HUBUNGAN POSISI DUDUK DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH NON SPESIFIK PADA PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA DI TERMINAL UBUNG.

(1)

i

SKRIPSI

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung

Bawah Non Spesifik pada Pengemudi Angkutan Kota di

Terminal Ubung

011

DESAK PUTU MITA PRATIWI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(2)

i

SKRIPSI

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung

Bawah Non Spesifik pada Pengemudi Angkutan Kota di

Terminal Ubung

Laporan Penelitian ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA FISIOTERAPI

011

OLEH:

DESAK PUTU MITA PRATIWI 1202305029

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINGGI

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016


(3)

(4)

(5)

(6)

v

HUBUNGAN POSISI DUDUK DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH NON SPESIFIK PADA PENGEMUDI ANGKUTAN KOTA DI

TERMINAL UBUNG ABSTRAK

Posisi kerja duduk tidak hanya dilakukan di perkantoran atau industri, mengendarai mobil khususnya pengemudi angkutan kota juga termasuk pekerjaan dengan posisi duduk. Banyak yang tidak memahami tentang posisi duduk yang ergonomis. Hal ini dikarenakan para pengemudi sudah terbiasa mengemudi dalam posisi duduk yang salah dan sudah berlangsung lama. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung.

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan Cross Sectional. Populasi pada penelitian ini adalah pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung sebanyak 87 orang dan sampel yang diambil merupakan sampel jenuh di mana semua populasi termasuk ke dalam sampel. Semua berjenis kelamin laki-laki dengan umur 26 sampai 50 tahun dan lama bekerja lebih dari 4 tahun. Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat Pearson Product Moment.

Sebanyak 23 pengemudi mengalami tingkat keluhan nyeri punggung sedang dengan persentase sebesar 26.4%, 47 pengemudi mengalami tingkat keluhan nyeri punggung tinggi dengan persentase 54%, 14 pengemudimengalami tingkat keluhan nyeri punggung bawah yang sangat tinggi dengan persentase sebesar 16.1%, 2 pengemudi mengalami tingkat keluhan nyeri punggung bawah rendah dengan persentase sebesar 2,3%, dan 1 pengemudi dengan tingkat keluhan yang dapat diabaikan dengan persentase 1,1%. Seluruh pengemudi mengalami tingkat risiko posisi duduk tidak ergonomis yang tinggi dengan persentase 100%. Hasil uji korelasi didapatkan P-value = 0,000 < 0,05 menunjukkan ada hubungan signifikan antara posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah non spesifik. Nilai r adalah 0,788, sehingga keeratan hubungan ke dua variabel kuat. Tanda korelasi positif memiliki makna bahwa ke dua variabel memiliki arah hubungan yang berpola searah. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan

Ha diterima yang berarti “Ada hubungan yang signifikan antara posisi duduk

dengan keluhan nyeri punggung bawah non spesifikpada pengemudi angkutan kota

di Terminal Ubung.”


(7)

vi

CORRELATIONS BETWEEN SITTING POSITION AND NON SPECIFIC LOW BACK PAIN CASE FOR DRIVER OF PUBLIC

TRANSPORTATION AT UBUNG TERMINAL

ABSTRACT

Sitting working position just do not do in the office or industry, in particular the driver's driving public transportation is also included work in a sitting position. Many driver do not understand about the ergonomic sitting position. This is because the driver is already accustomed to driving in the wrong sitting position and longstanding. This research purpose to determine whether there is a relationship between a sitting position with non-specific low back pain to the driver of city transport in Terminal Ubung.

This kind of research is descriptive analytic with cross sectional method. The population in this study is the driver of city transport in Ubung Terminal as many as 87 peoples and the sample taken are saturated sample in which all of the population included in the sample. All driver is male with age 26 to 50 years old and worked more than four years. Analysis of the data in this study using univariate analysis and a bivariate analysis Pearson Product Moment.

A total of 23 drivers experienced the level of back pain was with a percentage of 26.4%, 47 drivers experiencing high levels of back pain with a percentage of 54%, 14 driver's experience level of low back pain with a very high percentage of 16.1%, 2 drivers experiencing low back pain levels low with a percentage of 2.3%, and 1 driver with the level of complaints that can be ignored with a percentage of 1.1%. The entire driver's experience level of risk is not ergonomic seating position with a high percentage of 100%. Results obtained correlation test P-value = 0.000 <0.05 indicates no significant association between the sitting position with complaints of non-specific lower back pain. R value is 0.788, so the relationship to the two variables are strong. Positive correlation sign has a meaning that both variables have patterned direction unidirectional relationship. From these results it can be concluded that Ho is rejected and Ha accepted which means "There is a significant relationship between the sitting position with non-specific low back pain to driver in the city transport at Ubung Terminal."


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Hubungan Posisi Duduk Dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Non Spesifik Pada Pengemudi Angkutan Kota di Terminal Ubung”.

Skrispi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terkait dalam penulisan skripsi ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, (K), M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK selaku Ketua Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, PFK, MOH selaku Pembimbing I yang telah banyak memberi petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. I Wayan Sugiritama, M.Kes selaku Pembimbing II yang telah banyak memberi petunjuk dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu, Bapak dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.


(9)

viii

6. I Dewa Gede Crisna Ari Handika yang selalu membantu dan memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh teman-teman AXOPLASMIC yang selalu membantu dan memberikan semangat.

8. Seluruh kerabat dan sejawat yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak penulis sangat harapkan.

Denpasar, Mei 2016


(10)

ix DAFTAR ISI

COVER i

PERNYATAAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iv

ABSTRAK v

ABCTRACT vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR TABEL xv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.3.1 Tujuan Umum 4

1.3.2 Tujuan Khusus 4

1.4 Manfaat Penelitian 4

1.4.1 Bagi Pengemudi Angkutan Kota 4 1.4.2 Manfaat Ilmu Pengetahuan 5 1.4.3 Manfaat Pengetahuan Fisioterapi 5


(11)

x

1.4.4 Manfaat Bagi Peneliti 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6

2.1 Ergonomi 6

2.1.1 Definisi Ergonomi 6

2.1.2 Ruang Lingkup Ergonomi 7 2.1.3 Perilaku Individu yang Tidak Ergonomis 8

2.2 Sikap Kerja 10

2.2.1 Sikap Tubuh dalam Bekerja 10 2.2.2 Macam-macam Sikap Duduk 11 2.3 Anatomi Terapan dan Biomekanik 14 2.3.1 Columna Vertebralis (Spine) 14 2.3.2 Ligamen-ligamen pada Columna Vertebralis 15

2.3.3 LumbalSpine 18

2.3.4 Otot-otot di Punggung 20

2.3.5 Pelvic dan Tight 22

2.4 Nyeri Punggung Bawah Non Spesifik 26

2.4.1 Pengertian 26

2.4.2 Epidemiologi 28

2.4.3 Gejala Nyeri Punggung Bawah Non-Spesifik 29 2.4.4 Patofisiologi NPB Non-spesifik 30 2.4.5 Strategi Pencegahan Nyeri Punggung Bawah 32


(12)

xi

2.5 Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah 32

2.6 Verbal Descriptor Scale 41

2.7 Rapid Entire Body Assesment (REBA) 41

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 45

3.1 Kerangka Berpikir 45

3.2 Kerangka Konsep 46

3.3 Hipotesis Penelitian 47

BAB IV METODE PENELITIAN 48

4.1 Rancangan Penelitian 48

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian 48

4.3 Populasi dan Sampel 48

4.3.1 Populasi 48

4.3.2 Sampel 49

4.3.3 Besar Sampel 49

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel 50

4.4 Variabel Penelitian 50

4.5 Definisi Operasional Variabel 50

4.6 Instrumen Penelitian 51

4.7 Prosedur Penelitian 52

4.7.1 Prosedur Pendahuluan 52


(13)

xii

4.8 Alur Penelitian 56

4.9 Teknik Analisis Data 57

4.9.1 Teknik Mendeskripsikan Data 56

4.9.2 Uji Normalitas Data 56

4.9.3 Uji Validitas dan Reliabilitas 56

4.9.4 Uji Statistik 57

BAB V HASIL 59

5.1 Analisis Univariat 59

5.2 Analisis Bivariat 62

BAB VI PEMBAHASAN 64

6.1 Karakteristik Responden 64

6.1.1 Umur 64

6.1.2 IMT 65

6.1.4 Masa Kerja 65

6.1.5 Jam Kerja 66

6.2 Analisis Posisi Duduk 67

6.3 Analisis Keluhan Nyeri Punggung Bawah Non Spesifik 68 6.4 Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Non


(14)

xiii

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 71

7.1 Kesimpulan 71

7.2 Saran 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Columna Vertebralis Dari Tiga Sudut Pandang (Anterior, Lateral,

Dan Posterior) 15

Gambar 2.2 Ligamen-Ligamen yang Memperkuat Columna Vertebralis 17 Gambar 2.3 Persendian pada Lumbosacral 19 Gambar 2.4 Otot-Otot pada Punggung 22 Gambar 2.5 Grup Otot Hamstring 25 Gambar 2.6 Grafik Kejadian MSDs 27

Gambar 2.7 Tabel Score REBA 44

Gambar 2.8 Tabel Level Resiko REBA dan Tindakan 44

Gambar 3.1 Kerangka Konsep 46


(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Analisis Gerak Primer Pelvic dalam Posisi Berdiri 23 Tabel 2.2 Analisis Gerak Sekunder Pelvic Terhadap Lumbal Spine 24 Tabel 2.3 Analisis Gerak Sekunder Pelvic Terhadap Hip Joint 24 Tabel 4.1 Definisi Indeks Masa Tubuh Sesuai Perspektif Asia Pasifik 52 Tabel 4.2 Prosedur Assesment Fisioterapi 53 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Umur 59 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi IMT 60 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Masa Kerja 60 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jam Kerja 60 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Resiko Posisi Duduk 61 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan NPB Non Spesifik 61 Tabel 5.7 Hasil Uji Pearson Product Moment 62


(17)

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Posisi kerja duduk adalah salah satu sikap kerja yang paling sering dilakukan. Posisi duduk adalah posisi istirahat didukung oleh bokong atau paha di mana badan tegak atau membungkuk. Sikap duduk memerlukan lebih sedikit energi, karena hal ini dapat mengurangi beban otot statis pada kaki. Posisi duduk saat bekerja tidak hanya dilakukan di perkantoran atau industri saja, namun mengendarai mobil khususnya pengemudi angkutan kota juga termasuk pekerjaan dalam posisi duduk (Mauldhina, 2014). Sopir angkutan kota mengemudi dengan posisi duduk lebih dari 30 menit sehingga rentan terhadap gangguan kesehatan, khususnya nyeri punggung. Samara (2015) mengemukakan bahwa posisi duduk tegak maupun membungkuk dalam jangka waktu lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan gangguan pada otot punggung.

Sikap duduk yang paling baik dari ilmu ergonomi adalah sedikit membungkuk. Dilihat dari anatomi dan fisiologi tulang lebih baik tegak, agar punggung tidak bungkuk dan otot perut tidak lemas, untuk itu dianjurkan memiliki sikap duduk yang tegak, diselingi istirahat dengan sedikit membungkuk (Anies, 2005). Sesuai dengan bentuk alamiah kurva tulang belakang, maka sikap kerja duduk yang paling baik adalah sedikit lordose pada pinggang dan sedikit kifose

pada punggung. Dengan posisi seperti ini pengaruh buruk pada tulang belakang terutama pada lumbosacral dapat dikurangi. Hal ini dapat dicapai dengan


(19)

penggunaan kursi dengan sandaran pinggang yang sesuai dengan bentuk anatomis tulang belakang (Kuntodi, 2008). Menurut Sritomo (1995) perancangan kursi mobil yang sesuai dengan ilmu ergonomi yaitu, letaknya bisa digeser maju atau mundur, dan sudut sandarannyapun bisa diubah-ubah. Namun perancangan kursi mobil pada mobil angkutan kota letaknya tidak bisa digeser maju atau mundur bahkan kursi mobil terkadang tidak nyaman dan rusak.

Posisi duduk yang tidak alamiah atau tidak ergonomis dapat menimbulkan kontraksi otot secara isometris (melawan tahanan) pada otot-otot utama yang terlibat dalam pekerjaan. Studi tentang keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada berbagai jenis industri telah banyak dilakukan dan hasil studi menunjukkan bahwa bagian otot yang sering dikeluhkan adalah otot rangka yang meliputi otot leher, bahu, lengan, tangan, jari, punggung, pinggang dan otot-otot bagian bawah. Di antara keluhan otot skeletal tersebut, yang banyak dialami oleh pekerja adalah otot bagian punggung (Tarwaka, 2008).

Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan salah satu gangguan musculoskeletal yang disebabkan oleh posisi tubuh individu yang tidak benar saat melakukan aktivitas ataupun bekerja dengan posisi statis dalam jangka waktu yang lama. (Maher dan Pellino, 2002). NPB diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok yaitu kronik dan akut. NPB akut terjadi dalam waktu kurang dari 12 minggu, sedangkan NPB kronik terjadi dalam waktu 3 bulan (Rogers, 2006).

Diana Samara mengatakan bahwa duduk lama merupakan penyebab tersering timbulnya NPB dengan angka kejadian pada orang dewasa 39,7 – 60 %. NPB dikatakan berkaitan dengan duduk selama lebih dari 4 jam per hari. Magora


(20)

3

menemukan prevalensi NPB sebesar 12,6 % pada orang yang sering bekerja duduk lebih dari 4 jam. Penelitian yang dilakukan Lam (1999), menyatakan bahwa duduk dengan posisi badan membungkuk sangat membebani struktur jaringan lunak vertebra pada diskus intervertebra, ligament dan otot. Orang yang duduk tegak lebih cepat letih karena otot-otot punggungnya lebih tegang. Sementara kerja otot lebih ringan saat duduk membungkuk, namun tekanan pada bantalan saraf lebih besar (Samara, 2015).

Penelitian tentang keluhan nyeri punggung bawah sudah pernah diteliti sebelumnya. Namun di Bali khususnya Denpasar belum pernah dilakukan penelitian tentang keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota. Sehingga peneliti tertarik mengambil judul tentang “Hubungan Posisi Duduk Dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah Non Spesifik Pada Pengemudi Angkutan Kota di Terminal Ubung.”

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah posisi duduk pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung?

2. Bagaimanakah keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung?

3. Apakah ada hubungan posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung?


(21)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk menganalisis posisi duduk pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung.

b. Untuk mengidentifikasi keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung.

c. Untuk menganalisis hubungan posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah non spesifik pada pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Pengemudi Angkutan Kota

Memberikan informasi pada pengemudi angkutan kota tentang posisi duduk yang benar saat mengemudi serta faktor-faktor yang berhubungan dengan nyeri punggung bawah sehingga informasi ini dapat digunakan untuk mencegah terjadinya nyeri punggung bawah yang diakibatkan dari duduk lama saat bekerja.


(22)

5

1.4.2 Ilmu Pengetahuan

Menambah pengetahuan tentang hubungan posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah yang mungkin dapat dijadikan perbandingan bagi peneliti.

1.4.3 Pengetahuan Fisioterapi

Memperoleh tambahan kajian tentang dampak posisi duduk dengan keluhan nyeri punggung bawah pada pengemudi angkutan kota.

1.4.4 Bagi Peneliti

Peneliti mendapat pengalaman dan wawasan dalam melakukan penelitian dan hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bagi penelitian selanjutnya.


(23)

6

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ergonomi

2.1.1 Definisi Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu yang dalam penerapannya berusaha untuk menyerasikan manusia dalam lingkungan kerjanya, yang bertujuan demi tercapainya produktivitas kerja dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimal mungkin. Sebagai ilmu, teknologi dan seni ergonomi berupaya menyerasikan alat, cara, proses dan lingkungan kerja terhadap kemampuan, kecakapan dan keterbatasan manusia untuk menciptakan kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman serta tingkat efisiensi yang setinggi-tingginya (Tresnaningsih, 2007).

Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Sasaran penelitian ergonomi adalah manusia pada saat bekerja dalam lingkungan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi adalah penyesuaian antara pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia yang ditujukan untuk menurunkan stres yang akan dihadapi. Upayanya antara lain penyesuaian ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia (Departemen Kesehatan RI, 2007).


(24)

7

Ergonomi adalah praktek dalam mendisain peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan kapasitas pekerja dengan tujuan untuk mencegah cidera pada pekerja (OSHA, 2010). Ergonomi juga didefinisikan sebagai suatu penerapan ilmu pengetahuan yang lebih menitik-beratkan rancangan fasilitas peralatan, perkakas sesuai dengan karakteristik anatomi, fisiologi, biomekanik, persepsi serta kebiasaan manusia (NIOSH, 2007).

Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara fasilitas yang digunakan dalam beraktivitas maupun istirahat dengan segala kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia secara fisik maupun mental sehingga dicapai suatu kualitas hidup yang lebih baik (Tarwaka, 2010).

2.1.2 Ruang Lingkup Ergonomi

Ruang lingkup ergonomi bukan sebatas bagaimana cara mengatur posisi kerja yang baik, namun juga mencakup teknik, antropometri, dan disain. Pusat Kesehatan dan Keselamatan Kerja Departemen Kesehatan RI (2008), menyatakan bahwa ruang lingkup ergonomi mencakup beberapa aspek keilmuan yaitu:

1. Tehnik, yaitu cara-cara melakukan pekerjaan dengan baik sehingga dapat mengurangi resiko cidera akibat postur kerja yang tidak baik. 2. Fisik, yaitu di mana penampilan seseorang mencerminkan

keseimbangan antara kemampuan tubuh dengan tuntutan tugas. Apabila tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi ketidaknyamanan, kelelahan, kecelakaan, cidera, penyakit, serta menurunya produktivitas. Sebaliknya, apabila tuntutan tugas lebih kecil


(25)

dari kemampuan tubuh, akan terjadi understress, seperti kejenuhan, kebosanan, dan kurang produktif.

3. Anatomi, yaitu berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot serta persendian.

4. Antropometri, yaitu suatu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik manusia yang meliputi ukuran, bentuk dan kekuatan yang nantinya berfungsi untuk mendisain tempat kerja seseorang.

5. Fisiologi, yaitu berhubungan dengan fungsi-fungsi dan kerja tubuh, seperti temperatur tubuh, oksigen yang didapat saat bekerja, dan aktivitas otot.

6. Disain, yaitu berupa perancangan tempat kerja yang sesuai dengan pekerja agar dapat bekerja secara layak, aman dan nyaman.

2.1.3 Perilaku Individu yang Tidak Ergonomis

Masalah nyeri punggung bawah yang timbul akibat duduk lama menjadi fenomena yang sering terjadi saat ini. Menurut Chang (2006), ternyata, 60 % orang dewasa mengalami nyeri punggung bawah karena masalah duduk yang terjadi pada mereka yang bekerja atau yang aktivitasnya lebih banyak dilakukan dengan duduk. Duduk lama dengan posisi yang salah dapat menyebabkan otot-otot punggung bawah menjadi tegang dan dapat merusak jaringan lunak sekitarnya. Bila keadaan ini berlanjut, akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang belakang yang mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Idyan, 2007).


(26)

9

Fenomena di atas sekarang ini juga terjadi pada pengemudi mobil khususnya pengemudi angkutan kota. Panjangnya jarak yang harus ditempuh mengakibatkan aktivitas pengemudi lebih banyak dihabiskan dengan duduk di kursi mobil saat menempuh jarak yang dituju. Mengendarai mobil dengan jarak yang cukup jauh sangat melelahkan bagi pengemudi. Hal tersebut wajar terjadi pada setiap orang karena banyaknya gerakan yang harus dilakukan saat mengemudi (Harnoto, 2009).

Lamanya duduk dalam kondisi statik akan menyebabkan kelelahan dan timbulnya rasa pegal pada area pinggang. Namun ketika mengemudi dengan posisi duduk yang salah akan menyebabkan kelelahan yang terlalu cepat karena otot- otot pinggang menjadi tegang, dan dalam periode yang berulang- ulang akan menimbulkan rasa nyeri pada area punggung bawah. Tempat duduk sopir pada kendaraan yang digunakan oleh sopir-sopir pengemudi angkutan kota di Terminal Ubung, kebanyakan tidak ergonomis dan sudah tergolong tua. Hal ini menjadi faktor resiko terjadinya nyeri punggung bawah pada pengemudi angkutan kota. Akibatnya mengganggu kenyamanan dalam mengemudi dan lambat laun akan berimbas pada produktivitas kerja yang semakin menurun karena pengemudi tidak tahan duduk berlama- lama di kursi mobil karena terganggu oleh rasa nyeri (Harnoto, 2009).


(27)

2.2 Sikap Kerja

2.2.1 Sikap Tubuh dalam Bekerja

Sikap tubuh dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan tata letak peralatan, penempatan alat-alat petunjuk, cara-cara memperlakukan peralatan seperti macam gerak, arah dan kekuatan (Anies, 2005). Sikap dan posisi kerja yang tidak benar atau tidak ergonomis (seperti jongkok, membungkuk) akan menimbulkan nyeri otot dan punggung serta gangguan fungsi dan bentuk otot (Depkes RI, 2002). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan sikap tubuh saat melakukan pekerjaan, yaitu: (1) Semua pekerjaan hendaknya dalam sikap duduk atau sikap berdiri secara bergantian, (2) Semua sikap tubuh yang tidak alami harus dihindarkan. Seandainya hal ini tidak memungkinkan, hendaknya diusahakan agar beban statik diperkecil, (3) Tempat duduk harus dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak membebani, melainkan dapat memberikan relaksasi pada otot-otot yang sedang tidak digunakan untuk bekerja dan tidak menimbulkan penekanan pada bagian tubuh (paha). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gangguan sirkulasi darah dan sensibilitas pada paha, mencegah keluhan kesemutan yang dapat mengganggu aktivitas saat bekerja (Anies, 2005).

Sanders & McCormick (1993) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut: (1) Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diukur turun dan naik. (2) Landasan kerja memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit menurun (shoping down


(28)

11

slightly). (3) Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang berlebihan.

2.2.2 Macam-macam Sikap Duduk

Posisi tubuh dalam bekerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Masing-masing sikap kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Sebagai pengemudi angkutan kota, jam kerjanya lebih banyak dihabiskan dengan posisi duduk.

Sikap duduk membutuhkan sedikit energi dibandingkan dengan posisi berdiri, karena dapat mengurangi beban otot statis pada kaki. Tenaga kerja yang bekerja pada posisi duduk memerlukan waktu istirahat lebih pendek dan secara potensial lebih produktif (Nurmianto, 2004).

Sikap duduk yang paling baik dari ilmu ergonomi adalah sedikit membungkuk. Dilihat dari anatomi dan fisiologi tulang lebih baik tegak, agar punggung tidak bungkuk dan otot perut tidak lemas, untuk itu dianjurkan memiliki sikap duduk yang tegak, diselingi istirahat dengan sedikit membungkuk (Anies, 2005). Sesuai dengan bentuk alamiah kurva tulang belakang, maka sikap kerja duduk yang paling baik adalah sedikit lordose pada pinggang dan sedikit kifose

pada punggung. Dengan posisi seperti ini pengaruh buruk pada tulang belakang terutama pada lumbosacral dapat dikurangi. Hal ini dapat dicapai apabila menggunakan kursi dengan sandaran pinggang yang sesuai dengan bentuk anatomis tulang belakang (Kuntodi, 2008).

Sikap kerja duduk dalam waktu lama tanpa adanya penyesuaian dapat menyebabkan melembeknya otot-otot perut, melengkungnya tulang belakang


(29)

dan gangguan pada organ pernapasan dan pencernaan (Kuntodi, 2008). Duduk dalam waktu yang lama akan menimbulkan kejenuhan dan kelelahan, karena saat berdiri tegak berat beban yang dipengaruhi oleh gravitasi bekerja pada garis lurus vertikal melalui pusat tubuh yang ditahan oleh tulang belakang dan diproyeksikan ke kedua kaki. Dengan demikiaan pusat titik berat tubuh berada di depan tulang belakang, akibatnya terjadi momen gaya yang menyebabkan tubuh cenderung jatuh ke depan (Wahyu, 2004).

Keadaan yang sama pada posisi duduk tegak, berat badan yang diproyeksikan ke tulang belakang bagian bawah lebih besar dibandingkan pada saat berdiri, sehingga dibutuhkan tempat duduk yang ergonomis. Namun hal ini belum cukup untuk menjaga keseimbangan tubuh. Secara teoritis alas kaki dan punggung harus ditopang atau paling tidak bersentuhan pada permukaan bidang yang sesuai. Oleh karena itu perlu diperhatikan bahwa posisi duduk yang benar adalah posisi duduk yang alami (terutama dalam posisi tegak), karena dapat konsumsi energi rendah, aliran darah lancar dan tekanan antar ruas tulang punggung dapat dikurangi (Wahyu, 2004). Tetapi apabila posisi duduk saat bekerja keliru, maka akan menyebabkan berbagai masalah terutama yang berhubungan dengan tulang belakang. Karena tekanan pada tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, bila dibandingkan dengan saat berdiri maupun berbaring. Jika tekanan tersebut diasumsikan sekitar 100%, maka besarnya tekanan pada posisi duduk yang tegak adalah 140% dan posisi duduk membungkuk ke depan tekanannya adalah 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang daripada sikap


(30)

13

duduk yang condong ke depan (Wahyu, 2004). Arah penglihatan untuk pekerjaan duduk 32º-44º kebawah. Arah penglihatan ini sesuai dengan sikap kepala yang istirahat, sehingga tidak mudah lelah (Anies, 2005).

Keuntungan dari sikap kerja duduk jika dibandingkan dengan sikap kerja berdiri adalah menghilangkan pembebanan pada kaki, memungkinkan tubuh menghindari sikap yang tidak alamiah, penggunaan energi dapat dikurangi sehingga bisa mengurangi atau memperlambat terjadinya kelelahan, kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah, memberikan kestabilan lebih besar pada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan ketepatan dan ketelitian, memungkinkan pengoperasian alat kendali kaki dengan lebih mudah, tepat dan aman dalam posisi tubuh yang tetap baik (Fariborz dan James, 1997).

Ada beberapa tipe posisi duduk antara lain (Mauldhina, 2014): 1. Posisi Duduk Condong Ke Depan

Posisi badan condong ke depan terjadi karena orang ingin mencapai target penglihatan visualnya atau meja kerja yang terlalu rendah dalam hal ini posisi duduk yang kurang dari 90○dari sandaran duduk yang ada, karena duduk yang terlalu condong ke depan dapat menambah gaya pada discus lumbalis ± 90% lebih besar dibandingkan posisi membungkuk yang menyebabkan beban kerja otot berkurang tetapi beban yang diderita discus meningkat.

2. Duduk Tegak

Posisi duduk tegak adalah posisi duduk pada sudut 90○tetapi tidak pada sandaran kursi. Duduk tegak tanpa sandaran dapat mengakibatkan beban


(31)

pada daerah lumbal, hal ini disebabkan karena otot berusaha untuk meluruskan tulang punggung dan daerah lumbal.

3. Posisi Duduk Menyandar

Posisi duduk menyandar yaitu duduk pada sudut 90○ pas pada sandaran kursi, karena bisa mengurangi tekanan pada discus sekitar 25%. Namun permasalahan pada posisi ini target penglihatan atau visual terlalu jauh dan terlalu rendah.

2.3 Anatomi Terapan dan Biomekanik

2.3.1 Columna Vertebralis (Spine)

Columna vertebralis adalah sebuah struktur lentur yang di bentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Pada orang dewasa panjang tulang belakang dapat mencapai 57-67 cm. Tulang belakangmemiliki 33 ruas yang terdiri dari 24 buah ruas merupakan tulang-tulang yang terpisah dan 9 ruas lainnya tergabung membentuk dua tulang. Vertebra di kelompokkan menjadi beberapa bagian dan di beri nama sesuai dengan daerah yang di tempati yaitu:

a. Vertebra Torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang toraks atau dada yang terdiri dari 12 ruas.

b. Vertebra Servikalis atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk yang terdiri dari 7 buah.

c. Vertebra Lumbalis atau ruas tulang punggung membentuk daerah lumbal atau pinggang yang terdiri dari 5 buah.


(32)

15

d. Vertebra Sakralis atau tulang kelangkang membentuk sacrum atau tulang kelangkang yang terdiri dari 5 buah.

e. Vertebra Kosigeus atau ruas tulang punggung membentuk tulang koksigeus atau tulang tungging yang terdiri dari 4 buah.

Secara anatomi, vertebra adalah daerah tulang belakang C1 sampai seluruh tulang sacrum. Dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 2.1 Columna vertebralis dari tiga sudut pandang (anterior, lateral, dan posterior)

Sumber: Sanchez, 2014 2.3.2 Ligamen-ligamen pada Columna Vertebralis

Ligamen memperkuat columna vertebralis sehingga membentuk postur tubuh seseorang. Ligamen-ligamen tersebut antara lain:


(33)

1) Ligamen longitudinal anterior

Ligamen longitudinal anterior merupakan jaringan fibrous yangterdapat di sepanjang bagian depan columna vertebralis. Ligamenum ini dimulai dari

os occipital dan berakhir pada os sacrum, makin ke bawah ukurannya semakin lebar namun pada daerah thoracal ligamen ini menyempit (Wibowo, 2007).

Fungsi ligamen tersebut menyatukan ruas-ruas vertebra dari arah depan, tetapi tidak cukup kuat memfiksir annulus fibrosus discus intervertebralis

(Kurniasih, 2011).

2) Ligamen longitudinal posterior

Di bagian belakang corpus, di dalam canalis vertebralis terdapat ligamen

longitudinal posterior. Berbeda dengan yang anterior, ligamen longitudinal posterior berawal dari corpus cervicalis kedua dan juga berakhir pada permukaan anterior canalis ossos sacri (Wibowo, 2007).

Ligamen ini melekat pada discus intervertebralis, oleh karena itu ligamen ini dapat mengfiksir atau menutupi discus intervertebralis sehingga berfungsi membatasi gerakan terutama gerakan fleksi dan ekstensi serta berperan sebagai pelindung. Namun karena ligamen ini tidak melekat secara penuh, maka pada bagian posterolateral dari discus intervertebralis tidak terlindungi. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferentt nyeri (A δ dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang

banyak (Kurniasih, 2011). 3) Ligamen intertransversal


(34)

17

Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral (Sudaryanto, 2004). 4) Ligamen flavum

Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004).

5) Ligamen interspinosus

Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus

dan memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal

(Sudaryanto, 2004). 6) Ligamen supraspinosus

Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio

lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal (Sudaryanto, 2004).


(35)

Gambar 2.2 Ligamen-ligamen yang memperkuat columna vertebralis Sumber: http://columnavertebral.net

(Diakses tanggal 26 Desember 2015) 2.3.3 LumbalSpine

Tulang vertebra lumbal memiliki bentuk yang lebar dan besar, vertebra lumbal sesuai untuk menyangga seluruh beban dari kepala, badan dan ekstremitas atas. Tulang lumbal berhubungan dengan lower thorakal, upper sacral, dan hip pelvic complex. Sendi lumbal terdiri atas 5 ruas corpus vertebralis yang merupakan bagian dari columna vertebralis (Wibowo, 2007).

Pada setiap ruas tulang terbentuk atas sebuah corpus yang bentuknya mirip ginjal. Lumbal memiliki corpus yang lebih besar dan tebal jika dibandingkan dengan corpus vertebralis yang lain dan bentuknya kurang lebih bulat dengan bagian atas dan bawah yang datar, satu processus spinosus, yang mengarah pada bidang sagital, dua processus transversus, sepasang processus articularis superior

dan inferior, di mana kedua bagian ini saling bertemu pada kedua belah sisi dalam bentuk sendi facet dan foramen intervertebralis, tempat menjalarnya cauda equina

di mana merupakan lanjutan dari spynal cord. Dengan kurva lordosis yang dimiliki oleh lumbal menyebabkan lumbal menerima beban paling besar dari segmen


(36)

19

columna vertebralis lainnya. Selain itu lumbal juga mempunyai mobilitas yang tinggi (Wibowo, 2007).

Gambar 2.3 Persendian pada lumbosacral Sumber: Charisma, 2014

Gerakan pada collumna vertebralis bergantung pada segmen mobile, yaitu 2 sendi facet dan jaringan lunak diantaranya. Segmen tersebut memberikan beberapa derajat gerakan pada setiap regio (Kurniasih, 2011).

Pada regio lumbal, orientasi sendi facet lebih ke dalam bidang sagital

sehingga gerak yang dominan adalah fleksi – ekstensi. Disamping itu, terjadi gerakan lateral fleksi kiri dan kanan serta rotasi (Kurniasih, 2011).

Pada gerakan fleksi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak menekuk kearah anterior sehingga terjadi peregangan pada discus intervertebralis bagian


(37)

Pada gerakan ekstensi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak menekuk kearah posterior, sementara discus menjadi mampat pada bagian posterior dan teregang pada bagian anterior. Ligamen longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior rileks. Dengan demikian, gerakan ekstensi dibatasi oleh struktur tulang dari arkus vertebra dan ketegangan ligamen longitudinal anterior (Kurniasih, 2011).

Pada gerakan lateral fleksi, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral, sementara discus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena bergeser kearah kontralateral (Kurniasih, 2011).

Pada bagian rotasi, vertebra bagian atas berotasi pada vertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi. Discus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh sendi facet vertebra lumbal (Kurniasih, 2011).

2.3.4 Otot-otot di Punggung

1. Erector spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada

facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum,

crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu:

a. M. Longissimus b. M. Iliocostalis c. M. Spinal is


(38)

21

Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal

dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak. Kerja otot tersebut dibantu oleh M. Transverso spinal is dan Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinal is dan m. Intrasversaris

(Sudaryanto, 2004)

2. Abdominal, merupakan group otot ekstrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot

abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan

external berperan pada rotasi trunk (Sudaryanto, 2004).

3. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian

lateral lumbal yang terdiri dari :

a) M. Quadratus Lumborum b) M. Psoas

Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal


(39)

Gambar 2.4 Otot-otot pada punggung Sumber: Jakarta Fisioterapi, 2013 2.3.5 Pelvic dan Tight

a. Pelvic

Pada pelvic terdapat tulang coxae kiri dan kanan yang saling berubungan pada bagian depan, dan dengan tulang sacrum pada bagian belakang. Sebagai kesatuan, tulang-tulang ini berperan dalam melindungi organ tubuh di dalam pelvic (Wibowo, 2007).

Otot-otot pada pelvic mulai dari otot superficial dan otot-otot bagian dalam adalah m. Gluteus maxximus, m. Gluteus medius,m. Gluteus minimus, m. Piriformis, m. Gamellus superior dan inferior, m. Quadratus femoris dan


(40)

23

sebagian m. Obturatorius externus. Selain struktur otot dan tulang pada regio pelvic juga terdapat pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang mengurus regio glutea adalah cabang dari arteri iliaca interna (arteri glutea superior dan inferior, arteri pudenda interna). Untuk persarafannya berasal dari rami ventralis nervi spinal is yang keluar dari segmenta lumbalis satu sampai empat. Nervi spinal is ini membentuk plexus lumbalis dan serabut

spinal yang keempat bergabung dengan serabut yang berasal dari segmen

sakral membentuk plexus lumbosacralis. (Wibowo, 2007)

Sacara arsutektur, pelvic terletak strategis karena merupakan penghubung trunk dengan extemitas inferior sehinggga harus saling bekerjasama pada setiap gerakan lumbal dan hip. (Sudaryanto, 2011).

Karena gerak pelvic bergantung pada sendi-sendi di lumbal spine dan hip

maka gerak pelvic dapat bersifat sekunder atau primer. Berikut analisis gerak primer dan sekunder dari pelvic:

Tabel 2.1 Analisis gerak primer pelvic dalam posisi berdiri

Pelvic Lumbal Spine Hip Joint

Anterior pelvic tilt Hiperekstensi Sedikit fleksi Posterior pelvic tilt Sedikit fleksi Ekstensi penuh

Lateral pelvic tilt Sedikit lateral fleksi ke kanan

Kanan : sedikit adduksi

Kiri : sedikit abduksi Rotasi ke kiri (tanpa

kepala dan kaki bergerak)

Rotasi ke kanan Kanan : sedikit

exorotasi

Kiri : sedikit endorotasi


(41)

Tabel 2.2 Analisis gerak sekunder pelvic terhadap lumbal spine

Lumbal spine Pelvic

Fleksi Posterior pelvic tilt

Ekstensi/hiperekstensi Anterior pelvic tilt Lateral fleksi kiri Lateral pelvic tilt ke kanan

Rotasi kiri Rotasi ke kiri

(Sudaryanto, 2011)

Tabel 2.3 Analisi gerak sekunder pelvic terhadap hip joint

Hip joint Pelvic

Fleksi Anterior pelvic tilt

Ekstensi/hiperekstensi Posterior pelvic tilt Abduksi ke kiri Lateral pelvic tilt ke kanan

Adduksi ke kiri Lateral pelvic tilt ke kiri (Sudaryanto, 2011)

b. Tight

Daerah tungkai atas (Tight) memiliki beberapa grup otot besar, salah satu grup otot memberikan kontribusi terhadap terjadinya NPB yaitu grup otot ekstensor hip dan fleksor knee (Hamstring). Hamstring merupakan otot paha bagian belakang yang berfungsi sebagai fleksor knee dan ekstensorhip. Secara umum hamstring bertipe otot serabut otot tipe II (Watson, 2002).


(42)

25

1. Otot Biceps Femoris

Mempunyai dua buah caput. Caput longum dan breve, caput longumberorigo pada pars medialis tuber Ichiadicum dan M. semitendinosus sedangkan caput breve berorigo pada labium lateral linea aspera femoris, insersio otot ini pada capitulum fibula

(Watson, 2002). 2. Otot Semitendinosus

Otot ini berorigo pada pars medialis tuber ichiadicum dan berinsersio pada facies medialis ujung proximaltibia (Watson, 2002)

3. Otot Semimembranosus

Melekat di sebelah pars lateralis tuber ichiadicum turun ke arah sisi medial regio posterior femoris dan berinsersio pada facies posterior condylus medialis tibia (Watson, 2002)

Gambar 2.5 Grup Otot Hamstring Sumber: Watson, 2002


(43)

Otot hamstring berfungsi dalam gerakan ekstensi dan hiperekstensi hip. Ekstensi adalah gerakan kembali dari fleksi dan hiperekstensi

adalah gerakan femur ke belakang dalam bidang sagital. Gerak

hiperekstensi sangat terbatas dengan ROM sebesar 00-200 (gerak aktif) dan sebesar 00-300 (gerak pasif). Keuntungan dari ketebatasan gerak ini adalah sendi menjadi sangat stabil untuk wight bearing

(menumpu berat badan) tanpa membutuhkan kontraksi otot yang kuat (Sudaryanto, 2011).

Selain itu otot hamstring juga berperan dalam membatasi luas gerakan fleksi hip. Gerakan fleksi hip yang luas dilakukan dengan lutut dalam posisi fleksi di mana pelvic akan backward tilt untuk melangkapi gerakan fleksi hip. ROM fleksi hip dengan posisi

ekstensi lutut adalah sebesar 00-900, sedangkan ROM fleksi hip

dengan posisi fleksi lutut adalah sebesar 00-1200 (gerak aktif) dan 00 -1400 (gerak pasif) (Sudaryanto, 2011).

2.4 Nyeri Punggung Bawah Non Spesifik

2.4.1 Pengertian

NPB diartikan sebagai keluhan nyeri dan rasa tegang atau kaku pada otot, yang terlokalisasi di area bawah costae dan di atas lipatan gluteus inferior dengan atau tanpa nyeri menjalar ke tungkai (Koes, 2006). NPB non-spesifik yaitu NPB tanpa sebab yang jelas (NPB of unknown origin) (Santosa, 2011)


(44)

27

NPB non-spesifik didiagnosa seperti mysofascial syndromes, muscle spasm,

mechanical LBP, back sprain, dan back strain. Pada kondisi ini pasien akan

merasakan nyeri otot yang hebat dan adanya keterbatasan gerak fungsional tubuh terutama pada saat fleksi . Pada umumnya pasien yang mengeluh nyeri pada daerah

lumbal kebanyakan disebabkan karena adanya kesalahan postural (Kurniasih, 2011).

Nyeri punggung bawah non spesifik adalah salah satu gangguan musculoskeletal akibat dari posisi yang tidak ergonomis. Seringkali terjadi dari aktivitas sehari-hari, misalnya seperti mengendarai mobil atau melakukan pekerjaan rumah. Nyeri punggung bawah merupakan kelainan musculoskeletal yang paling sering terjadi akibat pekerjaan. Oregon (2000) menggambarkan presentase distribusi cidera yang terjadi pada bagian tubuh akibat kerja.

Gambar 2.6 Grafik kejadian MSDs (Sumber: Oregon, 2000)

Dari gambar di atas nampak jelas bahwa punggung mempunyai presentase cidera terbesar dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain.


(45)

2.4.2 Epidemiologi

Nyeri punggung merupakan kelainan muskuloskeletal yang paling sering terjadi. Perkiraan total biaya yang dikeluarkan untuk mengobati nyeri punggung di Inggris pada tahun 2000 menghabiskan dana sebesar 12,3 juta poundsterling. Penyakit ini menyerang satu dari lima orang dalam waktu yang bersamaan dan pada usia 30 tahun setengah populasi akan mengalami paling tidak satu episode nyeri punggung (Docking dkk, 2011).

Pentingnya nyeri punggung dan leher ditandai sebagai berikut: (a) biaya yang dihabiskan selama menderita nyeri punggung ±100 milyar dollar per tahun, termasuk biaya kesehatan secara langsung ditambah biaya karena produktivitas yang menurun, (b) gejala nyeri punggung merupakan penyebab utama disabilitas pada individu yang berusia <45 tahun, (c) nyeri punggung bawah merupakan penyebab paling sering kedua untuk berobat ke dokter di Amerika, (d) ±1% populasi Amerika tidak mampu bekerja dalam waktu yang lama karena menderita nyeri punggung (Fauci dkk, 2008).

Nyeri punggung bawah merupakan penyebab tersering kelima seseorang berobat ke dokter di Amerika. Kira-kira seperempat warga Amerika berusia dewasa dilaporkan menderita nyeri punggung bawah yang berlangsung paling tidak seharian penuh dalam 3 bulan terakhir, dan 7,6% warga dilaporkan menderita 1 episode nyeri punggung bawah yang parah dalam waktu 1 tahun. Pengobatan nyeri punggung bawah sangat mahal: total biaya kesehatan tambahan untuk nyeri punggung di Amerika diperkirakan mencapai 26,3 milyar dollar pada tahun 1998. Sebagai tambahan, biaya yang hilang secara tidak langsung karena kehilangan


(46)

29

waktu bekerja sangat penting, diperkirakan 2% dana cadangan Amerika dikeluarkan untuk mengatasi cidera punggung (Chou dkk, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI (Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia) di Poliklinik Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002 menemukan prevalensi penderita NPB sebanyak 15,6%. Angka ini berada pada urutan kedua tertinggi sesudah sefalgia dan migren yang mencapai 34,8%. Dari hasil penelitian secara nasional yang dilakukan di 14 kota di Indonesia juga oleh kelompok studi Nyeri PERDOSSI tahun 2002 ditemukan 18,13% penderita NPB dengan rata-rata nilai VAS sebesar 5,46±2,56 yang berarti nyeri sedang sampai berat. Lima puluh persen diantaranya adalah penderita berumur antara 41-60 tahun (Purba, 2008).

Nyeri pinggang idiopatik yaitu akibat strain (otot) dan sprain (ligament) merupakan penyebab tersering (70%) dari NPB mekanik 80-90% sembuh dalam 2-6 minggu, 30 -70% akan berulangdan 5-10% menjadi kronik. Dapat mengenai usia antara 25-60 tahun dan paling sering mengenai usia 40-45 tahun. Tidak membedakan ras dan jenis kelamin. Sebagin besar penderita nyeri punggung bawah mengatasi keluhannya sendiri tanpa mencari pengobatan medis (Rachmawati, 2006).

2.4.3 Gejala Nyeri Punggung Bawah Non-Spesifik

Dari seluruh kasus nyeri punggung, angka kejadian nyeri punggung non spesifik berkisar 85 persen. Nyeri punggung bawah non spesifik berupa gejala tanpa penyebab yang jelas. Umumnya disebabkan cedera otot dan ligamen, serta kram. Gejala nyeri punggung non-spesifik adalah sebagai berikut (Effendi, 2012):


(47)

- Nyeri mendadak jika seseorang melakukan kegiatan berat dalam waktu lama.

- Nyeri saat bangun tidur atau duduk lama.

- Beberapa saat kemudian, nyeri berkurang atau hilang. - Nyeri dirasakan di pinggang bawah, bokong atau paha. - Nyeri saat berganti posisi atau beraktivitas tertentu. - Nyeri sering tak jelas pasti lokasinya.

- Tak berkaitan dengan kelainan spesifik di tulang belakang. 2.4.4 Patofisiologi NPB Non-spesifik

NPB non-spesifik sering terjadi karena postur yang buruk, oleh karena itu NPB non-spesifik bisanya terjadi pada individu yang duduk untuk waktu yang lama, membungkuk untuk waktu yang lama atau sering membungkuk saat bekerja, mengangkat benda yang berat, berdiri, posisi tidur dan berbaring yang jelek. Stres postural yang lama menyebabkan overstretch pada ligamen dan jaringan lunak lainnya yang mempertahankan vertebra. Ketika sendi diantara kedua tulang berada dalam posisi yang menghasilkan overstretch dan kelelahan pada jaringan lunak sekitar sendi, nyeri sering dihasilkan (McKenzie, 2000)

Penyebab nyeri lainnya adalah ischemia, di mana ischemia dapat menebabkan akumulasi asam laktat dengan jumlah yang besar di dalam jaringan, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari metabolisme anaerobik. Kemungkinan juga adalah keterlibatan unsur-unsur kimiawi lainnya seperti bradykinin danenzim

proteolytic yang terbentuk di dalam jaringan karena adanya kerusakan sel. Keterlibatan kedua enzim dan akumulasi asam laktat di dalam jaringan dapat


(48)

31

merangsang ujung-ujung saraf nyeri (reseptor nyeri). Di samping itu, muscle spasm

juga penyebab umum dari nyeri. Nyeri dapat berasal dari efek langsung dari muscle spasm yang merangsang reseptor nyeri mechanosensitive, tetapi dapat juga berasal dari efek tidak langsung dari muscle spasm yang mengompresi pembuluh darah sehingga menyebabkan ischemia. Hal ini akan menciptakan pelepasan subtansi kimiawi penyebab nyeri (Guyton, 2006)

Nyeri pada NPB non-spesifik merupakan respon terhadap adanya kerusakan atau gangguan pada struktur vertebra lumbal yang disebabkan oleh faktor mekanikal (kesalahan biomekanik). Pada umumnya kerusakan terjadi pada serabut

annulus fibrosus bagian dorsal dan atau ligamen longitudinal posterior. Adanya kerusakan menyebabkan terlepasnya zat-zat iritan seperti prostaglandin, bradykinin, dan histamin sehingga merangsang serabut saraf Aδ dan tipe C (bermylein tipis). Impuls tersebut dibawa ke ganglion dorsalis dan masuk kedalam

medulla spinalis melalui cornu dorsalis, yang kemudian dibawa ke level SSP yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus dan spinoreticularis. Adanya rangsangan pada ganglion dorsalisakan memicu produksi “P” substance. Produksi

“P” substance akan merangsang terjadinya reaksi inflamasi (Sudaryanto, 2004). Adanya nyeri hebat menyebabkan reaksi reflekstorik pada otot-otot lumbo dorsal terutama otot erector spine sehingga terjadi peningkatan tonus yang

terlokalisir (spasme) sebagai “guarding” (penjagaan) terhadap adanya gerakan. Jika

spasme otot berlangsung lama maka otot akan cenderung menjadi tightness. Keadaan tightness pada otot-otot erector spine akan memperberat nyeri karena terjadi ischemic dan menyebabkan alignment spine menjadi abnormal sehingga


(49)

menimbulkan beban stress/kompresi yang besar pada diskus intervertebralis yang cidera (Sudaryanto, 2004).

Adanya problem utama berupa nyeri dan tightness pada otot-otot lumbo dorsal terutama erector spine maka gangguan gerak dan fungsi yang dominan adalah terhambatnya gerak fleksi lumbal, sedikit terhambat pada lateral fleksi dan rotasi lumbal. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan-gerakan fungsional pada lumbal (Sudaryanto, 2004).

2.4.5 Strategi Pencegahan Nyeri Punggung Bawah

Secara garis besar terdapat dua jenis pencegahan NPB (National Institute for Occupational Safety and Health, 2000):

1. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya NPB sejak awal.

2. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya NPB kronik dan kambuhnya kembali NPB.

2.5 Faktor Resiko Nyeri Punggung Bawah

Ada beberapa faktor yang terbukti berkontribusi menyebabkan MSDs, yaitu pekerjaan yang dilakukan dengan postur janggal, kerja statis, gerakan repetitif dan penggunaan tenaga yang besar merupakan faktor risiko terjadinya MSDs (Pheasant, 1991). Faktor risiko ergonomi didefinisikan sebagai kondisi suatu tugas atau proses yang mempengaruhi timbulya MSDs, dan nyeri punggung bawah (NPB) terdapat dalam macam-macam gangguan MSDs. Oleh karena itu pemaparan terhadap faktor risiko ergonomi sabaiknya dibatasi atau dihindarkan. Faktor risiko adalah sifat atau


(50)

33

karakteristik pekerja atau lingkungan kerja yang dapat meningkatkan kemungkinan

pekerja atau petugas yang memberikan “biomechanical stress” pada pekerja.

Faktor-faktor risiko ergonomi tersebut antara lain: 1. Faktor Pekerjaan

Berdasarkan penelitian telah terbukti bahwa tinjauan secara biomekanik serta data statistika menunjukkan bahwa faktor pekerjaan berkontribusi pada terjadinya cedera otot akibat bekerja (Chaffin dkk, 1999). Berdasarkan penelitian Anggraini (2010) didapatkan ada hubungan bermakna dari faktor pekerjaan dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.003. Berikut adalah faktor-faktor pekerjaan yang dapat menyebabkan terjadinya cedera pada otot atau jaringan tubuh:

a. Postur Janggal (Postur Kerja Tidak Alamiah)

Postur janggal adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terlalu tinggi, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula risiko terjadinya keluhan

muskuloskeletal. Sikap kerja yang tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Tarwaka dkk, 2004).


(51)

b. Postur Statis

Merupakan postur saat kerja fisik dalam posisi yang sama di mana pergerakan yang terjadi sangat minimal. Kondisi ini memberikan peningkatan beban pada otot tendon yang menyebabkan kelelahan. Aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen serta pengangkutan sisa metabolisme pada otot menjadi terhalang. Gerakan yang dipertahankan >10 detik dinyatakan postur statis. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh pakar fisiologi kerja ditemukan bahwa sikap kerja yang tidak alamiah (sikap statis dalam waktu yang lama) dapat mengakibatkan gangguan pada sistem otot rangka atau MSDs. (Tarwaka dkk, 2004).

c. Peregangan Otot yang Berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi risiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal (Tarwaka dkk, 2004).


(52)

35

d. Aktivitas Berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkat dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi (Tarwaka dkk, 2004).

e. Force atau Load

Force atau load adalah massa beban atau berat benda yang diangkat oleh pekerja dalam satuan Kg. Massa beban atau objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Risiko yang berkaitan dengan berat beban perlu memperhatikan durasi dan frekuensi beban yang akan ditangani. Risiko cedera punggung meningkat jika beban yang diatangani lebih dari 4.5 kg pada posisi duduk atau >16 kg pada posisi selain duduk. Menurut ILO (1998), berat objek yang direkomendasikan adalah 23-25 kg. Ruas tulang belakang hanya diperbolehkan untuk menanggung beban kurang dari 20 lb atau 9 kg. Tangan, siku, bahu dan kaki hanya diperbolehkan mengangkat beban kurang dari 10 lb atau 4,5 kg, sedangkan beban yang dijepit pada tangan tidak boleh melebihi 2 lb atau 0,9 kg dengan durasi tidak melebihi 10 detik dan durasi pada kaki tidak boleh dilakukan lebih dari 30% perhari (Humantech, 1995).


(53)

2. Faktor Individu a. Usia

Umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja yaitu 25-65. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada usia 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini terjadi karena pada usia setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat (Tarwaka dkk, 2004).

Usia berbanding langsung dengan kapasitas fisik sampai batas tertentu dan mencapai puncaknya pada usia 24 tahun. Pada usia 50-60 tahun kekuatan otot menurun sebesar 25%, kemampuan sensoris motoris menurun sebanyak 60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berusia 60 tahun tinggal mencapai 50% dari usia manusia yang berusia 25 tahun. Bertambahnya usia akan diikuti penurunan; VO2max, tajam penglihatan, pendengaran, kecepatan membedakan sesuatu, membuat keputusan dan kemampuan mengingat jangka pendek. Dengan demikian pengaruh usia selalu dijadikan pertimbangan dalam memberikan pekerjaan bagi seseorang (Tarwaka dkk, 2004).

Usia memiliki hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa penelitian lainnya menyatakan bahwa usia merupakan penyebab utama terjadinya keluahan. Usia berkaitan dengan perubahan degeneratif fungsi fisiologi tubuh. Pertambahan usia


(54)

37

berarti terjadi perubahan pada jaringan tubuh dan tubuh menjadi semakin rentan sehingga pada semakin bertambah usia maka semakin berisiko MSDs (Zulaeha, 2008).

b. Jenis Kelamin

Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pria (Tarwaka dkk, 2004). Hasil penelitian Battié dkk (1989) menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% dari kekuatan otot pria, khususnya untuk otbhonzuiot lengan, punggung dan kaki. Tarwaka dkk (2004) menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3

c. Kebiasaan Merokok

Pheasant (1991) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, karena nikotin pada rokok dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan. Selain itu, merokok dapat pula menyebabkan berkurangnya kandungan mineral pada tulang sehingga menyebabkan nyeri akibat terjadinya keretakan atau kerusakan pada tulang (Bernard, 1997).


(55)

Semakin lama semakin dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan yang dirasakan (Tarwaka dkk, 2004). Perokok lebih memiliki kemungkinan menderita masalah punggung dari pada bukan perokok. Efeknya adalah hubungan dosis dan lebih kuat dari pada yang diharapkan dari efek batuk. Risiko meningkat sekitar 20% untuk setiap 10 batang rokok perhari (Pheasant, 1991). Anggraini tahun 2010 didapatkan hasil bahwa kebiasaan merokok tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan NPB dengan Pvalue sebesar 1.

d. Kebiasaan Berolahraga

Aerobic fitness meningkatkan kemampuan kontraksi otot. 80% kasus nyeri tulang punggung disebabkan karena buruknya tingkat kelenturan (tonus) otot atau kurang berolah raga. Otot yang lemah terutama pada daerah perut tidak mampu menyokong punggung secara maksimal.

Contoh Olahraga Kesehatan berbentuk senam (Aerobiks) ialah Senam Pagi Indonesia seri D (SPI-D). Satu seri SPI-D memerlukan

waktu 1’45”, sehingga untuk memenuhi kriteria waktu yang adekuat

maka SPI-D harus dilakukan minimal 6x berturut-turut tanpa henti, yang akan mencapai waktu 10.5 menit.

Contoh olahraga aerobik yaitu lari/jogging, lari di tempat, renang, senam, berjalan cepat selama 30 menit selama 6 hari dalam satu minggu dan beristirahat pada hari Sabtu, bersepeda, selain itu olahraga lari juga


(56)

39

dapat mencapai tingkat edekuat sesuai kriteria Cooper jika dilakukan secara teratur dan terus-menerus, disarankan tiga kali seminggu dengan latihan selang, misalnya: Senin–Rabu–Jumat atau Selasa–Kamis–Sabtu. (Hazami, 2010).

Penelitian yang dilakukan Rahmat (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian nyeri punggung bawah dengan kebiasaan olahraga dengan p value 0,029.

e. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Antropometri berasal dari bahasa Yunani yaitu Antropos (manusia) dan metricos (pengukuran), antropometri merupakan suatu pengukuran yang sistematis terhadap tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang suatu sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh pengguna sarana kerja yang bersangkutan. Desain ergonomis pada suatu populasi, peralatan yang diperuntukan kepada kaum laki-laki dan perempuan seharusnya berbeda, karena antropometri laki-laki dan perempuan berbeda (Santoso, 2004). Menurut WHO (2000) indeks masa tubuh (IMT) dikategorikan menjadi tiga yaitu kurus (<18.5) normal (18.5-25) dan gemuk (>25). Jika seseorang mengalami kelebihan berat badan maka orang tersebut akan berusaha untuk menyangga berat badan dari depan dengan mengontraksikan otot punggung bawah. Dan apabila ini terus berlanjut maka akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang


(57)

belakang yang mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan dan Horn, 1998).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2010) menyatakan ada hubungan yang bermakna keluhan yang dialami dengan indeks masa tubuh dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.036.

f. Masa Kerja

Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung (Amalia, 2007). Pekerja fisik yang dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh terhadap mekanisme dalam tubuh (sistem peredaran darah, pencernaan, otot, syaraf dan pernafasan).

Kejadian musculosksletal disorders dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individu, salah satunya adalah pengalaman bekerja. Lamanya pekerja bekerja di suatu industri, mempengaruhi kesakitan musculoskeletal yang dirasakan. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa absen sakit dikarenakan kesakitan pada upper limbs lebih tinggi pada pekerja yang baru dibandingkan pekerja yang telah berpengalaman, terutama pada kelompok pekerja dengan beban kerja tinggi (Hakkanen dkk, 2001).

Dan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Rahardjo (2009) pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai


(58)

41

Rihiimaki dkk (1989) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot.

2.6 Verbal Descriptor Scale

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari

“tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan

klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Bare dan Smeltzer 2002).

2.7 Rapid Entire Body Assesment (REBA)

REBA adalah metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney yang secara efektif digunakan untuk menilai postur tubuh pekerja. REBA telah dikembangkan untuk menilai tipe dari ketidakpastian penemuan postur pekerjaan dalam pelayanan kesehatan dan industri lainnya. Data dikumpulkan tentang postur tubuh, gaya yang digunakan, tipe dari pergerakan dan tindakan, pengulangan kerja, dan Coupling. Skor akhir dari REBA memberikan indikasi dari level risiko dan tingkat keparahan dengan mengambil tindakan mana yang harus


(59)

didahulukan. (Hignett dan McAtamney, 2000). Salah satu hal yang membedakan metode REBA dengan metode analisa lainnya yaitu fokus analisis dalam metode ini adalah seluruh bagian tubuh pekerja. Melalui fokus terhadap keseluruhan postur tubuh ini, diharapkan bisa mengurangi potensi terjadinya musculoskeletal disorders pada tubuh perkerja.

Dalam metode REBA, analisis terhadap keseluruhan postur tubuh pekerja dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama atau Group A terdiri dari bagian neck, trunk, dan legs. Sedangkan bagian kedua atau Group B terdiri dari

upper arms, lower arms, dan wrist. Penilaian postur dan pergerakan kerja dengan menggunakan metode REBA melalui tahapan–tahapan sebagai berikut:

1. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.

2. Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan nilai. Perhitungan nilai melalui metode REBA ini dimulai dengan menganalisis posisi neck, trunk, dan leg dengan memberikan skor pada masing-masing komponen. Ke tiga komponen tersebut kemudian dikombinasikan ke dalam sebuah tabel untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian pertama atau skor A dan ditambah


(60)

43

dengan skor untuk force atau load. Selanjutnya dilakukan scoring pada bagian upper arm, lower arm, dan wrist kemudian ke tiga komponen tersebut dikombinasikan untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian kedua atau skor B dan ditambah dengan coupling score. Setelah diperoleh grand skor A dan grand skor B, kedua nilai tersebut dikombinasikan ke dalam tabel C, melalui tabel kombinasi akhir ini kemudian ditambahkan dengan

activity score akan didapat nilai akhir yang akan menggambarkan hasil analisis postur kerja. Activity score ditambah 1 jika pengulangan gerakan dilakukan lebih dari 4 kali per menit atau bagian tubuh melakukan posisi statis lebih dari 1 menit.

3. Dari final REBA skor dapat diperoleh skala dari level tiap aksi yang akan memberikan pannduan untuk resiko dari tiap level dan aksi yang dibutuhkan. Perhitungan analisis postur ini dilakukan untuk ke dua sisi tubuh, kiri dan kanan.


(61)

Gambar 2.7 Tabel skor REBA (Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000)

Gambar 2.8 Tabel Level Resiko REBA dan Tindakan (Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000)


(1)

dapat mencapai tingkat edekuat sesuai kriteria Cooper jika dilakukan secara teratur dan terus-menerus, disarankan tiga kali seminggu dengan latihan selang, misalnya: Senin–Rabu–Jumat atau Selasa–Kamis–Sabtu. (Hazami, 2010).

Penelitian yang dilakukan Rahmat (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian nyeri punggung bawah dengan kebiasaan olahraga dengan p value 0,029.

e. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Antropometri berasal dari bahasa Yunani yaitu Antropos (manusia) dan metricos (pengukuran), antropometri merupakan suatu pengukuran yang sistematis terhadap tubuh manusia. Antropometri yang merupakan ukuran tubuh digunakan untuk merancang suatu sarana kerja yang sesuai dengan ukuran tubuh pengguna sarana kerja yang bersangkutan. Desain ergonomis pada suatu populasi, peralatan yang diperuntukan kepada kaum laki-laki dan perempuan seharusnya berbeda, karena antropometri laki-laki dan perempuan berbeda (Santoso, 2004). Menurut WHO (2000) indeks masa tubuh (IMT) dikategorikan menjadi tiga yaitu kurus (<18.5) normal (18.5-25) dan gemuk (>25). Jika seseorang mengalami kelebihan berat badan maka orang tersebut akan berusaha untuk menyangga berat badan dari depan dengan mengontraksikan otot punggung bawah. Dan apabila ini terus berlanjut maka akan menyebabkan penekanan pada bantalan saraf tulang


(2)

belakang yang mengakibatkan hernia nucleus pulposus (Tan dan Horn, 1998).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2010) menyatakan ada hubungan yang bermakna keluhan yang dialami dengan indeks masa tubuh dengan diperolehnya Pvalue sebesar 0.036.

f. Masa Kerja

Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali pekerja masuk kerja hingga saat penelitian berlangsung (Amalia, 2007). Pekerja fisik yang dilakukan secara kontinyu dalam jangka waktu yang lama akan berpengaruh terhadap mekanisme dalam tubuh (sistem peredaran darah, pencernaan, otot, syaraf dan pernafasan).

Kejadian musculosksletal disorders dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individu, salah satunya adalah pengalaman bekerja. Lamanya pekerja bekerja di suatu industri, mempengaruhi kesakitan musculoskeletal yang dirasakan. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa absen sakit dikarenakan kesakitan pada upper limbs lebih tinggi pada pekerja yang baru dibandingkan pekerja yang telah berpengalaman, terutama pada kelompok pekerja dengan beban kerja tinggi (Hakkanen dkk, 2001).

Dan penelitian yang dilakukan oleh Hendra & Rahardjo (2009) pekerja yang mempunyai masa kerja lebih dari 4 tahun mempunyai risiko 2,755 kali dibandingkan pekerja dengan masa kerja ≤4 tahun.


(3)

Rihiimaki dkk (1989) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai hubungan yang kuat dengan keluhan otot.

2.6 Verbal Descriptor Scale

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Bare dan Smeltzer 2002).

2.7 Rapid Entire Body Assesment (REBA)

REBA adalah metode yang dikembangkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney yang secara efektif digunakan untuk menilai postur tubuh pekerja. REBA telah dikembangkan untuk menilai tipe dari ketidakpastian penemuan postur pekerjaan dalam pelayanan kesehatan dan industri lainnya. Data dikumpulkan tentang postur tubuh, gaya yang digunakan, tipe dari pergerakan dan tindakan, pengulangan kerja, dan Coupling. Skor akhir dari REBA memberikan indikasi dari level risiko dan tingkat keparahan dengan mengambil tindakan mana yang harus


(4)

didahulukan. (Hignett dan McAtamney, 2000). Salah satu hal yang membedakan metode REBA dengan metode analisa lainnya yaitu fokus analisis dalam metode ini adalah seluruh bagian tubuh pekerja. Melalui fokus terhadap keseluruhan postur tubuh ini, diharapkan bisa mengurangi potensi terjadinya musculoskeletal disorders pada tubuh perkerja.

Dalam metode REBA, analisis terhadap keseluruhan postur tubuh pekerja dikelompokkan menjadi dua bagian. Bagian pertama atau Group A terdiri dari bagian neck, trunk, dan legs. Sedangkan bagian kedua atau Group B terdiri dari

upper arms, lower arms, dan wrist. Penilaian postur dan pergerakan kerja dengan menggunakan metode REBA melalui tahapan–tahapan sebagai berikut:

1. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.

2. Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan nilai. Perhitungan nilai melalui metode REBA ini dimulai dengan menganalisis posisi neck, trunk, dan leg dengan memberikan skor pada masing-masing komponen. Ke tiga komponen tersebut kemudian dikombinasikan ke dalam sebuah tabel untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian pertama atau skor A dan ditambah


(5)

dengan skor untuk force atau load. Selanjutnya dilakukan scoring pada bagian upper arm, lower arm, dan wrist kemudian ke tiga komponen tersebut dikombinasikan untuk mendapatkan nilai akhir pada bagian kedua atau skor B dan ditambah dengan coupling score. Setelah diperoleh grand skor A dan grand skor B, kedua nilai tersebut dikombinasikan ke dalam tabel C, melalui tabel kombinasi akhir ini kemudian ditambahkan dengan

activity score akan didapat nilai akhir yang akan menggambarkan hasil analisis postur kerja. Activity score ditambah 1 jika pengulangan gerakan dilakukan lebih dari 4 kali per menit atau bagian tubuh melakukan posisi statis lebih dari 1 menit.

3. Dari final REBA skor dapat diperoleh skala dari level tiap aksi yang akan memberikan pannduan untuk resiko dari tiap level dan aksi yang dibutuhkan. Perhitungan analisis postur ini dilakukan untuk ke dua sisi tubuh, kiri dan kanan.


(6)

Gambar 2.7 Tabel skor REBA (Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000)

Gambar 2.8 Tabel Level Resiko REBA dan Tindakan (Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000)


Dokumen yang terkait

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

12 30 111

HUBUNGAN POSISI DUDUK DENGAN TIMBULNYA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PENGEMUDI MOBIL.

0 0 7

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA LAMANYA POSISI DUDUK DENGAN HUBUNGAN ANTARA LAMANYA POSISI DUDUK DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PENGEMUDI B KOTA DAMRI DI TERMINAL KARTASURA.

0 0 15

PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA LAMANYA POSISI DUDUK DENGAN KELUHAN NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PENGEMUDI B KOTA DAMRI DI TERMINAL KARTASURA.

0 0 8

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

0 0 16

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

0 0 2

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

0 0 6

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

0 0 23

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

0 21 3

Hubungan Posisi Duduk dengan Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Pengemudi Angkutan Kota Fa.Mekar Jaya Trayek 117 di Kota Medan Tahun 2016

0 0 34