Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan tentang Isi Media di Indonesia T2 322009005 BAB IV

(1)

269

Bab IV

Penutup

A.

Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR)108

dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)109 oleh negara Indonesia.

Konvensi-konvensi tersebut berperan menjadi sumber bagi

adanya perubahan yang signifikan bagi

perkembangan hukum tentang hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi khususnya, akhirnya diakui sebagai hak yang konstitusional yang berimbas pada pembentukan norma undang-undang tentang media. Kebebasan bereskpresi menjadi isu strategis dalam kerangka hukum media, dimana pers, penyiaran, dan perfilman menjadi bidang yang menyediakan informasi bagi masyarakat.

Kebebasan berekspresi menjadi titik tolak bagi pengejawantahan tentang isi media yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bidang tertentu yang menjadi jenis saluran media. Pembidangan media

108 Diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

109 Diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik).


(2)

270

sendiri adalah penting adanya, oleh karena negara

Indonesia merupakan subyek internasional.

Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari

perkembangan global, berkaitan dengan

perkembangan teknologi dan informasi serta nilai-nilai universal tentang hak. Hak-hak ini yang kemudian melalui kerangka kebebasan berekspresi diwujudkan dengan terbentuknya produk informasi yang disebarluaskan melalui pers, penyiaran, internet dan perfilman.

Ratifikasi-ratifikasi terhadap konvenan

internasional, menyebabkan negara harus

membentuk peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam konvensi.

Khususnya tentang kebebasan berekspresi,

konvenan internasional secara umum mengatur mengenai hal utama: (1) adanya pengakuan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia; (2) implementasi kebebasan berekspresi; dan (3) ruang lingkup pembatasan kebebasan berekspresi. Prinsip dalam konvensi merupakan sumber bagi pembentukan hukum media di Indonesia, yakni dengan menjadi acuan agar peraturan perundang-undangan tetap menjunjung nilai-nilai hak asasi universal, khususnya tentang kebebasan berekspresi.

Tentang pengakuan, kebebasan berekspresi telah dijamin sebagai hak konstitusional dengan dimuatnya dalam Pasal 28F UUD 1945. Pasal


(3)

271

tersebut menekankan pada tiga hal mendasar pada kebebasan berekspresi, yakni bahwa (a) tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, (b) berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dan (c) menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Konsepsi ini sejalan dengan Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR. Pengakuan di dalam konstitusi bermakna bahwa negara menjadi bagian dari subyek internasional yang memberikan penghormatan kepada hak asasi manusia, termasuk variasi dari wujud hak asasi manusia di dunia. Selain itu, Indonesia juga dapat memenuhi kewajiban umum sebagai negara yang meratifikasi konvensi.

Berdasarkan yang termuat di dalam Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR serta Pasal 28F UUD 1945, terdapat dua cara pandang terhadap kebebasan berekspresi yang mempengaruhi materi muatan di dalam peraturan perundang-undangan. Yang pertama adalah kebebasan berekspresi dalam kerangka hak untuk mengakses, menerima dan

menyebarkan informasi. Perspektif ini

menempatkan kebebasan berekspresi dalam bentuk upaya untuk mengelola hak, pasif dan aktif. Pengelolaan ini juga dapat menggunakan sarana atau media apapun yang tersedia. Kedua, kebebasan berekspresi sebagai hak untuk


(4)

272

mengekspresikan diri melalui media apapun. Hal ini berarti bahwa kebebasan berekspresi sebagai hak untuk mengaktualisasikan diri, dalam berbagai wujud, dan menggunakan media apapun.

Freedom of expression kemudian tidak hanya dilindungi melalui landasan konstitusi saja. Sejalan dengan perintah dalam Pasal 28 UUD 1945 yang

menyatakan kemerdekaan berserikat dan

berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, maka dibentuklah peraturan perundang-undangan tentang media yang tidak lain mengatur mengenai substansi media sebagai wujud informasi yang disebarkan ke khalayak. Isi media kemudian diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Masing-masing secara umum hendak

mengimplementasikan prinsip konvensi

menyangkut kebebasan berekspresi yakni:

1. memberikan jaminan kepada seseorang

untuk memuat apa saja melalui media apapun, baik pers, penyiaran, internet dan film;


(5)

273

2. bahwa undang-undang memberikan

pembatasan atas ruang lingkup perwujudan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang bertujuan untuk melekatkan tanggung

jawab khusus, sebagai margin of

appreciation (menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia).

Freedom of expression sebagaimana tercantum di UDHR dan ICCPR diwujudkan di dalam beragam bentuk isi media, baik yang tertulis maupun lisan, melalui media cetak maupun media elektronik.110

Perwujudan kebebasan berekspresi melalui

eksistensi sarana media, mengacu pada isi yang diatur masing-masing undang-undang. Secara

prinsip pula, freedom of expression harus

dilaksanakan secara bertanggungjawab. Dalam menjalankan hak atas kebebasan berekspresi, diharuskan tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum

110 Kebebasan ini diperjelas dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, bahwa ada hak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kasusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.


(6)

274

dalam suatu masyarakat yang demokratis.111 Inilah

yang menjadi titik penting bahwa kebebasan berekspresi berkedudukan sebagai hak asasi manusia, dimana pers, penyiaran, internet dan film

yang menjadi wadah ekspresi, harus

memperhatikan dan menjaga agar isinya tidak menepikan kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Jaminan terhadap kebebasan berekspresi diwujudkan dengan isi media yang diatur di dalam UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman adalah sebagai berikut:

1. bahwa pers, penyiaran, internet dan film merupakan sumber kebutuhan masyarakat yang berupa informasi, pendidikan, hiburan

dan manfaat untuk pembentukan

intelektualitas, watak, moral, kekuatan bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia;112

2. bahwa undang-undang mengatur prinsip

kebebasan berekspresi di dalam konvensi dengan memuat norma dasar (konstitusi), mengacu pada ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945, serta menggunakan

substansi dalam konvensi sehingga

terbentuk wujud isi media yang

111 Lihat Article 29 Section 2 UDHR.


(7)

275

diperkenankan untuk disebarluaskan,

sehingga pembentukan hukum (undang-undang) diarahkan pada pengejawantahan prinsip dalam konvensi serta membentuk regulasi yang memiliki fungsi kontrol (preventif dan represif) secara tepat serta dijamin dalam hukum nasional dengan membentuk UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman;

3. bahwa isi media perlu diawasi dan

dikendalikan melalui lembaga-lembaga

tertentu yang melibatkan masyarakat, dengan maksud agar isi media tetap tunduk pada ketentuan yuridis tentang tugas dan tanggugjawab lembaga, yakni oleh Dewan Pers, KPI dan LSF;

4. bahwa kebebasan berekspresi perlu dibatasi

implementasinya agar tidak menjadi

ancaman bagi hak itu sendiri dengan

mempertimbangkannya sebagai derogable

right pada satu sisi dan inalienable right pada sisi lainnya;

5. bahwa pembatasan kebebasan berekspresi

dilakukan yang tunduk pada syarat:

(a) dilaksanakan melalui ketentuan

undang-undang yang dalam hal ini baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur secara normatif larangan-larangan terhadap isi media;


(8)

276

(b)pembatasan hanya untuk alasan yang benar-benar penting sebagaimana yang tertuang dalam konvensi: di dalam

masing-masing undang-undang

ditemukan bahwa pembatasan dilakukan

dengan alasan bahaya terhadap

keamanan nasional, kepentingan umum, kepentingan non-diskriminasi (SARA, golongan, politik), ancaman terhadap

kesehatan masyarakat (narkotika,

minuman keras) dan kesusilaan;

(c) pembatasan berdasarkan ketentuan

otentik sebagaimana tercantum di dalam

undang-undang, dan pembatasan

dilakukan dengan maksud memberikan perlindungan pada eksistensi lain;

Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat

disimpulkan bahwa freedom of expression

merupakan variabel yang memberikan pengaruh. Freedom of expression menggugah kesadaran untuk memberikan penghormatan dan penghargaan kepada manusia untuk diberikan ruang bebas mengelola dan mengaktualisasikan ekspresi. Hal ini menjadi konsep global dan prinsip-prinsip perlindungannya diakui secara universal. Di Indonesia, sebagai negara demokratis, kebebasan berekspresi diwujudkan melalui isi media pers, media penyiaran, media internet dan media film.


(9)

277

Meskipun bidang-bidangnya diatur tersendiri di undang-undang yang dibentuk, hak atas kebebasan ditempatkan pada ruang yang luas dan dilindungi. Adapun tujuannya adalah untuk mendorong kesejahteraan di dalam kerangka masyarakat yang demokratis.

B.

Harmonisasi Hukum tentang Isi Media

Harmonisasi menjadi kunci, apakah freedom of

expression dapat ditempatkan sebagai isu sentral yang menginspirasi isi atau konten yang disebarluaskan melalui berbagai saluran atau jenis media. Jenis media ini menentukan pembidangan hukum dalam satu sistem hukum media. Pers, penyiaran, internet dan film adalah bidang-bidang yang perlu secara khusus diatur dalam undang-undang yang lebih spesifik. Hal ini dikarenakan pers, penyiaran, internet dan film dianggap sebagai saluran yang harus diberikan perlindungan secara berbeda antar satu dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut tidak menyurutkan semangat harmonisasi, yakni bahwa pada prinsipnya ada kesamaan mendasar yang berkaitan dengan variasi wujud kebebasan berekspresi. Harmonisasi perlu dilihat dengan tujuan menemukan makna inti dari pengaturan isi media yang menjadi kunci dalam perlindungan hak.


(10)

278

Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban untuk memasukkan prinsip-prinsip di dalam konvensi di dalam sistem hukum yang dibentuk. Kerangka prinsip kebebasan berekpsresi, oleh pemerintah dibentuk semenjak dimuatnya hak atas kebebasan berekspresi di dalam UUD 1945 dan

kemudian dengan diterbitkannya peraturan

perundang-undangan tentang media, yakni UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi terbentuknya peraturan-peraturan lain yang seiiring dengan perkembangan media di Indonesia. Indonesia sebagai subyek internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana negara Indonesia memiliki sifat uniformitas sistem hukum.

Oleh Indonesia, sifat uniformitas sistem hukum ditunjukkan dengan mengatur isi media sejalan dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi. Tujuannya adalah agar dapat mempersatukan kepentingan pers, penyiaran, internet dan perfilman dalam kepentingan kebebasan ekspresi yang sejalan dengan konvensi. Adapun cara yang dilakukan salah satunya menggunakan harmonisasi materi, substansi konvensi dengan konstitusi sampai dengan undang-undang yang dibentuk. Hasil yang nampak pada perumusan materi yang sesuai dengan konvensi yakni isi media yang termuat di UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman.


(11)

279

Harmonisasi dilakukan terhadap undang-undang apakah sesuai dengan prinsip dengan

konvensi dan konstitusi, serta dilakukan

harmonisasi substansi antar undang-undang. Harmonisasi hukum isi media berpijak pada tiga hal mendasar:

(1)Legal substance: dimana UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur substansi riil dari konsep freedom of expression. Masing-masing undang-undang mencantumkan konsepsi mendasar mengenai isi media yang mengejawantahkan makna kebebasan berekspresi sebagaimana

konvensi dan konstitusi mengatur,

diantaranya adalah pengakuan terhadap kemerdekaan pers, keberagaman isi dan

tanggung jawab terhadap isi yang

disebarluaskan. Mengingat bahwa konvensi dan konstitusi menekankan pada jaminan atas kebebasan berekspresi, maka

undang-undang secara normatif berusaha

menjangkau setiap hal yang berkaitan dengan isi media yang bebas, serta mengaturnya secara tegas.

Di sisi lain, ancaman-ancaman yang dapat muncul dengan tersebarluasnya informasi dalam isi media, maka undang-undang mengatur bahwa terdapat dua kepentingan:


(12)

280

perlindungan masyarakat atau negara. Oleh karena itu, undang-undang mencantumkan pula ancaman sanksi administratif dan pidana bagi lembaga media yang dianggap

menyimpang sekaligus pencegahan

terhadap intervensi pihak lain kepada lembaga media.

(2)Legal structure: bahwa keempat

undang-undang membentuk lembaga-lembaga

(independent states agencies) yang dimaksudkan untuk memberikan kendali atas pelaksanaan kebebasan berekspresi oleh subyek, baik individu maupun entitas media, dengan mengacu pada perlindungan terhadap hak sebagaimana diatur dalam

konvensi dan peraturan

perundang-undangan. Struktur ini penting oleh karena keberadaannya menjadi representasi negara dan masyarakat. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor Film merupakan lembaga-lembaga yang berwenang untuk menetapkan suatu isi media layak atau tidak dikonsumsi publik. (3)Legal culture: bahwa undang-undang

mendorong terbentuknya kesadaran baru akan hak atas kebebasan berekspresi,

dimana kebebasan ini dapat

diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan wujud melalui sarana yang tersedia:


(13)

281

pers, penyiaran, internet dan film. Akan tetapi undang-undang juga melekatkan tanggung jawab yuridis pada setiap subyek

untuk tetap bertanggung jawab

melaksanakan hak tanpa menciderai keamanan nasional, kepentingan publik, moral dan hak-hak asasi lainnya. Pada era reformasi dan keterbukaan informasi, kesadaran ini merupakan penentu arah masyarakat yang demokratis.

Legal substance, legal structure dan legal culture, memberikan analisa yang komprehensif apakah hukum media di Indonesia berada pada tataran yang seimbang dan selaras terkait dengan kebebasan berekspresi. Peraturan perundang-undangan tentang media yang dijadikan patokan, yakni memperlihatkan karakter yang sama untuk mengatur isi media. Kesamaan karakter itu ada pada:

(1)Pengakuan dan jaminan terhadap eksistensi

hak atas kebebasan berekspresi;

(2)Asas dan arah media yang dimaksudkan

untuk mendorong masyarakat Indonesia memperkuat persatuan dan kesatuan sekaligus menghargai norma, agama, dan budaya bangsa;


(14)

282

(3)Isi media dikontrol secara ketat, dengan menetapkan standar dan pedoman terhadap isi serta diawasi oleh lembaga tertentu;

(4)Masyarakat dapat memberikan tanggapan

terhadap isi media yang tidak tepat dan dianggap menyimpan, sebaliknya lembaga media dapat memberikan tanggapan (hak jawab, hak koreksi);

(5)Isi media harus mempertimbangkan

keamanan nasional, kepentingan umum,

moral, kesusilaan dan pencegahan

pelanggaran terhadap lain yang ada dimana isi media dibatasi secara normatif di dalam

undang-undang dengan mekanisme

pembatasan substansi yang sama, yakni: perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas (public order, public health, public moral), national security dan eksistensi hak lain.

Sementara itu, upaya harmonisasi menemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan isi media, diantaranya adalah:

(1)persinggungan antar undang-undang

dimana sebuah isu yang kontroversial dapat memicu perdebatan tentang undang-undang yang mana yang akan menjadi priotitas;


(15)

283

(2)bahwa internet sebagai media yang

cenderung berkembang lebih cepat, tidak memiliki lembaga kontrol semaca Dewan Pers, KPI dan LSF, sehingga isi media rentan diancam melalui hukum pidana oleh pihak terpengaruh, tanpa ada jaminan perlindungan dari masyarakat melalui wadah lembaga;

(3)isi media yang diatur cenderung

interpretative, dimana pers tidak secara detail mengatur di undang-undang, yang berbeda dengan penyiaran, internet dan perfilman. Hal ini menyebabkan pers sangat bergantung pada eksistensi isi media yang lain, oleh karena pers tidak dapat dilepaskan dari lembaga penyiaran, internet dan film dalam rangka penyebarluasan informasi.

C.

Saran-saran

Perkembangan media memang perlu diatur oleh negara agar tidak menjadi ancaman. Perlindungan kebebasan berekspresi oleh berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional, menyiratkan kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu hukum nasional merupakan tumpuan bagi terselenggaranya media yang bertanggungjawab. Sistem hukum media yang dibentuk harus mampu menjangkau variasi


(16)

284

keberagaman isi, untuk memberikan perlindungan sekaligus batasan yang tepat dan tidak menciderai eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Terkait dengan hal-hal yang telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pembentukan sistem hukum media di Indonesia harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional yang dikembangkan dari prinsip dalam konvensi. Hardlaw menjadi sumber utama, namun dirasa belum cukup untuk

memberikan penjelasan yang akomodatif.

Tersedianya softlaw juga layak dijadikan sumber informasi tentang bagaimana membentuk peraturan perundang-undangan yang tepat sasaran.

Kedua, isi media adalah produk utama dari lembaga media yang menjadi indikasi bagi perkembangan media pada umumnya. Isi media harus diatur secara ketat dan tidak boleh menyimpang atau ketidaktepatan aturan hukum menyebabkan isi media dapat menyimpang dari yang seharusnya. Maka Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers harus ditinjau kembali karena undang-undang ini mengandung kelemahan pada sisi substansi tentang isi pers yang tidak memuat secara jelas, sebagaimana konvensi dan konstitusi memberikan arahan. Di samping itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang


(17)

285

diperhatikan pula terkait larangan-larangannya terhadap isi, karena dapat mendorong subyek-subyek tertentu yang terpengaruh, menjadi ancaman bagi produsen informasi. UU ITE juga menjadikan ancaman pidana sebagai satu-satunya alat yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan.

Ketiga, pengawasan terhadap isi media sebaiknya menjadi titik tolak peran lembaga negara independen (Dewan Pers, KPI dan LSF), yakni memberikan nilai layak dan tidak layak atas isi tersebut. Akan tetapi kewenangan tersebut harus diberikan secara luas, agar fungsi lembaga tidak berhenti pada rekomendasi, namun juga pada aspek penindakan, agar kontrol terhadap isi media

yang menyimpang dapat konkrit teratasi.

Pemerintah tidak boleh lagi mengintervensi media secara langsung (melalui pidana), agar secara moral, masyarakat (khususnya masyarakat media) tidak menjadi lawan, namun menjadi mitra yang menguntungkan bagi pemerintah. Hal ini ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang dinamis dan harmonis serta menjaga agar tetap demokratis.

Keempat, negara berpeluang untuk

menerjemahkan makna Pasal 28 dan 28F UUD 1945 dengan membentuk suatu sistem hukum media yang harmonis, yang melindungi isi media sekaligus pembatasannya, dengan cara: (1) membentuk kesepakatan bersama antar lembaga


(18)

286

negara terkait isu-isu sentral perkembangan media; (2) membentuk peraturan pemerintah dan peraturan perundangan lainnya yang tetap memperhatikan pengaturan isi media oleh masing-masing undang-undang, sehingga tercapai maksud tujuan yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang tentang media; dan, (3) mendorong pembentukan norma-norma standar (ketentuan organik) yang sama antara satu undang-undang dengan undang-undang-undang-undang lain, sebagai bentuk pemahaman makna kebebasan berekspresi yang setara.


(1)

281 pers, penyiaran, internet dan film. Akan tetapi undang-undang juga melekatkan tanggung jawab yuridis pada setiap subyek untuk tetap bertanggung jawab melaksanakan hak tanpa menciderai keamanan nasional, kepentingan publik, moral dan hak-hak asasi lainnya. Pada era reformasi dan keterbukaan informasi, kesadaran ini merupakan penentu arah masyarakat yang demokratis.

Legal substance, legal structure dan legal

culture, memberikan analisa yang komprehensif

apakah hukum media di Indonesia berada pada tataran yang seimbang dan selaras terkait dengan kebebasan berekspresi. Peraturan perundang-undangan tentang media yang dijadikan patokan, yakni memperlihatkan karakter yang sama untuk mengatur isi media. Kesamaan karakter itu ada pada:

(1)Pengakuan dan jaminan terhadap eksistensi hak atas kebebasan berekspresi;

(2)Asas dan arah media yang dimaksudkan untuk mendorong masyarakat Indonesia memperkuat persatuan dan kesatuan sekaligus menghargai norma, agama, dan budaya bangsa;


(2)

282

(3)Isi media dikontrol secara ketat, dengan menetapkan standar dan pedoman terhadap isi serta diawasi oleh lembaga tertentu; (4)Masyarakat dapat memberikan tanggapan

terhadap isi media yang tidak tepat dan dianggap menyimpan, sebaliknya lembaga media dapat memberikan tanggapan (hak jawab, hak koreksi);

(5)Isi media harus mempertimbangkan keamanan nasional, kepentingan umum, moral, kesusilaan dan pencegahan pelanggaran terhadap lain yang ada dimana isi media dibatasi secara normatif di dalam undang-undang dengan mekanisme pembatasan substansi yang sama, yakni: perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas (public order, public health, public moral), national security dan eksistensi hak lain.

Sementara itu, upaya harmonisasi menemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan isi media, diantaranya adalah:

(1)persinggungan antar undang-undang dimana sebuah isu yang kontroversial dapat memicu perdebatan tentang undang-undang yang mana yang akan menjadi priotitas;


(3)

283 (2)bahwa internet sebagai media yang cenderung berkembang lebih cepat, tidak memiliki lembaga kontrol semaca Dewan Pers, KPI dan LSF, sehingga isi media rentan diancam melalui hukum pidana oleh pihak terpengaruh, tanpa ada jaminan perlindungan dari masyarakat melalui wadah lembaga;

(3)isi media yang diatur cenderung interpretative, dimana pers tidak secara detail mengatur di undang-undang, yang berbeda dengan penyiaran, internet dan perfilman. Hal ini menyebabkan pers sangat bergantung pada eksistensi isi media yang lain, oleh karena pers tidak dapat dilepaskan dari lembaga penyiaran, internet dan film dalam rangka penyebarluasan informasi.

C.

Saran-saran

Perkembangan media memang perlu diatur oleh negara agar tidak menjadi ancaman. Perlindungan kebebasan berekspresi oleh berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional, menyiratkan kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu hukum nasional merupakan tumpuan bagi terselenggaranya media yang bertanggungjawab. Sistem hukum media yang dibentuk harus mampu menjangkau variasi


(4)

284

keberagaman isi, untuk memberikan perlindungan sekaligus batasan yang tepat dan tidak menciderai eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Terkait dengan hal-hal yang telah diuraikan pada bagian-bagian sebelumnya, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pembentukan sistem hukum media di

Indonesia harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional yang dikembangkan dari prinsip dalam konvensi. Hardlaw menjadi sumber utama, namun dirasa belum cukup untuk memberikan penjelasan yang akomodatif. Tersedianya softlaw juga layak dijadikan sumber informasi tentang bagaimana membentuk peraturan perundang-undangan yang tepat sasaran.

Kedua, isi media adalah produk utama dari lembaga media yang menjadi indikasi bagi perkembangan media pada umumnya. Isi media harus diatur secara ketat dan tidak boleh menyimpang atau ketidaktepatan aturan hukum menyebabkan isi media dapat menyimpang dari yang seharusnya. Maka Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers harus ditinjau kembali karena undang-undang ini mengandung kelemahan pada sisi substansi tentang isi pers yang tidak memuat secara jelas, sebagaimana konvensi dan konstitusi memberikan arahan. Di samping itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik perlu


(5)

285 diperhatikan pula terkait larangan-larangannya terhadap isi, karena dapat mendorong subyek-subyek tertentu yang terpengaruh, menjadi ancaman bagi produsen informasi. UU ITE juga menjadikan ancaman pidana sebagai satu-satunya alat yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan.

Ketiga, pengawasan terhadap isi media

sebaiknya menjadi titik tolak peran lembaga negara independen (Dewan Pers, KPI dan LSF), yakni memberikan nilai layak dan tidak layak atas isi tersebut. Akan tetapi kewenangan tersebut harus diberikan secara luas, agar fungsi lembaga tidak berhenti pada rekomendasi, namun juga pada aspek penindakan, agar kontrol terhadap isi media yang menyimpang dapat konkrit teratasi. Pemerintah tidak boleh lagi mengintervensi media secara langsung (melalui pidana), agar secara moral, masyarakat (khususnya masyarakat media) tidak menjadi lawan, namun menjadi mitra yang menguntungkan bagi pemerintah. Hal ini ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang dinamis dan harmonis serta menjaga agar tetap demokratis.

Keempat, negara berpeluang untuk

menerjemahkan makna Pasal 28 dan 28F UUD 1945 dengan membentuk suatu sistem hukum media yang harmonis, yang melindungi isi media sekaligus pembatasannya, dengan cara: (1) membentuk kesepakatan bersama antar lembaga


(6)

286

negara terkait isu-isu sentral perkembangan media; (2) membentuk peraturan pemerintah dan peraturan perundangan lainnya yang tetap memperhatikan pengaturan isi media oleh masing-masing undang-undang, sehingga tercapai maksud tujuan yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang tentang media; dan, (3) mendorong pembentukan norma-norma standar (ketentuan organik) yang sama antara satu undang-undang dengan undang-undang-undang-undang lain, sebagai bentuk pemahaman makna kebebasan berekspresi yang setara.