Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi sebagai Prediktor Sasaran Kerja Pegawai di SMK Negeri 3 Ambon T2 832014013 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Guru sebagai pelaksana pengajaran memiliki tanggung jawab yang besar baik kepada dirinya, maupun kepada lembaga dan orang lain. Dengan peran ganda yang dimiliki seorang guru yakni tidak terbatas hanya sebagai pengajar yang akan memberikan ilmu yang dimilikinya kepada peserta didik namun juga mempunyai peran besar lainnya yang sangat kompleks untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sesuai dengan Undang-undang yang ada di Indonesia untuk memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan khususnya di sekolah kejuruan sebagai tempat berkarya bagi seorang guru, maka guru harus memberikan hasil yang optimal supaya dapat tercapai.

A. Kinerja Guru

1. Definisi Kinerja Guru

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2011 mengenai Sasaran Kerja Pegawai (SKP) didefinisikan sebagai suatu hasil kerja yang dicapai oleh setiap pegawai pada suatu satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja yang meliputi orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, dan kerja sama. Sehingga didaptkan tingkat keberhasilan guru dari tugas yang dilaksanakannya (kinerja).

Menurut Echols dan Shadily (2005) dalam Kamus Inggris-Indonesia berarti pertunjukan; perbuatan; daya guna, prestasi, hasil; pelaksanaan, penyelenggaraan dan pergelaran. Maier (1965, dalam Wijono, 2010) kinerja didefinisikan sebagai suatu keberhasilan dari suatu individu dalam menjalankan tugasanya. Sejalan dengan definisi itu Wood dkk. (2001) yang menyatakan bahwa kinerja adalah pencapaian prestasi secara kuantitas maupun kualitas baik secara individu, kelompok maupun organisasi.


(2)

Bernardin dan Russel (1998) memberikan definisi tentang kinerja sebagai catatan tentang hasil–hasil yang diperoleh dari fungsi-fungsi pekerjaan tertentu atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu.

Selain itu, Barnawi dan Arifin (2012) mengemukakan bahwa kinerja guru diartikan sebagai tingkat keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas pendidikan sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya berdasarkan standar kinerja yang telah ditetapkan selama periode tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya, kinerja guru dapat mencerminkan kemampuan kerja guru yang terlihat dari penampilan kerja guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Jika kemampuan kerja seorang guru bagus, maka kinerjanya juga akan semakin tinggi. Sebaliknya jika kemampuan kerja seorang guru tidak bagus, maka kinerjanya juga akan semakin rendah. Menurut Uno (2012) terdapat dua tugas guru yang dijadikan acuan untuk mengukur kinerja guru, kedua tugas tersebut adalah tugas yang berkaitan dengan kegiatan proses pembelajaran, dan tugas yang berkaitan dengan penataan, serta perencanaan yang berkaitan dengan tugas pembelajaran.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka definisi yang digunakan yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2011bahwa kinerja sebagai suatu hasil kerja yang dicapai oleh setiap pegawai pada suatu satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja.

2. Teori Kinerja

Teori tentang performance yang dikemukakan Maier (1965, dalam As’ad, 2002) dalam hal ini teori psikologi tentang proses tingkah laku kerja seseorang, sehingga menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaanya. Lebih lanjut ia mengatakan perbedaan performance kerja antara satu orang dengan orang lainnya didalam situasi kerja disebabkan perbedaan


(3)

karakteristik dari individu. Di samping itu, orang yang sama dapat menghasilkan performance kerja yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Hal ini menerangkan bahwa performance kerja itu pada garis besarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu, faktor-faktor individu dan faktor situasi.

Selain itu teori kinerja menurut Robbins (2003) tingkat kinerja pegawai akan sangat tergantung pada dua faktor yaitu kemampuan pegawai dan motivasi kerja. Kemampuan pegawai seperti: tingkat pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman. Tingkat kemampuan akan dapat mempengaruhi hasil kinerja pegawai dimana semakin tinggi tingkat kemampuan pegawai akan menghasilkan kinerja yang semakin tinggi pula. Faktor lain adalah motivasi kerja yaitu dorongan dari dalam pegawai untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan adanya motivasi kerja yang tinggi pegawai akan terdorong untuk melakukan suatu pekerjaan sebaik mungkin yang akan mempengaruhi hasil kinerja. Semakin tinggi motivasi yang dimiliki semakin tinggi pula kinerja yang dapat dihasilkan.

Menurut Wexley dan Yukl (2005, dalam Sinambela, 2012) kinerja merupakan implementasi dari teori keseimbangan yang mengatakan bahwa seseorang akan menunjukan prestasi yang optimal bila ia mendapatkan manfaat dan terdapat adanya rangsangan dalam pekerjaanya secara adil dan masuk akal. Teori keseimbangan ini memperlihatkan bahwa kinerja yang optimal akan dapat dicapai jika terdapat rasa keadilan yang dirasakan pegawai. Kemudian menurut teori Gibson dkk. (1997, dalam Sinambela, 2012) dalam suatu organisasi atau dalam masyarakat, para individu menyumbangkan kinerjanya kepada kelompok selanjutnya kelompok akan menyumbangkan kinerjanya kepada organisasi atau masyarkat. Dalam organisasi yang efektif manejeman selalu menciptakan sinergi yang positif yang menghasilakan satu keseluruhan menjadi lebih besar dari jumlah seluiruh komponen bagiannya.


(4)

Selain itu, ada teori kinerja menurut Atribusi atau Expectancy Theory, yang dikemukakan oleh Heider (1958) pendekatan atribusi mengenai kinerja dirumuskan sebagai berikut: K= M x A, yaitu K adalah kinerja, M adalah motivasi, dan A adalah ability. Konsep ini menjadi sangat populer dan sering kali diikuti oleh ahli-ahli lain, menurut teori ini, kinerja adalah interaksi antara motivasi dengan ability (kemampuan dasar).

Lebih lanjut, Guion (1965) mengatakan bahwa kinerja mempunyai dua hal yaitu pertama, secara kuantitas mengacu pada hasil dari suatu perilaku kerja yang dilakukan. Kedua, sudut kualitas dimana kinerja mengacu pada bagaimana kesempurnaan seseorang dalam melakukan pekerjaan. Sim dan Szilagy (1976) juga mengatakan kinerja dinilai dari segi dimensi kualitas kerja, kuantitas kerja, keterikatan, keahlian merencanakan, daya usaha dalam pekerjaan dan prestasi secara keseluruhan. Selain itu, Gibson at el. (1997) mengungkapkan bahwa kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti: kualitas, efisiensi dan kriteria efektivitas kerja lainnya. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh individu.

Menurut Mathis & Jackson (2000), kinerja mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi. Kinerja merupakan hal yang sangat penting dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai denga tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2001). Selain itu Silberman dan Philip (2001) kinerja guru merupakan kemampuan dan kinerja guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang guru


(5)

Dari beberapa penjelasan teori diatas dan dasar pembuatan Sasaran Kerja Pegawai (SKP) yang mengacu pada teori yang membahas mengenai kinerja diantaranya menurut Silberman (2001), Mangkunegara (2001) dan berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2011.

2. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja menurut Rivai dan Sagala (2010) merupakan hasil kerja individu dalam lingkup tanggung jawabnya. Penilaian kinerja mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur yang digunakan untuk mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat ketidakhadiran.

Sejalan dengan itu, Schultz (2006) menjelaskan bahwa penilaian kerja merupakan evaluasi formal kinerja karyawan yang secara periodik dilakukan untuk tujuan pembuatan keputusan karier. Sementara itu, menurut Spector (2007) penilaian kinerja merupakan proses dua langkah di mana langkah pertama mendefinisikan secara jelas makna kinerja yang baik (pengembangan kriteria) kemudian diimplementasikan dalam sebuah prosedur pengukuran yang dapat menentukan seberapa baiknya kriteria itu.

Menurut Rivai dan Sagala (2010) dalam penilaian kinerja perlu memiliki :

1. Standar kinerja

Sistem penilaian memerlukan standar kinerja yang mencerminkan seberapa jauh keberhasilan sebuah pekerjaan dicapai. Agar efektif, standar perlu berhubungan dengan hasil yang diinginkan dari tiap pekerjaan. Hal tersebut dapat diuraikan dari analisis pekerjaan dengan menganalisis hubungannya dengan kinerja karyawan saat sekarang. Untuk menjaga akuntabilitas karyawan, harus ada peraturan-peraturan tertulis dan diberitahukan kepada karyawan sebelum dilakukan evaluasi.


(6)

Idealnya, penilaian setiap kinerja karyawan harus didasarkan pada kinerja nyata dari unsur yang kritis yang diidentifikasi melalui analisis pekerjaan.

2. Ukuran Kinerja

Penilaian kinerja juga memerlukan ukuran atau standar kinerja yang dapat diandalkan yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja. Agar terjadi penilaian yang kritis dalam menentukan kinerja, ukuran yang handal juga hendaknya dapat dibandingkan dengan cara lain dengan standar yang sama untuk mencapai kesimpulan sama tentang kinerja sehingga menambah reliabilitas sistem penilaian.

3. Manfaat Penilaian Kinerja Guru

Menurut Shanti (2011, dalam Mullins, 1994) menjelaskan beberapa manfaat dari penilaian kinerja baik bagi individu maupun bagi organisasi, sebagai berikut :

1. Dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan individu.

2. Dapat membantu menyatakan masalah-masalah yang membatasi kemajuan dan menyebabkan tidak efisiennya pekerjaan.

3. Dapat mengembangkan konsistensi tingkat tinggi melalui umpan balik dalam kinerja dan pembahasan mengenai potensi-potensi yang ada. 4. Dapat menyediakan informasi mengenai rencana kekuatan sumber daya

yang ada, untuk membantu suksesnya perencanaan, untuk menentukan kesesuaian untuk promosi, dan fakta-fakta untuk jabatan dan pelatihan. 5. Dapat memperbaiki komunikasi, dengan memberikan kesempatan

kepada karyawan menyampaikan ide dan harapan mereka serta bagaimana perkembangan dan kemajuan mereka.


(7)

Selain itu, menurut Mangkupawira (2007) ada beberapa manfaat dari penilaian kinerja karyawan adalah: perbaikan kinerja, penyesuaian kompensasi, keputusan penetapan, kebutuhan pelatihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir, efisiensi proses penempatan staf, ketidakakuratan informasi, kesalahan rancangan pekerjaan, kesempatan kerja yang sama, tantangan-tantangan eksternal dan umpan balik pada SDM.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa penilaian kinerja penting dilakukan oleh suatu sekolah untuk perbaikan kinerja guru itu sendiri maupun untuk sekolah dalam hal menyusun kembali rencana atau strategi baru untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Penilaian yang dilakukan dapat menjadi masukan bagi guru dalam memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya.

4. Metode Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja menurut Spector (2007) terbagi dalam dua kategori penilaian. Pertama adalah penilaian kinerja secara objektif dan kedua adalah penilaian subjektif. Penilaian kinerja secara objektif merupakan jumlah dari berbagai perilaku seseorang dalam bekerja seperti jumlah kehadiran dalam pekerjaan atau merupakan hasil dari perilaku kerja. Terdapat lima hal umum dalam penilaian objektif ini yaitu ketidakhadiran, kecelakaan, kejadian di tempat kerja, keterlambatan, dan produktivitas. Penilaian kinerja dalam bentuk penilaian subjektif banyak digunakan untuk menilai kinerja seseorang yang dinilai langsung oleh atasan, atau dalam penelitian ini yang menjadi penilai adalah kepala sekolah. Terdapat beberapa tipe dalam penilaian subjektif ini, di antaranya adalah :

1. Graphic Rating Form, penilaian ini paling populer dalam menilai individu pada beberapa dimensi kinerja. Penilaian ini fokus pada karakteristik atau sifat dan bakat individu serta kinerja individu.


(8)

Penilaian ini banyak menanyakan kualitas dan kuantitas kerja serta termasuk di dalamnya sifat-sifat pribadi seperti penampilam, sikap, keandalan, dan motivasi.

2. Behavior-Focused Rating Forms, penilaian ini konsentrasi pada hal-hal yang spesifik yang seseorang telah kerjakan dan yang diharapan untuk dilakukan. Penilaian ini terbagi dalam tiga tipe penilaian yaitu Behaviorally Anchored Rating Scale, Mixed Standard Scale, dan Behavior Observation Scale.

3. Development of Behavior-Focused Forms, penilaian ini diambil dari usaha yang sungguh-sungguh dari beberapa orang dalam sebuah organisasi.

Dalam penelitian ini, penilaian kinerja menggunakan model Behaviorally Anchored Rating Scale (BARS). Penilaian kinerja model BARS ini adalah suatu cara penilaian kinerja karyawan untuk satu kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat kinerja dengan perilaku tertentu (Rivai dan Sagala, 2010). Penilaian kinerja dalam penelitian ini berdasarkan bentuk penilaian subjektif atau penilaian kinerja judgmental dengan metode yang masih berorientasi pada masa lalu.

Oleh karena responden dalam penelitian ini guru SMK yang merupakan bagian dari pegawai negeri sipil, maka metode penilaian kinerja di atas sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini. Dalam penilaian perilaku kinerja untuk pegawai negeri sipil menggunakan pedoman dari Peraturaran Pemerintah No 46 Tahun 2011. Dalam pelaksanaan penilaian kinerja ini, penilai adalah atasan langsung dari yang dinilai dan penilaian dilakukan selama kurun waktu satu tahun sehingga hasil penilaian akan dikeluarkan pada setiap akhir tahun. Dengan demikian, dalam penelitian ini penilaian kinerja yang dimaksud adalah penilaian kinerja yang menggunakan metode penilaian kinerja subjektif yang masih berorientasi pada masa lalu


(9)

dengan model yang digunakan adalah model Behaviorally Anchored Rating Scale (BARS).

5. Alasan Dilakukan Penilaian Kinerja

Menurut Artur (2012, dalam Desseler, 1997) mejelaskan alasan untuk menilai kinerja sebagai berikut :

1. Penilaian memberikan informasi tentang dapat dilakukanya penetapan gaji.

2. Penilaian memberi suatu peluang bagi anda dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan. Hal ini pada gilirannya memungkinkan anda mengembangkan suatu rencana untuk memperbaiki kemerosotan apa saja mungkin sudah digali oleh penilai dan mendorong hal- hal baik sudah dilakukan bawahan.

Selain itu Fahmi (2010) juga menjelaskan bahwa dalam melakukan perbaikan yang berkesinambungan dalam suatu organisasi maka perlu dilakukan penilaian kinerja. Berikut ini alasan perlu adanya penilaian kinerja, antara lain :

1. Penilaian kinerja memberikan informasi bagi pertimbangan pemberian promosi dan penetapan gaji.

2. Penilaian kinerja memberikan umpan balik bagi para pimpinan maupun bawahan untuk melakukan introspeksi dan meninjau kembali perilaku yang positif maupun negatif.

3. Penilaian kinerja diperlukan untuk pertimbangan pelatihan-pelatihan kembali (retraining) serta pengembangan.

4. Hasil penilaian kinerja lebih jauh akan menjadi bahan masukan bagi institusi tersebut dalam melihat kondisi dalam organisasi tersebut.


(10)

6. Unsur Kinerja Guru (Sasaran Kerja Pegawai)

Menurut Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2011 Tentang Penilain Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) menggunakan sistem daftar Sasaran Kerja Pegawai (SKP). yang menggunakan unsur perilaku kerja atas :

1. Orientasi Pelayanan, selalu dapat menyelesaikan tugas pelayanan sebaik-baiknya dengan sikap sopan dan sangat memuasakan baik untuk pelayanan internal maupun eksternal organisasi.

2. Integritas, selalu melaksanakan tugas dengan sikap jujur, ikhlas dan tidak pernah menyalahgunakan wewenangnya serta berani menanggung resiko dari tindakan yang dilakukan.

3. Komitmen, selalu berusaha dengan sungguh-sungguh menegakan ideologi Negara pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan rencana-rencana pemerintah dengan tujuan untuk melaksanakan tugasnya secara baik serta mengutamakan kepentingan kedinasan dari pada kepentingan pribadi/golongan sesuai dengan tugas, fungsi dan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur negara terhadap organisasi dimana individu bekerja.

4. Disiplin, selalu menaati peraturan perundang-undangan dan /atau aturan kedinasan yang berlaku dengan penuh rasa tanggung jawab dan selalu menaati ketentuan jam kerja serta mampu menyimpan dan/atau memelihara barang-barang milik negara yang dipercayakan kepadanya dengan sebaik-baiknya.

5. Kerjasama, selalu mampu bekerja sama dengan rekan kerja, atasan dan bawahan baik di dalam maupun di luar organisasi serta menghargai dan menerima pendapat orang lain, bersedia menerima keputusan yang diambil secara bersama.


(11)

Menurut Silberman dan Philip (2001) kinerja guru adalah kemampuan dan prestasi guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang guru dapat diukur dengan :

1. Tanggung jawab dalam mencapai tujuan bersama

2. Percaya, tumbuh dan berkembang motivasi internal dalam melaksanakan pekerjaan

3. Kompetensi, kemampuan para guru dalam melaksanakan tugasnya 4. Kondisi, situasi dan kondisi sekolah yang memungkinkan guru dapat

meningkatkan prestasi kerja

5. Komunikasi, adanya hubungan yang harmonis antar sesama warga sekolah.

Menurut Wirawan (2009) kinerja adalah target, sasaran, tujuan upaya kerja karyawan dalam kurun waktu tertentu. Dimensi kinerja dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Hasil kerja. Adalah keluaran kerja dalam bentuk barang dan jasa yang dapat dihitung dan diukur kualitas dan kuantitasnya.

2. Perilaku kerja. Ketika berada ditempat kerja, seorang karyawan mempunyai dua perilaku yaitu perilaku pribadi dan perilaku kerja. Perilaku pribadi adalah perilaku yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, misalnya cara berjalan, cara makan, serta cara berbicara. Perilaku kerja adalah perilaku yang ada hubungannya dengan pekerjaan, misalnya kerja keras, ramah terhadap pelanggan dll. Perilaku kerja digolongkan menjadi dua yaitu perilaku kerja khusus dan perilaku kerja umum. Perilaku kerja umum adalah perilaku kerja yang diperlukan untuk semua jenis pekerjaan, misalnya disiplin kepada organisasi, loyalitas. Perilaku kerja khusus adalah perilaku kerja yang dibutuhkan untuk jenis jabatan tertentu


(12)

3. Sifat pribadi yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Adalah sifat pribadi karyawan yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaannya. Misalnya sifat tenang dan sabar dibutuhkan untuk seorang supir taksi supaya terhindar dari kecelakaan lalu lintas.

Oleh karena dalam penelitian ini yang dinilai adalah seorang guru di sekolah yang adalah seorang pegawai negeri sipil, maka dimensi kinerja yang digunakan adalah dimensi kinerja penilaian kinerja untuk pegawai negeri sipil (PNS) Menurut Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2011 dengan lima unsur yaitu orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin dan kerjasama.

7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Guru

faktor fisik dan non fisik sangat mempengaruhi kinerja seseorang. Wirawan (2009) mengemukakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Selain itu, faktor lingkungan internal organisasi, faktor lingkungan eksternal, dan faktor internal pegawai. Menurut Mulyasa (2009) sikap mental (motivasi kerja, disiplin kerja), pendidikan, keterampilan, gaya kepemimpinan (gaya kepemimpinan transformasional), tingkat penghasilan lingkungan dan suasana kerja.

Selain itu menurut Apriana dkk. (2013) Faktor-faktor dominan yang berkaitan dengan kinerja guru dapat dibagi menjadi dua bagian yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputu: kemampuan atau faktor intelegensi guru dan faktor kecerdasan emosional guru. Sedangkan faktor eksternal seperti gaya kepemimpinan,sarana dan prasarana, dan budaya kerja. Menurut Timpe (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah: iklim orgnisasi, motivasi kerja, gaya kepemimpinan (gaya


(13)

kepemimpinan transformasional), perilaku, sikap, dan hubungan dengan rekan kerja.

Selanjutnya Sedermayati (2011) juga mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain :

a. Faktor internal: faktor yang dihubungakan dengan sifat seseorang misalnya; bila kinerja seseorang baik karena mempunyai kemampuan tinggi dan tipe pekerja keras. Seseorang yang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan tidak memiliki upaya untuk memperbaiki kemampuanya.

b. Faktor eksternal: berasal dari lingkungan seperti, perilaku, sikap, tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah: iklim organisasi, motivasi kerja, gaya kepemimpinan (gaya kepemimpinan transfromasional), perilaku, sikap, dan hubungan dengan rekan kerja (Timpe, 1993). Kemudian, Sedermayati (2011) dan Apriana dkk. (2013) mengemukakan faktor internal kinerja guru meliputi: faktor intelegensi guru dan faktor kecerdasan emosional guru. Sedangkan faktor eksternal meliputi: gaya kepemimpinan (gaya kepemimpinan transformasional), sarana dan prasarana, dan budaya kerja.


(14)

B. Gaya Kepemimpinan Transformasional

1. Definisi Gaya Kepemimpinan Transformasional

Menurut Bass (1985) mendefinisikan gaya kepemimpinan transformasional didasarkan pada pengaruh dan hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan. Para pengikut merasa percaya, mengagumi, loyal dan menghormati pemimpin, serta memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Burns (1978, dalam Yukl, 2010) “Kepemimpinan transformasional menyerukan nilai-nilai moral dari pengikut dalam upayanya untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang masalah etis dan untuk memobilisasi energi dan sumber daya mereka untuk mereformasi institusi”. Wijaya (2005) juga mendefenisikan gaya kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mampu mendatangkan perubahan di dalam diri setiap individu yang terlibat dan/atau bagi seluruh organisasi untuk mencapai kinerja yang semakin tinggi.

Menurut Dvir (2002) kepemimpinan tranformasional mendasarkan diri pada prinsip pengembangan bawahan (follower development). Pemimpin mengembangkan dan mengarahkan potensi dan kemampuan bawahan untuk mencapai bahkan melampaui tujuan organisasi. Kepemimpinan transformasional (transformational leadership) berdasarkan prinsip pengembangan bawahan (follower development). Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan, sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab dan kewenangan bawahan di masa mendatang (Nugroho, 2006). Sejalan dengan itu, kepemimpinan transformasional menurut para ahli didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan yang mendorong semua unsur atau elemen sekolah (guru, siswa, pegawai/staf, orangtua siswa, masyarakat sekitar dan lainnya) untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values


(15)

system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah tersebut bersedia untuk berpartisipatif secara optimal dalam mencapai visi sekolah (Firman, 2008).

Berdasarkan uraian di atas, maka definisi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menurut Bass (1985) kepemimpinan transformasional didasarkan pada pengaruh dan hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan. Para pengikut merasa percaya, mengagumi, loyal dan menghormati pemimpin, serta memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk mengahasilkan kinerja yang lebih baik.

2. Teori Gaya Kepemimpinan Transformasional

Menurut teori Bass (1985) gaya kepemimpinan transformasional didasarkan pada pengaruh dan hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan. Para pengikut merasa percaya, mengagumi, loyal dan menghormati pemimpin, serta memiliki komitmen dan motivasi yang tinggi untuk berprestasi dan berkinerja yang lebih tinggi. Selain itu, Bass dan Avolio (1999) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional sebagai pengaruh pemimpin atau atasan terhadap bawahan, dimana para bawahan merasakan adanya kepercayaan, kebangaan, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan dan mereka termotivasi untuk melakukan melebihi dari apa yang diharapkan.

Northouse (2001) mengemukakan bahwa Gaya kepemimpinan transformasional merupakan suatu proses yang merubah dan mentransformasikan individu. Dengan kata lain gaya kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan membuat orang lain mau berubah dan menjadikan orang lain merasa berharga dalam organisasi tersebut. Adapun, Grenberg dan Baron (2008) menjelaskan gaya kepemimpinan transformasional sebagai suatu perilaku kepemimpinan yang menggunakan


(16)

kharismanya untuk mentransformasi dan merevitalisasi organisasi. Selanjutnya Burns (1978, dalam, Surbakti 2013) teori Kepemimpinan transformasional merupakan kepemimpinan yang menekankan pada rasionalitas dan emosi dalam memotivasi perilaku bawahan. Kepemimpinan transformasional tidak hanya mengatahui kebutuhan bawahan, tetapi berusaha mengungkit kebutuhan dari tingkat yang rendah ke kebutuhan yang lebih tinggi.

Robbins (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga haluan besar dalam pengembangan teori kepemimpinan, yaitu:

1. Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (traits theory)

Teori ini dinamakan teori sifat (traits theory), dengan inti teori yaitu seorang pemimpin adalah dilahirkan dan bukan dibuat atau direkayasa. Indikator dari teori sifat adalah kemampuan mengarahkan secara alamiah, hasrat untuk memimpin, kejujuran dan integritas, kepercayaan diri, kecerdasan serta pengetahuan yang luas mengenai pekerjaan.

2. Teori kepemimpinan berdasarkan perilaku (behavior theory)

Tidak seperti teori sifat (traits theory) yang menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, maka pada teori perilaku (behavior theory) justru menyatakan sebaliknya, bahwa pemimpin itu dibentuk dan diarahkan. Teori ini dinamakan teori perilaku (behavior theory), dengan inti teori yaitu seseorang dikatakan pemimpin atau mengerti konsep kepemimpinan tergantung dari perilaku yang ditunjukkan dalam meningkatkan efektifitas dalam mencapai tujuan organisasi.

3. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi (situational theory)

Berdasarkan kelemahan teori sifat dan teori perilaku yang mengabaikan faktor situasi pekerjaan, maka pendekatan mengenai teori kepemimpinan yang menghububungkan sifat maupun perilaku dengan situasi pekerjaan mulai dilakukan. Pendekatan ini dinamakan pendekatan situasional yang


(17)

mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuasaan, sikap dan persepsi. Menurut Horner (1997dalam Surbakti, 2013) inti dari teori situasional menggambarkan bahwa tipe yang digunakan oleh pemimpin tergantung pada faktor-faktor seperti pemimpin itu sendiri, pengikut serta situasi. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu mengubah tipe kepemimpinan secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan kebutuhan situasi.

Dengan demikian yang menjadi acuan teori dalam penelitian ini menurut Bass dan Avolio (1999) yaitu, kepemimpinan transformasional didasarkan pada dimensi pengaruh ideal atau kharisma, motivasi Inspirasi, stimulasi intelektual dan kepekaan individu pada pengaruh dan hubungan pemimpin dengan pengikut atau bawahan. Alasannya penulis menggunakan teori ini, karena sesuai dengan kondisi kepemimpinan yang terjadi di SMK Negeri 3 Ambon.

3. Aspek-aspek Gaya Kepemimpinan Transformasional

Menurut Bass dan Avolio (1999) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki empat aspek, yaitu: Pengaruh ideal atau karisma, motivasi inspirasi, stimulasi intelektual dan kepekaan individu.

1. Ideal atau kharisma: pemimpin menjadi figur yang diidealkan yang mampu berdiri tegar diatas terpaan badai. Pemimpin mampu menyampaikan keinginannya atas nilai-nilai luhur yang menjadi peganganya, menekan pentingnya suatu tujuan, komitmen, dan konsekuensi dari dari suatu keputusan. Pemimpin seperti ini disanjung, diangungkan sebagai pemimpin yang pantas diteladani, dan mampu membangkitkan rasa bangga dalam diri dan terpaut pada upaya tujuan bersama yang disepakati.


(18)

2. Motivasi Inspirasi: pemimpin mengartikulasi visi masa depan organisasi, menantang pengikutnya dengan standar yang tinggi, bisa berbicara secara optimis dan penuh antusiasme, memberikan dorongan untuk apa yang harus dikerjakan.

3. Stimulasi intelektual: pemimpin mempertanyakan asumsi-asumsi, tradisi-tradisi, kepercayaan-kepercayaan lama, menstimulasi hadirnya persepktif dan cara-cara baru untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan mendorong pengikutnya menyampaikan ide-ide dan gagasan-gagasan baru.

4. Kepekaan Individu: pemimpin berhubungan dengan pengikut atau bawahanya sebagai pribadi yang memiliki kebutuhan, kemampuaan, keinginan, mendengarkan dengan penuh perhatian, mengembangkan potensi dirinya, menasehati dan membimbingnya.

Di sisi lain, Bass dan Riggio (2006) menyebutkan ada empat aspek yang harus dimiliki oleh para pemimpin yang menggunakan kepemimpinan transformasional yaitu :

1. Mudah dalam bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan orang banyak. Hal ini dikarenanakan sebagai pemimpin transformasional ia harus bisa berkomunikasi baik dengan orang lain.

2. Dominan. Dalam hal ini pemimpin memegang teguh apa yang menjadi tanggung jawabnya baik itu dalam memimpin dan mendidik langsung para bawahannya, sehingga pemimpin transformasional akan lebih tampak memegang kekuasan sebagai pemimpin.

3. Percaya Diri. Para pemimpin Transformasional memiliki sifat percaya pada kemampuan yang dimiliki dengan ia tidak takut untuk menjadi perhatian banyak orang, karena ia tidak ragu dengan kemampuannya. 4. Terbuka dengan pengalaman. Para pemimpin transformasional tidak


(19)

orang lain sebagai bahan pembelajaran untuk dapat lebih maju dan sukses.

Menurut Pounder (2003) gaya kepemimpinan transformsional memiliki tiga aspek yang dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu :

1. Integrity. Pemimpin walk the talk, mereka menyelaraskan perbuatan dengan perkataannya. Aspek ini mengukur sejauh mana para pengikutnya mempersepsikan derajat kesesuaian antara perkataan pemimpin dan yang dipersepsikan dengan perbuatannya.

2. Innovation. Para pemimpin dipersiapkan untuk menantang keterbatasan yang ada dan proses dengan mengambil resiko dan mengeksperimenkannya. Para pemimpin mendorong para bawahannya untuk mengambil resiko dan bereksperimen serta memperlakukan kesalahan sebagai kesempatan untuk belajar daripada diperlakukan sebagai celaan. Aspek ini fokus pada sejauh mana pemimpin dapat menumbuhkan komitmen inovasi dalam organisasi.

3. Impression management. Pemimpin dipersiapkan untuk membawahi kebutuhan personal dan berhasrat untuk kebaikan umum. Pemimpin adalah orang yang memberi selamat kepada keberhasilan bawahannya dan juga orang yang selalu hangat serta perhatian terhadap bawahannya, tidak sebatas pada kehidupan kerja mereka. Aspek ini mengukur sejauh mana anggota organisasi mempersepsikan bahwa pemimpin mereka secara tulus memperhatikan mereka sebagai pribadi dibandingkan sekedar instrumen pemimpin atau penyokong misi organisasi semata.

Dari penelitian ini penulis menggunakan aspek-aspek gaya kepemimpinan transformasional yang dipaparkan oleh Bass dan Avolio (1999) yaitu, Pengaruh ideal atau karisma, motivasi inspirasi, stimulasi intelektual dan kepekaan individu. Alasan penulis mengacu pada aspek


(20)

tersebut, karena dimensi tersebut lebih sesuai dengan keadaan subjek yang akan diteliti pada sekolah kejuruan negeri 3 Ambon.

4. Dampak Gaya Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional memberikan dampak positif pada setiap bawahan untuk lebih semangat. Sedangkan menurut Malthis dan Jackson (2001), kepemimpinan transformasional memberikan motivasi dalam diri seseorang yang menyebabkan orang itu melakukan tindakan. Tindakan inilah yang membuat bawahan merasa memiliki tanggung jawab dan merasa dirinya dilibatkan di dalam organisasi atau perusahaan. Motivasi yang muncul disini diperoleh dari adanya rasa di dalam setiap individu bawahan atau karyawan akan tanggung jawab yang dia emban, untuk dijalankan dengan sebaik mungkin. Hal ini mengimplikasikan dari adanya pengaruh kepemimpinan transformasional.

C. Iklim Organisasi

1. Definisi iklim organisasi

Menurut Tingiuri dan Litwin (1968, dalam, Wirawan 2007) mengatakan bahwa iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi dan mempengaruhi perilaku mereka serta dapat dilukiskan dalam satu set karakteristik atau sifat organisasi. Stringer (2002) dalam bukunya yang berjudul Leadership and Organizational Climate mendefenisikan iklim organisasi sebagai “… collection and pattern of environmental determinant of aroused motivation”. Yang berarti iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan muculnya motivasi. Luthans (1981, dalam Simamora, 2004) disebutkan bahwa iklim organisasi adalah lingkungan internal atau psikologis organisasi. Hal senada juga diungkapkan Mulyasa (2012) bahwa iklim organisasi yang kondusif diperlukan bagi


(21)

anggota organisasi untuk beraktivitas dalam pencapaian tujuan yang ditetapkan. Iklim organisasi yang memadai, bekerja pada tempat yang baik, bersih, dan sehat dapat memberikan kepuasaan yang dibandingkan dengan bekerja dalam lingkungan yang kurang memadai (Maryadi, 2012).

Dari pendapat diatas maka definisi yang digunakan dalam penelitian ini menurut Stringer (2002) yang berarti iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan muculnya motivasi.

2. Teori Iklim Organisasi

Menurut Davis dan Newstrom (1962) organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki iklim yang didukung oleh kepribadian karyawan yang baik dan persepsi mereka terhadap prosedur organisasi. Selain itu, Brown dan Leigh (1996) menyatakan bahwa iklim organisasi adalah keadaan lingkungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan yang mengarah pada aspek-aspek seperti: keamanan psikologis dan kebermaknaan psikologis lingkungan kerja. Keamanan psikologis meliputi kemampuan pikiran dan perasaan karyawan untuk menunjukkan dan mengembangkan diri karyawan tanpa rasa takut terhadap konsekuensi negatif pada citra diri, status dan kelangsungan karirnya. Kebermaknaan psikologis merupakan perasaan karyawan bahwa mereka memperoleh pengembalian dari investasi energi fisik, kognitif, dan emosional yang mereka lakukan dalam bekerja. Individu merasa bahwa kerja mereka bermakna, jika mereka merasa bahwa pekerjaan tersebut menantang, bermanfaat dan menghasilkan imbalan. Penilaian individu terhadap situasi organisasi berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain, yang disebabkan oleh perbedaan dalam kemampuan, nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan individu yang harus disesuaikan dengan budaya organisasi, perbedaan kontribusi individu terhadap organsasi, dan perbedaan dalam gaya manajemen.


(22)

Tagiuri & Litwin (1968, dalam Wirawan, 2007) teori Iklim organisasi merupakan kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif terus berlangsung, dialami oleh anggota organisasi, mempengaruhi perilaku mereka dan dapat dilukiskan dalam pengertian satu set karakteristik atau sifat organisasi. Stringer (2002) mendefinisikan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi.

Dengan demikian yang menjadi acuan teori dalam penelitian ini Stringer (2002) yang mendefinisikan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi serta berfokus pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja anggota organisasi. Aspek yang dinilai struktur, standar-standar, tanggung Jawab, penghargaan, dukungan dan komitmen. Alasanya penulis menggunakan teori ini, dikarenakan sesuai dengan keadaan subjek di tempat penelitian SMK Negeri 3 Ambon.

3. Aspek-Aspek Iklim Organisasi

Menurut Stringer (2002) aspek iklim organisasi dibagi menjadi enam bagian, yaitu :

1. Struktur. Struktur (structure) berarti pegawai memahami dengan jelas tugas dan tanggung jawab secara baik dalam lingkungan organisasi. 2. Standar-standar. (standards) dalam suatu organisasi mengukur perasaan

tekanan unutk meningkatkan derajat kebangaan yang dimiliki oleh anggota organisasi dalam melakukan pekerjaan yang baik.


(23)

3. Tanggung Jawab. Tanggung jawab (responbility) mereflesikan perasaan individu bahwa mereka bisa menjadi diri sendiri dan tidak memerlukan keputusan dari anggota organisasi lainya.

4. Penghargaan. Penghargaan (recognition) mengindikasikan bahwa anggota organisasi merasa dihargai jika mereka dapat menyelesaikan tugas secara baik.

5. Dukungan. Dukungan (support) merefelesikan perasaan percaya dan saling mendukung yang terus berlangsung diantara kelompok kerja. 6. Komitmen. Komitemn (commitment) mereflesikan perasaan bangga

anggota terhadap organisasinya dan mempunyai komitmen terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Adapun aspek atau dimensi iklim organisasi menurut Ekval (1996, dalam, Wirawan 2007) yang merupakan tolak ukur keberhasilan suatu organisasi yaitu :

1. Tantangan. Keterlibatan dan komitmen karyawan terhadap organisasi 2. Kemerdekaan. Sampai berapa tinggi karyawan diberi kebebasan unutk

bertindak.

3. Dukungan ide-ide. Sikap menejemen dan karyawan terhadap ide baru. 4. Kepercayaan. Keamanan emosional dan kepercayaan hubungan

antaranggota dalam organisasi.

5. Semangat. Dinamika dalam organisasi

6. Keintiman/humor. Kemudahan yang ada dalam organisasi

7. Debat. Sampai seberapa tinggi perbedaan pendapat serta ide-ide dan pengalaman ada dalam organisasi.

8. Konflik. Adanya tensi personal dan emosional

9. Pengambilan resiko. Kemauan unutk menolerenasi insekuriti dalam organisasi.


(24)

10.Ide dan waktu. Waktu yang digunakan untuk mengembangkan ide-ide baru.

Menurut Wirawan (2009) ada beberapa dimensi dari iklim organisasi yang terdiri dari:

1. Keadaan lingkungan fisik yaitu yang berhubunan dengan tempat kerja, peralatan kerja dan proses kerja.

2. Keadaan lingkungan sosial yaitu interaksi yang terjadi antar anggota organisasi baik yang bersifat formal maupun informal.

3. Pelaksanaan sistem manajemen yaitu pola pelaksanaan manajemen di dalam organisasi apakah bersifat otokrasi, demokratis, dan lain-lain. 4. Produk dimana iklim organisasi akan sangat tergantung dari produk yang

dihasilkannya.

5. Konsumen yang dilayani akan sangat mempengaruhi bentuk iklim organisasinya

6. Kondisi fisik dan kejiwaan anggota organisasi yang mencakup kepada kesehatan, energisitas, kebugaran komitmen, moral, dan kebersamaan. 7. Budaya organisasi yang merupakan nilai-nilai yang dipahami dan

dijalankan di dalam organisasi akan mempengaruhi iklim organisasi suatu perusahaan.

Dari penelitian ini penulis menggunakan aspek iklim organisasi menurut Stringer (2002) yaitu struktur, standar-standar, tanggung jawab, penghargaan, dukungan dan komitmen. Alasan penulis mengacu pada aspek tersebut, karena aspek-aspek tersebut lebih sesuai dengan keadaan subjek yang akan diteliti pada sekolah kejuruan Negeri 3 Ambon.


(25)

4. Dampak Iklim Organisasi

Iklim organisasi dapat memberi dampak bagi kualitas kehidupan kerja individu. Hal tersebut, didasarkan pada penelitian Dhar (2008) menunjukkan bahwa tantangan yang karyawan hadapi dalam bekerja dan kondisi dimana karyawan bekerja merupakan faktor potensial yang berdampak pada kualitas kehidupan kerja. Senada dengan penelitian di atas, Luthans (2006) juga mengungkapkan dan iklim organisasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap karyawan. Lingkungan yang menciptakan kultural dan sosial tempat berlangsungnya kerja atau yang dikenal dengan iklim organisasi akan menentukan kualitas kehidupan kerja seorang karyawan (Idrus, 2006). Selain itu, Litwin & Stringer (1968, dalam Hardjana, 2006) yang menyatakan bahwa iklim memang mempunyai dampak pada kepuasan dan motivasi, tegasnya kepuasan dan produktivitas kerja karyawan.

D. Pelitian Terdahulu

Pentingnya gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja guru ditunjukan dalam penelitian yang dilakukan Noermijati dan Mutmainah. (2013) adanya pengaruh positif dan signifikan gaya kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan kinerja guru di sekolah tinggi swasta kota malang. Carter et al. (2013) membuktikan kualitas hubungan antara pimpinan dan karyawan, dimediasi oleh efek kepemimpinan transformasional terhadap kinerja tugas karyawan dan perilaku kewarganegaraan organisasi (OCB) bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan. Thamrin (2012, dalam Ariesta, 2014) yang melakukan penelitian pada karyawan tetap di 5 perusahaan pelayaran di Jakarta dengan menggunakan analisisi Structural Equation Model (SEM) menunjukkan kepemimpinan transformasional memiliki hubungan yang positif terhadap


(26)

kinerja karyawan. Selain itu Maulizar dkk. (2012) bahwa ada pengaruh yang signifikan kepemimpinan tranformasional terhadap kinerja karyawan Bank Mandiri Syariah Cabang Banda Aceh. Artinya hipotesis alternative (Ha) diterima dan Ho ditolak berdasarkan hasil pengolahan data dari nilai signifikasi sebesar 0.000 atau probabilitas jauh di bawah 0.05.

Namun bertolak belakang dari hasil penelitian diatas Gani (2006) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh atau tidak positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Hasil temuan ini juga tidak didukung pendapat Yammarino dan Bass (1990, dalam Ariesta, 2014) yang menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Vita (2015) juga menemukan gaya kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja guru dan karyawan di Yayasan Tri Asih Jakarta dengan nilai t sebesar 0,438 dan nilai sig. 0,662 ≥ α 0.01. Kartika dkk (2015) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan gaya kepemimpinan transaksional secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan PT. ISS Indonesia Cabang Surabaya khususnya di Rumah Sakit Katolik St. Vincentius A. Paulo.

Selain itu, pentingnya iklim organisasi terhadap kinerja guru diperkuat

dengan penelitian yang dilakukan Adeyemi (2008) iklim organisasi

memberikan pengaruh signifikan terhadap kinerja guru, namun berada pada katogori yang rendah. Selamat dkk. (2013) menyatakan bahwa iklim organisasi memilki pengaruh yang positif bagi kinerja guru di Malaysia dan penelitian pendukung lainya yang dilakukan oleh Lawler (1967, dalam Selamat, 2013) yang mengemukakan bahwa antara iklim organisasi dengan performance kerja terdapat korelasi yang signifikan sebesar 0,25.


(27)

Sementara itu, bertolak belakang dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka Liana (2012) menyatakan bahwa iklim organisasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja. Kusnan (2005) hasil penelitian terhadap prajurit dan pegawai sipil di Garnisun Tetap III Surabaya membuktikan bahwa iklim organisasi tidak signifikan terhadap kinerja prajurit. Pramudyo (2010) dalam penelitian pada Dosen Negeri yang dipekerjakan pada Kopertis Wilayah V Yogyakarta, menunjukkan bahwa lingkungan organisasi dalam penelitian tidak berpengaruh pada kinerja.

Selain secara parsial, penelitian keseluruhan yang dilakukan oleh Barus (2011) terdapat hubungan antara persepsi guru terhadap gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim organisasi dan kinerja guru dengan katagori sedang yaitu sebesar 55,79% di Deli. Selain itu Apriana dkk. (2013) terdapat kontribusi positif gaya kepemimpinan transformasional, iklim kerja sekolah, terhadap kinerja guru di SMA Negeri 1 Mengwi sebesar 56,5% dengan nilai (R) sebesar 0,80 dengan taraf signifikansi 0,05.

Bertolak dari penelitian diatas penelitian Nuryadin (2005, dalam Ratmawati dkk. 2013) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari kepemimpinan transformasional, iklim organisasi, kepuasaan pekerjaan terhadap produktivitas (kinerja) karyawan di provinsi Kalimantan. Enni dkk. (2013) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh/hubungan yang signifikan dari kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan iklim organisasi terhadap kinerja mengajar guru ilmu pertanian di Nigeria. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas ditemukan bahwa adanya pro dan kontra.

Dengan demikian, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai gaya kepemimpinan transformasional, iklim organisasi terhadap kinerja guru di SMK Negeri 3. Di samping subjek penelitian yang berbeda


(28)

dengan penelitian sebelumnya dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya di SMK Negeri 3 Ambon.

E. Kaitan Antar Variabel

Sekolah merupakan instansi pemerintah yang perlu tetap mempertahankan eksistensinya dalam dunia pendidikan, salah satu kewajiban dari sekolah yaitu mempertahankan kinerja guru sebagai pendidik dalam memberikan pelayanan publik yang mengutamakan kepentingan umum, mempermudah urusan publik serta membrikan kepuasaan kepada public (Fachrurezha, 2012). Dengan demikian untuk dapat melakukan tugas dengan baik, maka pembinaan bagi setiap guru harus dapat diarahkan dengan baik sehingga dapat terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pada pengabdian, kejujuran, tanggung jawab sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai dengan tuntunan dalam dunia pendidikan.

Dalam dunia pendidikan gaya kepemimpinan transformasional sangat penting untuk mengarahkan dan membina bawahanya supaya dapat terus meningkatkan kinerja mereka. Hal ini dikarenakan gaya kepemimpinan transfromasional merupakan kemampuan pemimpin untuk bisa mempengaruhi bawahan dalam sebuh organisasi atau instansi sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu juga, dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang atasan untuk meyakinkan bawahanya agar mengusahakan secara tegas tujuan-tujuan dengan penuh semangat supaya menghasilkan kinerja yang tinggi. Gaya kepemimpinan transfromasional tidak dapat diremehkan karena dalam hubungannya harus memiliki kemampuan tertentu untuk mendorong orang lain supaya bekerja keras dan mengarahkan usaha-usaha ke tujuan bersama yang objektif dan


(29)

memuasakan. Oleh sebab, itu pemimpin transformasional dituntut harus menjadi pribadi yang baik, teladan dan kompoten sehingga mampu memberikan dorongan dan arahan pada bawahannya guna meningkatkan kinerjanya (Mamesah & Kusmaningtyas, 2012).

Hal ini diperkuat dengan teori gaya kepemimpinan transformasional dari Bass (1985, dalam Komardi, 2009) bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan model kepemimpinan yang bertujuan mendorong extra effort followers untuk mencapai expected performance dimana gaya kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang memotivasi bawahannya untuk melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat untuk mencapai kinerja yang sempurna (kinerja yang diharapakan dan dapat diekspetasikan).

Pendapat mengenai gaya kepemimpinan transformasioanal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaihatu dan Rini (2007) yang menunjukan bahwa kepemimpinan transformasional bila diterapkan dengan baik dapat memengaruhi para bawahan untuk meningkatkan motivasi dalam bekerja sehingga dapat mencapai tujuan bersama. Selain itu, pemimpin harus memahami model kepemimpinan tarnsformasional yang berorientsi pada dukungan, prinsip, perubahan, focus pada masa depan, mengandalkan ekspresi perasaan sehingga menghasilkan sesuatu melebihi dari apa yang diharapkan. Pemimpin juga harus bersifat adaptif yang berfokus pada perubahan dan bersifat strategis sebagai orang yang melakukan suatu perencanaan, sehingga para bawahan merasakan adanya ras kepercayaan, kebangaan, loyalitas dan rasa hormat sehingga mereka merasa termotivasi untuk terus meningkatkan kinerja dalam organisasi atau instansi tempat mereka mengabdi.


(30)

Selain faktor kepemimpinan transformasional yang dapat meningkatkan kinerja guru, terdapat juga peran dari iklim organisasi. Hal ini disebabkan karena iklim organisasi merupakan suasana lingkungan kerja yang dapat memengaruhi tingkah laku para pegawai, yang pada akhirnya akan memunculkan perilaku baru. Perilaku tersebut akan menjadi positif jika iklim organisasi tercipta dengan baik sehingga kinerja yang di terima akan meningkat. Tetapi sebaliknya, jika iklim organisasi tidak kondusif maka akan tercipta perilaku yang tidak diinginkan misalnya ketidakdisiplinan kerja yang berpengaruh pada kinerja pegawai (Hartiyah dkk. 2014).

Selain itu, Hersey dan Blancard (1998) juga mengemukakan bahwa aktifitas yang dilakukan oleh manusia dapat berjalan dengan baik jika situasi dan kondisinya mendukung serta memungkinkan aktifitas itu terlaksana. Sejalan dengan itu, Suherman (2013) menyatakan bahwa lingkungan atau iklim kondusif akan mendorong individu lebih berprestasi optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya. Iklim Organisasi yang kurang mendukung seperti lingkungan fisik pekerjaan dan kurangnya relasi antar individu dengan inidividu lainnya, juga ikut menyebabkan kinerja menjadi semakin buruk.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa untuk menghasilkan kinerja yang baik, dibutuhkan pemimpin yang transformasional dan di dukung oleh iklim organisasi yang kondusif, akan menyebabkan orang-orang yang di dalamnya dapat menjalankan tanggungjawabnya dengan baik. Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Apriana dkk. (2013) bahwa gaya kepemimpinan transfromasional dan iklim organisasi merupakan faktor yang memengaruhi kinerja guru.

Dengan demikian, berdasarkan teori dan hasil penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa pemimpin transformasional disertai dengan iklim organisasi yang baik, akan dapat menciptakan suasana yang dapat


(31)

menumbuhkan semangat dan kegairahan kerja para guru-guru. Melalui suasana tersebut guru akan merasa tenang, nyaman, dan tidak ada yang ditakuti dalam bekerja sehingga kinerja dari setiap guru akan semakin meningkat.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kaitan antar peubah maka dirumuskan hipotesis penelitian yaitu

1. Gaya Kepemimpinan Transformasional (GKT) dan Iklim Organisasi (IO) sebagai prediktor Kinerja Guru (KG) di SMK Negeri 3 Ambon. 2. Ada perbedaan Kinerja Guru ditinjau dari jenis kelamin guru di SMK

Negeri 3 Ambon.

G. Model Penelitian

Berdasarkan hasil kajian teori serta penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat dibuat suatu model penelitian untuk menjawab masalah penelitian sebagai berikut (Gambar 2.1).

a

Gambar 2.1. Model Penelitian Gaya Kepemimpinan

Transformasional (GKT)

Iklim Organisasi (IO)


(32)

(1)

Sementara itu, bertolak belakang dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka Liana (2012) menyatakan bahwa iklim organisasi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kinerja. Kusnan (2005) hasil penelitian terhadap prajurit dan pegawai sipil di Garnisun Tetap III Surabaya membuktikan bahwa iklim organisasi tidak signifikan terhadap kinerja prajurit. Pramudyo (2010) dalam penelitian pada Dosen Negeri yang dipekerjakan pada Kopertis Wilayah V Yogyakarta, menunjukkan bahwa lingkungan organisasi dalam penelitian tidak berpengaruh pada kinerja.

Selain secara parsial, penelitian keseluruhan yang dilakukan oleh Barus (2011) terdapat hubungan antara persepsi guru terhadap gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim organisasi dan kinerja guru dengan katagori sedang yaitu sebesar 55,79% di Deli. Selain itu Apriana dkk. (2013) terdapat kontribusi positif gaya kepemimpinan transformasional, iklim kerja sekolah, terhadap kinerja guru di SMA Negeri 1 Mengwi sebesar 56,5% dengan nilai (R) sebesar 0,80 dengan taraf signifikansi 0,05.

Bertolak dari penelitian diatas penelitian Nuryadin (2005, dalam Ratmawati dkk. 2013) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari kepemimpinan transformasional, iklim organisasi, kepuasaan pekerjaan terhadap produktivitas (kinerja) karyawan di provinsi Kalimantan. Enni dkk. (2013) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh/hubungan yang signifikan dari kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan iklim organisasi terhadap kinerja mengajar guru ilmu pertanian di Nigeria. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian diatas ditemukan bahwa adanya pro dan kontra.

Dengan demikian, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai gaya kepemimpinan transformasional, iklim organisasi terhadap kinerja guru di SMK Negeri 3. Di samping subjek penelitian yang berbeda


(2)

dengan penelitian sebelumnya dan belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya di SMK Negeri 3 Ambon.

E. Kaitan Antar Variabel

Sekolah merupakan instansi pemerintah yang perlu tetap mempertahankan eksistensinya dalam dunia pendidikan, salah satu kewajiban dari sekolah yaitu mempertahankan kinerja guru sebagai pendidik dalam memberikan pelayanan publik yang mengutamakan kepentingan umum, mempermudah urusan publik serta membrikan kepuasaan kepada public (Fachrurezha, 2012). Dengan demikian untuk dapat melakukan tugas dengan baik, maka pembinaan bagi setiap guru harus dapat diarahkan dengan baik sehingga dapat terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar memiliki sikap dan perilaku yang berintikan pada pengabdian, kejujuran, tanggung jawab sehingga dapat memberikan pelayanan sesuai dengan tuntunan dalam dunia pendidikan.

Dalam dunia pendidikan gaya kepemimpinan transformasional sangat penting untuk mengarahkan dan membina bawahanya supaya dapat terus meningkatkan kinerja mereka. Hal ini dikarenakan gaya kepemimpinan transfromasional merupakan kemampuan pemimpin untuk bisa mempengaruhi bawahan dalam sebuh organisasi atau instansi sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu juga, dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang atasan untuk meyakinkan bawahanya agar mengusahakan secara tegas tujuan-tujuan dengan penuh semangat supaya menghasilkan kinerja yang tinggi. Gaya kepemimpinan transfromasional tidak dapat diremehkan karena dalam hubungannya harus memiliki kemampuan tertentu untuk mendorong orang lain supaya bekerja keras dan mengarahkan usaha-usaha ke tujuan bersama yang objektif dan


(3)

memuasakan. Oleh sebab, itu pemimpin transformasional dituntut harus menjadi pribadi yang baik, teladan dan kompoten sehingga mampu memberikan dorongan dan arahan pada bawahannya guna meningkatkan kinerjanya (Mamesah & Kusmaningtyas, 2012).

Hal ini diperkuat dengan teori gaya kepemimpinan transformasional dari Bass (1985, dalam Komardi, 2009) bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan model kepemimpinan yang bertujuan mendorong extra effort followers untuk mencapai expected performance dimana gaya kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang memotivasi bawahannya untuk melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat untuk mencapai kinerja yang sempurna (kinerja yang diharapakan dan dapat diekspetasikan).

Pendapat mengenai gaya kepemimpinan transformasioanal ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaihatu dan Rini (2007) yang menunjukan bahwa kepemimpinan transformasional bila diterapkan dengan baik dapat memengaruhi para bawahan untuk meningkatkan motivasi dalam bekerja sehingga dapat mencapai tujuan bersama. Selain itu, pemimpin harus memahami model kepemimpinan tarnsformasional yang berorientsi pada dukungan, prinsip, perubahan, focus pada masa depan, mengandalkan ekspresi perasaan sehingga menghasilkan sesuatu melebihi dari apa yang diharapkan. Pemimpin juga harus bersifat adaptif yang berfokus pada perubahan dan bersifat strategis sebagai orang yang melakukan suatu perencanaan, sehingga para bawahan merasakan adanya ras kepercayaan, kebangaan, loyalitas dan rasa hormat sehingga mereka merasa termotivasi untuk terus meningkatkan kinerja dalam organisasi atau instansi tempat mereka mengabdi.


(4)

Selain faktor kepemimpinan transformasional yang dapat meningkatkan kinerja guru, terdapat juga peran dari iklim organisasi. Hal ini disebabkan karena iklim organisasi merupakan suasana lingkungan kerja yang dapat memengaruhi tingkah laku para pegawai, yang pada akhirnya akan memunculkan perilaku baru. Perilaku tersebut akan menjadi positif jika iklim organisasi tercipta dengan baik sehingga kinerja yang di terima akan meningkat. Tetapi sebaliknya, jika iklim organisasi tidak kondusif maka akan tercipta perilaku yang tidak diinginkan misalnya ketidakdisiplinan kerja yang berpengaruh pada kinerja pegawai (Hartiyah dkk. 2014).

Selain itu, Hersey dan Blancard (1998) juga mengemukakan bahwa aktifitas yang dilakukan oleh manusia dapat berjalan dengan baik jika situasi dan kondisinya mendukung serta memungkinkan aktifitas itu terlaksana. Sejalan dengan itu, Suherman (2013) menyatakan bahwa lingkungan atau iklim kondusif akan mendorong individu lebih berprestasi optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya. Iklim Organisasi yang kurang mendukung seperti lingkungan fisik pekerjaan dan kurangnya relasi antar individu dengan inidividu lainnya, juga ikut menyebabkan kinerja menjadi semakin buruk.

Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa untuk menghasilkan kinerja yang baik, dibutuhkan pemimpin yang transformasional dan di dukung oleh iklim organisasi yang kondusif, akan menyebabkan orang-orang yang di dalamnya dapat menjalankan tanggungjawabnya dengan baik. Hal ini didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Apriana dkk. (2013) bahwa gaya kepemimpinan transfromasional dan iklim organisasi merupakan faktor yang memengaruhi kinerja guru.

Dengan demikian, berdasarkan teori dan hasil penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa pemimpin transformasional disertai dengan iklim organisasi yang baik, akan dapat menciptakan suasana yang dapat


(5)

menumbuhkan semangat dan kegairahan kerja para guru-guru. Melalui suasana tersebut guru akan merasa tenang, nyaman, dan tidak ada yang ditakuti dalam bekerja sehingga kinerja dari setiap guru akan semakin meningkat.

F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kaitan antar peubah maka dirumuskan hipotesis penelitian yaitu

1. Gaya Kepemimpinan Transformasional (GKT) dan Iklim Organisasi (IO) sebagai prediktor Kinerja Guru (KG) di SMK Negeri 3 Ambon. 2. Ada perbedaan Kinerja Guru ditinjau dari jenis kelamin guru di SMK

Negeri 3 Ambon.

G. Model Penelitian

Berdasarkan hasil kajian teori serta penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat dibuat suatu model penelitian untuk menjawab masalah penelitian sebagai berikut (Gambar 2.1).

a

Gambar 2.1. Model Penelitian Gaya Kepemimpinan

Transformasional (GKT)

Iklim Organisasi (IO)


(6)

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi sebagai Prediktor Sasaran Kerja Pegawai di SMK Negeri 3 Ambon T2 832014013 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi sebagai Prediktor Sasaran Kerja Pegawai di SMK Negeri 3 Ambon T2 832014013 BAB IV

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi sebagai Prediktor Sasaran Kerja Pegawai di SMK Negeri 3 Ambon T2 832014013 BAB V

0 1 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi sebagai Prediktor Sasaran Kerja Pegawai di SMK Negeri 3 Ambon

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Iklim Organisasi sebagai Prediktor Sasaran Kerja Pegawai di SMK Negeri 3 Ambon

0 0 38

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Pertanahan Kota Ambon

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Pertanahan Kota Ambon T2 832009010 BAB I

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Pertanahan Kota Ambon T2 832009010 BAB II

1 2 64

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Pertanahan Kota Ambon T2 832009010 BAB IV

0 0 40

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Transformasional dan Kepuasan Kerja Sebagai Prediktor Terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Pertanahan Kota Ambon T2 832009010 BAB V

0 1 5