PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CONNECTING-ORGANIZING-REFLECTING-EXTENDING (CORE) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS : Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa SMA di Duri.
DAFTAR ISI
Halaman LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 13
E. Definisi Operasional ... 13
F. Hipotesis Penelitian ... 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pembelajaran Matematika ... 16
B. Model CORE ... 17
C. Pemahaman Matematis ... 20
D. Koneksi Matematis... 24
E. Sikap Siswa ... 26
F. Teori-teori Belajar yang Mendukung ... 27
G. Hasil Penelitian yang Relevan ... 32
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 33
B. Subyek Penelitian ... 34
C. Instrumen Penelitian... 34
1. Bahan Ajar ... 35
2. Lembar Observasi ... 35
3. Tes Kemampuan Awal Matematis ... 36
(2)
a. Validitas Tes... 40
b. Reliabilitas ... 44
c. Daya Pembeda ... 45
d. Tingkat Kesukaran ... 46
e. Angket Skala Sikap ... 48
D. Teknik Pengumpulan Data ... 49
E. Teknik Pengolahan Data ... 49
1. Analisis Data Kualitatif ... 49
2. Analisis Data Kuantitatif ... 50
F. Tahapan Penelitian ... 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 56
1. Deskriptif Pembelajaran CORE ... 56
2. Kemampuan Pemahaman Matematis ... 59
3. Kemampuan Koneksi Matematis ... 78
4. Skala Sikap Siswa ... 96
B. Pembahasan ... 103
1. Model Pembelajaran ...103
2. Kemampuan Awal Matematis ... 104
3. Kemampuan Pemahaman Matematis ... 105
4. Kemampuan Koneksi Matematis ... 105
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 106
B. Implikasi ... 107
C. Rekomendasi ... 107
(3)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Desain Penelitian……… 34
3.2 Banyaknya siswa berdasarkan kategori KAM ……… 37
3.3 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Koneksi ……… 39
3.4 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Pemahaman ………. 39
3.5 Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas ………... 42
3.6 Hasil Uji Validasi Butir Soal ………... 43
3.7 Reliabilitas ……….………. 44
3.8 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas ………... 45
3.9 Klasifikasi Daya Pembeda ……….. 46
3.10 Interpretasi Daya Pembeda ………. 46
3.11 Kriteria Tingkat Kesukaran ………..……….. 47
3.12 Interpretasi Tingkat Kesukaran ………..……… 47
3.13 Rekapitulasi Hasil Uji coba Instrumen ………... 48
3.14 Klasifikasi Gain Ternormalisasi ………. 51
4.1 Statistik Deskriptif Kemampuan Pemahaman Matematis ………… 60
4.2 Rataan Skor Pre-test, Post-test, dan N-gain Kemampuan Pemahaman Matematis Siswa ………. 60
4.3 Uji Normalitas Skor Pre-test dan Post-tes Pemahaman Matematis ……….. 62 4.4 Uji Homogenitas Varians Skor Post-test Kemampuan Pemahaman Matematis ……….. 63
(4)
4.5 Uji Kesamaan Rataan Skor Pre-test
Kemampuan Pemahaman Matematis ……… 65
4.6 Uji Perbedaan Rataan Skor Post-test Kemampuan
Pemahaman Matematis ………. 66
4.7 Rataan dan Klasifikasi N-gain Kemampuan
Pemahaman Matematis ………. 67
4.8 Uji Normalitas N-gain ………... 69 4.9 Uji Homogenitas Varians Skor N-gain ………... 70 4.10 Uji Perbedaan Rataan Skor N-gain
Kemampuan Pemahaman Matematis ………... 71
4.11 Deskripsi Data KPM berdasarkan KAM
dan Pembelajaran ……..……….. 72
4.12 Uji Normalitas Skor N-gain Kemampuan
Pemahaman Matematis…………... 74
4.13 Uji Homogenitas Varians Skor N-gain
Kemampuan Pemahaman Matematis ……… 75
4.14 Uji Anova Dua Jalur Peningkatan
KPM berdasarkan KAM dan Pembahasan……… 77
4.15 Statistik Deskriptif Kemampuan Koneksi Matematis ………… 78 4.16 Rataan Skor Pre-test, Post-test, dan N-gain
Kemampuan Koneksi Matematis Siswa ………. 79
4.17 Uji Normalitas Skor Pre-test dan Post-tes
Koneksi Matematis ……….. 81
4.18 Uji Kesamaan Rataan Skor Pre-test
Kemampuan Koneksi Matematis ……… 82
(5)
Kemampuan Koneksi Matematis ………... 84
4.20 Rataan dan Klasifikasi N-gain Kemampuan Koneksi Matematis ………. 84
4.21 Uji Normalitas N-gain ………... 86
4.22 Uji Perbedaan Rataan Skor N-gain Kemampuan Koneksi Matematis ………... 88
4.23 Deskripsi Data KKM berdasarkan KAM dan Pembelajaran ……..……….. 89
4.24 Uji Normalitas Skor N-gain Kemampuan Koneksi Matematis…………... 91
4.25 Uji Homogenitas Varians Skor N-gain Kemampuan Koneksi Matematis ……….. 92
4.26 Uji Anova Dua Jalur Peningkatan KKM berdasarkan KAM dan Pembahasan……… 94
4.27 Rangkuman Pengujian Hipotesis ……….. 96
4.28 Sikap Siswa terhadap Pelajaran Matematika ……….. 97
4.29 Sikap Siswa terhadap Pembelajaran CORE ……….. 100 4.30 Sikap Siswa terhadap soal kemampuan pemahaman
dan koneksi matematis ………...
(6)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
4.1 Hasil kerja kelompok siswa ………..……….. 58
4.2 Hasil kerja kelompok siswa ………..……….. 59
4.3 Hasil kerja kelompok siswa ………..……….. 59
4.4 Perbandingan Rataan Skor Pretest dan Postest
Kemampuan Pemahaman Matematis……...………... 61
4.5 Perbandingan Rataan Skor N-Gain
Kemampuan Pemahaman Matematis……...………... 67
4.6 Perbandingan Rataan N-gain Berdasarkan Pembelajaran
dan Kategori Kemampuan Awal Matematis ……….... 73
4.7 Perbandingan Rataan Skor Pretest dan Postest
Kemampuan Koneksi Matematis……...………... 79
4.8 Perbandingan Rataan Skor N-Gain
Kemampuan Koneksi Matematis……...………... 85
4.9 Perbandingan Rataan N-gain Berdasarkan Pembelajaran
(7)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A ...
1. Silabus ... 121
2. RPP ... 125
3. LKS ... 165
4. Kisi-kisi Tes Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis ... 233
5. Kisi-kisi Skala Sikap ... 245
6. Kisi-kisi Kemampuan Awal Matematis (KAM) ... 248
7. Lembar Observasi ... 257
Lampiran B... 1. Hasil Ujicoba Tes Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis ... Lampiran C... 1. Data Pretes, Postes, dan N-Gain Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis ... 271
2. Distribusi Respon Skala Sikap ... 273 3. Hasil Transformasi Skala Sikap Siswa ... 4. Presentase Skala Sikap Siswa Terhadap Pelajaran Matematika ... 5. Presentase Skala Sikap Siswa Terhadap Pembelajaran CORE ... 6. Presentase Skala Sikap Siswa Mengapresiasikan Peran Matematika ...
(8)
1. Statistik Data Pretes, Postest, dan N-Gain
Kemampuan Pemahaman Matematis ... 290 2. Statistik Data Pretes, Postest, dan N-Gain
Kemampuan Pemahaman Matematis Berdasarkan KAM ... 290 3. Statistik Data Pretes, Postest, dan N-Gain
Kemampuan Koneksi Matematis ... 290 4. Statistik Data Pretes, Postest, dan N-Gain
Kemampuan Koneksi Matematis Berdasarkan KAM ... 290 5. Uji Anava Dua Jalur ... 306
Lampiran D ... 1. Photo Aktivitas Siswa ... 290 2. Surat Izin Penelitian ... 294
(9)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang sangat berperan penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu matematika dipelajari pada semua jenjang pendidikan, dengan harapan pendidikan matematika harus dapat menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan kehidupan masa depan (Hodiyah, 2009: 1). Dengan begitu penguasaan ilmu matematika sangat penting dimiliki oleh generasi untuk menghadapi perkembangan zaman yang menuntut sesuatu lebih cepat, praktis dan efisien.
Menurut Sriyanto (2007: 7) mengatakan bahwa penguasaan terhadap bidang matematika merupakan suatu keharusan, apalagi di era persaingan global seperti saat sekarang. Sebab selain matematika landasan utama menguasai sains dan teknologi yang berkembang dengan pesat dewasa ini, dengan belajar matematika orang dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, kritis, dan kreatif, yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang termuat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam memecahkan masalah; (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
(10)
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006: 346).
Dari tujuan pembelajaran matematika di atas dapat disimpulkan bahwa dokumen kurikulum tersebut sudah memperhatikan aspek-aspek kemampuan matematis seperti pemahaman dan koneksi dan aspek afektif seperti disposisi matematis yang di antaranya adalah sikap siswa yang merupakan aspek pengiring yang harus dikembangkan oleh guru. Sehingga tidak hanya kemampuan kognitif saja yang baik tetapi kemampuan afektifnya juga baik juga. Tujuan mata pelajaran matematika di atas yang sangat berkaitan dengan penelitian ini adalah tujuan yang pertama dan kelima.
Kemampuan pemahaman dan koneksi matematis sangat diperlukan sebagai landasan dalam berpikir, karena dengan kemampuan berpikir yang baik seseorang akan dapat mengambil keputusan dalam setiap tindakannya dengan cepat dan benar sesuai kaidah yang berlaku. Salah satu sasaran yang perlu dicapai siswa untuk memperoleh pemahaman yang mendalam dan bermakna adalah memahami matematika yang dipelajarinya melalui kostruksi pemahaman.
(11)
Dengan anak mengkonstruksi sendiri pemahamannya, maka pengetahuan akan diperoleh dengan bermakna. Tentunya hal tersebut harus disesuaikan dengan jenjang atau tingkatan kemampuan berpikir siswa. Dengan begitu tugas guru sebagai manajer di kelas harus memiliki kemampuan yang baik dalam memilih materi dan indikator apa yang harus dimiliki oleh siswanya.
Kemampuan pemahaman matematis yang diperoleh ketika belajar matematika secara bermakna dapat menumbuhkan kemampuan pemahaman matematis dan gagasan-gagasan matematis, seperti: interpreting (menafsirkan), exemplifying (memberikan contoh), classifying (mengklasifikasikan), summarizing (merangkum),
inferring (menduga), comparing (membandingkan) dan explaining (menjelaskan).
Menurut Skemp (1976), kemampuan pemahaman dibagi menjadi dua yakni pertama merupakan kemampuan pemahaman instrumental, sedangkan kedua merupakan kemampuan pemahaman relasional.
Tujuan yang dikembangkan dalam kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan memahami ide-ide matematis. Menurut Skemp (Reziyustika, 2012: 2) kemampuan pemahaman matematika terdiri dari kemampuan instrumental dan kemampuan relasional. Kemampuan relasional memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan instrumental, akan tetapi keduanya dibutuhkan dalam pembelajaran matematika.
Namun tujuan ideal yang dituntut oleh kurikulum di atas tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Menurut Zamroni (Turmudi, 2012: 98) orientasi pembelajaran di Indonesia ditandai oleh kecenderungan menganggap siswa sebagai
(12)
objek, meletakan peran guru sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di kelas, dan menyajikan pelajaran dengan berorientasi sebagai subjek.
Secara khusus berdasarkan hasil studi TIMSS 2003 dan PISA 2000 (Wardhani & Rumiati, 2011: 57), kondisi pembelajaran matematika di Indonesia belum mampu menjadikan siswa mempunyai kebiasaan membaca sambil berpikir dan bekerja, agar dapat memahami informasi esensial dan strategis dalam menyelesaikan soal. Hal ini dikarenakan siswa tidak terbiasa diberikan permasalahan-permasalahan yang menantang kemampuan berpikirnya dan terbiasa menghadapi soal-soal yang bersifat rutin dan instrumental.
Fakta di atas relevan dengan hasil video study yang dilakukan oleh Shadiq (2007: 2), ditemukan bahwa ceramah merupakan metode yang paling banyak digunakan selama mengajar di kelas, waktu yang digunakan siswa untuk problem
solving hanya 32% dari seluruh waktu di kelas. Jelas dengan kondisi tersebut siswa
tidak aktif (pasif), hanya menerima pengetahuan dari guru tanpa mengetahui dari mana didapatnya, dan kurang dilatih kemampuannya dalam menghubungkan pengetahuan lama atau pengalaman dengan permasalahan yang dihadapinya.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa dengan kondisi pembelajaran tersebut aspek pemahaman dan koneksi matematis mendapatkan porsi yang kurang, dan aspek prosedural mendapatkan porsi yang lebih. Padahal rasionalnya belajar matematika adalah belajar melatih kemampuan berpikir. Untuk dapat memiliki kemampuan berpikir dengan baik diperlukan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis yang baik pula.
(13)
Kemampuan pemahaman matematis dapat dilatih melalui pemberian masalah atau situasi yang menuntut kemampuan seseorang untuk mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya, memperkirakan dan membuktikan kebenaran suatu masalah. Dengan kemampuan pemahaman yang baik seseorang akan lebih cepat dan efektif mendapatkan suatu kebenaran yang harus dibuktikan segera.
Kemampuan mengaitkan konsep dengan konsep lainnya merupakan suatu cara seseorang mendapatkan pengetahuan baru, hal ini sesuai dengan pendapat Shadiq (2009) yang menyatakan bahwa anak akan berusaha mengaitkan konsep baru dengan konsep yang dimiliki sebelumnya (schema). Pada saat proses mengaitkan pengalaman baru tersebut, ada schema yang sesuai dan ada yang tidak sesuai. Proses asimilasi dapat terjadi apabila schema yang ada pada anak sesuai dengan konsep baru tersebut, selanjutnya akan terjadi proses akomodasi untuk mencapai keadaan yang seimbang.
Selain itu kemampuan mengaitkan konsep dengan konsep lain erat kaitanya dengan kemampuan koneksi matematis. Hal ini dikarenakan pada pemahaman relasional siswa dituntun untuk bisa memahami lebih dari satu konsep dan merelasikannya. Kemampuan koneksi matematis diperlukan untuk menghubungkan berbagai macam gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang diterima oleh siswa.
Mhololo (2012) juga menyatakan bahwa untuk dapat menyelesaikan permasalahan, kemampuan koneksi matematis sangat dibutuhkan di dalam pembelajaran. Dengan dikembangkannya kemampuan koneksi matematis, maka pemahaman matematis siswa berkembang pula, hal ini didasarkan pada kenyataan
(14)
bahwa dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam menghubungkan antar konsep dan ide-ide matematis maka kemampuan relasional siswa akan bertambah (Qohar, 2010: 2).
Mencermati uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman dan koneksi matematis merupakan bagian esensial dari pemecahan masalah matematis Ahmad (2005: 82). Sedangkan pemecahan masalah merupakan esensi dari proses belajar mengajar matematika seperti yang tercantum dalam dokumen KTSP yang menyatakan bahwa inti dari proses pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah. Oleh karena itu, pembelajaran matematika yang mampu meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis menjadi sangat penting untuk dikembangkan oleh guru matematika.
Selain kemampuan pemahaman dan koneksi matematis, terdapat aspek afektif yaitu sikap yang harus dikembangkan melalui pembelajaran matematika. Sikap adalah pernyataan-pernyataan evaluatif baik yang diinginkan atau tidak diinginkan mengenai objek, orang atau suatu peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu Robbins (Leonard & Supardi, 2010).
Sikap umumnya akan mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Misalnya jika seseorang siswa menyatakan “saya menyukai pelajaran matematika” berarti dia sedang mengungkapkan sikap terhadap pelajaran matematika tersebut. Di sisi lain, Dean (2008:5) mengungkapkan bahwa siswa kurang menyukai pembelajaran matematika karena mereka beranggapan bahwa matematika merupakan hal yang sulit dan membosankan. Oleh sebab itu, selain aspek kognitif siswa aspek afektif siswa
(15)
juga berperan penting dalam pembelajaran. Dengan sikap yang baik seseorang akan bersedia mengikuti suatu kegiatan dengan baik tanpa perasaan yang tertekan dan tidak senang. Sehingga untuk dapat membuat pelajaran matematika menyenangkan, tugas guru adalah menciptakan image dan atmosfer pembelajaran yang akan berakibat pada pembentukan sikap yang baik pada siswa
Dalam penelitian ini, selain aspek pembelajaran, kognitif dan afektif, aspek kemampuan awal matematis juga dijadikan sebagai fokus kajian. Hal itu terkait dengan teori Piaget yang mengatakan bahwa pemerolehan pengetahuan baru dipengaruhi oleh pengetahuan awal anak. Semakin baik pengetahuan awalnya semakin baik pula pemerolehan pengetahuan barunya. Artinya ada asosiasi antara pengetahuan awal dan pengetahuan baru.
Usia yang masih remaja, pada umumnya memiliki kondisi yang masih labil, sehingga akan berbeda dalam menghadapi suatu situasi jika dibandingkan dengan individu yang telah mencapai taraf kematangan emosi. Siswa yang telah mencapai taraf kematangan emosi tinggi lebih dapat mengontrol emosinya melalui suatu tahap pemikiran, cendrung tenang dan tidak mengalami perasaan tertekan. Pada usia remaja ini, kondisi pembelajaran yang tidak kondusif serta kemampuan kognitif awal akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Kecerdasan ditunjukkan oleh prestasi belajar yang didasari oleh kemampuan awal matematis. Individu cerdas memiliki kemampuan lebih untuk mensintesis berbagai konsep dan melihat keterkaitan antar konsep-konsep tersebut. Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengkaji kontribusi kemampuan awal matematis dalam berpikir matematis.
(16)
Selain itu terkait dengan efektivitas implementasinya pada proses pembelajaran. Tujuannya yaitu untuk melihat apakah implementasi pembelajaran CORE dapat merata di semua kategori KAM siswa, atau hanya pada kategori KAM tertentu saja. Jika merata di semua kategori KAM, maka pembelajaran CORE cocok diterapkan untuk semua level kemampuan.
Namun secara faktual pembelajaran matematika yang mengarah pada meningkatnya kedua aspek di atas masih relatif rendah. Hal ini sesuai dengan hasil laporan TIMSS (2007) Indonesia berada pada urutan ke-36 dengan nilai rerata 397. Dari hasil tersebut hanya 48% siswa Indonesia yang mencapai pemahaman tingkat rendah, 19% sedang, dan 4% tinggi. Berdasarkan hasil laporan tersebut kemampuan siswa Indonesia dalam hal pemahaman matematis masih rendah.
Hasil laporan tersebut masih relevan dengan hasil laporan dan penelitian pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu hasil laporan survey IMSTEP_JICA (1999), salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa di kota Bandung adalah karena proses pembelajaran matematika, terlalu berkosentrasi pada latihan menyelesaikan soal yang bersifat prosedural dan mekanistis daripada berkosentrasi pada mengembangkan pemahaman matematis siswa.
Glacey (2011) mengatakan jika siswa sudah mengkoneksikan suatu masalah ke dalam situasi lain dalam pembelajaran matematika maka siswa tersebut sudah dapat memaknai proses pembelajaran. Akan tetapi kenyataan di lapangan menurut Kusmaydi (2010) sebagian siswa mempunyai kemampuan rendah dalam koneksi matematis terlihat dari: (1) kebanyakan siswa tidak mengetahui dan tidak mengerti
(17)
materi mana yang ada hubungannya dengan materi yang akan dipelajari berdasarkan pertanyaan yang diajukan guru berkaitan dengan materi yang telah dipelajari sebelumnya; (2) Masih banyak siswa yang tidak mampu menyatakan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika dan juga tidak mampu menyatakan peristiwa sehari-hari ke dalam bentuk bahasa atau symbol; (3) Sebagian besar siswa tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia real atau masalah yang ada di sekitar siswa; (4) ada siswa yang mampu menyelesaikan suatu masalah matematika tetapi tidak mengerti apa yang dikerjakannya dan kurang memahami apa yang terkandung di dalamnya.
Selain itu menurut hasil penelitian (Ruspiani, 2000; Yaniati, 2001), secara umum menyimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam melakukan koneksi matematis siswa masih rendah terutama antar topik matematika. Berdasarkan hasil penelitian ini nampak bahwa siswa tidak mempunyai kemampuan dalam mengaitkan antar konsep matematika, artinya antar konsep yang dimiliki oleh siswa tidak ada keterkaitannya dalam schema-nya.
Akan tetapi pada kenyataannya, guru hanya ingin mencapai standar kriteria ketuntasan minimum tanpa memperhatikan aspek-aspek yang harus diperoleh siswa sebagai hasil belajar. Misalnya, pada aspek kognitif hanya sampai pada tingkat hafalan dan menyelesaikan masalah rutin saja, dan dari segi aspek afektif kurangnya sikap siswa dalam menghargai kegunaan matematika pada kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam KTSP. Dari hasil penelitiannya
(18)
Sumarmo (1987: 297) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa terutama pemahaman relasional masih tergolong rendah.
Kemampuan pemahaman matematis dan koneksi matematis yang kurang memuaskan tersebut juga dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Pada saat ini proses pembelajaran terpusat pada guru, kegiatan pembelajaran bersifat konvensional dimana siswa hanya mendengarkan guru menyampaikan materi sehingga siswa bersifat pasif, mencatat apa yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa tidak terlibat aktif dalam pembelajaran akibatnya banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan oleh guru.
Selain cara mengajar, rendahnya hasil belajar siswa juga disebabkan oleh faktor lemahnya kemampuan dasar matematika siswa. Jenning dan Dunne (Permana, 2010: 5) mengatakan bahwa pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat matematika adalah ilmu terstruktur artinya untuk mengingat suatu konsep matematika diperlukan penguasaan konsep dasar matematika lainnya, maka kemampuan kognitif awal siswa yang dinyatakan dalam kemampuan awal matematika (KAM) memegang peranan penting dalam penguasaan konsep baru matematika. Kulpe (Permana, 2010: 7) menyimpulkan pada waktu berpikir, pribadi seseorang memegang peranan penting yang bersifat tidak pasif melainkan aktif yang dapat mengendalikan sesuatu.
Apabila merujuk kepada hasil penelitian di atas, maka pembelajaran matematika yang mengarah kepada meningkatnya kemampuan pemahaman dan koneksi matematis sudah seharusnya diupayakan dan diimplementasikan. Salah satu
(19)
pembelajaran yang diyakini dapat meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan pembelajaran CORE.
Salah satu model pembelajaran yang menciptakan suasana belajar aktif yakni model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE). Model CORE merupakan model pembelajaran dengan metode diskusi, yang di dalamnya mengandung unsur mengemukakan pendapat, tanya jawab antar siswa ataupun sanggahan.
Model ini dapat mengeksplorasi pemahaman siswa, membuat koneksi untuk menemukan makna, melakukan pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk aktif, pengaturan belajar sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis. Oleh sebab itu peneliti menggunakan model pembelajaran
Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) untuk meningkatkan
pemahaman dan koneksi matematis siswa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting,
dan Extending (CORE) dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis siswa?”
(20)
1. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ? 2. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah) ? 3. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat
model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ? 4. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah) ? 5. Bagaimana sikap siswa terhadap matematika, pembelajaran matematika dengan
Model Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini bertujuan untuk:
(21)
1. Menelaah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran CORE dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
2. Menelaah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran CORE dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional.
3. Mengkaji perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis siswa ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa.
4. Mengkaji dan mendeskripsikan karakteristik siswa dalam pembelajaran berkenaan dengan keyakinan dan pandangan/sikap akan kemampuan dirinya sendiri terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran CORE berdasarkan aktivitas pembelajaran sehari-hari dan pengalaman belajar.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Bagi guru, sebagai informasi bagi guru bahwa pembelajaran model Connecting,
Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) merupakan salah satu alternatif
model pembelajaran di sekolah
2. Bagi siswa, sebagai masukan dalam rangka meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis.
(22)
3. Bagi kepala sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka perbaikan pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan.
4. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat menjadi tolak ukur atau batu loncatan dalam rangka menindak lanjuti penelitian ini dengan ruang lingkup yang lebih luas.
E. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan pemahaman matematis yang diukur dalam penelitian adalah kemampuan membuktikan kebenaran, mengaitkan suatu konsep dengan konsep lainnya, mengerjakan kegiatan matematik secara sadar, memperkirakan suatu kebenaran tanpa ragu, menerapkan suatu konsep pada perhitungan rutin/sederhana, dan mengerjakan suatu konsep secara algoritmik saja.
2. Kemampuan koneksi matematis yang diukur dalam penelitian adalah memahami hubungan antar konsep matematika, memahami hubungan berbagai konsep dan prosedur yang representatif serta memahami keterkaitan matematika dalam bidang studi lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
3. Sikap siswa adalah cara pandang siswa terhadap pembelajaran yang diwujudkan dalam tindakan positif terhadap tugas ataupun prosedur pembelajaran yang diberikan. Sikap siswa yang diukur adalah rasa percaya, fleksibel, tekun mengerjakan tugas matematika, bersedia berbagi pendapat dengan orang lain, berminat dan rasa ingin tahu dalam tugas matematika,
(23)
bergairah dan serius dalam belajar matematika, berkeinginan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan mengapresiasi peran matematika. 4. Model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending
(CORE) merupakan model pembelajaran dengan metode diskusi, yang di dalamnya mengandung unsur mengemukakan pendapat, tanya jawab antar siswa ataupun sanggahan yang mana sintaknya adalah (Connecting) koneksi informasi lama-baru dan antar konsep, (Organizing) organisasi ide untuk memahami materi, (Reflecting) memikir kembali, mendalami, dan menggali, (Extending) mengembangkan, memperluas, menggunakan, dan menemukan.
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian maka rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
2. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah)
(24)
3. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
4. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah)
(25)
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuasi eksperimen. Menurut Sugiyono (2010: 77) desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Pada penelitian ini ingin diketahui apakah kemampuan pemahaman dan koneksi matematis yang mendapatkan pembelajaran matematika melalui model pembelajaran CORE lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional (umum) atau tidak.
Pada penelitian ini akan diambil 2 kelas, yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelompok eksperimen (kelas perlakuan) merupakan kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran matematika melalui model pembelajaran CORE dan kelompok kontrol (kelas pembanding) adalah kelompok siswa yang pembelajaran konvensional.
Dengan demikian untuk mengetahui adanya perbedaan kemampuan koneksi dan pemahaman matematis siswa terhadap pembelajaran matematika dilakukan penelitian dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005: 52) berikut:
(26)
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Pretest Threatment Postest
Kelas Eksperimen O X O
Kelas Kontrol O O
Keterangan:
O : Pre-test atau Post-test kemampuan koneksi dan pemahaman matematis X : Pembelajaran CORE
Subyek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMAN 2 Duri dengan sampel siswa kelas XI IPA 1 dan siswa kelas XI IPA 2 di SMAN 2 Duri kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau tahun ajaran 2012/2013. Sampel penelitian ditentukan berdasarkan purposive sampling. Tujuan dilakukan pengambilan sampel seperti ini adalah agar penelitian dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien terutama dalam hal pengawasan, kondisi subyek penelitian, waktu penelitian yang ditetapkan, kondisi tempat penelitian serta prosedur perizinan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, penentuan sampel penelitian didasarkan pada kriteria yakni rata-rata kemampuan siswa berada pada level sedang berdasarkan data dari kantor dinas setempat.
(27)
B. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini meliputi: bahan ajar, lembar aktivitas yang memuat item-item aktivitas siswa serta guru dalam pembelajaran, lembar evaluasi, yang terdiri dari pretes dan postes, dan angket skala sikap, untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan model CORE dan juga instrumen dalam bentuk tes untuk mengukur kemampuan awal matematis siswa. Instrumen ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pembuatan instrumen, tahap penyaringan dan tahap uji coba instrumen (tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis). Uji coba instrumen dilakukan untuk melihat validitas butir tes, reliabilitas tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat kesukaran butir tes.
1. Bahan Ajar
Bahan ajar dalam penelitian ini adalah bahan ajar yang digunakan dalam pembelajaran matematika dengan aktivitas model CORE untuk kelompok-kelompok eksperimen. Bahan ajar disusun berdasarkan kurikulum yang berlaku di lapangan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Isi bahan ajar memuat materi-materi matematika untuk kelas XI semester I dengan langkah-langkah model CORE yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis siswa. Pokok bahasan dipilih berdasarkan alokasi waktu yang telah disusun oleh guru kelas yang bersangkutan. Setiap pertemuan memuat satu pokok bahasan yang dilengkapi dengan lembar aktivitas siswa. Lembar aktivitas siswa memuat soal-soal latihan menyangkut materi-materi yang telah disampaikan.
(28)
2. Lembar Observasi
Lembar observasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengamati dan menelaah setiap aktivitas siswa dalam pembelajaran. Lembar observasi ini terdiri dari item-item yang memuat aktivitas siswa yang diharapkan memunculkan sikap positif terhadap pembelajaran. Aktivitas siswa yang diamati berkenaan dengan keberadaan siswa dalam kelompok, menyelesaikan tugas kelompok, bertanya dan menjawab pertanyaan, percaya diri terhadap jawaban yang ditemukan serta mau membantu siswa lain sebagai implikasi dari adanya sikap saling bergantung positif.
3. Tes Kemampuan Awal Matematis (KAM)
Kemampuan awal matematis siswa adalah kemampuan atau pengetahuan yang dimiliki siswa sebelum pembelajaran berlangsung. Pemberian tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum pembelajaran dan untuk memperoleh kesetaraan rata-rata kelompok eksperimen dan kontrol. Selain itu tes KAM juga digunakan untuk penempatan siswa berdasarkan kemampuan awal matematisnya.
Kemampuan awal matematis siswa diukur melalui seperangkat soal tes dengan materi yang sudah dipelajari sebelumnya, terutama materi kelas X SMA. Tes ini berupa soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban terdiri dari 15 butir soal. Penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal dilakukan dengan aturan untuk setiap jawaban benar diberi skor 1, dan untuk setiap jawaban salah atau tidak menjawab diberi skor 0.
Berdasarkan skor kemampuan awal matematis yang diperoleh, siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu siswa kemampuan tinggi, siswa
(29)
kemampuan sedang, dan siswa kemampuan rendah. Menurut Somakim (2010: 75) kriteria pengelompokkan kemampuan awal matematis siswa berdasarkan skor rerata ( ) dan simpangan baku (SB) sebagai berikut:
KAM ≥ + SB : Siswa Kemampuan Tinggi – SB ≤ KAM < + SB : Siswa Kemampuan Sedang
KAM ≤ – SB : Siswa Kemampuan Rendah
Dari hasil perhitungan terhadap data kemampuan awal matematis siswa, diperoleh = 37,08 dan SB = 14,04, sehingga dikelompokkan sebagai berikut.
Siswa Kemampuan Tinggi, jika: skor KAM ≥ 52,12 Siswa Kemampuan Sedang, jika: 23,04 ≤ KAM < 52,12
Siswa Kemampuan Rendah, jika: skor KAM ≤ 23,04
Tabel 3.2 berikut menyajikan banyaknya siswa yang berada pada kemampuan tinggi, sedang, rendah pada masing-masing kelas eksperimen dan kontrol.
Tabel 3.2
Banyaknya Siswa Berdasarkan Kategori KAM Kategori Pembelajaran Total
CORE Konvensional
Tinggi 9 5 14
Sedang 26 30 56
Rendah 5 7 12
Total 40 42 82
Sebelum soal digunakan, seperangkat soal tes kemampuan awal matematis terlebih dahulu divalidasi isi dan muka. Uji validasi isi dan muka dilakukan oleh 3 orang penimbang yang berlatar belakang pendidikan matematika yang dianggap mampu dan punya pengalaman mengajar dalam bidang pendidikan matematika.
(30)
Untuk mengukur validitas isi, pertimbangan didasarkan pada kesesuaian soal dengan aspek-aspek kemampuan awal matematis dan dengan materi matematika kelas X. Sedangkan untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.
Selain itu juga, perangkat soal tes KAM ini terlebih dahulu diujicobakan secara terbatas kepada lima orang siswa di luar sampel penelitian. Tujuan dari uji coba ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa dan memperoleh gambaran apakah butir-butir soal dapat dipahami oleh siswa. Berdasarkan hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua soal tes dipahami dengan baik. Kisi-kisi soal, perangkat soal, dan kunci jawaban tes KAM selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran A.
4. Tes Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis
Tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis disusun dalam bentuk uraian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Frankel dan Wallen (Suryadi, 2005) yang menyatakan bahwa tes berbentuk uraian sangat cocok untuk mengukur higher level learning outcomes. Untuk mengevaluasi kemampuan pemahaman dan koneksi matematis siswa digunakan teknik pemberian skor (rubrik) jawaban siswa terhadap setiap butir soal yang diteskan, pedoman penskoran yang mengacu pada rubrik penskoran yang disusun oleh Illinois State Board of Education dan Departemen Pendidikan Oregon (Fauzi, 2011: 121) seperti tertera pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4 di bawah ini.
(31)
Tabel 3.3
Pedoman Pemberian Skor Soal Pemahaman Matematis Respon Siswa terhadap Soal Skor Menunjukkan tidak memahami konsep dan prinsip
matematika, terjadi banyak miskonsepsi. Keliru/gagal dalam memakai istilah dan notasi matematika.
0 Menunjukkan pemahaman beberapa konsep dan prinsip
matematika yang relevan dengan soal. Beberapa istilah dan notasi matematika tepat digunakan. Serta memuat kesalahan algoritma dan perhitungan secara fatal, melakukan miskalkulasi
1-2 Menunjukkan pemahaman yang hamper lengkap dari konsep
dan prinsip matematika yang terkait dengan soal. Sebagian besar istilah dan notasi matematika digunakan secara tepat. Menggunakan algoritma dan melakukan perhitungan secara lengkap namun memuat kesalahan kecil.
3-4 Menunjukkan pemahaman lengkap dari konsep dan prinsip
matematika yang terkait dengan soal. Menggunakan istilah dan notasi matematika secara tepat. Mengerjakan algoritma dan perhitungan secara lengkap dan benar
5-6
Tabel 3.4
Pedoman Pemberian Skor Soal Koneksi Matematis
Respon Siswa terhadap Soal Skor Tidak ada hubungan-hubungan yang dibuat atau tidak
menjawab soal. 0
Beberapa usaha dilakukan untuk menghubungkan tugas
dengan subjek-subjek lainnya. 1
Belum menunjukkan hubungan yang matematis. Jawaban
tidak memberikan gambaran terhadap pertanyaan 2 Sedikit nampak hubungan-hubungan matematis. Ada usaha
mengkoneksikan jawaban tetapi prosesnya kurang sesuai dengan pertanyaan, jawaban kurang memberikan gambaran terhadap pertanyaan
3 Hubungan-hubungan matematis dapat dipahami,
mengkoneksi jawaban dengan pertanyaan yang sesuai tetapi dalam prosesnya ada beberapa kesalahan logaritma, kesalahan operasi, atau kurang lengkap menyelesaikan jawaban pertanyaan.
4 Hubungan-hubungan matematis atau gagasan digunakan
dengan tepat sesuai pertanyaan dan prosesnya juga benar, jawaban sesuai dengan pertanyaan
(32)
Sebelum tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis digunakan dilakukan uji coba dengan tujuan untuk mengetahui apakah soal tersebut sudah memenuhi persyaratan validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda. Soal tes kemampuan koneksi dan pemahaman matematis ini diujicobakan pada siswa kelas XII SMAN 2 Duri yang telah menerima materi statistika. Tahapan yang dilakukan pada uji coba tes kemampuan koneksi dan pemahaman matematis sebagai berikut:
a. Analisis Validitas Tes
Menurut Arikunto (2006: 168), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkatan kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Validitas instrumen diketahui dari hasil pemikiran dan hasil pengamatan. Dari hasil tersebut akan diperoleh validitas teoritik dan validitas empirik.
1) Validitas Teoritik
Validitas teoritik untuk sebuah instrumen evaluasi menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan teori dan aturan yang ada. Pertimbangan terhadap soal tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis yang berkenaan dengan validitas isi dan validitas muka diberikan oleh ahli. Validitas isi suatu alat evaluasi artinya ketepatan alat tersebut ditinjau dari segi materi yang dievaluasikan (Suherman, 2001: 131). Validitas isi dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi pelajaran yang telah diajarkan. Apakah soal pada instrumen penelitian sesuai atau tidak dengan indikator.
(33)
Validitas muka dilakukan dengan melihat tampilan dari soal itu yaitu keabsahan susunan kalimat atau kata-kata dalam soal sehingga jelas pengertiannya dan tidak salah tafsir. Jadi suatu instrumen dikatakan memiliki validitas muka yang baik apabila instrumen tersebut mudah dipahami maksudnya sehingga testi tidak mengalami kesulitan ketika menjawab soal.
Sebelum tes tersebut digunakan, terlebih dahulu dilakukan validitas muka dan validitas isi instrumen oleh para ahli yang berkompeten. Uji coba validitas isi dan validitas muka untuk soal tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis dilakukan oleh 3 orang penimbang. Untuk mengukur validitas isi, pertimbangan didasarkan pada kesesuaian soal dengan kriteria aspek-aspek kemampuan awal matematika siswa dan kesesuaian soal dengan materi ajar matematika SMA kelas XI, dan sesuai dengan tingkat kesulitan siswa kelas tersebut. Untuk mengukur validitas muka, pertimbangan didasarkan pada kejelasan soal tes dari segi bahasa dan redaksi.
Setelah instrumen dinyatakan sudah memenuhi validitas isi dan validitas muka, kemudian secara terbatas diujicobakan kepada lima orang siswa di luar sampel penelitian yang telah menerima materi yang diteskan. Tujuan dari uji coba terbatas ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan bahasa sekaligus memperoleh gambaran apakah butir-butir soal tersebut dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hasil uji coba terbatas, ternyata diperoleh gambaran bahwa semua soal tes dipahami dengan baik. Kisi-kisi soal, perangkat soal, dan kunci tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis tersebut, selengkapnya ada pada Lampiran A.
(34)
2) Validitas Empirik
Validitas empirik adalah validitas yang ditinjau dengan kriteria tertentu. Kriteria ini digunakan untuk menentukan tinggi rendahnya koefisien validitas alat evaluasi yang dibuat melalui perhitungan korelasi produk momen dengan menggunakan angka kasar (Arikunto, 2003: 72) yaitu:
r xy = −
( ) ( ) { 2– )2 { 2− (
)2}
Keterangan :
rxy = Koefisien validitas X = Skor tiap butir soal Y = Skor total
N = Jumlah subyek
Tabel 3.5
Interpretasi Koefisien Korelasi Validitas Kategori rxy Interpretasi
0,80 < rxy≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < rxy≤ 0,80 Tinggi
0,40 < rxy≤ 0,60 Sedang
0,20 < rxy≤ 0,40 Rendah
0,00 ≤ rxy≤ 0,20 Sangat rendah
Sumber : (Zuhri, 2007: 41)
Selanjutnya uji validitas tiap item instrumen dilakukan dengan membandingkan dengan nilai kritis (nilai tabel). Tiap item tes dikatakan valid apabila pada taraf signifikasi � = 0,05 didapat ≥ . Untuk pengujian signifikansi koefisien korelasi pada penelitian ini digunakan uji t sesuai pendapat Sudjana (2005) dengan rumus sebagai berikut:
(35)
t = −2 1− 2
Keterangan:
: koefisien korelasi product moment Pearson
n : banyaknya siswa
Setelah instrumen dinyatakan memenuhi validitas isi dan validitas muka, kemudian soal tes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis tersebut dujicobakan secara empiris kepada 70 orang siswa kelas XII SMA Negeri 2 Mandau. Tujuan uji coba empiris ini adalah untuk mengetahui tingkat reliabilitas dan validitas butir soal tes. Data hasil uji coba soal tes serta validitas butir soal selengkapnya ada pada Lampiran B.
Perhitungan validitas butir soal menggunakan software Anates V.4 For
Windows. Untuk validitas butir soal digunakan korelasi product moment dari Karl Pearson, yaitu korelasi setiap butir soal dengan skor total. Hasil validitas butir soal
kemampuan pemahaman dan koneksi matematis disajikan pada Tabel 3.6 berikut. Tabel 3.6
Hasil Uji Validasi Butir Soal
Nomor Soal Korelasi Interpretasi
1 0,819 Sangat Tinggi
2 0,594 Sedang
3 0,748 Tinggi
4 0,636 Tinggi
5 0,793 Tinggi
6 0,884 Sangat Tinggi
(36)
b. Reliabilitas Tes
Reliabilitas adalah ketetapan suatu tes apabila diteskan kepada subyek yang sama (Arikunto, 2003: 90). Suatu alat evaluasi (tes dan nontes) disebut reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama. Rumus yang digunakan untuk menghitung reliabilitas tes ini adalah rumus Alpha (Arikunto, 2003: 109).
11= −1 [1− σi 2
σt2
] Keterangan:
r11 = reliabilitas instrumen
∑σi2 = jumlah varians skor tiap–tiap item
σt2 = varians total n = banyaknya soal
Pengujian reliabilitas tes menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan bantuan
software Anates V.4. Di bawah ini hasil uji reliabilitas tes dengan Anates.
Tabel 3.7 Reliabilitas
Rata-rata Simpangan Baku Reliabilitas
19,86 6,51 0,85
Dengan skor maksimal ideal sebesar 37, perolehan rata-rata sebesar 19,86 menunjukkan hasil yang cukup bagus. Sementara itu, dengan simpangan baku sebesar 6,51 menunjukkan data tersebut tidak memiliki pencilan data yang terlalu jauh sehingga tidak mengganggu kevalidan suatu data. Reliabilitas tes sebesar 0,85
(37)
menurut Zuhri reliabilitas ini termasuk ke dalam kategori sangat tinggi. Berikut Tabel 3.7 tentang koefisien reliabilitas:
Tabel 3.8
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas Besarnya nilai r11 Interpretasi
0,80 < r ≤ 1,00 Sangat tinggi 0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi 0,40 < r ≤ 0,60 Sedang 0,20 < r ≤ 0,40 Rendah 0,00 ≤ r ≤ 0,20 Sangat rendah
Hasil perhitungan selengkapnya ada pada Lampiran B. Berikut ini merupakan rekapitulasi hasil perhitungan reliabilitas
c. Daya Pembeda
Daya pembeda sebuah butir soal tes menurut Suherman (2001: 175) adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara siswa yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Daya pembeda item dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya angka indeks diskriminasi item. Rumus yang digunakan untuk menentukan daya pembeda menurut adalah:
��
=
−Keterangan:
DP = Daya pembeda
= Jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok atas = Jumlah peserta tes yang menjawab benar pada kelompok bawah
(38)
Menurut Zuhri (2007: 42) klasifikasi interpretasi daya pembeda soal sebagai berikut:
Tabel 3.9
Klasifikasi Daya Pembeda
Kriteria Daya Pembeda Keterangan
DP ≤ 0 Sangat Jelek
0 < DP ≤ 0,20 Jelek
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik
Sumber : (Zuhri, 2007:42)
Untuk hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B. Adapun hasil rangkuman yang diperoleh dari uji coba instrumen untuk daya pembeda dengan menggunakan software Anates V.4 For Windows dapat dilihat pada Tabel 3.10 berikut.
Tabel 3.10
Daya Pembeda Soal Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis Nomor Soal Daya Beda Interpretasi
1 0,41 Baik
2 0,38 Cukup
3 0,55 Baik
4 0,30 Cukup
5 0,42 Baik
6 0,53 Baik
7 0,44 Baik
d. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal tes (Arikunto, 2006: 207). Tingkat kesukaran untuk soal uraian dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut.
� =
(39)
Keterangan:
TK = Tingkat Kesukaran
= Banyaknya peserta tes yang menjawab benar pada soal tersebut = Skor maksimum yang ada pada pedoman penskoran
N = Jumlah peserta tes
Menurut Zuhri (2007: 45) klasifikasi tingkat kesukaran soal sebagai berikut: Tabel 3.11
Kriteria Tingkat Kesukaran
Kriteria Indeks Kesukaran Kategori
IK = 0,00 Soal Sangat Sukar
0,00 IK 0,3 Soal Sukar 0,3 IK ≤ 0,7 Soal Sedang 0,7 IK ≤ 1,00 Soal Mudah
IK = 1,00 Soal Sangat Mudah
Sumber : (Zuhri, 2007: 45)
Pengujian tingkat kesukaran menggunakan bantuan software Anates V.4, berikut adalah hasil output uji tingkat kesukaran butir soal dengan Anates sementara untuk perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.
Tabel 3.12
Tingkat Kesukaran Tes Kemampuan Pemahaman dan Koneksi Matematis
Nomor Soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 61,84 Sedang
2 35,09 Sedang
3 50,00 Sedang
4 38,82 Sedang
5 53,01 Sedang
6 55,70 Sedang
7 52,26 Sedang
(40)
Berdasarkan serangkaian pengujian dan pengolahan data instrumen baik tes (kemampuan pemahaman dan koneksi matematis). Berikut kesimpulan dari keseluruhan hasil uji coba instrumen tes.
Tabel 3.13
Rekapitulasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes No Reliabilitas Validitas Daya Pembeda Tingkat Kesukaran
(%)
Keterangan 1
0,85 (Sangat
tinggi)
Valid 0,41 (Baik) 61,84 Sedang Diterima
2 Valid 0,38 (Cukup) 35,09 Sedang Diterima
3 Valid 0,55 (Baik) 50,00 Sedang Diterima
4 Valid 0,30 (Cukup) 38,82 Sedang Diterima
5 Valid 0,42 (Baik) 53,01 Sedang Diterima
6 Valid 0,53 (Baik) 55,70 Sedang Diterima
7 Valid 0,44 (Baik) 52,26 Sedang Diterima
5. Skala Sikap
Skala sikap adalah lembaran yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan tentang cara-cara yang sering dilakukan dalam pelajaran matematika, harapan siswa dalam belajar matematika dan tanggapan terhadap model pembelajaran yang sering diterima. Pertanyaan berhubungan dengan perasaan selama mengikuti pembelajaran, pendapat tentang model pembelajaran yang dilaksanakan, serta pengaruh model pembelajaran yang dilaksanakan terhadap kondisi belajar.
Menurut Ruseffendi (Effendi, 2012: 57) angket skala sikap yang dipakai dalam penelitian ini adalah model skala Likert dengan modifikasi seperlunya. Setiap pernyataan dilengkapi empat pilihan jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (T S), dan sangat tidak setuju (STS). Pemberian skor skala sikap untuk
(41)
setiap pilihan jawaban positif berturut-turut 4, 3, 2, 1, dan sebaliknya 1, 2, 3, 4, untuk pernyataan negatif.
C. Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tes kemampuan awal matematika, tes kemampuan koneksi dan pemahaman matematis, angket siswa dan lembar observasi. Data yang berkaitan dengan kemampuan awal matematika dikumpulkan melalui tes sebelum pembelajaran pertama dimulai, untuk data kemampuan pemahaman dan koneksi matematis siswa dikumpulkan melalui pre-test dan post-test, data yang berkaitan dengan angket siswa dikumpulkan melalui penyebaran skala angket siswa sedangkan data mengenai aktivitas pembelajaran di kelas dikumpulkan melalui lembar observasi.
D. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Untuk itu pengolahan terhadap data yang telah dikumpulkan, dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
1. Analisis data kualitatif
Data-data kualitatif diperoleh melalui observasi, wawancara. Observasi ulang juga berisikan catatan lapangan dan hasil wawancara diolah melalui laporan penulisan essay yang menyimpulkan kriteria, karakteristik serta proses yang terjadi dalam pembelajaran.
(42)
2. Analisis data kuantitatif
Data-data kuantitatif diperoleh dalam bentuk hasil uji instrumen dan data pretes dan postes. Data hasil uji instrumen diolah dengan software Anates versi 4.1 untuk memperoleh validitas, reliabilitas, daya pembeda serta derajat kesulitan soal. Sedangkan data hasil pretes dan postes diolah dengan software SPSS versi 20 for
windows. Untuk menentukan uji statistik yang akan digunakan, terlebih dahulu diuji
normalitas data dan homogenitas varians. Sebelum uji tersebut dilakukan harus ditentukan terlebih dahulu rata-rata skor serta simpangan baku untuk setiap kelompok. Untuk lebih jelasnya, berikut ini disajikan tahapan yang peneliti lakukan dalam pengolahan data tes.
1) Memberikan skor jawaban siswa sesuai dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran yang digunakan.
2) Membuat tabel skor pre-test dan post-test siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3) Menentukan skor peningkatan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis dengan rumus N-gain ternormalisasi Hake (Meltzer, 2002) yaitu:
� � � = − −
� � − −
Hasil perhitungan N-gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi sebagai berikut:
(43)
Tabel 3.14
Klasifikasi Gain Ternormalisasi Besarnya N-gain (g) Klasifikasi
0,70 ≤ g≤ 1 Tinggi
0,30 ≤ g < 0,70 Sedang
g < 0,30 Rendah
4) Melakukan uji normalitas untuk mengetahui kenormalan data skor pre-test,
post-test dan N-gain kemampuan pemahaman dan koneksi matematis
menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Adapun rumusan hipotesisnya adalah:
H0: Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal Ha: Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
5) Menguji homogenitas varians skor pre-test, post-test dan N-gain kemampuan pemahaman dan koneksi matematis menggunakan uji Levene. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0: Variansi skor pretes, postes, dan N-gain kedua kelas homogen Ha: Variansi skor pretes, postes, dan N-gain kedua kelas tidak homogen Dengan kriteria uji sebagai berikut:
Jika nilai Sig. (p-value) < α (α =0,05), maka H0 ditolak Jika nilai Sig. (p-value) ≥α (α =0,05), maka H0 diterima.
(44)
6) Setelah data memenuhi syarat normal dan homogen, selanjutnya dilakukan uji kesamaan rataan skor pre-test dan uji perbedaan rataan skor post-test dan N-gain menggunakan uji-t yaitu Independent Sample T-Test.
a) Skor pretes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis
H0: Tidak terdapat perbedaan skor pre-test kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang akan mendapat pembelajaran CORE dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Ha: Terdapat perbedaan skor pre-test kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang akan mendapat pembelajaran CORE dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
b) Skor postes kemampuan pemahaman dan koneksi matematis
H0: Tidak terdapat perbedaan skor post-test kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
Ha: Terdapat perbedaan skor post-test kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
c) Skor N-gain kemampuan pemahaman dan koneksi matematis
H0: Peningkatan kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
(45)
Ha: Peningkatan kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.
7) Melakukan uji perbedaan rataan skor N-gain kemampuan pemahaman dan koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE dan pembelajaran konvensional berdasarkan kategori kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, bawah). Uji statistik yang digunakan adalah uji analysis
of variance (ANOVA) dua jalur.
H0: Peningkatan kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE sama dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional bila ditinjau dari KAM (tinggi, sedang, dan rendah).
Ha: Peningkatan kemampuan pemahaman atau koneksi matematis siswa yang mendapat pembelajaran CORE lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional bila ditinjau dari KAM (tinggi, sedang, dan rendah).
Sementara itu untuk penentuan skor skala angket siswa menggunakan MSI (Methode of Succesive Interval) untuk mengubah data ordinal menjadi data interval. Data skor skala yang diperoleh diolah melalui tahap-tahap berikut:
(46)
1) Hasil jawaban untuk setiap pertanyaan dihitung frekuensi setiap pilihan jawaban.
2) Frekuensi yang diperoleh setiap pertanyaan dihitung proporsi setiap pilihan jawaban.
3) Berdasarkan proporsi untuk setiap pertanyaan tersebut, dihitung proporsi kumulatif untuk setiap pertanyaan.
4) Kemudian ditentukan nilai batas untuk Z bagi setiap pilihan jawaban dan setiap pertanyaan.
5) Berdasarkan nilai Z, tentukan nilai densitas (kepadatan). Nilai densitas dapat dilihat pada tabel ordinat Y untuk lengkungan normal standar.
6) Hitung nilai skala/ scale value/ SV untuk setiap pilihan jawaban dengan persamaan sebagai berikut:
SV =
(kepadatan batas bawah −kepadatan batas atas )(daerah di bawah batas atas−daerah di bawah batas bawah )
7) Langkah selanjutnya yaitu tentukan nilai k, dengan rumus: k= 1 + � � .
8) Langkah terakhir yaitu transformasikan masing-masing nilai pada SV dengan rumus: SV + k.
9) Kemudian setelah diperoleh skor masing-masing item selanjutnya dibuat persentasenya. Sehingga terdeskripsikan untuk masing-masing itemnya secara persentase.
(47)
E. Tahap Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Oktober 2012 tahun ajaran 2012/2013. Penelitian dibagi ke dalam beberapa tahapan sebagai berikut.
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan penelitian meliputi tahap-tahap penyusunan proposal, seminar proposal, studi pendahuluan, penyusunan instrumen penelitian, pengujian instrumen dan perbaikan instrumen.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian meliputi tahap implementasi instrumen, implementasi pembelajaran dengan pembelajaran CORE, serta tahap pengumpulan data.
3. Tahap Penulisan Laporan
Tahap penulisan laporan meliputi tahap pengolahan data, analisis data, dan penyusun laporan secara lengkap.
(48)
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI
Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian serta pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diuraikan pada bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi dari hasil-hasil penelitian tersebut.
A. Kesimpulan
1. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
2. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) tidak lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah) 3. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat model
pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional
4. Peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapat model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending (CORE) tidak lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah)
(49)
5. Sikap siswa menunjukkan hal yang positif terhadap matematika dan pembelajaran CORE.
B. Implikasi
Mengacu pada hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka implikasi dari hasil-hasil tersebut diuraikan berikut ini.
1. Penerapan model pembelajaran CORE akan meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis.
2. Penerapan model pembelajaran CORE tidak akan meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis ditinjau dari kemampuan awal matematis.
C. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas, diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut.
1. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan meningkatkan peran kemampuan awal matematis dalam pembelajaran.
2. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, untuk kategori KAM pada kemampuan koneksi matematis siswa berkemampuan rendah pada kelas kontrol sedikit lebih tinggi dibandingkan siswa berkemampuan rendah pada kelas eksperimen. Jika penelitian ini dilanjutkan diduga akan terjadi peningkatan pada kemampuan koneksi matematis. Oleh sebab itu, bagi peneliti selanjutnya direkomendasikan untuk meneliti kemampuan tersebut.
(50)
111
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa SLTP Dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis tidak
diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. . (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Calfee, C., Beretz., Bruning, R. H., Schraw, G. J., & Ronning, R. R. (1995).
Cognitive psychology and instruction (2nd ed.). Englewood Cliffs: Merrill,
an imprint of Prentice-Hall.
Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Dean, S. (2008). Using Non-Traditional Activities to Enhance Mathematical Connections. Math in The Middle Institute Partnership Action Research
Project Report. Lincoln: University of Nebraska.
Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan
MTs. Jakarta: Depdiknas.
Effendi, L. A. (2012). Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan
Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis tidak diterbitkan.
Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Fadjar, B. (2010). Aplikasi Teori Belajar. Yogyakarta: Depdiknas Dirjen PMPTK
P4TK Matematika.
Fauzi. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian
Belajar Siswa dengan Menggunakan Pendekatan Metakognitif Grup dan Pendekatan Metakognitif Klasikal Siswa SMP. Disertasi tidak diterbitkan.
Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Glacey, K. (2011). A Study of Mathematical Connections through Children’s
Literature in a Fifth- and Sixth-Grade Classroom. Math in The Middle
Institute Partnership Action Research Project Report. Ohama: University
(51)
112
Hodiyah, D. (2009). Implementasi Strategi Pembelajaran Think-Talk-Write
Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Koneksi Matematik Siswa SMA. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis
Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Irianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktuvisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Isum, L. (2012). Pembelajaran Matematika Dengan Model CORE untuk
Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis
Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE Dalam Pembelajaran Logika
Dengan Pendekatan Reciprocal Teaching Bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Pilotting.
FPMIPA UPI.
Johnston, S. (1992). A way of understanding the practical knowledge of student teachers. In M. J. Dunkin and N. L. Gage (Eds.), An international journal
of research and studies (pp. 123-135). Oxford: Pergamon Press.
Justicia, M. (2010). Penerapan Model Pembelajaran CORE Dalam Pembelajaran
Matematika Dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis Siswa. Skripsi tidak
diterbitkan. Bandung: Skripsi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Kesumawati, N. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
Masalah serta Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung:
Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Kurniawan, R. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
Masalah Matematis Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Disertasi tidak
diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Kusmaydi. (2010). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Meningkatkan
Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP.
Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
(52)
113
Leonard & Supardi. (2010). Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa pada Matematika, dan Kecemasan Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika.
Cakrawala Pendidikan. Th XXIX, No 3, November 2010. [Online].
Tersedia: http//www.eprints.uny.ac.id. [3 Januari 2013].
Mahmud. (2011). Teori Belajar Kognitif. Tersedia http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2011/01/teori-belajar-kognitif.html. [28
Desember 2012].
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible "Hidden Variable" in Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics. v70 n12 p1259-68
Dec 2002. [Online]. Tersedia: www.physics.iastate.edu/-per/doc/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf. [6 Juni 2012].
Mhololo, K. M. (2012). The Nature and Quality of the Mathematical Connections Teachers Make. AOSIS Open Journals. [Online]. Tersedia:
http://dx.doi.org/10.4102/phytagoras.v33i1.22. [30 Januari 2013].
NCTM. (2000). Principle and Standards for School Mathematics. Reston, VA:NCTM.
Permana, Y. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Komunikasi,
Dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model- Aliciting Activities. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi
Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Priatna, N. (2009). Perbandingan Kompetensi Strategis Siswa SMP yang Memperoleh Pembelajaran Matematika Melalui Model CORE dengan Metode Ekspositori. MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Kependidikan
No.2 Vol XXVIII. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi Dan
Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi
Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Reziyustika, L. (2012). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi
matematis Siswa yang Menggunakan Pendekatan open-ended dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe Co-op Co-op. Tesis tidak diterbitkan.
Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Ruseffendi, H. E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang
(53)
114
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematis. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Sagala, Sy. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada media group.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Yogyakarta: Depdiknas, P4TK Matematika Yogyakarta.
Skemp. R. R. (1976). Relational Understanding and Instrumental Understanding
First Published in Mathematics Teaching, 77, 20 – 26.
Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy
Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung:
Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Sriyanto, H J. (2007). Strategi Sukses Menguasai matematika. Yogyakarta:
Indonesia Cerdas.
Steffe, L. P., & D’Ambrosio, B. S. (1996). Using teaching experiments to enhance understanding of students’ mathematics. In D. F. Treagust, R. Duit, & B. F. Fraser (eds.), Improving teaching and learning in science and
mathematics (pp. 65-76). Teachers College Press, Columbia University,
New York.
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sugiyono. (2008). Metode Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa
SMA Dikaitkan Dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa Dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi tidak diterbitkan.
Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta
Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi tidak
diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
(54)
115
Turmudi. (2012). Teachers’ Perception Toward Mathematics Teaching Innovation in Indonesian Junior High School: An Exploratory Factor Analysis.
Journal of Mathematics Education. August 2012, Vol. 5, No. 1, pp. 97-120. [Online]. Tersedia:http://educationforatoz.org. [19 Januari 2013].
Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: Pendidikan Matematika FMIPA.
Wardhani, S dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika
SMP; Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kemdiknas, P4TK
Matematika.
Yaniati, R. P. (2001). Pembelajaran dengan Open-Ended dalam upaya
Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Tesis tidak
diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Zuhri. (2007). Penilaian Hasil Belajar. Modul Perkuliahan FKIP Universitas Islam Riau: Tidak diterbitkan
(1)
5. Sikap siswa menunjukkan hal yang positif terhadap matematika dan pembelajaran CORE.
B. Implikasi
Mengacu pada hasil-hasil penelitian sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka implikasi dari hasil-hasil tersebut diuraikan berikut ini.
1. Penerapan model pembelajaran CORE akan meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis.
2. Penerapan model pembelajaran CORE tidak akan meningkatkan kemampuan pemahaman dan koneksi matematis ditinjau dari kemampuan awal matematis.
C. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas, diajukan beberapa rekomendasi sebagai berikut.
1. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan meningkatkan peran kemampuan awal matematis dalam pembelajaran.
2. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, untuk kategori KAM pada kemampuan koneksi matematis siswa berkemampuan rendah pada kelas kontrol sedikit lebih tinggi dibandingkan siswa berkemampuan rendah pada kelas eksperimen. Jika penelitian ini dilanjutkan diduga akan terjadi peningkatan pada kemampuan koneksi matematis. Oleh sebab itu, bagi peneliti selanjutnya direkomendasikan untuk meneliti kemampuan tersebut.
(2)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. (2005). Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SLTP Dengan Model Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Arikunto, S. (2003). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. . (2006). Prosedur Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Calfee, C., Beretz., Bruning, R. H., Schraw, G. J., & Ronning, R. R. (1995). Cognitive psychology and instruction (2nd ed.). Englewood Cliffs: Merrill, an imprint of Prentice-Hall.
Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
Dean, S. (2008). Using Non-Traditional Activities to Enhance Mathematical Connections. Math in The Middle Institute Partnership Action Research Project Report. Lincoln: University of Nebraska.
Depdiknas. (2006). Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMP dan MTs. Jakarta: Depdiknas.
Effendi, L. A. (2012). Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Fadjar, B. (2010). Aplikasi Teori Belajar. Yogyakarta: Depdiknas Dirjen PMPTK
P4TK Matematika.
Fauzi. (2011). Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa dengan Menggunakan Pendekatan Metakognitif Grup dan Pendekatan Metakognitif Klasikal Siswa SMP. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Glacey, K. (2011). A Study of Mathematical Connections through Children’s Literature in a Fifth- and Sixth-Grade Classroom. Math in The Middle Institute Partnership Action Research Project Report. Ohama: University of Nebraska .
(3)
Hodiyah, D. (2009). Implementasi Strategi Pembelajaran Think-Talk-Write Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Koneksi Matematik Siswa SMA. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Irianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktuvisme. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Isum, L. (2012). Pembelajaran Matematika Dengan Model CORE untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa di Sekolah Menengah Kejuruan Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Jacob, C. (2005). Pengembangan Model CORE Dalam Pembelajaran Logika Dengan Pendekatan Reciprocal Teaching Bagi Siswa SMA Negeri 9 Bandung dan SMA Negeri 1 Lembang. Bandung: Laporan Pilotting. FPMIPA UPI.
Johnston, S. (1992). A way of understanding the practical knowledge of student teachers. In M. J. Dunkin and N. L. Gage (Eds.), An international journal of research and studies (pp. 123-135). Oxford: Pergamon Press.
Justicia, M. (2010). Penerapan Model Pembelajaran CORE Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Keterampilan Metakognitif Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis Siswa. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: Skripsi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Kesumawati, N. (2011). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah serta Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Kurniawan, R. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan
Masalah Matematis Melalui Pembelajaran Dengan Pendekatan Kontekstual pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Kusmaydi. (2010). Pembelajaran Matematika Realistik untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
(4)
Leonard & Supardi. (2010). Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa pada Matematika, dan Kecemasan Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika. Cakrawala Pendidikan. Th XXIX, No 3, November 2010. [Online]. Tersedia: http//www.eprints.uny.ac.id. [3 Januari 2013].
Mahmud. (2011). Teori Belajar Kognitif. Tersedia http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2011/01/teori-belajar-kognitif.html. [28 Desember 2012].
Meltzer, D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible "Hidden Variable" in Diagnostic Pretest Scores. American Journal of Physics. v70 n12 p1259-68
Dec 2002. [Online]. Tersedia:
www.physics.iastate.edu/-per/doc/AJP-Dec-2002-Vol.70-1259-1268.pdf. [6 Juni 2012].
Mhololo, K. M. (2012). The Nature and Quality of the Mathematical Connections Teachers Make. AOSIS Open Journals. [Online]. Tersedia: http://dx.doi.org/10.4102/phytagoras.v33i1.22. [30 Januari 2013].
NCTM. (2000). Principle and Standards for School Mathematics. Reston, VA:NCTM.
Permana, Y. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Komunikasi, Dan Disposisi Matematis Siswa Sekolah Menengah Atas Melalui Model- Aliciting Activities. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Priatna, N. (2009). Perbandingan Kompetensi Strategis Siswa SMP yang Memperoleh Pembelajaran Matematika Melalui Model CORE dengan Metode Ekspositori. MIMBAR PENDIDIKAN: Jurnal Kependidikan No.2 Vol XXVIII. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Qohar, A. (2010). Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi Dan Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Siswa SMP Melalui Reciprocal Teaching. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Reziyustika, L. (2012). Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Koneksi matematis Siswa yang Menggunakan Pendekatan open-ended dengan Pembelajaran Kooperatif Tipe Co-op Co-op. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
Ruseffendi, H. E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
(5)
Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa dalam Melakukan Koneksi Matematis. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Sagala, Sy. (2010). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada media group.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Yogyakarta: Depdiknas, P4TK Matematika Yogyakarta.
Skemp. R. R. (1976). Relational Understanding and Instrumental Understanding
First Published in Mathematics Teaching, 77, 20 – 26.
Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia. Sriyanto, H J. (2007). Strategi Sukses Menguasai matematika. Yogyakarta:
Indonesia Cerdas.
Steffe, L. P., & D’Ambrosio, B. S. (1996). Using teaching experiments to enhance understanding of students’ mathematics. In D. F. Treagust, R. Duit, & B. F. Fraser (eds.), Improving teaching and learning in science and mathematics (pp. 65-76). Teachers College Press, Columbia University, New York.
Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito
Sugiyono. (2008). Metode Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan Dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa Dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung: Disertasi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
(6)
Turmudi. (2012). Teachers’ Perception Toward Mathematics Teaching Innovation in Indonesian Junior High School: An Exploratory Factor Analysis. Journal of Mathematics Education. August 2012, Vol. 5, No. 1, pp. 97-120. [Online]. Tersedia:http://educationforatoz.org. [19 Januari 2013]. Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung:
Pendidikan Matematika FMIPA.
Wardhani, S dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP; Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kemdiknas, P4TK Matematika.
Yaniati, R. P. (2001). Pembelajaran dengan Open-Ended dalam upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa. Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Tesis Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Zuhri. (2007). Penilaian Hasil Belajar. Modul Perkuliahan FKIP Universitas Islam Riau: Tidak diterbitkan