Pernikahan Sebagai Identitas Diri (Studi Fenomenologi Tentang Pernikahan Campur Suku Batak Dengan Suku Lainnya Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan).

(1)

Oleh :

ERNA FERINA MANALU 210120100024

ARTIKEL

Untuk Memenuhi Salah Satu Gelar Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Komunikasi Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Komunikasi

Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG


(2)

i

Kalimantan Selatan)” yang dilakukan oleh Erna Ferina Manalu di jenjang pendidikan Magister Ilmu Komunikasi untuk mengetahui pengalaman hidup pernikahan campur yang terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut : (1) Bagaimana memaknai identitas diri dalam sebuah kehidupan pernikahan campur ? (2) Bagaimana pola komunikasi antar pribadi yang terjadi dalam sebuah pernikahan campur? (3) Bagaimana adaptasi yang terjadi dalam sebuah pernikahan campur? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yang bertujuan menggali lebih dalam sebuah fenomena melalui sebuah pengalaman hidup. Dimana subyek penelitian ini ditentukan dengan kriteria dan diperoleh enam (6) orang wanita dari pasangan pernikahan campur. Lokasi penelitian bertempat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan menggunakan wawancara mendalam (depth interview) serta dokumen. Untuk menjaga objektivitas dari penelitian ini maka peneliti menggunakan triangulasi dalam menjaga keabsahan data yang diperoleh. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa dalam sebuah pernikahan campur akan menghasilkan sebuah identitas baru dari pola penyesuaian komunikasinya dimana hasil dari penelitian ini yaitu : (1) Makna identitas diri dalam sebuah pernikahan campur terbentuk karena budaya patrilineal dari pasangan dan karakteristik dalam memilih pasangan. Sehingga identitas diri dibedakan menjadi dua yaitu identitas diri sebelum (terbentuk dari karakter, budaya asal, lingkungan keluarga) dan setelah menikah (terbentuk dari pasangan, budaya pasangan, lingkungan / pergaulan) (2) Pola Komunikasi Antar pribadi dalam pernikahan campur dilakukan dalam bentuk penyesuaian komunikasi. Dihasilkan tiga pola yaitu adaptif, inisiatif dan dominan. (3) Adaptasi yang terjadi dalam sebuah pernikahan campur dilakukan untuk mempertahankan keharmonisan rumah tangga. Adapun bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan yaitu adaptasi bahasa, makanan, ritual dan adat istiadat, agama, serta pergaulan atau lingkungan.


(3)

ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul Lembar Pengesahan

Abstrak ... i

Daftar isi ... ii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. METODOLOGI ... 4

2.1 Kerangka Pemikiran ... 4

2.2 Metode Penelitian ... 5

2.3 Subyek Penelitian ... 6

2.4 Teknik Pengumpulan Data ... 7

2.5 Teknik Analisis Data ... 8

2.6 Lokasi Penelitian ... 9

2.7 Triangulasi Data ... 10

III. HASIL DAN ANALISIS ... 11

3.1 Hasil ... 11

3.1.1 Makna Identitas Diri dalam Pernikahan Campur ... 11

3.1.2 Pola Komunikasi Antar Pribadi dalam Pernikahan Campur ... 11

3.1.3 Adaptasi dalam Pernikahan Campur ... 12

3.2 Analisis ... 12

3.2.1 Makna Identitas Diri dalam Pernikahan Campur ... 12

3.2.2 Pola Komunikasi Antar Pribadi dalam Pernikahan Campur ... 13

3.2.3 Adaptasi dalam Pernikahan Campur ... 14

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 15

4.1 Kesimpulan ... 15

4.2 Rekomendasi ... 16


(4)

1

dimulai dari banyaknya warga Suku Batak pendatang yang bermukim di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menyebabkan fenomena pernikahan campur antara suku Batak dengan suku lainnya yang terdapat di Indonesia semakin banyak pula. Berbagai alasan warga Suku Batak yang mengunjungi Banjarmasin menjadi pendukung fenomena tersebut, mulai dari perubahan taraf hidup, karena pendidikan, karena pekerjaan bahkan karena adanya sanak saudara yang telah lebih dulu berada di Banjarmasin. Fenomena pernikahan campur Suku Batak dengan Suku lainnya di Banjarmasin telah berlangsung relatif lama dan telah menjadi hal yang biasa terjadi.

Memperbincangkan fenomena pernikahan berbeda suku dalam hal ini di Banjarmasin Kalimantan Selatan dengan budaya yang kolektif seperti di Indonesia, sesungguhnya mengajak kita memahami akan sebuah realitas yang sangat khas dan membutuhkan penghayatan sendiri secara otentik. Adapun kekhasan dari penelitian ini yaitu kecenderungan persepsi negatif dari masing-masing keluarga asal mengenai suku Batak disebabkan oleh stereotipe. Peneliti melihat bahwa kemungkinan bukan sekedar cinta yang menjadi landasan yang fundamental dalam sebuah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan-pasangan suami istri yang menikah beda suku. Namun juga memperpertimbangkan secara menyeluruh dan melibatkan significant other yang terkait keputusan untuk tetap melanjutkan atau membatalkan pernikahan


(5)

menjadi makna bersama yang tidak dirundung penyesalan kelak dikemudian hari.

Interaksi antar budaya dalam konteks komunikasi sering kali menghadapi masalah atau hambatan-hambatan dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma masyarakat yang terdapat di dalamnya. Demikian pula dengan interaksi dalam sebuah pernikahan khususnya dalam pernikahan antar suku tidak menutup kemungkinan untuk menghadapi berbagai permasalahan. Namun, dibalik perbedan kesukuan yang terjadi dalam sebuah perpaduan dua kebuyadaan dalam sebuah ikatan pernikahan antar suku terdapat hal yang sangat menarik terjadi pada pasangan-pasangan yang menikah berbeda suku dari hasil observasi lapangan yang disebut sebagai observasi pra penelitian diantaranya yaitu mahirnya para istri yang telah menikah dengan Suku Batak dalam menggunakan bahasa batak walaupun logat-logat daerah asal mereka masih melekat, hingga pada penggunaan atribut dari Suku Batak yang tidak mereka sadari telah mereka pergunakan seperti ulos menjadi pakaian hingga pada pemasangan-pemasangan ornamen suku Batak di tempat tinggal mereka. Dari fenomena tersebut wanita-wanita yang berasal diluar dari Suku Batak merupakan pelaku dari sebuah komunikasi antar pribadi dalam sebuah ikatan pernikahan dimana didalamnya terdapat proses mempertahankan identitas hingga pada proses pertukaran identitas dalam kehidupan pernikahan mereka.

Dengan demikian penelitian ini ingin memaparkan pengalaman kehidupan pernikahan seseorang yang berasal dari suku selain Batak yang menikah


(6)

dengan seseorang yang berasal dari Suku Batak. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat pengalaman hidup pernikahan campur dalam pola komunikasinya serta pertukaran identitas diri seseorang tersebut ketika memasuki sebuah kelompok baru yang dengan berbagai ikatan dan hubungan yang terdapat di dalamnya. Manfaat secara teoritis yang diharapkan yaitu dapat memberikan kontribusi yang positif dalam pengembangan ilmu komunikasi khususnya konteks komunikasi antar pribadi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya. Sedangkan secara praktis, penelitian ini dapat menjadi panduan bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan campur antar etnis dalam menjalankan kehidupan pernikahan mereka. Akhirnya peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat yang banyak baik secara teoritis maupun metodologis ataupun praktis.

Dari pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk mengobservasi dan mengkaji lebih mendalam mengenai kehidupan pernikahan campur antar etnis dengan melihat pola interaksi komunikasi, pengkomunikasian identitas hingga pada adaptasi dalam pernikahan antar suku. Dari hal tersebut, maka peneliti berharap dapat mencermati elemen-elemen komunikasi antar pribadi yang dipertukarkan dalam interaksi sebuah pernikahan campur antar etnis. Sehingga dapat diketahui makna sebuah pernikahan dari sebuah pernikahan campur pada masing-masing individu yang berasal dari suku yang berlainan, dalam hal ini adalah Suku Batak dan suku lainnya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.


(7)

Studi ini akan mengungkapkan pengalaman pernikahan seseorang (individu) yang berasal dari suku lain (selain Suku Batak) dalam menjalani kehidupan pernikahannya dengan Suku Batak, dilihat dari kehidupan sehari-hari baik sebagai pribadi dan sebagai anggota baru dari kelompok Suku Batak. Dan dari fokus penelitian tersebut, maka pertanyaan penelitian ini adalah : 1. Bagaimana memaknai identitas diri dalam kehidupan pernikahan campur? 2. Bagaimana pola komunikasi antar pribadi yang terjadi dalam sebuah

pernikahan campur?

3. Bagaimana adaptasi yang terjadi dalam sebuah kehidupan pernikahan campur?

II. Metodologi

2.1 Kerangka Pemikiran

Diketahui secara luas bahwa identitas adalah merupakan citra diri yang dikonstruksi, dialami dan dikomunikasikan oleh setiap manusia saat berinteraksi. Individu-individu pada dasarnya memiliki banyak identitas yang berkaitan dengan peran yang dimainkan dalam masyarakat, namun satu dari identitas tersebut terkait erat dengan latar belakang etnik yang dianggap sebagai bagian penting diri, bahkan merupakan inti diri. Di dalam masyarakat multikultural seperti Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, interaksi dan komunikasi antarindividu dari berbagai suku yang terdapat di dalamnya yang memiliki kebudayaan yang berbeda pula berlangsung sepanjang waktu. Demikian pula Suku Batak selaku pendatang di Kota Banjarmasin, yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang suku Batak yang memiliki


(8)

pandangan atau penilaian dari suku lain yang terdapat di Banjarmasin, dalam jalinan hubungan antarrpibadinya dengan pasangannya yang berbeda suku. Demikian sebaliknya, pasangan seorang yang berasal dari suku batak yang berasal dari suku selain suku Batak maka akan mengalami berbagai permasalahan. Hal-hal yang akan disajikan dan ditelaah dalam penelitian ini yaitu pengkomunikasian identitas dari masing-masing individu yang melangsungkan pernikahan antar etnis dapat ditelaah dengan didasari Teori Identitas Sosial. Hal kedua yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu keputusan untuk menikah dengan Suku Batak yang berkaitan dengan poses adaptasi tiap individu yang melangsungkan pernikahan campur antar etnis sebagai refleksi kehidupan pernikahannya dengan di dasari pada teori FIRO. Dan hal terpenting yang ketiga dalam penelitian ini yaitu pola komunikasi dalam sebuah pernikahan campur antar etnis dalam konteks komunikasi antar pribadi.

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri (Usman, 2004 : 81). Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Tradisi kualitatif sangat bergantung pada pengamatan mendalam perilaku manusia dan lingkungannya.


(9)

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang berfokus pada pengalaman subyektif manusia dan interpretasi dunia. Fenomenologi juga menekankan aspek subjektif dari perilaku manusia. Dalam penelitian ini peneliti tidak berasumsi bahwa penelitian mengetahui arti sesuatu dari pelaku pernikahan campur di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Oleh karena itu peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para pelaku pernikahan campur sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana pola komunikasi dan pertukaran identitas yang terjadi dalam sebuah pernikahan campur dalam komunikasi antar pribadi.

2.3 Subyek Penelitian

Untuk menentukan informan penelitian harus benar-benar representative yakni mampu mewakili untuk memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya dan akurat. Penentuan informan dalam penelitian ini secara (purposive) tujuan pemilihan secara purposive adalah untuk mendapatkan data yang valid dan secara jelas dapat menjawab dari rumusan masalah penelitian yang diangkat (Husaini, 2006 : 78).

Adapun kriteria dari subyek penelitian kali ini yaitu : (a)Wanita yang telah menikah lebih dari 5 tahun

(b)Jarak usia antara laki-laki dan perempuan di atas 3 tahun (c) Bertempat tinggal di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (d) Sudah melaksanakan Pesta Adat pernikahan

(e) Sudah melakukan Pesta Adat Pemberian Marga (f) Beragama Kristen atau Katolik


(10)

(g) Aktif dalam Perkumpulan Marga (h) Telah mempunyai anak

Sehingga dari kriteria-kriteria tersebut disimpulkan terdapat lima orang pasang suami istri yang menikah berbeda suku yang terdapat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

2.4 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan mengobservasi secara partisipatif subyek penelitiannya, mewawancarai secara mendalam dan mendokumentasikan data-data yang relevan dengan masalah yang diteliti secara alamiah. Sehingga keikutsertaan penulis dalam observasi tidak disadari sebagai suatu tindakan investigatif juga aktifitas wawancara mendalam tidak terasa sebagai suatu upaya penggalian informasi oleh subjek penelitian.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh data dan mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Observasi : pengambilan data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara melakukan penggamatan langsung menyangkut segala hal yang berkaitan dengan penelitian. Pengamatan yang cermat memungkinkan peneliti memahami situasi-situasi yang terjadi bahkan menemukan fakta baru dilokasi penelitian. Dalam kegiatan observasi peneliti terlibat langsung dengan kegiatan keseharian subjek penelitiannya, sambil melakukan pengamatan peneliti ikut serta dalam dinamika kehidupan informan yang telah ditentukan. Dengan observasi partisipatif data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai kreatifitas dalam metode penelitian,


(11)

karena pada prakteknya, metode ini memerlukan berbagai keahlian peneliti (Kuswarno, 2008 : 51).

2. Wawancara mendalam (depth interview) : wawancara mendalam atau tidak terstruktur hampir sama dengan percakapan informan (Mulyana, 2008 : 181). Wawancara jenis ini dilakukan karena bersifat luwes, susunan pertanyaan diubah saat wawancara dilaksanakan, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi informan yang dihadapi.

3. Dokumen : Peneliti, membaca, mencari, mengumpulkan buku-buku, jurnal-jurnal, arsip-arsip atau sumber ilmiah lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Hal ini dilakukan oleh peneliti untuk mempermudah memperlajari, mencermati, dan menggambarkan situasi kejadian, dan menuliskannya sebagai suatu karya ilmiah yang dianggap penting, agar data yang dihasilkan lebih akurat.

2.5 Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Patton (Moleong, 2004 : 103) adalah proses mengatur urutan data mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar. Analisis data merupakan upaya mencari dan mensistematiskan catatan hasil observasi, wawancara juga dokumentasi yang dilakukan dalam proses penelitian, untuk meningkatkan pemahaman peneliti atas temuan-temuan permasalahan yang diteliti.

Kemudian data yang diperoleh dari lapangan dilakukan analisis melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :


(12)

a. Tahap pertama : Kategorisasi dan mereduksi data, yaitu melakukan pengumpulan terhadap semua informasi penting yang terkait dengan masalah penelitian ini, selanjutnya data itu dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan.

b. Tahap kedua : Data yang dikelompokkan selanjutnya disusun dalam bentuk narasi-narasi sehingga data berbentuk rangkaian informasi yang bermakna sesuai dengan masalah penelitian.

c. Tahap ketiga : Melakukan interpretasi pada data, yaitu dengan menginterpretasikan apa yang telah diberikan dan diinterpretasikan oleh informan terhadap masalah yang diteliti.

d. Tahap keempat : Pengambilan kesimpulan berdasarkan susunan narasi yang telah disusun pada tahap ketiga, sehingga dapat memberikan jawaban atas masalah penelitian.

e. Tahap kelima : Melakukan verifikasi hasil analisis data dengan informan yang didasarkan pada kesimpulan tahap keempat. Tahap ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah informan penelitian yang dapat mengaburkan makna persoalan sebenarnya dari fokus tentang penelitian ini.

2.6 Lokasi Penelitian

Lokasi dalam sebuah metodologi menjadi sangat penting, karena dengan menentukan lokasi penelitian maka penelitian dapat menjadi jelas dan terarah. Oleh karena itu, penulis menentukan lokasi penelitian di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Adapun alasan penentuan lokasi dalam penelitian ini


(13)

karena banyaknya suku batak pendatang yang bermukim di Banjarmasin Kalimantan Selatan untuk berbagai alasan, yang kemudian menemukan pasangan hidupnya di Banjarmasin pula.

2.7 Triangulasi Data

Dengan melakukan triangulasi data seperti dikatakan oleh Denzin (dalam Moleong, 2004 : 330) yaitu teknik pemeriksaan yang memanfaatkan sumber, metode, penyidik dan teori. Dalam hal ini peneliti membandingkan data pengamatan dengan data wawancara dan dokumen. Peneliti juga memeriksa kembali penemuan hasil penelitian dari teknik pengumpulan data dan sumber data. Sehingga peneliti dapat menemukan perbedaan dan kesamaan serta alasan-alasannya. Pemanfaatan temuan hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan dimanfaatkan untuk pengecekan kembali data penelitian dan mengarahkan analisis data. Seluruh data penelitian yang dianggap penting akan dijelaskan dengan menggunakan teori-teori yang relevan mengurai tentang fokus dalam sebuah penelitian.


(14)

III. HASIL DAN ANALISIS 3.1 Hasil

3.1.1 Makna Identitas Diri dalam Pernikahan Campur

Dengan demikian identitas dipahami secara berbeda-beda tergantung dari tempat dimana identitas itu dimaknai. Karena dalam hal ini masing-masing pelaku komunikasi dalam sebuah pernikahan campur antar suku tetap menjadi dirinya pribadi sebagai anggota dari sebuah komunitas atau kelompok suku asalnya ketika mereka bergabung kembali dengan kelompok asalnya. Hal ini bukan berarti telah terjadi manipulasi identitas, karena masing-masing pelaku komunikasi dalam pernikahan campur antar suku tidak berpura-pura dan tidak terjadi pembelokan karakter. Mereka tetap memaknai diri mereka sebagai anggota baru dalam suku Batak karena telah diberikan marga yang dimaknai sebagai sebuah penghargaan bagi mereka, dan mereka masih menjadi anggota dari suku asalnya dengan tanpa menghilangkan kebudayaan asalnya sendiri. Masing-masing wanita menghasilkan perubahan dalam identitas diri mereka karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan pasangan yang patrilineal serta disebabkan oleh karakteristik mereka dalam memilih pasangan.

3.1.2 Pola Komunikasi Antar Pribadi dalam Pernikahan Campur

Sesuai dengan peran dan fungsinya, pria yang merupakan seorang kepala rumah tangga. Oleh sebab itu, wanita yang menikah dengan seorang pria yang berbeda suku dengannya akan memusatkan sumber informasi serta aliran komunikasi yang berasal dari sumbernya yaitu Sang


(15)

Ayah. Dengan demikian, pola komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh para wanita yang menikah dengan pria yang berasal dari Suku Batak telah menjalankan tiga jenis pola komunikasi yaitu pola komunikasi adaptif, inisiatif dan dominan.

3.1.3 Adaptasi dalam Pernikahan Campur

Adaptasi yang terjadi dalam sebuah pernikahan campur dilakukan oleh para wanita untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Adapun berbagai adaptasi yang terjadi yakni adaptasi bahasa, budaya, makanan, ritual dan adat istiadat, agama hingga pada pergaulan dalam kelompok barunya yaitu perkumpulan Suku Batak. 3.2 Analisis

3.2.1 Makna Identitas Diri dalam Pernikahan Campur

Identitas diri wanita yang menikah dengan seorang pria yang berasal dari Suku Batak yakni selaku pelaku komunikasi dalam sebuah pernikahan campur antar suku tetap menjadi dirinya pribadi sebagai anggota dari sebuah komunitas atau kelompok suku asalnya ketika mereka bergabung kembali dengan kelompok asalnya. Hal ini bukan berarti telah terjadi manipulasi identitas, karena masing-masing pelaku komunikasi dalam pernikahan campur antar suku tidak berpura-pura dan tidak terjadi pembelokan karakter. Mereka tetap memaknai diri mereka sebagai anggota baru dalam suku Batak karena telah diberikan marga yang dimaknai sebagai sebuah penghargaan bagi mereka, dan mereka masih menjadi anggota dari suku asalnya dengan tanpa menghilangkan kebudayaan


(16)

asalnya sendiri. Masing-masing wanita menghasilkan perubahan dalam identitas diri mereka karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan pasangan yang patrilineal serta disebabkan oleh karakteristik mereka dalam memilih pasangan. Seperti halnya dalam teori identitas sosial yang menyebutkan bahwa seseorang atau individu yang memiliki kesamaan emosi dan kepentingan dengan segenap pengetahuannya maka akan merasa dirinya adalah bagian dari sebuah kelompok, dengan berbagai upaya mereka dalam meningkatkan self esteem dalam membentuk konsep diri mereka. Sehingga dalam hal ini, para wanita yang melakukan pernikahan campur antar suku akan mempelajari kebudayaan hingga pada menggunakan atribut-atribut dari suku asal pasangannya dalam membentuk sebuah konsep diri mereka agar diterima dan menjadi anggota dalam kelompok suku asal pasangan mereka.

3.2.2 Pola Komunikasi Antar Pribadi dalam Pernikahan Campur

Dengan etnografi komunikasi, penelitian ini dapat melihat perilaku komunikatif dalam sebuah lingkungan yang berbeda suku. Dengan melihat peran dan fungsinya, pria yang merupakan seorang kepala rumah tangga. Oleh sebab itu, wanita yang menikah dengan seorang pria yang berbeda suku dengannya akan memusatkan sumber informasi serta aliran komunikasi yang berasal dari sumbernya yaitu Sang Ayah. Sehingga dengan demikian interaksi yang terbentuk dan terjalin lebih kearah suku Batak, yaitu dengan menjadikan beberapa tindakan atau perilaku sebagai suatu pola yang terbentuk dan kemudian menjadi sebuah identitas bagi


(17)

masing-masing pelaku komunikasi dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar Suku Batak dan lainnya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Namun demikian, pola komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh para wanita yang menikah dengan pria yang berasal dari Suku Batak telah menjalankan tiga jenis pola komunikasi yaitu pola komunikasi adaptif, inisiatif dan dominan.

3.2.3 Adaptasi dalam Pernikahan Campur

Adaptasi yang terjadi dalam sebuah pernikahan campur dilakukan oleh para wanita untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Adapun berbagai adaptasi yang terjadi yakni adaptasi bahasa, budaya, makanan, ritual dan adat istiadat, agama hingga pada pergaulan dalam kelompok barunya yaitu perkumpulan Suku Batak. Demikian halnya dalam teori FIRO (Fundamental of Interpersonal Relationship Orientations) yang menyebutkan bahwa seseorang atau individu dalam memasuki sebuah kelompok kecil akan memperhatikan tiga konsep utama yaitu afeksi, inklusi dan kontrol. Oleh sebab itu, dalam fenomena pernikahan campur juga terjadi tiga konsep tersebut oleh para wanita yang menikah dengan Suku Batak. Keinginan untuk diterima – menerima, keinginan untuk menyayangi – disayangi hingga pada sikap mendominasi – didominasi dalam kelompok suku Batak dengan melakukan beberapa adaptasi dari mulai bahasa, makanan, ritual dan adat istiadat, hingga pada pergaulan (lingkungan).


(18)

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan

Penelitian ini mengungkapkan bahwa pengalaman berkomunikasi dalam kehidupan pernikahan berbeda suku adalah pengalaman intersubyektif yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan stereotip dalam pengambilan keputusan menikah dan dalam memaknai identitas diri dalam kehidupan pernikahannya. Masing-masing pelaku komunikasi dalam sebuah pernikahan campur antar suku tetap menjadi dirinya pribadi sebagai anggota dari sebuah komunitas atau kelompok suku asalnya ketika mereka bergabung kembali dengan kelompok asalnya. Hal ini bukan berarti telah terjadi manipulasi identitas, karena masing-masing pelaku komunikasi dalam pernikahan campur antar suku tidak berpura-pura dan tidak terjadi pembelokan karakter. Mereka tetap memaknai diri mereka sebagai anggota baru dalam suku Batak karena telah diberikan marga yang dimaknai sebagai sebuah penghargaan bagi mereka, dan mereka masih menjadi anggota dari suku asalnya dengan tanpa menghilangkan kebudayaan asalnya sendiri. Masing-masing wanita menghasilkan perubahan dalam identitas diri mereka karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan pasangan yang patrilineal serta disebabkan oleh karakteristik mereka dalam memilih pasangan.

Pola komunikasi antar pribadi yang terjadi dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar suku yang terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang terbentuk melalui sebuah interaksi terbentuk dari


(19)

hasil penyesuaian komunikasi antar pribadi dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar suku. Adapun pola komunikasi pernikahan campur sebelum pernikahan kemungkinan diawali dengan sikap divergen (penolakan) baik secara penuh maupun sebagian. Karena dalam hal ini stereotip masih sangat mendominasi. Penolakan tersebut diikuti dengan larangan menikah bagi mereka. Namun dapat terjadi pula pola komunikasi setelah menikah diikuti dengan sikap convergen (penerimaan) dengan demikian mereka dapat melangsungkan pernikahan dengan restu dan ijin dari keduabelah pihak. Pola komunikasi dalam pernikahan campur ditemukan tiga pola yaitu pola adaptif, inisiatif dan dominan.

Bentuk-bentuk adaptasi yang terjadi dan dapat dilihat dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar suku di Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini berkaitan dengan sebuah dominasi dalam sebuah keluarga. Dominasi yang terjadi sangatlah berkaitan dengan sebuah akulturasi budaya dari masing-masing pelaku komunikasi dalam sebuah pernikahan campur. Dan berbagai adaptasi yang terjadi dalam pernikahan campur yaitu adaptasi terhadap bahasa, makanan, ritual atau adat istiadat, pergaulan hingga pada lingkungan baru.

4.2

Rekomendasi

Wanita yang ingin memutuskan untuk menikah dengan pria yang berbeda suku dengannya harus mempersiapkan diri dalam mengenal dan menyesuaikan diri pada latar belakang kebudayaan suku asal suami dan


(20)

keluarga besarnya hingga dalam mengikuti pergaulan-pergaulan kelompok suami.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi kajian komunikasi antar pribadi dan sebagai bahan bacaan atau referensi bagi semua pihak. Khususnya memberikan tambahan teoritis dalam bidang komunikasi antar pribadi dalam kehidupan pernikahan antar suku.


(21)

DAFTAR PUSTAKA BUKU TEKS

Ardianto, Elvinaro. 2010. Metode Penelitian untuk Publik Relations : Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Basrowi & Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif : Perspektif Mikro. Surabaya : Insan Cendikia.

Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Creswell, John W. 1998. Quantitative Inquiry And Research Design : Choosing Among Five Traditions. USA : Sage Publication Inc.

Dodd, Carley H. 1998. Dynamics of Intercultural Communication (Fifth Edition). Boston : Mc Graw-Hill.

Erikson, Erik.H. Terjemahan Agus Cremes. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta : Gramedia.

Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Bertindak. Terjemahan S. Widjojo Center. Jakarta : The British Council Indonesia. Fitts, William H. 1996. Tennesse Self-Concept Scale.TSCS : 2, Manual, Second

Edition. California : Western Psychological Services.

Hoper, Robert dan Jack L. Whitehead, JR. 1979. Communication Concept and Skills. New York : Harper & Row.

Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama. 2004. Experiencing intercultural communication. McGraw-Hill.

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar jaya Offset. Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi : Suatu Pengantar dan Contoh

Penelitiannya. Bandung : Widya Padjadjaran.

- - - -. 2009. Metode Penelitian Komunikasi : Fenomenologi; Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjadjaran Bandung.


(22)

Littlejohn, Stephen W. 2009. Theories of Human Communications. 9th Editions. Terjemahan Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta : Salemba Humanika. Littlejohn, Stephen W dan Fross, Karen A. 2009. Encyclopedia of communication

Theory. Thousand Oaks California : Sage Publication.

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi revisi) Bandung: Rosda Karya.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung : Rosda Karya.

- - - -. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Rosda Karya.

Nottingkham, E.K. 1993. Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi, Agama, Terjemahan. Jakarta : Rajawali Press.

Rajamarpondang, Gultom. 1992. Dalian Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan : CV Armanda.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Satori, Djam’an dan Aan, Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Sendjaya, S. Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Soekanto, Soejono. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Rajawali.

. . 1983. Meninjau Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta : CV Rajawali.

Soelaeman, Munandar.2001. Ilmu Budaya Dasar (Suatu Pengantar). Bandung: Refika Aditama.

Subagya, R. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.


(23)

Tajfel, Henri; Turner, John. 1979. An Integrative Theory of Intergroup Conflict. Monterey, CA : Brooks-Cole.

Tubbs, L. Steward & Sylvia Moss. 2000. Human Communication (Konteks-konteks Komunikasi buku kedua). Pengantar Deddy Mulyana. Bandung : Rosdakarya.

Wignjodpoer, Soerjono. 1967. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Gunung Agung.

BAHAN LAIN

Anonymous. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Informasi Kebudayaan Daerah

Sumatera Utara. Medan : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Anonymous. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara. Medan : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Disertasi Kuswarno, Engkus. 2004. Dunia Simbolik Pengemis Kota Bandung: Studi tentang Konstruksi Sosial dan Manajemen Komunikasi Para

Pengemis di Kota Bandung. Bandung. Program Pascasarjana Ilmu

Komunikasi. Universitas Padjadjaran. Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974


(1)

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan

Penelitian ini mengungkapkan bahwa pengalaman berkomunikasi dalam kehidupan pernikahan berbeda suku adalah pengalaman intersubyektif yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan stereotip dalam pengambilan keputusan menikah dan dalam memaknai identitas diri dalam kehidupan pernikahannya. Masing-masing pelaku komunikasi dalam sebuah pernikahan campur antar suku tetap menjadi dirinya pribadi sebagai anggota dari sebuah komunitas atau kelompok suku asalnya ketika mereka bergabung kembali dengan kelompok asalnya. Hal ini bukan berarti telah terjadi manipulasi identitas, karena masing-masing pelaku komunikasi dalam pernikahan campur antar suku tidak berpura-pura dan tidak terjadi pembelokan karakter. Mereka tetap memaknai diri mereka sebagai anggota baru dalam suku Batak karena telah diberikan marga yang dimaknai sebagai sebuah penghargaan bagi mereka, dan mereka masih menjadi anggota dari suku asalnya dengan tanpa menghilangkan kebudayaan asalnya sendiri. Masing-masing wanita menghasilkan perubahan dalam identitas diri mereka karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan pasangan yang patrilineal serta disebabkan oleh karakteristik mereka dalam memilih pasangan.

Pola komunikasi antar pribadi yang terjadi dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar suku yang terjadi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang terbentuk melalui sebuah interaksi terbentuk dari


(2)

hasil penyesuaian komunikasi antar pribadi dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar suku. Adapun pola komunikasi pernikahan campur sebelum pernikahan kemungkinan diawali dengan sikap divergen (penolakan) baik secara penuh maupun sebagian. Karena dalam hal ini stereotip masih sangat mendominasi. Penolakan tersebut diikuti dengan larangan menikah bagi mereka. Namun dapat terjadi pula pola komunikasi setelah menikah diikuti dengan sikap convergen (penerimaan) dengan demikian mereka dapat melangsungkan pernikahan dengan restu dan ijin dari keduabelah pihak. Pola komunikasi dalam pernikahan campur ditemukan tiga pola yaitu pola adaptif, inisiatif dan dominan.

Bentuk-bentuk adaptasi yang terjadi dan dapat dilihat dalam sebuah kehidupan pernikahan campur antar suku di Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini berkaitan dengan sebuah dominasi dalam sebuah keluarga. Dominasi yang terjadi sangatlah berkaitan dengan sebuah akulturasi budaya dari masing-masing pelaku komunikasi dalam sebuah pernikahan campur. Dan berbagai adaptasi yang terjadi dalam pernikahan campur yaitu adaptasi terhadap bahasa, makanan, ritual atau adat istiadat, pergaulan hingga pada lingkungan baru.

4.2

Rekomendasi

Wanita yang ingin memutuskan untuk menikah dengan pria yang berbeda suku dengannya harus mempersiapkan diri dalam mengenal dan menyesuaikan diri pada latar belakang kebudayaan suku asal suami dan


(3)

keluarga besarnya hingga dalam mengikuti pergaulan-pergaulan kelompok suami.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi kajian komunikasi antar pribadi dan sebagai bahan bacaan atau referensi bagi semua pihak. Khususnya memberikan tambahan teoritis dalam bidang komunikasi antar pribadi dalam kehidupan pernikahan antar suku.


(4)

DAFTAR PUSTAKA BUKU TEKS

Ardianto, Elvinaro. 2010. Metode Penelitian untuk Publik Relations : Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung : Simbiosa Rekatama Media.

Basrowi & Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif : Perspektif Mikro. Surabaya : Insan Cendikia.

Bungin, Burhan. 2003. Analisa Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Creswell, John W. 1998. Quantitative Inquiry And Research Design : Choosing Among Five Traditions. USA : Sage Publication Inc.

Dodd, Carley H. 1998. Dynamics of Intercultural Communication (Fifth Edition). Boston : Mc Graw-Hill.

Erikson, Erik.H. Terjemahan Agus Cremes. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Jakarta : Gramedia.

Fisher, Simon. 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Bertindak. Terjemahan S. Widjojo Center. Jakarta : The British Council Indonesia. Fitts, William H. 1996. Tennesse Self-Concept Scale.TSCS : 2, Manual, Second

Edition. California : Western Psychological Services.

Hoper, Robert dan Jack L. Whitehead, JR. 1979. Communication Concept and Skills. New York : Harper & Row.

Judith N. Martin dan Thomas K. Nakayama. 2004. Experiencing intercultural communication. McGraw-Hill.

Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar jaya Offset. Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi : Suatu Pengantar dan Contoh

Penelitiannya. Bandung : Widya Padjadjaran.

- - - -. 2009. Metode Penelitian Komunikasi : Fenomenologi; Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjadjaran Bandung.


(5)

Littlejohn, Stephen W. 2009. Theories of Human Communications. 9th Editions. Terjemahan Mohammad Yusuf Hamdan. Jakarta : Salemba Humanika. Littlejohn, Stephen W dan Fross, Karen A. 2009. Encyclopedia of communication

Theory. Thousand Oaks California : Sage Publication.

Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi revisi) Bandung: Rosda Karya.

Mulyana, Deddy. 2001. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung : Rosda Karya.

- - - -. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung : Rosda Karya.

Nottingkham, E.K. 1993. Agama dan Masyarakat, Suatu Pengantar Sosiologi, Agama, Terjemahan. Jakarta : Rajawali Press.

Rajamarpondang, Gultom. 1992. Dalian Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak. Medan : CV Armanda.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Satori, Djam’an dan Aan, Komariah. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Sendjaya, S. Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta : Universitas Terbuka. Soekanto, Soejono. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : Rajawali.

. . 1983. Meninjau Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta : CV Rajawali.

Soelaeman, Munandar.2001. Ilmu Budaya Dasar (Suatu Pengantar). Bandung: Refika Aditama.

Subagya, R. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.


(6)

Tajfel, Henri; Turner, John. 1979. An Integrative Theory of Intergroup Conflict. Monterey, CA : Brooks-Cole.

Tubbs, L. Steward & Sylvia Moss. 2000. Human Communication (Konteks-konteks Komunikasi buku kedua). Pengantar Deddy Mulyana. Bandung : Rosdakarya.

Wignjodpoer, Soerjono. 1967. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta : PT. Gunung Agung.

BAHAN LAIN

Anonymous. 1984. Ungkapan Tradisional Sebagai Informasi Kebudayaan Daerah Sumatera Utara. Medan : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Anonymous. 1977. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Utara. Medan : Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Disertasi Kuswarno, Engkus. 2004. Dunia Simbolik Pengemis Kota Bandung: Studi tentang Konstruksi Sosial dan Manajemen Komunikasi Para Pengemis di Kota Bandung. Bandung. Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi. Universitas Padjadjaran.