PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CHILDREN’S LEARNING IN SCIENCE (CLIS) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PEMAHAMAN KONSEP HUKUM NEWTON SISWA.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Batasan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ... 9

F. Definisi Operasional ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran IPA ... 13

B. Pandangan Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA ... 16

C. Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) ... 19

D. Keterampilan Proses Sains ... 26

E. Pemahaman Konsep ... 30

F. Keterkaitan Model Pembelajaran CLIS, Keterampilan Proses Sains, dan Pemahaman Konsep ... 36

G. Konsep Hukum Newton... .. 38


(2)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian ... 48

B. Subjek Penelitian ... 48

C. Instrumen Penelitian ... 49

D. Prosedur Penelitian ... 52

E. Teknik Analisis Data ... 54

F. Alur Penelitian ... 64

BAB IV HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 66

B. Pembahasan... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 112

B. Saran dan Rekomendasi ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(3)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pembelajaran IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sering disebut dengan singkat sebagai sains. Sains (bahasa inggris: Science) berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti: 1) pengetahuan tentang, atau tahu tentang; dan 2) pengertian, pengetahuan, faham yang benar dan mendalam (Wonorahardjo, 2010). Sementara itu, Rohadi (2001 dalam Sutarno, 2011) mendefinisikan IPA sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Karena itu, perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi oleh adanya metode dan sikap ilmiah.

Menurut Sund dan Trowbribge (Suhandi, 2011) bahwa IPA merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Hal senada juga diungkapkan oleh Stone (Suhandi, 2011) yang menyebutkan bahwa IPA adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. IPA merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. "Real Science is both product and process, inseparably Joint".

Sementara itu, Sumaji, dkk. (1997) menyatakan bahwa:

”IPA merupakan bagian dari kehidupan kita dan kehidupan kita merupakan bagian dari IPA. Belajar IPA bukan hanya untuk memahami konsep-konsep ilmiah dan aplikasinya dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengembangkan berbagai nilai. Karena itu, suatu ciri pendidikan IPA adalah bahwa IPA lebih dari sekedar kumpulan fakta-fakta”.


(4)

Suparno (2006) mengemukakan bahwa orang belajar IPA khususnya fisika untuk mengerti gejala dan peristiwa alam fisis dengan hukum alamnya yang teratur. Karena itu, untuk mengerti alam yang terbaik adalah dengan mendesain agar anak langsung mengamati dan berinteraksi dengan alam. Dengan kata lain siswa harus mendapat pengalaman langsung dan menemukan sendiri proses tersebut (BSNP, 2006).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), menyatakan bahwa:

”IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya pada kehidupan sehari-hari” (Yustisia, 2007).

Merujuk pada pengertian IPA di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat IPA meliputi empat unsur utama (Yustisia, 2007), yaitu:

1. sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab-akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended;

2. proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran dan penarikan kesimpulan;

3. produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; dan

4. aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA pada kehidupan sehari-hari.


(5)

Dalam proses pembelajaran IPA, keempat unsur itu diharapkan dapat muncul, sehingga siswa dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru. Berdasarkan hakikat IPA, Driver (1988) telah menganjurkan bahwa pendidikan IPA „harus membolehkan dan mendorong anak untuk mengalami bahwa IPA merupakan hal yang menyenangkan‟, dalam hal „menjadi bagaikan seorang ilmuwan pada saat itu‟. Hal yang sama diungkapkan oleh Gilbert, J.et al (Sumaji, dkk., 1997), bahwa metode yang paling baik dalam pendidikan anak pada bidang IPA adalah dengan memperbolehkannya untuk berkelakukan sebagai seorang ilmuwan.

Drost, S.J. (Sumaji, dkk., 1997), mengungkapkan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa, dari berbagai ide mengenai pembelajaran IPA adalah kegiatan anak di kelas diantisipasi menjadi serupa dengan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para ilmuwan dalam percobaan mereka, namun dalam situasi yang berbeda.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran IPA di sekolah diharapkan memberikan berbagai pengalaman pada anak yang mengizinkan mereka untuk melakukan berbagai penelusuran ilmiah (percobaan) yang relevan daripada membaca buku (Suparno, 2006). Anak juga didorong untuk memberikan penjelasan atas pengamatan mereka dalam diskusi kelas dan melalui tulisan (Sumaji, dkk., 1997).

Pembelajaran fisika sebaiknya di desain menggunakan hands-on activities (kegiatan dengan melakukan sesuatu) dan minds-on activities. Maka model


(6)

pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstruktivisme seperti Children’s Learning In Science (CLIS) menjadi salah satu model pembelajaran yang cocok digunakan dalam pembelajaran IPA karena siswa mendapat pengalaman langsung dan menemukan sendiri proses tersebut sehingga menjalani suatu proses perubahan konsepsi (Needham, 1987).

B. Pandangan Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA

Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan itu tidak dapat ditransmisi langsung oleh guru ke dalam pikiran siswa, melainkan proses perubahan ini memerlukan konstruksi aktif oleh si pembelajar (Glynn & Duit, 1995; Suparno, 2006). Inti dari pandangan konstruktivisme adalah pengetahuan seseorang itu merupakan hasil konstruksi individu sendiri yang sedang menekuninya melalui interaksinya dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan (Glasersfeld dalam Bettencourt, 1989; Matthews, 1994; Piaget, 1971; Suparno, 2006; Asrori, 2008).

Konstruktivisme memandang pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah jadi, yang ada di luar kita, tetapi sesuatu yang harus kita bentuk sendiri dalam pikiran kita. Untuk mengkonstruksi makna baru, siswa harus mempunyai pengalaman mengadakan keterampilan proses, seperti keterampilan observasi, mengklasifikasi, mengidentifikasi dan lain sebagainya (Suparno, 2006). Sementara itu, Asrori (2008) menyatakan bahwa para ahli konstruktivisme memandang belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Siswa belajar dengan cara mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka temui.


(7)

Driver & Bell (1986 dalam Tomo, 1995), menyebutkan beberapa pandangan kelompok konstruktivisme terhadap proses belajar IPA sebagai berikut:

1. hasil belajar tergantung pada lingkungan belajar dan konsepsi awal siswa, 2. belajar melibatkan pembentukan makna dengan menghubungkan konsepsi

awal dengan konsep yang sedang dipelajari,

3. proses pembentukan ini berlangsung aktif dan berkelanjutan,

4. belajar melibatkan penerimaan konsep konsep-konsep yang sedang dipelajari, 5. siswa bertanggung jawab pada proses belajarnya, dan

6. pengalaman siswa dan bahasa mempengaruhi pola-pola pemaknaan.

Glasson & Lalik (1993 dalam Tomo, 1995) menyebutkan bahwa belajar IPA adalah proses konstruktif dan untuk mengkonstruksi pengetahuan itu diperlukan partisipasi aktif antara guru dan siswa. Mereka menjelaskan peranan guru dan siswa sebagai berikut:

“To construct knowledge, students must identify and test their existing understanding, interpret the meaning of their ongoing experiences, and adjust their knowledge accordingly. For their part, teacher must find way to understand viewpoints, propose alternative frameworks, stimulate perplexity among students, and develop classroom tasks that promote efforts at knowledge construction. Proponents of this view are commonly known as contructivist.”

Jadi, untuk mengkonstruksi pengetahuan, siswa harus mengidentifikasi, menguji dan menafsirkan makna dari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki (yang sudah ada) dan kemudian menyesuaikannya dengan situasi atau masalah yang dihadapinya. Guru harus menemukan cara-cara memahami pandangan-pandangan siswa, merencanakan kerangka alternatif, merangsang kebingungan antar siswa, dan mengembangkan tugas yang memajukan konstruksi pengetahuan.


(8)

Sementara itu, Needham (1987) mengungkapkan bahwa salah satu peran penting guru adalah menciptakan lingkungan belajar dimana siswa dapat:

1. mengenali dan merefleksikan ide-ide mereka,

2. menyadari bahwa orang lain dapat memiliki ide-ide yang bertentangan, tetapi memiliki ide-ide valid yang sama, dan

3. mengevaluasi kegunaan dari ide-ide ini bersama teori “ilmiah” guru mereka. Karena itu, ketika siswa dilibatkan dalam proses belajar-mengajar, siswa harus diberi kesempatan untuk merefleksikan, dan memodifikasi ide-ide mereka terhadap hasil belajar yang diinginkan (Needham, 1987).

Berdasarkan uraian di atas, dalam hal pengajaran IPA ini titik tolak pengajarannya adalah dari pengetahuan awal siswa sebelum datang ke bangku sekolah. Selain itu, sebelum pembelajaran siswa harus diperkenalkan dalam suatu keadaan yang membingungkan sehingga siswa bertanya-tanya dalam dirinya dan tertarik untuk mempelajarinya. Karena itu salah satu model pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstruktivisme seperti Children’s Learning In Science menjadi model pembelajaran yang cocok digunakan dalam pembelajaran IPA.

Hubungan pandangan konstruktivisme dalam pengajaran IPA dengan model pembelajaran CLIS adalah pada tahap orientasi siswa mengingat hal-hal yang baru (seperti benda, peristiwa, atau ide). Pada tahap pemunculan gagasan siswa mengingat konsep-konsep yang telah dimiliki sebelumnya. Selanjutnya pada tahap konstruksi gagasan baru terjadilah kesetimbangan pada siswa dan selanjutnya diikuti dengan akomodasi. Setelah terjadinya akomodasi, maka terjadilah transformasi dan adaptasi belajar. Pada tahap berikutnya terjadilah


(9)

evaluasi dan penerapan gagasan dan pengetahuan baru tersebut cocok dengan struktur kognitif siswa. Pada tahap mengkaji ulang perubahan gagasan terjadilah kesetimbangan baru dalam struktur kognitif siswa. Dengan kata lain struktur kognitif siswa telah berada pada tingkat struktur kognitif yang lebih tinggi daripada sebelumnya (Wijaya, 1997).

C. Model Pembelajaran Children’s Learning In Science (CLIS)

Model pembelajaran CLIS dikembangkan oleh kelompok Children’s Learning In Science di Inggris yang dipimpin oleh Driver (suyatna, 2009 dalam Diana, 2011). Children’s Learning In Science (CLIS) berarti anak belajar dalam sains. Model Children’s Learning In Science (CLIS) merupakan model pembelajaran yang mempunyai karakteristik yang dilandasi pandangan konstruktivisme dengan memperhatikan pengalaman dan konsepsi awal siswa, pembelajaran berpusat pada siswa melalui aktivitas hands-on/minds-on dan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar (Needham, 1987).

Model pembelajaran CLIS juga dapat diartikan sebagai model pembelajaran yang berusaha mengembangkan ide atau gagasan siswa tentang suatu masalah tertentu dalam pembelajaran serta merekonstruksi ide atau gagasan berdasarkan hasil pengamatan atau percobaan. Dalam model pembelajaran ini, siswa diberi kesempatan untuk mengungkapkan berbagai gagasan tentang topik yang dibahas dalam pembelajaran, bertukar gagasan serta membandingkan gagasannya dengan gagasan siswa lainnya dan mendiskusikannya untuk menyamakan persepsi. Selanjutnya siswa diberi kesempatan merekonstruksi gagasan setelah membandingkan gagasan tersebut dengan hasil percobaan, observasi atau hasil


(10)

mencermati buku teks. Selain itu, siswa juga mengaplikasikan hasil rekonstruksi gagasan dalam situasi baru (Tytler, 1996).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian (Wijaya, 1997; Syafrina, 2000; Ningsih, 2009), model pembelajaran CLIS memiliki beberapa kelebihan yaitu: (1) membiasakan siswa belajar mandiri dalam memecahkan suatu masalah; (2) menciptakan kreativitas siswa untuk belajar sehingga suasana kelas lebih nyaman dan kreatif, terjalin kerjasama antar siswa, dan siswa terlibat langsung dalam melakukan kegiatan; (3) menciptakan belajar menjadi bermakna, karena timbulnya kebanggaan siswa menemukan sendiri konsep ilmiah yang sedang dipelajari; (4) guru mengajar akan lebih mudah, karena dapat menciptakan suasana belajar yang lebih aktif sehingga guru hanya menyiapkan berbagai masalah yang berhubungan dengan konsep yang sedang diajarkan, sedangkan siswa dapat mencari jawabannya sendiri; (5) gagasan anak menjadi lebih mudah dimunculkan; dan (6) guru dapat menciptakan alat-alat media peraga yang sederhana yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, maka aspek-aspek terpenting dalam pengajaran dengan menerapkan model pembelajaran CLIS ini adalah: (1) menciptakan situasi belajar yang terbuka dan bebas untuk siswa agar mereka merasa bebas menemukan ide atau gagasan; (2) memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk aktif dan bebas bertanya kepada teman ataupun guru dan menghargai semua bentuk pertanyaan dan jawaban. Namun pada akhir kegiatan guru menjelaskan

konsep-konsep ilmiah untuk menghindari miskonsepsi pada siswa; dan (3) memberikan permasalahan yang berkaitan dengan fenomena alam dalam


(11)

kehidupan hari-hari dan mempunyai hubungan dengan konsep yang ingin dipelajari (Wijaya, 1997; Syafrina, 2000).

Model pembelajaran CLIS memuat sederetan tahap-tahap yang ditempuh untuk membangkitkan perubahan konseptual siswa (Tomo, 1995). Proses pembelajaran fisika dengan menggunakan model pembelajaran CLIS dilaksanakan dalam lima tahap yang terbagi ke dalam 7 tahapan kegiatan inti guru dan siswa. Driver dan Oldham (1986 dalam Scott, 1987), memberi nama rangkaian fase pembelajaran pada model pembelajaran CLIS sebagai “A generalized model for a constructivist teaching sequence”, sedangkan Tytler (1996) menyebutnya sebagai “constructivism and conceptual change views of learning in science”. Kegiatan atau perilaku guru dan siswa pada setiap langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Tahap orientasi (Orientation)

Dalam tahap ini kegiatan guru memusatkan perhatian dan membangkitkan minat siswa dengan menyebutkan fenomena alam yang sering dijumpai dan aneh, dalam kehidupan sehari-hari, serta berkaitan dengan topik yang akan dipelajari (Tomo, 1995).

2. Tahap pemunculan gagasan (Elicitation of ideas)

Tahap ini dilakukan untuk memunculkan konsepsi awal siswa, misalnya dengan cara meminta siswa menuliskan konsep-konsep yang telah diketahui sehubungan dengan topik yang sedang dipelajari, dapat pula menghadapkan siswa kepada permasalahan yang mengandung teka-teki, dengan cara guru menyuruh siswa melakukan eksperimen atau percobaan dan mengikuti petunjuk LKS


(12)

(lembar kerja siswa). Dapat juga diperoleh dengan wawancara tentang kejadian dan peristiwa (Osborne & Freyberg, 1984). Tahap ini biasanya dilakukan pada kelompok kecil siswa yang terdiri dari 4 orang atau lebih (Driver, 1988).

3. Tahap penyusunan ulang gagasan (Restructuring of ideas), dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.

a. Pengungkapan dan pertukaran gagasan (Clarification and exchanges)

Pada langkah ini siswa mendiskusikan jawaban tentang permasalahan yang disajikan guru pada tahap pemunculan gagasan secara berkelompok yang dapat terdiri dari 4 orang siswa atau lebih. Hasil diskusi ditulis dalam selembar kertas. Melalui kegiatan diskusi ini, siswa dapat mengungkapkan kembali dan saling bertukar gagasannya.

b. Pembukaan situasi konflik (Exposure to conflict situation)

Pada tahap ini, hasil diskusi siswa pada tahap pengungkapan dan pertukaran gagasan akan dipresentasikan dan dijelaskan oleh salah seorang siswa pada setiap kelompok, sedangkan kelompok lain dapat menanggapinya. Pada kegiatan ini akan terjadi situasi konflik pada diri setiap siswa. Kemudian guru menjelaskan konsep-konsep yang ilmiah sehingga siswa dalam memahami dan menerapkan konsep akan menjadi lebih bermakna. Tahap ini juga dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari pengertian ilmiah yang sedang dipelajari dalam buku teks. Selanjutnya siswa mencari beberapa perbedaan antara konsepsi awal mereka dengan konsep ilmiah yang ada dalam buku teks maupun hasil pengamatan terhadap kegiatan yang dilakukan.


(13)

c. Konstruksi gagasan baru dan evaluasi (Construction of new ideas and evaluation)

Tahap ini bermaksud untuk mengevaluasi gagasan yang sesuai dengan fenomena yang dipelajari guna mengkonstruksi gagasan baru, caranya adalah siswa diberi kesempatan melakukan percobaan sehingga konsep yang ditemukan dari percobaan dapat disesuaikan dengan konsep ilmiah yang dijelaskan oleh guru, sehingga konflik konsepsi dalam memori siswa dapat teratasi.

4. Tahap penerapan gagasan (Application of ideas)

Pada tahap ini, siswa diminta kembali untuk menjawab pertanyaan yang disusun untuk menerapkan konsep ilmiah yang telah dikembangkan siswa melalui percobaan ke dalam situasi baru dengan materi pelajaran yang lebih kompleks, dan sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Tujuannya untuk menanamkan belajar lebih bermakna, sehingga konsep yang dipelajari dapat bertahan lama di dalam memori jangka panjang siswa (anak).

5. Tahap mengkaji ulang perubahan gagasan (Review change in ideas)

Pada tahap ini konsepsi ilmiah yang telah diperoleh siswa perlu diumpan balik oleh guru untuk memperkuat konsepsi ilmiah tersebut. Siswa diarahkan untuk bertanya jawab dan mereview atau mengevaluasi hasil pengetahuan dari pengalaman melakukan eksperimen, sehingga siswa dapat menilai sudah sejauh mana mereka menguasai konsep yang telah dipelajari. Dengan demikian diharapkan bahwa siswa yang konsepsi awalnya tidak konsisten dengan konsep ilmiah, dengan sadar mengubah konsep awalnya menjadi konsep ilmiah. Disini siswa juga diberi kesempatan untuk membandingkan konsep ilmiah yang sudah


(14)

disusunnya dengan konsep awal pada tahap 2. Kelima tahap tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Langkah-Langkah Model Pembelajaran CLIS (Needham, 1987) Adapun tahapan model pembelajaran CLIS dalam kegiatan pembelajaran, serta tujuan dan metode yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran tersebut, dapat dilihat dalam Tabel 2.1 (Needham, 1987).

ORIENTASI ORIENTASI

PEMUNCULAN GAGASAN

MENGKAJI ULANG PERUBAHAN GAGASAN PENERAPAN GAGASAN

PENYUSUNAN ULANG GAGASAN Pengungkapan dan Pertukaran

gagasan

Pembukaan situasi konflik Konstruksi gagasan baru

dan evaluasi Membandingkan dengan


(15)

Tabel 2.1

Tahapan, Tujuan dan Metode yang Digunakan CLIS dalam Kegiatan Pembelajaran

Tahap Tujuan Metode

1. Orientasi Membangkitkan minat dan mengatur

adegan (suasana)

Kegiatan praktis,

menyajikan masalah nyata

untuk diselesaikan,

demonstrasi dan sebagainya

2. Pemunculan

Gagasan

Untuk mengaktifkan siswa dan menyadarkan guru tentang ide-ide sebelumnya

Kegiatan praktis diskusi kelompok kecil diikuti oleh pelaporan kembali 3. Penyusunan Ulang Gagasan a. Pengungkapan dan Pertukaran b. Pembukaan Situasi Konflik c. Konstruksi Gagasan Baru dan Evaluasi

Untuk menciptakan suatu kesadaran dari sebuah alternatif sudut pandang- seorang ilmuwan - untuk:

a) memodifikasi,

b) mengembangkan, atau

c) mengganti dengan pandangan

yang lebih ilmiah.

Mengenali ide-ide alternatif dan secara kritis memeriksa sendiri Menguji validitas dari ide-ide yang ada

Memodifikasi, mengembangkan,

atau mengganti ide-ide. Serta

menguji validitas ide-ide yang baru dibangun.

Diskusi kelompok kecil dan pelaporan kembali

Diskusi kelas dengan cara siswa menyajikan ide-ide yang diperolehnya, atau

guru melakukan

demonstrasi atau

memberikan penjelasan

mengenai konsep yang

benar

Pekerjaan praktis, pekerjaan proyek, eksperimen, atau demonstrasi guru

4. Penerapan

Gagasan

Penguatan dari ide yang dibangun dalam situasi yang biasa dan baru

Tulisan pribadi, aktivitas praktis, pemecahan masalah atau pekerjaan proyek

5. Mengkaji Ulang

Perubahan Gagasan

Kesadaran perubahan ide dan

familiaritas dengan proses belajar

sehingga memungkinkan siswa

untuk merenungkan sejauh mana ide-ide mereka telah berubah.

Tulisan pribadi, diskusi

kelompok, buku harian

pribadi, meninjau ulang

gagasan sebelumnya, dll.


(16)

D. Keterampilan Proses Sains

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains merupakan hasil kegiatan-kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah antara lain penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan-gagasan (Wijaya, 1997). Oleh karena itu, IPA terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah, yang juga harus dikembangkan pada siswa sebagai pengalaman bermakna yang dapat digunakan sebagai bekal perkembangan diri selanjutnya.

Hal tersebut di atas berimplikasi pada pembelajaran IPA di sekolah dimana guru harus membangun pengetahuan siswa berdasarkan pengamatan, pengalaman penyusunan gagasan, pengujian melalui suatu percobaan, atau penyelidikan, penjelajahan dan pencarian informasi sangat diutamakan (Wijaya, 1997). Selain itu, menurut KTSP (Yustisia, 2007) pembelajaran IPA menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, hal ini akan membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Keterampilan dalam mencari tahu atau berbuat tersebut dinamakan dengan keterampilan proses penyelidikan, atau dalam IPA dikenal dengan istilah keterampilan proses sains (KPS).

Keterampilan proses sains (KPS) merupakan salah satu keterampilan yang harus dijadikan acuan bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran (Yustisia, 2007). Keterampilan proses sains menekankan pada pembentukan keterampilan memperoleh pengetahuan, dan mengkomunikasikan perolehannya.


(17)

Keterampilan ini harus dapat dipelajari dan dimiliki oleh siswa melalui suatu kegiatan pembelajaran, yang meliputi keterampilan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, menyusun hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menjawab pertanyaan, mengklasifikasikan, mengolah dan menganalisis data, menerapkan ide pada situasi baru, menggunakan peralatan sederhana serta mengkomunikasikan informasi dalam berbagai cara, yaitu dengan gambar, lisan, tulisan, dan sebagainya.

Melalui keterampilan proses dikembangkan sikap dan nilai yang meliputi rasa ingin tahu, jujur, sabar, terbuka, tidak percaya tahyul, kritis, tekun, ulet, cermat, disiplin, peduli terhadap lingkungan, memperhatikan keselamatan kerja, dan bekerja sama dengan orang lain (Yustisia, 2007). Karena itu, keterampilan proses merupakan konsep yang luas.

Rustaman (1997) mendefinisikan keterampilan proses sains sebagai keterampilan yang diperoleh dari latihan kemampuan-kemampuan mental, fisik, dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi untuk memperoleh, mengembangkan, dan menerapkan konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum, dan teori sains. Kemampuan-kemampuan mendasar yang telah dikembangkan dan telah terlatih lama-kelamaan akan menjadi suatu keterampilan. Sementara itu, menurut Gagne (Dahar, 1996) keterampilan proses sains adalah kemampuan–kemampuan dasar tertentu yang dibutuhkan untuk menggunakan dan memahami sains. Setiap keterampilan proses merupakan keterampilan intelektual yang khas yang digunakan oleh semua ilmuwan, serta dapat digunakan untuk memahami fenomena apapun juga.


(18)

Ada berbagai keterampilan dalam keterampilan proses sains. Keterampilan-keterampilan tersebut terdiri dari Keterampilan-keterampilan-Keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan keterampilan-keterampilan terintegrasi (intregated skills). Keterampilan-keterampilan dasar terdiri dari enam Keterampilan-keterampilan, yakni: mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan-keterampilan terintegrasi terdiri dari: mengidentifikasi variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisa penelitian, menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, merancang penelitian, dan melaksanakan eksperimen (Funk, 1985 dalam Dimyati & Mudjiono, 2006).

Keterampilan proses terdiri dari sejumlah keterampilan yang satu sama lain sebenarnya tidak dapat dipisahkan, namun ada penekanan khusus dalam masing-masing keterampilan tersebut. Menurut Rustaman, dkk. (2005), jenis-jenis keterampilan proses sains itu ada 9 dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.2.


(19)

Tabel 2.2

Keterampilan Proses Sains dan Karakteristiknya No Keterampilan

Proses Sains Karakteristik

1 Melakukan

Pengamatan (Observasi)

 Menggunakan indera penglihatan, pembau, pendengar,

pengecap, dan peraba.

 Menggunakan fakta yang relevan dan memadai.

2 Menafsirkan

Pengamatan (Interpretasi)

 Mencatat setiap hasil pengamatan.

 Menghubung-hubungkan hasil pengamatan.

 Menemukan pola atau keteraturan dari suatu seri

pengamatan.

 Menyimpulkan.

3 Mengelompokkan

(Klasifikasi)

 Mencari perbedaan.

 Mengontraskan ciri-ciri.

 Mencari kesamaan.

 Membandingkan.

 Mencari dasar penggolongan atau pola yang sudah ada.

4 Meramalkan

(Prediksi)

 Mengajukan perkiraan tentang sesuatu yang belum terjadi berdasarkan suatu kecenderungan.

5 Berkomunikasi  Membaca grafik, tabel, atau diagram.

 Menggambarkan data empiris dengan grafik, tabel, atau diagram.

 Menjelaskan hasil percobaan.

 Menyusun dan menyampaikan laporan secara sistematis dan

jelas.

6 Berhipotesis  Menyatakan hubungan antara dua variabel atau

memperkirakan penyebab sesuatu terjadi.

7 Merencanakan

Percobaan atau Penyelidikan

 Menentukan alat dan bahan

 Menentukan variabel atau peubah

 Menentukan variabel kontrol dan variabel bebas

 Menentukan apa yang diamati, diukur, atau ditulis

 Menentukan cara dan langkah kerja

 Menentukan cara mengolah data

8 Menerapkan Konsep

atau Prinsip

 Menjelaskan sesuatu peristiwa dengan menggunakan konsep

yang telah dimiliki

 Menerapkan konsep yang telah dipelajari dalam situasi baru

9 Mengajukan

Pertanyaan

 Pertanyaan yang diajukan dapat meminta penjelasan tentang

apa, mengapa, bagaimana, ataupun menanyakan latar belakang hipotesis.


(20)

E. Pemahaman Konsep

Pemahaman (understanding) konsep merupakan kata kunci dalam pembelajaran. Pemahaman konsep terdiri dari dua kata, yaitu pemahaman dan konsep. Menurut Gagne (Suherman, dkk., 2001) konsep adalah ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Sedangkan Suherman (2003) menyatakan bahwa konsep adalah kumpulan fakta spesifik yang saling terkait secara fungsional. Rooser (Rofingatun, 2006) juga mengemukakan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut yang sama. Meskipun banyak definisi tentang konsep yang diungkapkan para ahli, namun beberapa ciri umum konsep (Dahar, 1996), yaitu sebagai berikut.

1. Konsep merupakan buah pikiran yang dimiliki seseorang atau pun sekelompok orang.

2. Konsep timbul sebagai hasil dari pengalaman, lebih dari sekedar satu benda, peristiwa atau fakta. Konsep itu adalah suatu generalisasi.

3. Konsep adalah hasil berpikir abstrak manusia yang merangkum banyak pengalaman.

4. Konsep merupakan kaitan fakta-fakta atau pemberian pola pada fakta-fakta. 5. Suatu konsep dianggap bersangkutan harus mengalami perubahan.

Dalam fisika terdapat banyak sekali konsep, misalnya konsep perpindahan, jarak, kecepatan, percepatan, dan lain-lain. Konsep-konsep tersebut saling berkaitan satu sama lain sehingga dapat membentuk sebuah konsep atau beberapa konsep fisika yang baru. Dengan demikian dalam belajar fisika siswa dituntut


(21)

untuk memahami konsep-konsep yang ada tersebut, karena dengan memahami konsep siswa akan lebih mudah dalam menyelesaikan soal-soal atau memecahkan masalah, dan mengenal gejala-gejala alam yang ada di sekitarnya.

Pemahaman berasal dari kata dasar paham, yang berarti mengerti benar. Seseorang dapat dikatakan paham terhadap suatu hal, apabila orang tersebut mengerti benar dan mampu menjelaskan suatu hal yang dipahaminya. Sehingga pemahaman konsep fisika adalah mengerti benar tentang konsep fisika. Purwanto (Gitanisari, 2008) mengungkapkan bahwa pemahaman konsep adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami konsep, situasi, dan fakta yang diketahui, serta dapat menjelaskan dengan kata-kata sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, dengan tidak mengubah artinya.

Sedangkan pemahaman konsep menurut Skemp (Putri, 2009) terbagi atas dua bagian pemahaman, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional.

1. Pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman atas konsep yang saling terpisah dan hanya hafal rumus dalam perhitungan sederhana. Dalam hal ini siswa hanya memahami urutan pengerjaan atau algoritma.

2. Pemahaman relasional termuat skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan sifat pemakaiannya lebih bermakna. Siswa yang telah memiliki pemahaman relasional dapat mengaitkan suatu konsep lainnya secara benar dan menyadari proses yang dilakukan.


(22)

Proses pembelajaran yang bertujuan agar siswa memiliki pemahaman instrumental, yaitu siswa sering mempelajari bagian demi bagian suatu algoritma, siswa cenderung bergantung pada petunjuk untuk menyelesaikan tugas yang baru. Sedangkan proses pembelajaran yang bertujuan agar siswa memiliki pemahaman relasional yaitu, siswa harus membangun struktur konseptual sehingga mereka dapat menghasilkan banyak skema rencana penyelesaian.

Menurut Berns & Erickson (2001 dalam Santyasa, 2009). Dalam suatu domain belajar, pemahaman merupakan prasyarat mutlak untuk tingkatan kemampuan kognitif yang lebih tinggi seperti: aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Pemahaman juga merupakan salah satu aspek pada ranah kognitif yang dikemukakan oleh Bloom.

Menurut Bloom (1979), pemahaman didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari. Menurut Bloom, ketika siswa dihadapkan pada suatu komunikasi, mereka diharapkan mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan ide yang terkandung di dalamnya. Komunikasi yang dimaksud dapat dalam bentuk lisan atau tulisan dan dalam bentuk verbal atau simbolik. Pemahaman merupakan hasil proses belajar mengajar dimana individu dapat menjelaskan atau mendefinisikan suatu unit informasi dengan kata-kata sendiri.

Hal senada juga dikemukakan oleh Anderson et al. (2001), bahwa siswa dikatakan memahami sesuatu jika mereka mampu mengkonstruksi makna dari materi pembelajaran baik berupa komunikasi lisan, tulisan, maupun grafik. Siswa mampu memahami suatu pengetahuan baru ketika mampu membangun hubungan


(23)

antara pengetahuan yang baru diintegrasikan tersebut dengan skema dan kognitif yang sudah ada padanya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep fisika adalah kemampuan siswa dalam menerjemahkan, menafsirkan, dan menyimpulkan suatu konsep fisika berdasarkan pembentukan pengetahuannya sendiri, bukan sekedar menghafal. Selain itu, siswa dapat menemukan dan menjelaskan kaitan suatu konsep dengan konsep lainnya. Pemahaman konsep dapat membantu siswa untuk mengingat. Hal tersebut dikarenakan ide-ide fisika yang dipahami siswa saling berkaitan, sehingga siswa lebih mudah untuk mengingat dan menggunakan, serta menyusunnya kembali saat lupa. Siswa mengingat kembali apa yang mereka ingat dan mencoba menggambarkan dengan menggunakan pemikiran sendiri.

Pemahaman merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran fisika, karena dengan memahami konsep, siswa dapat mengembangkan kemampuannya dalam pembelajaran fisika sehingga dapat menerapkan konsep yang telah dipelajarinya untuk menyelesaikan permasalahan sederhana sampai dengan yang kompleks. Tingkat pemahaman seseorang terhadap suatu konsep dapat dilihat dari jenis-jenis pemahaman yang dimilikinya.

Merujuk pada taksonomi Bloom yang telah direvisi, atau sering dikenal dengan taksonomi Anderson et al. (2001), pemahaman terdiri dari tujuh jenis, yaitu interpreting (menginterpretasikan), exemplifying (memberikan contoh), classifying (mengklasifikasikan), summarizing (meringkas), inferring


(24)

(menyimpulkan), comparing (membandingkan), dan explaining (menjelaskan). Ketujuh jenis pemahaman tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1. Menginterpretasikan (Interpreting): Interpretasi terjadi ketika siswa mampu mengkonversi informasi dari satu representasi ke representasi yang lain. Interpretasi meliputi konversi kata-kata ke dalam kata-kata, gambar ke dalam kata-kata, dan sebagainya. Istilah lainnya adalah translating, paraphrasing, representing, dan clarifying.

2. Mencontohkan (Exemplifying): Mencontohkan terjadi ketika siswa mampu memberikan contoh spesifik atau contoh dari konsep umum atau prinsip. Exemplifying meliputi menemukan ciri-ciri dari konsep umum atau prinsip (misalnya, segitiga sama kaki harus mempunyai dua sisi yang sama panjang), dan menggunakan ciri-ciri tersebut untuk memilih atau mengkonstruk contoh yang lebih spesifik (misalnya, mampu menentukan nama dari tiga buah segitiga yang disajikan adalah segitiga sama kaki). Istilah lainnya adalah illustrating dan instantiating.

3. Mengklasifikasikan (Classifying): Klasifikasi terjadi ketika siswa mengenal bahwa sesuatu (contoh atau kejadian tertentu) termasuk kategori tertentu (misal konsep atau prinsip). Mengklasifikasi meliputi penemuan ciri-ciri atau pola-pola yang relevan, yang cocok dengan contoh spesifik dan konsep atau prinsip. Istilah lainnya categorizing dan subsuming.

4. Merangkum (Summarizing): Merangkum terjadi ketika siswa mampu mengusulkan pernyataan tunggal yang merepresentasikan penyajian informasi atau rangkuman dari tema umum. Merangkum meliputi konstruksi suatu


(25)

representasi informasi, membuat suatu rangkuman, seperti menentukan tema atau topik utama. Istilah lainnya adalah generalizing dan abstracting.

5. Menarik kesimpulan (Inferring): Menyimpulkan meliputi penemuan pola dalam rangkaian contoh-contoh atau kejadian-kejadian. Menyimpulkan terjadi ketika siswa mampu meringkas konsep atau prinsip yang terdiri dari suatu rangkaian contoh-contoh atau kejadian-kejadian melalui pengkodean ciri-ciri yang relevan, dari masing-masing kejadian. Istilah lainnya adalah extrapolating, interpolating, predicting, dan concluding.

6. Membandingkan (Comparing): Membandingkan terjadi ketika siswa menemukan persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih objek/benda, peristiwa, masalah, atau situasi. Istilah lainnya adalah contrasting, matching, dan mapping.

7. Menjelaskan (Explaining): Menjelaskan terjadi ketika siswa mampu membangun dan menggunakan model sebab akibat dari suatu sistem. Model dapat diturunkan dari teori formal, atau dapat didasarkan pada riset atau pengalaman. Penjelasan yang lengkap meliputi mengkonstruksi model sebab akibat, termasuk setiap bagian utama dalam sistem atau setiap peristiwa utama dalam rangkaian, dan menggunakan model untuk menentukan perubahan dalam satu bagian sistem atau hubungan dalam rangkaian yang mempengaruhi perubahan dalam bagian lain. Istilah lainnya constructing a model.


(26)

F. Keterkaitan Model Pembelajaran CLIS, Keterampilan Proses Sains, dan Pemahaman Konsep

Model pembelajaran CLIS (Children’s Learning In Science) merupakan model pembelajaran yang mempunyai karakteristik yang dilandasi pandangan konstruktivisme dengan memperhatikan pengalaman dan konsep awal siswa, pembelajaran berpusat pada siswa melalui aktivitas hands-on/minds-on dan menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar (Needham, 1987). Model pembelajaran CLIS memuat sederetan tahap yang ditempuh untuk membangkitkan perubahan konseptual siswa (Tomo, 1995). Karena itu, model pembelajaran CLIS merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengajarkan IPA sebagai proses, produk dan nilai sehingga dapat meningkatkan KPS dan pemahaman konsep siswa. Dalam penelitian ini model pembelajaran CLIS akan digunakan sebagai suatu upaya untuk dapat meningkatkan keterampilan proses sains (KPS) dan pemahaman konsep siswa.

Kaitan antara tahapan pembelajaran CLIS dengan aspek-aspek keterampilan proses sains (KPS) dan pemahaman konsep yang diteliti dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3

Kaitan antara Tahapan Model Pembelajaran CLIS dengan Aspek-Aspek KPS dan Pemahaman Konsep yang Diteliti

Tahap CLIS Inti Kegiatan Pembelajaran KPS Pemahaman

Konsep

Tahap Orientasi Memusatkan perhatian siswa

dengan cara menyebutkan dan mendemontrasikan fenomena alam yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari.

Mengamati, Meramalkan

Tahap Pemunculan Gagasan

Mengkonfrontasikan dan mengungkapkan konsep awal siswa dengan cara

Meramalkan Menginterpretasi Mencontohkan


(27)

Tahap CLIS Inti Kegiatan Pembelajaran KPS Pemahaman Konsep

menghadapkan siswa kepada permasalahan yang mengandung teka-teki dengan cara

memberikan pertanyaan-pertanyaan. Tahap Penyusunan Ulang Gagasan a. Pengungkapan dan Pertukaran

Siswa secara berkelompok

melakukan diskusi untuk

menganalisis dan menjawab

pertanyaan-pertanyaan pada

tahap pemunculan gagasan.

Hasil diskusi ditulis dalam selembar kertas. Melalui diskusi ini, siswa dapat mengungkapkan gagasannya dan saling bertukar gagasan dalam kelompok.

Berkomunikasi Menjelaskan,

Membandingkan Menyimpulkan Mencontohkan

b. Pembukaan situasi konflik

Hasil diskusi yang telah ditulis, dijelaskan oleh salah seorang siswa pada setiap kelompok, kemudian ditanggapi oleh kelompok lain. Sehingga melalui kegiatan ini tercipta situasi konflik konsepsi dalam memori siswa.

Berkomunikasi Membandingkan

c. Konstruksi gagasan baru dan evaluasi

Siswa diberi kesempatan

melakukan percobaan atau

observasi sehingga konsep yang ditemukan dari eksperimen dapat

disesuaikan dengan konsep

ilmiah yang dijelaskan oleh guru, sehingga konflik konsepsi dalam memori siswa dapat teratasi. Merencanakan percobaan, Berhipotesis, Mengamati, Menginterpretasi data Menginterpretasi, Menjelaskan, Membandingkan Tahap Penerapan Gagasan

Siswa diminta kembali untuk

menjawab pertanyaan yang

disusun untuk menerapkan

konsep ilmiah yang telah

dikembangkan siswa melalui percobaan ke dalam situasi baru dengan materi pelajaran yang lebih kompleks, dan sering

ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari. Menerapkan konsep atau prinsip Menjelaskan Tahap Mengkaji Ulang Perubahan Gagasan

Siswa diarahkan untuk

melakukan tanya jawab, dan mereview serta menyimpulkan

seluruh hasil kegiatan

pembelajaran yang telah mereka alami. Mengajukan pertanyaan Merangkum, Menyimpulkan, Membandingkan


(28)

G. Konsep Hukum Newton

Konsep hukum Newton pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memiliki Standar Kompetensi (SK) yaitu memahami peranan usaha, gaya, dan energi dalam kehidupan sehari-hari dengan Kompetensi Dasar (KD) yaitu menerapkan hukum Newton untuk menjelaskan berbagai peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. 1. Hukum I Newton

Andaikan kalian sedang duduk di dalam sebuah mobil yang sedang melaju kencang. Apa yang akan terjadi pada tubuhmu saat mobil tersebut tiba-tiba di rem? Kalian akan terdorong ke depan. Terdorongnya badanmu itu memperlihatkan contoh sifat kelembaman. Kelembaman (inersia) adalah kecenderungan setiap benda melawan tiap perubahan dalam geraknya. Dengan kata lain, kelembaman adalah kecenderungan sebuah benda untuk mempertahankan geraknya (Wasis, dkk., 2008).

Sifat kelembaman benda dapat dibayangkan sebagai sifat “malas” sebuah benda. Jika sebuah benda sedang bergerak, benda itu akan terus bergerak dengan kelajuan dan arah yang sama kecuali ada gaya-gaya yang tak setimbang yang bekerja pada benda itu (Wasis, dkk., 2008). Dengan kata lain kecepatan benda tersebut tetap, kecuali ada suatu gaya yang mengubah kecepatan benda itu. Jika sebuah benda diam, benda tersebut cenderung tetap diam. Kecepatannya tetap nol atau tidak akan terjadi perubahan kecepatan kecuali ada gaya luar yang menyebabkan benda itu bergerak atau mengalami perubahan kecepatan.


(29)

Gaya-gaya tidak selalu mengubah kecepatan seperti yang ilustrasi pada Gambar 2.2 yang memperlihatkan pertandingan tarik tambang. Kedua tim tersebut sama-sama mengerahkan gaya namun dengan arah yang berlawanan. Bila kedua tim tersebut tidak bergerak, maka gaya yang diberikan oleh kedua tim pada tali tersebut adalah sama besar.

Gambar 2.2. Dalam permainan tarik tambang, kedua tim mengerahkan gaya Peristiwa-peristiwa tersebut dipelajari pertama kali oleh Sir Issac Newton dan dinyatakan sebagai Hukum I Newton yang menyatakan bahwa "suatu benda akan tetap diam atau tetap bergerak lurus beraturan jika resultan gaya yang bekerja pada benda itu sama dengan nol". Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa jika jumlah semua gaya-gaya yang bekerja pada suatu benda adalah nol, maka benda tersebut akan diam atau bergerak dengan kecepatan yang tetap. Prinsip tersebut di atas yang menyebabkan kalian terdorong ke depan ketika bus tiba-tiba direm atau terdorong ke belakang ketika bus bergerak maju secara mendadak. Sifat benda yang mempertahankan keadaan awalnya disebut


(30)

kelembaman atau inersia. Oleh sebab itu, Hukum I Newton dikenal dengan hukum kelembaman. Secara matematis, Hukum I Newton dapat dituliskan sebagai berikut.

Jika

F 0; maka v = 0 atau v = konstan (2.1) Keterangan:

F : resultan gaya (N)

Sekarang, menurut kalian, apakah sebuah bola besi tolak peluru memiliki kelembaman yang sama dengan kelembaman kelereng? Tentu saja kelembamannya berbeda, karena kita lebih mudah menggerakkan kelereng dibandingkan bola besi tolak peluru. Semakin besar massa sebuah benda, kelembamannya juga semakin besar. Oleh karena bola besi tolak peluru memiliki kelembaman yang lebih besar daripada kelereng, maka lebih banyak gaya yang diperlukan untuk mengubah kecepatannya (Wasis, dkk., 2008).

2. Hukum II Newton

Pernahkah kalian menarik sebuah gerobak yang bermuatan? Untuk membuat gerobak bergerak, kalian harus menarik gerobak tersebut. Jika gaya yang kamu kerahkan tidak cukup besar untuk membuat gerobak itu bergerak, maka kalian mungkin akan meminta bantuan temanmu. Temanmu mungkin akan menarik gerobak itu bersamamu atau membantu mendorongnya dari belakang. Dua gaya tersebut, yaitu gaya dari kamu dan temanmu akan bekerja pada arah yang sama. Jika dua gaya bekerja pada arah yang sama, maka kedua gaya itu dijumlahkan, sperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 (a). Total gaya atau resultan gaya yang bekerja pada gerobak tersebut sama dengan penjumlahan kedua gaya itu. Jika total gaya yang bekerja pada suatu benda menuju ke arah tertentu, gaya tersebut


(31)

disebut gaya-gaya tak seimbang. Gaya-gaya tak seimbang selalu mengubah kecepatan sebuah benda. Jika gaya yang kalian kerahkan semakin besar dan searah, maka gerobak tersebut akan bergerak semakin cepat. Jadi semakin besar gaya yang dikerahkan, semakin besar pula percepatannya. Karena itu, besarnya percepatan suatu benda sebanding atau berbanding lurus dengan resultan gayanya (penjumlahan jika gaya yang bekerja searah atau pengurangan jika gaya-gaya yang bekerja berlawanan). Artinya bahwa semakin besar resultan gaya-gaya yang bekerja pada suatu benda, percepatannya akan semakin besar.

Gambar 2.3. Penjumlahan atau pengurangan dua gaya

Suatu benda memiliki sifat kelembaman yang selanjutnya disebut massa kelembaman. Massa kelembaman ini sangat mempengaruhi percepatan gerak suatu benda. Jika mobil-mobilanmu diberi beban seperti Gambar 2.4 (b), maka kalian harus menarik dengan lebih kuat untuk membuatnya bergerak. Gaya lebih besar juga diperlukan untuk mempercepat mobil-mobilan yang telah kalian beri beban tersebut (Wasis, dkk., 2008). Jadi semakin besar gaya massanya, maka semakin kecil percepatannya. Karena itu, besarnya percepatan suatu benda berbanding terbalik dengan massanya. Artinya bahwa jika resultan gaya yang


(32)

bekerja pada suatu benda adalah tetap dengan massa yang semakin besar, maka percepatannya akan semakin kecil.

Gambar 2.4. (a) Percepatan yang terjadi pada mobil-mobilan tergantung pada besar gaya yang dikerahkan anak tersebut; (b) Agar mobil-mobilan yang bermuatan itu dapat bergerak dengan percepatan yang sama dengan sebelum diberi muatan, anak tersebut harus menariknya dengan gaya yang lebih besar

Bila massa bersatuan kilogram (kg) dan percepatan bersatuan m/s2, maka gaya bersatuan kg m/s2. Perhatikan, satuan kg m/s2 disebut juga Newton (N). Satu Newton sama dengan gaya yang diperlukan untuk mempercepat benda bermassa 1 kg dengan percepatan 1 m/s2. Dengan kata lain, 1 N = 1 kg x 1 m/s2.

Gaya yang bekerja pada sebuah benda menyebabkan benda tersebut dipercepat dalam arah yang sama dengan arah gaya itu. Percepatan itu ditentukan oleh besar gaya dan massa benda tersebut. Gaya lebih besar yang bekerja pada suatu benda menyebabkan percepatan yang lebih besar. Benda bermassa lebih besar memerlukan gaya yang lebih besar daripada benda yang bermassa lebih kecil untuk mencapai percepatan yang sama (Wasis, dkk., 2008).

Gejala-gejala tersebut telah dipelajari sebelumnya oleh Newton sehingga menghasilkan Hukum II Newton, yang menyatakan bahwa “jika resultan gaya yang bekerja pada suatu benda tidak sama dengan nol, benda akan bergerak dengan percepatan yang besarnya sebanding dengan resultan gayanya dan berbanding terbalik dengan massa kelembamannya”. Secara matematis dituliskan


(33)

a m F  .

(2.2)

Keterangan:

a = percepatan (m/s2) m = massa (kg) ΣF = resultan gaya (N)

Sedangkan, untuk benda yang sedang bergerak dengan resultan gaya yang bekerja pada benda tersebut adalah konstan, maka benda itu akan bergerak dengan percepatan a yang konstan. Artinya, benda mengalami gerak lurus berubah beraturan.

3. Hukum III Newton

Mengapa ketika jari tangan kalian menekan meja semakin kuat akan terasa sakit? Dan ketika kalian mendorong tembok kelas dengan kedua tanganmu. Apa yang kalian rasakan? Kalian akan merasakan terdorong ke belakang. Semakin kuat kamu mendorongnya, semakin kuat pula kamu merasa terdorong ke belakang. Kaki atau badan kalian akan bergeser ke belakang (perhatikan Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Saat orang mendorong tembok, tembok tersebut mendorong balik dengan gaya yang sama besar tetapi berlawanan arah


(34)

Sebenarnya ketika kalian menekan meja atau mendorong tembok dengan kedua tanganmu berarti kalian memberikan gaya pada meja atau tembok tersebut. Tangan kalian akan merasa sakit sebab meja akan memberikan gaya yang besarnya sama dengan gaya tekan tangan kalian, tetapi arahnya berlawanan. Begitu pula ketika kalian memberikan gaya aksi pada tembok, pada saat yang sama tembok tersebut memberikan gaya reaksi kepada kalian, sehingga kaki atau badan kalian yang akan bergeser ke belakang (Wasis, dkk., 2008). Jadi, jika kalian perhatikan, gaya bukanlah sesuatu dalam benda tersebut tetapi merupakan interaksi antara dua benda (Krisno, dkk., 2008).

Perhatikan Gambar 2.6 yang menunjukkan seorang anak yang sedang melompat dari skate board. Peristiwa tersebut merupakan contoh lain tentang pasangan aksi-reaksi. Pada saat anak itu melompat ke depan, skate board meluncur ke belakang. Mengapa hal ini terjadi? Pada saat anak itu melompat, skate board mengerahkan gaya pada kaki anak itu, sehingga mendorong anak itu bergerak ke depan. Bersamaan dengan itu, kakinya mengerahkan gaya yang sama besar dan berlawanan arah kepada skate board, sehingga skate board itu bergerak ke belakang.

Gambar 2.6. Pada saat seorang anak melompat ke depan dari skate board, ternyata skate board bergerak ke belakang


(35)

Peristiwa di atas merupakan contoh dari Hukum III Newton, yang dikenal sebagai hukum aksi-reaksi, yang menyatakan bahwa “apabila sebuah benda mengerjakan gaya (gaya aksi) kepada benda yang lain, benda kedua akan mengerjakan gaya (gaya reaksi) pada benda pertama yang besarnya sama dan arahnya berlawanan”. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan: “Untuk setiap gaya aksi, terdapat suatu gaya reaksi yang besarnya sama dan arahnya berlawanan”. Artinya, bahwa gaya aksi dan reaksi tersebut memiliki besar yang sama, tetapi berlawanan arah dan bekerja pada dua benda yang berbeda. Secara matematis Hukum III Newton dapat ditulis sebagai berikut.

Faksi = – Freaksi (2.3)

Hukum III Newton (Krisno, dkk., 2008) menyiratkan bahwa setiap gaya pasti memiliki pasangan yang besarnya sama dan arahnya berlawanan. Pasangan gaya ini disebut pasangan aksi-reaksi. Dua gaya dikatakan pasangan aksi-reaksi jika:

a. bekerja pada dua benda yang berbeda, b. saling berinteraksi, dan

c. besarnya sama dan berlawanan arah.

H. Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan terhadap interaksi antara siswa-siswa, dan interaksi antara siswa-guru, serta peningkatan keterampilan proses sains dan pemahaman konsep siswa melalui penerapan model pembelajaran Children’s Learning In Science, antara lain.


(36)

1. Scott in association with Dyson and Gater (1987), menyimpulkan bahwa efek praktis dari mengadopsi pandangan konstruktivis pada model pembelajaran CLIS menunjukkan dampak positif yang cukup besar, dan sangat berguna baik dalam hal mengajar maupun belajar. Konstruktivisme juga membawa berbagai perubahan positif dalam praktek mengajar guru dan cara siswa belajar.

2. Needham in association with Hill (1987), menemukan bahwa dengan penerapan model pembelajaran CLIS dalam kelas terlihat siswa sangat antusias dengan kesadaran perubahan dalam ide-ide mereka dan siswa mampu mengartikulasikan perubahan tersebut. Dengan meninjau kembali proses belajar yang telah dialami, siswa dapat membandingkan ide-ide awal mereka dengan ide yang mereka miliki setelah kegiatan pembelajaran. Hal ini meningkatkan motivasi mereka untuk belajar dan terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran CLIS juga mendorong siswa “belajar untuk belajar”.

3. Penelitian Tomo (1995), bahwa profil konsepsi siswa melalui model pembelajaran CLIS meningkat secara bervariasi. Dilihat secara numerik ditemukan terdapat perubahan konseptual siswa yang signifikan setelah belajar melalui model pembelajaran CLIS. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan belajar melalui model pembelajaran CLIS siswa dapat menguasai konsep secara baik.

4. Penelitian Salwin (1996), bahwa penggunaan model pembelajaran CLIS dapat meningkatkan hasil belajar dan kemampuan siswa SMP dalam memahami dan menerapkan konsep-konsep fisika. Peningkatan hasil belajar tersebut


(37)

merupakan pengaruh dari penerapan model pembelajaran CLIS. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pembelajaran CLIS dapat menambah wawasan dan pengetahuan siswa SMP dalam mengaitkan konsep-konsep fisika yang ilmiah dengan fenomena alam dalam kehidupan sehari-hari.

5. Penelitian Nurjannah (2005), menyimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa semakin meningkat dari seri ke seri yang terlihat dari hasil perolehan gain skor ternormalisir pada seri-I <g> = 0,60 (sedang) meningkat menjadi <g> = 0,72 (tinggi) pada seri-II dan meningkat menjadi <g> = 0,81 (tinggi) pada seri-III. Pada uji hipotesis dengan uji-t, pada taraf signifikansi 0,05 diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada peningkatan pemahaman konsep siswa dengan menggunakan model pembelajaran CLIS yang dikembangkan dari seri-I ke seri-II. Dan terdapat perbedaan yang signifikan pada peningkatan pemahaman konsep fisika dengan menggunakan model pembelajaran CLIS yang dikembangkan dari seri-II ke seri-III.

6. Penelitian Purnawanti (2007), menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara keterampilan proses sains siswa sebelum dan sesudah penerapan model pembelajaran CLIS. Keterampilan proses sains siswa selama tiga kali pembelajaran berkembang dari 35,08% (kurang) pada pertemuan pertama, menjadi 51,83% (cukup) pada pertemuan ke dua, dan 60,06% (baik) pada pertemuan ke tiga.


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pre experimental (Sugiyono, 2009). Desain yang digunakan adalah “The One-Group Pretest-Posttest Design (Fraenkel & Wallen, 2006). Dalam desain seperti ini, terdapat satu kelompok eksperimen tanpa kelompok pembanding. Dalam desain one-group pretest-posttest kelompok subjek tunggal diberi pre-test (O), kemudian diberi perlakuan/treatment (X), dan diakhiri dengan posttest (O). Desain yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.

O X O

Pre-test Treatment Post-test

Gambar 3.1. Desain Penelitian The One-Group Pretest-Posttest Design Keterangan:

O : Tes awal (pretest) sama dengan tes akhir (posttest)

X : Perlakuan (treatment) dengan menerapkan model pembelajaran CLIS

B. Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri di Bandung yang terdaftar pada tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 350 orang. Teknik pengambilan sampel adalah dengan cara simple random sampling. Sebagai sampel penelitian dipilih satu kelas secara acak dari sepuluh kelas yang memiliki kemampuan yang setara tanpa mengacak siswa tiap


(39)

kelasnya. Berdasarkan hal tersebut maka sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-A yang berjumlah 36 orang.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes keterampilan proses sains, tes pemahaman konsep, lembar observasi, angket dan pedoman wawancara.

1. Tes keterampilan proses sains

Instrumen tes keterampilan proses sains digunakan untuk mengukur keterampilan proses sains siswa sebelum (pre-test) dan setelah (post-test) diberikan pembelajaran pada konsep hukum Newton. Item soal keterampilan proses sains yang dikembangkan berbentuk pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban. Indikator tes untuk melihat keterampilan proses sains siswa dibatasi pada keterampilan menginterpretasi data, meramalkan, berkomunikasi, merencanakan percobaan, dan menerapkan konsep (Rustaman, dkk., 2005). Instrumen tes yang digunakan baik pada pre-test maupun post-test merupakan tes yang sama, dimaksudkan supaya tidak ada pengaruh perbedaan kualitas instrumen terhadap perubahan keterampilan proses sains yang terjadi.

2. Tes pemahaman konsep

Instrumen tes pemahaman konsep digunakan untuk menentukan pemahaman konsep siswa sebelum (pre-test) dan setelah (post-test) diberikan pembelajaran pada konsep hukum Newton. Instrumen tes pemahaman konsep yang digunakan adalah tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda yang penyusunannya berdasarkan


(40)

indikator pemahaman konsep pada taksonomi Bloom yang telah direvisi (Anderson et al, 2001) dan indikator pembelajaran yang hendak dicapai pada KTSP.

Perancangan item soal tes pemahaman konsep berpedoman pada taksonomi Bloom yang telah direvisi (Anderson et al, 2001) mengenai pemahaman konsep, yaitu menginterpretasikan, mencontohkan, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan. Instrumen tes yang digunakan baik pada pre-test maupun post-test merupakan tes yang sama, dimaksudkan supaya tidak ada pengaruh perbedaan kualitas instrumen terhadap perubahan pengetahuan dan pemahaman konsep yang terjadi.

3. Lembar observasi

Instrumen lembar observasi dalam penelitian ini yaitu lembar observasi aktivitas guru. Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk mengamati aktivitas guru selama kegiatan belajar mengajar dan mengamati keterlaksanaan penerapan model pembelajaran CLIS sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran serta suasana kelas dalam kegiatan pembelajaran.

4. Angket

Instrumen angket dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan tanggapan siswa terhadap pembelajaran konsep hukum Newton dan tanggapan guru mengenai model pembelajaran yang diterapkan. Angket siswa bertujuan untuk mengungkap beberapa hal meliputi: 1) persepsi siswa terhadap kegiatan pembelajaran konsep hukum Newton; 2) motivasi dan aktivitas belajar siswa setelah kegiatan pembelajaran konsep hukum Newton; 3) kemudahan siswa dalam


(41)

belajar atau menyelesaikan tugas-tugas fisika yang diberikan oleh guru; dan 4) ketertarikan siswa terhadap kegiatan pembelajaran konsep hukum Newton.

Angket tanggapan guru diberikan kepada guru IPA-Fisika yang kelasnya dipakai sebagai kelas penelitian. Angket guru bertujuan untuk mengungkap tanggapan guru terhadap model pembelajaran CLIS yang telah diterapkan pada konsep hukum Newton, meliputi: 1) kesan guru terhadap penerapan model pembelajaran CLIS; 2) persepsi guru terhadap penerapan model pembelajaran CLIS; dan 3) ketertarikan guru terhadap penerapan model pembelajaran CLIS.

Dalam penelitian ini, penulis hanya ingin mengetahui persentase siswa yang setuju dan tidak setuju terhadap pembelajaran konsep hukum Newton yang diajar dengan penerapan model pembelajaran CLIS dan persentase guru yang setuju dan tidak setuju terhadap penerapan model pembelajaran CLIS pada konsep hukum Newton.

5. Wawancara

Instrumen wawancara dalam penelitian ini terbagi dilakukan pada guru dan siswa digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai tanggapan lebih detail dari siswa tentang pembelajaran hukum Newton dan tanggapan guru terhadap penerapan model pembelajaran CLIS dalam proses belajar-mengajar yang akan dilakukan setelah kegiatan pembelajaran. Selain itu, juga wawancara dengan guru diperlukan untuk memperoleh gambaran kegiatan pembelajaran yang biasa diterapkan guru di kelas selama ini, dan sejauh pengetahuan guru mengenai metode pembelajaran dan bagaimana penerapannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas.


(42)

D. Prosedur Penelitian

Tahapan-tahapan yang telah ditempuh dalam penelitian ini meliputi tiga langkah, yaitu: perencanaan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan diakhiri dengan evaluasi atau analisis hasil penelitian.

1. Perencanaan penelitian

Langkah-langkah perencanaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. a. Melakukan studi pendahuluan berupa observasi pada tempat penelitian untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi sekolah dalam kegiatan pembelajaran fisika serta keadaan sekolah dan jumlah kelas populasi yang dijadikan subyek penelitian juga kegiatan pembelajaran dan hasil belajar yang dicapai.

b. Merumuskan masalah dan alternatif pemecahan masalah berdasarkan hasil temuan studi pendahuluan.

c. Melakukan studi literatur untuk mengkaji temuan-temuan studi pendahuluan. Studi ini juga dilakukan untuk mencari teori-teori yang berkaitan dengan model pembelajaran CLIS, keterampilan proses sains dan pemahaman konsep, serta konsep hukum Newton. Selain itu, juga yang berhubungan dengan teori-teori pengembangan penelitian dan hasil-hasil penelitian yang relevan. Hasil studi literatur, selanjutnya, digunakan sebagai landasan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran.

d. Menyusun perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan tahap-tahap model pembelajaran CLIS yang akan diterapkan untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan


(43)

pemahaman konsep hukum Newton siswa. RPP yang telah dibuat kemudian didiskusikan dengan pembimbing dan guru mata pelajaran fisika kelas VIII. e. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam pembelajaran.

f. Menyusun instrumen penelitian yang terdiri dari kisi-kisi dan instrumen tes keterampilan proses sains dan pemahaman konsep fisika, lembar observasi guru, angket dan pedoman wawancara.

g. Mengkonsultasikan (pertimbangan/judgment) kisi-kisi dan instrumen tes keterampilan proses sains dan pemahaman konsep hukum Newton yang telah dibuat berdasarkan kisi-kisi dan indikator yang dipilih kepada dosen pembimbing dan beberapa dosen ahli.

h. Melakukan uji coba instrumen tes keterampilan proses sains dan pemahaman konsep fisika pada subyek yang pernah mempelajari materi hukum Newton. i. Menganalisis hasil uji coba tes untuk melihat kualitas instrumen tes yang

meliputi reliabilitas tes, tingkat kemudahan item soal dan daya pembeda item soal dalam tes.

j. Penentuan instrumen dan perbaikan instrumen yang akan digunakan sebagai instrumen tes penelitian berdasarkan hasil uji coba dan analisis instrumen. 2. Pelaksanaan penelitian

Penelitian ini sifatnya kolaborasi antara peneliti dan guru fisika. Adapun langkah-langkah pelaksanaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut. a. Pemilihan sampel penelitian secara simple random sampling dari populasi


(44)

b. Memberikan pre-test keterampilan proses sains dan pemahaman konsep pada siswa yang menjadi sampel penelitian untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum pembelajaran.

c. Melaksanakan kegiatan pembelajaran konsep hukum Newton dengan menerapkan model pembelajaran CLIS.

d. Melakukan observasi aktivitas guru selama kegiatan pembelajaran.

e. Memberikan post-test keterampilan proses sains dan pemahaman konsep pada siswa setelah pembelajaran pada konsep hukum Newton untuk mengetahui peningkatan keterampilan proses sains dan pemahaman konsep siswa.

3. Evaluasi /analisis hasil penelitian

a. Mengolah dan menganalisis data hasil penelitian untuk menguji hipotesis. b. Pembahasan dan kesimpulan dengan mempergunakan kajian pustaka yang

menunjang dan berdasarkan hasil analisis data.

c. Menginterprestasi data hasil penelitian dalam suatu laporan hasil penelitian.

E. Teknik Analisis Data 1. Analisis instrumen penelitian a. Validitas item soal

Instrumen yang valid berarti instrumen yang benar-benar dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2009). Sedangkan, menurut Anderson et al. (1975 dalam Arikunto, 2008), sebuah tes dikatakan valid atau sahih (dalam bahasa Indonesia) apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Karena itu, validitas tes adalah suatu ukuran yang menunjukkan


(45)

tingkat-tingkat kevalidan atas kesahihan suatu instrumen. Validitas instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah validitas isi dengan cara di judgment kelompok ahli yang berjumlah tiga orang untuk mengetahui kesesuaian antara soal dengan indikator pembelajaran, indikator soal, indikator pemahaman konsep dan indikator keterampilan proses sains serta kunci jawaban tes.

Hasilnya dari ketiga tenaga ahli yang diminta pertimbangan (judgment), diperoleh kesimpulan bahwa instrumen tes keterampilan proses sains dan tes pemahaman konsep hukum Newton yang telah disusun penulis sudah memenuhi validitas isi dan dapat digunakan untuk keperluan penelitian. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperbaiki terkait dengan konten, konteks dan redaksi soal. Selain itu, ada beberapa catatan dari tenaga ahli sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan instrumen, catatan ini selengkapnya dapat dilihat pada lembar judgment tes pemahaman konsep dan keterampilan proses sains yang telah diisi oleh para ahli pada Lampiran B.9 dan Lampiran B.10.

b. Reliabilitas Tes

Menurut Munaf (2001) reliabilitas juga dapat diartikan sebagai tingkat keajegan (konsisten) suatu tes, yakni sejauh mana suatu tes dapat dipercaya untuk menghasilkan skor yang konsisten (tidak berubah-ubah) setiap kali dipakai. Pengujian reliabilitas instrumen dilakukan secara eksternal dengan test-retest yang dilakukan dengan cara mengujicobakan instrumen beberapa kali pada responden dengan waktunya yang berbeda. Reliabilitas diukur dari koefisien korelasi antara percobaan pertama dengan yang berikutnya. Bila koefisien korelasi positif dan signifikan maka instrumen tersebut dinyatakan reliabel (Sugiyono, 2009).


(46)

Pengujian reliabilitas tes dalam penelitian ini menggunakan teknik korelasi product moment angka kasar (Sugiyono, 2009):

 

  } ) ( }{ { ) )( ( 2 2 2 2 Y Y N X X N Y X XY N

rXY (3.1)

Keterangan:

rXY = koefisien korelasi

X = skor tes pertama Y = skor tes ke dua N = jumlah subyek

Kategori reliabilitas tes dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1

Kategori Reliabilitas Tes Koefisien reliabilitas Kategori

rXY≤ 0,20 Sangat rendah

0,20 < rXY ≤ 0,40 Rendah

0,40 < rXY ≤ 0,60 Cukup (sedang)

0,60 < rXY ≤ 0,80 Tinggi

0,80 < rXY≤ 1,00 Sangat tinggi

Berdasarkan hasil analisis reliabilitas instrumen tes keterampilan proses sains dan tes pemahaman konsep dengan menggunakan Software Microsoft Office Excel 2007, diperoleh besar koefisien reliabilitas (rXY) untuk tes keterampilan proses sains sebesar 0,61 yang berada pada kategori tinggi (Lampiran C.1). Sedangkan besar koefisien reliabilitas (rXY) untuk tes pemahaman konsep adalah sebesar 0,63 yang berada pada kategori tinggi (Lampiran C.2).


(47)

c. Tingkat kemudahan item soal

Tingkat kemudahan adalah bilangan yang menunjukkan mudah atau sukarnya suatu soal. Indeks kemudahan diberi simbol P (proporsi) yang dihitung dengan rumus (Arikunto, 2008):

JS B P

(3.2)

Keterangan:

P = tingkat kemudahan item soal tertentu

B = banyaknya siswa yang menjawab benar item soal ke-i JS = jumlah siswa peserta tes

Kategori penafsiran tingkat kemudahan item soal dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2

Kategori Tingkat Kemudahan Item Soal

Batasan Kategori

0,00 ≤ P < 0,30 Sukar

0,30 ≤ P < 0,70 Sedang

0,70 ≤ P ≤ 1,00 Mudah

(Arikunto, 2008) d. Daya pembeda item soal

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan rendah dengan siswa yang berkemampuan tinggi (Arikunto, 2008). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut Indeks Diskriminasi (D) yang dihitung dengan rumus:

B B A A B A

J B J B P P

D   


(48)

Keterangan :

D = indeks diskriminasi item soal tertentu JA = banyaknya peserta kelompok atas

JB = banyaknya peserta kelompok bawah

BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar

BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar

PA = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar

PB = proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

Kategori daya pembeda item soal dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3

Kategori Daya Pembeda Item Soal

Batasan Kategori

0,00 ≤ D ≤ 0,20 Jelek

0,20 < D ≤ 0,40 Cukup

0,40 < D ≤ 0,70 Baik

0,70 < D ≤ 1,00 Baik sekali

(Arikunto, 2008)

Selanjutnya, hasil analisis instrumen tes keterampilan proses sains yang meliputi hasil validitas isi, analisis tingkat kemudahan item soal, dan daya pembeda item soal adalah tercantum dalam Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Hasil Validitas Isi, Tingkat Kemudahan Item Soal, dan Daya Pembeda Item Soal Tes Keterampilan Proses Sains

No.

Soal Validitas Isi

Tingkat Kemudahan Item Soal

Daya Pembeda

Item Soal Kesimpulan

1 Valid Sedang Baik Dipakai

2 Valid Sedang Baik Dipakai

3 Valid Sedang Baik Sekali Dipakai

4 Valid Sedang Baik Dipakai


(49)

No.

Soal Validitas Isi

Tingkat Kemudahan Item Soal

Daya Pembeda

Item Soal Kesimpulan

6 Valid Sedang Baik Dipakai

7 Valid Sedang Baik Dipakai

8 Valid Sukar Cukup Dipakai

9 Valid Sedang Jelek Tidak dipakai

10 Valid Mudah Jelek Tidak dipakai

11 Valid Sedang Baik Sekali Dipakai

12 Valid Sedang Baik Dipakai

13 Valid Sedang Cukup Dipakai

14 Valid Sedang Cukup Dipakai

15 Valid Sedang Baik Dipakai

16 Valid Sedang Jelek Tidak dipakai

17 Valid Sedang Jelek Tidak dipakai

18 Valid Sedang Baik Dipakai

19 Valid Sedang Cukup Dipakai

20 Valid Sedang Baik Dipakai

21 Valid Sedang Jelek Tidak dipakai

22 Valid Sedang Baik Dipakai

23 Valid Sedang Cukup Dipakai

24 Valid Sukar Cukup Dipakai

(Lampiran C.1) Berdasarkan data hasil analisis pada Tabel 3.4, terdapat 6 item soal KPS yang tidak dipakai yaitu soal no. 5, 9, 10, 16, 17 dan 21 disebabkan karena soal-soal tersebut memiliki daya pembeda item soal-soalnya jelek dan terdapat item soal-soal yang tingkat kemudahannya berada pada kategori mudah. Sementara itu, terdapat 18 item soal KPS yang dapat dipakai yaitu soal no. 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 19, 20, 22, 23 dan 24. Distribusi jenis keterampilan proses sains pada soal tes KPS yang diuji cobakan dapat dilihat pada Tabel 3.5. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran C.1.

Tabel 3.5

Distribusi Soal Tes Keterampilan Proses Sains yang Diujicobakan

Jenis KPS No. Soal Jumlah

Dipakai Tidak Dipakai

Menginterpretasi data 6 dan 7 16 dan17 4

Meramalkan 2, 3, 12, 13, 14, 15 dan 23 5, 9 dan 10 10


(50)

Merencanakan percobaan 8, 11 dan 24 - 3

Menerapkan konsep 1, 20 dan 22 21 4

Jumlah 18 6 24

(Lampiran B.1) Delapan belas item soal KPS yang terpakai mencakup lima aspek keterampilan proses sains yang akan diteliti dalam penelitian ini. Untuk keperluan penelitian, seluruh soal-soal yang tidak terpakai dibuang dan soal-soal yang terpakai disusun kembali menjadi soal pre-test dan post-test keterampilan proses sains, sehingga nomor-nomor soal tersebut berubah yaitu untuk aspek keterampilan menginterpretasi data, yang berjumlah 2 soal menjadi soal no. 8 dan 9, aspek keterampilan meramalkan, berjumlah 7 soal menjadi soal no. 2, 3, 6, 11, 12, 13 dan 14, aspek keterampilan berkomunikasi, berjumlah 3 soal menjadi soal no. 4, 15 dan 16, aspek keterampilan merencanakan percobaan, berjumlah 3 soal menjadi soal no. 5, 7 dan 10, serta aspek keterampilan menerapkan konsep, berjumlah 3 soal menjadi soal no. 1, 17 dan 18.

Sementara itu, hasil analisis instrumen tes pemahaman konsep yang meliputi hasil validitas isi, tingkat kemudahan item soal, dan daya pembeda item soal adalah tercantum dalam Tabel 3.6.

Tabel 3.6

Hasil Validitas Isi, Tingkat Kemudahan Item Soal, dan Daya Pembeda Item Soal Tes Pemahaman Konsep

No. Soal

Validitas Isi

Tingkat Kemudahan Item Soal

Daya Pembeda

Item Soal Kesimpulan

1 Valid Sukar Baik Dipakai

2 Valid Sedang Baik Dipakai

3 Valid Sedang Jelek Tidak Dipakai

4 Valid Sedang Baik Sekali Dipakai

5 Valid Sedang Jelek Tidak Dipakai

6 Valid Sedang Baik Dipakai

7 Valid Sedang Baik Dipakai


(1)

Siti Mutiara Ningsih Asshagab, 2012

Penerapan Model Pembelajaran Children’s Learning In Science (Clis) Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Dan Pemahaman Konsep Hukum Newton Siswa

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

baik secara individual.

3. Agar instrumen yang digunakan tidak mempengaruhi hasil yang dicapai dalam penelitian, maka sebaiknya dalam menyusun soal tes, proporsi setiap soal tes yang akan mengukur setiap indikator keterampilan atau pemahaman konsep dibuat seimbang, baik untuk jumlah soal setiap indikator ataupun tingkat kemudahan setiap soalnya.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti merekomendasikan beberapa sebagai berikut.

1. Perlu diadakan penelitian lanjutan terkait penerapan model pembelajaran CLIS dengan menggunakan kelas kontrol untuk melihat efektivitasnya dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional ataupun model pembelajaran lainnya.

2. Perlu diadakan penelitian selanjutnya dengan menerapkan model pembelajaran CLIS pada mengambil konsep fisika yang lain dengan tinjauan yang berbeda misalnya keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir logis atau yang lainnya, baik pada siswa di tingkat sekolah dasar atau lanjutan maupun pada perguruan tinggi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Adrian. (2004). Artikel “Metode Mengajar Berdasarkan Tipologi Belajar Siswa”. [online]. Tersedia di: http://artikel.us/art05_65.html. [diakses tanggal 21 Desember 2011]

Anderson, L.W. et al. (2001). A Taxonomy for Learning Teaching and Assesing, a revision of Bloom’s taxonomy of educational objective. New York: Longman.

Arikunto, S. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Asrori, M. (2008). Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.

Bettencourt, A. (1989). What is Constructivism and Why are They all Talking about it?. Michigan: Michigan State University Press.

Bloom, B. S. (1979). Taxonomy of Educational Objectives The Classification of Educational Goals. London: Longman Group LTD.

BSNP. (2006). Panduan penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Carin. (1993). Hakikat Pembelajaran IPA. [Online]. Tersedia: http://anwarholil.blogspot.com/2009/01/hakikat-pembelajaran-ipa.html. [diakses tanggal 19 Desember 2011]

Cullingford, C. (1995). The Effective Teacher. London and New York: Cassel Dahar, R.W. (1996). Teori – Teori Belajar, Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (2006). Standar Isi dan Standar Proses. Jakarta: Depdiknas.

Diana, M. (2011). Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar IPA Melalui Penerapan Model Pembelajaran CLIS (Children Learning In Science) Di SMPN 1 Tanjungraja Semester Genap Tahun Ajaran 2010/2011. Tersedia: www.pdf-archive.com/2011/12/05/28...diana/28-merita-diana.pdf [diakses tanggal 21 Desember 2011]

Dimyati & Mujiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka. Cipta.


(3)

Driver, R. (1988). Theory into practice II: A constructivist approach to curriculum development. In P. Fensham (Ed.), Development and dilemmas in science education. New York: Falmer.

Fraenkel, J.R. & Wallen, N.E. (2006). How to Design and Evaluation Research in Education Sixth Edition. Boston: McGraw-Hill.

Gitanisari, M. (2008). Penerapan Metode Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Glynn, S.M & Duit, R., (1995). Learning Science In The School: Research Reforming Practice. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers Mahwah.

Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. Tersedia: http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2=ind9903&L=aera-d&P=R6855 [diakses tanggal 19 Juni 2012].

Istanti, D. (2010). Pengaruh Motivasi, Metode Pembelajaran Dan Lingkungan Terhadap Prestasi Belajar Akuntansi Pada Siswa Kelas XI Ilmu Sosial SMA Negeri 1 Karanganom Klaten. Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang. Semarang: Tidak diterbitkan.

Krisno, H. Moch. A., dkk. (2008). Ilmu Pengetahuan Alam: SMP/MTs Kelas VIII. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Matthews, M. (1994) Science Teaching. New York: Routledge.

Meltzer. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible”Hidden Variable” in Diagnostic Pretest Scores” American Journal Physics.

Munaf, S. (2001). Diktat Perkuliahan Evaluasi Pendidikan Fisika. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI.

Needham, R., in association with Hill, P. (1987). CLIS In The Classroom “Teaching Strategies For Developing Understanding In Science. Children’s Learning In Science Project: University of Leeds.

Ningsih, S.M. (2009). Penerapan Model Pembelajaran CLIS (Children Learning In Science) untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas VIII pada Materi Pokok Alat-Alat Optik. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FKIP UNHALU Kendari: Tidak Diterbitkan.


(4)

Nurjanah. I. (2005). Pengembangan Model Pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep. Skripsi S1 UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Osborne, R. and Freyberg, P. 1984. Learning in Science: The Implications of Children′s Science. New Zaeland: Heinemann Publishers.

Piaget, J. (1971). Physchology and Epistemology. New York: The Viking Press. Purnawanti, Y. (2007). Penerapan Model Pembelajaran Children’s Learning In

Science (CLIS) dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa SMP. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Putri, C. U. (2009). Penerapan Metode Pembelajaran Generatif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Rofingatun, S. (2006). Penerapan Metode Penemuan dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika Siswa SMP. Skripsi pada FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Rustaman, N dan Rustaman, A. (1997), Pokok-Pokok Pengajaran Biologi dan

Kurikulum 1994. Jakarta: Pusbuk Depdikbud.

Rustaman, N., dkk (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Malang: UM Press. Salwin, MD., (1996). Model Pembelajaran CLIS dalam upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa Memahami dan Mengembangkan Konsep Fisika. Tesis Magister PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Santyasa, I. W. (2009). Pengembangan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Bagi Siswa SMA Dengan Pemberdayaan Metode Perubahan Konseptual Berseting Investigasi Kelompok. [online]. Tersedia di:

www.freewebs.com/.../PENGEMBANGAN_PEMAHAMAN_KONSE P.pdf [diakses tanggal 21 Juni 2011]

Scott, P. in association with Dyson, T. and Gater, S, P. (1987). A Constructivist View of Learning and Teaching in Science. Children’s Learning In Science Project: University of Leeds.

Semiawan, C., dkk. (1986). Pendekatan Keterampilan Proses, Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta: Gramedia.


(5)

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan “Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D”. Bandung: Alfabeta.

Suhandi, A. (2010). Materi Presentasi Perkuliahan Praktikum Fisika SL. Bandung: Tidak diterbitkan.

Suherman, E., dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumaji, dkk., (1997). Pendidikan Sains yang Humanistis “Persembahan 72 tahun Pater J.I.G.M Drost, S.J. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Kanisius.

Suparno, P. (2006). Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik & Menyenangkan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sutarno, M. (2011). Fenomena Fisika “Informasi Pendidikan & Sains Terkini” [online]. Tersedia di: http://fisika21.wordpress.com/ [diakses tanggal 14 September 2011]

Syafrina, A. (2000). Pengembangan Model pembelajaran CLIS untuk meningkatkan keterampilan berpikir rasional siswa kelas III sekolah dasar pada konsep hewan dan benda. Tesis Magister PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Tomo. (1995). Model Konstruktivis untuk Membangkitkan Perubahan Konseptual Siswa dalam Pengajaran IPA. Tesis Magister PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Tytler, R., (1996). Constructivism and Conseptual Change Views of Learning In Science. Bandung: IMAPIPA PPS IKIP Bandung & PPS IKIP Bandung.

Universitas Pendidikan Indonesia. (2010). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI.

UU Sisdiknas. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Wasis, dkk. (2008). Contextual Teaching and Learning: Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Menegah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Kelas VII Edisi 4. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.


(6)

Wibowo, F.C., (2012). Penerapan Model Pembelajaran Fisika Berbasis Proyek untuk Meningkatkan Hasil Belajar Kognitif dan Keterampilan Berpikir Kreatif. Tesis Magister PPS IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.

Wijaya, N. (1997). Penerapan Model Pembelajaran CLIS (Children’s Learning In Science) untuk Meningkatkan Konsepsi Siswa tentang Sumber Makanan dalam Pembelajaran IPA-SD. Tesis Magister PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Wonorahardjo, S. (2010). Dasar-Dasar Sains (Menciptakan Masyarakat Sadar Sains). Jakarta: Indeks.

Yustisia, Tim Pustaka. (2007). Panduan Lengkap KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) SD/MI, SMP, SMA/SMK. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.