OPTIMALISASI PERANAN MASYARAKAT DALAM PE

OPTIMALISASI PERANAN MASYARAKAT DALAM
PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI POTONG MENUJU
PEMBANGUNAN SWASEMBADA DAGING SAPI 2014
DI PROPINSI ACEH
* Sitti Zubaidah, S.Pt, S.Ag, MM. Dosen Peternakan Fakultas Pertanian Umuslim
RINGKASAN
Pembangunan merupakan salah satu wujud dari kemauan dan kemampuan suatu
Negara untuk dapat lebih berkembang kearah yang lebih baik. Pembangunan
nasional pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan daging sapi dalam negeri perlu suatu upaya pencapaian swasembada
daging sapi. Untuk mencapai swasembada daging sapi diperlukan program
swasembada daging sapi dengan melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat
peternak setempat. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 merupakan tekad
bersama dan menjadi salah satu dari program utama Kementerian Pertanian yang
terkait dengan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan hewani asal ternak
berbasis sumberdaya domestik khususnya ternak sapi potong. Dengan
berswasembada daging sapi tersebut akan diperoleh keuntungan dan nilai tambah
yaitu : (1) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan
tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi
pemanfaatan potensi ternak lokal; dan (5) semakin meningkatnya peyediaan daging

sapi yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga
ketentraman lebih terjamin. Keberhasilan program swasembada daging sapi 2014
akan sangat tergantung kepada optimalisasi partisipasi masyarakat peternak sapi
potong, sehingga bagaimanapun baiknya program yang disusun tidak akan berhasil
tanpa partisipasi masyarakat peternak dan para pelaku peternak sapi potong lainnya.
Kata Kunci : Masyarakat, Usaha Ternak Sapi Potong, dan Swasembada Daging Sapi
2014
Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini, mau tidak mau Pemerintah Aceh khususnya setiap
kabupaten di Aceh harus masing-masing memiliki daya saing sektor yang unggul.
Sektor pertanian sebagai sektor yang paling dominan di Aceh memiliki nilai yang
sangat strategis dalam pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) bagi masyarakat
lokal, nasional dan internasional serta tidak terkecuali dari keharusan membangun
daya saing yang tangguh untuk bertahan menghadapi tren globalisasi yang semakin
dinamis. Sektor pertanian telah

diakui memiliki peranan

penting dalam


pembangunan perekonomian nasional, hal ini dapat dilihat dari kemampuannya
berkontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto, penyerapan tenaga kerja dan

1

penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat bahkan perolehan
devisa.
Pertanian juga dipandang sebagai suatu sektor yang memiliki kemampuan
khusus dalam memadukan pertumbuhan pemerataan (growth with equity). Semakin
besar perhatian terhadap melebarnya perbedaan pendapatan memberikan stimulan
yang lebih besar untuk memanfaatkan kekuatan pertanian bagi pembangunan lebih
baik lagi. Setelah swasembada beras tercapai pada tahun 2008, tantangan berikutnya
bagi masyarakat indonesia adalah bagaimana agar Indonesia dapat semakin mandiri
dalam memenuhi kebutuhan pangan hewani.
Subsektor peternakan akan menjadi strategis di masa yang akan datang. Jika
dilihat lebih dalam, produk-produk primer peternakan seperti telur dan daging
memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk pertanian
kacang kedela. Protein telur sekitar 13% dan daging ayam mencapai 18,5%.
Sementara protein kacang kedelai hanya 11%. UNICEF pun mengakui bahwa
perbaikan gizi berlandaskan pemenuhan kebutuhan protein memiliki andil sekitar

50% dalam pertumbuhan ekonomi negara - negara Eropa Barat seabad terakhir.
Terlebih produk primer peternakan seperti susu memiliki kandungan gizi utama yang
sangat pendting bagi kesehatan yang tidak dapat digantikan oleh produk-produk
pangan lainnya. (Daryanto, 2009)
Selain dinilai strategis dari segi perannya, subsektor peternakan di Indonesia
khususnya Propinsi Aceh juga memiliki potensi besar sekaligus prospek yang cerah
untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan program Swasembada Daging Sapi Tahun
2014 (PSDS-2014) merupakan tekad bersama dan menjadi salah satu program utama
Kementerian Pertanian yang terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan
hewani asal ternak berbasis sumberdaya domestik khususnya ternak sapi potong.
Swasembada daging sapi sudah lama didambakan oleh masyarakat agar
ketergantungan terhadap impor baik sapi bakalan maupun daging semakin menurun
dengan mengembangan potensi dalam negeri. Keberasilan program swasembada
daging sapi 2014 akan sangat tergantung kepada partisipasi penuh masyarakat
peternak sapi potong, sehingga bagaimanapun baiknya program yang disusun tidak
akan berhasil tanpa partisipasi masyarakat peternakan dan para pelaku peternakan
sapi potong lainnya.

2


B. Swasembada Daging Sapi 2014 di Propinsi Aceh
Pedoman umum PSDS 2014 merupakan acuan penting bagi para pegelola
kegiatan baik ditingkat Pusat maupun Propinsi dan Kabupaten/ Kota sehingga
diperoleh persamaan persepsi dalam melaksanakan berbagai kebijakan dan langkahlangkah operasionalnya. Di Propinsi Aceh ada beberapa lokasi kabupaten yang
mendapatkan bantuan sapi potong dari APBN dan APBA sabagai salah satu program
swasembada daging pada tahun 2015 harus terpenuhi 15,7 ton daging di seluruh
Indonesia, seperti Kabupaten Pidie (Desa Beuni Reuleng, Desa Lam Ujong dan Desa
Lhok Keutapang), Kabupaten Bireuen (Desa Pinto Rimba dan Desa Ranto Panyang )
dan Kabupaten Aceh lainnya.
Program Swasembada Daging ini telah digagas oleh Pemerintah Pusat sejak
tahun 2006, namun belum memuahkan hasil. Sehingga Pemerintah tetap berupaya
pada tahun 2014 ini Program Swasembada Daging harus berhasil. Hal ini dilakukan
untuk mengimbangi kebutuhan daging bagi masyarakat sangat tinggi setiap tahunnya.
Secara geografis Propinsi Aceh sangat cocok karena didukung dengan lahan yang
luas serta kegigihan masyarakat cukup tinggi dalam memelihara ternak. Disamping
itu untuk mempertahankan bibit Sapi Aceh yang merupakan salah satu rumpun sapi
lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Propinsi Aceh, dan telah
dibudidayakan secara turun-temurun. Sapi Aceh juga merupakan kekayaan sumber
daya genetik ternak Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan (sesuai dengan
Keputusan Menteri Pertanian No:2907/Kpts/OT.140/6/2011).

Kebutuhan daging sapi di Propinsi Aceh menurut Data Kementerian Pertanian
Republik Indonesia 5 tahun terakhir dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013
adalah semakin meningkat dengan tingkat pertumbuhan 13,83%. Hal ini dapat lihat
pada Tabel 1. dibawah ini :

3

Tabel 1. Tingkat Produksi Produk Primer Ternak di Propinsi Aceh , 2009 - 2013
(Ton)
Tahun
Pertumbuhan
No
Produksi Ternak
(%)
2009
2010
2011
2012
2013*)
1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Telur Itik

7.942

8.345


9.258

10.692

11.027

19,10

Telur Ayam Ras
Telur Ayam Buras
Susu
Daging Kuda
Daging Sapi
Daging Kerbau
Daging Itik
Daging Domba
Daging Babi
Daging Ayam Ras
Petelur
Daging Ayam Ras

Pedaging
Daging Ayam Buras
Daging Kambing

1.868
3.993
34
7.614
2.303
918
163
4
432

1.962
4.195
37
7.914
2.520
964

180
4
453

2.419
4.195
33
8.303
2.835
814
308
8
1.321

3.640
4.053
43
6.569
2.679
1.006

335
14
1.361

3.874
4.254
52
7.478
2.771
1.042
346
15
1.431

6,44
4.95
22.21
13.83
3.42
3.59

3.48
2.22
5.18

4.746

4.982

6.439

8.567

8.434

-1.55

3.847
1.333

4.042
1.413

4.821
1.644

4.785
1.653

4.963
1.707

3.71
3.26

Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013

Berdasarkan Permentan No. 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum tentang
Swasembada Daging Ternak Tahun 2014 yakni dalam rangka memenuhi kebutuhan
daging ternak dalam negeri dengan harapan memiliki keuntungan dan nilai tambah
yaitu (1)

meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan peternak; (2) penyerapan

tambahan tenaga kerja baru; (3) penghematan devisa negara; (4) optimalisasi
pemanfaatan potensi ternak lokal; dan (5) semakin meningkatnya penyediaan daging
ternak yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH) bagi masyarakat sehingga
ketentraman lebih terjamin.
Program swasembada daging sapi ini sebenarnya telah dicanangkan selama dua
periode (5 tahunan), dan terakhir ditargetkan tercapai pada 2010 melalui berbagai
terobosan, namun upaya tersebut belum berhasil. Menurut Yusdja et al. (2004),
ketidakberhasilan swasembada daging yang dicanangkan pada tahun 2000 dan
berakhir pada 2004 disebabkan tidak tercapainya sasaran program. Penyebabnya
adalah: 1) kebijakan program tidak disertai dengan rencana operasional yang rinci
dan kegitan riil di lapangan, 2) program bersifat top down dan berskala kecil
dibandingkan dengan sasaran yang ingin dicapai, 3) strategi implementasi program
disamaratakan dengan tidak memprioritaskan wilayah unggulan, tetapi berorientasi
pada komoditas unggulan, 4) implementasi program tidak memungkinkan untuk

4

mengevaluasi dampak program, dan 5) program tidak secara jelas memberikan
danpak pada pertumbuhan populasi ternak secara nasional.
Menurut penelitian Hanani (2008) menyatakan bahwa pengembangan Sapi
Aceh mempunyai kekuatan yang cukup signifikan dan tidak banyak mendapatkan
ancaman ekternal sehingga posisi ini mendukung strategi agresif artinya harus
dikembangkan bukan sebagai usaha sambilan, tetapi benar-benar usaha komersial
dan dapat dijadikan usaha unggulan agribisnis daerah untuk memenuhi kebutuhan
daging di pasar dan juga mengurangi kemiskinan di masyarakat peternak.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis ternak yang oleh rakyat dipelihara untuk
bermacam-macam tujuan. Misalnya untuk keperluaan tenaga dan daging. Berikut ini
adalah beberapa jenis dan bangsa ternak potong di Indonesia berdasarkan Peraturan
Menteri Pertanian No. 19/ Permentan/ OT. 140/2/ 2010, yaitu :
a. Sapi Bali
Kualitatif

Kuantatif
Betina:
Betina umur 18 – 24 bulan
- Warna bulu merah
Tinggi Gumba :
- Lutut ke bawah berwarna putih
Kelas I minimal 105 cm
- Pantat warna putih berbentuk Kelas II minimal 97 cm
setengah bulan
Panjang Badan :
- Tanduk pendek dan kecil
Kelas I minimal 104 cm
- Bentuk kepala panjang dan sempit
Kelas II minimal 93 cm
Kelas III minimal 89 cm
- Leher ramping
Jantan
- Warna bulu hitam
- Lutut ke bawah berwarna putih
- Pantat putih berbentuk setangah
bulan
- Ujung ekor hitam
- Tanduk tumbuh baik warna hitam
- Bentuk kepala lebar
- Leher kompak dan kuat

Jantan umur 24 – 36 bulan
Kelas I minimal 119 cm
Kelas II minimal 111 cm
Kelas III minimal 108 cm
Panjang Badan
Kelas I minimal 121 cm
Kelas II minimal 110 cm
Kelas III minimal 106 cm

b. Sapi Peranakan Ongole
-

Kualitatif
Warna bulu putih keabu-abuan
Kipas ekor dan bulu sekitar mata
berwarna putih
Badan besar, gelambir longgar
bergantung
Punuk besar

Kuantatif
Betina umur 18 – 24 bulan
Tinggi Gumba :
Kelas I minimal 116 cm
Kelas II minimal 113 cm
Panjang Badan :
Kelas I minimal 124 cm

5

- Leher pendek
- Tanduk Pendek

Kelas II minimal 117 cm
Kelas III minimal 115 cm
Jantan umur 24 – 36 bulan
Kelas I minimal 127 cm
Kelas II minimal 125 cm
Kelas III minimal 124 cm
Panjang Badan
Kelas I minimal 139 cm
Kelas II minimal 133 cm
Kelas III minimal 130 cm

c. Sapi Sumba Ongole (SO)
-

Kualitatif
Warna Keputihan
Kepala, leher, gumba, lutut, warna
gelap terutama pada yang jantan
Kulit
sekeliling
mata,
bulu
mata,moncong, kuku kaki dan bulu
cambuk ekor warna hitam
Tanduk pendek, kuat, mula-mula
mengarah keluar, lalu ke belakang
Badan besar, gelambir longgar dan
tergantung
Punuk besar persis diatas skapula
Leher pendek

Kuantatif
Betina umur 18 – 24 bulan
Tinggi Gumba :
Kelas III minimal 112 cm
Jantan umur 24 – 36 bulan
Tinggi Gumba:
Kelas III minimal 118 cm

d. Sapi Madura
Kualitatif
- Warna merah bata atau merah
coklat campur putih dengan batas
tidak jelas pada bagian pantat
- Tanduk kecil pendek mengarah ke
sebelah luar
- Tubuh kecil, kaki pendek
- Gumba pada betina tidak jelas,
pada jantan berkembang baik

Kuantatif
Betina umur 18 – 24 bulan
Tinggi Gumba :
Kelas I minimal 108 cm
Kelas II minimal 105 cm
Kelas III minimal 102 cm
Jantan umur 24 – 36 bulan
Tinggi Gumba:
Kelas I minimal 121 cm
Kelas II minimal 110 cm
Kelas III minimal 105 cm

6

e. Sapi Aceh
Kualitatif
- Warna bulu coklat muda, coklat
merah (merah bata), coklat hitam,
hitam dan putih, abu-abu, kulit
hitam memutih kearah sentral
tubuh
- Betina berpunuk kecil
- Jantan punuk terlihat jelas

Kuantatif
Betina umur 18 – 24 bulan
Tinggi Gumba :
Kelas III minimal 100 cm
Jantan umur 24 – 36 bulan
Tinggi Gumba:
Kelas III minimal 105 cm

f. Sapi Brahman
Kualitatif
Kuantatif
- Warna pada yang jantan putih abu- Betina umur 18 – 24 bulan
abu, pada betina putih/ abu-abu Tinggi Gumba :
atau merah
Kelas III minimal 112 cm
- Badan besar, kepala relatif besar
Jantan umur 24 – 36 bulan
Tinggi Gumba:
Kelas III minimal 125 cm
C. Peranan Masyarakat dalam Pengembangan Ternak Sapi Potong
Belajar dari pengalaman membangun sektor pertanian dalam arti luas
(termasuk peternakan), baik di negara maju dan berkembang, kita memperoleh
pelajaran bahwa faktor - faktor kritikal yang menentukan pembangunan pertanian
adalah jumlah dan kualitas (a) modal manusia (terkait dengan pendidikan dan
pelatihan), (b) modal sosial (terkait dengan organisasi/ kelompok petani/ peternak
dan koperasi), (c) infrastruktur fisik (terkait dengan jalan, fasilitas komunikasi,
pasokan energi dan air), (d) infrastruktur kelembagaan (terkait dengan penelitian dan
penyuluhan, sistem keuangan perdesaan, peraturan dan kelembagaan termasuk hakhak kepemilikan, dan (e) modal fisik swasta (terkait dengan ketersediaan lahan,
infrastruktur peternakan, dan investasi). Oleh karena itu, pembangunan peternakan
harus dilakukan dengan cara yang holistik, komprehensif, tidak sektoral dan tidak
parsial. (Daryanto, 2009)
Pengembangan

masyarakat

merupakan

suatu konsep pemberdayaan

masyarakat yang berkembang sebagai suatu wujud dari kontribusi kepedulian dan
tanggung jawab negara terhadap warganya untuk mencapai keadilan dan
kesejahteraan. Pengembangan masyarakat dilakukan dengan tujuan untuk mencapai
kondisi masyarakat dimana transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi, teknologi

7

dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Hal sesuai dengan Wuradji
(1999) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat adalah proses penyadaran
masyarakat yang dilakukan secara transpormatif, partisipatif, dan berkesinambungan
melalui peningkatan kemampuan dalam menganani berbagai persoalan dasar yang
mereka hadapi untuk meningkatkan kondisi hidup sesuai dengan cita-cita yang
diharapkan.
Konsep pemberdayaan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang
memiliki karakteristik dengan berfokus pada rakyat (people-centered), partisipatif
(participatory), memberdayakan (empowering), dan berkesinambungan (sustainable)
(Chambers, 1996). Menurut Kartasasmita (1996) bahwa pemberdayaan adalah upaya
yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu
meningkatkan kemampuan rakyat. Jadi pemberdayakan masyarakat adalah upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi
sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap

kemiskinan dan

keterbelakangan.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek
dari upaya pembangunannya sendiri. Implementasi konsep pelibatan masyarakat
dalam proses pembangunan telah banyak diterapkan di berbagai negara. Salah satu
contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan Babajanian di Armenia (2005),
yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat melalui organisasi sosial lokal
memegang peranan penting dalam keberhasilan proyek-proyek pembangunan di
negara tersebut.
Pembangunan perekonomian masyarakat memegang peranan yang penting
dalam pembangunan ekonomi nasional. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya
program pembangunan ekonomi yang dirancang oleh pemerintah baik ditingkat desa,
kabupaten dan propinsi dibidang program budidaya ternak besar, sedang dan kecil.
Hampir seluruh instansi, terutama pemerintah daerah mengakomodir pembangunan
dalam program kerjanya.
Peningkatan jumlah penduduk yang diikuti dengan perbaikan taraf hidup dan
perubahan selera konsumen telah mengubah pola konsumsi yang mengarah pada
protein hewani asal ternak ternak. Daging, telur dan susu merupakan komoditas

8

pangan berprotein tinggi, yang umumnya memiliki harga yang lebih mahal
dibandingkan pangan lainnya.
Daging sapi sebagian besar dihasilkan oleh usaha peternakan rakyat di desa.
Dari tahun daging sapi meningkat dari tahun ke tahun, demikian pula impor terus
bertambah dengan laju yang makin tinggi. Kondisi demikian menuntut para
pemangku kepentingan (stakeholder) menetapkan suatu strategi pengembangan
peternakan sapi potong nasional untuk mengurangi, dan secara bertahap mampu
berswasembada dalam penyediaan kebutuhan daging nasional. Masyarakat harus
mengelola ternak sapi dengan baik. Jangan peternak sapi hanya dilakukan dari
kalangan orang kaya saja, tapi masyarakat miskin pun harus menjadi ujung tombak
berternak sapi
D. Kebijakan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Potong
Salah satu faktor yang menghambat kinerja pembangunan peternakan di
tanah air adalah kurang tersedianya modal dan kredit untuk bagi para peternak.
Padahal ke depan permintaan akan produk-produk peternakan primer dan olahan
yang bernilai tinggi naik dengan pesat. Menurut Hernando de Soto seorang pemikir
rakyat dari Peru yang pernah dinobatkan sebagai salah satu inovator Amerika Latin
pada majalan ekonomi bergensi The Economist tahun 1999 mengungkapkan bahwa
peminjaman kredit yang berpihak pada pengusaha kecil dengan mempermudah akses
modal kerja akan memajukan perekonomian suatu negara.
Pengembangan peternakan sapi potong dilakukan bersama oleh pemerintah,
masyarakat (peternak skala kecil), dan swasta. Pemerintah menetapkan aturan main,
memfasilitasi serta mengawasi aliran dan ketersediaan produk, baik jumlah maupun
mutunya agar memenuhi persyaratan halal, aman, bergizi, dan sehat. Swasta dan
masyarakat berperan dalam mewujudkan kecukupan produk peternak-peternak
melalui kegiatan produksi, impor, pengolahan, pemasaran, dan distribusi produk sapi
potong (Bamualim et al. 2008).
Secara umum pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies)
pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental will) dan legislatif
berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Amar, 2008).

9

Tawaf dan Kuswaryan (2006) menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dalam
pembangunan peternakan masih bersifat top down. Kebijakan seperti ini pada
akhirnya menyulitkan berbagai pihak tertama stakeholder. Pertanyaannya bagaimana
membuat kebijakan publik yang didasarkan hasil riset dengan melibatkan
stakeholder dan pembuat kebijakan melalui forum dialog, kemudia hasilnya
diagendakan sehingga dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan nasional,
regional dan internasional.
Tanpa dukungan kebijakan yang kuat, terencana dan komprehensif, maka
peternak akan sulit memperoleh kemudahan akses pada sumber-sumber pembiayaan
untuk meningkatkan produktivitas usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Amar, A.L. 2008. Strategi penyedian pakan hijauan untuk pengembngan sapi potong
di Sulawesi Selatan. Dalam A.L. Amar, M.H. Husain, K. Kasim,
Marsetyo, Y. Duma, Y. Rusyantono, Rusdin, Damry, dan B. Sundu (Ed).
Pengembangan Sapi Potong untuk Mendukung Percepatan Pencapaian
Swasembada Daging Sapi 2008 - 2010.
Bamualim,

A.M., B. Trisnamurti, dan C. Thalib.2008. Arah penelitian
pengembangan sapi potong di Indonesia. Dalam A.L. Amar .L. Amar,
M.H. Husain, K. Kasim, Marsetyo, Y. Duma, Y. Rusyantono, Rusdin,
Damry, dan B. Sundu (Ed). Pengembangan Sapi Potong untuk
Mendukung Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2008 2010.

Chambers, Robert. 1996. Participatory Rural Appraisal. Penerbit : Kanisius
Daryanto. A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Penerbit. IPB Press.
Kampus IPB Taman Kencana Bogor.
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/ Permentan/ OT. 140/2/ 2010, tentang Pedoman
Umum Program Swasembada Daging Sapi
Rasyaf M. 1994. Manajemen Peternakan Ayam Kampung. Yogyakarta: Kanisius.

Tawaf, R. dan S. Kuswaryan .2006. Kendala kecukupan daging 2010. Dalam B.
Sukamto, E. Rianto, dan A.M. Legowo (Ed). Pemberdayaan Mayarakat
Peternakan di Bidang Agribisnis untuk Mendukung Ketahanan Pangan.
Prosiding Seminar Nasional 2006, Semarang. Universitas Diponegoro.
Wuradji. 1999. Pengembangan Masyarakat, Sasaran, Arah dan Tujuannya. Dalam Makalah
dalam Seminar Pengembangan Masyarakat Islam. Fakultas Dakwah. IAIN
Sunan Kalijaga.

10