 30 (seperti menyakiti atau mampu mendamaikan keduanya. ‘Umar memaksanya

kekerasan isik). Bahkan menurut Rashīd al-Uwayyid, dengan cambuk sambil berkata, ”Sesungguhnya Allah

ayat nusyu itu justru memberi batasan kepada suami telah berirman, اَمُهَبننبيَب� ُهَللا ِقِفَوُب� اًح َل نصِإ اَد�ِرُ� ننِإ”. Maka laki-laki

serta melarang suami melakukan tindakan pemukulan itu kembali memperbaiki relasi suami istri secara lemah

yang menyakitkan (kekerasan isik), yang dilandasi lembut sehingga berhasil mendamaikannya. 27 dendam kesumat. 31 Untuk hal senada al-Khaṭīb al-

Pada dasarnya, ḥakamayn bertugas memusyawarah- Sharbinī (w. 977 H) mengatakan, suami hanya boleh kan suatu jalan keluar yang memungkinkan dapat

memukul istrinya jika ia menduga kuat pukulan itu mempertemukan sekaligus memadukan keinginan

akan bisa memperbaiki istrinya. Jika tidak, maka suami dari suami-istri, sehingga keduanya dapat hidup

tidak boleh memukul istrinya. 32

rukun dan damai kembali seperti semula. Jadi, Secara historis Nabi Saw. sebagai suri teladan umat tujuan diutusnya dua orang ḥakam itu adalah ”untuk

Islam justru tidak pernah memukul salah seorang menghilangkan perselisihan tersebut, bukan sekadar

istrinya sekalipun. Menurut al-Rāghib al-Asfaḥanī (w. untuk mengidentiikasi keberadaaan masalah saja.” 28 502 H), kata ḍaraba secara metoforis berarti “melakukan

Dalam konteks ini ḥakamayn bukan saja bertugas hubungan seksual” ( 33 َةَقَبنلا ُل نحَف َبَر َض). mendamaikan suami istri, tetapi juga dapat melindungi

Menurut M. Quraish Shihab, kata ḍaraba memiliki istri dari tindakan kekerasan yang mungkin dilakukan

banyak arti. Orang yang bepergian (musair) disebutkan suaminya. Karena konlik rumah tangga tersebut sangat

dalam Alquran dengan ḍaraba i al-arḍ. 34 Jelasnya, terbuka peluang suami melakukan kekerasan kepada

ḍaraba dalam Alquran mempunyai beberapa makna, istrinya.

antara lain: menimpa, meliputi, bepergian, memukul, Di samping itu, dispensasi pukulan mendidik istri

perumpamaan, menutup, dan membunuh. nusyu itu tidak boleh dilakukan secara semena-mena

Dari makna-makna tersebutlah kemudian sebagian oleh suami. Dalam hal ini Ibn Ḥajar al-Asqalanī (773-

ulama tafsir memahami makna ḍaraba bukan secara 852 H) mengatakan bahwa secara global memukul istri

hariahnya namun lebih kepada makna metaforis sehingga itu dibolehkan dengan tujuan mendidiknya bila suami

tidak terkesan Alquran menoleransi kekerasan yang melihat sikap istri yang tidak disukainya sementara

dilakukan suami kepada istrinya. Karena itu menurut keharusan istri menaatinya. Namun jika dirasa dengan

Muḥammad ‘Abduh (1849-1905 M), yang dimaksud ancaman saja sudah cukup, maka yang demikian

ḍaraba bukanlah makna hariahnya yang berkonotasi itu lebih baik. Jika tujuan sudah bisa dicapai dengan

penganiayaan atau kekerasan isik, melainkan dalam isyarat, maka tidak usah dengan tindakan. Hal ini

makna metaforisnya, yakni “mendidik” atau “memberi karena tindakan pukulan bisa menyebabkan terjadinya

pelajaran”. Menurut ‘Abduh, memukul istri bukan pertentangan yang merusak hubungan suami istri,

perintah menganiaya istri, sebab itu harus ditakwilkan kecuali dalam urusan yang berkaitan dengan maksiat

sebagai upaya memperbaiki perilaku atau akhlak tercela kepada Allah. 29 Pukulan kepada istri yang membangkang

dari istri ( جاتح رمأ وهف ل�و أتلا ىا جاتحيفركنتسمارمااِ� نتَسيَل ءاَسنلا ُبنر َض hanyalah sarana edukatif dan pembinaan akhlak istri,

dan bukan tujuan. Hal yang menjadi prioritas utama

30 Lihat al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ Aḥkām al-Qur’ān, Juz VI, h. 113.

adalah terwujudnya tujuan, yaitu ”kesadaran istri atas

31 Muḥammad Rashīd al-Uwayyid, Min Ajl Taḥrīr Ḥaqīqī li al- Mar’ah, terj. Ghazali Mukri, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta:

26 Abū al-Walīd Muḥammad ibn Aḥmad ibn Muḥammad ibn

’Izzan Pustaka, 2002), Cet. I, h. 2.

Aḥmad ibn Rushd al-Qurṭubī al-Andalūsī, Bidāyah Mujtahid wa 32 Al-Khaṭīb al-Sharbinī, Mughnī al-Muḥtāj, (Bayrūt: Dār al-Fikr, Nihāyah al-Muqtaṣid, (Semarang: Toha Putra, t.th.), Juz II, h. 74.

t.th.), Jilid III, h. 360.

27 Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Iḥyā’ 33 Al-Rāghib al-Asfahanī dalam Ashgar Ali Engineer, he Qur’an ’Ulūm al-Dīn, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1991 M/1411 H), Juz II, Cet. III,

Women and Modern Society, terj. Agus Nuryatno, Pembebasan h. 55-56.

Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), Cet. II, h. 71. 28 Ismā‘īl Ḥaqqī al-Buruswī, Tafsīr Rūḥ al-Bayān, terj. Syihabuddin,

34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, Terjemah Tafsir Ruhul Bayan, (Bandung: CV Diponegoro, 1996), Juz

2005), Vol. II, Cet. II, h. 431. Makna ḍaraba secara bahasa antara lain V, Cet. I, h. 75.

berarti bepergian, melakukan sesuatu, bergerak. Lihat Abū al-Faḍl 29 Aḥmad ibn ‘Alī ibn Ḥajar al-Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ Jamāl al-Dīn Muḥammad ibn Mukrim ibn Manẓūr al-Afrīqī al-Miṣrī,

al-Bukhārī, (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989 M/1410 H), Juz Lisān al-’Arab, ((Bayrūt: Dār ṣadr, 1990 M/ 1410H), Juz I, Cet. I, h. IX, Cet. I, h. 379.

544-545.

70 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

ةدسافلا قلخأا ةبلغ و ةئيبلا داسف لاح ى ) 35 mengabarkannya, bahwa ia menyaksikkan haji wadā‘ bersama Rasulullah Saw., beliau Saw. memuji,

Perlu dijelaskan, walaupun ada sejumlah ulama menyanjung Allah, lalu bersabda, ”Berwasiatlah kalian dan mufassir yang menggunakan makna “memukul”

kepada perempuan dengan baik, karena mereka di dalam pengertian isik, namun tindakan itu hanya

sisimu adalah tawanan. Kalian tidak memiliki hak apa- dibolehkan dalam kondisi yang sangat terpaksa apa selain yang demikian itu, kecuali mereka melakukan kemaksiatan secara terang-terangan. Jika demikian, (darurat), bukan bersifat anjuran, apalagi kewajiban.

maka pisahkan mereka dari tempat tidur (tidak digauli) Selain itu, dalam melakukan pemukulan tersebut harus

dan pukullah mereka tanpa menyakiti yang tidak tetap menghindari tindakan penganiayaan. Untuk itu,

meninggalkan bekas... (H.r. al-Tirmidhī) ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh

Makna pukulan yang tidak meninggalkan bekas suami jika terpaksa memukul istrinya, di antaranya: (1)

ini Aṭa’ (27-114 H) pernah menanyakannya kepada dilarang memukul dengan menggunakan alat, seperti

Ibn ‘Abbās (3-68 H), yang kemudian dijawab oleh Ibn tongkat dan sejenisnya; (2) dilarang memukul pada 40 ‘Abbās, “Dengan siwak dan sejenisnya.” Selaras dengan

bagian wajah; (3) dilarang memukul hanya pada satu pendapat ini, Imām Fakhr al-Dīn al-Rāzī (1150-1210 bagian tertentu; dan (4) dilarang memukul yang dapat

H) mengatakan, memukul itu harus menggunakan menimbulkan cedera, apalagi hingga cacat. 36 alat yang seringan-ringannya seperti terungkap dalam

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa kalaupun ayat tersebut. Sebelum memberikan hukuman pukulan pemukulan secara isik terpaksa dilakukan suami, namun

terlebih dahulu dinasihati, kemudian meningkat pisah tidak dapat disalahgunakan sebagai penganiayaan. Suami

ranjang, lalu memukul. Secara implisit menunjukkan juga dilarang memukul istri pada tiga kondisi, yaitu:

bahwa jika tujuan itu sudah bisa tercapai dengan cara Pertama, memukul istri tanpa melalui tahapan nasihat

yang lebih ringan, maka tidak perlu menggunakan cara dan pisah tempat tidur dengan istri. 37 Kedua, memukul

yang lebih berat. 41

yang bersifat dendam dan ingin menang sendiri. 38 Di samping itu dalam melaksanakan pemukulan istri Ketiga, memukul yang menyakitkan, karena pukulan

yang nusyu, menurut sebagian ulama, harus diserahkan yang dikehendaki ayat itu, adalah pukulan mendidik,

kepada pihak yang berwenang agar dihindari kekerasan bukan pukulan keras yang dapat meninggalkan bekas,

isik dari suami. Dalam kaitan ini pula, menurut atau sampai mematahkan tulang. Nabi Saw. bersabda:

Khwaja Ahmaduddin Amratsari seperti dikutip Asghar Ali Engineer, seorang suami tidak diizinkan memukul

istrinya, tetapi hal itu harus dipercayakan kepada sebuah

َمَلَسَو ِهنيَلَع ُهَللا ىَل َص ِهَللا ِلوُسَر َعَم ِعاَدَونلا َةَجَح َدِهَش mekanisme administratif, karena tidak ada manusia

(termasuk suami) berhak memukul seorang perempuan.

Pukulan kepada istri yang membangkang kepada suami

نمُكَدننِع ٌناَوَع َنُه اََنِإَف اًرنبيَخ ِءاَسِنلاِ� او ُصنوَبتنساَو َاَأ َلاَقَبف harus diserahkan kepada perempuan yang bijaksana.

Pendapat senada dikemukakan seorang penafsir dari

ٍة َشِحاَفِ� َيِتنأَ� ننَأ َاِإ َكِلَذ َرنبيَغ اًئنيَش َنُهنبنِم َنوُكِلنَت َسنيَل Pakistan, Parves, bahwa pukulan kepada perempuan yang nusyu harus dilakukan melalui pengadilan. 42 اً�نر َض َنُهوُ�ِر نضاَو ِعِجا َضَمنلا ِف َنُهوُرُجنهاَف َننلَعَبف ننِإَف ٍةَنِبيَببُم

Bahkan, Muḥammad Shahrūr mengartikan kata al-

39 )يذمرلا هاور)… ٍحِرَببُم َرنبيَغ ḍarb dengan tindakan salah satu pihak mengambil jarak

satu sama lain, agar tidak dapat menyakiti secara sosial. 43 Dari Sulaymān ibn ’Amr al-Aḥwaṣ, bapaknya

Dengan demikian, sejatinya ikih Islam anti terhadap

tindakan kekerasan isik yang dilakukan suami kepada

35 Muḥammad Rashīd Riḍā, Al-Qur’ān al-Karīm (Tafsīr al-Manār),

((Bayrūt: Dār al-Ma’rifah, 1973 M/1393 H), Juz V, Cet. II, h. 75.

istrinya.

36 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung: Mizan, 2004), Cet. I, h. 167. Secara

intertekstual, hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Saw., yang melarang 40 Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Aḥmad al-Ansarī al-Qurṭubī, suami memukul wajah, menghina istri, dan mengusir istri yang nusyu

Tafsīr al-Jāmi‘ Aḥkām al-Qur’ān, (Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, keluar dari rumah: حبقت تيبلا ف اا رجه ا و .و ا و هجولا برضت ا . Abū Dāwūd,

1993 M/1413 H), Jilid III, Juz V, h. 113.

Sunan Abū Dāwūd, (Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.th.]), Jilid I, h. 41 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Tafsīr al-Kabīr (Mafātīh al-Ghayb), Jilid 475.

V, Juz X, h. 73.

37 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Al-Tafsīr al-Kabīr (Mafātīh al-Ghayb), 42 Asghar Ali Engineer, he Qur’an Women and Modern Society, terj. (Bayrūt: Dār al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1990 M/1410 H), Jilid V, Juz X,

Agus Nuryatno, Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 73.

Cet. II, h. 77.

38 Muḥammad Rashīd al-Uwayyid, Min Ajl Taḥrīr Ḥaqīqī li al- 43 Muḥammad Shahrūr, Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’aṣirah, Mar’ah, h. 6-7.

terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin Dzikri, Prinsip dan Dasar 39 Al-Turmudhī, Sunan al-Turmudhī wa Huwa al-Jāmi’ al-Ṣaḥīḥ,

Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer (Yogyakarta: elSAQ Press, (Indonesia: Maktabah Dahlan, [t.th.]), Juz II, h. 315.

2007), Cet. II, h. 273.

La Jamaa: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih 71

Kekerasan Psikis dan Seksual dalam Rumah

sama dengan menghormati istri. Menghormati istri

Tangga

pertanda dari kemanusiaannya yang sempurna dan Suami berkewajiban untuk memperlakukan istrinya

merendahkannya sebagai tanda dari kejelekan dan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti istrinya 48 kerendahannya. Hal ini berarti bahwa suami yang

sesuai penegasan Allah: menggauli istrinya dengan baik menjadi pertanda ketinggian budi pekerti suami sendiri, dan sebaliknya,

ننَأ ىَسَعَبف َنُهوُمُتنهِرَك ننِإَف ِفوُرنعَمنلاِ� َنُهوُرِشاَعَو… suami yang berbuat kasar terhadap istrinya menjadi اًرِثَك اًرنبيَخ ِهيِف ُهَللا َلَعنَيَو اًئنيَش اوُهَرنكَت pertanda rendahnya budi pekerti suami.

Tegasnya, suami harus menggauli istri harus sesuai Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian

dengan tabiatnya yang nyata dan diperlakukan dengan bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)

karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Sebab, suatu tujuan yang

cara yang sebaik-baiknya. 49

Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (Q.s baik tidak akan memberikan hasil yang baik pula al-Nisā’ [4]: 19) 44 tanpa memperhatikan cara melakukannya. Begitu pula

Ayat ini mengisyaratkan bahwa kebaikan pergaulan dalam kehidupan rumah tangga, suami dituntut untuk dengan istri bukan sekadar tidak menyakiti perasaannya,

bersikap arif dan lapang dada terhadap istrinya. tetapi juga menahan diri dari semua sikap istri yang

Kewajiban suami dalam konteks ini menurut tidak disenangi suami. Dalam hal ini ada ulama yang

Abū al-A‘lā al-Mawdūdī (1903-1979 M), adalah memahami ungkapan ayat ِفوُرنعَمنلاِ� َنُهوُرِشاَعَو dalam arti

tidak menganiaya istri. Bentuk penganiayaan yang perintah untuk berbuat baik kepada istri yang dicintai

dimaksudkan, baik bersifat kekerasan isik dan psikis. maupun tidak. Kata makruf dipahami mencakup: tidak

Bentuk penganiayaan suami kepada istri yang tergolong mengganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu yakni

kekerasan psikis, di antaranya ilā’ yang dilakukan suami

terhadap istrinya. Ilā’ adalah enggan memenuhi nafsu menurut al-Sha‘rawī, perintah ayat di atas ditujukan

berbuat iḥsān dan berbaik-baik kepadanya. 45 Bahkan

seksual naluriah istri tanpa alasan syar’ī dengan maksud kepada para suami yang tidak mencintai lagi istrinya.

semata-mata menyakiti. Hukum Islam membatasi ilā’ Dia membedakan antara mawaddah yang seharusnya

maksimal empat bulan, selanjutnya suami diwajibkan menghiasi hubungan suami istri dengan makruf

menggauli istrinya, dan jika tidak mau, suami wajib yang diperintahkan di sini. Al-Mawaddah menurut

menceraikan istri. 50

dia adalah berbuat baik kepadanya, merasa senang Ketentuan hukum Islam dalam hal ini didasarkan bersamanya, serta bergembira dengan kehadirannya.

kepada irman Allah berikut ini:

Sedangkan makruf tidak harus demikian. Mawaddah pastilah disertai dengan cinta, sedangkan makruf tidak

mengharuskan adanya cinta. Karena itu, walau cinta

putus, tetapi makruf masih diperintahkan. 46 ٌميِلَع ٌعيَِس َهَللا َنِإَف َق َلَطلا اوُمَزَع ننِإَو ٌميِحَر ٌروُفَغ َهَللا

Kepada orang-orang yang meng-’ila istrinya diberi Selaras dengan pendapat al-Sha‘rawī, Imām Shāi‘ī

tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka (150-240 H) mengatakan, Allah telah menetapkan agar

kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah suami menunaikan kewajibannya dengan cara yang

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika patut. Makna patut di sini ialah memberikan kepada mereka ber-’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha

pemilik hak keperluannya, menunaikan dengan suka rela Mengetahui. (Q.s. al-Baqarah [2]: 226-227) 51 dan bukan karena terpaksa, serta tidak menampakkan

sikap tidak senang. Apabila salah satu di antara sifat- Menurut M. Quraish Shihab (l. 1944 M), ilā’ adalah sifat ini ditinggalkan, maka seseorang dianggap berlaku

sumpah yang dilakukan oleh suami, baik dalam keadaan aniaya, karena menunda pelaksanaan hak orang lain

marah mau pun tidak, untuk tidak melakukan hubungan

seks dengan istrinya. Penutup ayat ini mengandung termasuk kepada istri dan anak sendiri.

termasuk kezaliman. 47 Ketentuan ini berlaku umum,

kesan bahwa isi hati seseorang atau ucapan-ucapan Karena itu menurut al-Sayyid Sābiq (1915-2000

yang menyakitkan hati istri, didengar dan diketahui M), bergaul dengan cara yang baik pada hakikatnya

oleh Allah, sehingga suami hendaknya berhati-

44 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 119. 48 Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 160. 45 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2, h. 382.

49 Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 104. 46 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 2, h. 382-383.

50 Abū al-A‘lā al-Mawdūdī, Ḥuqūq al-Zawjayn, terj. Abu Amir 47 Abū ‘Abd Allāh Muḥammad ibn Idrīs al-Shāi‘ī, Mukhtaṣar Kitāb

Izza Rasyid Isma’il, Menjaga Keutuhan Rumah Tangga Islami dengan al-Umm i al-Fiqh, terj. Imron Rusadi dkk., Ringkasan Kitab al-Umm,

Menjaga Hak Suami Istri, (Yogyakarta: Absolut, t.th.), h. 26. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), Buku II, Cet. I, h. 429.

51 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 55.

72 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

hati. 52 Larangan terhadap ilā’ ini pada hakikatnya erat 57 makanan.” Terhadap pendapat ini, Imām al-Ghazālī kaitannya dengan perlindungan terhadap kepentingan

memberi komentar bahwa di dunia ini hanya ada satu istri. Ilā’ secara substansial merupakan bentuk kekerasan

kenikmatan yang hampir “menyamai” kenikmatan psikologis dan kekerasan seksual yang dilakukan suami

surga, yaitu saat kontak seksual. Apalagi saat klimaks, terhadap istrinya.

seseorang akan terlena dan melupakan semua hal. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Undang-

Dia hanya ingat satu kata: “nikmat”. Itulah gambaran Undang RI Nomor 23 Tahun 2004, ilā merupakan 58 surga. Hal ini menunjukkan, penyaluran kebutuhan

salah satu bentuk kekerasan psikis, sekaligus biologis merupakan persoalan serius sehingga menarik kekerasan seksual dalam rumah tangga, karena dengan

perhatian sebagian sui.

membiarkan istri tidak dipenuhi hasrat biologis dalam Selaras dengan asumsi di atas, Islam menilai tenggang waktu begitu lama, sama artinya menyiksa

hubungan seksual suami-istri sebagai ibadah dan istri secara psikologis dan seksual. Penyaluran hasrat

pendekatan diri kepada Allah, sesuai Hadis Rasulullah seksual merupakan kebutuhan setiap manusia dewasa,

Saw.:

termasuk istri. Karena itu, Ibn Ḥazm (384-456 H/993-1064

M) mengatakan, suami wajib mengumpuli istrinya sekurang-kurangnya satu kali setiap bulan, jika ia

mampu. Kalau tidak, maka berarti ia durhaka terhadap

Allah. Kebanyakan ulama sependapat dengan Ibn Ḥazm tentang kewajiban suami menggauli istrinya jika ia tidak

ada halangan. 53 Selaras dengan hal ini Muḥammad

Quṭb (1919-1965) mengatakan, “Naluri seksual sama tingginya dengan naluri untuk mendapatkan parfum

terbaik di dunia.” Maksudnya, hasrat biologis atau seks merupakan kebutuhan manusia: laki-laki dan

perempuan.

Alquran memberikan arahan tentang cara terbaik yang dapat memenuhi itrah dan naluri seksual secara

proposional. 55 Hubungan biologis antara suami

istri merupakan masalah sensitif dan mempunyai

dampak tersendiri dalam kehidupan rumah tangga. Dari Abū Dhar bahwa para sahabat Nabi Saw. berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memiliki

Tidak adanya perhatian terhadap masalah ini dapat kelebihan pahala yang tidak kami miliki. Mereka salat mengeruhkan kehidupan rumah tangga dan menganggu

seperti kami juga salat, mereka puasa seperti kami keharmonisan, bahkan dapat menghancurkan bahtera

puasa, mereka bersedekah dari kelebihan hartanya (dan rumah tangga. 56

hal ini tidak miliki). Nabi Saw. menjawab, ”Bukankah Allah telah menjadikan hal-hal lain sebagai sedekah.

Jelasnya, di antara potensi yang diberikan Tuhan Tiap tasbīḥ itu sedekah, tiap takbīr itu sedekah, setiap kepada manusia dalam penciptaannya ialah potensi

taḥmīd itu sedekah, tiap tahlīl itu sedekah, amar seksual dan kekuatan untuk melakukan hubungan ma‘rūf itu sedekah, mencegah perbuatan munkar itu sedekah, dan pada kemaluan setiap orang di

seksual, termasuk nafsu seks. Begitu pentingnya seks, antaramu itu ada sedekahnya”. Para sahabat bertanya, sehingga Shaykh Junayd al-Baghdādī (w. 910 H), seorang

”Wahai Rasulullah, apakah seseorang di antara kami imam besar dalam ilmu Tasawuf, pernah berkata, “Aku

apabila menyalurkan syahwatnya mendapat pahala?” Rasulullah Saw menjawab, ”Benar, bukankah apabila

membutuhkan seks sebagaimana aku membutuhkan dia menyalurkannya pada yang haram dia berdosa? Demikianlah, ketika ia menyalurkannya pada yang halal, maka ia mendapat pahala.” (H.r. Muslim)

52 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati,

Dalam Hadis ini diisyaratkan bahwa naluri seksual

2005), Volume I, Cet. II, h. 485-486. 53 Al-Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, h. 109.

manusia yang tidak terkontrol atau terkendali akan

54 Muḥammad Quṭub, Islam the Misunderstood Religion, terj. Fungky Kusnadi Timur, Islam Agama Pembebas, (Yogyakarta: Pustaka

57 ‘Alī Aḥmad al-Jurjawī, Ḥikmah al-Tashrī’ wa Falsafatuh, (Bayrūt: Pelajar, 2001), Cet. II, h. 321.

Dār al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 9.

55 Yūsuf al-Qaraḍawī, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām i al-Islām, terj. Wahid 58 Abū Ḥāmid Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, Iḥyā’ Ahmadi, Halal Haram dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2000),

’Ulūm al-Dīn, h. 31.

Cet. II, h. 277. 59 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, (Bayrūt: Dār al-Fikr, 1992 M/1412 H), 56 Lihat Yūsuf al-Qaraḍawī, Fatwa-Fatwa, Jilid I, h. 608-609.

Juz II, Cet. I, h. 445.

La Jamaa: Kekerasan dalam Rumah Tangga Perspektif Fikih 73

mendatangkan dosa. Sebaliknya, nafsu seksual yang istri dalam kondisi sakit keras, sangat kelelahan, atau dikelola dan dikendalikan untuk kemaslahatan hidup

sebab lain, tidaklah tercakup dalam kandungan Hadis manusia akan memberikan pahala. Selaras dengan

dimaksud.

hal ini, ikih Islam melarang istri menolak ajakan Dengan demikian, Islam tidak mengajarkan dan suami tanpa alasan syar’ī, untuk melakukan hubungan

menoleransi kekerasan yang dilakukan umatnya, biologis. Rasulullah Saw. bersabda:

terutama kekerasan yang dilakukan suami saat melakukan

:َمَلَسَو ِهنيَلَع ُهَللا ىَل َص ِهَللا ُل نوُسَر َلاَق َلاَق َةَرنب�َرُه ِبَأ ننَع hubungan seksual dengan istrinya, sehingga bernuansa

pemerkosaan. Sebab secara hariah, pemerkosaan berarti

َناَب نضَغ َتاَبَبف ِهِتنأَت نمَلَبف ِهِشاَرِف َىِإ ُهَتَأَرنما ُلُجَرلا اَعَد اَذِإ “mengambil milik orang lain secara paksa dengan

menggunakan kekerasan atau ancaman.”

Salah satu indikasi bahwa ikih Islam menentang Dari Abū Hurayrah R.a., berkata, Rasulullah Saw.

kekerasan seksual adalah tuntunan Nabi Saw. agar bersabda, “Apabila seorang suami mengajak istrinya

dalam hubungan seksual, suami melakukan pemanasan ke tempat tidurnya, tetapi istri tidak melayaninya,

terlebih dahulu (foreplay). Nabi Saw. bersabda: kemudian suami tidur dalam keadaan marah kepadanya,

maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari (subuh). (H.r. Muslim)

Dalam kaitan ini, Yūsuf al-Qaraḍawī mengatakan

bahwa laknat yang disebutkan dalam Hadis di atas

terjadi jika istri tidak sedang uzur seperti sakit atau

karena ada halangan shar’i (haid, nifas), dan sebagainya. 61 Dari Abū Hurayrah R.a. (bahwa) Nabi Saw. Bersabda, Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan “Janganlah salah seorang di antaramu menggauli istrinya

seperti seekor binatang. Hendaklah terlebih dahulu ia keengganan istri lantaran sifat egois semata atau

memberikan rangsangan dengan ciuman dan rayuan.” kesalahan persepsi terhadap hubungan seksual. Jelasnya,

(H.r. Aḥmad)

Hadis itu ditujukan kepada istri yang menolak melayani Realitasnya, perempuan biasanya lebih romantis hasrat seksual suami untuk menyakiti hati suaminya. daripada laki-laki walaupun dalam beberapa kasus

Sebaliknya, Hadis tersebut tidak melegitimasi kekerasan terdapat perempuan yang kurang memiliki sense of

seksual suami kepada istri. romantic. Jika perempuan lebih memiliki sifat romantis,

Munculnya keengganan istri memenuhi hasrat maka dibutuhkan rayuan yang cukup yang dapat seksual suami bisa jadi didorong oleh anggapannya

membuatnya terbang dalam gairah. Hal yang sama juga bahwa hubungan seksual hanyalah pelayanan terhadap

dapat dilakukan melalui ciuman. 65 suami, sehingga perasaan itu menghalanginya

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa jika menikmati seks. Persepsi itu berkaitan pula dengan

tanpa pemanasan saja kurang disukai oleh Islam, maka anggapannya bahwa pernikahan bukanlah hasil cinta

kasus pemaksaan hubungan seksual yang pernah terjadi dan hubungan perasaan, sehingga mengalami frigiditas.

berupa pemaksaan anal seks, oral seks, pemaksaan Frigiditas (kekakuan dalam hubungan seksual) yang

hubungan seksual pada saat istri haid, atau disertai dialami istri seringkali disebabkan oleh egoisme suami

62 ancaman, tentu dilarang dan diharamkan dalam Islam. dalam memuaskan kebutuhan seksualnya. Demikian pula haram suami yang menjual istri kepada

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa orang lain atau memaksa istri menjadi pelacur untuk dalam pelaksanaan kewajiban istri memenuhi hasrat

tujuan komersial, seperti kasus Yudhi yang divonis satu seksual suami merupakan hubungan perasaan dua

tahun penjara karena menjual istrinya, Rini Sundari, insan sebagai relasi suami istri dalam memperoleh

dengan tarif minimal Rp 300.000 sekali “pakai”. Hasil kenikmatan dan kebahagiaan. Karena itu ancaman

“penjualan” itu digunakan Yudhi untuk berfoya-foya. 66 yang diungkapkan dalam Hadis itu ditujukan terhadap

penolakan istri yang dilandasi sikap arogansi terhadap

63 suaminya, yakni sengaja dilakukan untuk menyakiti Ifatin Nur, “Kejahatan Seksual Berbasis Jender dalam Wacana

Hukum Pidana Islam,” dalam Jurnal Dinamika Penelitian STAIN

perasaan suami. Akan tetapi jika penolakan itu

Tulungagung, Vol. 1, Nomor 1, Agustus 2001, h. 55.

dilakukan karena ada sebab yang manusiawi, misalnya 64 Aḥmad ibn Ḥanbal, Musnad Aḥmad ibn Ḥanbal, (Bayrūt: Dār

al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 368.

65 Abu Umar Basyier dan Abu Ibrahim, Sutra Ungu Panduan 60 Muslim, Ṣaḥīḥ Muslim, h. 663.

Berhubungan Intim dalam Perspektif Islam, (Solo: Nikah Media Samara, 61 Yūsuf al-Qaradawī, Fatwa-Fatwa, Jilid I, h. 611.

2005), Cet. IV, h. 39-40.

62 Zakariyyā Ibrāhīm, Sīkūlūjiyyah al-Mar’ah, terj. Ghazi Saloom, 66 Irwan Abdullah, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Psikologi Wanita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. I, h. 99.

(Yogyakarta: Tawarang Press, 2001), Cet. I, h. 47.

74 Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013

Sikap suami yang memaksa istri melacurkan yang diemban suami yang harus dilaksanakan, kecuali diri untuk tujuan komersil pada hakikatnya telah

istri memberi kesempatan ditangguhkan atau dimaafkan menjurus kepada pemaksaan untuk berzina bahkan

tidak dibayar atas kerelaan istri, sesuai irman Allah perbudakan terhadap istri. Sedangkan pemaksaan

berikut ini:

melacurkan diri dan berzina dilarang dalam Islam. Memperbudak seseorang, termasuk istri, sama artinya

telah mematikan jiwanya. Walaupun ia masih bernyawa dan beraktivitas, namun pada hakikatnya ia telah mati

karena kebebasaannya telah hilang.

Begitu pula kekerasan seksual dalam rumah tangga, … maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) berupa pemaksaan anal seks kepada istri (liwat).

di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya Karena anal seks secara medis bisa menimbulkan

(dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan penderitaan (rasa sakit) bagi istri pada anusnya dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya. Sesungguhnya Allah

Islam mengharamkan anal seks. Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Q.s. al-Nisā’ Dari urain di atas, ikih Islam tampaknya anti 71 [4]: 24)

terhadap kekerasan psikis dan seksual yang dilakukan Pada hakikatnya mahar bukanlah harga seorang suami kepada istrinya.

wanita (istri) secara materi, akan tetapi mahar merupakan lambang (tanda) kecintaan suami terhadap

Kekerasan Ekonomi dalam Rumah Tangga

istrinya, serta “lambang kesiapan dan kesediaan suami Berikut ini beberapa bentuk kekerasan ekonomi

untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak- dalam keluarga. Pertama, pengabaian mahar istri. 72 anaknya.”

Menurut ikih Islam, berkewajiban memenuhi hak-hak Kewajiban pemberian mahar yang dibebankan material istrinya, baik berupa mahar, nafkah, pakaian,

kepada suami dan bukan kepada istri pada hakikatnya dan tempat tinggal.

berkaitan dengan realitas sosial bahwa laki-lakilah Salah satu kewajiban suami kepada istrinya sebelum

yang biasanya berinisiatif mengungkapkan perasaan dilangsungkan akad pernikahan adalah memberikan

cintanya kepada perempuan dan meminangnya, mahar atau ṣidāq. Menurut Wahbah al-Zuhaylī (l.

bukan sebaliknya. Untuk menegaskan ketulusannya 1932 M), istri berhak mendapatkan material dari

dan untuk perhatian perempuan (calon istri), laki-laki suaminya: mahar dan nafkah. 67 Dalam kaitan ini