TARIKH TARJAMAH DAN SIRAH APA DAN BAGAIM
TARIKH, TARJAMAH, DAN SIRAH: APA DAN BAGAIMANA
Oleh Rimbun Natamarga
Bagi sebagian orang, terdapat beda nyata antara istilah tarikh, tarjamah, dan sirah. Di sini,
kita akan sedikit membahas tentang beda ketiga istilah itu.
Tarikh, dalam bahasa Indonesia, dibahasakan sebagai kronik. Orang yang menulis
kronik disebut chronicler atau pencatat waktu.
Biasanya, suatu pemerintahan akan menugaskan secara khusus seorang pencatat
waktu yang akan selalu mencatat kejadiankejadian penting terkait pemerintahan itu.
Seorang khalifah, sultan atau raja, seperti yang kita temukan dalam bukubuku sejarah,
selalu saja memiliki orangorang yang biasa disebut dengan sejarawan istana.
Dalam kasuskasus tertentu, dan juga karena sejarawansejarawan istana itu adalah
pakar dalam satu atau beberapa bidang pengetahuan seperti bahasa dan sastra atau
pengobatan dan pengetahuan eksak serta yang lainnya, mereka disebut juga sebagai
pujanggapujangga istana atau pujanggapujangga keraton. Untuk contoh sederhana, sebagian
masyarakat kita mengenal Mpu Prapanca sebagai pujangga istana zaman Majapahit dan
Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir keraton Jawa. Mereka berdua menuliskan
kejadiankejadian penting untuk rajaraja mereka.
Dalam prakteknya, pencatat waktu itu akan mencatat peristiwaperistiwa yang ada
secara berurutan. Hasil kerjanya adalah sebuah kronologi, semacam daftar kejadian.
Sering kali pula, antara satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya tidak terkait.
Bahkan, akan tidak tampak sebuah kisah atau cerita dalam sebuah kronik. Dari sudut
pandang peneliti sejarah, kronik masih teranggap sebagai bahan “mentah” yang perlu
diolah lebih jauh.
Bisa dikatakan, tarikh seperti itu pula. Biasanya, dalam sebuah karya tarikh,
penyusun akan mengurutkan kejadian demi kejadian sesuai urutan waktu.
Ia tidak tertalu peduli pada kisah atau cerita yang terbangun. Pada tahun sekian
Hijriah, misalnya, terjadi hujan kodok dari langit. Pada tahun berikutnya, Khalifah Fulan
yang agung meninggaldunia setelah sakit berharihari. Untuk mengawali entri, sering
hanya dijuduli dengan PeristiwaPeristiwa pada Tahun KeSekian Hijriah.
Dalam karyakarya berbahasa Arab, orangorang yang menyusun tarikh disebut
sebagai muarrikh. Istilah muarrikh, sayangnya, sering kita bahasakan sebagai ahli sejarah atau
sejarawan.
Berbeda dengan tarikh adalah tarjamah. Dalam bahasa kita, kata yang pas untuk
membahasakan tarjamah adalah profil atau riwayat keberadaan (baca: riwayat hidup).
Kebanyakan tarjamah mengetengahkan keterangan singkat tentang seseorang, mulai
dari lahirnya sampai meninggaldunia. Melihat dunia kita sekarang, tarjamahtarjamah itu
mirip dengan curicullum vitae yang biasa dibuat untuk melamar kerja.
Meski demikian, tarjamah juga diperuntukkan pada sesuatu yang bukan personal.
Terkadang kita justru menemukan tarjamahtarjamah yang tulen sebagai tarikh, lebih banyak
mengedepankan uraian singkat sejumlah peristiwa penting.
Berbeda dengan sirah. Istilah sirah tidak akan cukup untuk dimaknai dengan riwayat
hidup. Sirah lebih tepat dibahasakan sebagai biografi, sebuah kata dalam bahasa Indonesia
yang diserap dari kata biography, tulisan tentang perjalanan hidup seseorang.
Bagi sebagian orang, biografi dibedakan dari otobiografi (autobiography). Sebuah
biografi, biasanya, disusun dan ditulis oleh orang lain, bukan tokoh yang perjalanan
hidupnya diangkat dalam biografi itu. Adapun otobiografi, tokoh yang perjalanan hidupnya
diangkat itulah yang menyusun dan menuliskannya.
Otobiografi sendiri ternyata berbeda dengan apa yang disebut sebagai memoar,
meskipun banyak orang yang mencampuradukkan antara keduanya. Dalam sebuah
otobiografi, yang menjadi sentral, titikpusat, segala kejadian adalah pribadi si penulis
sendiri dengan seluruh perjalanan hidupnya. Sementara itu, memoar lebih memberikan
perhatian pada kejadiankejadian di sekitar dan di luar diri penulisnya.
Di tengah masyarakat umum sekarang, biografi atau otobiografi sudah dibedakan
dari tulisan sejarah. Menurut mereka, biografi menjadikan individu atau tokoh yang
dikisahkan itu sebagai perhatian utama, sedangkan tulisan sejarah menjadikan masyarakat
sebagai sasaran perhatiannya.
Demikian dari sudut pelaku. Dalam biografi, sang tokoh yang diperlakukan sebagai
seorang aktor sejarah adalah segalagalanya; sang tokohlah yang jadi pusat perhatian.
Berbeda dengan itu, dalam tulisan sejarah, manusia yang berupa kumpulankumpulan
individu yang menjadi unsur utama dalam sejarah diperlakukan sebagai bagian dari
dinamika sosial. Artinya, tulisan sejarah menyorot dinamika, perubahan, yang terjadi di
masyarakat.
Karena itulah, untuk memahami dan mendalami kehidupan sang tokoh, seorang
penyusun biografi dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang latar belakang, lingkungan
sosialbudaya tempat sang tokoh hidup dan berproses, watak orangorang yang hidup di
sekitar sang tokoh, bahkan, mungkin juga, pengetahuan tentang proses pendidikan yang
diterima dan dilalui oleh sang tokoh selama hidupnya. Artinya, menulis biografi bukan
sesuatu yang sepele, terlebih lagi jika sang tokoh yang diangkat adalah pribadipribadi
seperti nabinabi Allah.
Adapun sejarah atau history (Inggris), historia (Latin dan Yunani), geschite (Jerman),
geschieden (Belanda), pada asalnya, memiliki arti cerita tentang peristiwa dan kejadian masa
lampau. Kata sejarah sendiri berasal dari sebuah kata dalam bahasa Arab, syajarah yang
berarti pohon.
Dikatakan pohon, karena pada awalnya di tengah kita tulisan sejarah itu tidak lebih
dari uraian tentang silsilahsilsilah nasab (baca: pohon silsilah) seseorang atau sekelompok
orang. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan sejarah itu berasal dari syajara, sebuah kata
kerja dalam bahasa Arab yang berarti terjadi atau telah terjadi.
Kembali ke sirah, riwayat penulisan sirah Rasulullah atau sirah nabawiyyah di tengah
kaum muslimin tergolong cukup tua. Bisa dikatakan hampir setua riwayat penulisan dan
pembukuan haditshadits Rasulullah. Bahkan, penulisan sirah itu sendiri muncul dari
tengahtengah para pencari hadits pada abad pertama dan kedua Hijriah.
Di tengah kaum muslimin, orangorang yang dianggap sebagai penyusun karya
sirah pertama kali adalah Urwah bin AzZubair bin Al‘Awwam, Aban bin Utsman bin
‘Affan, Wahb bin Munabbih, Syarahbil bin Sa’ad, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az
Zuhri, dan Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm. Bagaimana pun, di tengah kita, mereka yang
disebut lebih dikenal sebagai ulamaulama ahlul hadits yang mencari, mengumpulkan dan
menyampaikan riwayatriwayat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barulah, setelah generasi mereka, muncul orangorang yang dikatakan menyusun
secara khusus riwayatriwayat tentang perjalanan hidup Rasulullah atau kejadiankejadian
penting semasa hidup Rasulullah. Di antara mereka, yang patut dicatat di sini adalah Musa
bin Uqbah, Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Hisyam.
Musa bin Uqbah adalah salah seorang murid Muhammad bin Muslim bin Syihab
AzZuhri. Karyanya yang terkenal adalah AlMaghazi atau sering juga disebut AlMaghazi
Musa bin Uqbah.
Karya tersebut mengumpulkan riwayatriwayat tentang peperangan. Imam Malik
dan Imam AsySyafi’i diketahui pernah memuji AlMaghazi milik Musa bin Uqbah itu.
Demikian pula AdzDzahabi. AlMaghazi Musa bin Uqbah itu hanya satu jilid dan
pernah dikaji oleh AdzDzahabi. Akan tetapi, menurut AdzDzahabi, “kitab itu memerlukan
keterangan tambahan dan pelengkappelengkap lainnya.”
Muhammad bin Ishaq bin Yasar mawla Qais lebih dikenal dengan Ibnu Ishaq.
Kakeknya, Yasar, termasuk salah seorang tawanan pada masa pemerintahan Abu Bakar
AshShiddiq. Ditawan, ia kemudian dibawa ke Madinah dan menurunkan anak
keturunannya di sana.
Semasa muda, Ibnu Ishaq menghabiskan waktunya untuk mencari haditshadits ke
sejumlah tempat. Kotakota di Mesir, Irak, dan Khurasan pernah ia singgahi untuk hadir
dalam majelismajelis ahlul hadits setempat.
Tempat persinggahan terakhir Ibnu Ishaq adalah Baghdad, Irak. Di kota itulah, ia
meninggaldunia pada 152 H.
Karyanya yang terkenal adalah Sirah Ibn Ishaq. Karya ini ditulis pada masa
pemerintahan Khalifah AlMansur dari Bani Abbasiyah. Di tengah kita, karya itu sampai
dalam rupa Sirah Ibn Hisyam yang tidak lebih dari ringkasan atas Sirah Ibn Ishaq.
Ibnu Hisyam meriwayatkan kitab Sirah Ibn Ishaq dari Ziyad bin Abdil Malik Al
Bakka`i AlKufi. Berbeda dari orangorang yang meriwayatkan karya itu, Ibnu Hisyam
mengadakan kritik dan merapikan karya Ibnu Ishaq sebelum disampaikan kembali kepada
khalayak.
Karena itu, karya tersebut jadi lebih dikenal sebagai Sirah Ibn Hisyam. Di dalamnya,
kita sering kali membaca, “Ibnu Ishaq berkata, …” atau “Muhammad bin Ishaq
meriwayatkan…”.
Ibnu Hisyam sendiri adalah Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub AlHimyari. Ia
dibesarkan di kota Bashrah, Irak. Setelah itu, ia pergi dan tinggal di Mesir. Di sana, ia
sempat bertemu dengan Imam AsySyafi’i. Pada 218, Ibnu Hisyam meninggaldunia di kota
Fushthath, Mesir.
Di luar ringkasan Sirah Ibn Ishaq, Ibnu Hisyam juga mewariskan karya berupa ulasan
terhadap kalimatkalimat rumit pada syairsyair yang ada dalam karyakarya sirah. Sirah Ibn
Hisyam sendiri banyak mencantumkan untaianuntaian bait syair yang gampang membuat
bosan pembacapembaca zaman sekarang.
Tidak mengherankan, jika Sirah Ibn Hisyam itu diringkas kembali oleh Abdus Salam
Harun. Anak penulis karya Talkhis AdDurus AlAwwaliyah fi AsSirah AlMuhammadiyah ini
membuang banyak uraianuraian yang tidak perlu dalam Sirah Ibn Hisyam, termasuk syair
syair panjang. Terkumpulkan dalam satu jilid, ringkasan itu kemudian diterbitkan dengan
judul Tahdzib Sirah Ibn Hisyam.
Setelah mereka, mulailah bermunculan karyakarya sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ada yang tulen berisi sirah Rasulullah, ada juga yang menggabungkannya dengan
peristiwaperistiwa lainnya sebagai sebuah karya tarikh.
Di antara yang patut disebutkan di sini adalah AthThabaqah AlKubra karya
Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), Tarikh ArRusul wa AlMuluk karya Muhammad
bin Jarir AthThabari (wafat tahun 310 H), AdDurar fi Ikhtishar AlMaghazi wa AsSiyar karya
Ibnu Abdil Bar (wafat tahun 463 H), Jawami’ AsSirah karya Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H),
AlKamil fi AthTarikh karya Ibnul Atsir AlJaziri (wafat tahun 632 H), Zadul Ma’ad fi Hadyi
Khairil ‘Ibad karya Ibnu Qayyim AlJauziyyah (wafat tahun 751 H), AsSirah AnNabawiyyah
karya AdzDzahabi (wafat tahun 748 H), dan AlBidayah wa AnNihayah karya Ibnu Katsir
(wafat tahun 774 H).
Dulu, salah seorang syaikh di Yaman pernah ditanya oleh seseorang, “Kitab sirah
apa yang paling bagus untuk dibaca?”. Waktu itu, syaikh yang dimaksud menjawab, “Ar
Rahiq AlMakhtum dan Mukhtashar Sirah Rasul.”
ArRahiq AlMakhtum: Bahtsun fi AsSirah AnNabawiyyah adalah karya
Shafiyurrahman AlMubarakfuri. Sejatinya, karya itu berasal dari naskah dalam lomba
penulisan sejarah hidup Rasulullah.
Memenangi perlombaan internasional itu, naskah tersebut digarap dan diterbitkan
menjadi sebuah kitab tersendiri. Sampai hari ini, ArRahiq AlMakhtum telah diterjemahkan
dan diterbitkan ke dalam berbagai bahasa serta dicetak berkalikali.
Dalam bahasa Indonesia, ArRahiq AlMakhtum telah diterbitkan oleh beberapa
penerbit. Termasuk penerbit yang terakhir menerbitkan terjemahan ArRahiq AlMakhtum itu
adalah salah satu lini penerbit milik Mizan.
Yang paling menarik dari ArRahiq AlMakhtum adalah sikap berhatihati dari
penulisnya. Shafiyurrahman AlMubarakfuri tidak terjebak atau mungkin larut berdalam
dalam pada masalahmasalah yang diperselisihkan oleh para ulama sirah.
Dalam permasalahan “ayatayat” setan, misalnya, Shafiyurrahman AlMubarakfuri
seperti mencari cara yang tepat agar para pembaca tidak bertanyatanya lebih dalam.
Dengan kalimatkalimat yang datar, dapat dikatakan, kebanyakan pembaca dibawa agar
tidak mengetahui permasalahan itu, seperti tidak dibiarkan ada celah sekecil apapun untuk
tahu masalah itu.
Permasalahan “ayatayat” setan menjadi bahan perselisihan di kalangan para ulama.
Sebagian mereka menilai, riwayatriwayat tentang peristiwa itu tidak dapat diterima karena
ada kecacatan dalam rantai periwayatnya. Sebagian yang lain justru menilai, riwayat
riwayat tersebut dapat diterima.
Syaikh Muhammad Nashiruddin AlAlbani, salah seorang syaikh Salafi di Yordania,
sampai pernah menulis sebuah risalah khusus tentang riwayatriwayat peristiwa “ayat
ayat” setan itu. Risalah itu berjudul Nashb AlMajaniq li Nasfi Qishshah AlGharaniq.
Berbeda dengan ArRahiq AlMakhtum, dalam Mukhtashar Sirah ArRasul, peristiwa
“ayatayat” setan itu dijelaskan secara gamblang oleh penulisnya. Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab sengaja menambahkan penjelasan tentang peristiwa itu agar para pembaca
dapat menarik pelajaran penting, terutama terkait permasalahan tauhid dan syirik.
Penjelasan tentang itu, bahkan, ia ulang di dua tempat dalam karya tersebut, bagian
pengantar dan bagian isi.[]
Oleh Rimbun Natamarga
Bagi sebagian orang, terdapat beda nyata antara istilah tarikh, tarjamah, dan sirah. Di sini,
kita akan sedikit membahas tentang beda ketiga istilah itu.
Tarikh, dalam bahasa Indonesia, dibahasakan sebagai kronik. Orang yang menulis
kronik disebut chronicler atau pencatat waktu.
Biasanya, suatu pemerintahan akan menugaskan secara khusus seorang pencatat
waktu yang akan selalu mencatat kejadiankejadian penting terkait pemerintahan itu.
Seorang khalifah, sultan atau raja, seperti yang kita temukan dalam bukubuku sejarah,
selalu saja memiliki orangorang yang biasa disebut dengan sejarawan istana.
Dalam kasuskasus tertentu, dan juga karena sejarawansejarawan istana itu adalah
pakar dalam satu atau beberapa bidang pengetahuan seperti bahasa dan sastra atau
pengobatan dan pengetahuan eksak serta yang lainnya, mereka disebut juga sebagai
pujanggapujangga istana atau pujanggapujangga keraton. Untuk contoh sederhana, sebagian
masyarakat kita mengenal Mpu Prapanca sebagai pujangga istana zaman Majapahit dan
Ronggowarsito sebagai pujangga terakhir keraton Jawa. Mereka berdua menuliskan
kejadiankejadian penting untuk rajaraja mereka.
Dalam prakteknya, pencatat waktu itu akan mencatat peristiwaperistiwa yang ada
secara berurutan. Hasil kerjanya adalah sebuah kronologi, semacam daftar kejadian.
Sering kali pula, antara satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya tidak terkait.
Bahkan, akan tidak tampak sebuah kisah atau cerita dalam sebuah kronik. Dari sudut
pandang peneliti sejarah, kronik masih teranggap sebagai bahan “mentah” yang perlu
diolah lebih jauh.
Bisa dikatakan, tarikh seperti itu pula. Biasanya, dalam sebuah karya tarikh,
penyusun akan mengurutkan kejadian demi kejadian sesuai urutan waktu.
Ia tidak tertalu peduli pada kisah atau cerita yang terbangun. Pada tahun sekian
Hijriah, misalnya, terjadi hujan kodok dari langit. Pada tahun berikutnya, Khalifah Fulan
yang agung meninggaldunia setelah sakit berharihari. Untuk mengawali entri, sering
hanya dijuduli dengan PeristiwaPeristiwa pada Tahun KeSekian Hijriah.
Dalam karyakarya berbahasa Arab, orangorang yang menyusun tarikh disebut
sebagai muarrikh. Istilah muarrikh, sayangnya, sering kita bahasakan sebagai ahli sejarah atau
sejarawan.
Berbeda dengan tarikh adalah tarjamah. Dalam bahasa kita, kata yang pas untuk
membahasakan tarjamah adalah profil atau riwayat keberadaan (baca: riwayat hidup).
Kebanyakan tarjamah mengetengahkan keterangan singkat tentang seseorang, mulai
dari lahirnya sampai meninggaldunia. Melihat dunia kita sekarang, tarjamahtarjamah itu
mirip dengan curicullum vitae yang biasa dibuat untuk melamar kerja.
Meski demikian, tarjamah juga diperuntukkan pada sesuatu yang bukan personal.
Terkadang kita justru menemukan tarjamahtarjamah yang tulen sebagai tarikh, lebih banyak
mengedepankan uraian singkat sejumlah peristiwa penting.
Berbeda dengan sirah. Istilah sirah tidak akan cukup untuk dimaknai dengan riwayat
hidup. Sirah lebih tepat dibahasakan sebagai biografi, sebuah kata dalam bahasa Indonesia
yang diserap dari kata biography, tulisan tentang perjalanan hidup seseorang.
Bagi sebagian orang, biografi dibedakan dari otobiografi (autobiography). Sebuah
biografi, biasanya, disusun dan ditulis oleh orang lain, bukan tokoh yang perjalanan
hidupnya diangkat dalam biografi itu. Adapun otobiografi, tokoh yang perjalanan hidupnya
diangkat itulah yang menyusun dan menuliskannya.
Otobiografi sendiri ternyata berbeda dengan apa yang disebut sebagai memoar,
meskipun banyak orang yang mencampuradukkan antara keduanya. Dalam sebuah
otobiografi, yang menjadi sentral, titikpusat, segala kejadian adalah pribadi si penulis
sendiri dengan seluruh perjalanan hidupnya. Sementara itu, memoar lebih memberikan
perhatian pada kejadiankejadian di sekitar dan di luar diri penulisnya.
Di tengah masyarakat umum sekarang, biografi atau otobiografi sudah dibedakan
dari tulisan sejarah. Menurut mereka, biografi menjadikan individu atau tokoh yang
dikisahkan itu sebagai perhatian utama, sedangkan tulisan sejarah menjadikan masyarakat
sebagai sasaran perhatiannya.
Demikian dari sudut pelaku. Dalam biografi, sang tokoh yang diperlakukan sebagai
seorang aktor sejarah adalah segalagalanya; sang tokohlah yang jadi pusat perhatian.
Berbeda dengan itu, dalam tulisan sejarah, manusia yang berupa kumpulankumpulan
individu yang menjadi unsur utama dalam sejarah diperlakukan sebagai bagian dari
dinamika sosial. Artinya, tulisan sejarah menyorot dinamika, perubahan, yang terjadi di
masyarakat.
Karena itulah, untuk memahami dan mendalami kehidupan sang tokoh, seorang
penyusun biografi dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang latar belakang, lingkungan
sosialbudaya tempat sang tokoh hidup dan berproses, watak orangorang yang hidup di
sekitar sang tokoh, bahkan, mungkin juga, pengetahuan tentang proses pendidikan yang
diterima dan dilalui oleh sang tokoh selama hidupnya. Artinya, menulis biografi bukan
sesuatu yang sepele, terlebih lagi jika sang tokoh yang diangkat adalah pribadipribadi
seperti nabinabi Allah.
Adapun sejarah atau history (Inggris), historia (Latin dan Yunani), geschite (Jerman),
geschieden (Belanda), pada asalnya, memiliki arti cerita tentang peristiwa dan kejadian masa
lampau. Kata sejarah sendiri berasal dari sebuah kata dalam bahasa Arab, syajarah yang
berarti pohon.
Dikatakan pohon, karena pada awalnya di tengah kita tulisan sejarah itu tidak lebih
dari uraian tentang silsilahsilsilah nasab (baca: pohon silsilah) seseorang atau sekelompok
orang. Akan tetapi, ada juga yang mengatakan sejarah itu berasal dari syajara, sebuah kata
kerja dalam bahasa Arab yang berarti terjadi atau telah terjadi.
Kembali ke sirah, riwayat penulisan sirah Rasulullah atau sirah nabawiyyah di tengah
kaum muslimin tergolong cukup tua. Bisa dikatakan hampir setua riwayat penulisan dan
pembukuan haditshadits Rasulullah. Bahkan, penulisan sirah itu sendiri muncul dari
tengahtengah para pencari hadits pada abad pertama dan kedua Hijriah.
Di tengah kaum muslimin, orangorang yang dianggap sebagai penyusun karya
sirah pertama kali adalah Urwah bin AzZubair bin Al‘Awwam, Aban bin Utsman bin
‘Affan, Wahb bin Munabbih, Syarahbil bin Sa’ad, Muhammad bin Muslim bin Syihab Az
Zuhri, dan Abdullah bin Abi Bakr bin Hazm. Bagaimana pun, di tengah kita, mereka yang
disebut lebih dikenal sebagai ulamaulama ahlul hadits yang mencari, mengumpulkan dan
menyampaikan riwayatriwayat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barulah, setelah generasi mereka, muncul orangorang yang dikatakan menyusun
secara khusus riwayatriwayat tentang perjalanan hidup Rasulullah atau kejadiankejadian
penting semasa hidup Rasulullah. Di antara mereka, yang patut dicatat di sini adalah Musa
bin Uqbah, Muhammad bin Ishaq dan Ibnu Hisyam.
Musa bin Uqbah adalah salah seorang murid Muhammad bin Muslim bin Syihab
AzZuhri. Karyanya yang terkenal adalah AlMaghazi atau sering juga disebut AlMaghazi
Musa bin Uqbah.
Karya tersebut mengumpulkan riwayatriwayat tentang peperangan. Imam Malik
dan Imam AsySyafi’i diketahui pernah memuji AlMaghazi milik Musa bin Uqbah itu.
Demikian pula AdzDzahabi. AlMaghazi Musa bin Uqbah itu hanya satu jilid dan
pernah dikaji oleh AdzDzahabi. Akan tetapi, menurut AdzDzahabi, “kitab itu memerlukan
keterangan tambahan dan pelengkappelengkap lainnya.”
Muhammad bin Ishaq bin Yasar mawla Qais lebih dikenal dengan Ibnu Ishaq.
Kakeknya, Yasar, termasuk salah seorang tawanan pada masa pemerintahan Abu Bakar
AshShiddiq. Ditawan, ia kemudian dibawa ke Madinah dan menurunkan anak
keturunannya di sana.
Semasa muda, Ibnu Ishaq menghabiskan waktunya untuk mencari haditshadits ke
sejumlah tempat. Kotakota di Mesir, Irak, dan Khurasan pernah ia singgahi untuk hadir
dalam majelismajelis ahlul hadits setempat.
Tempat persinggahan terakhir Ibnu Ishaq adalah Baghdad, Irak. Di kota itulah, ia
meninggaldunia pada 152 H.
Karyanya yang terkenal adalah Sirah Ibn Ishaq. Karya ini ditulis pada masa
pemerintahan Khalifah AlMansur dari Bani Abbasiyah. Di tengah kita, karya itu sampai
dalam rupa Sirah Ibn Hisyam yang tidak lebih dari ringkasan atas Sirah Ibn Ishaq.
Ibnu Hisyam meriwayatkan kitab Sirah Ibn Ishaq dari Ziyad bin Abdil Malik Al
Bakka`i AlKufi. Berbeda dari orangorang yang meriwayatkan karya itu, Ibnu Hisyam
mengadakan kritik dan merapikan karya Ibnu Ishaq sebelum disampaikan kembali kepada
khalayak.
Karena itu, karya tersebut jadi lebih dikenal sebagai Sirah Ibn Hisyam. Di dalamnya,
kita sering kali membaca, “Ibnu Ishaq berkata, …” atau “Muhammad bin Ishaq
meriwayatkan…”.
Ibnu Hisyam sendiri adalah Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub AlHimyari. Ia
dibesarkan di kota Bashrah, Irak. Setelah itu, ia pergi dan tinggal di Mesir. Di sana, ia
sempat bertemu dengan Imam AsySyafi’i. Pada 218, Ibnu Hisyam meninggaldunia di kota
Fushthath, Mesir.
Di luar ringkasan Sirah Ibn Ishaq, Ibnu Hisyam juga mewariskan karya berupa ulasan
terhadap kalimatkalimat rumit pada syairsyair yang ada dalam karyakarya sirah. Sirah Ibn
Hisyam sendiri banyak mencantumkan untaianuntaian bait syair yang gampang membuat
bosan pembacapembaca zaman sekarang.
Tidak mengherankan, jika Sirah Ibn Hisyam itu diringkas kembali oleh Abdus Salam
Harun. Anak penulis karya Talkhis AdDurus AlAwwaliyah fi AsSirah AlMuhammadiyah ini
membuang banyak uraianuraian yang tidak perlu dalam Sirah Ibn Hisyam, termasuk syair
syair panjang. Terkumpulkan dalam satu jilid, ringkasan itu kemudian diterbitkan dengan
judul Tahdzib Sirah Ibn Hisyam.
Setelah mereka, mulailah bermunculan karyakarya sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ada yang tulen berisi sirah Rasulullah, ada juga yang menggabungkannya dengan
peristiwaperistiwa lainnya sebagai sebuah karya tarikh.
Di antara yang patut disebutkan di sini adalah AthThabaqah AlKubra karya
Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), Tarikh ArRusul wa AlMuluk karya Muhammad
bin Jarir AthThabari (wafat tahun 310 H), AdDurar fi Ikhtishar AlMaghazi wa AsSiyar karya
Ibnu Abdil Bar (wafat tahun 463 H), Jawami’ AsSirah karya Ibnu Hazm (wafat tahun 456 H),
AlKamil fi AthTarikh karya Ibnul Atsir AlJaziri (wafat tahun 632 H), Zadul Ma’ad fi Hadyi
Khairil ‘Ibad karya Ibnu Qayyim AlJauziyyah (wafat tahun 751 H), AsSirah AnNabawiyyah
karya AdzDzahabi (wafat tahun 748 H), dan AlBidayah wa AnNihayah karya Ibnu Katsir
(wafat tahun 774 H).
Dulu, salah seorang syaikh di Yaman pernah ditanya oleh seseorang, “Kitab sirah
apa yang paling bagus untuk dibaca?”. Waktu itu, syaikh yang dimaksud menjawab, “Ar
Rahiq AlMakhtum dan Mukhtashar Sirah Rasul.”
ArRahiq AlMakhtum: Bahtsun fi AsSirah AnNabawiyyah adalah karya
Shafiyurrahman AlMubarakfuri. Sejatinya, karya itu berasal dari naskah dalam lomba
penulisan sejarah hidup Rasulullah.
Memenangi perlombaan internasional itu, naskah tersebut digarap dan diterbitkan
menjadi sebuah kitab tersendiri. Sampai hari ini, ArRahiq AlMakhtum telah diterjemahkan
dan diterbitkan ke dalam berbagai bahasa serta dicetak berkalikali.
Dalam bahasa Indonesia, ArRahiq AlMakhtum telah diterbitkan oleh beberapa
penerbit. Termasuk penerbit yang terakhir menerbitkan terjemahan ArRahiq AlMakhtum itu
adalah salah satu lini penerbit milik Mizan.
Yang paling menarik dari ArRahiq AlMakhtum adalah sikap berhatihati dari
penulisnya. Shafiyurrahman AlMubarakfuri tidak terjebak atau mungkin larut berdalam
dalam pada masalahmasalah yang diperselisihkan oleh para ulama sirah.
Dalam permasalahan “ayatayat” setan, misalnya, Shafiyurrahman AlMubarakfuri
seperti mencari cara yang tepat agar para pembaca tidak bertanyatanya lebih dalam.
Dengan kalimatkalimat yang datar, dapat dikatakan, kebanyakan pembaca dibawa agar
tidak mengetahui permasalahan itu, seperti tidak dibiarkan ada celah sekecil apapun untuk
tahu masalah itu.
Permasalahan “ayatayat” setan menjadi bahan perselisihan di kalangan para ulama.
Sebagian mereka menilai, riwayatriwayat tentang peristiwa itu tidak dapat diterima karena
ada kecacatan dalam rantai periwayatnya. Sebagian yang lain justru menilai, riwayat
riwayat tersebut dapat diterima.
Syaikh Muhammad Nashiruddin AlAlbani, salah seorang syaikh Salafi di Yordania,
sampai pernah menulis sebuah risalah khusus tentang riwayatriwayat peristiwa “ayat
ayat” setan itu. Risalah itu berjudul Nashb AlMajaniq li Nasfi Qishshah AlGharaniq.
Berbeda dengan ArRahiq AlMakhtum, dalam Mukhtashar Sirah ArRasul, peristiwa
“ayatayat” setan itu dijelaskan secara gamblang oleh penulisnya. Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab sengaja menambahkan penjelasan tentang peristiwa itu agar para pembaca
dapat menarik pelajaran penting, terutama terkait permasalahan tauhid dan syirik.
Penjelasan tentang itu, bahkan, ia ulang di dua tempat dalam karya tersebut, bagian
pengantar dan bagian isi.[]