FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN SKIZOFRENIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM KALIMANTAN SELATAN

FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN SKIZOFRENIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI RUMAH
SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM KALIMANTAN SELATAN
Siti Vitalia Islami1, Rudi Fakhriadi2, Laily Khairiyati3
1Program

Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat Banjarbaru
3Departemen Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
Email: [email protected]

2Departemen

Abstrak
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan pemikiran yang tidak saling
berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek/ ekspresi datar atau tidak sesuai dan
berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa
prevalensi skizofrenia di Kalimantan Selatan mencapai angka 1,4 per 1000 penduduk. Salah satu teori
penyebab skizofrenia adalah diatesis-stress model yang menggabungkan antara faktor biologis,
psikososial, dan lingkungan yang saling berkaitan secara dinamis secara khusus mempengaruhi diri

seseorang sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Tujuan penelitian ini untuk
menjelaskan faktor determinan kejadian skizofrenia di dalam sudut pandang metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode grounded theory dengan 2 subjek. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa diathesis/ kerentanan yaitu riwayat keturunan, penyalahgunaan narkoba dan alkohol
serta malnutrisi saat kehamilan mempengaruhi kejadian skizofrenia. Tipe kepribadian tertutup, pola asuh
yang cenderung otoriter serta konflik internal dan eksternal yang terjadi berpotensi menjadi faktor
stressor yang dapat mengaktifkan kerentanan/ diathesis yang dimiliki seseorang. Status ekonomi yang
rendah dan status sebagai migran sangat berpotensi menjadi faktor stressor bagi seseorang dengan
kemampuan self regulation yang rendah. Sedangkan fakta bahwa umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, serta tempat tinggal menjadi faktor pemberat dari
kejadian skizofrenia pada penelitian ini.
Kata kunci: Skizofrenia, Biologi, Psikososial, Lingkungan Sosiokultural
Abstract
Schizophrenia is a psychotic disorder characterized by logically unrelated thoughts, false
perceptions and concerns, flat or inappropriate affects / expressions and a variety of strange motor
activity disorders. Basic Health Research in 2013 showed that the prevalence of schizophrenia in South
Kalimantan reached 1.4 per 1000 population. One of the theories causing schizophrenia is the diathesisstress model that combines biological, psychosocial, and environmental factors, which are dynamically
interrelated specifically to affect one's self that can lead to the development of schizophrenia symptoms.
The purpose of this study to explain the determinant factors of schizophrenia occurrence in the
perspective of qualitative research methods. This qualitative research using grounded theory method with

2 subjects. The results showed that diathesis / susceptibility of hereditary history, drug and alcohol abuse
and malnutrition during pregnancy affected the incidence of schizophrenia. Introvert personality types,
authoritarian tendencies and internal and external conflicts that occur have the potential to become
stressor factors that can activate a person's vulnerability / diathesis. Low economic status and migrant
status are potentially a stressor factor for someone with low self regulation ability. While the fact that age,
sex, education level, employment status, marital status, and residence become the weight factor of
schizophrenia in this research.
Keywords: Schizophrenia, Biology, Psychosocial, Sociocultural Environment

PENDAHULUAN
Skizofrenia adalah salah satu bentuk perilaku abnormal berat atau gangguan psikotik yang
ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran, emosi dan perilaku. Individu yang mengalami skizofrenia
memiliki pemikiran yang tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek/
ekspresi yang datar atau tidak sesuai dan berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. Penderita
skizofrenia kehilangan kontak dengan kenyataan dan kesulitan membedakan hal yang nyata dengan
yang tidak. Salah satu gejala dari skizofrenia adalah halusinasi dan delusi (1). Berdasarkan laporan
WHO, gangguan jiwa merupakan salah satu kondisi yang menyumbangkan beban penyakit yang besar
melalui kesakitan, kecacatan dan kematian dini terutama di negara yang sedang berkembang (2).
Gangguan jiwa berat atau skizofrenia memiliki dampak yang sangat besar. Hal ini terjadi karena
kebanyakan individu yang menderita skizofrenia tidak dapat sembuh sepenuhnya, mengalami penurunan

fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produktivitasnya, nyaris
terputus relasinya dengan orang lain dan harus memperoleh perawatan dalam jangka panjang (3).
Selain itu gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, diantara penderita skizofrenia di
seluruh dunia sekitar 20-50% telah melakukan percobaan bunuh diri dan 10% diantaranya meninggal
karena bunuh diri. Angka kematian penderita skizofrenia ini 8 kali lebih tinggi daripada angka kematian
penduduk pada umumnya (4). Skizofrenia tidak hanya berdampak pada individu tetapi juga pada
keluarga dan negara. Pasien serta keluarganya sering mendapat penolakan sosial dari masyarakat,
kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan jiwa mencapai 20 triliun rupiah (5). Berdasarkan
data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 bahwa prevalensi penduduk Indonesia
yang mengalami skizofrenia sebanyak 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400 ribu jiwa dan prevalensi
skizofrenia di Kalimantan Selatan mencapai angka 1,4 per 1000 penduduk. Angka tersebut
menempatkan Kalimantan Selatan sebagai provinsi dengan penderita skizofrenia terbanyak di pulau
Kalimantan (6).
Salah satu teori penyebab skizofrenia adalah diatesis-stress model. Teori ini menggabungkan
antara faktor biologis, psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang
sehingga dapat menyebabkan berkembangnya gejala skizofrenia. Dimana ketiga faktor tersebut saling
berkaitan secara dinamis. Faktor biologis yang dapat menyebabkan skizofrenia yaitu faktor keturunan,
hipotesis dopamine, penyakit autoimun, komplikasi kelahiran, dan malnutrisi saat kehamilan. Faktor
psikososial yang dapat menyebabkan skizofrenia yaitu tipe kepribadian, tipe pola asuh yang patogen,
dan konflik keluarga. Sedangkan faktor lingkungan yang dapat menjadi faktor determinan dari skizofrenia

adalah umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan, status ekonomi,
tempat tinggal dan status migran (7).
Sementara itu Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum merupakan rumah sakit jiwa rujukan utama di
provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki fasilitas rawat jalan dan rawat inap, dan pasien dari berbagai
kalangan yang memiliki latar belakang berbeda dan beragam. Sehingga perlu dikaji mendalam faktor apa
saja yang ada pada dinamika perjalanan gangguan skizofrenia pada pasien rawat jalan.
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu mengemukakan gambaran atau
pemahaman mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas dapat terjadi. pada penelitian
ini menggunakan metode pendekatan grounded theory yaitu metode penelitian yang intensif, terperinci,
dan mendalam terhadap kasus yang dihubungkan dengan sebuah teori dalam rangka untuk mempelajari
latar belakang masalah dan dinamika perjalanan suatu peristiwa tertentu (8). Subjek dalam penelitian ini
adalah pasien penderita skizofrenia yang melakukan rawat jalan di rumah sakit jiwa sambang lihum.
Informasi akan digali melalui keluarga terdekat/ keluarga inti pasien mengetahui dan dapat mewakili
informasi mengenai pasien. Hal ini digunakan menurut konsep teori analogi. Analogi adalah penarikan
kesimpulan berdasarkan kesamaan data atau fakta. Pada analogi biasanya membandingkan 2 hal yang
memiliki karakteristik berbeda namun dicari persamaan yang ada di tiap bagiannya (9).
Dalam penelitian kualitatif, instrument utama untuk pengumpulan data kualitatif adalah peneliti
sendiri dan instrument pendukung yang meliputi panduan wawancara, alat dokumentasi, alat perekam,
serta studi dokumentasi. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga macam triangulasi, yaitu

triangulasi sumber informasi, triangulasi metode pengumpulan informasi dan triangulasi waktu. Tempat

pengambilan subjek penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum, Kalimantan
Selatan. Dan wawancara mendalam dilakukan di rumah keluarga subjek.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembahasan Kasus
Subjek 1 (SH)
Latar belakang keluarga subjek SH yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah serta
adanya keluarga yang memiliki riwayat skizofrenia sejak awal telah menimbulkan resiko pada subjek SH
dari segi faktor biologi. Kenyataan bahwa keluarga yang memiliki riwayat skizofrenia berasal dari derajat
pertama yaitu bapak kandung bahkan membuat subjek SH beresiko 7%-16% untuk menderita
skizofrenia. Dari segi ekonomi subjek SH juga memiliki faktor stressor yang kuat, karena perekonomian
keluarga subjek yang berada pada taraf menengah kebawah memungkinkan subjek SH beresiko
skizofrenia sebesar 6 kali lebih besar. Pada masa kehamilan ibu subjek mengalami hipertensi serta tidak
pernah melakukan antenatal care. Selain itu ibu subjek juga jarang memakan makanan bergizi selama
kehamilan karena ekonomi yang sulit.
Subjek SH dilahirkan saat kehamilan ibunya berumur 10 bulan, menurut penelitian bahwa bayi
yang lahir saat usia kandungan melebihi normal akan beresiko mengalami gangguan otak, gangguan gizi
dan asfiksia. Dilahirkan dirumah dengan bantuan bidan subjek SH lahir dalam keadaan normal. Dimasa
kecilnya subjek SH hampir setiap bulan mengalami sakit demam dan flu, hal itu mengindikasikan bahwa

subjek memiliki fisik yang lemah. Selama masa pertumbuhan dan perkembangannya subjek SH jarang
sekali mendapatkan asupan gizi yang cukup dikarenakan keadaan ekonomi keluarganya yang tidak
memungkinkan membeli makanan yang bergizi. Di masa kanak-kanaknya subjek SH sangat di sayangi
oleh bapaknya. Ibunya cenderung pemarah namun tidak pernah sampai memukul karena bapak subjek
akan marah apabila anaknya dipukul. Dari pola asuh orang tua pada subjek tidak ada faktor stressor
yang dapat menjadi resiko skizofrenia. Pola asuh yang diterapkan cenderung demokratis. Selain itu
subjek termasuk anak yang pintar, ia sering mendapatkan rangking di kelas. Orang tuanya sering
memberikan pujian, namun subjek tidak pernah mendapatkan hadiah karena orang tuanya tidak memiliki
uang. Keadaan ini membuat subjek kecewa terhadap keadaan ekonomi keluarganya. Jika kekecewaan
ini berlarut-larut dapat menjadi sebuah stressor ringan yang beresiko kepada subjek. Sejak kelas 4
sekolah dasar subjek telah menujukkan keadaan psikologis yang lemah, jika subjek bertengkar dengan
temannya ia cenderung mengalah dan memendam amarahnya sendiri. Keadaan itu mengganggu
psikologis subjek hingga mengalami kejang. Keadaan itu terus berlanjut dan mulai hilang saat subjek
beranjak ke sekolah menengah pertama.
Dimasa SMP hingga SMA, pertumbuhan dan perkembangan subjek SH cenderung normal
namun keadaan ekonomi keluarganya masih sangat sulit. Konflik yang ada pada diri subjek pada
keadaan ekonomi keluarganya semakin diperparah karena cita-cita subjek yang ingin menjadi seorang
tentara harus pupus dan kandas karena keadaan fisiknya yang memang sejak kecil lemah. Kekecewaan
itupun coba dihilangkan oleh subjek dengan mengalihkan tujuannya dari tentara menjadi seorang guru.
Alhasil subjek yang pintar lulus seleksi dan diangkat menjadi seorang guru di suatu sekolah dasar yang

letaknya sangat jauh dari tempat tinggalnya. Lokasi kerja yang jauh menyebabkan subjek sering
kelelahan setiap selesai bekerja dan di tempat kerjanya itu juga subjek mengenal seorang wanita yang
juga berprofesi sebagai guru. Setiap subjek pulang ke rumahnya di daerah martapura wanita itupun
sering ikut dengan alasan ingin mengunjungi keluarganya di sana. Karena kebaikan subjek yang suka
membantu, lama-kelamaan wanita itupun suka dan ingin menikah dengan subjek. Namun subjek yang
tidak tertarik dengan wanita itu, menolak dan hanya bermaksud membantu. Selama satu tahun bekerja
bersama wanita tersebut, terjadi ketidaknyamanan terhadap psikologis subjek. Tidak adanya perbaikan
kondisi di lingkungan dan kurangnya sarana untuk melakukan self-regulation, membuat subjek SH
semakin tertekan. Subjek SH berada dalam kondisi disequilibrium yang panjang. Pada akhirnya, Subjek
SH mengalami deteriorasi karena emosinya semakin tidak mampu bertoleransi terhadap konflik yang
dihadapi. Konflik batin yang dialami oleh Subjek SH tidak dapat diungkapkan karena subjek memang
cenderum memendam dan tidak tega kepada orang.
Konflik ini termanifestasi dalam bentuk pikiran dan perilaku yang kacau dan tidak terkoordinasi.
Ketika faktor stressor yang berupa masalah yang pernah terjadi berkumpul dan menyatu dengan faktor
genetik yang dimiliki subjek SH, berbagai gejala Skizofrenia muncul pada Subjek SH. Gejala-gejala yang
muncul, antara lain : berdiam diri, menarik diri dari lingkungan luar, berkurangnya kepedulian terhadap

diri sendiri (tidak makan dan tidak tidur), keinginan bunuh diri. Jadi dapat kejadian skizofrenia pada
subjek SH ini berawal dari adanya kerentanan/ diathesis berupa riwayat keturunan skizofrenia dan
diperparah dengan malnutrisi saat kehamilan, diathesis tersebut berinteraksi dengan faktor stressor

utama yaitu ekonomi yang sulit dan konflik internal maupun eksternal yang tidak dapat diatasi dengan
self regulation oleh subjek SH karena subjek berkepribadian tertutup.
Subjek 2 (SM)
Jika dilihat dari segi latar belakang keluarga, subjek SM lahir dari keluarga yang berkecukupan
tidak nampak adanya resiko skizofrenia dikeluarganya. Kedua orang tuanya tidak memiliki riwayat
skizofrenia, namun setelah didalami kenyataannya keluarga dari bapaknya memiliki riwayat depresi
akibat perceraian yaitu neneknya, saudara tiri satu ibu dari bapaknya juga menderita skizofrenia selain itu
saudara nenek dan sepupu sepupunya banyak yang mengalami skizofrenia. Walaupun kedua orang tua
subjek tidak mengalami skizofrenia namun bapak sujek membawa gen resesif yang memungkinkan
anak-anaknya mengalami skizofrenia sebesar 7%.
Pada masa kehamilan, ibu subjek tidak mengalami suatu hambatan yang berarti, dan subjek SM
lahir dalm keadaan normal di rumah sakit. Selama masa kecilnya subjek SM dan saudara-saudaranya
jarang mendapatkan asuhan dari kedua orang tuanya. Subjek SM diasuh oleh pembantu rumah tangga,
karena bapaknya sibuk bekerja dan ibunya lebih suka bepergian kerumah keluarganya selma berbulanbulan. Subjek SM tumbuh menjadi anak yang perfectionis, ia tidak suka bermain hal-hal yang kotor,
harus berpenampilan rapi, bersih, dan teratur. Subjek tidak ingin melakukan kesalahan apapun karena ia
tahu jika melakukan kesalahan maka akan mendapat hukuman. Dari keadaan ini masih belum terlihat
adanya faktor stressor yang dapat mengaktifkan gen resesif yang dimiliki subjek.
Orang tua subjek sering membedakan anak laki-laki dan perempuannya dalam hal kasih sayang.
Semua anak laki-laki termasuk subjek sangat disayangi dan dimanja, dikarenakan orang tuanya yang
jarang berada dirumah, ketika orang tuanya pulang subjek akan langsung berlomba dengan saudarasaudaranya untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Bahkan subjek terkadang menganggap

saudaranya adalah musuhnya dalam mendapatkan hal yang ia inginkan. Namun, kasih sayang itu diiringi
rasa khawatir yang berlebihan hingga cenderung membentuk pola asuh yang terlalu menuntut,
mengekang dan membatasi. Pola asuh yang cenderung patogen ini berbenturan dengan sifat subjek
yang perfectionis, apapun keinginannya harus tercapai. Dari keadaan ini mulai terlihat kecenderungan
adanya faktor stressor dari segi pola asuh.
Selain pola asuh yang patogen, faktor stressor yang kuat muncul dari seringnya konflik antar
orang tua yang terjadi dihadapan subjek sendiri. Dan terkadang subjek berusaha mencari solusi dari
permasalahan yang dialaminya, namun kondisi di lingkungan keluarganya yang tidak mendukung subjek
untuk mendapatkan pemecahan masalah memaksa subjek untuk terus diam tanpa tahu harus berkeluh
kesah kepada siapa. Setelah subjek lulus sederajat SMA, subjek tidak dapat melanjutkan ke perguruan
tinggi karena stigma yang dimiliki bapaknya bahwa anaknya tidak boleh melampaui pendidikan orang
tuanya. Sehingga subjekpun harus bekerja bersama bapaknya menjadi pedagang kayu. Lingkungan
keluarga yang tidak kondusif, membuat subjek SM merasa lebih nyaman dan bebas ketika berhubungan
dengan teman-temannya. Dan karena pergaulan tanpa kendali orang tua ini pun menyebabkan subjek
SM terjerat narkoba jenis sabu.
Jika dilihat dari faktor stressor yang dimiliki subjek SM cenderung karena pola asuh yang
bertabrakan dengan kepribadian subjek, dan diperparah dengan penyalah gunaan narkoba. Sejak
kakaknya mengetahui bahwa subjek menggunakan narkoba, subjek SM menjadi peka terhadap situasi
dan reaksi dari orang lain, sehingga cenderung menjaga jarak dengan lingkungannya. Subjek SM
menjadi kurang bisa membina hubungan dengan orang lain dan sulit menyesuaikan diri dengan tuntutan

realitas. Akibatnya, Subjek SM membangun “standar pribadi” yang berbeda dari tuntutan di
lingkungannya. Keadaan tersebut dapat dicontohkan dari hubungan Subjek SM dengan ibu dan
bapaknya. Ibu dan bapak banyak memberikan aturan berupa tuntutan dan larangan kepada Subjek SM,
tetapi aturan tersebut dianggap menekan dan membatasi Subjek. Subjek SM melakukan pertahanan ego
berupa kecenderungan verbal agresif, seperti membantah, dan mencari alasan. Semua faktor stressor
dan kerentanan yang dimiliki oleh subjek SM mulai memunculkan sebuah gejala skizofrenia tepat pada
saat subjek berhenti bekerja dan menjadi seorang migran di daerah baru. Jadi dapat kejadian skizofrenia
pada subjek SM ini berawal dari adanya kerentanan/ diathesis berupa riwayat keturunan skizofrenia dan
diperparah dengan penggunaan narkoba, diathesis tersebut berinteraksi dengan faktor stressor utama
yaitu pola asuh keluarga yang mengekang dan konflik internal maupun eksternal yang tidak dapat diatasi
dengan self regulation oleh subjek SM karena subjek berkepribadian tertutup.

B. Pembahasan kedua subjek menurut teori Diathesis stress model
Teori Diathesis-Stress menyatakan bahwa teori ini menggabungkan antara faktor biologis,
psikososial, dan lingkungan yang secara khusus mempengaruhi diri seseorang sehingga dapat
menyebabkan berkembangnya gejala Skizofrenia Model (7). Dimana ketiga faktor tersebut saling
berpengaruh secara dinamis. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka teori Diathesis-Stress Model lebih
tepat untuk menerangkan tentang penyebab munculnya Skizofrenia. Teori ini menyatakan bahwa
Skizofrenia dapat disebabkan oleh pengaruh keadaan fisik, psikis, dan lingkungan yang kurang kondusif
di dalam kehidupan seseorang (10).

Teori Diathesis-Stress Model dapat diterangkan dalam dua bagian, yaitu : Diathesis Model, yang
menyatakan bahwa penyebab Skizofrenia didasarkan pada faktor genetik sebagai predisposisi biologis.
Ada beberapa hipotesis yang berkaitan dengan ketidakberfungsian sistem biologis, seperti : kerusakan
struktur otak, ketidakmampuan menerima dan mengorganisasikan informasi yang kompleks, kekacauan
sistem regulasi neurotransmitter (7). Dilihat dari perspektif diathesis atau kerentanan yang dimiliki, kedua
subjek pada penelitian ini sama-sama memiliki kerentanan yang berasal dari riwayat keturunan
skizofrenia pada keluarga derajat ke 1 ataupun ke 2. Subjek SH memiliki kerentanan yang lebih besar
dikarenakan ada keluarga derajat ke 1 yaitu bapaknya pernah memiliki riwayat skizofrenia, selain itu
keluarga derajat ke 2 yaitu kakek dan saudara kakeknya juga memiliki riwayat skizofrenia. Dibandingkan
dengan subjek SM yang hanya memiliki keluarga derajat ke 2 dengan riwayat skizofrenia. Selain riwayat
keturunan, masing-masing subjek memiliki diathesis atau kerentanan lainnya seperti malnutrisi saat
kehamilan yang terjadi saat subjek SH masih dalam kandungan, dan penyalahgunaan narkoba oleh
subjek SM. Menurut penelitian Tunjung 2013 bahwa secara umum dapat dikatakan semakin dekat
hubungan genetic pasien dengan penderita skizofrenia sebelumnya, maka semakin besar pula
kemungkinan untuk menderita gangguan tersebut. Hal ini disebut concodant, yaitu anak dari penderita
gangguan skizofrenia memiliki kemungkinan tiga sampai enam kali lebih tinggi menderita gangguan
skizofrenia dibandingkan anak dari bukan penderita skizofrenia (11).
Sedangkan Stress Model, berhubungan dengan kemampuan seorang individu untuk mengatasi
permasalahan dengan jalan keluar yang tepat. Stresor dari lingkungan dapat digolongkan menjadi dua
macam, yaitu yang bersifat fisik dan bersifat psikologis (10). Dohrenwend dan Nuechterlein memaparkan
bahwa dari hasil beberapa penelitian, menyatakan bahwa onset dan kambuhnya Skizofrenia dapat
disebabkan oleh suasana kehidupan yang negatif, seperti kesulitan mendapatkan pekerjaan, dan
rusaknya hubungan sosial karena adanya ketegangan dalam pola interaksi keluarga (10).
Dilihat dari faktor stessor psikososial, kedua subjek sama-sama memiliki kepribadian pendiam dan
tertutup, menurut penelitian Agung wahyudi 2015, menyatakan bahwa kepribadian yang pendiam dan
tertutup lebih rentan 14 kali beresiko skizofrenia dibandingkan kepribadian terbuka, karena kepribadian
ini cenderung memendam permasalahan yang dimilikinya tanpa ada solusi. Jika masalah yang ada sejak
kecil dipendam dan berkumpul dengan maslaah-masalah lainnya, psikologis seseorang akan terganggu.
Bahkan kepribadian introvert ini dikatakan kepribadian schizoid (12). Sejalan dengan penelitian Kinros
(2010) di London, kepribadian introvert memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya skizofrenia.
Kinros mengungkapkan 87% dari penderita skizofrenia memiliki kepribadian yang introvert sebelum sakit
dan diketahui 46% diantaranya memiliki kepribadian pemalu (13).
Pola asuh yang diterapkan setiap orang tua akan berbeda-beda, sama halnya dengan kedua
subjek dalam penelitian ini. Subjek SH diasuh dengan pola asuh demokratis, jika subjek melakukan
kesalahan ibunya akan marah namun tidak sampai memukul dan jika subjek benar ia akan dipuji.
Berbeda dengan Subjek SH, subjek SM sejak kecil diasuh dengan pola asuh cenderung mengekang/
otoriter. Walaupun orang tua subjek sangat memanjakan SM, namun untuk melakukan sebuah hal subjek
harus mendapatkan persetujuan orang tua terlebih dahulu. Sehingga timbul rasa minder atau tidak
percaya diri dari subjek SM hingga hilangnya keinginan hidup mandiri. Dari kedua tipe pola asuh yang
diterapkan pada kedua subjek, pola asuh keluarga subjek SM lah yang berpotensi menjadi faktor stressor
psikososial karena menurut penelitian pemaksaan dalam proses penanaman nilai akan berimbas buruk
terhadap diri seseorang, karena krisis nilai akan menyebabkan munculnya krisis identitas. Pada akhirnya
dapat berakibat fatal di mana seseorang menjadi tidak tahu fungsi, peran, dan posisinya di lingkungannya
(14).
Sama halnya dengan tipe pola asuh keluarga, kedua subjek memiliki perbedaan dalam hal konflik
yang terjadi dikeluarga. Subjek SM cenderung lebih banyak mengalami konflik dibandingkan dengan
subjek SH. Sering terjadi perselisihan diantara kedua orang tua subjek SM, dan perselisihan serta
pertengkaran tersebut terjadi dihadapan subjek SM. Subjek yang memiliki kepribadian tertutup dan

cenderung memendam, akan merekam semua konflik itu didalam otaknya, hal itu menjadi suatu tekanan
psikososial yang jika berlarut-larut
dapat menggangu perkembangan mental seseorang dan
mengakibatkan hilangnya rasa aman didalam keluarga. Hal itu termanifestasi pada tipe skizofrenia yang
diderita subjek SM yaitu paranoid (15).
Selain dari aspek psikososial, faktor stressor yang dapat mengaktifkan kerentanan yang ada
pada diri kedua subjek adalah aspek lingkungan sosiokultural, dari segi umur kedua subjek sama-sama
memperlihatkan gejala skizofrenia pada umur 25 tahun atau dewasa muda. Namun dari penjabaran
kedua kasus yang dialami subjek, umur bukanlah faktor stressor yang menyebabkan kedua subjek
mengalami skizofrenia, namun pada saat umur dewasa muda itulah terjadi peralihan dari remaja ke
dewasa. Dan di umur tersebut, faktor diathesis atau kerentanan yang telah dimiliki kedua subjek
berinteraksi dengan faktor stressor yang telah menumpuk sejak subjek kecil. Dan keadaan tersebut
termanifestasikan menjadi gangguan skizofrenia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Erlina 2010
bahwa gangguan skizofrenia pada laki-laki rata-rata akan muncul pada usia dewasa muda karena
banyaknya faktor stress yang memungkinkan seseorang tidak dapat mengendalikan keadaan
psikologisnya yang berdampak pada kesehatan mental (16).
Sama halnya dengan umur, jenis kelamin bukanlah sebuah faktor stressor yang menyebabkan
seseorang mengalami gangguan skizofrenia. Hanya kapan dan pada siapa, faktor stressor berinteraksi
dengan faktor kerentanan/ diathesis yang telah dimiliki. Hal itu dapat diketahui apabila melihat kedua
subjek yang keduanya berjenis kelamin laki-laki sedangkan menurut penelitian Soewadi dkk 2010
menyatakan bahwa wanita lebih rentan menderita stress psikologik dibandingkan dengan laki-laki (16).
Sedangkan dari segi tingkat pendidikan, status pekerjaan, status ekonomi, dan status migran kedua
subjek memiliki perbedaan. Subjek SH berpendidikan tinggi, telah bekerja, status ekonomi menengah
kebawah, dan bukan seorang migran. Subjek SM berpendidikan menengah, tidak bekerja, status
ekonomi menengah keatas, dan sedang menjadi seorang migran. Dari perbedaan-perbedaan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sebuah atau beberapa kerentanan/ diathesis tidak akan muncul sebagai
gangguan skizofrenia apabila faktor stressor dapat dikendalikan terutama dengan self regulation yang
dibentuk dari tipe kepribadian yang terbuka. Kedua subjek kasus mengalami kesulitan dalam
menyelaraskan diri dengan keadaan yang ada, karena tidak ada suasana interaksi yang mendukung
proses perkembangan kepribadian subjek kasus. Seperti pernyataan Arif 2006 yang menyatakan bahwa
kepribadian seorang anak akan berkembang dengan optimal, apabila lingkungan keluarganya mampu
menyediakan holding environment dan centered relating yang memadai (17). Sejalan dengan penelitian
Damabrata 2003 skizofrenia merupakan hasil dari interaksi beberapa faktor resiko seperti faktor
keturunan dan pada fase berikutnya apabila dikenai stress sosio-ekonomi dan psikososial seperti status
ekonomi yang rendah, gagal dalam mencapai cita-cita, konflik yang berlarut, kematian keluarga yang
dicintai dan sebagainya dapat menjadi faktor pencetus berkembangnya skizofrenia (18).
SIMPULAN
1. Faktor biologi. Dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa riwayat keturunan, penyalahgunaan
narkoba dan alkohol serta malnutrisi saat kehamilan mempengaruhi kejadian skizofrenia. Faktor-faktor
kerentanan/ diathesis inilah yang akan diaktifkan oleh faktor stressor dari psikososial dan lingkungan
sosiokultural.
2. Faktor psikososial. Fakta pada penelitian ini bahwa tipe kepribadian tertutup sangat beresiko
menimbulkan stress pada seseorang karena kurangnya kemampuan self regulation. Selain tipe
kepribadian tertutup, pola asuh yang cenderung otoriter serta konflik internal dan eksternal yang
terjadi berpotensi menjadi faktor stressor yang dapat mengaktifkan kerentanan/ diathesis yang dimiliki
seseorang.
3. Faktor lingkungan sosiokultural. Status ekonomi yang rendah dan status sebagai migran sangat
berpotensi menjadi faktor stressor bagi seseorang dengan kemampuan self regulation yang rendah.
Sedangkan fakta bahwa umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan, status perkawinan,
serta tempat tinggal menjadi faktor pemberat dari kejadian skizofrenia pada penelitian ini.
SARAN
1. Untuk Keluarga Pasien dengan Skizofrenia. Ibu yang sedang hamil harus melakukan antenatal care
setiap bulan dan harus berusaha mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan agar calon bayi terhindar
dari kemungkinan memiliki faktor kerentanan/ diathesis. Keluarga terutama orang tua harus lebih
proaktif dalam proses pembentukan kepribadian anak, agar anak dapat terbiasa terbuka akan

masalah yang sedang dihadapinya. Dan orang tua harus berusaha membentuk pola asuh yang
nyaman dan tepat bagi kepribadian anak agar tidak menjadi sebuah maslah baru bagi psikologis
anak.
2. Instansi Kesehatan perlu meningkatkan usaha bidang kesehatan mental di lingkungan keluarga,
melalui pola pengasuhan yang sehat. Program tersebut antara lain : family gathering, layanan
konseling keluarga, dan penyuluhan tentang kesehatan mental. Program tersebut sangat penting
karena keluarga sebagai lembaga sosialisasi primer, sehingga dapat menjadi tempat pencegahan
terjadinya gangguan mental. Selain itu, keluarga adalah lingkungan terdekat bagi mantan pasien
gangguan mental, sehingga keluarga harus mendukung proses rehabilitasi dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai informasi yang dapat membantu orang tua untuk
mewujudkan usaha peningkatan bidang kesehatan mental, melalui pola pengasuhan yang sehat di
lingkungan keluarganya.
3. Untuk Peneliti Selanjutnya. Pada penelitian ini, tentulah masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, seperti : subjek kasus pada penelitian ini semuanya adalah laki-laki. Berpengaruh juga
pada kemungkinan perempuan memiliki faktor determinan lainnya. Selain itu mengapa apa pengaruh
kejang saat kecil terhadap kemungkinan skizofrenia dimasa dewasa.Berbagai pertanyaan inilah yang
harus dijawab untuk para peneliti dan melakukan penelitian lanjutan di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders fifth edition.
Washington DC: American psychiatric publishing, 2013.
2. World
Health
Organization
(WHO).
World
health
statistic;
(Online),
(http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/en_whs2013_full.pdf,
diakses
pada
tanggal 12 Februari 2017).
3. Oltmanns TF & Emery RE. Psikologi abnormal. Terjemahan oleh Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyani
Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
4. Hawari D. Skizofrenia edisi ketiga pendekatan holistik (BPSS) biopsikososial spiritual. Jakarta:
Universitas Indonesia, 2012.
5. Suryani. Mengenal gejala dan penyebab gangguan jiwa. Bandung: Universitas Jendral Achmad Yani,
2013.
6. Riset kesehatan dasar 2013; (Online), (http://www.litbang.depkes.go.id, diakses pada tanggal 12
Februari 2017).
7. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis psikiatri jilid satu. Tanggerang: Bina Rupa Aksara, 2010.
8. Hsieh HF & Shannon SE. Three approaches to qualitative content analysis. Qualitative Health
Research, 2005; 15(9): 1277-1288.
9. Ramdani Y. pengembangan instrumen dan bahan ajar untuk meningkatkan kemampuan komunikasi,
penalaran, dan koneksi matematis dalam konsep integral. Jurnal Penelitian Pendidikan, 2012; 13(1):
44-52.
10. Kendall, P. C. & Constance H. Abnormal Psychology : Understanding Human Problem. Boston :
Houghton mifflin Company, 1998.
11. Utomo, Tl. Hubungan Antara Faktor Somatik, Psikososial, Dan Sosio-Kultur Dengan Kejadian
Skizofrenia Di Instalasi Rawat Jalan Rsjd Surakarta. Skripsi. Surakarta: Fakultas Ilmu Kesehatan,
2013.
12. Agung W & Arulita IF. Faktor resiko terjadinya skizofrenia(studi kasus di wilayah kerja Puskesmas Pati
II). Public Health Perspective Journal, 2016; 1(1): 1-12.
13. Kinros, Jess, dkk. The Neurodevelopmental Theory Schizophrenia Evidence form Studies of Early
Onset Cases. Isr J PsychiatruRealtion Science Journal, London, 2010; 47 (2).
14. Jatman, D. Psikologi Jawa. Yogyakarta : Bentang, 1997.
15. Prabowo. HP. Interaksi Keluarga Pada Remaja Penderita Skizofrenia Tinjauan Psikokultural Jawa.
Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro,2007.
16. Soewadi E & Pramono D. Determinan terhadap timbulnya skizofrenia pada pasien rawat jalan di
Rumah Sakit Jiwa Prof. Hb Saanin Padang Sumatera Barat. Jurnal Berita Kedokteran Masyarakat
(BKM), 2010; 26(2): 71-80.
17. Arif.IS. Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung : PT. Refika Aditama, 2006.
18. Darmabrata, W. Psikiatri Forensik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003.