Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan tentang Isi Media di Indonesia T2 322009005 BAB II

(1)

33

Bab II

Kerangka Kebebasan Berekspresi dan

Harmonisasi Hukum Media

A.

Media dan Kebebasan Berekspresi

Istilah ‘media’ berasal dari bahasa Latin

(tunggal: medium) yang berarti ‘sesuatu yang ada di

antara’ atau ‘muncul secara publik’ atau ‘ada bagi

publik’—sebuah locus publicus, ruang publik. Dengan

demikian, hakikat media tidak dapat dipisahkan dari keterhubungan antara ranah publik dan privat.

Media menjadi perantara (‘mediating’) dua wilayah ini

untuk menciptakan atau menemukan kemungkinan

(atau ketidakmungkinan) terciptanya hidup

bersama.23 Kerangka ini menjadikan media menjadi

wadah yang selayaknya harus diatur, diorganisasi serta dilindungi. Media penting adanya karena fungsi dan peranannya sebagai sarana terwujudnya kebebasan berekspresi.

Kebebasan berekspresi sebagai salah satu hak yang terakomodasi di dalam pengakuan atas hak

asasi manusia yang universal di dalam Universal

Declaration of Human Rights, mutlak kemudian harus

23 Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S. Memetakan Lansekap Industri Media

Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami kebijakan dan tatakelola media di Indonesia melalui kacamata hak warga negara. Riset kerjasama antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS, 2012. Hal. 21.


(2)

34

diterjemahkan dalam tatanan hukum lokal (nasional)

bagi negara-negara pihak. Negara harus

memberikan perlindungan, sebagai bentuk peranan negara untuk melindungi warga negaranya secara konstitusional. Berkembangnya kebebasan sebagai

landasan fundamental hak asasi manusia,

menyebabkan munculnya perwujudan hak asasi manusia dalam berbagai bentuk.

Dalam kerangka inilah pemerintah berkewajiban memberikan wadah perlindungan atas kebebasan berekspresi melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya yang secara teknis memiliki sifat kekhususannya. Hukum media muncul sebagai sarana himpunan peraturan perundang-undangan yang spesifik dalam rangka

menyediakan proteksi terhadap aktualisasi

kebebasan berekspresi. Demikian artinya bahwa media menjadi sarana yang paling mutakhir untuk mewujudkan segala bentuk ekspresi, karena media mampu menyalurkan dan menyebarluaskan bentuk kebebasan sebagai hak asasi. Oleh karena itu media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen, sebagai satu dari kekuasaan kembar yang tidak bertanggungjawab pada politisi dan berperan sebagai kekuasaan tandingan melawan

korupsi dalam siklus kerja program pemerintahan.24

24 Kathleen Hall Jamieson dan Paul Waldman, The Press Effect, Politicians,

Journalists, and the Stories that Shape Political World. Oxford University Press; New York, 2003. Hal. 196-197.


(3)

35 Sebagaimana Komite PBB tentang Hak Asasi Manusia menekankan pentingnya kebebasan media

dalam proses politik25:

The free communication of information and ideas about public and political issues between citizens, candidates and elected representatives is essential. This implies free press and other media able to comment on public issues without cencorship or restraint and to inform public opinion.

Hal ini kemudian menempatkan bahwa media dan hukum memiliki interaksi, sehingga media dan substansi yang disebarkan olehnya perlu untuk diberikan landasan yuridis. Pada era global, kebebasan media menyediakan informasi yang disalurkan, yang dapat membentuk pendapat bagi masyarakat. Perkembangan kehidupan masyarakat, juga dipengaruhi oleh tersalurkannya informasi melalui media-media cetak, elektronik, dan internet yang tidak lagi mengenal batas-batas negara. Tersedianya informasi ini juga secara tidak langsung

mendidik masyarakat untuk menjadi lebih

demokratis dan mendorong penguatan masyarakat (civil society).

Jaminan atas kebebasan berekspresi termuat dalam konstitusi adalah sebagai respon negara tentang pengakuan atas hak asasi manusia. Jaminan atas kebebasan berekspresi dilaksanakan dengan


(4)

36

memberikan keterangan/informasi melalui media, baik melalui media massa dan penyiarannya ke masyarakat. Masyarakat yang demokratis menjadi tempat bagi perkembangan media dan segala aktivitasnya. Oleh karena itu, negara harus mampu menyediakan regulasi media dengan berbagai cara yang dapat diterima masyarakat. Jack M. Balkin menyatakan bahwa pemerintah atau negara dapat membentuk regulasi dalam beberapa langkah,

sebagaimana dikutip26:

“..that government must regulate the mass media in a number of different ways: (1) by restricting and preventing media concentration; (2) by imposing public-interest obligations that require the broadcast media to include programming that covers public issues and covers them fairly; and (3) by requiring the broadcast media to grant access to a more diverse and wide-ranging group of speakers in order to expand the agenda of public discussion.”

Balkin menekankan pada metode dengan memberikan batasan dan pencegahan media yang terkonsentrasi, isu-isu yang menjadi perhatian agar

disebarkan secara fair, serta mengharuskan agar

media membuka seluas-luasnya bagi pihak-pihak dalam masyarakat untuk mendiskusikannya.

26Jack M. Balkin. Digital Speech and Democratic Culture: A Theory of Freedom

of Expression for The Information Society. New York University Law Review Vol. 79. New York University; New York, 2004. Hal. 29.


(5)

37

The European Court of Human Rights secara konsisten menekankan bahwa pers dikelola negara

melalui peraturannya27:

Freedom of the press affords the public on of the best means discovering and forming opinion of the ideas and attitudes of their political leaders. In particular, it gives politicians the opportunity to reflect and comment on the preoccupations of public opinion: it thus enables everyone to participate in the free political debate which is at the very core of concept of a democratic society.

Konsepsi kebebasan media, yakni yang terwujud

dalam kebebasan berekspresi (freedom of expression)

dalam tataran teoritis berkembang dalam berbagai pemikiran. Salah satu yang utama adalah adanya perubahan pada konstitusi Amerika Serikat, yang

disebut First Amendments Theories28, yang

memunculkan 5 (lima) teori yang dapat menarik

hubungan hukum dengan kebebasan berekspresi.29

27 Article 19. NOTE on the Indonesia Press Law (Global Campaign for Free

Expression). Februari 2004. Hal 3.

28 The First Amendment dilakukan terhadap United States Constitution pada tahun

1790-1791 yang pada dasarnya menyatakan bahwa ada hak untuk bebas berpendapat (free speech). Di Amerika, hal ini menjadi titik tolak utama kebebasan pers, dimana dinyatakan bahwa “The First Amendment gives the press the right to publish news, information and opinions without government interference. This also means people have the right to publish their own newspapers, newsletters, magazines, etc”.

29 Mengenai teori-teori ini berdasarkan sumber literatur yang ditulis oleh Don R.

Pember sebagai sumber utama, namu juga berbagai sumber, baik dari literatur, jurnal, maupun sumber-sumber informasi yang tersedia di berbagai literatur dan media internet. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan gambaran teori yang dapat membantu menemukan inti dari masing-masing teori secara lugas.


(6)

38

1. Absolutist theory

Teori ini dikenalkan dalam First

Amendments Theories sebagai teori yang

menyatakan “no law” dalam berpendapat dan

kebebasan pers. “No law” berarti no law dalam

artian yang sesungguhnya atau tidak ada hukum

untuk itu.30 Pers dan pendapat tidak dapat

dibatasi atau dilindungi dari intervensi

pemerintah. Dengan demikian pers dan pendapat yang disampaikan tidak boleh dicampuri oleh pemerintah.

Akan tetapi teori ini mendapatkan kritikan atas prinsip-prinsip yang dianutnya. Kata kunci

yang utama dalam kritikan adalah “freedom of

speech and press” (kebebasan berpendapat dan pers), yakni bahwa ada beberapa batasan yang dapat diterima/dipahami secara bersama oleh masyarakat. Beberapa hal penting di dalam teori ini adalah bahwa selain kebebasan berbicara dan pers dilindungi dari intervensi pemerintah, juga

bahwa kebebasan berbicara merupakan

perwujudan dari hak-hak lain yang penting. Di sisi lain dalam mewujudkan hal tersebut, maka reputasi dan peradilan menjadi sesuatu hal yang sama pentingnya dengan

kebebasan berbicara itu sendiri. Absolutist Theory

30 Don R. Pember, Mass Media Law. The McGraw-Hill Companies, Inc; New


(7)

39

memberikan penekanan bahwa no law without

exceptions.31

2. Ad hoc balancing theory

Kebebasan berpendapat dan kebebasan pers adalah dua dari beberapa hak asasi manusia yang penting dan diakui sebagai nilai-nilai hak asasi manusia. Kedua hak ini selalu rentan dengan konflik, atau berbenturan antara yang satu dengan yang lainnya. Ketika terjadi benturan, maka peradilan-lah yang berperan

untuk memberikan keseimbangan atas

kebebasan berekspresi dengan nilai-nilai yang lainnya.

Ad hoc balancing theory cakupannya dilandasi oleh peristiwa-peristiwa, yakni bahwa pengertian kebebasan berekspresi tergantung pada peristiwa-peristiwa yang dialami. Pada dasarnya diyakini bahwa teori ini bukan sebagai teori, namun lebih kepada suatu strategi. Sebagai suatu strategi, maka membangun definisi

mengenai kebebasan berekspresi dengan

didasarkan pada peristiwa-peristiwa terntentu

yang dialami, menyebabkan munculnya

ketidakpastian (uncertainty). Ada kecenderungan

untuk menggunakan hak atas kebebasan berekspresi secara diam-diam dan mencari aman, dikarenakan warga negara belum tentu dapat


(8)

40

mengetahui beragam wujud dari ekspresi yang

dilindungi atau dilarang.32 Hal inilah yang

kemudian menjadi batasan atas kebebasan berekspresi itu sendiri. Di samping itu teori ini juga mengandalkan peradilan untuk memberikan keputusan mengenai kebebasan berekspresi itu berdasarkan kasus/peristiwa yang sedang dihadapi.

Ad Hoc Balancing Theory mengakui bahwa berbicara dan kebebasan pers merupakan hak yang sangat penting. Akan tetapi, dalam kerangka interaksi hak, yakni kebebasan berbicara dan pers harus diseimbangkan dengan wujud dari hak-hak asasi lainnya. Artinya bahwa pengadilan harus berperan untuk menciptakan keseimbangan hak-hak tersebut. Inilah kemudian yang menjadi persoalan tersendiri, dimana setiap muncul peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan hak-hak ini, selalu ada upaya menyeimbangkan hak oleh pengadilan. Dengan demikian akan menimbulkan ketidakpastian,

dimana pengadilan tidak pernah bisa

menggunakan referensi yang tetap.

Hal ini berarti bahwa melalui teori ini, ada

terdapat konflik antar hak, sehingga

keseimbangan antar hak diperoleh atau dipertimbangkan dari masing-masing kasus yang muncul. Inilah yang memunculkan pemikiran


(9)

41

bahwa ad hoc balancing theory hanyalah sebuah

strategi bukan teori yang sebenarnya, serta menimbulkan masalah tentang apa yang

dimaksud oleh First Amandments dalam teori ini.

3. Preferred position balancing theory

Peradilan diselenggarakan dalam rangka untuk memberikan prinsip-prinsip yang sesuai

dengan First Amendment, yakni bahwa tentang

kebebasan yang konstitusional dalam putusan-putusan yang dikeluarkannya. Yakni bahwa peradilan memberikan perlindungan terhadap kebebasan masyarakat dan secara konsisten melindunginya dengan putusan-putusan, yang lebih baik daripada nilai-nilai yang diatur dalam konstitusi.

Pemahaman yang mendasar dalam teori ini adalah bahwa kebebasan berekspresi sangat penting bagi berlakunya proses politik dan peluang bagi masyarakat untuk mengkritik

pemerintah, ketika pemerintah dianggap

menyimpang dari konstitusi. Pada konteks teori ini, kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai hak yang tidak mengganggu hak-hak lainnya. Menjadi tugas peradilan untuk memberikan keseimbangan hak atas kebebasan berbicara dan kebebasan pers yang adil dan konstitusional. Dengan demikian, pemerintah dapat dianggap memberikan batasan-batasan atas kebebasan


(10)

42

berbicara dan kebebasan pers dalam rangka untuk melindungi kepentingan-kepentingannya,

yang pada prakteksnya sering bersifat

merupakan tindakan bertentangan dengan undang-undang (inkonstitusional).

Kebebasan berekspresi adalah sebuah anugerah yang dengan demikian merupakan sesuatu yang istimewa. Teori ini berbasis pada case by case, sehingga peradilan lebih sering menggunakannya dalam memberikan keputusan pada kasus-kasus riil.

4. Meiklejohnian theory

Teori ini diperkenalkan oleh Alexander

Meiklejohn dengan menitikberatkan pada

keberadaan public speech dan private speech yang

patut untuk diberikan perlindungan secara mutlak atau tidak. Dalam teori ini pula dicarilah

apa yang membedakan antara public speech

dengan private speech.33 Meiklejohn memahami

First Amandments sebagai kesimpulan dari masyarakat Amerika bahwa isu-isu publik diputuskan berdasarkan pilihan masyarakat itu sendiri. Pendapatnya kemudian bahwa pilihan warga masyarakat itu adalah sebuah keputusan

yang arif (wise decisions). Adapun kemudian

harus didukung dengan syarat warga masyarakat harus mendapatkan akses yang memadai tentang


(11)

43 informasi dan pendapat yang relevan. First Amandments mendorong adanya peraturan yang melarang timbulnya serangan-serangan terhadap

ekspresi gagasan.34 Meiklejohn juga berpendapat

bahwa First Amandments menjamin

perlindungan yang absolut terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah, bilamana aturan

tersebut justru mengeliminasi kebebasan

berekspresi. Oleh Meiklejohn, diasumsikan tiga

prinsip dasar, sebagaimana berikut35:

“First, speech is constitutionally valued exclusively for its potential to facilitate democratic decisions. Second, speech facilitate democratic decision making by conveying relevant information and opinion to the listener so that the listener may make an informed decision when it comes time to vote……

Third, Meiklejohn believed that, in order for the electorate to be sufficiently informed, the needs of democratic decision making require that citizens have access to all relevant information and opinion, not simply that which government favors: [U]nwise ideas must have a hearing as well as wise ones, unfair as well as fair, dangerous as well as safe, un-American as well as American.”

Kebebasan berekspresi sendiri berkaitan erat dengan mengelola diri sendiri, sehingga perlu dilindungi secara mutlak. Maka pendapat-pendapat lain yang muncul harus diseimbangkan

34 Martin H. Redish and Abby Marie Mollen, Understanding Post’s and

Meiklejohn’s Mistakes:The Central Role of Adversary Democrazy in the Theory of Free Expression. Northwestern Public Law Research Paper No. 08-26. Columbia; 2009. Hal. 1310.


(12)

44

dengan hak-hak lain dan nilai-nilai yang lain. Bahwa Meiklejohn mengaitkan antara kehidupan

demokrasi dengan kebebasan untuk

mengeluarkan pendapat. Kebebasan berbicara merupakan hak konstitusional yang mendorong demokrasi, dalam hal membentuk kebijakan publik dan juga masyarakat berhak untuk mendapatkan akses pada kebijakan tersebut. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan untuk mendorong kehidupan yang demokratis. 5. Access theory

Kebebasan berpendapat dan berekspresi memuat syarat bahwa setiap orang harus memiliki akses ke media massa. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan pula untuk didengar pendapatnya. Salah satu caranya adalah dengan memberikan

regulasi mengenai penyiaran. Teori ini

menekankan pada beberapa hal yang utama,

yakni “freedom of speech requires people to have

access to the mass media” (masyarakat harus diberikan akses kepada media massa sebagai

wujud bebas berpendapat), “goverment should

ensure that people have opportunity to be heard” (pemerintah menjamin masyarakat agar dapat

menyampaikan pendapatnya), dan “used to

regulated broadcasting” (diatur dalam regulasi khusus tentang penyiaran).


(13)

45 Penerapan teori ini dapat dilihat dari peran negara secara riil dengan mengatur bahwa media massa (surat kabar, majalah maupun lembaga penyiaran), harus membuka diri untuk menerima ide dan gagasan-gagasan masyarakat. Media massa tersebut harus bersedia untuk merespon

umpan balik dari masyarakat pembaca (readers)

atau pemirsa (viewers) atau pendengar-nya

(listener) atas informasi yang disebarluaskannya. Di pertengahan tahun 1960-an, di Amerika, para

akademisi hukum memberikan saran pada First

Amandment untuk memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengkritisi isu-isu yang

muncul berkaitan dengan perkembangan

kepemilikan media massa dan substansi yang disebarluaskannya.

Keluasan makna atas kebebasan, membentuk pemikiran bahwa kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari siklus hidup manusia itu sendiri. Berkembangnya pemahaman-pemahaman tersebut, menuntut adanya pengakuan terhadap hak tersebut. Pertengahan abad ke-20, masyarakat dunia melalui Universal Declaration of Human Rights (UDHR), menegaskan secara otentik pengakuan atas

kebebasan berekspresi, yakni pada Article 19 yang


(14)

46

Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right include freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

Salah satu prinsip dasar dari kebebasan berekspresi adalah bahwa kebebasan berekspresi merupakan bentuk spesifik dari konsep kebebasan. Dikarenakan kebebasan adalah hak dasar manusia seutuhnya, maka kebebasan berekspresi adalah bagian daripadanya, melekat dan berkembang bersamaan dengannya.

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memberikan jaminan atas kebebasan

berekspresi (freedom of expression), yakni dalam

pengakuan keduanya secara tertulis dalam Article 19.

Dalam pengakuannya secara tertulis tersebut, kebebasan berekspresi tidak hanya diyakini sebagai hak dasar, namun juga sebagai hak yang dapat merealisasikan hak-hak asasi yang lainnya.

Adanya pengakuan atas kebebasan berekspresi secara universal, maka muncul dua hal yang menjadi penting, yakni : pada tingkatan individu, kebebasan berekspresi adalah kunci dalam pembangunan, martabat, dan ada pada diri setiap orang. Dengan saling bertukar ide dan informasi yang bebas antar

individu, maka masyarakat mendapatkan

pemahaman atas kehidupan di lingkungannya dan dunia yang lebih luas. Akibatnya masyarakat


(15)

47 memiliki peluang untuk mengembangkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, seseorang menjadi merasa terlindungi dan dihargai oleh negara karena

memiliki kebebasan untuk menyatakan

pendapatnya. Di tingkatan negara, kebebasan berekspresi menjadi salah satu pendorong yang penting bagi pemerintahan yang baik, yakni dalam

hal perubahan sosial dan perekonomian.36

Dengan demikian dapat diketahui bahwa

kebebasan berekspresi mendorong adanya

implementasi atas hak-hak asasi yang lain. Kebebasan berekspresi tidak hanya membantu meningkatkan perbaikan atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, terutama dalam hal hak asasi. Di sisi lain, memberikan peluang bagi pelaku-pelaku media untuk mengembangkan hak asasi manusia, masalah-masalah yang dihadapinya, serta memberikan koreksi kepada tindakan-tindakan pemerintah atas masalah hak asasi tersebut.

Sebagai salah satu bagian dari hak asasi, kebebasan berekspresi berkembang menjadi hak yang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi hak asasi itu sendiri. Kebebasan sebagai hak, John Rawls

menyatakan bahwa37:

36 Article 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. OSCE;

London, 2006. Hal. 21.

37 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dalam Negara. (Terjemahan dari A Theory of Justice. Havard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1995). Pustaka Pelajar; Jakarta, 2006. Hal. 253.


(16)

48

“Karenanya saya sekedar mengasumsikan bahwa kebebasan dapat selalu dijelaskan dengan sebuah rujukan pada tiga hal: para pelaku yang bebas, batasan-batasan atau pelarangan yang dibebaskan dari mereka, dan apa yang bebas atau tidak boleh mereka lakukan.”

Dalam pernyataan tersebut, John Rawls menekankan pada tiga hal yang penting, yakni pelaku, batasan dan tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Di dalam konteks kebebasan tersebut, pada kenyataannya tiga hal ini menjadi bermakna ketika pengembangan atas konsepsi kebebasan berekspresi juga berkaitan erat dengan tiga hal tersebut.

Kebebasan berekspresi menjadi bagian dari hak asasi manusia yang strategis dalam menopang jalan dan bekerjanya demokrasi. Sulit membayangkan sistem demokrasi bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan

berekspresi. Pendapat Lord Steyn menyatakan38:

Freedom of expression is, of course, intrinsically important: it is value for its own sake. But it is well recognized that it is also instrumentally important. It serves a number of broad objectives. First it promotes the self-fulfillment of individuals in society. Secondly, in the famous word of Holmes (echoing Jhon Stuart Mill), ’the best test of truth is the power of the thought to get it itself accepted in the competition of the market’. Thirdly, freedom of speech is the lifeblood of

38 Lord Steyn, dikutip dari keterangan Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia yang disampaikan pada Sidang Mahkamah Konstitusi, 23 Juli 2008.


(17)

49 democracy. The free flow of information and ideas informs political debate. It is a safety valve: people are more ready to accept decisions that go against them if they can in principle seek to influence them. It acts as a brake on the abuse of power by public officials. It facilitates the exposure of errors in the governance and administration of justice of the country.”

Menggambarkan pada tiga hal yang mendasar, Lord Steyn hendak memberikan garis pemikiran, bahwa kebebasan perekspresi merupakan bagian penting dalam perkembangan kehidupan yang adil dan demokratis. Kebebasan berekspresi olehnya, dapat mengembangkan pribadi-pribadi di dalam

masyarakat/komunitas, menjadi bahan uji

kebenaran, serta sebagai penggerak demokratisasi di dalam masyarakat. Prinsip ini kemudian yang menjadi salah satu titik tolak pemahaman tentang kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia. Berdiri berdampingan dengan jenis-jenis hak asasi manusia yang lainnya, yang melekat satu sama lain, serta menjadi jenis hak yang penting demi mewujudkan hak-hak asasi lainnya pula.

Pentingnya kebebasan bereskpresi diungkapkan oleh John Locke yang memberikan pernyataan bahwa kebebasan bereskpresi adalah cara untuk

pencarian kebenaran. Kebebasan berekspresi

ditempatkan sebagai kebebasan untuk mencari, menyebaluaskan dan menerima informasi serta

kemudian memperbincangkannya (apakah


(18)

50

proses untuk menghapus miskonsepsi kita atas fakta

dan nilai.39

Hal yang dapat diambil maknanya adalah bahwa kebebasan berekspresi memungkinkan

orang-orang mempunyai kesempatan untuk

menyampaikan, mencari, menerima, dan

membagikan berbagai macam informasi, yang bisa

mengembangkan dan mengekspresikan opini

mereka dengan cara yang menurut mereka tepat. Kebebasan berekspresi pun harus dilihat sebagai instrumen kunci dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia yang lain dan juga penting sebagai alat untuk mendorong pemberantasan impunitas dan korupsi.

Ahli lain, Toby Mendel, mengungkapkan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang penting. Pertama, karena hak ini adalah dasar dari demokrasi. Kedua, kebebasan berekspresi berperan dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, kebebasan berekspresi mempromosikan akuntabilitas. Dan keempat, kebebasan berekspresi dalam masyarakat

dipercaya merupakan cara terbaik untuk

39 Larry Alexander, Is There A Right to Freedom of Expression. Cambridge

University Press; New York, 2005. Hal. 128.

Pendapat lain dari John Stuart Mill mengemukakan bahwa kebebasan berekspresi merupakan hal yang dibutuhkan untuk melindungi warga dari penguasa yang korup dan tiran, sebab suatu pemerintahan yang demokratis mensyaratkan warganya dapat menilai kinerja pemerintahannya. Penilaian membutuhkan asupan, penelaahan dan penyebaran informasi.

(Lihat pada: John Stuart Mill, On Liberty, Chapter II, Of The Liberty on Thought and Discussion, 1859. http://www.utilitarianism.com/ol/two.html)


(19)

51

menemukan kebenaran.40 Pendapat ini memberikan

cerminan bahwa kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia, memiliki makna yang penting dalam perkembangan masyarakat, secara demokratis sekaligus kebebasan berekspresi

berperan dalam perkembangan kehidupan

komunitas atau bernegara.

Media dalam berbagai bentuk wujud

kelembagaannya, berinteraksi dan bersinggungan dengan lembaga lain di dalam lingkungan masyarakat. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi lembaga lain. Media kemudian harus diatur, yakni dengan membentuk regulasi baik undang-undang peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, dan peraturan lainnya yang berfungsi untuk mengelola media. Segala aturan tersebut, pada akhirnya disebut sebagai hukum media massa yang ditujukan untuk mengendalikan media massa, dan mengatur agar berperilaku wajar sesuai dengan keinginan masyarakat.

Hukum media dapat dijabarkan melalui substansi dalam pasal-pasal undang-undang dan peraturan pelaksananya. Regulasi ini menyangkut keberadaan organisasi media, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang media, serta

40 Pendapat Toby Mendel seorang Ahli pada saat diminta keterangannya di

hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 14/PUU-VI/2008 saat sidang di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2008.

Lihat: Anggara, dkk. Kontroversi UU ITE: Menggugat Pencemaran Nama Baik di Ranah Maya. Editor: F. Fauzi N. PT. Penebar Swadaya; Jakarta, 2001. Hal. 11.


(20)

52

memetakan hubungan negara dengan masyarakat dalam menjaga pelaksanaan perlindungan hak asasi di dalam aktivitas media, termasuk di dalamnya mengenai hak atas kebebasan berekspresi yang terus berkembang.

B.

Instrumen Hukum Internasional Tentang

Kebebasan Berekspresi

Sumber hukum yang dapat menjadi rujukan dalam mengenal kebebasan berekspresi sebagai hak dan aspek perlindungan hukumnya, dapat dilihat dari perjanjian – perjanjian / konvensi – konvensi internasional, kebiasaan-kebiasaan (yang diakui secara universal) dan juga prinsip-prinsip umum hak asasi manusia di dunia. Instrumen-instrumen ini terdiri dari beberapa konvensi yang penting, prinsip-prinsipnya yang penting dan elemen-elemen dasar kebebasan berekspresi.

1. Konvensi Internasional

Pengakuan hak yang dilakukan negara-negara

di dunia, umumnya berbentuk konvensi

internasional. Beberapa konvensi internasional yang meletakkan prinsip dasar diantaranya:

a. Universal Declaration of Human Rights (1948)

Pengakuan hak melalui Universal Declaration

of Human Rights (UDHR) merupakan deklarasi yang memuat pernyataan terpenting tentang


(21)

53 kewajiban hak asasi manusia yang diatur dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini disepakati secara bulat oleh Majelis Umum PBB, sebagai pernyataan prinsip-prinsip pada tahun 1948. Deklarasi universal ini menguraikan pengertian bersama dari semua rakyat di dunia mengenai hak-hak yang tidak dapat dicabut atau dilanggar yang dimiliki setiap manusia dan merupakan kewajiban untuk semua anggota masyarakat internasional.

Meskipun bersifat sebagai pernyataan prinsip-prinsip, deklarasi ini mengalami perkembangan yang luar biasa dalam ranah perlindungan hak asasi manusia di dunia. Deklarasi ini juga adalah langkah pertama dalam pembentukan Undang-Undang Internasional tentang Hak Asasi Manusia, yakni diselesaikannya pada tahun 1976 yang ditandai dengan berlakunya dua perjanjian hak asasi manusia internasional yang terkemuka, International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant On Cultural Economic Social Rights.

Kedua kovenan yang muncul tersebut, tidak kemudian mengerdilkan keberadaan UDHR, akan tetapi justru makin memperkuat keberadaan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang ada di dalam UDHR itu sendiri. UDHR menimbulkan efek-efek yang luar biasa pada pengembangan hukum internasional dan hukum nasional


(22)

54

mengenai hak asasi manusia. Perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia yang dibuat setelah deklarasi itu menguraikan prinsip-prinsip hak asasi manusia di dalam substansinya. Negara-negara menggunakan prinsip-prinsip hak

asasi manusia dalam deklarasi dalam

mengembangkan hukum hak asasi di negaranya

masing-masing, bahkan pengadilan juga

menggunakan substansi prinsip hak asasi manusia di dalam UDHR dalam memberikan putusan-putusan peradilan.

Secara substansial, prinsip-prinsip yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berekspresi dalam UDHR ada di dalam beberapa pasal sebagai berikut:

Article 19

Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.

Article 20

(1)Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association.

(2)No one may be compelled to belong to an association.

Article 29

(1)Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of his personality is possible.

(2)In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and


(23)

55 respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.

(3)These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and principles of the United Nations.

Article 19 menyatakan bahwa hak atas

kebebasan menyampaikan pendapat, yang

termasuk kebebasan untuk “mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Article 20 menyatakan bahwa hak untuk berkumpul dan berserikat secara damai, termasuk hak untuk tidak ikut suatu perkumpulan. Kedua hak tersebut berkaitan pula dengan pembatasan yang ada di Article 19, yakni bahwa penerapan pembatasan semata-mata untuk menjamin penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain. Selain itu untuk memenuhi persyaratan yang adil dan sesuai dengan nilai kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Penekanan yang utama dalam deklarasi ini adalah bahwa pelaksanaan hak asasi (hak atas kebebasan berekspresi) harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip deklarasi atau tidak boleh bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB, dalam keadaan apapun.


(24)

56

b. International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)

ICCPR memberikan uraian mengenai hak-hak sipil dan politik yang prinsip-prinsipnya sudah diatur dalam UDHR. ICCPR telah diratifikasi oleh negara-negara penandatangannya, dimana ICCPR telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari UDHR itu sendiri. Komite PBB untuk hak asasi

manusia, melaksanakan pemantauan atas

penataan pada kovenan ini, serta memeriksa pengaduan individu terhadap pemerintah yang telah meratifikasi Protokol Opsional Pertama dari Kovenan Internasional.

Pada ICCPR kebebasan berekspresi diatur di dalam Article 19 yakni:

1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.

2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.

3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:

(a)For respect of the rights or reputations of others;

(b)For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.


(25)

57 Ketentuan di atas mengatur tentang hak atas kebebasan berpendapat, menyatakan pendapat dan informasi. Pada ayat pertama, hak untuk berpendapat adalah hak absolut dengan tanpa pembatasan. Ayat kedua memberikan pernyataan sifat positif dari kebebasan menyampaikan pendapat, yakni kebbasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan dan tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya.

Di dalam ICCPR inilah yang kemudian ada syarat yang harus dipenuhi dalam rangka melakukan pembatasan kebebasan berekspresi.

Bahwa hak tersebut dapat dilakukan

pembatasannya dengan diatur di dalam undang-undang dan untuk kepentingan yang telah diatur dalam ayat yang ketiga.

c. The African Charter on Human and Peoples' Rights

The African Charter on Human and Peoples' Rights atau yang dikenal juga sebagai the Banjul Charter adalah instrumen internasional tentang hak asasi manusia, yang bermaksud untuk mempromosikan dan memberikan perlindungan (dalam pengakuan) atas hak asasi dan hak-hak dasar di benua Afrika. Sebagai instrumen hak


(26)

58

asasi manusia, meskipun secara spesifik hanya diperuntukkan bagi masyarakat di Benua Afrika, akan tetapi keberadaan piagam ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan pengakuan atas hak asasi manusia di dunia.

Pada tahun 1981 Piagam Afrika ini digagas dan disepakati oleh Kepala-kepala Negara Afrika

dan Pemerintah Organization of African Unity

(OAU-Organisasi Persatuan Afrika), dan kemudian piagam ini mulai berlaku pada tahun 1986. Sebagian besar negara Afrika yang tergabung dalam OAU, meratifikasi piagam tersebut. Pada

tahun 1987 dibentuklah African Commission on

Human and Peoples' Rights sebagai perwujudan

atas pelaksanaan piagam tersebut.41

Piagam Afrika ini cukup menonjol oleh karena

substansinya lebih banyak memberikan

perlindungan atas hak-hak rakyat, termasuk hak atas pengendalian sebebas-bebasnya sumber daya alam, pengembangan dan lingkungan yang memadai, selain daripada hak-hak individu. Di dalam Piagam ini pula, dimuat adanya kewajiban individu pada keluarga dan masyarakat. Pada Article 25 dinyatakan demikian:

States parties to the present Charter shall have the duty to promote and ensure through teaching, education and publication, the respect of the

41 Komisi tersebut hanya menangani sedikit kasus hak asasi manusia, oleh karena

jangka waktu piagam yang terbatas sehingga indikasi atas bagaimana piagam itu akan dipraktekkan dan diterapkan masih belum jelas.


(27)

59 rights and freedoms contained in the present Charter and to see to it that these freedoms and rights as well as corresponding obligations and duties are understood.

Article 25 ini menjadi perhatian khusus, yakni oleh karena adanya kewajiban bagi negara pihak untuk mempromosikan dan menjamin melalui pengajaran, pendidikan dan penerbitan, penghormatan atas hak dan kebebasan yang terkandung dalam piagam tersebut. Selain itu ada upaya untuk menjamin bahwa hak dan kewajiban harus dimengerti.

Perlindungan atas kebebasan berekspresi dimuat dalam Article 9 yang mengatur secara berbeda dengan perlindungan yang diberikan dalam perjanjian/kovenan lain, karena tidak secara jelas menyatakan hak untuk menerima gagasan atau menyampaikan informasi. Article 9 juga tidak mengatur mengenai pembatasan khusus.

Article 9

1. Every individual shall have the right to receive information.

2. Every individual shall have the right to express and disseminate his opinions within the law.

Pembatasan umum yang berkaitan dengan Article 9 justru menjadi rujukannya, adalah yang terdapat pada Article 27-29, dengan mengatur secara relevan dengan mewajibkan tiap orang untuk melaksanakan kebebasan yang dilindungi


(28)

60

dengan mentaati sepenuhnya hak-hak orang lain, keamanan, kolektif, kesusilaan dan kepentingan bersama. Pembatasan umum tersebut memberikan acuan bagi limitasi kebebasan berekspresi, dengan perlakuan yang sama dengan hak-hak lainnya. d. American Convention of Human Rights dan

American Declaration of the Rights and Duties of Man 42

Di Amerika, sebelum diadopsinya UDHR, Majelis Umum Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization American States-OAS) telah

mengadopsi American Convention of Human Rights

dan American Declaration of the Rights and Duties of Man pada tanggal 2 Mei 1948. Konvensi ini menguraikan dan memperluas kewajiban yang

diatur dalam Deklarasi Amerika, dengan

memberikan kewenangan tambahan pada Komisi

Antar-Amerika (Inter-American Commission on

Human Rights) dan membentuk Mahkamah Hak Asasi Manusia. Negara-negara OAS meskipun tidak terikat secara hukum, tetapi berkewajiban untuk menaati Deklarasi. Adapun sudah 23 negara anggota OAS yang telah meratifikasi Konvensi ini.

42 Lihat pada American Convention on Human Rights, O.A.S.Treaty Series No.

36, 1144 U.N.T.S. 12 3, entered into force July 18, 1978, reprinted in Basic Documents Pertaining to Human Rights in the Inter-American System, OEA/Ser.L.V/II.82 doc.6 rev.1 at 25 (1992).


(29)

61 Beberapa pengaturan mengenai kebebasan berekspresi, sebagaimana diatur dalam Article 13 yang pada dasarnya menguraikan perlindungan yang positif yang diterapkan pada hak atas kebebasan menyampaikan pendapat:

Article 13.

Freedom of Thought and Expression

1. Everyone has the right to freedom of thought and expression. This right includes freedom to seek, receive, and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing, in print, in the form of art, or through any other medium of one's choice.

2. The exercise of the right provided for in the foregoing paragraph shall not be subject to prior censorship but shall be subject to subsequent imposition of liability, which shall be expressly established by law to the extent necessary to ensure:

a. respect for the rights or reputations of others; or

b. the protection of national security, public order, or public health or morals. 3. The right of expression may not be restricted by indirect methods or means, such as the abuse of government or private controls over newsprint, radio broadcasting frequencies, or equipment used in the dissemination of information, or by any other means tending to impede the communication and circulation of ideas and opinions.

4. Notwithstanding the provisions of paragraph 2 above, public entertainments may be subject by law to prior censorship for the sole purpose of regulating access to them for the moral protection of childhood and adolescence. 5. Any propaganda for war and any advocacy of

national, racial, or religious hatred that constitute incitements to lawless violence or to any other similar action against any person or


(30)

62

group of persons on any grounds including those of race, color, religion, language, or national origin shall be considered as offenses punishable by law.

Ayat pertama memiliki prinsip perlidungan sebagaimana juga diatur di dalam UDHR, yang secara implisit ayat pertama ini memberikan perlindungan atas hak untuk menyampaikan pendapat secara bebas. Larangan sensor dan dasar-dasar untuk melakukan penuntutan di kemudian hari ada pada ayatnya yang kedua, dalam Article 13 di atas.

Pada ayat yang ketiga tersebut, terdapat kewajiban pemerinyah untuk membatasi tindakan-tindakan pihak swasta atau bahkan pemerintah sendiri yang bertujuan untuk membatasi

pelaksanaan kebebasan berekspresi, yakni

mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan. Dengan undang-undang, diperkenankan adanya sensor terhadap hiburan publik dengan alasan untuk memberikan perlindungan terhadap moral anak-anak dan remaja (ayat keempat). Dan pada ayat kelima memuat kewajiban negara untuk melarang propaganda dan tindakan-tindakan tertentu yang mendorong kebencian terkait dengan alasan kebangsaan, ras atau agama.

Pada konvensi ini ada bagian yang menarik dalam substansinya yang berbeda dengan


(31)

63 internasional lainnya. Hal yang unik diatur di dalam Article 14 konvensi ini dinyatakan:

Article 14. Right of Reply

1. Anyone injured by inaccurate or offensive statements or ideas disseminated to the public in general by a legally regulated medium of communication has the right to reply or to make a correction using the same communications outlet, under such conditions as the law may establish.

2. The correction or reply shall not in any case remit other legal liabilities that may have been incurred.

3. For the effective protection of honor and reputation, every publisher, and every newspaper, motion picture, radio, and television company, shall have a person responsible who is not protected by immunities or special privileges.

Bahwa terdapat ketegasan dalam Article 14 tersebut di atas dan mengatur secara unik, dengan mencantumkan kewajiban bagi negara untuk memberikan jaminan atas perlindungan terhadap pernyataan-pernyataan yang tidak akurat (bahkan cenderung menghina) oleh media massa yang kemudian merugikan seseorang, maka seseorang tersebut dapat memberikan jawaban (hak jawab) atau memberikan ralat melalui jalur media massa yang sama. Seseorang tertentu, oleh karena aktivitas media massa (baik publikasi, penerbitan media massa, penyiaran radio dan televisi, film) bertanggung jawab atas kehormatan dan reputasi. Dialah yang bertanggung jawab atas pelanggaran penghormatan atau nama baik (ayat 4).


(32)

64

e. European Convention on Human Rights (ECHR) Salah satu rujukan nilai-nilai hak asasi

manusia universal setelah UDHR adalah European

Convention on Human Rights (ECHR).43 Konvensi ini

merupakan pernyataan hukum yang utama mengenai perlindungan hak asasi manusia, yang diadopsi pada tahun 1950 dan mulai diberlakukan pada tahun 1953 di Eropa. Konvensi ini dianggap sebagai konvensi yang prosedur pelaksanaannya paling canggih diantara konvensi-konvensi serupa yang lainnya.

Konvensi ini telah ditandatangani oleh 47 negara di Eropa, kemudian telah diratifikasi oleh sebagian besar negara penandatangan konvensi. Pengaturan mengenai kebebasan berekspresi dan perlindungannya diatur di dalam Article 10 yang demikian :

Article 10

Freedom of expression

1. Everyone has the right to freedom of expression. this right shall include freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This article shall not prevent States from requiring the licensing of broadcasting, television or cinema enterprises.

43 Referensi diperoleh dari kutipan Konvensi Eropa untuk Hak Asasi Manusia

yang berjudul asli: European Convention on Human Rights as amended by Protocols Nos. 11 and 14 Council of Europe Treaty Series, No. 5 yang diterbitkan pada tahun 2010 oleh Council of Europe.

Referensi ini bisa diperoleh di http://www.echr.coe.int/NR/rdonlyres/D5CC24A7-DC13-4318-B457-5C9014916D7A/0/CONVENTION_ENG_WEB.pdf.


(33)

65 2. The exercise of these freedoms, since it carries

with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or the rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.

Article 10 ini diterapkan secara lebih lanjut

oleh laporan dan putusan dari European

Commission of Human Rights (Komisi Eropa untuk Hak Asasi Manusia), dan memberikan pedoman tambahan, khususnya tentang akses atas informasi.

Penerapan Article 10 konvensi tersebut memberikan implikasi untuk hukum Masyarakat

Eropa (European Community). Implikasi tersebut

nampak pada keberadaan lembaga-lembaga

bentukan EC yang mewajibkan untuk

mempertimbangkan ECHR dalam rangka

pelaksanaan wewenang yang dimilikinya. EC juga secara konsisten berpendapat bahwa hak asasi manusia di dalam ECHR diabadikan dalam prinsip-prinsip umum hukum masyarakat. Selain itu konvensi ini memiliki pengaruh yang signifikan di luar Eropa, yakni pada perkembangan Konvensi Internasional, Konvensi Amerika, bahkan sampai pada pertimbangan-pertimbangan yang digunakan


(34)

66

sebagai referensi konstitusi di negara-negara, serta peraturan perundang-undangannya. Pengaturan kebebasan berekspresi dalam Article 10 tersebut, secara prinsip dalam ayat 1 adalah sama dengan yang dimuat dalam Article 19 UDHR. Akan tetapi secara spesifik di dalam ayat 2, diatur mengenai pelaksanaan kebebasan tersebut yang dapat menunduk pada formalitas, syarat, pembatasan atau hukuman yang diatur dalam undang-undang yang diperlukan dalam masyarakat demokratis. Hal ini diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan akan berbagai kepentingan publik dan swasta.

Secara prinsip kemudian bahwa pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan alasan bahwa pembatasan tersebut; diatur di dalam undang-undang, untuk tujuan yang sah, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis demi tujuan

tersebut.44

2. Prinsip-Prinsip Kebebasan Berekspresi dalam Instrumen

Universal Declaration of Human Rights memang menjadi landasan pengakuan yang secara universal memberikan perlindungan atas hak-hak asasi manusia di dunia. Deklarasi ini menjadi titik tolak

44 Lihat pada Article 19 UDHR yakni frasa: “….since it carries with it duties and

responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society,….”


(35)

67 berkembangnya pengaturan hak asasi manusia di dalam konvensi-konvensi, yang bahkan memberikan pengaruh dalam upaya perlindungan hukum di dalam konstitusi negara-negara serta peraturan

perundang-undangannya. Sejalan dengan hal

tersebut, pada prinsipnya ICCPR, Konvensi Eropa, Piagam Afrika dan Konvensi Amerika memuat pengembangan prinsip-prinsip hak dalam EDHR. Masing-masing memberikan pengaturannya secara sendiri-sendiri, namun dapat diperbandingkan untuk sekiranya memberikan acuan dasar perlindungan.

Pengakuan hak atas kebebasan berekspresi dalam konvensi-konvensi internasional, memberikan pokok-pokok pengaturan kebebasan berekspresi, setidak-tidaknya dalam hal:

a. Kewajiban-Kewajiban Umum

Penandatangan konvensi-konvensi adalah negara-negara pihak yang turut serta memberikan dukungan dalam upaya pengakuan hak-hak asasi manusia secara universal. Instrumen-instrumen hak asasi tersebut, secara substansial mengatur mengenai kewajiban umum bagi negara-negara yang meratifikasinya, yakni :

(1) mengadopsi substansi konvensi, di dalam

peraturan perundang-undanganya atau upaya-upaya lain yang dapat memberikan perlindungan atas hak-hak;


(36)

68

(2) memberikan upaya rehabilitasi bagi akibat

dari terjadinya pelanggaran hak.

Di dalam ICCPR sendiri diatur bahwa ada

kewajiban bagi negara-negara yang

menandatangani konvensi tersebut untuk dapat

mengadopsi dalam peraturan

perundang-undangannya. Selain itu, negara pihak

berkewajiban pula untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat memberikan perlindungan atas hak-hak tersebut (lihat pada Article 2 ICCPR).

Berkaitan dengan hal tersebut, negara pihak juga memberikan jaminan untuk; (a) ada pemulihan yang efektif bagi orang yang dilanggar haknya, meski pelanggaran itu dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas yang resmi; (b) orang yang dilanggar haknya dan memohon pemulihan berhak untuk diperiksa oleh lembaga yang berwenang (yudikatif, administratif, legislatif) atau ototitas lail yang kompeten; (c) otoritas yang

berkompeten tersebut harus menegakkan

pemulihan, bila pemulihan telah disetujui (lihat pada Article 3 ICCPR).

Pengaturan yang sejalan dengan konsepsi dalam ICCPR terdapat pada ACHR, yakni mengatur demikian:

Article 2. Domestic Legal Effects

Where the exercise of any of the rights or freedoms referred to in Article 1 is not already ensured by legislative or other provisions, the


(37)

69 States Parties undertake to adopt, in accordance with their constitutional processes and the provisions of this Convention, such legislative or other measures as may be necessary to give effect to those rights or freedoms.

Article 2 ACHR memiliki susunan kata dan makna yang sama dengan apa yang dimuat dalam Article 2 ICCPR. Dengan demikian ada pengertian yang sepadan dan sepemahaman. Akan tetapi, meskipun ACHR tidak memuat ketentuan pemulihan yang efektif, namun pada Article 1 menyebutkan bahwa ada kewajiban bagi negara untuk menghormati hak dan kebebasan yang disebutkan di dalam ACHR dan memberikan jaminan bahwa yurisdiksinya dapat secara bebas melaksanakan hak dan kebebasan tersebut. Selengkapnya dalam kutipan berikut:

Article 1. Obligation to Respect Rights

The States Parties to this Convention undertake to respect the rights and freedoms recognized herein and to ensure to all persons subject to their jurisdiction the free and full exercise of those rights and freedoms, without any discrimination for reasons of race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, economic status, birth, or any other social condition.

For the purposes of this Convention, "person" means every human being.

Sementara itu ECHR mengatur mengenai dua kewajiban yang utama, yakni untuk menerapkan perundang-undangan atau langkah-langkah lain yang diperlukan, dan untuk memberikan


(38)

70

pemulihan efektif yang diperkuat oleh mekanisme

dalam European Commission of Human Rights dan

European Court of Human Rights. Tentang kewajiban-kewajiban umum seperti itu, ICCPR memberikan ketegasan yang lugas dan jelas yang menjadi keharusan bagi negara-negara pihak. Tujuan dari kewajiban itu adalah agar negara pihak menjalankan maksud dan tujuan dari konvensi. Kewajiban yang diatur di dalam Article 2 dan 3 ICCPR, diadopsi secara ringkas di dalam The Banjul Charter (Piagam Afrika), yakni dalam Article 1 yang berbunyi :

The Member States of the Organization of African Unity parties to the present Charter shall recognize the rights, duties and freedoms enshrined in this Chapter and shall undertake to adopt legislative or other measures to give effect to them.

Kelemahannya dalam The Banjul Charter nampak dari pembahasannya yang sederhana dan tanpa pernyataan otoritatif yang mengatur sebaliknya. Akibatnya, pejuang hak asasi manusia di Afrika harus mendorong agar dua kewajiban (dalam ICCPR) dapat sebanding pula dengan kewajiban-kewajiban dalam Piagam Afrika.

b. Hak Untuk Menyampaikan Pendapat Tanpa Dibatasi

UDHR dan ICCPR mengatur bahwa


(39)

71 merupakan termasuk hak untuk berpendapat

tanpa pembatasan (to hold opinions without

interference).

Masing-masing konvensi, sebenarnya tidak memuat padanan kata yang sama atau susunan kata yang sama pula. Akan tetapi bilamana ditafsirkan ECHR dan ACHR memberikan perlindungan sepenuhnya pada pelaksanaan hak untuk berpendapat, yang tidak sama dengan hak mengeluarkan pendapat. The African Charter bahkan tidak secara tegas memuat konten

mengenai perlindungan berpendapat tanpa

pembatasan.

c. Hak untuk Mencari, Menerima dan Memberikan Informasi dan Gagasan

Hak ini diatur di dalam UDHR dan ICCPR secara eksplisit. Ruang lingkup yang dilindungi adalah “untuk mencari, menerima dan memberi

informasi dan gagasan”. ACHR memiliki

kandungan yang sama dan seragam. Berbeda dengan ECHR yang tidak memuat kejelasan perlindungan terhadap hak untuk “mencari” informasi dan gagasan, namun pada umumnya dapat ditafsirkan secara luas untuk melindungi hak ini secara tersirat. Jangkauan perlindungan hak untuk mencari, menerima dan memberi informasi dan gagasan juga tidak secara eksplisit


(40)

72

Commission of Human Rights mengajukan saran bahwa hak-hak tersebut secara tersirat terlindungi dalam piagam.

d. Jenis Informasi atau Gagasan yang dilindungi Pernyataan perlindungan terhadap informasi dan gagasan di dalam ICCPR dan ACHR adalah informasi dan gagasan dalam bentuk apapun yang dinyatakan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetak, karya seni atau melalui media lain. Sementara dalam ECHR hanya memberikan perlindungan informasi dan gagasan dan menyatakan bahwa negara pihak tidak dicegah untuk mewajibkan perijinan bagi perusahaan penyiaran, televisi atau bioskop. Akan tetapi, dipahami secara luas bahwa perlindungan yang diatur di dalam ECHR adalah sama konsepnya dengan yang diatur di dalam ICCPR dan ACHR.

Article 10 dalam ECHR memuat pernyataan bahwa perlindungan terhadap hak, yakni melalui pernyataan lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, telah mengacu ketentuan dalam Article 19 ayat (2) ICCPR. European Court of Human Rights menyatakan bahwa perlindungan ini adalah mencakup perlindungan terhadap karya seni. ECHR memuat bahwa perlindungan mencakup isi siaran dan hanya memperkenankan negara untuk melakukan pengaturan pada aspek teknisnya.


(41)

73

e. Alasan yang Diperkenankan untuk Pembatasan45

UDHR dan konvensi-konvensi internasional,

memperkenankan adanya pembatasan

pelaksanaan hak. Pembatasan itu diuraikan dalam 3 syarat, yakni: pembatasan harus diatur dalam undang-undang, harus sesuai dengan salah satu tujuan yang dinyatakan secara tegas dalam teksnya, dan pembatasan tersebut memang harus

diperlukan.46

UDHR dan konvensi-konvensi tersebut, masing-masing memberikan variasinya. UDHR misalnya dalam Article 19 menyatakan bahwa pembatasan bagi kebebasan menyampaikan pendapat (dan hak-hak substansif) lainnya hanya

untuk mendapatkan pengakuan serta

penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain…. syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban (perdamaian tidak terganggu) dan kesejahteraan

umum. Sedang ICCPR memperkenankan

pembatasan oleh karena alasan perlindungan terhadap hak atau nama baik orang lain dan

kesehatan dan kesusilaan publik. ACHR

menggunakan istilah ketertiban publik dibanding ketertiban yang lebih umum sebagaimana di dalam

45 Alasan-alasan pembatasan yang dapat dijadikan referensi dalam melaksanakan

pembatasan adalah sebagaimana prinsip-prinsip yang disepakati bersama, yakni

Siracusa Principles dan Johannesburg Principles yang dianggap sebagai implementasi dari Article 19 ICCPR.


(42)

74

ICCPR, meski susunan kata dalam konteks

pembatasan adalah sama. ECHR juga

menggunakan istilah mencegah ketidaktertiban atau kejahatan, sehingga istilah tersebut terlihat lebih spesifik. Lebih lanjut bahkan ECHR mencamtumkan syarat bahwa pembatasan dapat dilakukan demi melindungi kesatuan territorial atau keselamatan publik, kerahasiaan informasi yang diterima secara rahasia, dan kewenangan atau imparsialitas kehakiman.

3. Elemen Dasar Kebebasan Berekspresi

Di dalam Article 1947 UDHR dan Article 19

ICCPR, makna kebebasan berekspresi mengandung 6 (enam) elemen dasar yang utama. Keenamnya perlu untuk dipahami sebagai sesuatu pemahaman yang

komprehensif tentang berlakunya hak atas

kebebasan berekspresi yang kemudian diatur di dalam regulasi yang dibuat oleh negara-negara yang meratifikasi konvensi. Enam aspek utama tersebut

dalam pengembangannya adalah sebagai berikut48:

47 Dalam Article 19 yang bunyinya : “Everyone has the right to freedom of

opinion and expression; this right include freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.” Dalam terjemahannya: Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

48 Lihat pada Article 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. op.


(43)

75

a.”Everyone shall have the right...”

Frasa ini menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak, yang berarti bahwa setiap manusia, siapapun dia memiliki haknya. Tidak ada pembedaan atau diskriminasi berdasarkan latar belakang kehidupan manusia, baik suku, ras, agama, pendidikan, atau bahkan status-status lainnya. Setiap manusia yang memiliki hak, kecuali oleh karena undang-undang atau hukum internasional hak tersebut dibatasi, misalnya mereka yang merupakan narapidana atau

seseorang yang sedang dihukum karena

kejahatannya. Dalam perkembangannya,

seseorang memiliki hak atas kebebasannya sendiri bahkan ketika orang tersebut tidak menyadari bahwa eksistensi hak itu ada.

b.”...to seek, receive and impart...”

Pernyataan ini adalah pernyataan penting dalam pengakuan atas kebebasan berekspresi. Hal ini berkaitan dengan hak untuk menyebarkan apa yang kita ketahui atau yang dipikirkan kepada

orang lain, baik dalam komunikasi

langsung/pribadi, maupun melalui media

komunikasi massa.

Di dalam Article 19, pada dasarnya makna yang terkandung adalah lebih luas daripada sekedar penyebaran informasi melalui media atau tidak. Frasa tersebut mencakup juga mengenai


(44)

76

bagaimana seseorang dapat mencari dan menerima informasi dan/atau gagasan. Misalnya dengan mendapatkan informasi dan/atau gagasan itu dengan cara membaca koran, mendengarkan siaran, berselancar di internet, bahkan bisa juga dengan turut ambil bagian dalam debat-debat publik, sebagai pendengar atau aktif. Di sisi lain, bisa pula dengan menjadi jurnalis, peneliti akademik, dan lain sebagainya.

Hal ini menjadi penting untuk dipahami bahwa pengakuan atas kebebasan berekspresi juga erat kaitannya dengan kebebasan beroleh informasi, yakni salah satunya akses terhadap kebijakan publik. Pemerintah sebagai penentu kebijakan, harus memberikan peluang kepada individu (warga negara) untuk mendapatkan penjelasan. Sebagaimana dapat dilihat dalam

kutipan berikut49:

Access to information held by public authorities is another aspect of the freedom of information debate. International/regional human rights mechanisms have asserted the public’s right to know and urged governments’ to adopt legislation along the following lines: the legislation should be guided by the principle of maximum disclosure; public bodies should be under an obligation to publish key information; public bodies should actively promote open government; exceptions should be clearly and narrowly drawn and subject to strict ‘harm’ and ‘public interest’ tests; individuals should have the right to appeal

49Freedom of Expression ligat di: http://www.hrea.org/index.php?base_id=147


(45)

77 against a refusal to disclose information to an independent administrative body, which operates in a fair, timely and low-cost manner; the legislation should provide protection for ‘whistleblowers’ who release information on wrongdoing.

Akses terhadap informasi diperlukan oleh

masyarakat, dalam hal kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini masih menjadi perdebatan oleh karena aspek legalitas terhadap akses ini berhadap-hadapan dengan prinsip keterbukaan terhadap informasi publuk. Pemerintah harus mampu untuk membuka diri, dikarenakan masyarakat dan hak-hak mereka

yang dipertaruhkan. Masyarakat memiliki

pendapat dan gagasannya sendiri terhadap kebijakan, dimana masyarakat yang menjadi tujuan atas kebijakan tersebut. Dengan demikian masyarakat harus dilindungi dengan negara membuka peluang masyarakat untuk memberikan umpan balik atas kebijakan publik yang diterapkannya.

c. ”...an information and ideas of any kinds...” Kebebasan berekspresi yang diakui tidak melulu pada pemaknaannya bahwa informasi dan ide-ide dapat berguna atau terbukti kebenarannya. Kebebasan berekspresi juga berhubungan erat dengan fakta-fakta dan pendapat-pendapat yang dapat dikomunikasikan demi kegunaan dan


(46)

78

kebenaran atas informasi atau ide yang dikembangkan.

Pada konteks ini penekanannya adalah bagaimana pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi ini ternyata dapat memuat sisi-sisi

kontroversial, kesalahan informasi dan

memberikan kejutan. Maka suatu ide atau informasi yang tidak disukai atau memuat kesalahan, tidak begitu saja dapat disebarkan

berdasarkan pelaksanaan kebebasan

berekspresi.50 Dalam Article 19 tersebut harus

dimaknai bahwa kebebasan berekspresi meskipun bisa menyebarkan segala hal, harus ada pembatasan konten, yakni politik, budaya dan seni.

Jhon Stuart Mill memberikan argumennya bahwa informasi dan ide yang kontroversial tetap harus diberikan tempat atau saluran untuk

dipublikasikan, dikarenakan hal-hal berikut51:

(1) Jika suatu pendapat dibungkam, maka tidak

akan diketahui suatu pendapat itu, apakah benar atau tidak. Baik untuk menyangkal pendapat itu atau tidak, juga tidak dapat

50 Dalam kaitannya dengan kebebasan pers, ada dua prakondisi yang harus

dipenuhi: (1) informasi yang disampaikan mampu menciptakan komunikasi yang efektif, yakni memenuhi kebutuhan khalayak dan mencapai sasaran; (2) informasi yang disampaikan tidak hanya memberikan fakta, namun mendorong sesuatu seshingga khalayak dapat berpikir dan memperbaiki kehidupannya sehari-hari. Lihat pada Ana Nadhya Abrar, Analisis Pers: Teori dan Praktik. Kelompok Penerbit Cahaya Atma Pustaka; Yogyakarta, 2011. Hal. 39.

51 Lihat pada Article 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. op.


(47)

79 dilakukan. Hal ini karena hanya pemilik pendapat saja yang tahu mengenai pendapatnya.

(2) Suatu pendapat bisa saja salah atau bisa

saja benar. Namun, bila pendapat itu dibungkam, maka tidak akan dapat dikoreksi.

(3) Bilamana suatu ide dapat diterima, ide itu

baru meyakinkan publik jika dapat bertahan ketika berhadap-hadapan dengan ide-ide yang berlawanan.

(4) Suatu ide tidak mudah dilupakan, bilamana

ide tersebut dapat bertahan dari tantangan ide-ide lain yang secara terus menerus dan disebarluaskan.

Tentang segala hal yang ada di dalam penyebaran informasi, International Court juga memberikan perhatian, yakni dengan menekankan bahwa pelaksanaan hak ini harus tunduk pada hukum internasional yang berkaitan dengan sisi kontroversial suatu subyek.

d.”...regardless of frontiers...”

Kebebasan berekspresi yang terdapat di dalam UDHR dan ICCPR pada dasarnya tidak dibatasi oleh batas-batas wilayah negara. Negara melalui pemerintahnya harus memberikan peluang dan ruang bagi warga negaranya untuk mencari,


(48)

80

menerima, memberikan informasi dari dan ke negara lain. Kebebasan berekspresi berkembang dengan dipengaruhi teknologi dan informasi yang menembus batas-batas ruang wilayah. Jarak dan waktu bukan lagi menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan informasi dari manapun.

e. ”...through any media...”

Warga negara atau masyarakat harus

diberikan kebebasan untuk dapat

mengekspresikan dirinya sendiri melalui berbagai saluran yang tersedia. Baik melalui media-media tradisional maupun modern yang ada di lingkungan hidupnya. Saluran ini tidak hanya berupa koran, televisi, radio, internet, buku, hasil kesenian dan pertemuan-pertemuan publik.

Di sisi lain, warga negara juga bebas mendapatkan informasi dan atau berita yang dia butuhkan dari berbagai sarana tersebut. Baik sarana yang dia ciptakan sendiri maupun dari sarana-sarana media yang sudah tersedia. Sarana ini juga menentukan apakah suatu informasi layak untuk disalurkan melalui sarana media massa (cetak), televisi dan radio, internet dan lain sebagainya.


(49)

81

f. ”...to respect and to ensure...”

Pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi tidak hanya memiliki implementasi negatif saja, namun juga ada positifnya. Negara berkewajiban untuk tidak menghalang-halangi hak, tapi juga beraksi untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas pelaksanaan hak berekspresi.

Negara yang mengakui keberadaan UDHR dan ICCPR tentang hak asasi tersebut, diwajibkan juga untuk menghormati dan memastikan bahwa pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi harus dilakukan secara terhormat dan memastikan bahwa setiap warga negara yang berekspresi melakukannya secara bertanggung jawab.

C.

Dua Sisi Kebebasan Berekspresi sebagai

Hak Asasi

Sebagai salah satu hak dasar yang dikenal dan diakui serta dinyatakan dalam konvensi-konvensi internasional tentang hak asasi, keberadaan kebebasan berekspresi dipahami dalam dua sisi yang berbeda. Kebebasan berekspresi diasumsikan dalam dua kesimpulan pendapat, yakni kebebasan

berekspresi sebagai derogable right dan kebebasan

berekspresi sebagai inalienable right.

Dua konsep metoda melihat kebebasan berekspresi yang berkembang sesuai dengan

eksistensinya sebagai hak yang dapat


(50)

82

lainnya. Kebebasan berekspresi tidak dapat dilepaskan dari sisi humanisme dan kepentingan lain yang berhadap-hadapan dengannya.

1. Kebebasan Berekspresi sebagai Derogable

Right

Hak atas kebebasan untuk berekspresi dikenal sebagai salah satu hak yang dapat dibatasi. Demikian maka kebebasan berekspresi disebut

sebagai derogable rights. Klasifikasi atas hak yang

non-derogable rights dan derogable rights, didasarkan pada Konvenan Internasional Hak-Hak

Sipol dan Politik (International Convenan on Civil and

Political Rights). Hak-hak non-derogable yakni

hak-hak yang bersifat absolute dan tidak boleh dikurangi

pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun

dalam keadaan darurat sekalipun.52

Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini

adalah : (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak

bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture);

(iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from

slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara Pihak yang

52 Khasim, Ifdal. Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar. Seri

Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara XI Tahun 2007. Materi : Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. ELSAM; Jakarta, 2007. Hal. 2.


(51)

83 melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak

asasi manusia (gross violation of human rights).

Hal ini sesuai dengan Pasal 28I Ayat (1), Undang-Udang Dasar RI 1945 Amandemen, yang menyatakan bahwa :

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Negara-negara pihak yang melakukan

pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi

manusia (gross violation of human rights).53 Jadi tiap

negara harus menjaga dan memelihara pelaksanaan hak yang tidak dapat dikurangi ini.

Kelompok kedua adalah hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dib atasi pemenuhannya oleh Negara-negara Pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah : (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan


(52)

84

(iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).

Beberapa pendapat menyebut The core of rights

(hak inti) dari non derogable rights berjumlah empat.

Ini adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai

norma hukum internasional yg harus ditaati atau jus

cogens norms.54

Pertanyaan berikutnya adalah apakah negara-negara yang meratifikasi konvenan tersebut, diperkenankan untuk mengurangi atau menyimpangi kewajiban atas pemenuhan hak yang berjenis non-derogable. Pengurangan atau penyimpangan atas kewajiban ini dikarenakan beberapa alasan yang dapat mempengaruhi atau bersifat ancaman serius bagi eksistensi negara itu sendiri. Alasan itu adalah demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof.

Rosalyn Higgins menyebut sebagai ketentuan


(1)

125

(d) Pengharmonisasian materi muatan peraturan perundang-undangan secara horizontal agar

tidak tumpang tindih dan saling

bertentangan, dikarenakan akan

menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Artinya bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang muatan materinya bersinggungan.

(e) Pengharmonisasian materi muatan peraturan

perundang-undangan dengan konvensi/

perjanjian internasional. Ratifikasi atas konvensi/perjanjian internasional memberi-kan dampak bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan muatan konvensi/perjanjian internasional yang telah diakui/diratifikasi.

(f) Pengharmonisasian peraturan perundang-undangan dengan kebijakan-kebijakan yang

terkait dengan peraturan

perundang-undangan tersebut. Bahwa

kebijakan-kebijakan yang muncul dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.


(2)

126

Sementara, aspek teknis penyusunan peraturan perundang-undangan diserasikan baik menyangkut kerangka peraturan perundang-undangan, hal-hal khusus, ragam bahasa dan bentuk peraturan perundang-undangan.

Mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan harmonisasi hukum, Philip James Osborne dalam disertasinya menyatakan sebagai berikut104:

Harmonisation is a concept that has often been defined in scholarly writings but with varying degrees of congruency….

At a most basic level comparative lawyers regard harmonisation as "making the legal rules of two or more legal systems more alike". In contrast to unification, harmonisation upholds the individuality of its component parts. There is a high degree of similarity in basic principles but not detailed provisions, meaning that a person familiar with the law in one jurisdiction can easily understand the law of another jurisdiction and adjust to it. Goldring considers harmonisation to be a process whereby "... the effects of a type of transaction in one legal system are brought as close as possible to the effects of similar transactions under the laws of other countries". Therefore harmonisation tolerates not only the difference between the individual elements (laws) to be harmonised, but also differences in the application of the harmonising measure, regardless of whether they are a consequence of substantive of interpretational differences.

104 Philip James Osborne, Unification or Harmonisation: A Critical Analysis of the

United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods 1980. A Dissertation submitted in partial fulfilment of the requirements for the Degree of LLM International Business Law in the University of Hull, 2006.Lihat di http://www.cisg.law.pace.edu/cisg/biblio/osborne.html.


(3)

127

Harmonisasi hukum yang dilaksanakan

senantiasa harus berpedoman pada nilai yang menjadi arah dan tujuan yang akan dicapai. Nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dan memberi tuntunan serta menentukan arah, menjadi kerangka acuan untuk memecahkan persoalan dasar di bidang hukum yang mencakup: perencanaan hukum (legislation planning), proses pembentukan hukum (law making process), penegakan hukum (law enforcement) dan kesadaran hukum (law awareness).105 Dengan demikian, sistem hukum nasional menyerap sistem nilai yang terdiri dari pandangan hidup bangsa Indonesia, sehingga merupakan sistem hukum yang serasi dengan perasaan keadilan dan cita-cita hukum, serasi dengan pandangan mengenai keadilan.

Harmonisasi hukum diletakkan sebagai upaya untuk mengintegrasikan berbagai sistem hukum sehingga tersusun dalam raranan yang harmonis, selaras, serasi, seimbang dalam kerangka sistem hukum nasional. Pola pikir yang mendasari penyusunan sistem hukum nasional (legal system

harmonization) yang mencakup106:

a. Komponen materi hukum (legal system

substance) atau tata hukum yang terdiri atas

tatanan hukum eksternal yaitu peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis,

105 Muladi dalam Lukman Hakim, op.cit. Hal. 178. 106 Lukman Hakim, op.cit. Hal. 179.


(4)

128

termasuk hukum adat dan yurisprudensi, serta tatanan hukum yang melandasinya;

b. Komponen struktur hukum beserta

kelembagaanya (legal structure), yaitu terdiri atas berbagai badan institusional atau kelembagaan publik dengan para pejabatnya; c. Komponen budaya hukum (legal culture) yang

mencakup sikap dan perilaku para pejabat dan warga masyarakat berkenan dengan komponen-komponen yang lain dalam proses-proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat.

Perumusan langkah ideal yang dapat ditempuh di dalam upaya harmonisasi hukum adalah dengan melakukan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum yang berlaku dalam kerangka sistem hukum nasional (legal system) yang mencakup

komponen materi hukum (legal substance),

komponen hukum beserta kelembagaannya (legal

structure) dan komponen budaya hukum (legal

culture). Ketiga komponen ini merupakan mata

rantai yang saling berkaitan satu sama lain serta saling terlibat dalam upaya harmonisasi sistem hukum nasional.

Di dalam konteks yang demikian, harmonisasi hukum harus memberikan akibat yang positif bagi masyarakat yang diatur oleh adanya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut.


(5)

129

Adanya harmonisasi hukum seharusnya mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang menjadi sasaran pengenaan hukum. Untuk mencapai tujuan tersebut, Fernando Gómez Pomar menyatakan sebagai berikut107:

Let’s imagine a benelovent Law-maker desiring the welfare of those concerned by a given set of Laws abd regulations. In order to aptly carry out this goal, our Law-maker would need:

(i) To collect reliable evidence on the actual state of the events one desire to regulate;

(ii) To consider some range of alternatives for each issue under considerations;

(iii) To estimate the likely impact of the regulatory alternatives on the positition of the relevant individuals and groups;

(iv) To draft the law and legal drafting may be costly depending on the kind and length of the exercise;

(v) To invest political capital to convince the relevant public of the virtues of the new legislation, and to overcome opposition from the interest group who may be harmed by the legal reform, even when overall it enhances social welfare.

Dalam kaitannya dengan keberadaan

instrumen-instrumen hukum internasional, maka

diperlukan adanya harmonisasi hukum

internasional. Suatu negara yang tunduk pada konvensi (menandatangani konvensi), berkewajiban untuk menyesuaikan sistem hukumnya dengan substansi konvensi, sehingga negara-negara

107 Fernando Gómez Pomar, The Harmonization of Contract Law through

European Rules: a Law and Economics Perspective. InDret Revista Para El Analisis Del Derecho; Barcelona, 2008. Hal. 9.


(6)

130

penandatangan konvensi, memiliki sifat uniformitas sistem hukum. Uniformitas sistem hukum ini akan berujung pada sistem hukum yang dapat diterima dan disetujui oleh semua negara. Dampak yang dapat diperoleh dengan adanya uniformitas sistem hukum bagi hukum nasional adalah dapat

mempersatukan berbagai kepentingan, baik

kepentingan internal negara, kepentingan nasional dengan kepentingan internasional, dan antar sektor kehidupan nasional. Langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan harmonisasi hukum dalam perspektif yang demikian adalah dengan dua perumusan: harmonisasi kebijakan formulasi (sistem pengaturan) dan harmonisasi materi (substansi). Harmonisasi kebijakan formulasi menunjuk pada langkah perumusan harmonisasi sistem hukumnya, sedang harmonisasi materi menunjuk pada langkah perumusan norma-norma hukum (materi hukum).108

Harmonisasi kemudian menjadi salah satu istilah yang mendorong suatu kondisi di dalam hukum, yang menempatkan keberadaan peraturan perundang-undangan berada pada derajat yang sama, baik dalam konteks filosofis, sosiologis dan yuridis. Hal ini mengandung arti bahwa harmonisasi mendorong terciptanya sistem hukum yang memadai bagi kepentingan-kepentingan yang sama meskipun peraturannya berbeda.