BAB 1 5 MARJIN PEMASARAN DAN NILAI TAMBA (1)

26

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini memberikan
andil terhadap pemenuhan gizi masyarakat. Protein hewani sangat dibutuhkan
dalam menopang pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Seiring
meningkatnya perkembangan jumlah penduduk dan perbaikan taraf hidup
penduduk di Indonesia maka permintaan produk-produk untuk pemenuhan gizi
pun semakin meningkat, begitu pula dengan permintaan akan bahan pangan
seperti permintaan protein hewani.
Peningkatan permintaan daging sapi di Indonesia dari tahun ketahun dipengaruhi
oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pengetahuan penduduk
terhadap pentingnya protein hewani, sehingga pola konsumsi juga berubah.
Semula lebih banyak penduduk Indonesia mengkonsumsi karbohidrat namun saat
ini sudah banyak yang mengkonsumsi daging, telur dan susu. Upaya pemenuhi
kebutuhan protein dari ayam sudah dapat dipenuhi dari dalam negeri akan tetapi
susu dan daging sapi masih perlu impor.
Tingginya konsumsi daging sapi di Indonesia secara langsung mempengaruhi
tingginya harga daging sapi, khususnya pada saat mendekati hari raya Idul Fitri

akan mengalami kenaikan signifikan. Sampai tahun 2015 harga daging sapi masih
cukup tinggi. Kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini sebagai dampak
dari

ketidakseimbangan

antara

produksi

dan

tingginya

permintaan

2

distribusi/transportasi sapi dari sentra produksi ke konsumen, baik menyangkut
persoalan transportasi kapal antar pulau maupun transportasi darat ikut memicu

kenaikan harga daging sapi.
Badan Pusat Statistik Tahun 2015 menunjukan harga daging sapi di Indonesia
terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2015 harga daging sapi
mengalami kenaikan sebesar 12,12% dari tahun sebelumnya. Kenaikan harga
daging sapi nasional 2011-2015 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan harga daging sapi nasional tahun 2011-2015
Tahun
Harga (Rp/Kg)
2011
65,903
2012
72,709
2013
86,963
2014
93,044
2015
104,326
Sumber: BPS, 2015 (Data diolah)


Kenaikan (%)
10,32
20,42
6,99
12,12

Data tersebut menunjukan bahwa harga daging sapi mengalami peningkatan yang
cukup tinggi dengan kenaikan rata-rata sebesar 10% setiap tahunnya. Seiring
dengan terus meningkatnya harga daging sapi, pendataan sapi potong Badan Pusat
Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah
populasi sapi potong di Indonesia. Data populasi sapi potong nasional tahun 20112015 dapat dilihat pada gambar 1.

Sumber: BPS, 2016 (Data diolah)
Gambar 1. Grafik populasi sapi potong nasional 2011-2015 (ekor)

3

Data tersebut menunjukan bahwa populasi sapi potong tahun 2013 cenderung
menurun dari tahun sebelumnya yakni menjadi 12,68 juta ekor. Sementara di
tahun 2014-2015 kembali terjadi peningkatan jumlah populasi sapi potong. Hal ini

dikarenakan pada tahun 2014-2015 izin impor sapi jauh lebih tinggi dibandingkan
tahun 2013. Tingginya izin impor yang diberikan bertujuan untuk memenuhi stok
daging di awal tahun 2016 (Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemdag, 2015).
Seiring meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan daging sapi potong pun terus
mengalami peningkatan setiap tahun. Hal tersebut akan membawa dampak negatif
terhadap kemampuan produksi dan perkembangan populasinya. Berdasarkan data
yang diperoleh dari BPS, Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedloter
Indonesia) serta Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada tahun 2014 dapat
diketahui bahwa total produksi daging sapi tidak mampu mencukupi total
konsumsi daging sapi. Data produksi, konsumsi dan selisih daging sapi potong
nasional tahun 2011-2015 dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Produksi, konsumsi dan selisih daging sapi nasional tahun 2011-2015
Tahun
Produksi (kg)
Konsumsi (kg)
2011
485,335,000
450,726,000
2012
508,905,000

510,937,000
2013
504,819,000
550,457,000
2014
497,669,000
593,516,000
2015
523,926,000
639,857,000
Total
2,520,654,000
2,745,493,000
Rata-rata
504,130,800
549,098,600
Sumber: BPS dan Ditjen PKH, 2016 (Data diolah)
Data

Selisih (kg)

34,608,999
-2,032,000
-45,638,000
-95,847,000
-115,931,000
-224,839,003
-44,967,800

tersebut menunjukan bahwa pada tahun 2015 terdapat selisih antara

produksi dan konsumsi sebesar -115.931.000 kg daging sapi. Selisih ini
merupakan selisih terbesar dalam lima tahun terakhir. Hal ini dikarenakan

4

pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat.
Upaya yang selama ini sudah dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan
mengimpor sapi potong hidup dan daging sapi dari luar negeri serta terus
melakukan peningkatkan produksi daging sapi dalam negeri.
Ditjen Peternakan 2015 menyatakan bahwa terdapat 10 provinsi yang menjadi

sentra produksi daging sapi di Indonesia. Data tersebut menunjukan bahwa urutan
pertama ditempati oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan
dan urutan terakhir ditempati oleh Provinsi Lampung. Sentra produksi daging sapi
nasional tahun 2011-2015 dapat dilihat pada gambar 2.

Sumber: Ditjen Peternakan, 2015 (Data diolah)
Gambar 2. Diagram sentra produksi daging sapi nasional 2011-2015
Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi sentra produksi daging sapi
tahun 2011-2015. Provinsi Lampung terdiri dari beberapa kabupaten, salah
satunya adalah Kabupaten Lampung Tengah. Kabupaten Lampung Tengah
merupakan kabupaten yang menjadi sentra ternak sapi potong di Provinsi

5

Lampung karena memiliki populasi ternak sapi tertinggi. Data produksi daging
sapi (kg) menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung tahun 2015 dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3. Produksi daging sapi (kg) menurut Kabupaten/Kota Provinsi Lampung
Tahun 2015

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
14
15
16

Kabupaten/Kota
Lampung Barat
Tanggamus

Lampung Selatan
Lampung Timur
Lampung Tengah
Lampung Utara
Way Kanan
Tulang Bawang
Pesawaran
Pringsewu
Mesuji
Tulang Bawang Barat
Pesisir Barat
Bandar Lampung
Metro
Total

Sapi Potong
313,653
441,476
890,121
1,156,951

2,432,987
926,405
1,128,897
676,874
485,561
658,523
85,638
413,845
86,903
1,996,819
642,093
12,336,746

Persentase (%)
2.54
3.58
7.22
9.38
19.72
7.51

9.15
5.49
3.94
5.34
0.69
3.35
0.70
16.19
5.20
100.00

Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2015 (Data diolah)
Data tersebut menunjukan bahwa tahun 2015 Kabupaten Lampung Tengah
merupakan kabupaten yang memiliki produksi daging sapi terbesar. Produksi
daging sapi yang tinggi di Kabupaten Lampung Tengah mencapai 2.432.987 kg
atau senilai 19,72% dari seluruh produksi daging sapi di Provinsi Lampung.
Produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah didukung dengan adanya
peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung (2015) menyatakan
bahwa peternakan sapi rakyat tersebar diseluruh Kabupaten Lampung Tengah.
Sedangkan peternakan sapi komersial/feedlot tersebar di tiga kecamatan yakni
Kecamatan Terbanggi Besar (3 feedlot), Kecamatan Gunung Sugih (1 feedlot) dan
Kecamatan Anak Tuha (1 feedlot). Adapun lima lokasi peternakan sapi

6

komersial/feedlot Kabupaten Lampung Tengah dan sekaligus menjadi produsen
daging sapi potong adalah PT GGLC, PT Elders Indonesia, PT Santosa Agrindo,
Peternakan Sapi H. Mat Aji serta KASA.
Tingginya produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah juga tidak lepas
dari dukungan rumah potong hewan (RPH). Rumah potong hewan (RPH)
memiliki peran penting dalam menyediakan produk daging sapi yang halal dan
aman. Baik itu RPH milik perseorangan, pemerintah, swasta maupun milik
perusahaan asing (PMA). Meskipun memiliki skala usaha tergolong sedikit, RPH
PT Elders Indonesia Lampung Feedlot turut memenuhi kebutuhan daging sapi di
wilayah Lampung dengan memasok daging sapi ke beberapa wilayah di
Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Kota Metro dan Kota
Bandar Lampung.
Sebagian pedagang besar dan kecil dari berbagai wilayah di Lampung melakukan
kegiatan pemotongan sapi potong di RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot.
Kegiatan pemotongan sapi potong dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari biaya
produksi. Adapun salah satu tujuan dari penggunaan biaya adalah untuk
meningkatkan nilai tambah daging sapi. Dalam proses peningkatan nilai tambah
daging sapi, terkadang terdapat ketidaktepatan penaksiran berat sapi hidup dengan
output yang dihasilkan sehingga akan mempengaruhi besarnya marjin pemasaran
dan nilai tambah daging sapi.
Besarnya nilai tambah yang diperoleh pedagang kecil memicu persaingan menjadi
semakin meningkat. Baik dalam hal memperoleh bahan baku berupa sapi potong
hidup dan pemasarannya. Dengan demikian perlu diketahui ada atau tidaknya

7

berbedaan terhadap marjin pemasaran dan nilai tambah daging sapi pada
peternakan rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot. Berdasarkan uraian
tersebut, penulis tertarik untuk melakukan analisis “Marjin Pemasaran dan Nilai
Tambah Daging Sapi pada Peternakan Sapi Rakyat dan Peternakan Sapi
Komersial/Feedlot Rumah Potong Hewan (RPH) PT Elders Indonesia Lampung
Feedlot”.
1.2 Perumusan masalah

Tingginya produksi daging sapi Kabupaten Lampung Tengah tidak terlepas dari
dukungan peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot. Dinas
Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung 2015 menyatakan bahwa
tujuan produksi daging sapi yang dilakukan peternakan sapi rakyat (skala rumah
tangga 1–3 ekor per rumah tangga) bukan untuk memproduksi daging melainkan
sebagai sumber tenaga dan tabungan. Budidaya dan penyediaan pakan pada
peternakan sapi rakyat pada umumnya dilakukan secara tradisional. Peternakan
sapi rakyat di Kabupaten Lampung Tengah memiliki populasi sapi potong
sebanyak 169.030 ekor, sedangkan peternakan sapi komersial/feedlot memiliki
populasi sapi potong sebanyak 36.956 ekor. Data persentase populasi sapi potong
berdasarkan peternakan sapi rakyat dan komersial Kabupaten Lampung Tengah
tahun 2014-2015 dapat dilihat pada Gambar 3.
Data tersebut menunjukan bahwa populasi sapi potong pada peternakan sapi
rakyat memiliki persentase sebesar 82%, artinya persentase tersebut lebih banyak
daripada populasi sapi potong pada peternakan sapi komersial/feedlot yang hanya
sebesar 18%. Meskipun demikian, tingginya jumlah populasi sapi potong pada

8

peternakan sapi rakyat tidak didukung dengan persentase karkas yang dihasilkan.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian berdasarkan survei karkas sapi dan
kerbau tahun 2012 menyatakan bahwa peternakan sapi rakyat yang umumnya
memiliki jenis sapi peranakan ongol (PO) dan sapi bali, hanya mampu
menghasilkan karkas sebesar 30% dari bobot hidup. Persentase yang kecil
tersebut dalam kenyataannya masih diminati oleh pedagang kecil untuk dilakukan
proses pemotongan dan dijual dipasar tradisional setempat.

Gambar 3. Diagram populasi sapi potong
Adapun hal yang menjadi dasar pertimbangan pedagang kecil dalam membeli sapi
potong di peternakan sapi rakyat adalah harga sapi potong hidup yang cenderung
lebih murah dibandingkan membeli di peternakan sapi komersial/feedlot.
Pedagang kecil berpendapat bahwa persentase karkas yang rendah pada
peternakan sapi rakyat dapat ditutupi dengan

harga sapi potong hidup yang

murah. Sehingga, pedagang kecil tetap bisa memperoleh keuntungan sesuai yang
diharapkan dari pembelian sapi potong hidup di peternakan sapi rakyat. Sapi yang
telah dibeli oleh pedagang kecil selanjutnya akan dibawa ke RPH sederhana milik
pedagang kecil yang berada pada masing-masing rumah/kediamannya. Setelah
selesai proses pemotongan, daging sapi dibawa ke pasar tradisional setempat.

9

Selain peternakan sapi rakyat, peternakan sapi komersial/feedlot juga menjadi
penyumbang produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah. Sama halnya
dengan peternakan sapi rakyat, pedagang kecil juga dapat membeli sapi potong
hidup pada peternakan sapi komersial/feedlot. Pedagang kecil yang ingin membeli
sapi potong hidup pada peternakan komersial/feedlot harus melalui pedagang
besar yang sudah bekerjasama dengan pihak perusahaan atau peternakan sapi
komersial/feedlot.
Meskipun demikian, menurut Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi
Lampung 2015 menyatakan bahwa jumlah populasi sapi potong pada peternakan
sapi komersial/feedlot lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan sapi rakyat,
namun menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian berdasarkan survei
karkas sapi dan kerbau tahun 2012 menyatakan bahwa peternakan sapi
komersial/feedlot dengan jenis sapi Brahman X memiliki persentase karkas yang
lebih besar dibandingkan dengan peternakan sapi rakyat yakni sebesar 45-52%.
Dengan kondisi populasi yang sedikit, karkas sapi yang tinggi dan biaya
pemeliharaan

besar,

maka

sapi

potong

hidup

pada

peternakan

sapi

komersial/feedlot cenderung lebih mahal dibandikan dengan peternakan sapi
rakyat.
Pedagang kecil yang membeli sapi di peternakan sapi komersial/feedlot
berpendapat bahwa meski memiliki harga sapi potong hidup yang cenderung lebih
tinggi dibandingkan peternakan sapi rakyat, namun dengan persentase karkas
yang lebih besar diharapkan dapat menutupi biaya pembelian sapi potong hidup di
peternakan sapi komersial/feedlot. Sapi yang telah dibeli oleh pedagang kecil

10

melalui pedagang besar selanjutnya akan dibawa ke RPH yang sudah bekerjasama
dengan peternakan komersial/feedlot tersebut. RPH yang bekerjasama dengan
peternakan sapi komersial adalah RPH milik swasta dan perusahaan milik asing
(PMA). Data rata-rata produksi daging sapi menurut RPH Lampung Tengah tahun
2014-2015 dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata produksi daging sapi menurut RPH Lampung Tengah tahun
2014-2015
No

Nama RPH

Alamat

Kepemilikan

Status

Kapasitas Produksi dalam satuan

Presentase

ribu (Kg/Per Tahun)

(%)

1

RPH Edward

Kec. Terbanggi Besar

Swasta

Beroperasi

806.400

37,01

2

RPH Elders

Kec. Gunung Sugih

PMA

Beroperasi

465.000

21,34

3

RPH GGLC

Kec. Terbanggi Besar

PMA

Beroperasi

100.800

4,63

4

RPH Kab Lam-Teng

Kec. Terbanggi Besar

Pemerintah

Tidak Beroperasi

0

0

5

RPH Santosa Agrindo

Kec. Anak Tuha

PMA

Beroperasi

806.400

37,01

2.178.600

100.00

Total

Sumber: BPS Provinsi Lampung, 2015 (Data diolah)
Sebagian pedagang besar dan kecil dari berbagai wilayah di Lampung melakukan
kegiatan pemotongan sapi potong di RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot.
RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot merupakan salah satu RPH
perusahaan milik asing. RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot berlokasi di
Jalan Lintas Sumatera Highway KM 52 Terbanggi Subing Gunung Sugih
Lampung Tengah. Tahun 2015 RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot hanya
memproduksi rata-rata 465.000 kg pertahun atau hanya sebesar 21,34% dari
produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah.
Hal tersebut dikarenakan produksi di RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot
masih tergolong sedikit dibandingkan RPH lain di Kabupaten Lampung Tengah,
sehingga hanya melakukan proses pemotongan sapi sebanyak 5-7 ekor perhari.
Meskipun RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot hanya sebesar 21,34% dari
produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah, namun RPH PT Elders

11

Indonesia Lampung Feedlot turut memenuhi kebutuhan daging sapi di wilayah
Lampung dengan memasok daging sapi ke beberapa wilayah di Kabupaten
Lampung Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Kota Metro dan Kota Bandar
Lampung.
Kegiatan usaha pemotongan sapi potong merupakan usaha yang menjanjikan. Hal
ini dikarenakan permintaan daging sapi setiap tahun terus mengalami peningkatan
seiring bertambahnya jumlah penduduk dan selera masyarakat. Nilai tambah
kegiatan pemotongan sapi potong memiliki nilai tambah yang besar, hal ini
menjadi pemicu persaingan antara pedagang besar dan kecil dalam memperoleh
bahan baku berupa sapi potong hidup baik dari peternakan sapi rakyat dan
peternakan sapi komersial/feedlot dan pemasarannya.
Berdasarkan hal tersebut perlu diketahui ada atau tidaknya berbedaan terhadap
marjin pemasaran dan nilai tambah daging sapi pada peternakan sapi rakyat dan
peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot.
Perumusan masalah dalam marjin pemasaran dan nilai tambah daging sapi RPH
PT Elders Indonesia Lampung Feedlot adalah sebagai berikut:
1.

Berapakah marjin pemasaran daging sapi pada saluran pemasaran peternakan
sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT Elders Indonesia
Lampung Feedlot?

2.

Berapakah nilai tambah daging sapi tingkat pedagang kecil pada peternakan
sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT Elders Indonesia
Lampung Feedlot?

12

3.

Apakah terdapat perbedaan marjin pemasaran dan nilai tambah daging sapi
pada peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT
Elders Indonesia Lampung Feedlot?

1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.

Menganalis marjin pemasaran daging sapi pada saluran pemasaran peternakan
sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT Elders Indonesia
Lampung Feedlot

2.

Menganalisis nilai tambah daging sapi tingkat pedagang kecil pada
peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT
Elders Indonesia Lampung Feedlot

3. a. Mengetahui perbedaan efisiensi marjin pemasaran daging sapi pada
peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT
Elders Indonesia Lampung Feedlot
b.

Mengetahui perbedaan nilai tambah daging sapi pada peternakan sapi
rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot di RPH PT Elders Indonesia
Lampung Feedlot

1.4 Kegunaan penelitian
1. Masyarakat dan pelaku kegiatan peternakan sapi, sebagai bahan masukan

dalam melaksanakan kegiatan ekonomi.
2. Peneliti lain, sebagai bahan informasi dan perbandingan bagi penelitian
selanjutnya.

13

3. Bagi penulis, sebagai sarana penambah wawasan mengenai marjin pemasaran

dan nilai tambah daging sapi.
1.5 Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini membahas mengenai marjin pemasaran pada saluran pemasaran

daging sapi yang terdiri dari pedagang besar dan pedagang kecil serta
konsumen yang berasal dari peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi
komersial/feedlot RPH PT Elders Lampung Feedlot
2. Penelitian ini membahas mengenai besarnya nilai tambah daging sapi

ditingkat pedagang kecil yang dalam waktu bersamaan mampu membeli sapi
potong dari peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot RPH
PT Elders Lampung Feedlot

14

II. TINJUAUAN PUSTAKA
2.1 Daging sapi
Soeparno (1998) menyatakan bahwa daging sapi mempunyai warna merah,
memiliki jumlah mioglobin pada veal sekitar 1 sampai 3 mg setiap gram ototnya,
4 sampai 10 mg untuk setiap gram beef dan 16 sampai 20 mg untuk setiap gram
beef yang lebih tua. Otot merah mengandung serabut merah. Daging sapi kurang
empuk jika dibandingkan dengan keempukan daging domba atau babi. Hal ini
disebabkan karena daging sapi mempunyai perototan yang lebih besar dan
struktur yang lebih kasar. Veal mempunyai flavor yang lebih ringan daripada beef.
Flavor dan aroma daging sapi yang dimasak hampir sama atau identik dengan
daging domba atau babi.
Flavor serum daging mentah atau beef steak adalah karena kombinasi antara
garam-garam darah dan salivasi. Ekstrak air daging, misalnya daging sapi mentah
yang dipanaskan akan menghasilkan flavor yang spesifik. Hasil dialisis ekstrak air
daging giling mentah menunjukkan adanya prekursor didalam difusat yang
menghasilkan flavor seperti daging sapi panggang jika dipanaskan dengan lemak
dan flavor seperti kaldu daging sapi jika dipanaskan dengan air. Dialisat yang larut
dalam air mengandung glikoprotein dan asam inosinat (inosin dan fosfat
anorganik). Inosinat telah dianggap sebagai peningkat flavor daging. Fraksi volatil
daging dari spesies sapi adalah sangat serupa dengan fraksi volatil pada domba
dan babi.

15

2.2 Analisis margin pemasaran
Nurmalina (2011) menyatakan bahwa pemasaran merujuk pada sesuatu yang
bersifat nyata dan abstrak (tangible and intangangible items). Secara konsep,
pemasaran adalah sebuah proses dalam merencanakan dan melaksanakan
konsepsi, harga, promosi dan distribusi dari gagasan-gagasan, barang dan jasa
untuk menciptakan pertukaran yang dapat memberikan kepuasan tujuan individu
dan organisasi. Levens (2010) menyatakan bahwa fungsi pemasaran dapat
dikelompokan dalam tiga katagori yaitu:
1.

Fungsi pertukaran, merupakan aktivitas-aktivitas untuk mempromosikan dan
mentransfer kepemilikan. Contoh aktivitasnya antara lain penjualan,
pembelian, harga, iklan, promosi penjualan, dan public relation.

2.

Fungsi fisik, merupakan aktivitas untuk mengalirkan barang dari perusahaan
(manufaktur) kepada konsumen. Contoh aktivitasnya antara lain perakitan,
transportasi dan penanganan, pergudangan, pengolahan dan pengemasan,
standarisasi dan grading.

3.

Fungsi fasilitasi, merupakan aktivitas pendampingan dalam proses eksekusi
fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Contoh aktivitasnya antara lain pembiayaan
dan pengambilan resiko, informasi pemasaran dan penelitian serta janji
layanan.

Istiyanti (2010) menyatakan bahwa marjin pemasaran dapat didefinisikan sebagai
selisih harga antara yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima
produsen. Panjang pendeknya sebuah saluran pemasaran dapat mempengaruhi
marjin. Semakin panjang saluran pemasaran maka semakin besar pula marjin
pemasarannya, hal ini dikarenakan lembaga pemasaran yang terlibat semakin

16

banyak. Besarnya angka marjin pemasaran dapat menyebabkan bagian harga yang
diterima oleh petani produsen semakin kecil dibandingkan dengan harga yang
dibayarkan konsumen langsung petani, sehingga saluran pemasaran yang terjadi
atau semakin panjang dapat dikatakan tidak efisien.
Asmarantaka (2013) menyatakan bahwa analisis marjin pemasaran dipergunakan
untuk menganalisis sistem pemasaran perspektif makro, yaitu menganalisis
pemasaran produk mulai dari petani produsen sampai ditangan konsumen akhir.
Perbedaan marjin setiap sistem dapat disebabkan oleh perbedaan perlakuan atau
penanganan produk sehingga terdapat perbedaan biaya dan kepuasan konsumen
akhir. Selain itu, marjin pemasaran juga dapat dipergunakan untuk mengkaji
sebaran harga yang dibayar konsumen akhir sampai kepada petani (farm-retail
price spread). Dari perspektif mikro atau perusahaan tertentu, marjin pemasaran
merupakan selisih harga jual dengan harga beli atau biaya-biaya dan keuntungan
dari perusahaan tersebut akibat adanya aktvitas bisnis yang dilakukan perusahaan.
Marjin pemasaran (dari perspektif makro atau sistem pemasaran) menggambarkan
kondisi pasar ditingkat lembaga-lembaga yang berbeda minimal ada dua tingkat
pasar yaitu pasar ditingkat petani dan pasar ditingkat konsumen akhir. Asumsinya
struktur pasar disetiap tingkat adalah pasar kompetitif (pasar persaingan
sempurna). Sehingga kurva supply dan demand disetiap tingkat pasar mempunyai
slope yang sama dan jumlah transaksi disetiap tingkat pasar juga sama.
Ada empat pengertian marjin pemasaran. Setiap pengertian mempunyai
keterkaitan satu sama lainnya, yaitu:

17

1.

Marjin pemasaran merupakan perbedaan harga ditingkat petani (Pf) dengan
harga ditingkat konsumen akhir (Pr), yaitu MT = Pr – Pf. Pengertian ini hanya
perbedaan harga tidak membuat perbedaan dengan quantity di pasar. Quantity
di petani dengan konsumen harus setara (equivalent), apabila produk tersebut
sampai mengalami proses pengolahan. Pengertian ini merupakan pengertian
statis.

2.

Marjin pemasaran merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran,
sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value
added). Pengertian ini lebih tepat karena memberikan pengertian semua proses
bisnis dari aliran pemasaran mulai dari petani produsen primer sampai ke
tangan retailer atau konsumen akhir. Marjin pemasaran merupakan harga dari
semua nilai guna, nilai tambah dan aktivitas fungsi penanganan yang
dilakukan oleh perusahaan (lembaga pemasaran) dalam pemasaran produk
agribisnis (pertanian). Konsumen membayar dua bentuk harga untuk pangan
(agribisnis) yaitu harga produk dan harga marjin pemasaran. Harga yang
dibayar oleh konsumen merupakan pembayaran untuk produk agribisnis dan
atribut-atribut yang melekat pada produk tersebut. Misal pengemasan,
distribusi dan fasilitas lainnya.

3.

Nilai dari marjin pemasaran adalah value marketing margin = Pr – Pf.
Sebagai balas jasa terhadap input-input pemasaran dapat berupa upah, bunga,
sewa dan keuntungan atau dari aspek balas jasa terhadap kelembagaan
pemasaran yaitu pedagang eceran, grosir, pengolah, pabrikan dan pengumpul.

4.

Marjin pemasaran dapat diukur secara absolute dan persentase dari harga
yang dibayarkan oleh konsumen akhir atau ditingkat eksportir. Secara relatif

18

(persentase) harga ditingkat konsumen akhir atau eksportir merupakan tujuan
akhir sistem pemasaran yang dapat diamati adalah 100 persen (100%) dan
harga ditingkat-tingkat lembaga lainnya dinyatakan dalam persentase relatif
terhadap harga konsumen akhir tersebut. Secara teori marjin pemasaran dapat
berubah atau tetap apabila volume produk dalam sistem pemasaran meningkat.
Marjin pemasaran merupakan harga atau nilai dari kumpulan jasa-jasa
pemasaran yaitu pengumpulan, pengolahan, transportasi dan penjualan eceran.
Marjin antar produk berbeda karena fungsi atau jasa pemasaran yang
dilakukan juga berbeda dan kepuasan konsumen juga berbeda.
2.3 Analisis nilai tambah
Hayami dkk (1987) menyatakan bahwa analisis nilai tambah pengolahan produk
pertanian dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu melalui perhitungan nilai
tambah per kilogram bahan baku untuk satu kali pengolahan yang menghasilkan
produk tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tambah untuk pengolahan
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu faktor teknis dan faktor pasar. Faktor
teknis yang berpengaruh adalah kapasitas produksi, jumlah bahan baku yang
digunakan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor pasar yang berpengaruh ialah
harga output, upah kerja, harga bahan baku, dan nilai input lain selain bahan baku
dan tenaga kerja. Nilai input lain adalah nilai dari semua korbanan selain bahan
baku dan tenaga kerja yang digunakan selama proses pengolahan berlangsung.
Nilai ini mencakup biaya modal dan gaji pegawai tak langsung.
Hayami dkk (1987) menyatakan bahwa tujuan dari analisis nilai tambah adalah
untuk menaksir balas jasa yang diterima oleh tenaga kerja langsung dan

19

pengelola. Analisis nilai tambah hayami memperkirakan perubahan bahan baku
setelah mendapatkan perlakuan. Analisis nilai tambah hayami mempunyai
kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari metode hayami yaitu:
1. dapat diketahui besarnya nilai tambah dan output
2. dapat diketahui besarnya balas jasa terhadap pemilik faktor-faktor produksi,

seperti tenaga kerja, modal, sumbangan input lain dan keuntungan
3. prinsip nilai tambah menurut Hayami dapat digunakan untuk subsistem lain

selain pengolahan, seperti analisis nilai tambah pemasaran
Kelemahan dari metode Hayami yaitu:
1.

pendekatan rata-rata tidak tepat jika diterapkan pada unit usaha yang
menghasilkan banyak produk dari satu jenis bahan baku

2. tidak dapat menjelaskan nilai output produk sampingan
3.

sulit menentukan pembanding yang dapat digunakan untuk menyatakan
apakah balas jasa terhadap pemilik faktor produksi sudah layak atau belum

2.4 Efisiensi pemasaran
Asmarantaka (2013) menyatakan bahwa secara normatif, pemasaran yang efisien
adalah struktur organisasi pasar persaingan sempurna. Tetapi struktur pasar ini
secara realita tidak dapat ditemukan. Ukuran efesiensi adalah kepuasan dari
konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan
barang/jasa mulai dari petai sampai konsumen akhir.
Pemasaran agribisnis dikatakan efisien apabila terdapat indikator-indikator
sebagai berikut:

20

1) menciptakan atau meningkatkan nilai tambah yang tinggi terhadap produk
agribisnis
2) menghasilkan keuntungan bagi setiap lembaga pemasaran (perusahaan) yang
terlibat sesuai dengan biaya yang dikeluarkan
3) biaya dan keuntungan yang terjadi relatif sesuai dengan fungsi-fungsi atau
aktivitas bisnis yang meningkatkan kepuasan konsumen akhir
4) memberikan bagian yang diterima petani produsen (farmer’s share) yang relatif
akan merangsang petani berproduksi ditingkat usahatani
Dengan demikian, proses pemasaran agribisnis yang efisien adalah yang
memberikan kontribusi (share) yang adil, mulai dari petani, perusahaan, lembagalembaga pemasaran sesuai dengan biaya yang dikeluarkan dan kepuasan
konsumen. Secara fakta di lapangan, pasar yang efisien adalah pasar yang
kompetitif dengan indikator antara lain harus ada alternatif bagi konsumen
maupun produsen (ada pilihan yang tersedia), ada insentif bagi pelaku-pelaku
pasar untuk masuk pasar atau industri serta pangsa pasar relatif menyebar tidak
terpusat pada satu atau beberapa perusahaan.
Beberapa hal yang dapat menunjang keberhasilan (efisien) suatu proses
pemasaran yaitu pengaturan pasar dengan adanya perlindungan terhadap praktekpraktek kecurangan, informasi pasar sangat diperlukan oleh partisipan yang
menginginkan efisiensi dalam mekanisme pasar, penelitian pasar yang akan
memperediksi kondisi yang akan datang, penyuluhan dan pelatihan terutama bagi
partisipan yang mempunyai kemampuan dan keterampilan rendah (misal petani
dan pedagang pengumpul), promosi dan sumber dana. Dengan demikian, sistem

21

pemasaran yang efisien akan melibatkan pihak-pihak ketiga diluar pembeli dan
penjual seperti kebijakan atau pengawasan pemerintah, lembaga-lembaga
penelitian, penyuluhan dan keuangan serta perbaikan infrastruktur dan struktur
pemasaran tersebut.
2.5 Kajian penelitian terdahulu
Hasil penelitian Butarbutar dkk (2014) mengenai analisis keuntungan pedagang
pengecer daging sapi di pasar tradisional Kota Manado. Besarnya biaya
operasional yang dikorbankan pedagang pengecer dalam aktivitas pemasaran
daging sapi serta apakah aktivitas pedagang pengecer daging sapi memberikan
keuntungan jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga bank. Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui berapa besar penggunaan biaya operasional pedagang
pengecer dan berapa besar keuntungan yang diterima pedagang pengecer di pasar
tradisional Kota Manado. Model analisis data dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan analisis deskriptif dan analisis matematika serta konsep rentabilitas.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa usaha pedagang pengecer daging sapi di
pasar tradisional Kota Manado mampu memberikan keuntungan. Usaha ini secara
keseluruhan mampu mencapai nilai rentabilitas yang lebih baik dibandingkan
dengan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang berlaku.
Hasil penelitian Habibi dkk (2015) mengenai komparasi margin pemasaran dan
nilai tambah ubi kayu antara petani non mitra dan petani mitra. P ola pemasaran
usahatani ubikayu dapat dilakukan melalui pola kemitraan dan non kemitraan, yang
perlu dibandingkan perolehan keuntungannnya. Analisis nilai tambah digunakan
metode hayami dan dibandingkannya dengan uji t. Nilai total marjin pemasaran non

22

mitra lebih tinggi daripada kemitraan, farmer share dan nilai tambah lebih besar
pada usahatani kemitraan.
Hasil penelitian Ishak dkk (2012) mengenai analisis nilai tambah, keuntungan dan
titik impas pengolahan hasil rengginang ubi kayu (renggining) skala rumah tangga
di Kota Bengkulu. Kegiatan produktif pengolahan renggining memerlukan
berbagai input produksi seperti ubi kayu, bahan penunjang dan tenaga kerja.
Kegiatan ini akan meningkatkan daya guna dari faktor produksi sehingga
meningkatkan nilai tambah produk ubi kayu. Besarnya nilai tambah, tingkat
keuntungan, dan titik impas dalam pengolahan renggining skala rumah tangga di
Kota Bengkulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai tambah,
tingkat keuntungan, dan titik impas dalam pengolahan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah keuntungan dianalisis dengan R-C ratio, sedangkan
analisis titik impas (BEP) dihitung untuk mengetahui BEP produksi dan BEP
biaya serta analisis nilai tambah menggunakan metode hayami.
Hasil penelitian Nasaruddin dkk (2015) mengenai nilai tambah pengolahan daging
sapi menjadi bakso pada usaha Al-Hasanah di Kelurahan Rimbo Kedui
Kecamatan Seluma Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah menghitung
pendapatan yang diperoleh dari proses pengolahan daging sapi menjadi bakso
pada usaha Al-Hasanah di Kelurahan Rimbo Kedui Kecamatan Seluma Selatan
serta mengukur besarnya nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan
daging sapi menjadi bakso pada usaha Al-Hasanah di Kelurahan Rimbo Kedui
Kecamatan Seluma Selatan. Metode yang digunakan adalah analisis pendapatan
dan analisis nilai tambah menggunakan metode hayami.

23

Hasil penelitian Sorga (2014) mengenai analisis komparasi nilai tambah dalam
berbagai produk olahan kedelai pada industri rumah tangga di Kota Medan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui proses pengolahan kedelai menjadi
tahu, pengolahan kedelai menjadi tempe, dan pengolahan kedelai menjadi susu
kedelai di daerah penelitian, (2) untuk menganalisis besarnya nilai tambah yang
diperoleh dari pengolahan kedelai menjadi tahu, pengolahan kedelai menjadi tempe,
dan pengolahan kedelai menjadi susu kedelai di daerah penelitian, dan (3) untuk
menganalisis perbandingan nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan kedelai
menjadi tahu, pengolahan kedelai menjadi tempe, dan pengolahan kedelai menjadi
susu kedelai di daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif,
untuk

menghitung

nilai

tambah

digunakan

metode

hayami,

dan

untuk

membandingkan nilai tambah digunakan metode friedman.

2.6 Kerangka pemikiran
Produksi daging sapi di Kabupaten Lampung Tengah tidak lepas dari dukungan
peternakan sapi rakyat dan peternakan komersial/feedlot. Sapi potong hidup yang
dibudidayakan oleh peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot
akan melalui proses pemotongan sebelum menjadi daging sapi. Pada peternakan
sapi rakyat, sapi potong dijual langsung oleh peternak kepada pedagang kecil.
Selanjutnya sapi potong peternakan sapi rakyat akan dipotong di RPH sederhana
milik pedagang kecil dan dijual pada pasar tradisional. Sedangkan pada peternaan
sapi komersial/feedlot, sapi potong dijual oleh PT Elders Indonesia Lampung
Feedlot kepada pedagang besar. Pedagang besar merupakan perantara anatara PT
Elders Indonesia Lampung Feedlot

dengan pedagang kecil. Pedagang besar

memperoleh modal dari pedagang kecil dan memperoleh marjin dari jual beli sapi

24

potong antara PT Elders Indonesia Lampung Feedlot denga pedagang kecil.
Selanjutnya sapi potong PT Elders Indonesia Lampung Feedlot akan dipotong di
RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot dan dijual pada pasar tradisional.
Selama proses perubahan sapi potong menjadi daging sapi terjadi fungsi
pemasaran yaitu fungsi pertukaran dan fasilitasi pada tingkat pedagang besar.
Fungsi pemasaran yang terjadi pada tingkat pedagang kecil yaitu fungsi
pertukaran, fisik dan fasilitasi. Hal ini dikarena fungsi fisik yaitu perubahan sapi
potong menjadi daging sapi terjadi pada tingkat pedagang kecil.
Adapun kelebihan pada peternakan sapi rakyat adalah adalah harga sapi potong
hidup yang rendah karena peternakan sapi rakyat merupakan pekerjaan sampingan
dan melakukan kegiatan pemeliharaan secara sederhana dengan menjadikan sapi
potong sebagai tabungan atau hewan untuk dipekerjakan di lahan pertanian.
Karena dibudidayakan dengan cara sederhana dan tanpa memperhatikan makanan
dan kebutuhan gizi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh sapi potong, maka sapi
potong hidup pada peternakan rakyat memiliki persentase karkas yang rendah
yakni hanya sebesar 30%. Persentase yang rendah inilah yang menjadi
kekurangan dari peternakan sapi rakyat. Meskipun demikian, pembeli sapi potong
hidup di peternakan sapi rakyat masih diminati. Menurut pendapat pedagang kecil
selaku pembeli menyatakan bahwa keuntungan tetap dapat diperoleh karena
rendahnya persentase karkas dapat ditutupi dengan harga beli sapi potong yang
rendah.
Sementara itu, kelebihan pada peternakan sapi komersial/feedlot adalah persentase
karkas yang tinggi yakni mencapai 45-52%. Hal ini dikarenakan peternakan sapi

25

komersial dibudidayakan dengan memperhatikan makanan dan kebutuhan gizi
dan nutrisi yang dibutuhkan sapi potong, sehingga biaya pemeliharaan pada
peternakan sapi komersial/feedlot lebih tinggi daripada peternakan sapi rakyat.
Dengan kondisi tersebut, peternakan sapi komersial/feedlot menawarkan harga
sapi potong yang lebih tinggi daripada sapi potong peternakan sapi rakyat.
Berlawanan dengan pendapat pedagang kecil selaku pembeli sapi potong hidup
pada peternakan sapi rakyat, pedagang kecil selaku pembeli sapi potong hidup di
peternakan sapi komersial/feedlot akan memperoleh keuntungan sesuai dengan
yang diharapkan pada persentase karkas yang tinggi meskipun harga sapi potong
hidupnya cenderung mahal.
Selain memperoleh keuntungan, kegiatan yang dilakukan pedagang kecil selaku
pembeli pada peternakan sapi rakyat dan komersial juga akan memperoleh marjin
pemasaran serta nilai tambah. Istiyanti (2010) menyatakan bahwa margin
pemasaran dapat didefinisikan sebagai selisih harga antara yang dibayarkan
konsumen dengan harga yang diterima produsen. Panjang pendeknya sebuah
saluran pemasaran dapat mempengaruhi marjin. Semakin panjang saluran
pemasaran maka semakin besar pula marjin pemasarannya, hal ini dikarenakan
lembaga pemasaran yang terlibat semakin banyak. Hayami dkk (1987)
menyatakan bahwa analisis nilai tambah pengolahan produk pertanian dapat
dilakukan dengan cara sederhana, yaitu melalui perhitungan nilai tambah per
kilogram bahan baku untuk satu kali pengolahan yang menghasilkan produk
tertentu. Dengan demikian, perlu diketahui ada atau tidaknya berbedaan margin
pemasaran dan nilai tambah daging sapi pada peternakan sapi rakyat dan
peternakan sapi komersial/feedlot.

26

Sapi potong

Peternakan sapi
rakyat

Peternakan sapi
komersial/feedlot

Fungsi
pemasaran

Pedagang besar

Harga jual

Marjin
pemasaran

Pedagang kecil

MP = Pr – Pf
atau
MP = ∑Bi + ∑Ki

RPH PT EI Lampung
Feedlot

RPH sederhana

Proses pemotongan

Pendapatan

Metode
hayami

Daging sapi

Nilai tambah

Konsumen

Komparasi marjin
pemasaran dan nilai
tambah daging sapi
peternakan sapi rakyat
dan komersial/feedlot

Rekomendasi

Gambar 4. Kerangka pemikiran
Kerangan:
: berhubungan
: berpengaruh
: tidak diteliti
: diteliti

27

III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Konsep dasar dan batasan operasional
Konsep dasar dan batasan operasional mencakup pengertian yang digunakan untuk
mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.
1.

Peternakan sapi rakyat adalah usaha peternakan rakyat yang dilakukan oleh
rakyat antara lain petani disamping usahataninya.

2.

Peternakan sapi komersial/feedlot adalah usaha peternakan sapi yang
umumnya dilakukan oleh peternak yang memiliki modal besar serta
menerapkan teknologi modern.

3.

Rumah Potong Hewan (RPH) PT Elders Indonesia Lampung Feedlot adalah
Rumah potong hewan yang dimiliki oleh PT Elders Indonesia Lampung
Feedlot.

4.

Rumah Potong Hewan (RPH) sederhana adalah Rumah Potong Hewan (RPH)
yang dimiliki oleh perseorangan biasanya seorang pedagang kecil atau seorang
jagal.

5.

Pedagang besar adalah seseorang atau kelompok yang melakukan kegiatan
jual beli sapi potong langsung dari PT Elders Indonesia Lampung Feedlot.

6.

Pedagang kecil adalah seseorang atau kelompok yang melakukan kegiatan
menjual daging sapi, tulang, kepala, babat, usus, kulit, hati, buntut, lemak dan
kaki sapi dengan cara mengecer kepada konsumen umum seperti ibu rumah
tangga dan konsumen langganan seperti pengusaha bakso dan rumah makan.
Pedagang kecil dapat membeli sapi potong langsung dari peternakan sapi

28

rakyat dan melalui pedagang besar dari peternakan sapi komersial. Jenis sappi
yang diperjualbelikan adalah sapi betina yang sudah tidak produktif dan sudah
digemukan oleh petani/produsen sapi potong.
7.

Konsumen adalah bagian terakhir dalam saluran pemasaran. Konsumen
dibagi menjadi dua yaitu konsumen rumah tangga, konsumen rumah makan,
usaha pembuatan bakso serta penyelenggara acara seperti resepsi pernikahan,
khitanan, syukuran dan lain-lain.

8.

Fungsi pemasaran adalah aktivitas yang dijalankan dalam usaha pemotongan
sapi potong menjadi daging sapi dari peternakan sapi rakyat dan peternakan
sapi komersial hingga sampai ke tangan konsumen akhir. Fungsi pemasaran
terdiri dari fungsi pertukaran, fisik dan fasilitasi. Fungsi pertukaran meliputi
kegiatan jual beli sapi potong ataupun daging sapi, tulang, kepala, babat, usus,
kulit, hati, buntut, lemak dan kaki. Fungsi fisik meliputi kegiatan pengangkutan
daging sapi dari rph ke pasar, pemotongan sapi potong menjadi daging sapi
tujuan untuk memperoleh nilai tambah (value added). Fungsi fasilitasi
meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat membantu sistem pemasaran sapi
potong dan daging sapi, fungsi fasilitasi terdiri dari informasi pasar mengenai
perkembangan harga sapi dan daging sapi serta pembiayaan.

9.

Karkas adalah bagian tubuh sapi yang telah dikuliti dipasahkan kepala dan
kaki mulai dari tarsus/karpus kebawah, organ reproduksi dan ambing, ekor
serta lemak yang berlebih sehingga tersisa daging dan tulang. Karkas pada
peternakan sapi rakyat rata-rata sebesar 40% dari berat hidup sapi potong,
sedangkan karkas pada peternakan spai komersial/feedlot sebesar 45%.

29

10. Biaya produksi proses pemotongan sapi potong pada peternakan sapi rakyat

dan peternakan sapi komersial/feedlot terdiri dari nilai bahan baku (karkas),
penyusutan pisau, penyusutan asahan, penyusutan kampak, penyusutan terpal,
penyusutan mobil pickup, biaya tenaga kerja, biaya operasional dan biaya
listrik dan air.
11. Biaya tenaga kerja adalah biaya upah tenaga kerja A, B dan C serta biaya

makan rokok tenaga kerja pada peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi
komersial/feedlot.
12. Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar dan

kecil mencakup biaya pulsa untuk berkomunikasi dan bahan bakar minyak
untuk mobil pickup yang digunakan untuk berbelanjan sapi potong,
mengangkut sapi potong hidup atau karkas sapi.
13. Biaya listrik dan air pada peternakan sapi rakyat adalah biaya yang dikeluarkan
selama proses pemotongan sapi potong di RPH sederhana sampai kegiatan
pemasaran di lapak pasar. Sedangkan biaya listrik dan air pada peternakan sapi
komersial/feedlot adalah biaya yang dikeluarkan selama kegiatan pemasaran di
lapak pasar.
14. Biaya pemasaran adalah biaya yang digunakan untuk mendukung kegiatan

pemasaran. Biaya pemasaran pada peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi
komersial/feedlot terdiri dari penyusutan timbangan duduk, penyusutan
timbangan gantung, biaya tenaga kerja D, sewa lapak, retribusi pasar dan biaya
pembelian kantong plastik.

30

15. Harga pokok produksi daging sapi (kg) pada peternakan sapi rakyat dan

peternakan sapi komersial terdiri dari biaya bahan baku (karkas), biaya tenaga
kerja, biaya penyusutan, biaya operasional dan biaya listrik dan air.
16. Marjin pemasaran daging sapi adalah selisih harga yang dibayarkan pembeli

daging sapi dengan harga yang di terima oleh penjual sapi potong hidup.
17. Nilai tambah adalah proses pemotongan sapi potong melalui perhitungan nilai

tambah perkilogram sapi potong hidup untuk satu kali pemotongan yang
menghasilkan daging sapi, tulang, kepala, kulit, kaki dan jeroan.
18. Harga input lain pada nilai tambah tingkat pedagang kecil peternakan sapi

rakyat dan peternakan sapi komersial/feedlot terdiri dari biaya penyusutan
pisau, penyusutan asahan, penyusutan kampak, penyusutan timbangan duduk,
penyusutan timbangan gantung, biaya listrik dan air, biaya pembelian kantong
plastik.
3.2 Lokasi penelitian, waktu penelitian dan pengambilan sample
Penelitian mengenai analisis margin pemasaran dan nilai tambah daging sapi
dilaksanakan di RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot Jalan Lintas Sumatera
Highway KM 52 Terbanggi Subing Gunung Sugih Lampung Tengah pada Bulan
November 2016. Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan
pertimbangan bahwa:
1.

Kabupaten Lampung Tengah sentra produksi daging sapi di

Provinsi

Lampung.
2.

RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot merupakan salah satu RPH milik
perusahaan asing yang berlokasi Lampung Tengah. Selain RPH PT Elders
Indonesia Lampung Feedlot, di Kabupaten Lampung Tengah juga terdapat RPH

31

Edward, RPH GGLC dan RPH Santosa Agrindo. Meskipun jumlah produksi
daging di RPH PT Elders Indonesia Lampung Feedlot masih tergolong sedikit
dibandingkan RPH lain di Kabupaten Lampung Tengah, namun RPH PT Elders
Indonesia Lampung Feedlot turut memenuhi kebutuhan daging sapi di wilayah
Lampung dengan memasok daging sapi ke beberapa wilayah di Kabupaten
Lampung Tengah, Kabupaten Tulang Bawang, Kota Metro dan Kota Bandar
Lampung.
Metode pengambilan sampel dilakukan dengan snowball. Sugiyono (2001)
menyatakan bahwa snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mulamula jumlahnya kecil namun kemudian jumlah sampel menjadi semakin banyak.
Snowball sampling merupakan salah satu metode dalam pengambilan sample dari
suatu populasi. Snowball sampling ini adalah termasuk dalam teknik nonprobability sampling (sample dengan probabilitas yang tidak sama). Metode
pengambilan sample seperti ini khusus digunakan untuk data-data yang bersifat
komunitas dari subjektif responden/sample.
Alasan melakukan metode pengambilan sampel ini karena populasi saluran
pemasaran daging sapi dari peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi
komersial/feedlot bersifat mengelompok. Dengan kata lain, snowball sampling
merupakan metode pengambilan sampel dengan secara berantai (multi level).
Berikut saluran pemasaran peternakan sapi rakyat dan peternakan sapi
komersial/feedlot:
1.

Peternakan sapi rakyat terdiri dari pedagang kecil sebanyak 5 orang dan
konsumen sebanyak 5 orang.

32

2. Peternakan sapi komersial/feedlot terdiri dari pedagang besar sebanyak 5 orang,
pedagang kecil sebanyak 10 orang dan konsumen sebanyak 10 orang.
3.3 Metode pengumpulan data
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dan pengamatan langsung. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dengan wawancara dengan responden melalui penggunaan
kuisioner (pertanyaan). Data sekunder diperoleh dari perusahaan terkait laporan,
publikasi dan pustaka lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4 Metode analisis data
Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi dan
komputerisasi. Data yang diperoleh disederhanakan dalam bentuk tabulasi yang
selanjutnya akan diolah secara komputerisasi dengan program excel dan
diinterpretasikan secara deskriptif terkait marjin pemasaran dan nilai tambah daging
sapi. Analisis margin pemasaran dan nilai tambah pedagang kecil daging sapi pada
peternakan

sapi

rakyat

dan

peternakan

sapi

komersial/feedlot

dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut:
1. Analisis marjin pemasaran
Sutarno (2014) meyatakan bahwa secara matematis besarnya angka marjin
pemasaran dapat dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
MP = Pr – Pf atau MP = ∑Bi + ∑Ki
Keterangan:
MP = Marjin Pemasaran
Pr
= Harga di tingkat pengeceran
Pf
= Harga ditingkat petani
∑Bi = Jumlah keuntungan yang diperoleh lembaga-lembaga pemasaran
∑Ki = Jumlah keuntungan yang diperoleh lembaga-lembaga Pemasaran

33

2. Analisis nilai tambah
Hayami dkk (1987) menyatakan bahwa besarnya nilai tambah daging sapi dapat
dihitung dengan menggunakan metode hayami. Prosedur perhitungan nilai tambah
dengan metode hayami dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Prosedur perhitungan nilai tambah dengan metode hayami
Output, Input, Harga
Output (kg/ekor)
Input (kg/ekor)
Tenaga kerja (HOK/ekor)
Faktor konversi
Koefisien tenaga kerja
Harga output (Rp/kg)
Upah rata-rata (RP/HOK)
Penerimaan dan keuntungan
Harga bahan baku (Rp/kg)
Harga input lain (Rp/kg)
Nilai Output (Rp/kg)
Nilai tambah (Rp/kg)
Rasio nilai tambah (%)
Pendapatan tenaga kerja (Rp/kg/HOK)
Pangsa tenaga kerja (%)
Keuntungan (Rp/kg)
Tingkat keuntungan (%)
Sumber: Hayami dkk (1987)

A
B
C
D=A/B
E=C/B
F
G
H
I
J=D*F
K=J-H-I
L=K/J*100
M=E*G
N=M/K*100
O=K-M
P=O/K*100

34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran umum perusahaan
a. Lokasi dan tata letak perusahaan
PT Elders Indonesia terletak di KM 52 Jl. Trans Sumatera, Desa Terbanggi Subing,
Kecamatan Gunung Sugih, Lampung Tengah. Jarak dari jalan raya ke peternakan
hanya 100 m yang menjadikan lokasi ini sangat strategis. Hal ini dikarenakan dapat
memudahkan transportasi dalam penerimaan sapi impor dari pelabuhan Bakauheni,
pengiriman produk ternak hidup maupun karkas, dan distribusi bahan baku serta
kegiatan lainnya.
Peternakan ini dekat dengan pemukiman penduduk. Batas sebelah utara Desa
Tulung Itik, sebelah timur berbatasan dengan Desa Terbanggi Subing, sebelah
selatan Desa Gunung Sari, dan sebelah barat Desa Terbanggi Agung. Secara
geografis PT Elders Indonesia terletak di 104035’-105050’ Bujur Timur dan 4030’4015’ Lintang Selatan dengan suhu 280 C sampai 300 C, kelembaban udara sekitar
76%, kecepatan angin 2 km/jam, dan curah hujan berkisar 50% atau 425 mm.
b. Sejarah dan perkembangan perusahaan
PT Elders Indonesia adalah anak perusahaan dari Elders Limited yang
berkedudukan di Adelaide, Australia yang telah mempunyai pengalaman sukses
lebih dari 160 tahun. Perusahaan ini berdiri pada tahun 2000 bertempat di Daerah
Jabung, Lampung Timur. Izin mendirikan usaha feedlot didapatkan pada tahun
2002 dan kemudian perusahaan ini mendirikan cabang baru di Daerah Cikalong,

35

Bandung. Feedlot PT Elders Indonesia yang berada di Cikalong dipindahkan pada
tahun 2005 ke Lampung Tengah dengan menyewa 3 kandang selama 3 tahun di PT
Indojaya yang sebelumnya dimiliki oleh pihak Malaysia. Masa-masa krisis moneter
yang dialami oleh PT Indojaya menyebabkan perusahaan tersebut memutuskan
untuk menjual semua asetnya pada tahun 2008 kepada PT. Elders Indonesia yang
pada saat itu juga PT. Indojaya resmi berganti nama menjadi PT Elders Indonesia.
PT. Elders Indonesia juga mempunyai rumah pemotongan hewan (RPH) yang
berlokasi di tempat yang sama. RPH PT EI berdiri sejak tahun 2009 dengan jumlah
kapas