Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Market Orientation dalam Manajemen dan Praktek Bisnis UMKM T2 912014029 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, akan diuraikan mengenai Usaha Kecil Menengah, definisi dan teori mengenai orientasi pasar, serta dipaparkan pula penelitian terdahulu terkait dengan orientasi pasar.

2.1 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)

Dalam website Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia, sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) :

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.


(2)

Tentang kriteria usaha mikro, kecil dan menengah dijelaskan dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008, yaitu sebagai berikut :

1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). 4. Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

a, huruf b, dan ayat (2) huruf a, huruf b, serta ayat (3) huruf a, huruf b nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden.


(3)

Berikut adalah kriteria UMKM menurut Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia:

Tabel 2.1 Kriteria UMKM

No. Jenis

Kriteria

Aset Omzet

1. Usaha Mikro Maks. 50 Juta Maks. 300 Juta

2. Usaha Kecil >50 Juta – 500

Juta

>300 Juta – 2,5 Miliar

3. Usaha Menengah >500 Juta – 10

Miliar

2,5 Miliar – 50 Miliar Sumber: www.depkop.go.id

Tedja suksmana (2014) menguraikan peran usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam perekonomian Indonesia dapat dilihat dari:

1. Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor.

2. Penyedia lapangan kerja yang terbesar.

3. Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat.

4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor masyarakat sehingga mengurangi tingkat kemiskinan dan lain-lain.

Pada infoukm.wordpress.com disebutkan bahwa dalam perkembangannya, UMKM dapat diklasifikasi menjadi 4 kelompok, yaitu:

1. Livelihood Activities

UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari penghasilan, yang lebih dikenal


(4)

sebagai sektor informal. Contohnya pedagang kaki lima.

2. Micro Enterprise

UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan.

3. Small Dynamic Enterprise

UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor.

4. Fast Moving Enterprise

UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan terbukti menjadi katup pengaman perekonomian nasional dalam masa krisis, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. Secara riil UMKM juga sebagai sektor usaha yang paling besar kontribusinya terhadap pembangunan nasional (Ariyani, 2011).

2.2 Orientasi Pasar

Dalgic (2000) menyebutkan bahwa orientasi pasar diklasifikasikan di cara yang berbeda oleh beberapa peneliti. Berikut adalah beberapa klasifikasi menurut Dalgic yang sering digunakan:

- Filosofi korporasi: dasar dan pandangan yang digunakan perusahaan.

- Implementasi dalam konsep pemasaran: sebuah strategi yang berkelanjutan.

- Sesuatu yang ideal: dilakukan dan diimplementasikan pada cara kerja perusahaan. - Pernyataan hukum atau aturan: menjadi aturan

dalam perusahaan.

- Sebuah kepercayaan: orientasi pasar dipercayai jika diimplementasikan dengan benar dapat meningkatkan kinerja perusahaan.


(5)

Orientasi pasar juga dapat dideskripsikan sebagai bentuk dari budaya keorganisasian yang menempatkan penciptaan keuntungan pada prioritas tertinggi dan memperbaiki nilai superior pelanggan sambil mempertimbangkan ketertarikan dari pemangku kepentingan lainnya. Selain itu juga memberikan norma-norma perilaku mengenai pengembangan organisasi yang tanggap terhadap informasi pasar.

- Konsep periode atau tahap perkembangan dan tingkat kematangan sebuah organisasi yang sejalan dengan perkembangan ekonomi pasar nasional di mana ia beroperasi.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pemahaman orientasi pasar sebagai budaya keorganisasian karena penerapan orientasi pasar di sini menuntut perusahaan untuk terus menciptakan nilai pelanggan dan juga memahami keinginan pelanggan. Perusahaan juga harus responsif dengan situasi dan keadaan pasar demi mempertahankan dan meningkatkan posisi perusahaannya di pasar.

Dalgic (2000) mendeskripsikan orientasi pasar sebagai tingkatan perkembangan organisasi atau aras yang merefleksikan kedewasaan sekaligus perkembangan ekonomi nasional. Dalgic berpendapat bahwa orientasi pasar secara alami berkembang dari praktek penjualan dengan memahami pelanggan, baik masalah dan kebutuhan mereka menjadi pemberian solusi dan kepuasan atas semua kebutuhan pelanggan. Orientasi pasar merupakan sesuatu yang penting bagi perusahaan sejalan dengan meningkatnya persaingan global dan perubahan dalam kebutuhan pelanggan dimana perusahaan menyadari bahwa mereka harus selalu dekat dengan pasarnya (Dewi, 2006). Narver dan Slater (2000) mengartikan bahwa orientasi pasar adalah budaya bisnis yang menghasilkan kinerja yang sangat baik melalui sebuah komitmen untuk menciptakan nilai superior bagi pelanggan. Nilai-nilai


(6)

dan keyakinan orientasi pasar ini mendorong pembelajaran berkelanjutan tentang pelanggan yang menekankan kebutuhan, dan strategi, serta tindakan terkoordinasi untuk menciptakan eksploitasi belajar.

Kohli dan Jaworski (1990) menyatakan bahwa orientasi pasar merupakan hal yang membedakan antara satu perusahaan dengan yang lainnya, yang bersaing secara sehat dalam ekonomi modern yang penuh tuntutan dan canggih. Orientasi pa sar menurut Kook (2002), tidak hanya berfokus pada pelanggan tetapi juga pada para pesaing, berbagai masalah organisasi dan berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi preferensi kebutuhan pelanggan. Orientasi pasar menurut Amirdadjoo et al (2015) merupakan tahapan dalam pengembangan organisasi atau aras dari kedewasaan organisasi.

Schloser dan McNaughton (2004) menyatakan agar berorientasi pasar, diperlukan kemampuan untuk menghasilkan dan memahami pasar, serta mampu untuk mengelola fungsi-fungsi yang dapat memperkuat keunggulan kompetitif sebuah perusahaan. Kohli dan Jaworski (1990) mendefinisikan orientasi pasar mencakup satu atau lebih departemen yang terlibat dalam kegiatan untuk mengembangkan pemahaman tentang kebutuhan pelanggan saat ini serta masa depan, memahami faktor-faktor yang mempengaruhi mereka dan berbagi pemahaman ini di seluruh departemen. Selanjutnya berbagai departemen tersebut kemudian terlibat dalam kegiatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pelanggan yang pilih. Dengan kata lain, orientasi pasar mengacu pada organisasi yang luas, diseminasi, dan tanggap terhadap intelijen pasar.

Hooley, Piercy, dan Nicolaud (2012) mendefinisikan orientasi pasar berdasarkan 5 komponennya, yaitu:


(7)

Orientasi pelanggan adalah memahami pelanggan dengan baik secara berkelanjutan untuk menciptakan nilai superior bagi pelanggan. Pelanggan merupakan konsumen akhir, berarti fokus organisasi yang pertama adalah berfokus pada pelanggan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta lentur. Pada konsep baru, proses utama bisnis adalah nilai produk demi kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Menurut Taleghani, et al (2013) semua perusahaan yang berorientasi pelanggan memiliki tiga fitur:

1. Mereka menjadi berorientasi pelanggan ketika semuanya tahu tentang pelanggan mereka dan dari kebutuhan individu di masa lalu mereka, sekarang dan masa depan dengan membuat gambaran yang komprehensif dan tepat.

2. Mereka tahu bahwa jika karyawan tidak ingin informasi tentang pelanggan diberikan kepada kompetitor.

3. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya membuat keputusan tentang produk dan layanan mereka, tetapi menciptakan strategi dan struktur organisasi dari pandangan dan informasi yang benar yang akan digunakan. Seiring waktu, perusahaan-perusahaan ini telah membuat koordinasi lebih antara departemen internal dan menemukan cara-cara baru untuk mengelola arus informasi dan menemukan prosedur untuk pengambilan keputusan yang dianggap merupakan minat pelanggan dan/ atau kebutuhannya.

b. Competitor orientation (orientasi pesaing)

Orientasi pesaing adalah kesadaran akan kemampuan jangka pendek dan panjang dari pesaing. Narver, dan Slater (1990) menyatakan orientasi pesaing berarti terus memahami kemampuan dan strategi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan sebagai tujuan organisasi dan penggunaan pengetahuan dalam rangka menciptakan nilai pelanggan yang unggul dan setiap


(8)

perusahaan harus memiliki kebijakan pemasaran. Perusahaan yang berorientasi pesaing adalah perusahaan yang mengatur praktek dan kegiatan yang digunakan untuk memengaruhi tindakan dan reaksi pesaing. Perusahaan yang berorientasi pesaing menghabiskan waktu mereka pada isu-isu yang lebih penting dari gerakan pesaing dan pasar, dan mencoba untuk menemukan kebijakan yang dapat diterapkan terhadap mereka. Kadang-kadang perusahaan, berdasarkan kekuatan dan kelemahan mereka memiliki hubungan terhadap pesaing dan analisis strategi bersaing telah direncanakan (Heiens, 2000).

Ketika bisnis telah cenderung memiliki orientasi pesaing, akan ada evaluasi kembali kekuatan dan kelemahan dari pesaing mereka. Evaluasi kinerja ini dapat mencakup produktivitas manufaktur, harga, waktu pengiriman, kepuasan pelanggan, inovasi, dan retensi karyawan dan pangsa pasar. Dalam sistem ekonomi yang kompetitif, setiap perusahaan mencoba untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri mereka sendiri dengan mengorbankan pesaing mereka.

c. Interfunctional coordination (koordinasi antar fungsi) Koordinasi antar fungsi adalah menggunakan semua sumber daya perusahaan untuk menciptakan nilai bagi pelanggan sasaran. Koordinasi antar fungsi mencakup semua fungsi organisasi, operasi pelanggan dan informasi pasar dalam rangka menciptakan nilai bagi pelanggan. Juga Tse, et al (2003) menyatakan bahwa koordinasi antar fungsi adalah penyebaran informasi tentang pelanggan dan pesaing di antara semua bagian dari staf dan organisasi dalam rangka membuat pemahaman yang benar tentang kebutuhan dan keinginan pelanggan, dan perencanaan untuk mengatasi dalam kompetisi. Mereka membagi koordinasi antar fungsi menjadi empat bagian, yaitu: integrasi fungsional dalam strategi, berbagi informasi di antara fungsi, penyebaran informasi, dan koordinasi antara semua


(9)

unit untuk menciptakan nilai bagi pelanggan. Zhou et al (2005) mengemukakan bahwa koordinasi antar fungsi dalam organisasi harus mampu melakukan peran:

1. Mendistribusikan sumber daya perusahaan kepada unit bisnis lain yang ada di dalamnya. 2. Semua fungsi harus dimanfaatkan untuk

memahami pelanggannya.

3. Mendistribusikan semua informasi untuk semua fungsi.

4. Semua fungsi harus diintegrasikan untuk mendukung strategi perusahaan.

5. Semua fungsi harus memberi kontribusi dalam menciptakan nilai pelanggan.

Purwasari dan Suprapto (2014) menyatakan bahwa perusahaan harus memiliki kemampuan khusus dengan tugas individual untuk diintegrasikan ke dalam fungsi yang lebih luas cakupannya seperti kemampuan pemasaran, riset, dan pengembangan. Integrasi antar fungsi dalam organisasi memerlukan sumber daya, khususnya pengetahuan dan keahlian dari setiap pekerja sehingga dapat mendukung organisasi dalam menyajikan nilai terbaik bagi pelanggannya.

d. Organisational culture (budaya keorganisasian)

Budaya perusahaan atau keorganisasian menghubungkan para pekerja atau karyawan dan para manajer dengan kepuasan pelanggan. Budaya keorganisasian adalah bagaimana organisasi mengajarkan kepada karyawan lama maupun karyawan baru cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasakan hubungan antar fungsi (Schein, 1984). Budaya keorganisasian dapat diekspresikan sebagai konsep pemasaran, yaitu sekumpulan nilai dan kepercayaan yang mendorong organisasi melalui komitmen mendasar untuk melayani kebutuhan pelanggan sebagai jalan menuju keuntungan yang berkelanjutan (Keith, 1960).


(10)

e. Long-term focus (fokus jangka panjang)

Fokus jangka panjang adalah bagaimana perusahaan dapat menjaga kestabilan dan meningkatkan kinerja perusahaan, serta menjaga hubungan dengan pelanggan dalam waktu yang lama. Orientasi pasar memiliki fokus utama jangka panjang baik dalam kaitannya dengan keuntungan dan dalam implementasi komponen perilaku orientasi pasar lainnya. Demi kelangsungan hidup jangka panjang dengan adanya persaingan, bisnis tidak dapat menghindari perspektif jangka panjang dan harus terus-menerus menemukan dan menerapkan nilai tambah bagi pelanggan, yang memerlukan berbagai taktik dan investasi yang tepat. Anderson (1982) menekankan bahwa perspektif investasi jangka panjang adalah bagian tersirat dalam orientasi pasar.

Narver dan Slater (1994) menyatakan bahwa pencapaian orientasi pasar dikaitkan dengan adanya kinerja yang unggul dan juga manfaat internal perusahaan, misalnya komitmen karyawan. Namun, terdapat kemungkinan akan adanya hambatan yang substansial dalam mencapai orientasi pasar. Hambatan yang jelas nyata adalah kecenderungan bisnis untuk fokus pada kegiatan internal, pemahaman yang buruk dari kebutuhan pelanggan saat ini dan yang mendesak, kurangnya komitmen untuk mencapai orientasi pasar oleh manajemen senior dan menengah, kegagalan untuk mengembangkan budaya abadi untuk mendukung perilaku yang berorientasi pasar, dan ketidakmampuan untuk melihat bahwa semua kegiatan dari bisnis adalah titik sentuh untuk tercapainya kepuasan pelanggan (Piercy et al, 2012).

Dalam penerapan orientasi pasar pada perusahaan, terdapat dua jenis perusahaan yang memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Berikut adalah dua tipe perusahaan tersebut:


(11)

Tipe A Tipe B

Filosofi orientasi pelanggan. Orientasi pelanggan diterima

ketika pasar membutuhkannya. Keyakinan bahwa keuntungan

didapatkan dari pelanggan yang puas.

Menekankan pada pemotongan biaya dan memaksimalkan keuntungan.

Perusahaan yang terus belajar. Belajar jika pesaing membuatnya

diperlukan. Berbasis pada

pelanggan/pesaing/pemegang kepentingan/ teknologi.

Berbasis pada pesaing.

Ramping, bermakna, dan lentur. Besar, terdapat birokrasi.

Kepemimpinan dan budaya keorganisasian yang kuat untuk layanan pelanggan.

Perubahan budaya keorganisasian.

Inovatif. Imitatif.

Memiliki fokus jangka panjang. Memiliki fokus jangka pendek.

Sumber: Dalgic (2000)

Selanjutnya, Dalgic (2000) menguraikan sebuah panduan untuk menanamkan orientasi pasar pada perusahaan, diantaranya:

- Menaruh CEO dan tim manajer sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam proses penanaman orientasi pasar.

-

Memastikan bahwa alasan untuk berubah ke arah orientasi pasar jelas dikomunikasikan kepada setiap individu di perusahaan dengan segala cara komunikasi.

-

Ciptakan lingkungan internal untuk konsultasi dan loloh balik.

-

Ambil waktu untuk menyelesaikan proses perubahan termasuk tahap loloh balik.


(12)

-

Libatkan keryawan dan berikan mereka keleluasan untuk mengerjakan perubahan bagi area fungsional mereka.

-

Menyediakan pelatihan dengan nilai-nilai yang baru, metode kinerja, dan pemahaman pelanggan dan peningkatan kualitas layanan.

-

Mengakui dan memberi penghargaan kepada karyawan yang berhasil.

1.3 Makanan Pokok (Staple Food)

Wikipedia.com menjelaskan bahwa makanan pokok (staple food) adalah makanan yang menjadi gizi dasar, namun tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu makanan pokok dimakan bersama dengan lauk pauk untuk memenuhi kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, ada yang berasal dari tanaman, baik dari serealia seperti beras, gandum, jagung, maupun umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, talas dan singkong.


(1)

Orientasi pelanggan adalah memahami pelanggan dengan baik secara berkelanjutan untuk menciptakan nilai superior bagi pelanggan. Pelanggan merupakan konsumen akhir, berarti fokus organisasi yang pertama adalah berfokus pada pelanggan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan, serta lentur. Pada konsep baru, proses utama bisnis adalah nilai produk demi kepuasan dan kesetiaan pelanggan. Menurut Taleghani, et al (2013) semua perusahaan yang berorientasi pelanggan memiliki tiga fitur:

1. Mereka menjadi berorientasi pelanggan ketika semuanya tahu tentang pelanggan mereka dan dari kebutuhan individu di masa lalu mereka, sekarang dan masa depan dengan membuat gambaran yang komprehensif dan tepat.

2. Mereka tahu bahwa jika karyawan tidak ingin informasi tentang pelanggan diberikan kepada kompetitor.

3. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya membuat keputusan tentang produk dan layanan mereka, tetapi menciptakan strategi dan struktur organisasi dari pandangan dan informasi yang benar yang akan digunakan. Seiring waktu, perusahaan-perusahaan ini telah membuat koordinasi lebih antara departemen internal dan menemukan cara-cara baru untuk mengelola arus informasi dan menemukan prosedur untuk pengambilan keputusan yang dianggap merupakan minat pelanggan dan/ atau kebutuhannya.

b. Competitor orientation (orientasi pesaing)

Orientasi pesaing adalah kesadaran akan kemampuan jangka pendek dan panjang dari pesaing. Narver, dan Slater (1990) menyatakan orientasi pesaing berarti terus memahami kemampuan dan strategi untuk memenuhi kebutuhan pelanggan sebagai tujuan organisasi dan penggunaan pengetahuan dalam rangka menciptakan nilai pelanggan yang unggul dan setiap


(2)

perusahaan harus memiliki kebijakan pemasaran. Perusahaan yang berorientasi pesaing adalah perusahaan yang mengatur praktek dan kegiatan yang digunakan untuk memengaruhi tindakan dan reaksi pesaing. Perusahaan yang berorientasi pesaing menghabiskan waktu mereka pada isu-isu yang lebih penting dari gerakan pesaing dan pasar, dan mencoba untuk menemukan kebijakan yang dapat diterapkan terhadap mereka. Kadang-kadang perusahaan, berdasarkan kekuatan dan kelemahan mereka memiliki hubungan terhadap pesaing dan analisis strategi bersaing telah direncanakan (Heiens, 2000).

Ketika bisnis telah cenderung memiliki orientasi pesaing, akan ada evaluasi kembali kekuatan dan kelemahan dari pesaing mereka. Evaluasi kinerja ini dapat mencakup produktivitas manufaktur, harga, waktu pengiriman, kepuasan pelanggan, inovasi, dan retensi karyawan dan pangsa pasar. Dalam sistem ekonomi yang kompetitif, setiap perusahaan mencoba untuk memaksimalkan keuntungan bagi diri mereka sendiri dengan mengorbankan pesaing mereka.

c. Interfunctional coordination (koordinasi antar fungsi) Koordinasi antar fungsi adalah menggunakan semua sumber daya perusahaan untuk menciptakan nilai bagi pelanggan sasaran. Koordinasi antar fungsi mencakup semua fungsi organisasi, operasi pelanggan dan informasi pasar dalam rangka menciptakan nilai bagi pelanggan. Juga Tse, et al (2003) menyatakan bahwa koordinasi antar fungsi adalah penyebaran informasi tentang pelanggan dan pesaing di antara semua bagian dari staf dan organisasi dalam rangka membuat pemahaman yang benar tentang kebutuhan dan keinginan pelanggan, dan perencanaan untuk mengatasi dalam kompetisi. Mereka membagi koordinasi antar fungsi menjadi empat bagian, yaitu: integrasi fungsional dalam strategi, berbagi informasi di antara fungsi, penyebaran informasi, dan koordinasi antara semua


(3)

unit untuk menciptakan nilai bagi pelanggan. Zhou

et al (2005) mengemukakan bahwa koordinasi antar

fungsi dalam organisasi harus mampu melakukan peran:

1. Mendistribusikan sumber daya perusahaan kepada unit bisnis lain yang ada di dalamnya. 2. Semua fungsi harus dimanfaatkan untuk

memahami pelanggannya.

3. Mendistribusikan semua informasi untuk semua fungsi.

4. Semua fungsi harus diintegrasikan untuk mendukung strategi perusahaan.

5. Semua fungsi harus memberi kontribusi dalam menciptakan nilai pelanggan.

Purwasari dan Suprapto (2014) menyatakan bahwa perusahaan harus memiliki kemampuan khusus dengan tugas individual untuk diintegrasikan ke dalam fungsi yang lebih luas cakupannya seperti kemampuan pemasaran, riset, dan pengembangan. Integrasi antar fungsi dalam organisasi memerlukan sumber daya, khususnya pengetahuan dan keahlian dari setiap pekerja sehingga dapat mendukung organisasi dalam menyajikan nilai terbaik bagi pelanggannya.

d. Organisational culture (budaya keorganisasian)

Budaya perusahaan atau keorganisasian menghubungkan para pekerja atau karyawan dan para manajer dengan kepuasan pelanggan. Budaya keorganisasian adalah bagaimana organisasi mengajarkan kepada karyawan lama maupun karyawan baru cara yang benar untuk memahami, berpikir, dan merasakan hubungan antar fungsi (Schein, 1984). Budaya keorganisasian dapat diekspresikan sebagai konsep pemasaran, yaitu sekumpulan nilai dan kepercayaan yang mendorong organisasi melalui komitmen mendasar untuk melayani kebutuhan pelanggan sebagai jalan menuju keuntungan yang berkelanjutan (Keith, 1960).


(4)

e. Long-term focus (fokus jangka panjang)

Fokus jangka panjang adalah bagaimana perusahaan dapat menjaga kestabilan dan meningkatkan kinerja perusahaan, serta menjaga hubungan dengan pelanggan dalam waktu yang lama. Orientasi pasar memiliki fokus utama jangka panjang baik dalam kaitannya dengan keuntungan dan dalam implementasi komponen perilaku orientasi pasar lainnya. Demi kelangsungan hidup jangka panjang dengan adanya persaingan, bisnis tidak dapat menghindari perspektif jangka panjang dan harus terus-menerus menemukan dan menerapkan nilai tambah bagi pelanggan, yang memerlukan berbagai taktik dan investasi yang tepat. Anderson (1982) menekankan bahwa perspektif investasi jangka panjang adalah bagian tersirat dalam orientasi pasar.

Narver dan Slater (1994) menyatakan bahwa pencapaian orientasi pasar dikaitkan dengan adanya kinerja yang unggul dan juga manfaat internal perusahaan, misalnya komitmen karyawan. Namun, terdapat kemungkinan akan adanya hambatan yang substansial dalam mencapai orientasi pasar. Hambatan yang jelas nyata adalah kecenderungan bisnis untuk fokus pada kegiatan internal, pemahaman yang buruk dari kebutuhan pelanggan saat ini dan yang mendesak, kurangnya komitmen untuk mencapai orientasi pasar oleh manajemen senior dan menengah, kegagalan untuk mengembangkan budaya abadi untuk mendukung perilaku yang berorientasi pasar, dan ketidakmampuan untuk melihat bahwa semua kegiatan dari bisnis adalah titik sentuh untuk tercapainya kepuasan pelanggan (Piercy et al, 2012).

Dalam penerapan orientasi pasar pada perusahaan, terdapat dua jenis perusahaan yang memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Berikut adalah dua tipe perusahaan tersebut:


(5)

Tipe A Tipe B

Filosofi orientasi pelanggan. Orientasi pelanggan diterima

ketika pasar membutuhkannya. Keyakinan bahwa keuntungan

didapatkan dari pelanggan yang puas.

Menekankan pada pemotongan biaya dan memaksimalkan keuntungan.

Perusahaan yang terus belajar. Belajar jika pesaing membuatnya

diperlukan. Berbasis pada

pelanggan/pesaing/pemegang kepentingan/ teknologi.

Berbasis pada pesaing.

Ramping, bermakna, dan lentur. Besar, terdapat birokrasi.

Kepemimpinan dan budaya keorganisasian yang kuat untuk layanan pelanggan.

Perubahan budaya keorganisasian.

Inovatif. Imitatif.

Memiliki fokus jangka panjang. Memiliki fokus jangka pendek.

Sumber: Dalgic (2000)

Selanjutnya, Dalgic (2000) menguraikan sebuah panduan untuk menanamkan orientasi pasar pada perusahaan, diantaranya:

- Menaruh CEO dan tim manajer sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam proses penanaman orientasi pasar.

-

Memastikan bahwa alasan untuk berubah ke arah orientasi pasar jelas dikomunikasikan kepada setiap individu di perusahaan dengan segala cara komunikasi.

-

Ciptakan lingkungan internal untuk konsultasi dan loloh balik.

-

Ambil waktu untuk menyelesaikan proses perubahan termasuk tahap loloh balik.


(6)

-

Libatkan keryawan dan berikan mereka keleluasan untuk mengerjakan perubahan bagi area fungsional mereka.

-

Menyediakan pelatihan dengan nilai-nilai yang baru, metode kinerja, dan pemahaman pelanggan dan peningkatan kualitas layanan.

-

Mengakui dan memberi penghargaan kepada karyawan yang berhasil.

1.3 Makanan Pokok (Staple Food)

Wikipedia.com menjelaskan bahwa makanan pokok (staple food) adalah makanan yang menjadi gizi dasar, namun tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Oleh karena itu makanan pokok dimakan bersama dengan lauk pauk untuk memenuhi kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, ada yang berasal dari tanaman, baik dari serealia seperti beras, gandum, jagung, maupun umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, talas dan singkong.