DIALEKTIKA TAFSIR AL-QUR'AN DAN BUDAYA MADURA DALAM TAFSIR ALQUR'ANUL KARIM NURUL HUDA KARYA MUDHAR TAMIM.

(1)

DIALEKTIKA TAFSIR AL-

QUR’AN DAN BUDAYA

MADURA

DALAM TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL HUDA

KARYA MUDHAR TAMIM

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

AHMAD ZAIDANIL KAMIL NIM: E03213010

PRODI ILMU AL-

QUR’AN DAN TAFSI

R

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

iii

ABSTRAK

Karya tafsir pada dasarnya merupakan sebuah produk budaya yang lahir dari proses dialektika antara penafsir dengan budaya yang melingkupinya di satu

pihak dan dialognya dengan al-Qur’an di pihak lain. Salah satu karya tafsir yang

lahir dari proses dialektika tersebut yaitu tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda

karya Mudhar Tamim, yang ditulis dalam lingkup sosial budaya Madura. Oleh karena itu, penelitian ini diorientasikan untuk menjawab permasalahan tentang

motif Mudhar Tamim menulis tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, metodologi

yang digunakan dalam penafsirannya serta bagaimana pola dialektika antara tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dan Budaya Madura?

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang datanya bersumber dari

kepustakaan (library research) dan wawancara. Untuk mengungkap dialektika

tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura, peneitian ini dikaji

dengan kerangka teori enkulturasi budaya dengan pendekatan historis-antropolgis. Wujud dialektika tersebut kemudian dikeompokkan ke dalam beberapa pola

dialektika, yaitu pola adoptive-complement, destructive dan

adoptive-reconstructive.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tujuan Mudhar Tamim

menulis tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda adalah dalam rangka “mengawal”

program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dicanangkan

oleh pemerintahan Orde Baru serta upaya khidmatnya terhadap kitab al-Qur’an

dalam rangka memperluas dan mengokohkan keyakinan terhadap ajaran Islam.

Metode yang digunakan Mudhar Tamim dalam tafsirnya yaitu metode tah}li@li@ yang

berbentuk ra’y dengan corak sosial kemasyarakatan dan corak fikih. Dialektika

tafsir al-Qur’an dan budaya Madura membentuk beberapa pola dialektika.

Pertama, pola adoptive-complement yang menunjukkan sikap apresiatif dan menerima berlakunya budaya yang berlaku di Madura. Termasuk dalam kategori

ini yaitu pelestarian stratifikasi bahasa dan tradisi bermadzhab. Kedua, pola

destructive yang diartikan sebagai penolakan terhadap berlakunya budaya yang berlaku. Dalam hal ini budaya Madura yang ditolak keberlakuannya oleh Mudhar Tamim yaitu sikap taklid buta terhadap sosok kiai serta praktek-praktek yang

berlaku dalam tarekat. Ketiga, pola adoptive-reconstructive yang diartkan sikap

menerima terhadap tradisi, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Sikap ini ditunjukkan oleh upaya Mudhar Tamim merekonstrusi budaya politik masyarakat Madura.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...ii

ABSTRAK ...iii

LEMBAR PERSETUJUAN ...iv

PENGESAHAN SKRIPSI ...v

PERNYATAAN KEASLIAN ...vi

MOTTO ...vii

PERSEMBAHAN ...viii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xi

PEDOMAN TRANSLITERASI ...xiv

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Rumusan Masalah ...8

C.Tujuan Penelitian ...9

D.Signifikan dan Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis ...9

2. Secara Praktis ...9

E. Kerangka Teoritik ...10

F. Telaah Pustaka ...11

G.Metodologi Penelitian 1. Model dan Jenis Penelitian ...13


(8)

xii

3. Teknik Pengumpulan Data ...15

4. Teknik Analisis Data ...15

H.Sistematika Pembahasan ...17

BAB II BUDAYA MADURA DAN TIPOLOGI DIALEKTIKA TEKS KONTEKS A.Budaya Madura: Sebuah Gambaran Umum ...19

1. Agama dan Kepercayaan ...20

2. Kedudukan Buppa’ Babbu’ Guru Rato ...22

a. Kedudukan Oramg Tua ...22

b. Kedudukan Guru (Kiai) ...23

c. Kedudukan Rato ...26

3. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa ...29

B.Dialektika Teks dan Konteks ...30

BAB III MENGENAL MUDHAR TAMIM DAN TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL HUDA A.Biografi Mudhar Tamim ...34

B. Profil Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda: Sebuah Perkenalan .41 1. Latar Belakang Penafsiran ...41

2. Ciri-ciri Umum ...44

C.Bentuk Penafsiran ...52

D.Metode dan Corak Penafsiran ...55

1. Corak Sosial Kemasyarakatan ...57


(9)

BAB IV POLA DIALEKTIKA TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL

HUDA DAN BUDAYA MADURA

A.Tah}mi@l(adoptive-complement) ...61

1. Stratifikasi Bahasa: Wujud Pelestarian Budaya Madura ...61

2. Pelestarian Tradisi Bermadzhab ...65

B. Tah}ri@m (destructive) ...71

1. Kritik Budaya Taklid Buta (Kultus Kiai) ...71

2. Kritik Praktek Tarekat...77

C.Taghyi@r (adoptive-reconstructive) ...82

1. Etika Politik Masyarakat Madura ...82

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ...88

B.Saran ...90

DAFTAR PUSTAKA ...92 LAMPIRAN ...


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan kitab suci yang kerap diasosiasikan sebagai kitab referensi yang selalu relevan dalam menyelesaikan segala problem kehidupan yang dihadapi umat Islam, s}a>lih} li kull zama>n wa maka>n. Hal ini memberikan

ruang dinamis bagi penafsiran al-Qur‟an dari masa ke masa. Bahkan, eksistensi

penafsiran al-Qur‟an telah dibuktikan dalam potret sajarah sejak Nabi Muh}ammad

menerima wahyu hingga saat ini dan akan terus berlanjut seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri.

Dalam lintas sejarah penafsiran al-Qur‟an, berkembangnya agama Islam

ke berbagai belahan dunia dengan sosio-kultur yang berbeda-beda pada akhirnya

menuntut adanya pembacaan ulang terhadap al-Qur‟an berdasarkan situasi dan

kondisi yang ada guna mencari jawaban atas problematika umat yang semakin kompleks. Implikasinya, relevansi pembacaan dan pemahaman yang menjadi

acuan dari setiap aktifitas penafsiran al-Qur‟an pada akhirnya melahirkan

pendekatan dan corak yang variatif, seperti fikih, kalam, politik, tasawuf, filsafat,

dan sebagainya.1

Keragaman bentuk dan corak tafsir al-Qur‟an ini juga disebabkan oleh

beberapa faktor, misalnya latar belakang pendidikan, keilmuan, motif penafsiran,

dan kondisi sosial di mana sang penafsir menyejarah.2 Faktor-faktor tersebut tidak

1

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an(Yogyakarta: Adab Press, 2014), 155.

2

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 388-389.


(11)

2

berdiri sendiri, akan tetapi bergerak secara interaktif dan dinamis.3 Dengan kata

lain, al-Qur‟an secara intrinsik selalu berdialog secara interaktif dengan

masyarakat dalam berbagai dimensi dan corak sosialnya, baik di masa lampau,

kini maupun mendatang4 melalui penafsirnya.

Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia

turut memberikan andil besar dalam perkembangan tafsir al-Qur‟an. Dalam

pelataran sejarah Islam Indonesia, al-Qur‟an untuk pertama kali diajarkan dan

dipelajari seiring dengan masuknya Islam di Indonesia. Selanjutnya, al-Qur‟an

pun diterjemahkan dan ditafsirkan ke dalam berbagai bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa daerah.

Secara historis, penafsiran al-Qur‟an di Indonesia dimulai sejak abad ke

17 Masehi. Salah satu ulama Indonesia yang menulis karya tafsir pada era ini

adalah Abd Ra‟uf al-Sinkili (1615-1693 M) dengan judul Turjuma>n al-Mustafi@d.

Pada era selanjutnya, terdapat banyak sekali karya-karya tafsir yang diproduksi oleh mufasir Indonesia yang muncul dengan bahasa yang beragam, misalnya Raud}ah al-‘Irfa>n dan Kitab Tafsir al-Fatihah yang ditulis dengan menggunakan

bahasa Sunda atau Faid} al-Rah}ma>n karya kiai Saleh Darat (1820-1903 M) yang

dikemas dengan bahasa Jawa. Untuk kasus bahasa Bugis, pada era 1940-an Anre

Gurutta H. M. As‟ad menulis Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma. Muncul

juga penggunaan bahasa Aceh yang dapat dilihat pada Tafsir Pase: Kajian Surah

al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz ’Amma yang ditulis oleh tim dan

3Nas}r H{a>mid Abu>

Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2013), 2.

4

Umar Shihab, Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir dan Isu-Isu Kontemporer (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014), 49.


(12)

3

diterbitkan Balai Kajian Tafsir al-Qur„an Pase Jakarta tahun 2001. Terdapat pula

karya tafsir yang ditulis dengan memakai bahasa Arab, misalnya Tafsi@r

Mu‘awwidatayn karya Ahmad Asmuni Yasin. Sementara tafsir-tafsir di Indonesia

yang ditulis dengan memakai bahasa Indonesia antra lain Tafsir Al-Azhar karya

Hamka, Tafsir al-Nur dan al-Bayan karya T.M. Hasbi al-Shiddieqy, dan Tafsir

al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.5

Selain karya tafsir di atas, terdapat Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda

yang ditulis dengan menggunakan bahasa Madura oleh Mudhar Tamim. Menurut

R. Soenarto Hadiwidjojo, Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda merupakan karya

tafsir pertama yang dikarang oleh ulama Madura dengan menggunakan bahasa

Madura.6

Karya ini mulai diproduksi oleh Mudhar Tamim pada hari Rabu tanggal 16 Juli 1969/1 Jumâd al-Awal 1389. Pada hari Senin tanggal 6 Oktober 1969/24 Rajab 1389, ia berhasil merampungkan penafsiran surah Fatihah dan surah

al-Baqarah yang kemudian dicetak dalam jilid I.7

Mudhar Tamim sendiri merupakan seorang bangsawan, intelektual, dan

politikus.8 Dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, ia juga pernah menjabat

5Islah Gusmian, “

Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Era Awal

abad 20,” dalam Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol. 5, No.2 (Desember 2015),

225-234.

6Soenarto Hadiwidjojo, “Pra

-ator,” dalam Mudhar Tamim, Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda (t.k.: t.p., t.t.), vi.

7

Dalam cetakan edisi perdana, turut memberi kata pengantar adalah Gubenur Propinsi Jawa Timur saat itu, yaitu Mohammad Noer. Selain itu, ada kata sambutan dari Pembantu Gubenur untuk Madura, Machmoed Sosroadipoetro; Bupati Kepala Daerah, Raden Holioedin; Perwakilan

Departemen Agama Kabupaten Pamekasan, R. Moh. Sjafi‟i Munir; dan Residen-Pensiun R. Soenarto Hadiwidjojo. Ibid., iii-vii.

8


(13)

4

sebagai pemimpin Laskar Hisbullah tingkat Keresidenan9 dalam perang

kemerdekaan di Madura.10

Dalam pendahuluannya, Mudhar Tamim secara eksplisit menyatakan

bahwa salah satu tujuan utama dari disusunnya Tafsir Alqur’anul Karim Nurul

Huda adalah dalam rangka “mengawal” program REPELITA (Rencana

Pembangunan Lima Tahun) yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru dibawa pimpinan Presiden Soeharto. Demi untuk mensukseskan PELITA tahap pertama dalam bidang pemantapan keyakinan ajaran agama, karya tafsir ini oleh Mudhar Tamim diproyeksikan akan dibaca setiap hari Jumat di Radio Hansip Corporation (RHANSISCO) Pamekasan sebagai media dakwah kepada seluruh

masyarakat Pamekasan khususnya, dan masyarakat Madura pada umunya.11 Lebih

lanjut, R. Soenarto Hadiwidjoyo dalam kata pengantarnya menyatakan bahwa penyusunan karya tafsir ini sejalan dengan keputusan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia) yang bertujuan untuk

mengokohkan keyakinan terhadap agama.12

Dalam konteks ini, tentu hasil penafsiran yang dieksplorasi Mudhar

Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda mengindikasikan bahwa pada

hakikatnya karya ini bukan hanya didasarkan pada proses penggalian makna yang

terkandung di dalam al-Qur‟an untuk dijadikan petunjuk hidup, tetapi juga

9

Keresidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam sebuah propinsi di Hindia Belanda (Indonesia) hingga tahun 1950-an. Sebuah Keresidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). https://id.m.wikipedia.org

10

Mohammad Moestadji, Didik Hadijah Hasan, dan Mohammad Rosyad, Peranan Resimen

Djokotole Beserta Laskar Sabilillah, Hisbullah, B.P.R.T. dan Pesindo dalam Perang Kemerdekaan ke-1 di Madura (t.tp: t.p, 2005), 38.

11

Tamim, Tafsir Alqur’anul, vii.

12Hadiwidjojo, “Pra


(14)

5

sebagai respon Mudhar Tamim atas problem sosial, budaya, dan politik pada saat

karya tafsir tersebut ditulis, di samping sebagai “alat” untuk mensukseskan

program REPELITA.

Oleh karena itu, terjadi dialektika yang intens antara Mudhar Tamim,

al-Qur‟an, dengan budaya lokal masyarakat Madura dan kondisi sosio-politik yang berkembang saat itu, baik dalam wilayah Madura maupun Indonesia dalam proses

penafsirannya terhadap teks-teks al-Qur‟an. Hal ini umpamanya bisa dilihat ketika

ia menafsirkan QS. al-Baqarah: 42 dan 45:

Ajja‟ ngangguji barang se bender kalaban se sala enggi paneka hokom-hokom agama

epakabur, sanadjjan oneng dja‟ hokomma haram. Tape manabi pihak atasanna (lorana) atanja, epatjojok da‟ ponapa se elakone lorana, karana tako‟ e leppas pangkat-da. Sanaddjan

oneng da‟ sala, tape tak bengal nerangagi se sabenderra, takok kaelangan pangkat sareng en

laenna.”13

Sabbar ajauwi maksiyat paneka nolak sanadjjan eguda kadi ponapa bisaos (tahan udji).

Adjja‟ salerana tatjabbur dalam ma‟sijat. Ompama eadjek amen djudi (tarowan pesse)

ngenom towa‟ (minuman keras) ban en laenna kalakoan ma‟sijat paneka kodu etolak

eonduri, sanadjjan se ngadjak lorana, pangkat se lebbi tenggi.14

Dari pernyataan ini, tampak dengan jelas bahwa Mudhar Tamim merespon fenomena taklid buta kepada para elite agamawan yang sudah

membudaya di masyarakat Madura, khususnya kepada kiai dan putra kiai (lora).15

Untuk menyikapi budaya fanatisme yang berlebihan terhadap eksistensi kiai dan putra kiai, Mudhar Tamim tampil dengan memberikan sebuah kritik-konstruktif

dengan legitimasi teks al-Qur‟an QS. al-Baqarah: 42 dan 45. Bagi Mudhar

Tamim, tradisi taklid buta semacam itu perlu dihilangkan. Terlepas dari rasa

13

Ibid., 24.

14

Ibid., 25.

15

Menurut van Bruinessen, dalam berkehidupan lebih-lebih dalam persoalan keagamaan, cara hidup masyarakat Madura yang kerap menjadi sorotan adalah sikap taat kepada seorang kiai. Ketundukan masyarakat terhadap kiai seringkali melampaui batas kewajaran. Lihat Martin van

Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Tradisi Islam di Indonesia (Bandung:


(15)

6

hormat kepada para kiai dan putra kiai, Mudhar Tamim ingin memberikan sebuah arahan kepada masyarakat Madura bahwa seorang kiai dan putra kiai dimungkinkan terjebak dalam kesalahan, baik disengaja atau sebaliknya. Artinya, seorang kiai dan putra kiai tetap tidak akan lepas dari fitrahnya sebagai manusia yang bisa melakukan kesalahan. Ini artinya, Mudhar Tamim mampu mengolah isi penafsirannya untuk mendobrak dan membongkar sebuah tradisi dalam konstruksi masyarakat Madura sebagai konteks dari penafsirannya.

Sebagai sebuah karya, Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda sangat

menarik untuk dikaji terkait dengan kepentingan-kepentingan tersembunyi (hidden ideology) dibalik munculnya karya tafsir ini serta model-model dialektika

yang dilakukan oleh Mudhar Tamim ketika membaca teks-teks al-Qur‟an dan

kondisi sosio-historis masyarakat Madura secara khusus sebagai konteksnya dengan pertimbangan beberapa argumen.

Pertama, sebagai karya yang ditulis dengan menggunakan bahasa

Madura dan diperuntukkan untuk komunitas masyarakat Madura,16 Tafsir

Alqur’anul Karim Nurul Huda kurang mendapat apresiasi positif dari masyarakat Madura. Ini terbukti bahwa masyarakat Madura, khususnya para cendikiawan, intelektual, bahkan elite agamawannya tidak familiar dengan karya tafsir yang telah diproduksi oleh Mudhar Tamim 47 tahun yang lalu. Apakah hal itu dilatarbelakangi karena ia seringkali mengkritik perilaku para kiai atau putra kiai yang notabenenya sebagai kelas elite dalam struktur masyarakat Madura? Atau karena masyarakat Madura menempatkan posisi Mudhar Tamim dalam

16


(16)

7

kapasitasnya sebagai seorang elite bangsawan, intelektual, dan politisi? Bukan sebagai ulama ataupun kiai yang memiliki kapasitas dan otoritas dalam

menafsirkan teks-teks al-Qur‟an, mengingat budaya keberagamaan masyarakat

Madura dibentuk oleh tiga elemen, yaitu pesantren, Nahdlatul Ulama, dan kiai

yang mempresentasikan tokoh agama Islam.17 Atau bahkan karena motifnya ia

menulis karya tafsir ini dalam rangka untuk mengawal agenda REPELITA yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru, sehingga ada banyak muatan politis

terselubung dibalik penafsirannya terhadap teks-teks al-Qur‟an, sehingga

karyanya menjadi tidak diminati?

Kedua, tafsir al-Qur‟an secara ontologis terkait erat dengan dialektika

antara manusia dengan realitas sosial budaya di satu pihak dan dengan al-Qur‟an

di pihak lain. Terjadinya dialektika tersebut merupakan konsekuensi logis dari

eksistensi al-Qur‟an sebagai kalam Allah yang telah membumi dan menjelma ke

dalam bentuk teks18 sehingga perlu untuk dipertanyakan bagaimanakah

bentuk-bentuk dialektika yang dilakukan oleh Mudhar Tamim ketika ia membaca teks

al-Qur‟an dan realitas sosial masyarakat Madura. Dalam konteks ini, apakah setelah

melakukan dialektika dengan teks al-Qur‟an dan konteks realitas sosial

masyarakat Madura, Mudhar Tamim melakukan adoptive-complement,

destructive, dan adotive-reconstructive terhadap budaya-budaya yang sudah mentradisi dalam masyarakat Madura? Mengingat, budaya dan tradisi Madura menjadi bagian substantif yang diperbincangkan Mudhar Tamim dalam penafsirannya.

17Samsul Ma‟arif

, The History of Madura (Yogyakarta: Araska, 2015), 154-155.

18

Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (t.k.: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI), 3.


(17)

8

Ketiga, anggapan bahwa tafsir selalu relevan seiring dengan perkembangan zaman membawa konsekuensi logis pentingnya bersikap kritis terhadap hasil penafsiran yang ada selama ini, sehingga sah-sah saja untuk

menanyakan, apakah Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda relevan dengan

tuntutan zamannya atau tidak? Apakah di dalamnya ada pemaksaan-pemaksaan ideologis dan kepentingan pribadi Mudhar Tamim atau tidak? Pertanyaaan-pertanyan ini jelas perlu diajukan dan dicarikan jawabannya.

Keempat, masih belum adanya kajian atau penelitian komprehensif

tentang Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim yang

dilakukan oleh para pengkaji tafsir Indonesia, sehingga diharapkan penelitian ini mampu memberikan konstribusi dalam pengembangan wacana penafsiran

al-Qur‟an di Indonesia, khususnya untuk generasi Madura sendiri dan bangsa Indonesia pada umumnya.

B. Rumusan Masalah

Agar lebih jelas dan memudahkan operasional penelitian, perlu diformulasikan beberapa rumusan permasalahan pokok, sebagai berikut:

1. Apa tujuan yang menjadi motif dan kepentingan Mudhar Tamim dalam

menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda?

2. Bagaimana metode penafsiran yang diaplikasikan Mudhar Tamim dalam Tafsir

Alqur’anul Karim Nurul Huda?

3. Bagaimana pola dialektika antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan


(18)

9

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Ingin menemukan tujuan yang menjadi motif dan kepentingan Mudhar Tamim

dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

2. Ingin menemukan langkah-langkah metodis yang diaplikasikan Mudhar

Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

3. Ingin menemukan pola dialektika antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda

dengan budaya dan tradisi Madura.

D. Signifikansi dan Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini ada dua signifikansi yang akan dicapai yaitu aspek keilmuan yang bersifat teoritis, dan aspek praktis yang bersifat fungsional.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menemukan rumusan tentang

dialektika dan pola hubungan antara Mudhar Tamim, al-Qur‟an, dengan

lokalitas budaya Madura, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam memahami ajaran agama Islam dan tradisi budaya yang mengakar dalam struktur masyarakat Madura.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam pengembangan khazanah tafsir di Indonesia, khususnya untuk generasi Madura sendiri dan bangsa Indonesia pada umumnya.


(19)

10

E. Kerangka Teoritik

Penelitian ini memposisikan karya tafsir sebagai suatu fenomena budaya. Budaya dalam hal ini diartikan sebagai keseluruhan cara hidup yang khas dengan penekanan pada pengalaman sehari-hari. Oleh karena penelitian ini ingin

mengungkap dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya

Madura, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah teori enkulturasi budaya. Enkulturasi merupakan usaha masuk dalam suatu budaya, meresapi suatu kebudayaan, menjadi senyawa, dan membudaya dengan menjelma dalam suatu

kebudayaan.19

Proses enkulturasi digambarkan dengan beberapa tahapan, yakni sosialisasi (pembelajaran), asimilasi, dan integrasi. Setelah melewati proses

enkulturasi, pola dialektika antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan

budaya Madura dikelompokkan ke dalam tipologi-tipologi dialektika. Dalam

konteks ini, dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dan budaya Madura

bisa dipetakan menjadi tiga model, yakni adoptive-complement, destructive, dan

adotive-reconstructive.20 Adoptive-complement diartikan sebagai sikap menerima

atau membiarkan sebuah tradisi. Destructive diartikan sebagai sikap menolak

keberlakuan tradisi masyarakat. Sikap ini bisa ditunjukkan oleh Tafsir Alqur’anul

Karim Nurul Huda dengan adanya pelarangan terhadap kebiasaan atau tradisi

yang sudah berlaku dalam masyarakat. Sedangkan adotive-reconstructive adalah

sikap yang ditunjukkan oleh Mudhar Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim

19

Ali Sodiqin, Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya (Yogyakarta: Al-Ruzz Media, 2008), 181-182.

20


(20)

11

Nurul Huda sebagai bentuk dari penerimaan tradisi masyarakat Madura, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya.

F. Telaah Pustaka

Penelitian tentang karya tafsir yang ditulis oleh mufasir Indonesia sudah

banyak dilakukan oleh para sarjana. Sementara untuk objek penelitian Tafsir

Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim, sejauh pengetahuan penulis belum ada penelitian secara spesifik dan komprehensif yang mengkajinya.

Meski demikian, ada artikel yang menyinggung secara sepintas tentang Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim yang ditulis oleh Islah

Gusmian dalam Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir Alquran di Indonesia

Era Awal Abad 20. Dalam artikel yang diterbitkan jurnal Mutawatir pada Vol. 5, No. 2 Desember 2015 ini, Islah menguraikan tentang dinamika pemakaian bahasa

dan aksara dalam penulisan dan publikasi karya tafsir al-Qur‟an di Indonesia pada

era abad 20 Masehi, di antaranya adalah Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda

karya Mudhar Tamim yang ditulis dengan menggunakan bahasa Madura. Adapun penelitian tentang karya yang ditulis oleh ulama Madura atau penelitian-penelitian sejenis dengan objek penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: 1. Alquran Terjemahan Bahasa Madura (Study Kritik atas Karakteristik dan

Metodologi) yang ditulis oleh Arini Royyani, mahasiswa Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 2015. Skripsi ini menganalisis genetik-objektif bahasa

Madura yang digunakan oleh LP2Q dalam menerjemah al-Qur‟an.


(21)

12

banyak digunakan dalam terjemahan adalah karakteristik bahasa Madura Pamekasan.

2. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal (Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir Al-Huda Karya Bakri Syahid) karya Imam Muhsin yang diterbitkan oleh Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, Desember 2010. Karya ini mengungkap aspek lokalitas dalam karya tafsir. Objek formal penelitian ini

adalah Tafsir al-Huda karya Bakri Syahid dengan fokus kajian tentang

analisa bahasa yang menunjukkan adanya enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa

dalam sebuah karya tafsir. Pergumulan dialektis dalam Tafsir al-Huda

melahirkan tiga pola hubungan antara al-Qur‟an dan nilai-nilai budaya Jawa,

yaitu pola adaptasi, integrasi, dan negoisasi.

3. Tafsir al-Qur’an dalam Tradisi Jawa: Studi atas pemikiran KH. Misbah Mustofa dalam Tafsir al-Iklîl fî Ma‘ân al-Tanzîl yang ditulis oleh Suprianto. Karya ini merupakan Tesis dalam Program Magister IAIN Surakarta pada tahun 2012. Dalam kajiannya, Suprianto mengungkap respons KH. Misbah Mustafa terhadap tradisi keagamaan yang berkembang di Jawa, seperti tradisi tarekat dan haul dengan menggunakan teori-teori hermeneutika dan pendekatan sejarah.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas, nampak bahwa belum ada pembahasan tentang dialektika tafsir al-Qur‟an dan budaya Madura khususnya tentang Tafsir Alqur’anul Karim Nurul


(22)

13

G. Metodologi Penelitian

Pada hakikatnya, penelitian merupakan suatu tindakan yang diterapkan manusia untuk memenuhi hasrat yang selalu ada pada kesadaran manusia, yakni

rasa ingin tahu.21 Meski demikian, dibutuhkan sebuah metode guna mewujudkan

penelitian yang akurat, jelas, dan terarah. Secara terperinci metode dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Model dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang tujuan Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, metode penafsiran yang aplikasikan oleh

Mudhar Tamim, serta dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya

Mudhar Tamim dengan budaya Madura melalui riset kepustakaan dan disajikan secara deskriptif-analitis.

Artinya, penelitian ini akan mendiskripsikan motif dan kepentingan

Mudhar Tamim dalam menyusun Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda,

langkah-langkah metodis yang ditempuh Mudhar Tamim dalam menafsirkan al-Qur‟an, serta menyingkap ideologi yang terselip dibalik penafsirannya ketika bersinggungan dengan konstruksi sosial-budaya Madura di mana

karyanyadiproduksi.

21

Moh. Soehada, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta: Suka Press,


(23)

14

2. Sumber Data Penelitian

Data primer22 dalam penelitian ini adalah karya Mudhar Tamim yang

berhubungan langsung dengan aspek penafsirannya, yaitu Tafsir Alqur’anul

Karim Nurul Huda. Selain itu, juga menyertakan buku-buku karya Mudhar Tamim yang lain untuk memetakan pemikirannya serta mengidentifikasi

kegelisahan intelektualnya sebagai sumber sekunder,23 dan karya-karya tulis

berupa buku atau artikel yang membahas tentang teori yang dipakai oleh

Mudhar Tamim dalam menafsirkan al-Qur‟an serta bagaimana pola dialektika

yang terdapat dalam karya tafsirnya dengan budaya lokal Madura, antara lain: a. Kaidah Tafsir karya M. Quraish Shihab.

b. Metodologi Penelitian al-Qur’an karya Nashruddin Baidan. c. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir karya Abdul Mustaqim.

d. Antropologi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya karya Ali Sodiqin.

e. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokalkarya Imam Muhsin.

f. Geografi Dialek Madura karya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. g. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura karya Latif

Wiyata.

h. Wawancara dan interviewkepada keluarga Mudhar Tamim.

22

Informasi yang langsung dari sumbernya disebut sebagai sumber data primer. Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah (Jakarta: Penerbit Kencana, 2011), 137.

23


(24)

15

3. Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang menyangkut aspek tujuan, metode penafsiran

al-Qur‟an Mudhar Tamim, dan dialektika penafsiran Mudhar Tamim dengan budaya Madura ditelusuri dari tulisan Mudhar Tamim sendiri yang notabene

sebagai sumber primer, yaitu Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

Sedangkan data yang berkaitan dengan biografi, latar belakang pendidikan, karir intelektual dan politiknya dilacak dari wawancara kepada keluarga, murid-murid, serta tokoh-tokoh agama di daerah Pamekasan, Madura. Hal ini perlu dilakukan menyoal belum adanya satupun karya yang membahas biografi Mudhar Tamim. Selain itu, untuk analisis metode penafsirannya dilacak dari literatur dan hasil penelitian terkait. Sumber sekunder ini diperlukan, terutama dalam rangka mempertajam analisis persoalan.

4. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Setelah itu dilakukan kajian mendalam atas data-data yang memuat objek penelitian dengan

menggunakan content analysis.24 Dalam hal ini content analysis digunakan

untuk menganalisa tujuan, langkah-langkah metodis, dialektika tafsir Mudhar

24

Content analysis merupakan teknik sistematis untuk menganalisis isi pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan dan mengelolahnya. Selain itu, content analysis dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti). Sementara Holsti mengartikulasikan content analysis sebagai teknik membuat inferensi-inferensi secara obyektif dan sistematis dengan mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik yang spesifik dari pesan (messages). Cole R. Holsti, Content Analysis for the Social Sciences and Humanities (Vantower: Department of Political Science University of British Columbia, 1969). 14.


(25)

16

Tamim dengan budaya Madura, dan ideologi yang tersembunyi dibalik

penafsiran Mudhar Tamim dalam Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

Metode analisis data yang diterapkan melalui pendekatan

hermeneutik. Peran hermeneutik untuk mengungkap episteme yang digunakan

Mudhar Tamim dalam membangun metode tafsirnya, menunjukkan hubungan triadic dalam proses kreatif penafsirannya, serta kondisi-kondisi di mana

Mudhar Tamim memahami teks al-Qur‟an. Selain itu digunakan analisis

wacana kritis untuk menyingkap kepentingan dan ideologi yang terselip dibalik

bahasa yang digunakan dalam penulisan Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda.

Analisis ini menekankan pada proses produksi dan reproduksi makna. Artinya, individu tidak dipandang sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, sebab proses itu dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Selanjutnya, untuk memaparkan kondisi objektif latar belakang kultur, pendidikan, dan kondisi sosial-politik yang melingkupi kehidupan Mudhar

Tamim, terutama yang memberi inspirasi bagi tujuan menulis Tafsir

Alqur’anul Karim Nurul Huda dan rumusan metode penafsirannya digunakan pendekatan fenomenologi.

Namun demikian, karena tidak semua yang diartikulasikan Mudhar Tamim bisa dipahami secara mudah, maka perlu dilakukan telaah persoalan yang sama dari sumber lain dengan memanfaatkan analisis perbandingan. Analisis perbandingan ini menjadi krusial, terutama dalam membantu memahami di mana Mudhar Tamim selayaknya ditempatkan dalam sejarah


(26)

17

penafsiran al-Qur‟an. Selanjutnya, untuk menarik kesimpulan dari analisis data

digunakan metode deduksi25 dan induksi.26

H. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan dilakukan. Bab pertama menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoretik, penelitian terdahulu, metode penelitian serta sistematika pembahasan, sehingga posisi penelitian ini dalam wacana keilmuan tafsir

al-Qur‟an akan diketahui secara jelas.

Bab kedua menjelaskan mengenai struktur masyarakat Madura, sosio-kultur masyarakat Madura, dan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat Madura dengan beberapa aspeknya. Bahasan ini dimaksudkan sebagai dasar pijakan menetapkan kriteria dalam menemukan dan memposisikan dialektika

tafsir Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda karya Mudhar Tamim dan budaya

Madura.

Bab ketiga mengungkap perkembangan intelektualitas Mudhar Tamim dan sisi kehidupan yang mengitarinya, sehingga perlu untuk membahas berbagai macam dimensi yang mempengaruhi pemikiran Mudhar Tamim secara umum dan metode penafsirannya secara khusus. Untuk memperjelas pokok bahasan, akan diungkap biografi, latar belakang pendidikan dan karir intelektualnya, kondisi

25

Metode deduksi yaitu cara menarik kesimpulan pengetahuan yang didasarkan pada suatu kaidah

yang bersifat umum. Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Vol.1 (Yogyakarta: Yayasan Penerbitan

Fakultas Psikologi UGM, 1974), 48.

26

Metode induksi yaitu cara menarik kesimpulan yang didasarkan pada pengetahuan-pengetahuan dan fakta-fakta khusus. Ibid., 50.


(27)

18

sosio-kultur, dan peran Mudhar Tamim dalam kajian tafsir. Selain itu, akan

dibahas latar belakang Mudhar Tamim menulis Tafsir Alqur’anul Karim Nurul

Huda, bentuk, metode, dan corak penafsiran yang digunakan oleh Mudhar Tamim sebagai bentuk ekspresi intelektualnya ketika bersinggungan dengan

konstruksi sosial-politik di mana karyanyadiproduksi.

Bab keempat akan dilakukan analisis terhadap penafsiran Mudhar Tamim

serta uraian tentang dialektika Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan

budaya Madura. Setelah itu dilanjutkan dengan pengelompokan pola dialektika

antara Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda dengan budaya Madura ke dalam

tipologi-tipologi adoptive-complement,destructive, dan adotive-reconstructive.

Bab kelima merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dan diperbincangkan dalam keseluruhan penelitian. Bahasan ini sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang diajukan dalam rumusan masalah.


(28)

19

BAB II

BUDAYA MADURA DAN TIPOLOGI DIALEKTIKA

TEKS KONTEKS

A. Budaya Madura: Sebuah Gambaran Umum

Pulau Madura terdiri dari 4 kabupaten yaitu Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan. Pulau Madura terletak di timur laut Pulau Jawa dengan

koordinat sekitar 7˚ lintang selatan dan antara 112˚ dan 114˚ bujur timur. Panjang

Pulau Madura kurang lebih 190 KM, jarak terlebar 40 KM, dan luas secara

keseluruhan 5.304 KM2.1 Secara demografis, masyarakat Madura merupakan

salah satu etnis ketiga terbesar setelah Jawa dan Sunda.2

Pertanian dan peternakan merupakan mata pencaharian utama. Walaupun tanah di Madura sangat tandus, tetapi 70%-80% dari keseluruhan penduduk

Madura masih bergantung pada kegiatan agraris.3

Selain itu, Madura adalah kawasan yang berada di wilayah Provinsi Jawa Timur dan memiliki topografi dan kultur masyarakat yang khas. Kondisi geografis yang sebagian besar berupa wilayah kapur membuat gerak aktivitas masyarakat untuk migrasi keluar daerah relatif tinggi. Migrasi itu juga membuat sebaran warga Madura hampir merata berada di sepanjang perairan Utara Jawa Timur, khususnya wilayah Tapal Kuda Pandalungan, mulai dari Pasuruan, Probolinggo,

1

A. Latif Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta:LkiS, 2002) , 37.

2

Leo Suryadinata, dkk., Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik (Jakarta: LP3ES, 2003), 46-48.

3

Huub De Jonge: Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam

(Jakarta: PT Gramedia, 1989), 35.


(29)

20

Situbondo, Jember, Lumajang hingga Banyuwangi. Kondisi geografis tersebut juga memberi kontribusi dalam membentuk watak tegas dan keras masyarakat

Madura.4

Dalam kehidupan masyarakat Madura, harga diri merupakan instrument

penting. Mereka memiliki sebuah falsafah ‘ango’an pote tolang etembang pote

matah, artinya lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata. Orang Madura tidak akan sanggup menanggung malu, maka juga tidak akan mempermalukan

orang lain. Sifat seperti inilah yang pada akhirnya melahirkan tradisi carok di

Madura.5

Madura memiliki varian budaya yang beragam, diantaranya yaitu,

kerapan sapi, tradisi remo, sandur Madura, permukiman Madura (Tanean

lanjheng), Takat Lajang, Petik Laut dan lain lain.6

1. Agama dan Kepercayaan

Mayoritas penduduk Madura beragama Islam. Menurut data dan statistik, pemeluk agama Islam kurang lebih mencapai 99%, sedangkan sisanya

adalah pemeluk agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu dan Budha.7

Sebelum Islam masuk, masyarakat Madura menganut agama seperti para pembesar Majapahit yaitu agama Hindu-Siwa dan Budha. Fakta tersebut diperkuat dengan adanya Arca Siwa, Dhayani Budha, Ganesha dan Bhirawa serta corak arsitektur di makam raja, seperti di Makam Agung yang ditemukan

4

Muhtar Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, Budaya, Media dan Politik (t.k.: Puskakom

Publik, 2015), 196.

5Samsul Ma‟arif,

The History of Madura (Yogyakarta: Araska, 2015), 46.

6

Ibid., 159.

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Geografi Dialek Bahasa Madura (Jakarta: Pusat


(30)

21

di Bangkalan. Pada abad 15, menjelang keruntuhan Majapahit sudah banyak masyarakat yang menganut Islam. Bahkan istri raja, para pangeran dan keturunannya ada yang sudah menjadi muslim. Sampai akhirnya berdiri kerajaan Demak, Pajang sampai Mataram dan sebagian besar rakyat dan para

penguasa di Jawa dan Madura sudah beragama Islam.8

Proses islamisasi di Madura merupakan proyek dakwah yang menuai hasil luar biasa. Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek islamisasi Nusantara yang sangat masif di antara abad 7 hingga abad 15 melalui tangan-tangan ikhlas para Wali Songo. Ada tiga jalur islamisasi

Madura yang bisa di elaborasi. Pertama, Peran Para Pedagang Muslim, Kedua,

Peran Para Wali, Buju‟ dan Kiai. Ketiga, Para Penguasa Kerajaan.9

Sebagaimana di Jawa, Islam masuk dan berkembang di Madura melalui transformasi kultural yang dilakukan oleh para penyebar Islam. Dengan demikian, Islam yang ada dan berkembang di Madura adalah Islam kultural yang berbasis pada tradisi masyarakat. Tradisi-tradisi lokal Madura yang sudah ada sejak zaman pra-Islam, dimodifikasi kemudian disisipi nilai

dan spirit Islam agar menjadi budaya yang islami.10

Kelestarian tradisi-tradisi di Madura tersebut dikarenakan pola keberagamaan yang dianut oleh masyarakat Madura yaitu berasaskan tradisi

yang dikembangkan oleh NU yang mempunyai slogan al-muh}a>fadzah ‘ala al

-qadi@m al-s{a>lih} wa al-akhdz bi al-jadi@d al-as}lah. Dengan demikian, Islam tetap

8

Ma‟arif, The History, 142.

9

Lebih lanjut baca Ibid.,143-146.

10Paisun, “Dinamika Islam Kultural (Studi atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal Madura)”,


(31)

22

tidak menghilangkan akar ideologisnya, demikianpun dengan budaya lokal tidak lantas hilang dengan masuknya Islam di dalamnya.

Dari sisi kepercayaan, adat dan tradisi, orang Madura juga memiliki kesamaan dengan orang Jawa. Sebagaimana di Jawa, masyarakat Madura pada masa pra-sejarah juga menganut faham Animisme dan Dinamisme, yaitu paham keagamaan pada manusia primitif yang mempercayai adanya roh dan

daya aktif pada setiap benda yang dipercaya memiliki kekuatan.11 Oleh karena

itu, untuk menolak kejahatan yang dapat muncul dari roh-roh atau kekuatan ghaib serta untuk mendapatkan kebaikan darinya, maka masyarakat Madura

sering mengadakan selametan. Hingga kini, masyarakat Madura adalah entitas

masyarakat yang taat dan tetap mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam serta

menstuktur kebudayaan berbasis agama Islam Tradisonal.12

2. Kedudukan Buppa’ Babbu Guru Rato

Salah satu kekhasan dari budaya masyarakat Madura adalah ketaatan, ketundukan dan kepasrahan kepada empat figur utama, yaitu ayah, ibu, guru

dan pemimpin pemerintahan (Buppa’ Babbu, Guru ban Rato).13 Keempat figur

utama tersebut mencerminkan hierarki kepatuhan orang Madura dalam kehidupan sosial budaya dan religiusitas masyarakat Madura.

a) Kedudukan Orang Tua

Bagi orang Madura, posisi orang tua berada pada level hierarki pertama dan merupakan representasi dari institusi tertinggi di keluarga.

11

Mariauasai Dhavamony, Fenomenologi, Terj. A. Sudiarja dkk. (Yogyakarta; Kanisius, 1995), 66.

12

Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, 197.

13


(32)

23

Hal tersebut merupakan suatu keniscayaan mengingat mereka adalah orang yang telah melahirkan dan merawat hingga dewasa serta mempunyai peran

penting dalam lingkungan keluarga. Secara nasabiah, kepatuhan dan

ketaatan kepada Ayah dan Ibu (Buppa ban Babbu’) sudah jelas, tegas, dan

diakui keniscayaannya. Sebutan durhaka akan melekat jika tidak menghormati keduanya.

b) Kedudukan Guru (kiai)

Masyarakat Madura sangat respek terhadap kiai dan

menjadikannya sebagai pemegang otoritas dalam kehidupan masyarakat. Peran kiai melampaui berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya melampaui institusi-institusi kepemimpinan lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kiai menjadi tempat mengadu, seperti konsultan agama, keluarga, bercocok

tanam, konflik sosial, karier, politik, dan problema kehidupan lainnya.14

Dalam berkehidupan lebih-lebih dalam persoalan keagamaan, cara hidup masyarakat Madura yang kerap menjadi sorotan adalah sikap

taat kepada seorang kiai.15 Ketundukan masyarakat terhadap kiai

seringkali melampaui batas kewajaran. Hal ini membuat masyarakat bukan hanya tidak berani melawan dan mengoreksi kiai, lebih dari itu tidak sedikit yang meyakini bahwa perkataan kiai adalah suatu kebenaran. Melawannya bisa kualat dan kemarahannya dipandang sebagai suatu hal yang sangat ditakuti masyarakat.

14

Ma‟arif, The history, 128.

15

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 327.


(33)

24

Lebih dari itu, para pegawai pemerintahan (ponggaba) dan elite

penguasa pun memerlukan legitimasi kiai. Untuk menjadi kepala desa, butuh restu kiai. Agar program pembangunan bisa sukses, pemerintah

memerlukan legitimasi kiai. Ketiadaan “restu” dari kiai bisa berakibat

terhambatnya pelaksanaan pembangunan, seperti kasus Jembatan

Suramadu dan Waduk Nipah di Kecamatan Banyuates.16

Besarnya pengaruh kiai dalam kehidupan masyarkat Madura dapat dilacak dari akar sejarahnya. Seperti halnya di Pulau Jawa, suksesnya Islamisasi di Madura tidak dapat dilepaskan dari peranan para kiai penyebar Islam pertama di Madura yang dipelopori oleh Wali Songo. Selanjutnya, pada saat Madura berusaha melepaskan diri dari penjajahan, para kiai berada di garda terdepan memimpin umat melawan ketidakadilan

kaum kolonial.17

Peran kiai dalam konteks sosial masyarakat Madura juga tidak lepas dari peran pesantren. Jumlah pesantren di Madura sangat banyak dan tersebar di berbagai kabupaten. Bahkan, Kuntowijoyo menyebut Madura

sebagai “pulau seribu pesantren”. Mayoritas masyarakat Madura memang

mengenyam pendidikan di Pesantren. Di Pesantren inilah, kiai berperan dalam membentuk sikap hidup dan orientasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan para santri. Jadi merupakan sebuah kewajaran jika

pengaruh kiai jauh lebih mengakar pada masyarakat.18

16

Ma‟arif, The History, 130.

17

Ibid.

18

Muryadi dan Mochtar Lutfi, Islamisasi di Pulau Madura: Suatu Kajian Historis (Laporan Penelitian UNAIR, 2004), 29.


(34)

25

Sejarah pendidikan di Madura jika dilihat dari sejarah masuknya Islam di pulau ini hampir sama dengan Jawa. Pendidikan agama di Madura

mula-mula diawali dari langgar ke langgar kemudian berkembang

menjadi Pesantren. Hal ini dapat dilihat dari model bangunan rumah di

Madura yang selalu menempatkan bangunan langgar di sisi barat halaman

rumahnya. Langgar ini menjadi tempat shalat, mengaji dan belajar agama.

Sejak kecil anak-anak di Madura sudah dibiasakan untuk belajar mengaji

dan ilmu agama pada kiai.19

Ada tiga elemen penting budaya santri yang melekat pada masyarakat Madura, yaitu Pesantren, mewakili elemen pendidikan Islam

tradisional,20 Nahdlatul Ulama,21 mewakili organisasi Islam, dan kiai yang

merepresentasikan tokoh Islam. Ketiga elemen tersebut berjalin-kelindan dan membentuk relasi yang kompleks antara Islam dan politik

sebagaimana dipraktikkan dalam masyarakat Madura.22

Karakter pesantren, Nahdlatul Ulama, dan kiai menjadi dasar Islam-santri di Madura. Mereka masih tetap mempertahankan nilai-nilai sakral agama. Ini bisa dibuktikan dengan kuatnya pengaruh pesantren, Nahdlatul Ulama, dan kiai dalam urusan agama dan duniawi. Masyarakat

19

Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, 46.

20

Aliran tradisionalis sering dikenal dengan kelompok yang tetap mempertahankan kehidupan bermadzhab, taqlid dan melaksanakan peringatan kematian (khaul), ziarah ke makam leluhur serta Para Wali, dan lain sebagainya. Lihat Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam; Pergumulan Kultur dan Struktur (Yogyakarta: LESFI, 2002), 161.

21

Nahdlatul Ulama merupakan jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah.

Sejak awal berdirinya telah menjadikan paham Ahlussunnah wal Jama‟ah sebagai basis teologi

dan menganut salah satu dari empat madzhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi„i dan Hambali sebagai

pegangan dalam fikih. Lihat Pengantar Ra‟is „Am PBNU KH. Sahal Mahfudh dalam Solusi Problematika Aktual Hukum Islam (Surabaya, Khalista, 2011), v.

22Ma‟arif


(35)

26

Madura meyakini bahwa syariat Islam sangat penting dan perlu diterapkan dalam keseluruhan aspek kehidupan mereka. Namun, seperti Islam di wilayah lain di Indonesia, Islam di Madura juga sangat dipengaruhi oleh

tasawuf dan budaya lokal.23

Pengaruh tasawuf di Madura direpresentasikan dengan adanya tarekat yang tidak lain merupakan amalan dari tasawuf. Tarekat mempunyai peran yang sangat penting di dalam masyarakat Madura. Ada tiga tarekat yang masyhur di kalangan masyarakat Madura, yaitu tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dan tarekat

Tijaniyah.24

Selain tiga tarekat di atas, menurut Van Bruinissen terdapat tarekat lain yang berkembang di Madura, seperti tarekat Syattariyah dengan gagasan-gagasan mistisnya dan tarekat Sammaniyah dengan

pertunjukan ratep dan sammannya.25

c) Kedudukan Rato

Rato dipahami masyarakat Madura dalam dimensi agama Islam

disebut ulil amri, yaitu pemimpin formal yang menjabat dalam suatu

pemerintahan. Selain Buppa’ Babbu dan Guru, Rato juga merupakan figur

yang harus dipatuhi karena Rato dianggap telah berjasa dalam mengatur

ketertiban dan kehidupan publik melalui penyediaan kesempatan kerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomi, mengakomodasi kebebasan

23Yanwar Pribadi, ‚Religious Networks in Madura‛dalam al-Ja>mi‘ah, Vol. 51, No. 1, (2013), 1. 24

Bruinessen, Kitab Kuning, 305.

25


(36)

27

beribadah, memelihara suasana aman serta membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif.

Pada hakikatnya orang Madura sangat patuh pada penguasa dan birokrasi. Orang Madura cenderung diam dan menerima apapun yang menjadi putusan dan kebijakan penguasa. Maka dalam konstelasi politik Madura sangat jarang dijumpai berbagai bentuk artikulasi, agregasi atau

bahkan protes politik dari rakyat ke penguasa.26

Sekalipun berbagai kebijakan penguasa merugikan rakyat, kecenderungan orang Madura adalah diam dan menerima. Diam adalah bentuk lain sebuah komunikasi politik yang bisa bermakna apa saja. Ketakutan, ketidaktahuan, ketidakbisaan dan makna lainnya. Namun, diamnya orang Madura adalah makna lain dari kepatuhan. Kepatuhan kepada rato, penguasa dan birokrasi yang dalam titik tertentu akan bergeser menjadi ketidakmautahuan, keapatisan, apatisme komunikasi politik.27

Oleh karena itu, budaya politik28 di Madura dapat dikategorikan

sebagai budaya politik parokial, yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Dalam budaya politik parokial, perbedaan antara yang religius dan yang politis suit ditemukan.

26

Wahyudi dkk., MADURA: Masyarakat, 12.

27

Ibid.

28

Budaya politk merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, norma kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan kebijakan publik untuk masyarakat seluruhnya. Lihat; Jimmy Wales, dkk.,” Budaya Politik”, https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya-politik/(Sabtu, 7 Januari 2017, 23.25)


(37)

28

Masyarakat tidak mampu mengorientasikan diri mereka pada sistem politik yang secara struktural terdiferensiasi. Orang-orang dengan tipe

budaya politik seperti ini cenderung apatis terhadap sistem politik.29

Bagi masyarakat Madura peran rato tidak se-sentral peran kiai.

Terdapat banyak alasan yang menyebabkan fakta tersebut terjadi. Secara historis, masyarakat Madura di era abad 19 dihadapkan pada situasi penindasan, penekanan, dan pemerasan.

Bahkan, menurut Berst Van Kompen yang merupakan seorang pejabat pemerintahan yang menjadi asisten Residen di Bangkalan (1847-1851) menjelaskan bahwa Pulau Madura memberi kesan tidak terurus dan kondisi keamanan sangat menyedihkan. Pengadilan tidak berfungsi dan banyak terjadi pembunuhan. Ironisnya, para pelaku pembunuhan hampir tidak pernah diadili secara hukum oleh pengadilan.

Akar permasalahan dari malapetaka di atas karena adanya pemerasaan rakyat oleh elite pemerintahan yang terus berlangsung di Madura. Keadaan demikian memaksa ribuan penduduk megungsi bahkan menyeberang ke Pulau Jawa. Fakta di atas mengindikasikan bahwa

pemerintah saat itu (abad 19) tidak memperhatikan masyarakat Madura.30

Oleh karena itu, fenomena di atas merupakan sejarah sekaligus luka lama

bagi masyarakat Madura yang menyebabkan peran rato dalam tatanan

sosial masyarakat Madura tidak mempunyai peran se-sentral kiai.

29

Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik Pasca-Orde

Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) 4.

30


(38)

29

3. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa

Secara garis besar, stratifikasi atau pelapisan masyarakat sosial

masyarakat Madura meliputi tiga lapis, yaitu oreng kene’ sebagai lapis

terbawah, pongghaba sebagai lapis menengah dan priayi sebagai lapis paling

atas. Namun, jika stratifikasi sosial dilihat dari segi agama, maka terdiri dari 4

tingkatan, yaitu kyae, bindara, santre dan banne santre.31

Stratifikasi sosial erat kaitannya dengan jenis-jenis tingkatan bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Posisi sosial seseorang akan menentukan

pilihan tingkatan bahasa yang digunakan.32

Penggunaan bahasa Madura berbeda tingkat sosialnya dalam

masyarakat. Pemakaiannya dibedakan menjadi tiga tingkatan tutur (level of

speech) yang dalam bahasa Madura dibagi menjadi tiga, yaitu:33

1. Bhasa enjaq iya, yaitu jenis tingkatan bahasa yang pada umumnya dipakai oleh sesama teman yang akrab dalam pergaulan sehari-hari dan orang-orang yang menempatkan diri pada status sosial tinggi terhadap terhadap orang-orang yang dianggap berstatus sosial rendah.

2. Bhasa enggi enten, yakni jenis tingkatan tuturan pada umumnya dipakai oleh teman sederajat dan orang yang berkedudukan tua terhadap orang yang dianggap muda.

3. Bhasa enggi bhunten, yakni jenis tingkatan tuturan yang pada umumnya dipakai oleh sesama teman yang berstatus tinggi atau berstatus priyai dan

31Ma’arif, The History, 44-45.

32Badan Pengembangan Kebudayaan Dan Pariwisata, Tata Krama Suku Bangsa Madura

(Yogyakarta: tp, 2002), 31.


(39)

30

seseorang bawahan atau mereka yang berstatus rendah terhadap orang yang berstatus tinggi.

Dalam interaksi sosial, masyrakat Madura memperhatikan dan menentukan tingkat bahasa yang akan digunakan sesuai dengan posisinya dalam stratifikasi. Hal demikian dikarenakan tingkatan bahasa tidak saja menunjuk pada perbedaan linguistik, tetapi mempunyai relasi yang sangat erat dengan status seseorang dalam stratifikasi atau hierarki sosial.

Kesalahan orang Madura dalam menerapkan bentuk tingkatan bahasa ketika berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari tidak saja merupakan kesalahan linguistik, tetapi juga berdampak kepada kesalahan sosial. Bahkan,

secara kultural kesalahan tersebut, terutama penerapan mapas yang tidak

proporsional sangat dikecam oleh orang Madura dan dinilai sebagai perilaku janggal (tidak mengerti sopan santun).34

B. Dialektika Teks dan Konteks

Dalam proses berpikir selalu berkaitan dengan bahasa. Perbedaan bahasa

berimplikasi terhadap lahirnya perbedaan produk pemikiran.35 Bahasa merupakan

media untuk mentransformasi dunia materi dan ide-ide abstrak menjadi simbol. Teks-teks bahasa pada dasarnya merupakan sarana untuk menggambarkan dan mengungkapkan realitas dengan cara tertentu. Fungsi komunikatifnya mengasumsikan adanya hubungan antara pembicara dengan sasaran bicara dan antara pengirim dan penerima. Jika fungsi informatif dan komunikatif bahasa

34Wiyata, Carok, 51.

35Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta:


(40)

31

tidak terlepas dari watak simbolnya, maka fungsi teks dalam kebudayaan sebagai risalah (pesan) bisa dikatakan tidak terpisahkan dari wilayah budaya dan realitas.36

Dalam konsep hermenutika dikenal istilah lingkaran hermeneutika yang

meliputi teks (text), pembaca (reader) dan pengarang (author).37 Ketiga

komponen tersebut saling berkaitan. Hermeneutika,38 sebagai metode sebuah

penafsiran tidak hanya memandang teks. Tetapi hal yang tidak bisa ditinggalkannya adalah juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Lebih dari itu, ia berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon-horizon yang melingupi teks tersebut, baik horizon-horizon pengarang, pembaca dan horizon teks itu sendiri. Dengan memperhatikan ketiga horizon tersebut diharapkan upaya pemahaman atau penafsiran yang dilakukan akan menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks.

Dengan demikian, untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap teks tidak boleh lepas dari konteks, karena pada dasarnya telah terjadi dialektika

antara keduanya. 39

Bentuk konkrit terjadinya dialektika teks dan konteks sebagaimana yang

dijelaskan di atas bisa dilihat dari dialektika teks al-Qur‟an dan konteks

36Nas}r H{a>mid Abu> Zayd

, Tekstualitas al-Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2013), 20-21.

37

Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 29.

38

Hermeneutika dalam bahsa Inggris adalah hermeneutics berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermeneia yang masing-masing berarti menafsirkan dan penafsiran. Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah seseatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Lihat Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan Gadamerian (Yogyakarta: al-Ruzz Media, 2008), 27-29.

39Dalam istilah ‘Ulum al-Qur’a>n dikenal dengan asba>b al-Nuzu>l, yaitu merupakan metode untuk

mengungkap hubungan teks dengan ruaang dan waktu. Lihat Ali Sadiqin, Antroplogi al-Qur’an:


(41)

32

masyarakat Arab. Secara empiris, al-Qur‟an diturunkan di tengah-tengah

masyarakat yang memiliki kebudayaan yang mengakar. Hal itu menegaskan

bahwa secara historis al-Qur‟an tidak turun dalam ruang hampa yang tanpa

konteks. Sasaran al-Qur‟an tentunya tertuju kepada masyarakat Arab VII Masehi.

Pemilihan Rasul sebagai penyampai pesan al-Qur‟an juga mengindikasikan

adanya penggunaan pendekatan budaya. Selain itu, al-Qur‟an juga menggunakan

budaya lokal sebagai media untuk mentransformasikan ajaran-Nya. Fakta tersebut

bisa terlihat dari banyaknya adat istiadat Arab yang terekam dalam al-Qur‟an serta

berdialektika dengan-Nya.

Secara umum, respon al-Qur‟an terhadap berbagai budaya yang

berkembang dalam masyarakat Arab dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu,

tah}mi@l (adoptive-complement), tah}ri@m (destructive) dan taghyi@r

(adoptive-reconstructive).40

Dengan demikian, meminjam bahasa Abu Zayd tampak bahwa teks

al-Qur‟an terbentuk atas realitas sosial budaya. Proses kemunculan dan interaksinya

dengan realitas budaya selama bertahun-tahun merupakan fase keterbentukan dan

dilanjutkan dengan fase pembentukan dimana al-Qur‟an selanjutnya membentuk

budaya baru sehingga dengan sendirinya al-Qur‟an juga menjadi produsen

budaya.41

Islam yang merupakan representasi dari nilai-nilai al-Qur‟an memberikan

kebebasan pada manusia untuk mencari sendiri berbagai hal yang dapat disebut dengan prinsip sekunder. Hal demikian dikarenakan Agama adalah sesuatu yang

40Ibid., 117.

41


(42)

33

berkembang sesuai dengan perkembangan pemeluknya. Sedangkan setiap pemeluk agama mempunyai tradisi budaya yang diwarisi dan dikembangkan juga dari generasi ke generasi. Dalam perkembangan itu terjadi interaksi antara keyakinan keagamaan dan ajaran-ajarannya yang sering dianggap suci dan

kreativitas manusia serta budayanya yang dianggap profan.42

Sikap Islam terhadap budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah menjadi tiga, yaitu menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan prinsip Islam, menolak tradisi dan unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan

prisnsip Islam serta membiarkan saja.43

42

Salah satu contoh konkritnya ialah ketika tafsir al-Qur‟an yang merupakan hasil pemahaman Bakri Syahid sebagai mufasir terhadap al-Qur‟an berdialog dengan budaya Jawa. Pola yang dihasilkan yaitu adaptasi, integrasi dan negoisasi. Pola yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan

yang dipetakan Ali Sadiqin sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Lihat Imam Muhsin Tafsir

al-Qur’an dan Budaya Lokal (t.k.:Badan Litbang dan Diklat KEMENAG RI, 2010), 233-258.

43

Tipologi ini juga tidak jauh berbeda dengan pemetaaan Ali Sadiqin dan Imam Muhsin. Hal ini menegaskan bahwa teks apapaun tidak berangkat dari ruang hampa. Oleh karena itu, sebagai teks,

al-Qur‟an dan tafsir al-Qur‟an juga selalu berdialog dengan budaya yang ada. Bandingkan dengan

Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, ed,. Abdul Wahid Hasan (Yogyakarta: LKiS, 2011), 186-187.


(43)

34

BAB III

MENGENAL MUDHAR TAMIM

DAN TAFSIR ALQUR’ANUL KARIM NURUL

HUDA

A. Biografi Mudhar Tamim

Mudhar Tamim memiliki nama lengkap R. Ach. Mudhar Tamim bin KHR. Moh Tamim. Ia lahir pada tanggal 7 November tahun 1916 di Desa Barurambat

Kota, sebuah desa yang beralamatkan jl. Masegit (sebelah selatan Masjid Jami’

asy-Syuhada’), Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan.1

Mudhar Tamim terlahir dari keluarga bangsawan, pasangan KHR. Moh Tamim dengan R. Ayu Tayyibah. Mbah buyutnya, KHR Ismail adalah ketua penghulu dan salah satu pendiri NU di Pamekasan yang menikahi R. Ayu

Rembang, puteri R. Demang Wironegoro.2

Saat usianya menginjak dewasa, Mudhar Tamim menikah dengan R. Ayu Hannah yang masih kerabat dekatnya sendiri (sepupu). Dari pernikahannya dengan R. Ayu Hannah, ia dikaruniai 9 orang anak, R. Moh. Fachrussalam, R. Ach Tsabit Azmi, R. Ayu Jannatul Firdaus, R. Ayu Agsutina Nikmatul Hurriyah, R. Ayu Maftuhatul Hidayah, R. Ayu Hudaifah, dan 4 anak lainnya meninggal dunia ketika masih belia.

Pada tahun 1969, atas permintaan R. Ayu Hannah, Mudhar Tamim menikah lagi dengan seorang wanita yang bernama Hasunah. R. Ayu Hannah yang sering sakit, meminta Mudhar Tamim menikah untuk kedua kalinya.

1

Hasunah, Wawancara, Pademawu, 22 November 2016.

2


(44)

35

Pemilihan Hasunah sebagai isteri kedua, tidak lain merupakan usaha dari R. Ayu Hannah sendiri. Dari beberapa calon yang sudah dipilih oleh R. Ayu Hannah, Hasunah terseleksi sebagai kandidat tunggal yang terpilih sebagai isteri kedua Mudhar Tamim. Pasangan ini dianugerahi 6 putera, R. Miftahus Sudri Tamim, R. Ayu Syarifah Syarqiyah, R. Fathiyyatul Fadilah, R. Luluatun Nufus, R.

Muhammad Khairul Fatih dan R. Misbahul Ulum.3

Mudhar Tamim dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang kental akan nila-nilai keagamaan. Sejak kecil, prinsip-prinsip religiusitas sudah tertanam pada dirinya. Ayahnya, KHR. Moh Tamim tergolong pemuka agama yang aktif dalam kegiatan NU. KHR. Moh Tamim juga pernah menjabat sebagai Dewan Pembina Masjid Jami’ asy-Syuhada’ Pamekasan.4 Sebagai sosok ayah, KHR. Moh Tamim sangat memperhatikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Pribadinya yang tekun dan penuh kesabaran dalam mendidik menjadikan putera-puteranya tumbuh dengan dasar keislaman yang kokoh dan memiliki perhatian terhadap keadaan masyarakat.

Pola asuh yang diterapkan KHR. Moh. Tamim membuahkan hasil. Mudhar Tamim tumbuh menjadi insan yang cerdas dan mahir dalam berbagai keilmuan agama, seperti ilmu fikih, ilmu kalam, tafsir, ilmu falak dan sebagainya. Ia juga terampil dalam berbahasa Arab dan Inggris. Selain dikenal sebagai golongan elit bangsawan, Mudhar Tamim juga dikenal sebagai tokoh yang aktif

3

Ayu Syarifah Syarqiyah, Wawancara, 24 November 2016.

4

Menurut keterangan Drs. H. Abd. Mukti yang merupakan sepupu dari Mudhar Tamim sekaligus ketua Ta’mir Masjid Jami’ asy-Suhada’ Pamekasan 2016, pembina pertama dari Masjid Jami’ asy-Syhada’ Pamekasan adalah KHR. Isma’il (kakek dari KH. Moh. Tamim). Setelah itu dilanjutkan

oleh keturunannya. Abd. Mukti, Wawancara, Kantor Ta’mir Masjid Jami’ asy-Syuhada’


(45)

36

dalam kegiaatan keagamaan dan kancah perpolitikan. Bahkan, sejarah merekamnya sebagai pahlawan yang ikut andil dalam pengusiran kolonial Belanda di Madura.

Keberhasilan yang dicapai Mudhar Tamim dalam berkarir lantas tidak membuatnya lupa diri dan sombong. Hiruk pikuk aktifitasnya dalam mengabdi dan kegigihannya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat justru membuatnya dikenal sebagai figur yang memiliki citra diri, santun, arif dan

bijaksana.5

Track record intelektual Mudhar Tamim dimulai semenjak mengenyam pendidikan dasar di al-Irsyad (sekolah dasar dibawah naungan Muhammadiyah). Setelah tidak berhasil menuntaskan pendidikannya di bangku sekolah dasar, ia

kemudian melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Cendana.6 Mudhar

Tamim menghabiskan masa-masa pendidikannya di pesantren Cendana kurang lebih selama 12 tahun. Di pesantren ini, ia belajar dan mendalami ilmu alat, tafsir dan ilmu-ilmu yang lain.

Setelah dari Pesantren Cendana, Mudhar Tamim hijrah ke Yordania untuk melanjutkan studinya. Dalam kurun waktu selama 6 bulan, ia berhasil

menghafal al-Qur’an lengkap 30 juz. Sepulang dari Yordania, ia di utus oleh

ayahnya untuk menjadi santri KH. Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren

Tebuireng, Jombang. Ia menjadi santri di pesantren asuhan KH. Hasyim Asy’ari

selama 6 tahun. Di samping itu, Mudhar Tamim juga pernah belajar di sekolah

5

Luluatun Nufus, Wawancara,Pademawu, 4 November 2016.

6

Sebuah pesantren yang berlokasikan di Kwanyar, Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, Madura.


(46)

37

militer Chudanco yang terletak di Bogor. Di sana, ia bertemu dengan beberapa

tokoh Nasional, seperti Soekarno, Nasution dan M. Nasir.7

Mudhar Tamim berprofesi sebagai penghulu dan pernah menjadi

pegawai negeri sipil di Departeman Agama Pamekasan.8 Dalam kesehariannya, ia

aktif dalam berdakwah, mengisi kajian, khutbah dan kegiatan keagamaan yang lain. Mudhar Tamim juga cukup produktif menuangkan ide-idenya ke dalam tulisan. Ia biasanya menghabiskan waktu menulisnya di sebuah tempat yang di

kenal dengan istilah depa.9

Banyak tokoh-tokoh agama terkemuka di Pamekasan pernah berguru kepadanya, di antaranya adalah KH. Moh. Lutfi Thaha (Pengasuh Pondok Pesantren al-Falah Sumber Gayam, kadur), KH. Mahfudz (PP. Mambaul Ulum Bata-Bata), KH. Abd. Hamid Baqir (Pengasuh PP. Banyuanyar), KH. Moh. Tamim Bengkes, KH. Syarqawi (mertua KH. Khalilurrahman mantan Bupati

Pamekasan), KH. Hefni Siraj (Pengasuh PP. Miftahul Ulum Bettet), KHR. Isma’il

Madani (Pengasuh PP. Salafiyah Sumur Putih Pamekasan), KH. Abdul Hamid Mannan (Pengasuh PP. Nasyrul Ulum Pamekasan) dan masih banyak yang lainnya. Ia juga pernah terlibat dalam perdebatan dengan pastor-pastor dan

7

Hasunah, Wawancara, Pademawu, 4 November 2016.

8

Dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tertanggal 16 juni 1972 disebutkan bahwa Mudhar Tamim pada awalnya menjabat sebagai Pengatur Muda Tk.1. golongan II/B pada Dinas Penerangan Agama Kabupaten Pamekasan, sebelum akhirnya naik pangkat ke golongan II/C sebagai Pengatur pada Dinas Penerangan Agama Kabupaten Pamekasan.

9

Depa merupakan sejenis mushalla berkaki, di bangun dari kayu. Depa tempat Mudhar Tamim menuliskan ide-idenya terletak di sebelah selatan Masjid Jami’ Asy-Syuhada’. Di tempat ini, Mudhar Tamim juga sering mengadakan pengajian dan perkumpulan para ulama se Madura.


(47)

38

pendeta, baik dalam maupun luar Negeri. Hasil perdebatan tersebut dibukukan

dan menjadi sebuah karya yang kemudian diberi nama Santapan Rohani.10

Dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, disebutkan bahwa pada tahun 1945-1950 Mudhar Tamim pernah menjabat sebagai pemimpin/komandan

Laskar Hisbullah tingkat Keresidenan11 saat terjadi perang kemerdekaan di

Madura.12 Sebagai pahlawan dan pejuang yang gigih dalam meraih kemerdekaan

membuatnya mendapatkan piagam penghargaan sebagai Pembela Tanah Air

(PETA).13

Selain aktif dalam kegiatan keagamaan, Mudhar Tamim juga aktif dalam kancah perpolitikan. Keterlibatannya dalam dunia politik tidak lain dikarenakan sebuah keinginannya untuk mengekspresikan kekecewaan dan kegelisahannya terhadap sistem pemerintahan yang sedang terjadi. Sedikit gambaran dari kekecewaan Mudhar Tamim terhadap sistem pemerintahan dapat dilihat melalui slogannya yang mengibaratkan pemerintahan sebagai ikan besar yang selalu

memakan ikan-ikan kecil.14

Di antara beberapa rekam jejak Mudhar Tamim dalam panggung politik adalah menjabat sebagai anggota partai politik Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Ia juga pernah menjadi delegasi dari partai PPP sebagai anggota

10

Ibid.

11

Keresidenan adalah sebuah pembagian administratif dalam propinsi di Hindia Belanda (Indonesia) hingga tahun 1950-an. Sebuah Keresidenan (regentschappen) terdiri atas beberapa afdeeling (kabupaten). https://id.m.wikipedia.org

12

Mohammad Moestadji, Didik Hadijah Hasan, dan Mohammad Rosyad, Peranan Resimen

Djokotole Beserta Laskar Sabilillah, Hisbullah, B.P.R.T. dan Pesindo dalam Perang Kemerdekaan ke-1 di Madura (t.k.: t.p., 2005), 38.

13

Mudhar Tamim mendapat piagam bekas pasukan pembela tanah air (PETA) Jawa Timur tertanggal 15 Februari 1986. Dalam piagam tersebut pangkat/kedudukan terakhir Mudhar Tamim yaitu Dai IV Daidan, Madura Shu.

14


(48)

39

DPRD Tingkat II di Pamekasan selama dua periode (1977-1982 dan 1982-1987)

dari unsur Parmusi.15

Pada tahun 1972, dari 23 jatah kursi yang didapat oleh PPP, Parmusi hanya mendapat 1 kursi jabatan dan diwakili oleh Mudhar Tamim. Selanjutnya, di tahun 1982, Parmusi mendapat 2 kursi yang diwakili Mudhar Tamim dan Said

Joyo Kusumo. Sebelum pimpinan DPR definitive terpilih, pada tahun 1977 dan

1982, Mudhar Tamim juga tercatat sebagai ketua sementara. Puncak jabatan yang berhasil diraih Mudhar Tamim adalah posisi Komisi A DPR RI di bidang Hukum

dan Perundang-undangan.16

Keputusan Mudhar Tamim berkarir dalam politik dengan bergabung ke

partai Parmusi cukup memberikan kesan kontroversial. Secara ‘amaliyah, ia

dikenal sebagai tokoh dan warga Nahdiyin. Akan tetapi, dalam aktifitasnya ia jarang bergaul dengan warga-warga Nahdiyin. Sebaliknya, Mudhar Tamim lebih

banyak menjalani aktifitasnya dengan bergaul bersama warga-warga

Muhammadiyah.17 Padahal, secara keilmuan ia tergolong orang yang memiliki

kredibilitas dan integritas sangat mumpuni yang dibutuhkan oleh orang-orang NU.

Terlebih lagi mbah buyutnya, KHR. Isma’il adalah Tokoh NU sekaligus salah

seorang pendiri NU di Pamekasan bersama K. Sirajauddin dari Pondok Pesantren

15

PPP sendiri merupakan gabungan dari partai politik yang berbasis Islam, yaitu NU, PARMUSI, PSII dan PERTI. Pada awal tahun 1973 terbentuk undang-undang tentang penyederhanaan partai politik. Presiden saat itu, Soeharto mengiginkan banyaknya partai yang ada untuk segera di gabung dan melakukan fusi. Dari beberapa partai politik yang ada, disederhanakan menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PPP dan PDI. Semua partai politik yang berbasis Islam, NU, PARMUSI, PSII PERTI berfusi dalam partai politik baru bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sedangkan PNI, MURBA, IPKI, Partai Katolik dan Parkindo bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia. Abdul Hamid Mannan, Mantan Anggota DPR tingkat II Pamekasan periode 1977-1982,

Wawancara, 19 Januari 2016. Bandingkan dengan Tohir Bawazir, Jalan Tengah Demokrasi:

Antara Fundamentalisme dan Sekularisme (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), 203.

16

Fadli Ghazali, Wawancara, Rabu 29 Desember 2016.

17


(49)

40

Miftahul Ulum Bettet dan KH. Moh Thaha dari Pondok Pesantren al-Falah

Sumber Gayam. 18

Mudhar Tamim sangat produktif dalam berkarya. Meski demikian, nama dan karya-karyanya tidak dikenal halayak. Terdapat beberapa faktor yang menjadi dalang mengapa nama dan karya-karyanya tidak mencuat ke permukaan publik. Minimnya media dan penerbitan disinyalir sebagai salah satu faktor karya dan idenya sulit terpublikasikan. Terlebih lagi, ia merupakan tokoh Parmusi yang notabane adalah partai politik minoritas dan memiliki sedikit massa.

Di sisi lain, dari beberapa partai politik yang berfusi ke PPP, Parmusi lebih dikenal sebagai partai politik yang paling berbeda dengan NU sebagai kelompok mayoritas. Meskipun Parmusi bukanlah partai politik yang berpahamkan Muhammadiyah, tetapi sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Muhammadiyah dan banyak aspirasi Muhammadiyah yang disalurkan melalui partai ini. Pada tahun 1987, di usianya yang beranjak sepuh, Mudhar Tamim pensiun dari dunia politik. Posisinya kemudian digantikan oleh KH. Said

DK dan Pak Umar.19

Setelah berhenti berkecimpung dalam dunia politik, Mudhar Tamim ikut isteri keduanya pindah ke Pademawu hingga akhirnya beliau wafat pada hari sabtu Tanggal 4 Februari tahun 2000 dalam usia 84 tahun .

18

Fadli Ghazali, Wawancara, Rabu 29 Desember 2016.

19


(50)

41

B. Profil Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda: Sebuah Perkenalan

Kehadiran tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda memberikan warna

tersendiri dalam perkembangan khazanah tafsir di Indonesia, khususnya kajian al-Qur’an yang disajikan dengan menggunakan media bahasa daerah. Sebagai karya tafsir pertama yang menggunakan bahasa Madura, keistimewaannya terletak pada

penulisan tafsirnya yang menggunakan bahasa Madura latin,20 sehingga

memudahkan bagi masyarakat Madura dan pembaca pada umumnya yang ingin

membaca al-Qur’an sekaligus memahami isi kandungannya.

1. Latar Belakang Penulisan

Penulisan tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda mulai dirintis oleh

Mudhar Tamim sejak Rabu tanggal 16 Juli 1969/1 Juma>d al-Awwa>l 1389.

Pada hari Senin tanggal 6 Oktober 1969/24 Rajab 1389, ia berhasil

merampungkan penafsiran surah al-Fatihah dan surah al-Baqarah yang

kemudian dicetak dalam jilid I.21

Dalam pendahuluannya, Mudhar Tamim secara eksplisit menyatakan

bahwa salah satu tujuan utama dari disusunnya tafsir Alqur’anul Karim Nurul

Huda adalah dalam rangka “mengawal” program REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto. Demi mensukseskan PELITA tahap pertama dalam bidang pemantapan keyakinan ajaran agama, karya tafsir ini oleh Mudhar Tamim diproyeksikan akan dibaca setiap hari Jumat di Radio

20

Dalam penulisan tafsir bahasa Madura latin masih menggunakan mesin ketik. Sedangkan untuk penulisan ayat al-Qur’an menggunakan tulisan tangan.

21


(1)

90

seperti pelestarian stratifikasi bahasa dan tradisi bermadzhab. Selanjutnya, pola

destructive yang diartikan sebagai penolakan terhadap berlakunya tradisi yang berkembang. Dalam hal ini budaya yang ditolak keberlakuannaya oleh Mudhar Tamim yaitu taklid buta terhadap sosok kiai serta praktek-praktek yang berlaku dalam tarekat. Pola yang terakhir yaitu pola adoptive-reconstruktif yang diartkan sikap menerima terhadap tradisi, tetapi memodifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Sikap ini ditunjukkan oleh Mudhar Tamim terhadap budaya politik masyarakat Madura. Sikap Mudhar Tamim terhadap persoalan politik di Madura berhubungan dengan tata cara berpolitik. Dari hasil pemahamannya terhadap al-Qur’an, Mudhar Tamim berusaha memperbaiki etika berpolitik masyarakat Madura. Rekonstruksi politiknya dimulai dengan persoalan partisipasi politik, etika memilih partai, sistem pemerintahan hingga ideologi Negara.

B. Saran

Objek penelitian ini adalah karya tafsir yang merupakan sebuah produk budaya yang lahir dari sebuah proses dialektika antara penafsir dengan budaya yang melingkupinya di satu pihak dan dialognya dengan al-Qur’an di pihak lain. Proses dialektika seringkali memunculkan pembacaan yang bias. Hal ini dikarenakan dalam proses penasiran al-Qur’an biasanya dipengaruhi latar belakang pendidikan, keilmuan, motif penafsiran, dan kondisi sosial di mana sang penafsir menyejarah.


(2)

91

masyarakat Madura. Oleh karena itu, fokus kajian dalam penelitian ini yaitu pola dialektika tafsir Nurul Huda dan Budaya. Karena penelitian ini merupakan penelitian pertama terkait tafsir Nurul Huda, tentunya masih terdapat banyak aspek yang perlu untuk diteliti dan dikaji. Dengan demikian, diharapkan ada penelitian selanjutnya yang mengkaji secara spesifik dan mendetail terkait pemikiran Mudhar Tamim dalam tafsir Nurul Huda.


(3)

92

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata. Tata Krama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta: t.p., 2002.

Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Bawazir, Tohir. Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekularisme. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015.

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Geografi Dialek Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1998.

Dhavamony, Mariauasai. Fenomenologi. Terj. A. Sudiarja dkk. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.

Al-Dzaha>bi@, Muh}ammad H{usain. Al-Tafsi@r wa al-Mufassiru>n. Vol. I. Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.

Al-Farma>wi>, ‘Abd. al-H{ayy. Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Sebuah Pengantar. Terj. Suryan A. Jamrah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.

Gusmian, Islah. “Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir al-Qur’an di Indonesia Era Awal abad 20” dalam Mutawatir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Vol. 5. No.2. Desember 2015.


(4)

93

Huda, Achmad Zainal. Mutiara Pesantren: Perjalanan Khidmah KH. Bisri Mustafa. Yogyakarta: LKiS, 2011.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Research, Vol.1. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1974.

Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika. Jakarta: Paramadina, 1996.

Holsti, Cole R. Content Analysis for the Social Sciences and Humanities. Vantower: Department of Political Science University of British Columbia, 1969.

Ismail, Faisal. Pijar-Pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur. Yogyakarta: LESFI, 2002.

Jonge, Huub De. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan

Ekonomi dan Islam. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Kementerian Agama RI. Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Bandung: Daarul

Qur’an, 2014.

Khuluq, Lathiful. Fajar Kebangunan Para Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy‘ari. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Moestadji, Mohammad. Didik Hadijah Hasan dan Mohammad Rosyad. Peranan Resimen Djokotole Beserta Laskar Sabilillah, Hisbullah, B.P.R.T. dan Pesindo dalam Perang Kemerdekaan ke-1 di Madura. t.tp: t.p, 2005.

Ma’arif, Samsul. The History of Madura. Yogyakarta: Araska, 2015.

Machasin. Islam Dinamis Islam Harmonis. ed. Abdul Wahid Hasan. Yogyakarta: LkiS, 2011.

Muhammad, Agus Ahmad dkk. Tafsir al-Ibriz Versi Latin. ed. Bisri Adib Hattani. Wonosobo, Lembaga Kajian Strategis Indonesia, t.th.

Muhsin, Imam. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal. t.k.: Badan Litbang dan


(5)

94

Muryadi dan Mochtar Lutfi. Islamisasi di Pulau Madura: Suatu Kajian Historis. Laporan Penelitian UNAIR, 2004.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press, 2014.

Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press, 1986.

Notoasmoro, Abd. Sukur dkk. Bahasa dan Sastra Madura. Sumenep: Tim Nabara, 1994.

Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta: Penerbit Kencana, 2011.

Paisun. “Dinamika Islam Kultural (Studi atas Dialektika Islam dan Budaya Lokal

Madura)”, dalam Annual Conference on Islamic Studies. Banjarmasin, 1-4 November 2010.

Pribadi, Yanwar. “Religious Networks in Madura” dalam al-Ja>mi‘ah. Vol. 51. No. 1. 2013.

Raharjo, Mudjia. Dasar-Dasar Hermeneutika antara Intensionalisme dan

Gadamerian. Yogyakarta: Al-Ruzz Media, 2008.

Sadiqin, Ali. Antroplogi al-Qur’an: Model Dialektika Wahyu dan Budaya.

Yogyakarta: Al-Ruz Media, 2013.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Shihab,M. Quraish. Studi Kritis Tafsir al-Manar. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1994. Shihab, Umar. Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir dan Isu-Isu

Kontemporer. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2014.

Soehada, Moh. Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama. Yogyakarta: Suka Press, 2012.


(6)

95

Suryadinata, Leo dkk. Penduduk Indonesia: Etnis dan Agama dalam Era

Perubahan Politik. Jakarta: LP3ES, 2003.

Al-S{uyut}i>, Jalaluddin. Studi al-Qur’an Komprehnsif. terj. Tim Editor Indiva. Surakarta: Indiva pustaka, 2008.

Taimiyah, Ibnu. Muqaddimah fi> Us}u>l al-Tafsi>r. Beirut: Da>r Maktabah al-H{aya>h, 1980.

Tamim, Mudhar. Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda. t.k.: t.p., t.t.

TIM LTN PBNU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. Surabaya: Khalista, 2011.

Tim MKD UIN Sunan Ampel. Ilmu Kalam. Surabaya: UIN SA Press, 2013.

Wahyudi, Muhtar dkk., MADURA: Masyarakat, Budaya, Media dan Politik. t.k.: Puskakom Publik, 2015.

Wiyata, A. Latif. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Yogyakarta: LkiS, 2002.

Al-Zarqa>ni@, Muh}ammad ‘Abd. al-‘Adhi@m. Mana>hil al-‘Irfa>n fi@ ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Vol. II. Mesir: Mat}ba‘ah ‘Isa> al-Ba>bi@ al-H{ala>bi@, t.t.

Zayd, Nas}r H{ami>d Abu>. Tekstualitas al-Qur’an. terj. Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: LKIS, 2013.

https://id.m.wikipedia.org

Wales, Jimmy dkk. https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_politik/ “Budaya