buku pengantar teori sastra jawa

(1)

BAB I SASTRA:

HAKIKAT, FUNGSI, GENRE DAN PENDEKATANNYA A. Pengertian Sastra

Sastra, secara luas mungkin telah ada sejak manusia ada. Bersamaan dengan perkembangan manusia dan kebudayaannya, sastra juga berkembang menurut situasi dan kreasi manusianya. Dengan demikian, sejalan dengan pengelompokan-pengelompokan manusia serta kebudayaannya, sastra juga berkembang dalam kelompok-kelompok itu. Barangkali hal seperti inilah yang hingga saat ini menjadikan sastra memiliki sifat keumuman sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, setiap karya sastra demikian halnya. Wellek & Warren (1993: 9), secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya.

Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg, dkk., (1989: 9), bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.

Barangkali inilah titik pangkal dari permasalahan teori dan kajian sastra yang pertama kali muncul, yakni perihal tidak pernah terjawabnya (dengan memuaskan) pertanyaan “apakah sastra itu?”, karena terlalu kompleksnya sesuatu yang disebut sastra itu.

Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw (1984: 21) menuliskan bahwa meskipun sudah cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan: “apakah sastra itu ?”, namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para ilmuwan tidak kesampaian. Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau sebaliknya, terlalu luas


(2)

dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi. Menurut Luxemburg dkk (1989: 4) kegagalan definisi itu antara lain sebagai berikut.

1. Karena orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, sering menggunakan dua kriteria sekaligus, sering menggunakan definisi deskriptif dan definisi evaluatif sekaligus, dengan menuilai baik dan tidaknya suatu karya sastra.

2. Karena menggunakan definisi “ontologis” mengenai sastra, yakni mengungkap hakikat sebuah karya sastra. Padahal mengingat kompleksnya obyek sastra, mestinya sastra didefinisikan di dalam situasi pemakai atau pembaca sastra. Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan, padahal suatu karya bagi satu orang bisa termasuk sastra, bagi orang lain mungkin tidak.

3. Anggapan mengenai sastra sering ditentukan oleh sastra Barat, khususnya sejak jaman renaisance, tanpa memperhitungkan bentuk-bentuk sastra di luar Eropa. Sastra India, Melayu, Jawa dan sebagainya tentu memiliki kekhasannya masing-masing, apalagi kalau dipisahkan dari jaman-jaman tertentu.

4. Definisi oleh ahli yang sering memuaskan untuk diterapkan pada sejumlah jenis sastra, tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara umum.

Pada berbagai hal secara umum, untuk mendefinisikan sesuatu itu dapat didekati dari namanya. Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa Sanskerta: akar kata ‘sas-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan “alat, sarana”. Jadi sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran”.

Kata lain yang sering dipergunakan ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra mendapat awalan su- yang berarti “baik, indah”. Jadi kata susastra dapat berarti “sastra yang baik” atau “sastra yang indah” yang dalam bahasa Perancis atau Inggris dipergunakan istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipergunakan dalam bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul kemudian (Teeuw, 1984: 23).


(3)

Batasan secara etimologis tersebut, juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk mengajar bisa dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya, semua sastra “dapat” dipergunakan sebagai alat untuk mengajar.

Luxemburg, dkk. (1989: 9-11) menyebutkan sejumlah faktor yang dewasa ini mendorong para pembaca untuk menyebut teks ini sastra dan teks itu bukan sastra, yakni sebagai berikut.

(1) Yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu untuk tujuan komunikatif praktis yang bersifat sementara waktu saja.

(2) Bagi sastra Barat dewasa ini kebanyakan teks drama dan cerita mengandung fiksionalitas. Bagi orang Yunani dahulu, fiksionalitas tidak relevan untuk membatasi pengertian sastra, dan di Cina dahulu teks-teks rekaan justru tidak dianggap sastra.

(3) Dalam hal puisi lirik, dipergunakan konvensi distansi untuk mengambil jarak sehingga tidak setiap puisi lirik dinamakan rekaan. (4) Bahan sastra diolah secara istimewa dan dengan cara yang

berbeda-beda sehingga misalnya, pengertian bahasa puitik tidak pernah bisa dibatasi secara mutlak.

(5) Sebuah karya sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itu tergantung pada mutu sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam menggauli teks-teks sastra.

(6) Karya-karya bukan fiksi dan juga bukan puisi, karena ada kemiripan tertentu digolongkan dalam sastra, yakni karya-karya naratif, seperti biografi-biografi dan karya-karya yang menonjol karena bentuk dan gayanya. Surat-menyurat antar sastrawan lebih mudah dikategorikan sebagai sastra daripada antar sejarawan.

(7) Terdapat karya-karya yang semula tidak masuk sastra, kemudian dikategorikan sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan sekedar penulisan sejarah tetapi sastra.

Wellek & Warren (1993: 11-16) mencatat bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa cara, yakni sebagai berikut.

(1) Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Pengertian ini seperti pengertian etimologis pada kata


(4)

literature (Inggris). Jadi ilmuwan sastra dapat mempelajari profesi kedokteran, ekonomi, dsb. Dengan demikian seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus sastra Inggris) bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi ilmu lain, sastra bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan tetapi memang identik. Dalam hal ini Wellek & Warren mengomentari bahwa akhirnya studi semacam ini bukan studi sastra lagi. Studi yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan cenderung menggeser studi sastra yang murni, karena dalam studi kebudayaan semua perbedaan dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra Jawa, seperti halnya pada banyak budaya lain, batasan seperti ini tidak menguntungkan karena Jawa memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat.

(2) Cara lain untuk membatasi definisi pada sastra adalah membatasi pada “mahakarya” (great books), yaitu buku-buku yang dianggap “menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya”. Dalam hal ini kriteria penilaiannya adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama dan cerita rekaan, mahakarya dipilih berdasarkan pertimbangan estetis. Sedang buku-buku lain dipilih karena reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah penilaian estetis dalam gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaiannya. Dalam hal ini sastra atau bukan sastra ditentukan oleh penilaian. Di samping itu sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra. Dalam sastra Jawa kuna, dan sebagian sastra Jawa modern, memang banyak karya sastra yang berisi ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering dikategorikan sebagai karya sastra karena gaya bahasanya, antara lain Negarakertagama (Jawa kuna) dan karya sastra Babad (Jawa modern) yang sebagian besar berisi sejarah.

(3) Menurut Wellek & Warren, pengertian sastra yang paling tepat diterapkan pada seni sastra, yakni sastra sebagai karya imajinatif. Istilah lainnya adalah fiksi (fiction) dan puisi (poetry), namun pengertiannya lebih sempit. Sedang penggunaan istilah sastra imajinatif (imaginative literature) dan belles latters (tulisan yang indah dan


(5)

sopan) kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra, dinilai kurang cocok dan bisa memberi pengertian yang keliru. Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas pengertiannya dan lebih cocok adalah istilah dari Jerman wortkuns dan dari Rusia slovesnost.

(4) Cara lain yang dilakukan untuk memecahkan definisi sastra adalah melalui kategorisasi bahasa. Bahasa adalah media yang dipergunakan oleh sastra. Namun demikian sastra tidak memiliki media secara khusus, karena bahasa juga dipergunakan sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu.

Wellek & Warren (1993: 16) juga menyatakan bahwa untuk melihat penggunaan bahasa yang khas sastra, harus dibedakan antara bahasa sastra, bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas Clark Pollock dalam bukunya The Nature of Literature. Namun demikian buku itu tidak memuaskan terutama dalam membedakan bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari.

Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah dibedakan. Bahasa ilmiah bersifat denotatif , yakni ada kecocokan antara tanda (sign) dengan yang diacu (referent). Jadi bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem tanda matematika atau logika simbolis.

Bahasa sastra, dibanding bahasa ilmiah, penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang sama bunyinya tetapi berbeda artinya), serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Dengan kata lain bahasa sastra sangat konotatif sifatnya. Bahasa sastra memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca. Disamping itu yang dipentingkan dalam bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata. Berbagai teknik diciptakan untuk menarik perhatian pembaca.

Membedakan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari lebih sulit. Bahasa sehari-hari sering juga bersifat ekspresif. Yang jelas, perbedaan pragmatisnya ialah bahwa segala sesuatu yang mendorong orang untuk


(6)

melakukan tindakan langsung yang kongkrit sukar untuk diterima sebagai puisi (baca: sastra).

Dalam hubungannya dengan bahasa, khususnya bahasa tulis, Teeuw (1984 30-38) memberikan beberapa catatan sebagai berikut.

(1) Dalam sastra tulis terdapat keindahan bahasa, yakni pemakaian bahasa yang tepat dan sempurna. Disamping itu dalam sastra tulis sering memberi banyak kemungkinan untuk menciptakan keambiguan, makna ganda, yang sering dianggap sebagai ciri khas bahasa sastra. (2) Dalam sastra tulis, ambiguitas diri penulis yang tidak langsung

dihadapi oleh pembaca, sering dimanfaatkan bahkan dieksploitasi secara sangat halus. Tokoh aku dalam karya sastra belum tentu identik dengan penulisnya.

(3) Karena hubungan antara karya sastra dengan penulisnya terputus, dengan sendirinya tulisan itu menjadi sangat penting dan mandiri. Jadi karya sastra bukanlah tindak komunikasi biasa dan memunculkan bermacam-macam konvensi yang harus dikuasai pembaca dalam memahami sastra

(4) Sastra adalah dunia dalam kata dan dalam pemahamannya tidak dibantu lagi oleh penulisnya sehingga tergantung pada kata.

(5) Tulisan dapat diulang baca, sedang konvensi sastranya dapat berubah-ubah sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi disesuaikan dengan informasi baru.

(6) Reproduksi sastra sangat mungkin terjadi sehingga dimungkinkan terjadinya perubahan atau pemantapan sehingga terjadi variasi makna. Bagi peneliti hal itu justru memperluas lahan kajian. Bagi pembaca memungkinkan terpenuhi seleranya.

(7) Reproduksi sastra dalam berbagai jaman, berbagai bahasa dan budaya menjadikan sastra menjadi gejala sejarah dengan segala akibatnya. Saat ini orang bisa membaca karya Homeros 30 abad yang lalu, atau karya Prapanca pada abad XIV. Kesinambungan kebudayaan sebagian besar tergantung dari penemuan tulisan dan abjad. Namun demikian penafsiran sastra kadang menjadi berbeda dari masa ke masa. Perbedaan penafsiran itu menjadi permasalahan apakah hal ini justru


(7)

sebagai kekayaan sastra atau sebaliknya, harus berusaha menginterpretasi sesuai dengan maksud awal (asli)-nya.

Teeuw menegaskan bahwa sastra bukan hanya dalam rangka sastra tulis, karena ada sastra yang hidup dan berkembang dalam bentuk sastra lisan. Tujuh catatan dalan hubungannya dengan sastra tulis di atas tidak serta merta dapat diterapkan pada sastra lisan, namun setidak-tidaknya terdapat kemiripan terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra sering sekali ada bentuk campuran antara sastra tulis dengan sastra lisan, misalnya banyak tersebar di Indonesia.

Pada akhirnya Teeuw berkesimpulan bahwa tidak ada kriteria yang jelas yang dapat diambil dari perbedaan pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas. Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra; sebaliknya ada sastra tulis dan ada sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dan bukan sastra harus dicari di bidang lain.

Dengan demikian semakin komplekslah permasalahan yang dihadapi untuk memberikan batasan antara sastra dan bukan sastra. Namun demikian ada sejumlah pengertian yang berlaku pada zaman Romantik yang menurut Luxemburg dkk. (1989: 5 ) hingga saat ini masih selalu dipakai, sebagai berikut.

(1) Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi. Sastra terutama merupakan luapan emosi yang spontan. Unsur kreativitas dan spontanitas dewasa ini pun masih sering dijadikan sebagai pedoman

(2) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keseralarasan di dalam karyanya sendiri. Misalnya kaum formalis dari Rusia di awal abad XX (masih) menganggap bahwa cara pengungkapan merupakan ciri khas bagi kesastraan. Kesastraan ditentukan oleh cara bahannya disajikan. Bahan puisi ialah bahasa serta subyeknya, sedang bahan naratif adalah sejarah atau peristiwa yang diceritakan.

(3) Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan bentuk atau ungkapan tertentu. Seperti bentuk dan isi saling


(8)

berhubungan, demikian bagian dan keseluruhan kait-mengait secara erat sehingga saling menerangkan.

(4) Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan, antara yang disadari dengan yang tidak, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dsb. Misalnya aliran New critics di Amerika (masih) menganggap bahwa bahasa puisi adalah bahasa paradoks.

(5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Oleh sastra ditimbulkan asosiasi dan konotasi. Dalam teks sastra ada sederet arti yang tidak diungkapkan dalam bahasa sehari-hari. Misalnya Roland Barthes (masih) menyatakan bahwa menafsirkan sebuah teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan.

Sebagai bahan pembanding dan langkah awal untuk melakukan pengkajian pada khasanah kesasteraan, kiranya perlu juga disampaikan beberapa batasan sastra yang pernah dituliskan oleh beberapa pengamat sastra di Indonesia.

Andre Hardjana dalam bukunya Kritik Sastra: Sebuah Pengantar (1983: 10), menggunakan batasan sastra yang diberikan oleh William Henry Hudson, yakni bahwa sastra sebagai “pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung lagi kuat - pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa.

Atar Semi, dalam bukunya Anatomi Sastra (1988: 2) menyatakan bahwa sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Panuti Sudjiman, dalam edisinya Kamus Istilah Sastra (1986: 68), menuliskan sastra adalah karya lisan atau tertulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Jakob Sumarjo, dalam bukunya Memahami Kesusastraan (1984), menyatakan bahwa kesusasteraan dapat dilihat sebagai memiliki badan dan jiwa. Jiwa sastra berupa pikiran, perasaan dan pengalaman manusia, sedang badannya


(9)

adalah ungkapan bahasa yang indah, sehingga memberikan hiburan bagi pembacanya.

B. Fungsi Sastra

Antara sastra, fungsi dan sifatnya adalah sesuatu yang koheren. Membicarakan apa itu sastra berarti juga menyinggung bagaimanakah sastra itu dan untuk apa. Fungsi suatu benda sesuai dengan sifat-sifat benda itu. Fungsi puisi sesuai dengan sifat-sifat puisi itu. Setelah dicermati beberapa pengertian sastra di atas, maka terdapat unsur-unsur yang terdapat dalam sastra, misalnya kreatif, keindahan, menghibur, baik, bermanfaat, contoh-contoh tentang manusia dan kehidupannya, dsb. Unsur-unsur tersebut merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melacak, menangkap atau merumuskan fungsinya.

Fungsi sastra sering berubah-ubah menurut pandangan masyarakat terhadap sastra itu sendiri. Pada akhir abad ke-19, dengan munculnya doktrin “seni untuk seni”, tentu saja fungsi sastra juga mengalami perubahan, yakni dalam rangka mengabdi pada seni. Demikian juga pada abad ke-20 dengan adanya doktrin “poesie pure” atau puisi murni. Pada masa renaisance di Amerika, Edgar Allan Poe mengkritik konsep bahwa puisi bersifat didaktis, yang dalam istilah Poe disebut didactic heresy yakni sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.

Namun demikian, menurut Wellek & Warren (1993: 24), bila ditinjau dari sejarah estetika, konsep dan fungsi sastra pada dasarnya tidak berubah, sejauh konsep-konsep itu dituangkan dalam istilah-istilah konseptual yang umum. Di bawah ini beberapa catatan Wellek & Warren dalam hal fungsi sastra.

1. Fungsi Dulce dan Utile

Horace (Horatius) pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sastra (puisi) harus memenuhi fungsi dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna. Konsep indah dan berguna itu, harus berlaku sekaligus, karena bila indah saja berarti puisi itu menghibur saja dan cenderung bermain-main sehingga mengesampingkan ketekunan, keahlian, dan perencanaan sungguh-sungguh dari penyairnya. Sebaliknya, bila berguna saja, berarti melupakan kesenangan yang ditimbulkan oleh puisi.


(10)

Dalam arti luas, konsep berguna tidak hanya dalam rangka berisi ajaran-ajaran moral, tetapi berarti “tidak membuang-buang waktu”, dan indah berarti “tidak membosankan”, “bukan kewajiban” atau ”memberikan kesenangan”, maka fungsi itu telah terbukti, misalnya, Hegel mendapatkan fungsi itu dalam drama kesenangannya Antigone.

Konsep indah dan berguna tersebut harus saling mengisi. Dalam sastra, kesenangan tidak hanya dalam arti fisik, tetapi lebih dari itu, yakni kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedang manfaatnya keseriusan yang bersifat didaktis, adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, keseriusan persepsi.

2. Fungsi Khusus Sastra

Apakah sastra memiliki manfaat yang berbeda dengan sejarah, filsafat, musik atau bidang-bidang lainnya? Aristoteles pernah mengemukakan diktumnya yang terkenal, bahwa puisi lebih filosofis dari sejarah, karena sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, sedang puisi berkaitan dengan hal-hal yang bisa terjadi, yakni hal-hal yang umum dan yang mungkin. Pada jaman neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap puisi menyampaikan hal-hal yang umum (grandeur of generality), sedang para teoritikus abad ke-20 telah menekankan sifat khusus puisi. Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra) juga menekankan sifat tipikal sastra. Sastra dapat dianggap lebih umum dari sejarah dan biografi, tetapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Namun tingkat keumuman dan kekususannya berbeda-beda tiap sastra dan tiap periode.

3. Sastra dan Psikologi

Salah satu nilai (fungsi) kognitif drama dan novel adalah segi psikologisnya. Menurut Wellek & Warren pernyataan yang sering terdengar adalah bahwa novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karen Horney menunjuk pada Dostoyevsky, Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi psikologi. E.M. Forster menyatakan bahwa novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokohnya. 4. Sastra dan Kebenaran


(11)

Dalam hubungannya dengan kebenaran, Max Eastman menyangkal bahwa pada abad ilmu pengetahuan, “pikiran sastra” dapat mengungkapkan kebenaran. Bagi Eastman, “pikiran sastra” adalah pikiran amatir tanpa keahlian tertentu (khusus) dan warisan jaman pra-ilmu pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan “kebenaran”. Menurut pendapatnya, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yakni pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan. Menurut Eastman, tugas penyair bukan menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Fungsi utamanya adalah membuat orang melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depannya, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahuinya.

Menurut Wellek & Warren kontroversi antara ada dan tidaknya kebenaran dalam sastra bersifat semantik antara “pengetahuan”, “kebenaran”, “kognisi”, dan “kebijaksanaan”. Kalau kebenaran diartikan sebagai konsep dan proposisi, maka seni, termasuk seni sastra, bukan bentuk kebenaran. Apalagi jika batasan positif reduktif diterapkan, yakni bahwa kebenaran dibatasi pada apa yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa saja. Namun secara umum, ahli-ahli estetika tidak menolak bahwa “kebenaran” merupakan kriteria atau ciri khas seni. Hal ini dikarenakan: 1) kebenaran adalah kehormatan sehingga memberi penghormatan pada seni; 2) bila seni itu tidak “benar” berarti seni itu “bohong” seperti tuduhan Plato. Menurut Wellek & Warren sastra rekaan adalah fiksi sebuah “tiruan kehidupan” yang artistik dan verbal. Lawan kata fiksi bukanlah “kebenaran” melainkan “fakta” atau “keberadaan waktu dan ruang”. Dalam sastra hal-hal yang mungkin terjadi lebih berterima daripada “fakta”.

Ada dua tipe dasar pengetahuan yang menggunakan sistem bahasa yang terdiri atas tanda-tanda: 1) ilmu pengetahuan yang memakai cara diskursif, yakni membuat uraian panjang 2) seni yang memakai cara presentasional, yakni langsung memberi wujud atau contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos keagamaan dan puisi (sastra). Susanne K. Langer melihat sastra dalam beberapa hal, merupakan campuran arti bentuk diskursif dan presentasional. Dalam hal ini Archibald MacLeish dalam bukunya Ars Poetica menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat, bahwa puisi sama seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat (ilmu pengetahuan, kebijaksanaan) dan memiliki persamaan dengan kebenaran; jadi mirip kebenaran.


(12)

5. Sastra dan Propaganda

Dalam hubungannya dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda, perlu dijelaskan batasan propaganda itu. Dalam bahasa populer, propaganda dikaitkan dengan doktrin yang berbahaya, yang disebarkan oleh orang yang tidak dapat dipercaya. Dalam propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula. Dengan demikian sejumlah seni dapat digolongkan sebagai propaganda. Sedang seni yang baik, seni yang hebat bukanlah propaganda. Bila istilah propaganda diperluas hingga mencakup “segala macam usaha yang dilakukan dengan sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup tertentu”, maka semua seniman melakukan propaganda. Bahkan, seniman yang bertanggung jawab wajib secara moral melakukan propaganda. Menurut Montgomery Belgion seorang sastrawan adalah pelaku propaganda yang tak bertanggung jawab (irresponsible propagandist). Menurut Eliot, kadar tanggung jawab dinilai dari maksud pengarang dan dampak sejarah. Menurut Wellek & Warren pandangan hidup yang diartikulasikan pengarang (yang) bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda populer. Pandangan hidup yang kompleks dalam karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan tindakan yang naif dan sembrono dengan sugesti hipnotis.

6. Sastra dan Fungsi Katarsis

Chatarsis merupakan istilah bahasa Yunani yang dipakai oleh Aristoteles dalam bukunya The Poetics dengan makna yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun yang jelas masalah yang timbul dari penggunaan istilah itu ialah adanya fungsi sastra yang menurut sejumlah teoritikus, untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Bagi penulis, mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Bagi pembaca, emosi mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra, dan lepas (terbebas) pada akhir pengalaman estetis mereka sehingga mereka mendapatkan “ketenangan pikiran”. Berbeda dengan hal tersebut, menurut Plato, drama tragedi dan drama komedi justru memupuk dan menyuburkan emosi yang seharusnya di matikan.


(13)

Dari uraian yang bersifat umum di atas, kiranya perlu juga dicantumkan di sini fungsi sastra menurut pengamat sastra di Indonesia. Menurut Atar Semi (1988) ada tiga tugas dan fungsi sastra, yakni sebagai berikut.

Pertama, sebagai alat penting pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia mendapat masalah. Pengarang bertugas mengikuti dan memikirkan tentang budaya dan nilai-nilai bangsanya pada masa ia hidup untuk kemudian dicurahkan ke dalam karya sastra yang baik. Salah satu ukuran sastra yang baik ialah sastra yang dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat pemiliknya pada jamannya. Karya sastra memberikan kearifan alternatif untuk menolong mengatasi masalah kehidupan. Pada jaman globalisasi ini interaksi kebudayaan antar bangsa terjadi secara intensif sehingga budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa pun akan mempengaruhi, menggeser, bahkan menggantikan kebudayaan bangsa yang ada sebelumnya. Di sinilah diharapkan peran sastra dapat menangkal pengaruh-pengaruh negatif tersebut.

Kedua, sastra berfungsi sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa, baik kepada masyarakat sejaman maupun generasi mendatang. Dengan kata lain sebagai alat penerus tradisi dari generasi ke generasi berikutnya, baik berupa cara berpikir, kepercayaan, kebiasaan, pengalaman sejarah, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaannya.

Ketiga, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai kemanusiaan diberi perhatian (dihargai) sewajarnya, dipertahankan dan disebarluaskan, terutama ditengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan majunya sains dan teknologi dengan pesat.

Dengan demikian fungsi sastra, dalam hal ini seperti pembicaraan-pembicaraan di atasnya, tidak dapat digeneralisasikan begitu saja dan memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih berterima dengan mempertimbangkan kondisi kontekstualnya. Dalam hal ini, sebagai perenungan lebih lanjut dapat dibaca lebih jauh tentang perdebatan sastra kontekstual (Heryanto, 1985)

C. Genre Sastra

Pembicaraan tentang genre sastra, seperti halnya pembicaraan tentang fungsi sastra dan teori sastra pada umumnya, telah berlangsung lama. Dalam


(14)

sejarahnya, batasan mengenai genre sastra juga bersifat sangat dinamis dan berbeda-beda.

Jenis sastra terjadi oleh karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya yang membentuk ciri karya tersebut. Menurut N.H. Pearson jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu perintah kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri. Menurut Harry Levin, jenis sastra adalah suatu “lembaga”, seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra itu dinamis seperti halnya sebuah institusi yang boleh diikuti atau tidak, atau boleh dirubah. Sedang menurut A. Thibaudet teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu (Wellek & Warren, 1993: 298-300).

Asia Padmopuspito (1991: 2) mengutip beberapa definisi genre sastra dari beberapa pakar sastra, antara lain sebagai berikut. Menurut Shipley, genre adalah jenis atau kelas yang di dalamnya termasuk karya sastra. Hasry Shaw menyatakan bahwa genre adalah kategori atau kelas usaha seni yang memiliki bentuk, teknik atau isi khusus. Di antara genre dalam sastra termasuk novel, cerita pendek, esai, epik, dsb. Menurut Abrams, genre merupakan istilah untuk menandai jenis sastra atau bentuk sastra. Nama genre sastra pada periode kuno: tragedi, komedi, epik, satire, novel, esai dan biografi. Pada periode renaisan: epik, tragedi, komedi, sejarah pastoral, komik pastoral, dsb. Menurut Hirsch, cara terbaik untuk mendefinisikan genre ialah dengan melukiskan unsur-unsur di dalam kelompok teks sempit yang mempunyai hubungan sejarah secara langsung.

Aristoteles dalam tulisannya yang berjudul Poetika meletakkan dasar untuk studi jenis sastra. Ia sadar bahwa karya sastra dapat digolongkan menurut berbagai kriteria; menurutnya ada tiga macam kriteria yang dapat dijadikan patokan (berdasarkan sastra Yunani klasik, namun teori ini banyak cocoknya untuk sastra lain), sebagai berikut (Teeuw, 1984: 108).

1. Sarana perwujudannya (media of representation): a. prosa

b. puisi: yang satu matra (contohnya: syair) dan yang lebih dari satu matra (contohnya tragedi, kakawin)

(Dalam pembagian ini pada prisipnya tidak dibedakan antara sastra dan bukan sastra)


(15)

2. Obyek perwujudan (objects of representation): yang menjadi obyek pada prinsipnya manusia, tetapi ada tiga kemungkinan:

a. manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik Homeros, cerita Panji

b. manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi, lenong

c. manusia rekaan sama dengan manusia nyata: Cleophon (bila ketika itu sudah ada roman pastilah masuk kategori ini)

3. Ragam Perwujudannya (manner of poetic representation):

a. teks sebagian terdiri dari cerita, sebagian disajikan melalui ujaran tokoh (dialog): epik

b. yang berbicara si aku lirik penyair: lirik c. yang berbicara para tokoh saja: drama

Teeuw (1984: 110-113) juga mencatat pendapat beberapa pakar yang mempermasalahkan dinamika jenis sastra, sebagai berikut. Menurut Culler, pada asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca, agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan, dan dengan demikian dimungkinkan sekaligus penyesuaian dengan dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Menurut Todorov, batasan jenis sastra oleh karena itu merupakan suatu kian kemari yang terus menerus antara deskripsi fakta-fakta dan abstraksi teori. Menurut Claudio Guillen, jenis sastra adalah undangan atau tantangan untuk melahirkan wujud. Konsep jenis memandang ke depan dan ke belakang sekaligus. Ke belakang ke karya sastra yang sudah ada dan ke depan ke calon penulis. Menurut Todorov, setiap karya agung, per definisi, menciptakan jenis sastranya sendiri. Setiap karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dan norma, norma jenis yang dilampauinya yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma jenis yang diciptakannya. Demikian juga menurut Hans Robert Jausz, bahwa jenis sastra per definisi tidak bisa hidup untuk selamanya, karya agung justru melampaui batas konvensi yang berlaku dan membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku, kaku, tetapi berubah terus, luwes dan lincah. Peneliti sastra harus mengikuti perkembangan itu dalam penelitiannya. Teeuw menambahkan bahwa dalam penelitian sistem jenis sastra, tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik: karya sastra selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya.


(16)

Sehubungan dengan pernyataan tersebut Luxemburg dkk. (1989: 107) menuliskan bahwa penjenisan sering kali tidak hanya deskriptif tetapi juga preskriptif, yakni membuat peraturan-peraturan, sehingga pengarang akan bangga bila dapat memenuhinya. Hal inilah yang disebut dengan estetika identitas. Sedang sikap pertentangan yang mendobrak peraturan-peraturan (konvensi) jenis sastra tertentu disebut estetika oposisi.

Dalam sejarah sastra di Indonesia juga banyak sastrawan yang terkenal dengan penentangan konvensi dan pembaruan-pembaruannya yang kemudian diikuti oleh sastrawan-sastrawan di belakangnya yang kemudian menyuarakan jenis sastra baru, misalnya Chairil Anwar. Dalam sastra Jawa dikenal nama Intojo yang mengenalkan jenis soneta pada sastra Jawa sehingga ia disebut sebagai bapak soneta sastra Jawa Modern. Juga dikenal nama Iesmaniasita yang memberontak aturan-aturan tradisi sastra Jawa sebelumnya. Ia menuliskan pemberontakannya dalam puisinya yang berjudul Kowe Wis Lega? dan cerpen Jawanya Tiyupan Pedhut Anjasmara. Puisi Kowe Wis Lega, antara lain mempertanyakan, yang terjemahannya sebagai berikut. “O, kawan, sudah puaskah kamu, menyanyikan lagu warisan ?”. Tokoh utama dalam cerkak Tiyupan Pedhut Anjasmara menolak penilaian baik terhadap karya Wicara Keras, Darmasunya, dsb.. Penilaian baik itu dianggap sebagai tiyupan pedhut atau ‘ hembusan kabut’ yang berkonotasi negatif (Hutomo, 1993: 2002-2004).

Dewasa ini dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah tampak bahwa penjenisan sastra diterapkan secara sederhana dengan menekankan bentuk material atau lahiriahnya saja. Secara lahiriah Luxemburg, dkk. (1989) menuliskan bahwa sebuah cerita (fiksi) mengisi seluruh permukaan halaman. Sedang dalam teks drama dijumpai banyak bidang putih, khususnya bila pembicaranya ganti. Nama-nama pelakunya dicetak secara khusus sehingga meyakinkan sebagai drama. Dalam hal puisi pun biasanya halaman tidak terisi penuh (larik-lariknya tidak panjang) dan bait-baitnya dipisahkan oleh bidang-bidang putih atau larik-larik kosong. Perbedaan antara roman dan novel ditentukan panjangnya teks atau jumlah kata.

Luxemburg, dkk. (1989) juga membagi bab-bab dalam bukunya menjadi teks-teks naratif, teks-teks drama dan teks-teks puisi. Teks naratif sering disebut juga jenis fiksi yang biasanya berbentuk prosa atau disebut prosa fiksi. Luxemburg membatasi teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan


(17)

yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa. Teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur.

Bila ditinjau secara pragmatis, ada keunggulan masing-masing jenis tersebut. Jenis prosa atau gancaran, memiliki keunggulan-keunggulan komunikatif, antara lain: lugas dan jelas. Lugas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan kosa kata sehari-hari sehingga lebih mudah untuk dicerna pembaca. Sedang jelas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan stuktur gramatikal sesuai dengan standar bahasa formal yang berlaku. Kedua sifat gancaran tersebut berimplikasi lebih lanjut pada sifat yang lebih komunikatif. Artinya, sangat memungkinkan bagi pembaca untuk memahami isinya dalam waktu yang relatif singkat. Pembaca mengerti dan memahami hanya dengan sekali baca.

Jenis puisi meniliki keunggulan-keunggulan estetis, yakni antara lain menekankan pemilihan diksi yang padat, bebas dan indah. Padat, artinya bahwa dalam satu kata puisi dapat menampung keluasan makna imajinatif sehingga menawarkan pemaknaan yang relatif sangat dalam. Bebas, maksudnya tidak sangat terikat oleh kaidah-kaidah linguistis, seperti halnya kaidah gramatikal. Larik-larik puisi tidak harus berstruktur seperti kalimat formal, ada subyeknya ada predikatnya dan seterusnya. Indah, maksudnya menekankan pentingnya segala unsur yang bernilai keagungan seni. Ketiga sifat puisi tersebut secara estetis membuatnya tidak kaku tidak membosankan dan kaya akan makna.

Jenis drama menekankan dialog dan lakuan yang mengarah pada konflik para pelakunya. Jenis ini tentu saja memiliki keunggulan aksi dramatik. Artinya, jenis drama lebih banyak menawarkan gerak laku dan pembicaraan efektif yang berisi alur cerita. Dengan demikian pengekspresiannya diaktualisasikan dalam pertunjukan.

Dari segi cara sarana penuangan idenya atau cara penyebarannya, karya sastra dapat dibedakan menjadi sastra tulis, yakni menggunakan sarana tulisan, dan sastra lisan, yakni yang disebarkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. D. Pendekatan terhadap Karya Sastra


(18)

Karya sastra pada dasarnya menyangkut berbagai aspek, yakni tentang karya sastra itu sendiri (segi intrinsik) dan berbagai aspek kehidupan (segi ekstrinsik). Oleh karena itu perihal teori sastra juga mencakup aspek yang sangat luas, yakni seluas ilmu yang ada dalam kehidupan ini yang tercakup dalam ilmu kebudayaan secara umum. Dengan demikian, teori sastra berhubungan dengan semua unsur kebudayaan, yakni bahasa, kesenian, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, ekonomi, teknologi, dan religi.

Pada mulanya, teori sastra setidak-tidaknya menyangkut tiga hal, yakni teori moral, teori formal dan teori sosial. Teori moral berkembang dalam sastra sejak semula. Secara moral, karya sastra bernilai dalam rangka pemaknaan pada pengalaman pribadi perorangan untuk membangun moralitasnya. Bagi ahli moral, nilai karya sastra tidak semata-mata terletak pada estetikanya, melainkan fungsi moralnya. Pada akhirnya nilai karya sastra ditentukan oleh sumbangannya kepada pengalaman orang dalam perkembangan moralnya pada keseluruhan hidupnya, dalam rangka kemajuan dan kedamaian dalam sejarah suatu masyarakat.

Teori formal muncul lebih belakangan, lebih kompleks, dan lebih canggih. Dengan teori formal, sastra dapat diungkapkan secara beragam bentuk, berjenis-jenis. Teori formal juga telah merambah ke arah estetika sastra. Karya sastra dipandang sebagai struktur-struktur tertentu dengan fungsinya masing-masing. Teori formal mengandaikan pentingnya struktur karya sastra itu, sehingga pada tataran tertentu menolak hubungan karya sastra dengan dunia di luar karya sastra yang bersangkutan. Pada tataran tertentu, secara ideal karya sastra adalah otonom, terlepas dari pengarang dan kehidupannya, terlepas dari sejarah kemunculannya, terlepas dari lingkungan sosialnya.

Teori sosial menganggap sastra adalah gejala sosial. Teori ini mengacu pada landasan sosial yang melatar-belakangi munculnya suatu karya sastra, hubungan karya sastra dengan kelompok sosial tertentu, hingga fungsi karya sastra dalam kehidupan kelompok sosial tertentu. Pada tataran tertentu teori ini sampai pada teori komunikasi, yakni karya sastra sebagai sarana komunikasi. Pengarang menulis karya sastra untuk mengkomunikasikan segala ide atau gagasan serta segala amanatnya, yang disampaikan kepada masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya, muncul berbagai pendekatan, antara lain yang dicetuskan oleh Abrams, suatu teori sastra menyangkut empat situasi karya sastra secara menyeluruh, yakni pencipta (pengarang), karya sastra itu sendiri,


(19)

alam semesta, dan pembaca (Teeuw, 1984: 50). Dengan demikian teori sastra di samping membicarakan karya sastra itu sendiri yang berhubungan dengan struktur karya sastra dan makna karya sastra; juga berhubungan dengan latar belakang yang menyangkut alam dan kehidupan manusia di sekitar munculnya karya sastra; berhubungan dengan pengarang dan proses penciptaan karya sastra; dan berhubungan dengan pribadi pembaca atau lingkungan masyarakat pembaca.

BAB II KHASANAH SASTRA JAWA A. Pandangan Filosofis sebagai Bingkai Sastra Jawa

Di atas telah disinggung bahwa karya sastra (Jawa) sedikit atau banyak akan terikat oleh konvensi yang ada pada masing-masing jenis sastra yang bersangkutan. Konvensi yang ada dalam setiap jenis sastra Jawa, tentu saja tidak akan bertentangan dengan idealisme filosofis yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Memang tidak mudah menangkap idealisme filosofis Jawa yang mana yang tercermin dalam tiap-tiap jenis sastra, bahkan tiap-tiap teks sastra. Namun demikian, setidak-tidaknya dinamika kebudayaan Jawa secara luas mestinya tetap diacu dalam penciptaan teks-teks sastra baru maupun dalam pemaknaannya.

Dengan pandangan di atas, setidak-tidaknya harus ditekankan pengertian adanya pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan besar yang telah masuk dalam eksistensi kebudayaan Jawa dari waktu ke waktu. Adanya budaya animisme-dinamisme sebagai dasar kehidupan budaya nenek moyang, pengaruh budaya Hindu-Budha yang saat ini masih tercermin dalam berbagai cerita wayang purwa, pengaruh budaya Islam yang kemudian tercermin dalam sastra suluk, sastra


(20)

tuntunan, wayang menak, dsb., serta pengaruh budaya Barat yang kemudian tampak pada kehidupan sastra Jawa modern, hingga pengaruh kompleksitas nasionalisme yang kemudian memunculkan sastra-sastra Jawa bervisi Indonesia, adalah contoh-contoh yang harus dicermati. Demikian pula pengaruh globalisasi yang pada akhirnya membawa dampak pada berbagai kehidupan berkesenian, termasuk bersastra Jawa.

Menurut A. Teeuw (1984: 101), sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan dan kebebasan, antara konvensi dan inovasi. Dengan demikian, kehidupan sastra Jawa akan selalu menjadi anak bangsa (Jawa) sekaligus juga menjadi anak jamannya. Artinya, nilai-nilai budaya Jawa yang merupakan hasil perenungan dan pengendapan dari berbagai benturan budaya asli dan asing, akan selalu mendasari penciptaan karya sastra Jawa, sekaligus juga terjadi tawar-menawar dengan berbagai budaya yang berlaku secara up to date di Jawa. Tidak mustahil bila beberapa waktu yang lalu muncul ketoprak dengan bahasa Indonesia, tetapi secara substantif tetap berisi budaya Jawa secara kental. Sebaliknya, karya-karya yang berbau postmodernisme hingga dekonstruksi juga mewarnai karya-karya sastra Jawa, seperti tampak pada berbagai sastra cerkak, ketoprak plesetan, dsb.

B. Sastra dan Bahasa Jawa

Pembicaraan mengenai sastra Jawa, pada dasarnya membicarakan karya sastra yang berbahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun bahasa Jawa baru, dengan latar belakang pengaruh kebudayaan tertentu dan dalam jenis sastra dan bentuk sastra tertentu.

Telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa secara historis atau secara vertikal sastra Jawa menggunakan media bahasa Jawa yang meliputi bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan dan Bahasa Jawa Baru. Sedang secara horizontal, terdapat bahasa standar atau baku dan bahasa dialek tertentu. Dewasa ini setidak-tidaknya terdapat bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta yang dianggap sebagai bahasa standar, bahasa dialek Banyumasan dan bahasa dialek Jawa Timuran. Dalam rangka karang-mengarang, pada umumnya menggunakan bahasa standar, namun juga tidak tertutup kemungkinan penggunaan dialek tertentu sebagai warna lokal (local colour) yang memunculkan efek suasana cerita menjadi


(21)

semakin hidup. Bahkan karya sastra Jawa dengan pengantar dialek tertentu akan memperkaya khasanah sastra Jawa.

Bahasa Jawa Kuna dalam arti luas, dapat dibedakan dalam dua istilah, yakni bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan dengan ciri-cirinya masing-masing. Bahasa Jawa Kuna, di samping dipakai dalam beberapa bentuk prosa, dipakai dalam bentuk puisi kakawin. Sedang bahasa Jawa Pertengahan, di samping dipakai dalam beberapa bentuk prosa, juga dipakai dalam bentuk puisi kidung.

Menurut Poerbatjaraka (1964: 68), penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam kehidupan sehari-hari hanya sampai pada waktu sebelum berdirinya kerajaan Singasari. Setelah itu, orang sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada jaman Majapahit, bahasa Jawa Pertengahan sudah menjadi bahasa sehari-hari dan bahasa umum. Namun demikian dalam bahasa sastra, para pujangga Majapahit masih menggunakan bahasa Jawa Kuna, seperti dalam Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan sebagainya, bahkan tradisi penulisan sastra dengan bahasa Jawa Kuna masih dapat ditemukan di Bali pada jaman modern ini.

Adapun menurut Zoetmulder (1983: 29-37), istilah bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan bukanlah semata-mata pembagian secara kronologis, bahwa Jawa Pertengahan berawal dari bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Pertengahan tidak menjembatani bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Modern. Pembagian kronologis berdasarkan bahasa sering merupakan landasan yang rapuh, yang harus dipertimbangkan lebih jauh berdasarkan bukti-bukti lain.

Zoetmulder mengetengahkan fakta kerapuhan bukti linguistis atau evidensi intern itu antara lain sebagai berikut.

C. Kitab Siwaratrikalpa (Lubdhaka) yang semula ditafsirkan sebagai hasil dari bagian pertama abad ke-13 atau awal Singasari, tetapi penelitian terakhir membuktikan bahwa kitab itu berasal dari bagian kedua abad ke-15 atau akhir Majapahit. Jadi terpaut dua setengah abad.

2) Bukti yang lain bahkan di Bali beberapa kakawin merupakan hasil penulisan abad ke-19.

3) Dalam sastra kidung pun cara penulisan raja pelindung pada bagian introduksi atau bagian epilog yang sering ada dalam tradisi penulisan kakawin, tidak terjadi pada jenis kidung, sehingga kepastian umurnya sangat lemah. Disamping itu sastra kidung tampak bukan meneruskan tradisi Jawa Kuna.


(22)

4) Terdapat bukti pada sejumlah piagam dari periode Majapahit paling tua, bagian kedua abad ke-14, yang berbahasa Jawa Pertengahan dan mendekati bahasa Jawa Modern.

5) Terdapat bukti dua karya tentang agama Islam yang berbahasa Jawa Modern yang dibawa oleh pelayaran Belanda dan dihadiahkan ke perpustakaan Universitas Leiden pada tahun 1597. Dua karya yang berbahasa Jawa Modern itu tentu saja ditulis sebelum tahun 1597, yakni pada abad ke-16.

Dengan demikian pada abad ke-16 sebenarnya sudah terdapat tiga jenis bahasa sekaligus, yakni Jawa Kuna, Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Namun demikian hingga kini belum jelas pemetaannya, di daerah bagian mana atau situasi seperti apa berlaku bahasa Jawa Kuna, berlaku bahasa Jawa Pertengahan atau bahasa Jawa Baru.

Secara umum dapat dikatakan bahwa daerah tertentu memiliki latar belakang budaya tertentu yang sering berbeda dengan daerah lain. Dalam bahasa Jawa hal itu tercermin dalam konsep desa mawa cara negara mawa tata, yang berarti ‘desa mempunyai tata caranya sendiri-sendiri dan negara juga mempunyai aturan masing-masing’. Bila memungkinkan untuk diketahui bahwa suatu karya sastra berasal dari daerah tertentu dan pada waktu tertentu, maka berbagai hal di dalamnya akan lebih memungkinkan untuk dikaji dalam hubungannya dengan latar belakang budaya daerah yang bersangkutan.

Masing-masing dari ketiga jenis bahasa Jawa di atas, juga memiliki karakteristik yang khas, yang berhubungan dengan karakteristik sosial tertentu dan estetikanya masing-masing. Sebagai misal, bahasa Jawa Kuna, dalam banyak kasus menekankan aspek keindahan (kalangwan) dalam hubungannya antara penyair dan karya sastranya dengan raja, dewa dan lingkungan alam, baik alam dalam pola pikir di India maupun di Jawa. Bahasa Jawa Pertengahan, pada beberapa hasil sastra kidung tampak menekankan aspek historis dan penokohan pahlawan-pahlawan tertentu, serta kondisi lingkungan sosial di Jawa terutama dari Kerajaan Majapahit. Sedang pada bahasa Jawa Baru, sebagiannya merupakan penulisan kembali karya-karya sastra lama, sebagiannya lagi merupakan karya baru yang bernuansa Islami atau lingkungan sosial pada jaman Pesisiran, atau karya-karya jaman Mataram. Sebagian lagi merupakan karya modern yang telah mendapat pengaruh Barat dengan menekankan kehidupan keseharian.


(23)

Yang perlu juga dicatat adalah bahwa dalam bahasa Jawa Baru ditekankan adanya undha-usuk, yakni tataran kebahasaan dalam hubungannya dengan status pembicara terhadap orang yang diajak berbicara. Dalam konteks sosial, penggunaan bahasa jawa Baru telah membantu pengkajian sastra untuk merekonstruksi struktur sosial yang ada dalam karya sastra dalam hubungannya dengan struktur sosial yang sesungguhnya dalam realita kehidupan orang Jawa.

Di samping hal-hal di atas, dalam hubungannya dengan jenis karya sastra Jawa, sering kali dijumpai jenis-jenis sastra Jawa tertentu yang banyak menekankan penggunaan bahasa Jawa tertentu pula. Dalam sastra wayang, misalnya, meskipun muncul dengan bahasa Jawa Baru pada dekade belakangan, namun penggunaan bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan masih relatif dominan. Dalam sastra suluk atau wirid dan sastra Islami lainnya, termasuk sastra Pesisiran, tentu saja penggunaan bahasa dengan pengaruh bahasa Arab akan tampak dominan. Sedang dalam sastra Jawa yang berjenis novel, novelet cerpen (cerkak), geguritan, dan sandiwara modern, penggunaan bahasa Jawa Baru sehari-hari tampak paling dominan.

Dalam hubungannya dengan bentuk puisi tembang, di sana-sini banyak menggunakan kosa kata yang disesuaikan dengan kepentingan kaidah tembang yang bersangkutan, sehingga pada umumnya banyak menggunakan kosa kata bahasa yang khas untuk tembang. Sebagai contoh kata Mataram sering diganti dengan kata Mentawis atau Matarum atau Ngeksiganda demi mendapatkan bunyi vokal akhir baris (guru lagu) atau jumlah suku kata pada baris tertentu (guru wilangan) yang sesuai. Demikian pula baris Anoman sampun malumpat dapat saja dibalik menjadi Anoman malumpat sampun, juga demi ketentuan guru lagu, dsb.

Dalam hubungannya dengan pengkajian dan pemaknaan sastra, khususnya sastra Jawa, tentu saja hal-hal di atas tidak boleh diabaikan, mengingat makna karya sastra tidak terlepas dari latar belakang sejarah karya sastra yang bersangkutan, termasuk sistem kebahasaan masing-masing. Meskipun demikian, pengungkapan tentang latar belakang sejarah karya sastra bukanlah hal yang sederhana dan menjadi persoalan tersendiri dalam sejarah sastra Jawa, karena berbagai kendala yang melekat pada karakteristik jenis-jenis sastra Jawa tertentu. C. Tradisi Alih Bahasa dan Menyalin Teks


(24)

Dalam kehidupan khasanah sastra Jawa, masalah penciptaan sastra juga diwarnai oleh tradisi alih bahasa dan tradisi menyalin teks. Tradisi alih bahasa adalah tradisi menterjemahkan teks, yakni terjadi khususnya pada penerjemahan teks-teks sastra berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuna, Jawa Kuna ke bahasa Jawa Baru, bahasa Melayu ke bahasa Jawa Baru, dsb. Tradisi menyalin teks bisa terjadi dari huruf Jawa ke huruf Jawa, dari huruf Arab ke huruf Jawa, dari huruf Arab ke huruf Latin, dari huruf Jawa ke huruf Latin, atau sebaliknya dari huruf Latin ke huruf Jawa.

Yang menjadi catatan dalam rangka teori sastra Jawa adalah bahwa dalam kedua tradisi tersebut di atas sering terjadi empat macam hasil, sebagai berikut. Pertama, penerjemah atau penyalin sangat mampu dan setia menerjemahkan atau menyalin, sehingga hasilnya sama dengan teks induknya. Kedua, penerjemah atau penyalin mampu dan setia menerjemahkan atau menyalin, tetapi oleh karena faktor manusiawi, terjadi kesalahan dan hasilnya berbeda dengan teks induknya. Ketiga, penerjemah atau penyalin memang sengaja membuat terjemahan atau salinannya berbeda dengan teks induknya, oleh karena tujuan tertentu. Keempat, penerjermah atau penyalin kurang atau tidak mampu melaksanakan tugasnya, sehingga hasilnya berbeda dengan teks induknya.

Dengan kejadian tersebut, menjadikan teks-teks sastra Jawa sebagai ladang luas dan subur bagi pengkajian filologi.. Hasil dari pengkajian tersebut, di samping mendapatkan teks aslinya, mendapatkan teks edisi kritis, juga menghasilkan pengetahuan tentang visi dan misi penerjemah atau penyalin. Dalam rangka pemaknaan karya sastra, sangat mungkin didapatkan makna-makna yang baru dari teks terjemahannya atau teks salinannya, yang berbeda dengan makna dari teks aslinya. Dalam hubungannya dengan hal di atas, Teeuw (1984: 216) mencatat bahwa dalam sastra Jawa proses saduran atau penjarwaan, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta, perlu mendapatkan perhatian yang serius, yakni dalam rangka resepsi sastra, karena akan memberi sumbangan yang sangat penting terhadap sejarah sastra dan lebih luas pada pengetahuan mengenai konteks sosio-budaya tertentu.

D. Tradisi Lisan dan Tulisan

Dalam tradisi sastra Jawa, seperti juga tradisi-tradisi yang lain, di samping dalam tradisi tulis, juga diwarnai tradisi penyebaran sastra melalui tradisi lisan.


(25)

Tradisi lisan merupakan tradisi yang ditularkan dari mulut ke mulut secara turun temurun.

Dalam tradisi sastra Jawa, antara tradisi lisan dan tulisan berjalan bersama, sehingga sering sekali terjadi saling mempengaruhi. Sebagai contoh, tradisi wayang purwa dan seni kethoprak, yang semula lebih berkembang dalam tradisi lisan, akhirnya juga berkembang dalam tradisi tulis. Namun demikian sebagian hasil sastra tulis kemudian juga berkembang dalam tradisi lisan, seperti tradisi wayang purwa dan kesenian kethoprak tersebut.

Tradisi lisan memiliki karakteristik luwes, sangat mampu menyesuaikan situasi dan kondisi di mana ia berkembang. Oleh karena itu perubahan demi perubahan bisa terjadi begitu saja dengan cepatnya. Hal ini berbeda dengan tradisi tulisan yang mencatat segala yang ada dengan lebih statis, bisa dibaca dalam kondisi yang relatif sama dalam jangka waktu yang lama. Dengan kata lain tradisi tulis telah membakukan eksistensi teksnya. Apabila suatu tradisi lisan berkembang dalam bentuk tulisan maka pada saat pertama penulisan itu, berbagai perubahan yang telah terjadi dalam tradisi lisan sebelumnya, menjadi tertulis dan cenderung menjadi baku. Dengan demikian dalam tradisi tulis semacam ini dapat menjadi semacam titik-titik stasioner perubahan.

Dalam sastra Jawa hal tersebut mungkin juga terjadi pada persebaran teks-teks sastra tertentu, khususnya pada lakon-lakon wayang purwa dan dongeng-dongeng atau legenda-legenda tertentu. Dengan demikian perlu dicermati lebih jauh, pemaknaan karya sastra Jawa dalam hubungannya dengan persebaran melaui tradisi lisan dan tulisan yang telah saling mempengaruhi.

E. Sang Kawi, Pujangga atau Pengarang Sastra Jawa

Penamaan pujangga atau pengarang pada dasarnya dibedakan dalam kemampuannya, masa hidupnya, dan popularitasnya. Pujangga hidup pada jaman kekuasaan para raja Jawa. Khususnya dalam sastra Jawa Kuna, penyair biasa disebut Sang Kawya atau Ra Kawi atau Sang Kawi, sedang lembaganya sering disebut Para Kawi yang mungkin bisa disejajarkan dengan ‘Jawatan Kebudayaan dan Kesusasteraan’. Istilah kawi sendiri bisa berarti ‘seorang penyair’ tetapi juga bisa berarti lebih luas, yakni ‘seseorang yang mahir atau mempelajari buku-buku’ atau ‘seseorang yang mahir dalam kitab-kitab suci’ (Zoetmulder, 1983: 184-186).


(26)

Dalam istilah Jawa, pujangga juga sering disebut kawitana, kawiwara, atau kawiswara. Menurut Padmosoekotjo (tt, jld I: 13) dan Padmawarsita (dalam Serat Ranggawarsita, Cod. Or. 6467: 12), pujangga harus memiliki delapan macam kemampuan, yakni sebagai berikut.

1). Paramengsastra, yakni ahli dalam bidang sastra dan bahasa, menguasai tentang bunyi, rasa dan makna bahasa sastra.

2). Paramengkawi, yakni ahli mencipta sastra atau mengarang, terutama dalam penggunaan bahasa Kawi (Bahasa Jawa Kuna dan bahasa yang sering dipakai oleh para Pujangga yang sering disebut Kawi Miring). 3). Awicarita, yakni pandai mendongeng atau bercerita dengan menarik dan dapat menjadi pedoman hidup manusia.

4). Mardawa lagu, yakni pandai dan halus dalam hal membuat tembang dan gendhing.

5).Mardawa basa, atau mardi basa yakni pandai menggunakan bahasa yang menyenangkan, yang menyentuh perasaan, membangkitkan rasa kasih, dan sebagainya.

6). Mandraguna, yakni ahli dalam cipta sastra dan dalam hubungannya dengan hal kesaktian dan supranatural.

7). Nawung kridha, yakni halus budi dan perasaannya hingga mampu membaca perasaan orang lain.

8). Sambeguna, yakni bijaksana atau baik budi.

Dalam hal kata pujangga, ada kemungkinan berasal dari kata empu janggan yang berarti ‘tuan guru’ seperti yang terdapat dalam kitab Pararaton yang antara lain menyebutkan Empu Janggan ing Sagenggeng yang berarti ‘tuan guru di Sagenggeng’ (Asia Padmopuspito, tt: 18). Namun dimungkinkan juga berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kata bhujangga yang berarti ‘ular’ atau ‘naga’. Tidak mengherankan bahwa tanda tangan R. Ng. Ranggawarsita pada beberapa naskah asli karyanya, berupa gambar seekor naga atau menyerupai naga. Ranggawarsita sendiri memang menyebut dirinya sebagai pujangga. Hal ini antara lain disebut dalam karyanya Serat kalatidha pada bait I pupuh Sinom, sebagai berikut.

Wahyaning harda rubeda / Ki Pujangga amengeti / mesu cipta mati raga / mudhar warananing gaib / ananira sakalir / ruweding sarwa pekewuh /


(27)

wiwaling kang warana / dadi badhaling Hyang Widdi / amedharken paribawaning bawana.

Oleh karena kraton, khususnya Istana Kasunanan Surakarta tidak mewisuda pujangga lagi setelah Ranggawarsita, konon pada umumnya kalangan pengamat sastra Jawa juga menyebutkan bahwa pujangga terakhir adalah R.Ng. Ranggawarsita, dan setelah itu orang sering hanya menamakan sebagai pengarang saja. Adapun, saat ini kata pengarang sering dibubuhkan untuk menyebutkan nama pengarang sastra Jawa Modern atau sastra Jawa gagrag anyar.

Penghargaan terhadap pujangga, tentu saja berpengaruh terhadap resepsi masyarakat pada makna dan nilai karya sastra. Pada sebagian masyarakat yang memegang keyakinan akan keunggulan kemampuan pujangga dan hasil karya sastranya, akan cenderung menilai karya sastra Jawa modern, yakni karya pengarang yang bukan pujangga, nilainya tidak akan melebihi makna karya sastra lama yang merupakan karya para pujangga. Hal ini tentu harus dicermati secara hati-hati dengan mendasarkan pada kekhasan karya sastra masing-masing dan kekhasan bidang kajian masing-masing. Misalnya saja dalam rangka pendekatan pragmatik, tentu harus mengingat filosofi nut jaman kelakone, empan papan, dsb, sehingga parameter penilaiannya akan berbeda-beda.

Di depan nama para penyair Jawa Kuna sering digunakan sebutan empu. Dalam sejarah sastra Jawa Kuna antara lain dikenal pujangga yang bernama Empu Kanwa (menulis Arjunawiwaha), Empu Sedah dan Empu Panuluh (bersama-sama menulis Bharatayuddha), Empu Panuluh (sendiri menulis Hariwangsa, Gatotkacasraya), Empu Triguna (menulis Kresnayana), Empu Monaguna (menulis Sumanasantaka), Empu Tantular (menulis Arjunawijaya dan Sutasoma), Empu Tanakung (menulis Lubdhaka atau Siwaratrikalpa), Empu Prapanca (menulis Nagarakertagama), dan Empu Dharmaja (menulis Smaradahana).

Pada sastra Jawa Kuna, khususnya dalam kakawin, penyebutan nama penyairnya sering terdapat dalam bagian manggala yakni bagian introduksi atau prolog, atau kemungkinan lain terdapat di bagian epilog, yang biasanya juga untuk menyebut-nyebutkan nama raja pelindungnya serta dewa yang dipujanya. Dalam sastra Jawa Pertengahan tradisi yang demikian itu tidak terjadi. Nama penulis kidung (Jawa Pertengahan) harus dicari pada bagian lain. Sering kali baik dalam kakawin maupun dalam kidung, nama penyairnya harus ditentukan dengan membandingkan pada karya-karya yang lain atau dari bukti-bukti lain.


(28)

Dalam satra Jawa Baru, penyebutan empu tidak lagi lazim. Pada jaman Islam (Jaman Demak dan Pajang), antara lain tersebut nama Sunan Bonang dalam Suluk Wujil, Sunan Panggung sebagai penulis Suluk Malang Sumirang, dan Pangeran Karanggayam sebagai penulis Nitisruti, dsb.

Pada jaman Mataram diantaranya dikenal para pencipta sastra sebagai berikut. Raja Sultan Agung menulis Nitipraja dan Sastragendhing. Pangeran Adilangu menulis Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Pajang, dan Babad Mataram. Carik Bajra menulis Serat Damarwulan dan Babad Kartasura. Ranggadjanur menulis Pranacitra dan Dewi Rengganis. Sunan Pakubuwana IV menulis Wulang Reh dan Wulang Sunu.

Sunan Pakubuwana V menulis Serat Centhini. R.Ng. Yasadipura I (Yasadipura Tus Pajang) menulis Cebolek, Babad Pakepung, Babad Giyanti, Serat Rama, Serat Dewaruci, Ambiya, Tajusalatin, Serat Menak, Joharmanik, Nawawi, Bustam, Serat Sewaka, Serat Panitisastra, dan Serat Lokapala. R.Ng. Yasadipura II (R.T. Sastranagara) menulis Sasanasunu dan Wicarakeras. Ng. Sindusastra menulis Arjunasasrabau, Partayagnya (lakon Partakrama), Srikandhi Maguru Manah dan Sumbadra Larung. K.G. Mangkunegara IV menulis Wedhatama, Buratwangi, Sendhon Langenswara, Panembrama, Tripama, Salokatama, Wirawiyata, dan Rerepen.

R. Ng. Ranggawarsita menulis Jayengbaya, Widyapradana, Hidayatjati, Jayabaya, Purwakaning Serat Pawukon, Pustakaraja Purwa, Rerepen sekar Tengahan, Sejarah Pari Sawuli, Uran-uran Sekar Gambuh Warni Pitu, Panitisastra, Bratayuda Jarwa Sekar Macapat, Cakrawati, Sidawakya, Pawarsakan, Darmasarana, Yudayana, Budayana, Pustakaraja Madya, Ajipamasa, Witaradya, Ajidarma, Pambeganing Nata Binathara, Kalatidha, Sariwahana, Purusangkara, Wedhayatmaka, Wedharaga, Cemporet, Wirid, Paramayoga, Jakalodhang, Sabdatama, dan Sabdajati.

P. Kusumadilaga menulis Serat Bale Si Gala-gala, Jagal Bilawa, Kartapiyoga (Endhang Werdiningsih), Jaladara Rabi, Kurupati rabi, Serat sastramiruda, dan Serat Partadewa

Setelah abad XX, antara lain tercatat para penulis sebagai berikut. Ki Padmasusastra menulis Tatacara, Pathibasa, Paramabasa, Warnabasa, Urabsari, Durcaraharja, Rangsang Tuban, Kandhabumi, Kabar Angin, dan Prabangkara.


(29)

M. Ng. Mangunwijaya menulis Purwakanthi, Trilaksita, Jiwandana, Asmaralaya, Lambangpraja, dan Wuryalocita. R Ng. Sidupranata menulis Sawursari. Ng. Sastrakusuma menulis Dongeng Kuna

R. T. Tandhanagara menulis Pepiling dan Baruklinthing. M. Suryasuparta (K.G. Mangkunegara VII) menulis Kekesahan saking Tanah Jawi dhateng Negari Walandi, dan Serat Pakem Pedhalangan Ringgit Purwa. R.M. Sulardi menulis Serat Riyanta. Bratakesawa menulis Candrasangkala. Wiradad menulis Calonarang. M. Sukir menulis Abimanyu Kerem. Sastrasutarna menulis Bancak Dhoyok Mbarang Jantur. Mas Sumasentika menulis Buta Locaya. (Padmosoekotjo, t.t, jld. II: 152-153). Mengenai para pengarang dan hasil karya sastra Jawa modern, agar lebih lengkap dapat dilihat juga dalam J.J. Ras, (1979: 1-30).

Khususnya pada karya sastra Jawa Kuna, Pertengahan dan beberapa karya sastra Jawa Baru yang termasuk tua (hingga karya Jaman Mataram), ditemukan naskah-naskah sastra yang tidak diketahui siapa pengarangnya. Hal ini sebagiannya mungkin merupakan kesengajaan pengarang yang memang tidak mau menyebutkan atau mencantumkan namanya pada karya sastranya itu. Namun demikian sebagiannya mungkin pada bagian-bagian yang biasanya untuk menyebutkan nama pengarangnya, telah rusak dan tak terbaca lagi.

Dalam tradisi kepenulisan karya sastra Jawa, disamping pujangga dan pengarang, seperti telah disinggung di atas, masih ada lagi yakni penulis, penyalin atau penurun atau penerjemah, karena terdapat tradisi penyalinan teks dan terdapat tradisi penulis sebagai suruhan raja atasannya. Dalam sejarah sastra Jawa banyak sekali hasil karya sastra yang merupakan salinan atau turunan atau saduran atau terjemahan (jarwa) dari teks-teks sastra yang sudah ada sebelumnya. Namun ada juga yang mengarang atau menyalin dalam rangka suruhan pihak lain. Dalam hal menyalin, sebagian penyalin bersikap sangat setia dalam mempertahankan keaslian teks sehingga perbedaan teks asli dengan salinannya sedikit. Namun demikian sebagian yang lain bersikap kritis dengan menghapus, merubah atau mengganti sebagian teks yang disalinnya, sebagai tanggapan terhadap teks yang disalinnya.

Dalam tradisi sastra lisan Jawa yang ditularkan dari mulut ke mulut, hampir semua karya sastra lisan akhirnya tidak diketahui siapa pengarangnya (anonim). Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, karya


(30)

tersebut menjadi milik bersama masyarakat Jawa tetentu atau masyarakat Jawa pada umumnya. Kemungkinan kedua, muncul sebagai cerita lisan dari mulut-ke mulut bahwa suatu hasil sastra adalah karya tokoh masyarakat tertentu. Sebagai contoh, hingga sekarang jenis-jenis Tembang Macapat tidak diketahui secara pasti siapa penciptanya, namun telah menjadi legenda bahwa beberapa jenis Tembang Macapat merupakan hasil ciptaan para wali atau raja tertentu. Tradisi untuk tidak menyebutkan nama pengarang bahkan lalu menjadi ciri khas sastra lisan, khususnya sastra lisan Jawa.

Berbeda dengan hal itu, dalam sastra tulis banyak yang dengan sengaja menuliskan namanya, yang dalam tradisi Jawa disebut sastra miji, atau milik pribadi tertentu.

Dalam hal nama pengarang, ada nama asli dan bukan. Sejumlah pengarang mencoba mengabadikan namanya justru melalui nama samaran. Nama samaran, pada karya sastra Jawa Modern yang berbentuk prosa, pada umumnya dituliskan secara jelas, meskipun itu bukan nama sebenarnya.

Teknik pemilihan nama samaran sangatlah beragam. Namun demikian sebagiannya masih memungkinkan dikaitkan dengan nama aslinya. Ada yang memilih nama samaran dari suku-suku kata awal dari nama aslinya, misalnya Suhawi, nama aslinya Suwanda Hadi Wijana (penulis Rumpakan Suruping Srengenge, dan Barabudur). Ada yang memilih kata terakhirnya, misalnya Srini, nama aslinya Kusrini (penulis Larasati Modern). Any Asmara adalah bernama asli Ahmad Ngubaeni Ranusastraasmara (penulis produktif novel Jawa) . Jayadinama, nama aslinya Jayadiguna. Liasmi bernama asli Ismail (penulis cerpen Jawa Anak Kuwalon). Nama M.W Asmawinangun, banyak yang menerka itu sebagai nama samaran dari M. Ng. Mangun Wijaya (kata asmawinangun berarti ‘nama samaran’). St. Iesmaniasita, nama lengkapnya Sulistyautami Iesmaniasita (penulis geguritan dan cerpenis Jawa). Kamajaya, nama aslinya Karkana Partakusuma. Poerwadhie Atmodihardjo menggunakan banyak nama samaran, seperti Hardja Lawu, Ki Dhalang Dhengklung, Laharjingga, Prabasari, Habramarkata, Sri Ningsih, Sri Djuwarisah, Abang Istar, Kenthus, dsb. Soebagio Ilham Notodidjojo sering menggunakan nama samaran SIN atau Pak SIN, Satrio Wibowo, Anggajali, Damayanti dan Endang Murdiningsih. Soenarno Sisworahardjo menggunakan nama samaran Soesi, S.S., S. Sisworahardjo. Dan sebagainya.


(31)

Suatu tradisi dalam bentuk puisi, khususnya dalam bentuk tembang, sering kali pengarang mencantumkan nama aslinya maupun nama samarannya, melalui cara penulisan yang disandikan, yakni dengan cara yang dikenal dengan sebutan sandi asma. Kata sandi atau sandya semula berarti ‘sambung’. Kata sandyakala berarti ‘penyambung waktu, yakni antara siang dengan malam’. Namun demikian pada akhirnya kata sandi juga berarti ‘samar’ atau ‘tersamar’ atau ‘rahasia’. Kata asma berarti ‘nama’. Jadi sandiasma maksudnya nama yang tersamar (Padmosoekotjo, tt, jld II: 128). Cara-cara penulisan sandi asma, antara lain sebagai berikut.

1). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-suku kata yang mengawali setiap pupuh tembang. Yang dimaksud pupuh adalah kesatuan bait-bait tembang yang sama jenisnya. Satu judul karya sastra dapat berisi satu pupuh saja, misalnya pupuh Dhandhanggula saja, namun juga dapat berisi banyak pupuh. Satu pupuh dapat terdiri atas satu bait (pada) saja, tetapi pada umumnya terdiri atas banyak bait tembang. Contohnya dalam Serat Ajipamasa, berbunyi Rahadyan Ngabei Ronggawarsita, sebagai berikut.

Rasikaning sarkara kaesthi (pupuh Dhandhanggula) Hasasmita wadyanira (pupuh Sinom)

Dyan cepu kinon ningali (pupuh Asmaradana)

Ngawu-awu ing pamuwus nguwus-uwus (pupuh Pucung) Bela tampaning wardaya (pupuh Pangkur)

Iyeg tyas sabiyantu (pupuh Gambuh)

Rong prakara pilihen salah setunggal (pupuh Durma)

Gagat bangun angun-angun ing praja gung (pupuh Megatruh) Warnanen tanah ing Sabrang (pupuh Pangkur)

Sira Sang Prabu kalihnya (pupuh Girisa) Talitining wong abecik (pupuh Asmaradana).

2). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-suku kata yang mengawali setiap bait, dalam beberapa bait tembang, pada pupuh tertentu. Contohnya dalam Serat Sabdatama, pada pupuh Gambuh, tertulis Raden Ngabei Ronggawarsita ing Kedhungkol Surakarta Adiningrat, sebagai berikut.

Rasaning tyas kayungyun (bait ke-1) Den samya amituhu (bait ke-2)


(32)

Ngajapa tyas rahayu (bait ke-3) Beda kang ngaji pupung (bait ke-4) Ilang budayanipun (bait ke-5) Rong asta wus katekuk (bait ke-6) Galap gangsuling tembung (bait ke-7) Wartaning para jamhur (bait ke-8) Sidining kalabendu (bait ke-9) Tatanane tumruntun (bait ke-10) Ing antara sapangu (bait ke-11) Kemat isarat luhur (bait ke-12)

Dhungkari gunung-gunung (bait ke-13) Kolonganing kaluwung (bait ke-14) Supaya padha emut (bait ke-15) Rasane wong karasuk (bait ke-16) Karkating tyas katuju (bait ke-17) Tatune kabeh tumurun (bait ke-18) Amung padha tinumpuk (bait ke-19) Diraning durta katut (bait ke-20) Ninggal pakarti dudu (bait ke-21) Ngratani saprajagung (bait ke-22)

3). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-suku kata yang mengawali setiap baris dalam bait-bait tembang tertentu. Contohnya dalam Serat Tapabrata Marioneng, pada bait tembang Kinanthi, tertulis Ki Martasuwita, sebagai berikut.

Kinanthi sujanma idhup / Mardi mardaweng palupi / tama tumanem mrih bisa / susulange janma nguni / winuruk ing tapa brata / tatane wirid puniki //

4). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-suku kata yang mengawali baris-baris dan mengawali kata di tengah baris-baris tembang. Contohnya dalam Serat Sandiasma, bait tembang Sinom, berbunyi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara, sebagai berikut.

Kang kocap Jeng Sri Narendra / Gusti titikaning nagri / patih ngengeras pandriya / rancakan angereh budi / dining para


(33)

wargaji / tinata arja tan ayun / yayah manggung sulaya / kulina nala tan yukti / gagasira rarasan kang tanpa karya //

5). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-suku kata yang tersebar di tengah baris-baris pada bait tembang tertentu, baik dalam hubungannya dengan letak jeda pengambilan napas (pedhotan) tembang maupun tidak, terutama pada awal-awal kata atau akhir-akhir kata. Contohnya dalam Serat Wedhayatmaka, bait tembang Dhandhanggula, berbunyi Radyan Ngabehi Ronggawarsita, sebagai berikut.

Tan pantara ngesthi tyas artati / lir winidyan saroseng parasdya / ringa-ringa pangriptane / tan darbe labdeng kawruh / mung ngruruhi wenganing budi / kang mirong ngaruhara / jaga angkara gung / minta luwaring duhkita / haywa kongsi kewran lukiteng kinteki / kang kata ginupita //

6). Setiap suku kata dari nama pengarang dituliskan secara urut, pada suku kata-suku kata yang terdapat dalam satu baris pada tembang tertentu. Misalnya terdapat dalam Serat Kalatidha, pada baris terakhir suatu bait tembang Sinom, berbunyi Ronggawarsita, sebagai berikut.

………… / borong angga suwarga mesi martaya //

7). Nama-nama pengarang di atas dipenggal penulisannya menurut suku kata-suku katanya. Hal ini dikarenakan budaya penulisan yang masih umum pada saat itu adalah dengan huruf Jawa. Huruf Jawa pada dasarnya bersifat sylabic yakni satu huruf pada umumnya melambangkan satu suku kata. Jadi wajar bila sandiasma yang ada dengan cara mengurai tiap-tiap suku katanya. Pada perkembangannya ketika budaya menulis dengan huruf Latin sudah sangat memasyarakat, penggalan nama pengarang dalam sandiasma, sebagian berdasarkan huruf-huruf Latin (satu huruf untuk satu fonem). Contoh sandiasma yang berdasarkan huruf Latin berbunyi Sutrisna murid SGB ing Purworejo, dalam empat bait tembang Pangkur, sebagai berikut (Padmosoekotjo, tt, jld. II: 133).

Sasat mungkur basa Jawa / Umumira pra mudha jaman mangkin / Tan tumanggah ing panggregut / Ras-arasen nggegulang / Ing ajune basa Jawa mamrih luhur / Sedene duk kuna-kuna / Ngumala lir kala nguni //


(1)

semuanya?). Jika semua itu benar, maka seni pewayangan telah mengingkari hakikat seni itu sendiri yaitu bersifat kreatif dan inovatif.

Di wilayah Indonesia, kita kenal berbagai jenis seni teater yang lazim disebut ‘teater tradisional’ (telah mentradisi), ‘teater rakyat’ (karena merakyat); atau ‘teater daerah’ (berciri khas daerah). Secara konvensional, yang dimaksud teater daerah terbatas pada seni pertunjukan yang memiliki ciri khas daerah tertentu. Jenis teater yang tidak berciri kedaerahan adalah teater Barat. Perbedaan utama antara teater Barat dan teater daerah Indonesia adalah selalu adanya naskah lakon tertulis dalam produksi teater Barat (Bandem & Murgiyanto, 1996:10). Perlu dipertanyakan tentang ciri khas daerah tertentu yang mana? Bahasanya, gayanya, garapnya, apa geografisnya? Begitu pula, dalam kenyataannya sekarang, ada teater modern yang diasumsikan teater Barat tetapi tidak menggunakan naskah lakon tertulis, melainkan dengan improvisasi-improvisasi dan kata-kata mini atau sketsa, yang biasa disebut teater mini kata atau teater primitif. Misalnya, lakon Bib Bob (Rendra), dan lakon RE (Akhudiat). Sebaliknya, ada teater daerah yang menggunakan naskah lakon tertulis, dan digarap berdasarkan konvensi Barat. Misalnya Kethoprak Glinding di Solo; kethoprak, wayang orang, atau wayang kulit yang dipentaskan dan/atau ditayangkan di teve, atau dipentaskan ‘dalam rangka’. Contoh-contoh lain adalah seni-seni tradisional yang semangatnya adalah eksperimental atau eksplorasi. Apa salahnya jika teater daerah atau teater tradisional jenis wayang memanfaatkan naskah lakon tertulis, diterjemahkan atau tidak ke dalam bahasa nondaerah, dan digarap berdasarkan konvensi teater (diasumsikan Barat?). Peristiwa demikian sering juga dilakukan bagi teater Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah di Indonesia, digarap berdasarkan konvensi, gaya, dan bentuk-bentuk, atau roh teater daerah di Indonesia. Jadi, ciri-ciri kedaerahan (termasuk bahasa daerah), naskah lakon tertulis, dan konvensi yang dipakai, dalam perkembangannya sekarang, tidak cukup akurat sebagai pembeda antara Teater Daerah (di Indonesia), dan Teater Barat (tidak selalu sama dengan non-Indonesia), atau Teater Tradisional dan Teater Modern.

Beberapa contoh jenis teater rakyat, teater daerah, atau teater tradisional di Indonesia adalah: Bangsawan (Sumatra Utara); Randai (Sumatra Barat); Dermuluk (Sumatra Selatan); Makyong, Mendu (Riau, Kalimantan Barat); Mamanda (Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur); Ubrug, Longser, Bonjet (Jawa Barat); Lenong, Topeng, Blantik (Batawi); Mansres (Indramayu); Sintren (Cirebon); Kethoprak (Yogya, Solo, Jawa Tengah, Jawa Timur); Wayang (Kulit atau Purwa, Orang, Topeng, Golek, Sungging, Gedog, Kidang Kencana, Menak; Klitik atau Krucil, Kulit Perjuangan, Kulit Kancil, Potehi, Cina, atau Thithi, Beber, Madya, Tasripin, Suluh, Wahana, Pancasila, Wahyu) tersebar hampir di seluruh Jawa; Dadung Awuk (Yogya); Kuda Lumping (Yogya, Solo, Jawa Tengah, Ponorogo, Jawa Timur); Srandul (Jawa Tengah, Jawa Timur); Ludrug, Kentrung (Jawa Timur); Drama Gong, Gambuh, Arja, Topeng, Prembon (Bali); Topeng Dalang (Klaten, Jawa Tengah, Jawa Timur); Topeng (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura); Panji (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur) (Satoto 1991:121—189).

Berdasarkan contoh-contoh di atas, jelas bahwa seni teater wayang memiliki jenis paling banyak daripada yang dimiliki oleh seni teater tradisional lainnya. Jumlah jenis teater wayang dan pengelompokannya setiap pengamat bisa saja berbeda. Kesamaanya, jenis-jenis teater wayang tersebut, masing-masing, memiliki


(2)

spesifikasi dan karakteristiknya sendiri. Jenis dan ragam teater wayang itu masih akan terus berkembang dan bertambah jumlahnya.

IV

Mengapa jenis dan ragam seni pewayangan masih terus mengalami perkembangan, bahkan perubahan, baik secara kuantitas maupun kualitas seninya jika dilihat dari segi wawasan seniman wayang yang bersangkutan, konvensi, metode, pendekatan, gaya, dan teknik penggarapan yang digunakan dalam proses pementasan wayang yang dihehendaki. Jika proses perkembangan wayang akan terus berlangsung tanpa hambatan, apa lagi ancaman atau sanksi, maka hal itu mengindikasikan bahwa (1) Seni Pewayangan, termasuk Seni Pedalangan (Seni Penyutradaraan Plus), Seni Karawitan/Musik (tata musik atau suara), dan Seni Tari (tata gerak atau lakuan) yang secara konvensional merupakan komponen-komponen utama di samping komponen-komponen-komponen-komponen penting lainnya yang membangun komunitas Seni Pewayangan, bukanlah seni tradisional yang mandek, statis, baku, dan beku, melainkan dinamis seirama dengan perkembangan dan dinamika masyarakat wayang sebagai publiknya, tanpa harus mengorbankan esensi Seni Pewayangan; (2) Para pecinta dan pemerhati wayang, pengayom wayang, pengelola wayang, pemikir wayang, kritikus wayang, peneliti wayang, dan masyarakat wayang pada umumnya sebagai publiknya, bukanlah orang-orang tradisional yang fanatik akan kemapanan, sementara seniman wayang generasi penerusnya merasa resah dan gelisah terhadap kemapanan.tersebut.

Slamet Gundono, S.Kar., misalnya, dalang muda nan tambun lepasan STSI Surakarta, merasa resah dan gelisah melihat ikatan ketat kemapanan tradisi, pakem-pakem yang membelenggu kreativitas seninya (sanggit). Ia mencobaterapkan konvensi-konvensi seni teater yang pernah diterimanya, digaulinya, dan dihayatinya ke dalam pementasan Wayang Suketnya. Boneka-boneka Wayang Kulit Purwa yang memiliki makna simbolis dan karakteristik baku, hitam putih diganti dengan boneka-boneka dari suket (rumput, atau mendong) yang secara simbolis dapat dimaknai kesederhanaan.Tokoh yang menghadapi Karna untuk mengklarifikasikan sikap Karna terhadap Pandawa, khususnya Ibu Kunthi pada Perang Bharatayudha, tidak harus Kresna dan Harjuna, melainkan bisa Werkudara. Secara logika lebih masuk akal karena Werkudara bukan tak mungkin menjadi peragu atau dendam karena kematian Gatutkaca akibat senjata Kunta Wijaya Danu yang dilepaskan Karna, kakak kandung Werkudara sendiri, seibu dengan Ibu Kunthi. Tampilnya dunia fiksi dan nonfiksi dalam struktur Wayang Suket Gundono terasa lebih teatrikal dan artistik daripada adegan Limbukan dan Goro-Goro beberapa dalang akhir-akhir ini yang menjadi arena pemujaan berlebih-lebihan terhadap penanggap atau yang mensponsori pendanaan pergelarannya, sebaliknya justru terjadi pelecehan terhadap para pekerja teater wayang, dan pilihan pendengar, demi merebut pangsa pasar.

Contoh lain, pementasan Wayang Nggremeng Gundono dalam Alap-alapan Surtikanthi sebuah lakon karya Goenawan Mohamad. Tidak ada boneka wayang, tidak ada gamelan (tradisional). Gundono bukan dalang otoriter dan penafsir tunggal seperti lazimnya pergelaran Wayang Kulit Purwa. Seluruh pekerja teater Wayang Nggremeng bisa menafsirkan lakon sesuai dengan wawasan dan daya apresiasi masing-masing. Dengan demikian, makna lakon, sebagai karya


(3)

fiksi, bisa memiliki berbagai penafsiran seperti apa yang dikemukakan dalam teori dekonstruksi atau pascamodernisme (Culler 1983). Seluruh pekerja teater Wayang Nggremeng juga berperan sebagai pemain, peniru suara gamelan (pengrawit), bahkan sebagai dalang sekalipun. Mereka bisa santai makan, minum, merokok, dan bercanda tentang hal-hal yang aktual dan konteks dengan kondisi sosial, politik, ekonomi, hukum, dan hankam yang sedang menjadi isu aktual. Makanan, minuman, dan rokok berserakan di hadapan para pemain, siap dijadikan peraga atau boneka wayangnya. Gundono mengikuti jejak gurunya Gondo, bahwa cerita wayang sebagai karya fiksi bisa divisualisasikan secara nonfiksi, ditafsirkan, atau dimaknai bermacam-macam, bahkan tafsir atau makna gila-gilaan sekalipun (posmodernisme).

V

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi dan implementasi konsep seni teater terhadap perkembangan seni pewayangan bisa menyangkut di bawah ini.

Pertama, struktur teatrikalnya, misalnya komponen dalang dan seni pedalangan (sutradara dan teknik penyutradaraan); karakter (tokoh), teknik penokohan, pemeran dan teknik pemeranan (pada wayang kulit dilakukan oleh dalang berupa sabet dan cakapan); dialog (cakapan, pada wayang orang dilakukan oleh pemeran); struktur ruang (pada wayang kulit, gedebog dan kelir lambang mikro dan makrokosmos), dan struktur waktu (pathet, pengaluran, dan pengadegan); mempotensikan seluruh pekerja teater wayang secara profesional dan proporsional (niyaga atau penabuh gamelan, wirasuara, penata panggung, penata suara, penata lampu, penata properti atau perlengkapan, dan lain-lain) sehingga kreativitas mereka bisa dihargai secara profesional dan proporsional berdasarkan hasil karya kolektif mereka bersama dalang, artinya tidak sekadar memperoleh upah dari Sang Dalang.

Kedua, masalah penafsiran lakon, sanggit, dan teknik pemanggungan. Dalang bukan satu-satunya sumber penafsir dan pencipta lakon, melainkan juga seluruh pekerja teater wayang. Untuk keperluan ini, di samping dalang, setiap pekerja teater wayang perlu selalu meningkatkan wawasan, daya apresiasi, dan daya kreativitasnya terhadap Seni Pewayangan dan Seni Pedalangan sebagai karya seni kolektif.

Ketiga, perlu pengkajian dan penelitian terus-menerus terhadap masyarakat wayang (termasuk penonton, pemerhati, pengamat, kritikus, peneliti, dan pengayom) sebagai publiknya, karena perkembangannya cenderung semakin heterogen.

Keempat, masalah manajemen seni pertunjukan, terutama manajemen seni tradisional, dalam hal ini pergelaran wayang kulit purwa Jawa, umumnya masih merupakan industri atau perusahaan perseorangan di mana Dalang sebagai pemilik modal tunggal dan pemimpin tunggal sebagai majikan yang memiliki otoritas tunggal. Sedangkan para pekerja (crew) teater wayang kulit merupakan buruh-buruhnya. Kondisi demikian bisa dikaji ulang, dilakukan penelitian, dan dicarikan solusi terbaiknya sehingga menguntungkan semua pihak yang terkait dengan pergelaran wayang kulit purwa Jawa tersebut sebagai suatu karya seni kolektif dan kompleks secara proporsional dan profesional..


(4)

Kelima, dirasa perlu, penting, dan mendesak segera dicari dan ditemukan konsep atau teori seni pewayangan atau seni pedalangan, khususnya teknik penggarapan dan atau gaya pementasan wayang, demi perkembangan dan pengembangan seni pewayangan itu sendiri.

Keenam, kritik seni, khususnya kritik seni pewayangan dan/atau seni pedalangan, bukan saja perlu dilembagakan, tetapi juga perlu mendapat porsi dan kesempatan yang layak untuk melakukan kritik sesuai dengan kompetensi kritikus, serta hakikat, arti, dan fungsi kritik.

DAFTARPUSTAKA

Bachmid, Talha, 1990. Semangat ‘Dérision’ dalam Drama Kontemporer: Telaah Bandingan Dua Lakon "Kapai-Kapai" Karya arifin C Noer dan "Badak-Badak" Karya Eugène Ionesco. Disertasi. Fakultas Pascasarjana UI Jakarta. Belum diterbitkan.

Bandem, I Made & Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Jakarta: Pustaka Budaya.

Culler, Jonathan. 1983. Theory and Criticism after Structuralism. London, Melbourne and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: CV Rosda.

Hussain, Safian dkk., 1996. Glosari Istilah Kesusastraan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kemerdekaan Pendidikan Malaysia.

Rendra. 1983. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: PT Gramedia.

Satoto, Soediro. 1991a. Pengkajian Drama I. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

_____________ 1991b. Pengkajian Drama II. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

_____________ 1984. Wayang Kulit Purwa: Makna dan Struktur Dramatiknya. Penelitian. Yogyakarta: Proyek Javanologi Depdikbud RI.

______________ 1998. Tokoh dan Penokohan dalam Caturlogi Drama "Orkes Madun" Karya Arifin C Noer. Disertasi. Program Pascasarjana UI Jakarta. Akan diterbitkan.

______________ 1999a. Teater Indonesia. Makalah. Disajikan dalam Forum Simposium Nasional. Dalam rangka Festival dan Temu Ilmiah MSPI 1999 pada tanggal 09—14 September 1999, di Tirtagangga Karangasem Bali.

_______________ 1999b. Mencari Format Pedalangan Era Reformasi. Dimuat di SOLOPOS pada tanggal 30 September 1999, Halaman 4.

· DR. H. Soediro Satoto Kepada Yang Terhormat Fak. Sastra & Program Pascasarjana UNS

Jl. Ir. Sutami 36 A Sekretariat SENA WANGI Kentingan, Surakarta, 57126 Gedung Pewayangan Kautaman


(5)

Jl. Giringan 03 Jl. Raya Pintu Satu, TMII Kartasura, 57167 Surakarta Jakarta Timur 13810

Jenis primbon merupakan hasil dari penulisan tradisi sastra atau budaya lisan. Kata primbon sendiri berasal dari kata dasar (lingga) imbu dan berarti ‘simpanan’, yakni simpanan yang berupa sastra atau budaya lisan yang telah dihayati atau dipraktikkan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Dalam hubungannya dengan beberapa hal di atas, suatu ketika Umar Kayam (1981: 95-96) dalam mencermati tiga macam teater kota, berkesimpulan sebagai berikut. Pertama, kenyataan bahwa teater yang berorientasi pada nilai-nilai budaya yang sudah akrab dengan masyarakat adalah teater yang lebih mudah menemukan format khalayaknya. Dalam hal ini agaknya penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar masih merupakan faktor yang penting (Ketika itu dan entah sampai kapan, tergantung masyarakatnya).

Kedua, kenyataan bahwa teater yang mampu menggalang khalayak dalam jumlah tetap yang besar adalah teater yang “dikemas” secara komersial. Dengan lain perkataan, teater kitsch, yakni teater yang berorientasi pada kemungkinan perkembangan menjadi “seni massa” yang secara komersial menguntungkan. Teater yang sejak semula dikemas untuk dijajakkan secara komersial dengan seluwes mungkin menyesuaikan diri pada selera massa dengan tujuan bisa dicapai keuntungan yang sebesar-besarnya.

Ketiga, kenyataan bahwa teater yang memilih alternatif lain dari pada tersebut di atas akan merupakan “teater minoritas” yang akan mempunyai format dan khalayaknya yang kecil.

Pengembangan makna dari kondisi yang melatar-belakangi adalah inovasi pada masing-masing cerita yang bersangkutan. Pembicaraan tentang korupsi yang dilakukan oleh tokoh Limbuk dan Cangik dalam adegan Limbukan, misalnya,


(6)

merupakan inovasi yang memang mungkin terjadi dalam hubungannya dengan masyarakat tertentu pada waktu tertentu.

Hanya dengan menengok pada latar belakang masing-masing situasi budaya masyarakatnya itulah pemaknaan drama Jawa pada masing-masing jenis, bahkan pada masing-masing lakon, setidak-tidaknya akan terdasari.

Sebaliknya, benang merah idealisme filosofis yang dapat ditarik dari budaya animisme-dinamisme, pengaruh budaya Hindu-Budha, pengaruh budaya Islam, dan pengaruh budaya modern Barat, akan merupakan idealisme budaya Jawa yang lestari yang mungkin juga tercermin dalam setiap jenis drama, bahkan setiap teks drama Jawa, baik yang konvensional maupun yang inovatif. Berbagai makna drama Jawa yang inovatif yang keluar dari jalur benang merah di atas, bisa dipastikan bersifat subyektif dan kemungkinan sekali akan punah ditelan waktu.