Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebebasan Berekspresi dalam Peraturan tentang Isi Media di Indonesia T2 322009005 BAB I

(1)

1

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Dalam perkembangan demokrasi, perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan salah satu

unsur penting. Hal ini berkaitan dengan

penghargaan terhadap eksistensi hak asasi manusia itu sendiri. Salah satu bagian hak asasi manusia yang penting adalah kebebasan berekspresi, yang dapat menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengembangkan diri terutama dalam kerangka penguatan civil society.

Pengakuan atas perlindungan kebebasan berekspresi (freedom of expression) ini secara universal dimuat di dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yakni pada Article 19 yang menyatakan :

Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right include freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any

media and regardless of frontiers.

Dalam muatan tersebut di atas, maka terdapat pengakuan atas kebebasan berekspresi yakni bahwa setiap individu diakui haknya untuk bebas berekspresi dan mendapatkan informasi dari


(2)

2

berbagai sarana media yang tersedia. Kajian yang sama, The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), suatu traktat perjanjian yang diakui oleh 145 negara, menekankan para setiap anggotanya untuk mengadopsi dan melindungi hak-hak yang t ermuat di dalam UDHR. Khususnya pada Article 19 ICCPR, memberikan jaminan atas kebebasan berekspresi, demikian :

1. Everyone shall have the right to freedom of

opinion.

2. Everyone shall have the right to freedom of

expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art or through any other media of his choice.

Kedua konvensi tersebut memberikan

pengakuan atas keberadaan hak atas kebebasan berekspresi bagi manusia, terutama pada penekanan bahwa hak tersebut merupakan hak yang penting yang dimiliki oleh manusia. Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak penting dikarenakan kebebasan berekspresi merupakan hak dasar dalam konteks demokrasi. Kebebasan berekspresi melekat pada keberadaan media sebagai sarana mutakhir untuk mengakomodasinya.

Dalam kaitannya dengan media pula, kebebasan berekspresi ditempatkan sebagai bagian yang terpenting dalam kehidupan demokrasi. Pentingnya kebebasan berekspresi (freedom of expression), tidak


(3)

3

hanya terbatas pada makna dan artinya saja yang penting, namun kebebasan berkeskpresi juga dapat mengembangkan kehidupan demokrasi dengan memberikan peran kepada masyarakat luas. Peranan ini diperoleh dengan adanya akses informasi dan partisipasi mereka di dalam pembuatan kebijakan publik. Hal ini berarti pula bahwa kebebasan berekspresi bukan hanya monopoli bagi para seniman (termasuk di dalamnya sastrawan) tetapi juga bagi seluruh anggota masyarakat dalam suatu negara apa pun bentuk pemerintahannya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut1 :

“Freedom of expression is essential in enabling democracy to work and public participation in decision-making. Citizens cannot exercise their right to vote effectively or take part in public decision-making if they do not have free access to information and ideas and are not able to express their views freely. Freedom of expression is thus not only important for individual dignity but also to

participation, accountability and democracy.

Violations of freedom of expression often go hand in hand with other violations, in particular the right to freedom of association and assembly...”

Keterkaitan tersebut di atas mengandung arti bahwa terdapat interaksi yang positif antara kebebasan berekspresi dengan eksistensi media. Baik dalam upaya penyebaran informasi maupun dalam upaya perwujudan hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi sendiri membutuhkan media untuk


(4)

4

sarana aktualisasi. Kebebasan masyarakat untuk berpendapat dan mendapatkan informasi, terutama melalui media, dilindungi sebagai hak untuk berpendapat dan mendapatkan informasi. Negara dalam hal ini, adalah subjek utama yang menjadi pelindung hak-hak tersebut melalui peraturan-peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Peraturan ini mengatur mengenai bagaimana media perlu didudukkan dalam suatu kondisi yang ideal.

Ada dua alasan utama bahwa media harus

diatur. Pertama, adanya pertimbangan antara

kepentingan umum dan kepentingan publik. Secara sederhana dapat dipahami bahwa negara harus menempatkan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat yang terkait dengan hak asasi manusia, yakni dimana salah satu unsur hak asasi manusia adalah hak menyatakan pendapat. Hak menyatakan pendapat sendiri dapat dilakukan melalui media massa secara bebas, sehingga media harus diatur.

Kedua, adanya kepentingan bisnis. Bahwa pengelolaan media dilakukan oleh suatu organisasi

yang pada umumnya berorientasi untuk

mendapatkan keuntungan (business oriented)

sehingga ada persinggungan antara kepentingan masyarakat pengguna media dengan kepentingan privat perusahaan.2

2 Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2007.


(5)

5

Di sinilah peran negara sebagai pelindung hak, dalam tatanan hukum nasional menjadi penting. Bahkan dalam konteks kebebasan berekspresi dan aktualisasinya di ranah media, ada prinsip-prinsip yang sebaiknya menjadi acuan. Beberapa prinsip merupakan sebuah upaya untuk melakukan interpretasi progresif terhadap hukum dan standar internasional, praktik yang berlaku di berbagai negara (yang muncul, antara lain, dalam hukum-hukum nasional dan keputusan pengadilan nasional), dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh berbagai bangsa. The Camden Principles on Freedom of Expression and Equality memperjelas pengakuan negara terhadap kebebasan berekspresi pada upaya perlindungan dalam kerangka: (1) negara sebaiknya memastikan agar hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, melalui medium komunikasi apapun, termasuk hak atas informasi, tercantum dalam ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi nasional atau aturan-aturan yang setara, yang selaras dengan hukum hak asasi manusia internasional; (2) negara sebaiknya memastikan agar ketentuan-ketentuan yang terdapat di konstitusi nasional memaparkan cakupan dari pembatasan atas hak kebebasan berekspresi secara jelas; dan (3) Negara sebaiknya menyusun kerangka kerja hukum yang jelas untuk melindungi hak atas informasi, termasuk hak untuk mengakses informasi yang ada pada badan-badan publik dan mendorong


(6)

6

langkah-langkah proaktif untuk membuka informasi kepada publik.3 Di samping itu masih dijelaskan juga melalui Prinsip Siracusa dan Prinsip Johannesburg yang memberikan gambaran penjelasan bagi pelaksanaan konvensi.4

Di Indonesia, eksistensi atas kebebasan berekspresi berhadapan dengan beragam tantangan yang sangat kompleks dan menentukan bagi perkembangan hak asasi manusia. Di dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh ARTICLE 19 Organization, dapat ditemukan mengenai kondisi perkembangan kebebasan berekspresi di Indonesia beberapa tahun belakangan, sebagai berikut5 :

“Freedom of expression and access to diverse information in Indonesia face challenges, including:

the predominant culture of verbal

communication in the country, which has to

3 Lihat pada Article 2 The Camden Principles on Freedom of Expressionand

Equality. Prinsip ini disusun oleh ARTICLE 19 berdasarkan diskusi dengan sejumlah pejabat tinggi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan organisasi internasional lain, para pakar dari kelompok masyarakat sipil dan akademisi di bidang hukum hak asasi manusia internasional tentang masalah kebebasan berekspresi dan kesetaraan yang berlangsung di London tanggal 11 Desember 2008 dan 23 – 24 Februari 2009.

4 Prinsip Siracusa berjudul asli Siracusa Principles on the Limitation and

Derogation of Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights Annex, UN Doc E/CN.4/1984/4 (1984); dan Prinsip Johannesburg berjudul asli The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access To Information.

5 ARTICLE 19, The Conditions of the Communication Environment for Freedom

of Expression in Indonesia: A report from the Freedom of Expression Project.

Combine Resource Institution; Jakarta, 2009. Hal.28.

Download di


(7)

7 date resulted in limited production of informational content in the virtual media

the community’s highly traditional culture,

which is often at odds with universal values, and has popularized dogmatic content, that applauds irrationality and bombastic promises state policies with regards to the virtual world. The UU ITE (Electronics Transaction and Information Law) and the RUU Tipiti (Information Technology Crime) bill may become new stumbling blocks. Problems may come both from the substance of these laws and from multiple interpretation of their meanings in the practice enforcement.”

Nilai-nilai kebebasan berekspresi dalam Article 19 UDHR, pada dasarnya secara yuridis dapat dilihat dalam Pasal 28F UUD 1945 Amandemen yang menyatakan bahwa: setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Sejalan dengan prinsip ini, maka negara berkewajiban untuk memberikan peluang bagi adanya perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi dalam ranah publik.

Dengan dimuatnya kebebasan berekspresi di

dalam undang-undang dasar, maka akan

berimplikasi pada pengaturan lebih lanjut di dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya.


(8)

8

Pengakuan atas hak asasi manusia sendiri diatur secara tersendiri di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini pula yang kemudian menjadi payung utama pengaturan mengenai eksistensi media di Indonesia. Selain itu, undang-undang tersebut menjadi embrio lahirnya reformasi sistem media nasional selama satu dekade terakhir. Adapun reformasi tidak otomatis membuat praktik produksi, orientasi, dan kecenderungan politik media kian didasarkan pada prinsip-prinsip keutamaan publik. Reformasi itu juga belum berujung pada lahirnya ruang publik ideal, yang relatif otonom dari dominasi rasionalitas modal maupun birokrasi, dan mampu menggerakkan diskursus sosial yang berkualitas, deliberatif, dan mempunyai signifikansi bagi nilai kewargaan. Reformasi sistem media itu belakangan mengalami anomali. Praktik bermedia dan perubahan kebijakan media kian menunjukkan gejala rekolonialisasi ranah media oleh imperatif-imperatif ekonomi atau birokrasi. Terutama pada media penyiaran, subsistem rasionalitas ekonomi pasar dan subsistem administratif negara secara sistemik mendeterminasi hampir semua aspek media: perizinan, permodalan, orientasi produksi, distribusi, dan relasi dengan masyarakat.6

6 Agus Sudibyo, Anomali Ruang Publik Media. Republika, Senin, 9 Februari


(9)

9

Menunjuk pada isi yang dimuat dalam produk media, maka ada beberapa peraturan perundangan

yang mengaturnya. Isi (content) media yang

mengandung aspek perlindungan terhadap

kebebasan berekspresi diatur dalam peraturan perundang-undangan diantaranya :

a. Undang-undang No. 40 Tahun 1999

tentang Pers;

b. Undang-undang No. 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran;

c. Undang-undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik;

d. Undang-undang No. 33 Tahun 2009

tentang Perfilman.

Masing-masing undang-undang memuat

mengenai isi media, baik dalam batasan

pengertiannya maupun sampai dengan hal-hal yang diperkenankan dalam isi media itu sendiri. Keempat undang-undang ini adalah peraturan yang mendasari aktivitas dunia bisnis media di Indonesia, sekaligus memberikan peluang teraktualisasinya kebebasan berekspresi di Indonesia. Masing-masing peraturan perlu dilihat apakah kebebasan berekspresi di Indonesia sudah mengakomodasi kepentingan hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam berbagai prinsip-prinsip hukum yang diakui secara universal. Ukuran yang paling mungkin untuk


(10)

10

melihat hal tersebut adalah prinsip-prinsip yang terkandung dalam Universal Declaration of Human Rights terutama pada Article 19, serta prinsip-prinsip hukum universal yang diakui dan menjadi referensi atas perlindungan hak asasi manusia.

Di setiap undang-undang tersebut di atas, masing-masing mengatur mengenai isi dari media yang diperkenankan untuk disebarluaskan oleh pelaku-pelaku media. Hal ini berarti bahwa ada batasan yang termuat di dalam undang-undang tersebut, batasan itu misalnya adalah bagaimana memberikan definisi mengenai isi di dalam media, sehingga memiliki kesamaan pemahaman dan upaya pernerjemahannya dalam aplikasi praksis yang dilakukan oleh para pelaku media.

Dalam konteks yang demikian, secara faktual, perkembangan media (dan terutama isinya) mengalami perubahan yang pesat. Segala sumber media dapat menjadi sarana penyedia dan/atau penunjang informasi. Kepentingan bisnis media yang cenderung untuk meningkatkan peran bisnisnya (profit oriented), menyebabkan pelaku media seperti menggunakannya secara berlebihan di satu sisi, namun di sisi lain menyebarkan informasi yang sejelas-jelasnya. Inilah kemudian yang menjadi permasalahan hukum yang muncul, yakni bahwa bagaimana sebenarnya kebebasan berekspresi diakomodasi dalam segala peraturan perundang-undangan tentang media.


(11)

11

Perkembangan peristiwa-peristiwa tentang

kondisi penyebaran isi yang timpang, menimbulkan dorongan untuk menyadari bahwa kebebasan berekspresi merupakan bagian penting dalam penyelenggaraan media di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan isi yang hendak ditampilkan oleh para pelaku media dan disebarkan secara luas

kepada masyarakat. Masyarakat kemudian

dipersilakan untuk menilai dan mengelola sendiri informasi (isi media) yang diperolehnya. Inilah yang kemudian menjadi persoalan, apakah hukum mampu mengakomodasi kepentingan isi media di Indonesia. Isi-isi media (melalui berbagai saluran) menjadi aspek penting dalam upaya pembatasan dan/atau pengendaliannya secara tepat, dengan tetap menempatkan kebebasan berekspresi sebagai isu sentral yang harus dilindungi.

Bilamana dikaji secara komprehensif, ada sisi keberpihakan media kepada mayoritas yang disertai

derasnya pemberitaan yang menstigmatisasi

minoritas inilah yang kemudian kerap menggiring pemerintah atau aparat untuk menerbitkan regulasi dan mengambil kebijakan yang merampas hak-hak dan kebebasan warga negaranya demi memenuhi preferensi dan kepentingan kelompok masyarakat yang paling banyak (tirani mayoritas). Hal ini pula yang menyangkut pemaknaan kebebasan berekspresi dalam pengelolaan isi media yang hendak disebarkan kepada masyarakat. Isi ini adalah berkaitan dengan


(12)

12

bagaimana hal-hal yang sifatnya informatif yang diperkenankan oleh undang-undang untuk dapat menjadi konsumsi masyarakat luas, dan hal-hal apa yang dilarang atau tidak diperbolehkan untuk disiarkan/ditampilkan/ dimuat. Dengan melihat beberapa pengaturan mengenai hal tersebut, maka dapat dilihat bagaimana sebenarnya upaya negara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat menggunakan media sebagai sumber informasi, dan bagaimana negara melalui peraturan perundang-undangannya memberikan perlindungan terhadap informasi yang menyesatkan. Selain itu dapat pula dilihat bagaimana negara mampu tunduk pada menerjemahkan makna hak asasi manusia, terutama kebebasan berekspresi bagi manusia. Diantaranya dapat dilihat dalam Pasal-Pasal yang mengatur mengenai pengertiannya masing-masing sebagai berikut:


(13)

13 Tabel 1.1. Isi Media dalam undang-undang

UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;

Pasal 5 ayat (1):

Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Pasal 13

Perusahaan pers dilarang memuat iklan :

a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;

b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

Pasal 36

(1) Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

(2) -...

(3) Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

(4) Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. (5) Isi siaran dilarang:

a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan.

(6) Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.


(14)

14

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Pasal 6

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang: a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. menonjolkan pornografi;

c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;

d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;

e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau f. merendahkan harkat dan martabat manusia.


(15)

15

Di sisi lain, perlu untuk dicermati bagaimana

peraturan perundang-undangan itu secara

komprehensif, satu dengan yang lain mengakomodasi keberagaman yang ada di Indonesia. Yakni bahwa keberagaman itu menyebabkan adanya tuntutan untuk dapat mengharmonisasikan ketentuan-ketentuan tersebut. Harmonisasi ini diperlukan demi tercciptanya persepsi hukum yang sama mengenai ketentuan tentang kebebasan berekspresi di dalam pengaturan tentang isi media di Indonesia, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tentang media. Harmonisasi itu diperlukan guna kebebasan berekspresi yang diatur di dalam isi media, baik media siar, media pers, media internet, media film dan lain sebagainya, memiliki batasan-batasan yang tepat agar tidak terlalu luas maknanya,

atau sebaliknya, terlalu sempit dimaknai.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan

tentang media dapat memberikan tatanan aturan yang baik dan terarah demi perlindungan terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri.

B. Rumusan masalah

Adapun mengenai rumusan masalah yang diajukan di dalam penulisan ini adalah :

1. Apakah peraturan perundang-undangan di

Indonesia telah mengakomodasi kebebasan berekspresi (freedom of expression), khususnya mengenai isi media?


(16)

16

2. Apakah terdapat harmonisasi pengaturan

kebebasan berekspresi di dalam peraturan perundang-undangan tentang konten media di Indonesia?

C. Keaslian penulisan

Kajian-kajian mengenai hukum media di Indonesia, yakni hak-hak masyarakat di bidang informasi melalui media massa dan kehidupan pers, belum ada yang membahas mengenai kebebasan berekspresi sebagai titik tolak utamanya. Dengan menekankan pada kebebasan berekspresi, maka pemaknaan terhadap perlindungan negara atas hak ini dapat membantu pemikiran-pemikiran di bidang hukum media. Di samping itu, referensi literatur mengenai hukum media di Indonesia, yang menekankan pada kebebasan berekspresi belum banyak ditemukan. Hal ini terutama pada kajian-kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai isi (content) media, berkaitan dengan hak atas kebebasan berekspresi. D. Tujuan penulisan

Penulisan ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengkaji kebebasan berekspresi (freedom of expression) di dalam peraturan perundang-undangan yakni:

1. Menganalisis peraturan


(17)

17

tentang kebebasan berekspresi khususnya mengenai content atau isi media;

2. Ada tidaknya harmonisasi pengaturan

tentang kebebasan berekspresi terutama dalam kaitannya dengan content media.

E. Manfaat penulisan 1. Manfaat Teoritik

Penulisan ini diharapkan untuk memberikan referensi baru mengenai hukum media di Indonesia, terutama yang menekankan pada content media yang di Indonesia belum mendapatkan cukup banyak perhatian secara teoritis. Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menjembatani antara kepentingan bisnis di bidang media dan kepentingan hak untuk berekspresi.

2. Manfaat Praktis

Dengan menitikberatkan pada konsep

mengenai asas kebebasan berekspresi (freedom of expression), penulisan ini diharapkan akan memberikan gambaran mengenai perkembangan hukum media di Indonesia. Dalam kaitannya dengan content yang beragam yang disebarkan oleh media, maka pengaturan hukum media mengenai

content media dapat membantu masyarakat dan pelaku usaha bisnis media tentang batasan-batasan yang harus dipenuhi. Pengaturan mengenai content


(18)

18

berekspresi (freedom of expression) sebagai titik tolak utama. Dengan demikian maka masyarakat yang hendak menggunakan haknya untuk mengaktualisasikan potensi yang ada padanya melalui sarana media di Indonesia.

F. Tinjauan pustaka

1. Tentang kebebasan berekspresi

Penulisan hukum ini membahas konsep dasar kebebasan berekspresi, atau dalam bahasa yang universal di dunia, kebebasan berekspresi merupakan terjemahan dari freedom of expression.

Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak turunan dari hak asasi manusia, yakni bahwa di dalam Universal Declaration of Human Rights

(UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjamin tentang hak mengenai kebebasan berekspresi, yakni seperti terdapat di dalam Article 19. Bahwa di dalamnya

terdapat pengakuan mengenai kebebasan

berkekspresi tidak sekedar hak yang fundamental, namun juga bahwa hak ini sangat penting dalam merealisasikan hak-hak asasi yang lainnya.7

Dalam perkembangan hak, kebebasan

berekspresi belum memiliki definisi yang cukup memadai oleh karena kebebasan berkekspresi

7 ARTICLE 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. London;

2006. Hal. 21.


(19)

19

merupakan suatu prinsip hak yang berkaitan erat

dengan kebebasan pers dan kebebasan

berpendapat. Walaupun demikian, pemahaman tentang kebebasan berekspresi atau freedom of expression dapat dimengerti melalui kutipan berikut8 :

“Thus, many things have changed since the establishment of Freedom of Expression. Today when we talk about this principle, we know that it invokes more than the right to expression of the media and journalists: it demands the right of citizens’ expression. This is what’s really important in contemporary societies. But at the same time different rights are claimed: to inform us as citizens, as well as the right to speak. This is because the right to Freedom of Expression is not just for communication and media professionals. This means the right of access to public information and information as a public good. There are also civil and political human rights, and the issue of how to articulate the third generation of economic and social rights. Analyses from the public journalism perspective suggest that citizens’ voices have been hijacked by politicians and journalists. But we are now at a point, under the paradigm of civic participation, which today has become widespread, that promotes the empowerment of public opinion.”

Di dalam kutipan di atas, secara eksplisit dijelaskan bahwa kebebasan berekspresi (freedom of expression) berkembang menjadi hak yang tidak

8 Ana Maria Miralles Castellanos, Freedom of Expression, the Right to

Communication: Old Challenges, New Questions. Publikasi ilmiah UNESCO,

Freedom of Expression, Access to Information and Empowerment of People,

Edited by Guy Berger. UNESCO; France, 2009. Hal. 36.


(20)

20

hanya dimiliki oleh kalangan media dan jurnalis, namun juga merupakan hak masyarakat untuk berekspresi. Kebebasan berekspresi bukan hanya milik kalangan professional di bidang media dan komunikasi, dikarenakan kebebasan berekspresi (dan juga untuk mendapatkan informasi publik) adalah milik masyarakat (publik). Ketegasan pemikiran inilah yang menyebabkan bahwa kebebasan berekspresi mendapatkan tempat tersendiri yang perlu untuk dikaji secara mendalam, meskipun selalu bersinggungan dengan jenis hak asasi yang lainnya.

Kebebasan berekspresi pada dasarnya

merupakan suatu hak yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan manusia, baik dilihat dari sisi individualnya, maupun secara nasional dalam kerangka negara, sebagaimana dinyatakan sebagai berikut9 :

“At an individual level, freedom of expression is key to the development, dignity and fulfilment of every person. By exchanging ideas and information freely with others, people can gain an understanding of their surroundings and the wider world, enabling them better to plan their lives and practise their trades. Moreover, being able to speak their minds makes citizens feel more secure and respected by the State. At the national level, freedom of expression is a necessary precondition for good government, and thus also for economic and social progress.”

9 ARTICLE 19, Central Asian Pocketbook on Freedom of Expression. Op. cit.


(21)

21

Pada referensi yang lain diungkapkan tentang

keberadaan kebebasan berekspresi dalam

perkembangan media, yakni bahwa10 :

“The right to freedom of expression and opinions: The right to freedom of expression upholds the rights of all to express their views and opinions freely. It is essentially a right which should be promoted to the maximum extent possible given its critical role in democracy and public participation in political life. There may be certain extreme forms of expression which need to be curtailed for the protection of other human rights. Limiting freedom of expression in such situations is always a fine balancing act. One particular form of expression which is banned in some countries is “hate speech”.

Bahwa kebebasan berekspresi dan

berpendapat merupakan hak untuk mengutarakan atau mengekspresikan pendapat dan pandangannya

secara bebas. Kebebasan berekspresi dan

berpendapat harus dikembangkan secara luas, karena berperan dalam penting demokrasi dan partisipasi masyarakat di bidang politik.

There may be some views which incite intolerance or hatred between groups. This raises the debate about whether such hate speech, as it is known, should be restricted. …..

There is a fine balance between upholding the right to freedom of expression and protecting other human rights. The success of such laws has often been questionable and one of the consequences has been to drive hate speech underground. While it may be necessary to ban certain extreme forms of hate speech and certainly to make its use by


(22)

22

the state prohibited, parallel measures involving the promotion of a pluralistic media are essential to give voice to counter viewpoints.”

2. Tentang Media Dan Hukum Media

Dalam kaitannya dengan perkembangan hukum media, maka perlu dipahami definisi mengenai media itu sendiri. Media di dalam perkembangan hukum di Indonesia, merupakan istilah yang berkaitan erat dengan media massa dan kommunikasi massa. Di dalam kajian hukum media di Indonesia, media massa merupakan sasaran utama. Jadi, dalam penulisan ini, media selalu diidentikkan dengan media massa. Meskipun demikian, istilah ‘media’ dengan ‘massa’ memiliki makna yang berlainan, dan bilamana dilekatkan satu dengan yang lainnya hanya akan menguatkan makna kata. Pengertian media dari waktu ke waktu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sosial, politik, dan persepsi masyarakat terhadap media.11 Dalam perkembangannya kata media dekat dengan pengertian “medium” dan/atau “moderat” yang memiliki arti tengah, sedang, penengah, atau penghubung. Akan tetapi, kata

media sebenarnya lebih dekat dengan

pengertiannya sebagai “penengah” atau pihak yang berdiri di tengah-tengah atau penghubung.12

11 Denis McQuail & Sven Windahl, dalam bukunya Communication Models For

The Study of Mass Communication, yang dikutip oleh Hari Wiryawan, Dasar-dasar Hukum Media. Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2007. Hal.54.


(23)

23

Di dalam kata media yang mengandung

maksud sebagai “penengah” atau sebagai

penghubung, secara sosial-politis kemudian media mengalami pergeseran makna, yakni bahwa media kemudian dipahami sebagai istilah yang menunjuk pada makna “tempat”, “wahana”, “forum”, atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga penghubung”, di mana lembaga ini terletak diantara massa dan elit, antara rakyat dan negara, antara rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang yang satu dan sekelompok orang yang lainnya.13 Dengan demikian istilah media berkembang menjadi istilah yang tidak hanya dipahami secara etimologis saja, namun juga makna media berkembang seiiring dengan perkembangan sosial politis masyarakat.

Dengan demikian, bilamana dihubungkan dengan kajian mengenai hukum, maka dapat diperoleh pengertian mengenai hukum media, yakni hukum yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan tentang meda massa, sebagai alat untuk komunikasi massa. Hukum media meliputi hukum media cetak, hukum media penyiaran, film, hukum siber (cyber law), dan hukum pers (baik pers cetak, penyiaran, maupun pers dot com – internet). Ketentuan yang diatur adalah tentang masalah isi media, prosedur penggunaan media, kepemilikan media, dan sebagainya. Dalam konteks definisi yang


(24)

24

demikian, hukum media memiliki cakupan yang

sangat luas, sehingga kajiannya harus

memperhatikan unsur-unsur pokok yang penting dalam melihat kebebasan berekspresi (freedom of the expression) yang menjadi nilai yang universal.

3. Tentang Harmonisasi Hukum

Berkaitan dengan harmonisasi pengaturan hukum tentang isi media, perlu dijelaskan definisi mengenai harmonisasi tersebut. Harmonisasi berasal dari kata harmonia (Yunani) yang artinya terikat secara serasi dan sesuai. Yang di dalam arti filsafat, diartikan sebagai “kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur”,14 dimana istilah harmoni ini juga menunjuk pada artinya sebagai keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan yang menyenangkan.15 Sementara itu di dalam Black Law Dictionary,

memberikan ‘harmony’ diartikan sebagai ‘agreement or accord; conformity (the decision in Jones is in harmony with earlier Supreme Court precedent)”.16

Harmonisasi oleh Kusnu Goesniadhie memiliki makna yaitu baik dalam artinya sebagai upaya maupun atau proses yang hendak mengatasi

14 Hassan Shaddily, dkk. Ensiklopedi Indonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve; Jakarta,

1996. Hal. 1262.

15 M. Dahlan Barry. Kamus Modern Bahasa Indonesia, Arkola; Yogyakarta, 1995. 16 Bryan A Garner. Black’s Law Dictionary. Seventh Edition. West Group; St.


(25)

25

batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang

bertentangan dan kejanggalan. Olehnya pula, upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan,

kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan

keseimbangan, antara berbagai faktor yang sedemikian rupa sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk satu keseluruhan yang luhur sebagai bagian dari suatu sistem.17 Dengan pengertian di atas, maka dapat ditelaah mengenai unsur-unsur harmonisasi, diantaranya18 :

(a) Adanya hal-hal ketegangan yang berlebihan; (b) Menyelaraskan kedua rencana dengan

menggunakan bagian masing-masing agar membentuk suatu sistem;

(c) Suatu proses atau upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan;

(d) Kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.

Dalam kerangka harmonisasi hukum, maka di dalam hukum media di Indonesia, harus terdapat keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan antara peraturan undang-undang yang satu dengan peraturan undang- perundang-undangan yang lainnya. Konsep mengenai

17 Kusnu Goesniadhie. Harmonisasi Hukum dalam Perspektif

Perundang-undangan (Lex Specialis suatu Masalah). JP Books; Surabaya, 2006. Hal. 62.


(26)

26

harmonisasi hukum dapat diketahui dalam kutipan berikut19 :

“When unescessary incongruities occur between different elements of legal system which pertain to the same subject, an effort for harmonization can be made. This is such adaption of those elements that the incongruities are removed, that a better result is obtained, while the respective identities of those elements are kept in tact…”

Dalam usaha untuk melakukan harmonisasi sistem hukum yang berkenaan dengan terjadinya ketidakseimbangan antara perbedaan unsur-unsur sistem hukum, dapat dilakukan dengan cara menghilangkan ketidakseimbangan dan melakukan penyesuaian terhadap unsur-unsur sistem hukum yang berbeda itu. Secara konseptual, Kusnu

Goesniadhie memberikan gambaran bahwa

harmonisasi sistem hukum dapat dilakukan secara keseluruhan yang akan melibatkan matarantai hubungan tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum beserta kelembagaannya (legel structure), dan kultur hukum (legal culture).20

Berkaitan dengan hal tersebut, L.M. Gandhi juga menyatakan bahwa harmonisasi dalam hukum

adalah mencakup penyesuaian peraturan

perundang-undangan, keputusan pemerintah,

keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas

19 B. Arief Sidharta, dkk. Butir-butir Gagasan Tentang Penyelenggaraan Hukum

dan Pemerintahan Yang Layak. Citra Aditya Bakti; Bandung, 1996. Hal. 247.


(27)

27

hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan

hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme

hukum.21 Di dalam perspektif

perundang-undangan, perlu ditata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi. Hal ini penting dikarenakan dapat membantu penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan meletakkan pola pikir yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945. Dalam perspektif yang demikian, harmonisasi hukum dimaksud, koheren dengan sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu “terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”.22

Dengan topik tesis yang hendak menganalisa tentang pengaturan tentang content (isi) media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi di Indonesia, maka keberagaman peraturan perundang-undangan tentang media, perlu ada harmonisasi dalam perspektif perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan tentang media dapat saling mengisi satu dengan yang lainnya. Dampak

21 LM Gandhie, dalam Kusnu Goesniadhie, op. cit. Hal. 71.

22 Lihat pada Penjelasan UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan


(28)

28

yuridisnya adalah bahwa kebebasan berekspresi dapat ditemukan makna yang sesuai dan selaras antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

G. Metode penelitian

Mengenai metode penelitian yang hendak dilakukan, dapat dijelaskan pada bagian berikut ini, yakni mengenai jenis penelitian, pendekatan, dan sumber-sumber penelitian yang hendak dikelola untuk mendapatkan gambaran yang sejelas mungkin tentang topik permasalahan yang diajukan.

a. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian

deskriptif-analitis, yakni penelitian yang

bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. b. Tipe penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif, yakni bahwa dengan menekankan pada analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai content media, bahwa sampai sejauh mana peraturan perundang-undangan di


(29)

29

Indonesia tersebut memiliki kandungan makna kebebasan berekspresi (freedom of expression) yang memadai.

c. Pendekatan masalah

Di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) untuk kemudian dilanjutkan dengan pendekatan filosofis (philosophical approach), yakni bahwa untuk mengkaji isu hukum dalam penelitian ini secara mendalam. Pendekatan konseptual

(conceptual approach) juga dilakukan untuk melakukan penelitian ini tanpa beranjak dari peraturan yang ada. Pendekatan-pendekatan ini digunakan untuk meneliti peraturan

perundang-undangan yang mengatur content media di

Indonesia, sehingga akan dapat ditemukan kandungan akan konsep kebebasan berkeskpresi yang secara universal harus dilindungi. Adapun pendekatan-pendekatan ini digunakan untuk lebih dalam meneliti mengenai pemaknaan asas kebebasan berekspresi di dalam pengaturan mengenai media di Indonesia.

d. Bahan Hukum

Adapun di dalam penelitian ini, untuk

memecahkan isu hukum dan sekaligus

memberikan pretesis mengenai apa yang


(30)

30

penelitian.23 Sumber-sumber penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

i. Bahan Hukum Primer, yakni terdiri dari

peraturan perundang-undangan, yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti, yakni diantaranya adalah:

- Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia No.

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

- Undang-Undang No. 12 Tahun 2005

Tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights

(Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik);

- Undang – undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

- Undang – undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;

- Undang – undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran;

23 Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa di dalam suatu penelitian hukum

tidak dikenal adanya data, namun sumber-sumber penelitian yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekurnder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan putusan peradilan. (Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Ed. Pertama, Cet Ke-2. Kencana; Jakarta, 2005. Hal. 141).


(31)

31

- Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik;

- Undang – undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Adapun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP) pada dasarnya merupakan undang-undang yang membentuk sistem hukum media. Akan tetapi, pada penulisan ini ketiga undang-undang tersebut tidak

dibahas oleh karena substansi

pengaturannya berbeda dengan tujuan penulisan ini, yakni fokus pada content

media berdasar prinsip kebebasan

berekspresi.

ii. Bahan Hukum Sekunder, yakni berupa

semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi yang mendukung bahan hukum

primer, yakni diantaranya mengenai

peraturan-peraturan yang merupakan

turunan dari bahan hukum primer.

iii. Bahan Hukum Tersier, yakni publikasi

ilmiah tentang hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik yang


(32)

32

berupa literatur, karya tulis ilmiah, buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan lain sebagainya yang membantu dalam menganalisis persoalan yang diteliti.

e. Unit Amatan dan Unit Analisis

Unit amatan dalam penulisan ini adalah peraturan perundang-undangan tentang media, terutama yang berkaitan dengan pengaturan mengenai isi media di Indonesia. Sedangkan unit analisisnya adalah dengan bagaimana kebebasan berekspresi diatur dan diakomodasi dalam peraturan tersebut, serta harmonisasi antar peraturan isi media. Titik berat pada penelitian ini adalah secara normatif hendak dilihat bagaimana akomodasi peraturan mengenai isi media tentang kebebasan berekspresi yang berlaku secara universal, yang dianalisis secara yuridis kualitatif.


(1)

27

hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan

hukum, kepastian hukum, keadilan dan

kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme

hukum.21 Di dalam perspektif

perundang-undangan, perlu ditata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terintegrasi. Hal ini penting dikarenakan dapat membantu penataan dan penyesuaian unsur-unsur tatanan hukum nasional, dengan meletakkan pola pikir yang dijiwai Pancasila dan bersumber pada UUD 1945. Dalam perspektif yang demikian, harmonisasi hukum dimaksud, koheren dengan sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu “terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”.22

Dengan topik tesis yang hendak menganalisa tentang pengaturan tentang content (isi) media, terutama yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi di Indonesia, maka keberagaman peraturan perundang-undangan tentang media, perlu ada harmonisasi dalam perspektif perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan tentang media dapat saling mengisi satu dengan yang lainnya. Dampak

21 LM Gandhie, dalam Kusnu Goesniadhie, op. cit. Hal. 71.

22 Lihat pada Penjelasan UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan


(2)

28

yuridisnya adalah bahwa kebebasan berekspresi dapat ditemukan makna yang sesuai dan selaras antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

G. Metode penelitian

Mengenai metode penelitian yang hendak dilakukan, dapat dijelaskan pada bagian berikut ini, yakni mengenai jenis penelitian, pendekatan, dan sumber-sumber penelitian yang hendak dikelola untuk mendapatkan gambaran yang sejelas mungkin tentang topik permasalahan yang diajukan.

a. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif-analitis, yakni penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif.

b. Tipe penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif, yakni bahwa dengan menekankan pada analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai content media, bahwa sampai sejauh mana peraturan perundang-undangan di


(3)

29

Indonesia tersebut memiliki kandungan makna kebebasan berekspresi (freedom of expression) yang memadai.

c. Pendekatan masalah

Di dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) untuk kemudian dilanjutkan dengan pendekatan filosofis (philosophical approach), yakni bahwa untuk mengkaji isu hukum dalam penelitian ini secara mendalam. Pendekatan konseptual

(conceptual approach) juga dilakukan untuk

melakukan penelitian ini tanpa beranjak dari peraturan yang ada. Pendekatan-pendekatan ini digunakan untuk meneliti peraturan

perundang-undangan yang mengatur content media di

Indonesia, sehingga akan dapat ditemukan kandungan akan konsep kebebasan berkeskpresi yang secara universal harus dilindungi. Adapun pendekatan-pendekatan ini digunakan untuk lebih dalam meneliti mengenai pemaknaan asas kebebasan berekspresi di dalam pengaturan mengenai media di Indonesia.

d. Bahan Hukum

Adapun di dalam penelitian ini, untuk

memecahkan isu hukum dan sekaligus

memberikan pretesis mengenai apa yang


(4)

30

penelitian.23 Sumber-sumber penelitian yang

digunakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

i. Bahan Hukum Primer, yakni terdiri dari

peraturan perundang-undangan, yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti, yakni diantaranya adalah:

- Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia No.

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

- Undang-Undang No. 12 Tahun 2005

Tentang Pengesahan International

Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik);

- Undang – undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

- Undang – undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;

- Undang – undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran;

23 Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa di dalam suatu penelitian hukum

tidak dikenal adanya data, namun sumber-sumber penelitian yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekurnder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi, risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan putusan peradilan. (Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Ed. Pertama, Cet Ke-2. Kencana; Jakarta, 2005. Hal. 141).


(5)

31

- Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik;

- Undang – undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.

Adapun Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik (KIP) pada dasarnya merupakan undang-undang yang membentuk sistem hukum media. Akan tetapi, pada penulisan ini ketiga undang-undang tersebut tidak

dibahas oleh karena substansi

pengaturannya berbeda dengan tujuan penulisan ini, yakni fokus pada content

media berdasar prinsip kebebasan

berekspresi.

ii. Bahan Hukum Sekunder, yakni berupa

semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi yang mendukung bahan hukum

primer, yakni diantaranya mengenai

peraturan-peraturan yang merupakan

turunan dari bahan hukum primer.

iii. Bahan Hukum Tersier, yakni publikasi ilmiah tentang hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, baik yang


(6)

32

berupa literatur, karya tulis ilmiah, buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan lain sebagainya yang membantu dalam menganalisis persoalan yang diteliti.

e. Unit Amatan dan Unit Analisis

Unit amatan dalam penulisan ini adalah peraturan perundang-undangan tentang media, terutama yang berkaitan dengan pengaturan mengenai isi media di Indonesia. Sedangkan unit analisisnya adalah dengan bagaimana kebebasan berekspresi diatur dan diakomodasi dalam peraturan tersebut, serta harmonisasi antar peraturan isi media. Titik berat pada penelitian ini adalah secara normatif hendak dilihat bagaimana akomodasi peraturan mengenai isi media tentang kebebasan berekspresi yang berlaku secara universal, yang dianalisis secara yuridis kualitatif.