Proses Pengadopsian System Of Rice Intensification Oleh Anggota Subak Pacung di Desa Selat Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung.
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION(SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG
DI DESA SELAT, KECAMATAN ABIANSEMAL,
KABUPATEN BADUNG.
SKRIPSI
Oleh :
I WAYAN SUDARTANA NIM 1105315076
KONSENTARSI PENGEMBANGAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION(SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG DI
DESA SELAT, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN
(2)
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION (SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG
DI DESA SELAT, KECAMATAN ABIANSEMAL,
KABUPATEN BADUNG.
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Oleh
I Wayan Sudartana NIM. 1105315076
KONSENTRASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
(SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG DI DESA SELAT,
(3)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa seluruh bagian di skripsi ini tidak
terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Saya bersedia
dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku apabila terbukti
bahwa skripsi ini bukan hasil karya Saya sendiri, atau mengandung tindakan
plagiarism.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat
dipergunakan seperlunya.
Denpasar, April 2016 Yang menyatakan,
I Wayan Sudartana NIM. 1105315076
(4)
ABSTRACT
I Wayan Sudartana. NIM 1105315076. The process of adoption of the System Of Rice Intensification (SRI) by the Member Subak Strait Pacung Village, District Abiansemal, Badung regency. Supervised by: Dr. I Gede Adi Putra Setiawan, SP, MSi. and Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, MSi.
Food Security is the availability of food and one's ability to access it. This study aims to determine the adoption of System Of Rice Intensification (SRI) and a member of Subak Pacung adopters category. Location of the research conducted at the Strait intentionally with a population of 50 people and a sample of 24 people based formula slovin and the data were analyzed with descriptive analysis.
The adoption of SRI by Pacung Subak members at the stage of conscious of 79.4%, 67.5% interest stage, the stage of judging by 80.2%, amounting to 80.3% of the stage to try and stage of adoption of 40.2%. Category adopters Pacung Subak members, the class of Innovators of 0%, 13% early adopters, early majority of 54%, late majority laggards by 33% and amounted to 0%.
Subak members in trying SRI needs to be done over and over again so get good results, in addition, members of Subak is expected to seek more information about SRI and the role of government is needed in the successful adoption of an innovation that is given to farmers.
(5)
ABSTRAK
I Wayan Sudartana. NIM 1105315076. Proses Pengadopsian System Of Rice Intensification (SRI) oleh Anggota Subak Pacung di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Dibimbing oleh: Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP, MSi. dan Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, MSi.
Ketahanan Pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengaksesnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pengadopsian System Of Rice Intensification (SRI) dan kategori adopters anggota Subak Pacung. Lokasi penelitian ditentukan di Desa Selat secara sengaja dengan populasi berjumlah 50 orang dan sampel berjumlah 24 orang berdasarkan rumus slovin serta data dianalisis dengan analisis deskriptif.
Proses pengadopsian SRI oleh anggota Subak Pacung pada tahap sadar sebesar 79.4%, tahap minat sebesar 67,5%, tahap menilai sebesar 80,2%, tahap mencoba sebesar 80,3% dan tahap adopsi sebesar 40,2%. Kategori adopter anggota Subak Pacung, yang golongan innovators sebesar 0%, early adopters sebesar 13%, early mayority sebesar 54%, late mayority sebesar 33% dan laggards sebesar 0%.
Anggota Subak dalam mencoba SRI perlu dilakukan berulang ulang sehingga mendapatkan hasil yang baik, selain itu, anggota subak diharapkan mencari informasi lebih banyak lagi tentang SRI dan peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam keberhasilan pengadopsian suatu inovasi yang diberikan kepada petani.
(6)
RINGKASAN
PP RI No. 68 Tahun 2002, Ketahanan Pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri dan sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Indonesia menjadi kekurangan pasokan pangan. Rendahnya laju peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanamanpangan yang masih rendah dan terus menurun, (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif. Kombinasi kedua faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun. Di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi salah satu tantangan utama dalam permasalahan pangan di Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka permintaan pangan pun terus meningkat. Selain itu, tantangan lainnya adalah pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dan adanya persaingan pangan untuk konsumsi dan bioenergi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka program ketahanan pangan nasional (Kadin, 2008).
Pemerintah melakukan berbagai upaya mengatasi permasalahan tersebut untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia. Adapun upaya yang dilakukan pemerintah antara lain:ekstensifikasi pertanian,diversifikasi pertanian, intensifikasi pertanian,rehabilitasi pertanian.
Program yang dibuat oleh pemerintah tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa didukung oleh teknologi dan SDM yang handal. Teknologi diciptakan untuk menunjang program tersebut agar dapat terlaksana dengan baik. SDM yang handal merupakan penggerak dari teknologi yang telah ada.
SRI adalah teknik budidaya padi pada lahan irigasi dan lahan tadah hujan yang ketersediaan airnya terjamin secara intensif dan efisien dalam
(7)
mengelolatanah, tanaman dan air melalui pemerdayaan petani, kelompok, P3A, gapoktan dan kearifan lokal (Kementrian Pertanian, 2014).
Subak Pacung merupakan salah satu subak yang ada di Desa Selat yang memiliki potensi dalam bidang pertanian. Potensi ini dimanfaatkan oleh Dinas Pertanian, Perkebunan Dan Kehutanan Kabupaten Badung untuk mengembangkan SRI. Pada bulanAgustus 2014 dilakukan penyuluhan mengenai SRI di Subak Pacung.
Pengumpulan data peneilitain tentang proses pengadopsian SRI oleh anggota Subak Pacung di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung dimulai pada bulan November 2015 sampa dengan Januari 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:(1) proses pengadopsian SRI oleh anggota Subak Pacung; (2) menentukan kategori adopter anggota Subak Pacung.
Populasi penelitian berjumlah 50 orang. Responden anggota Subak Pacung ditetapkan berjumlah 24 orang dengan mengunakan rumus Slovin dan penetapan responden dengan simple random sampling. Pada praktek penelitian menggunakan data kualitatif dan kuantitatif yang sudah dihimpun melalui data primer dan data sekunder. Hasil penghimpunan data kemudian diolah dengan metode analisis deskriptif dengan pengukuran Skala Likert, yaitu pengukuran dengan memberikan skor 1 sampai 5.
Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pengadopsian SRI oleh anggota Subak Pacung pada tahap sadar tergolong tinggi dengan pencapaian skor sebesar 79,4%. Pada tahap minat tergolong dalam kategori sedang dengan pencapaian skor sebesar 67,5%. Pada tahap menilai tergolong dalam kategori tinggi dengan pencapain skor sebesar 80,2%. Selanjutanya pada tahap mencoba tergolong dalam kategori tinggi dengan pencapaian skor sebesar 80,3% dan pada tahap adopsi tergolong dalam kategori rendah dengan pencapaian skor sebesar 40,2%. Pengadopsian SRI oleh anggota Subak Pacung tergolong rendah karena pada saat mencoba SRI banyak kendala dan kesulitan yang ditemui oleh anggota Subak Pacung. Namun, anggota subak masih ada yang menggunakan bagian-bagian dari SRI yang dikombinasikan dengan teknik pertanian yang lain.
Kategori adopter anggota subak pacung menunjukan bahwa tidak ada responden yang tergolong dalam innovator, responden yang tergolong early
(8)
adopters sebesar 13%, responden yang tergolong early mojority sebesar 54%, responden tergolong late majority sebesar 33% dan tidak ada responden yang tergolong laggards. Perolehan skor tersebut karena semua pendidikan responden tergolong sedang antara tamatan SD, SMP dan SMA/SMK.
Saran-saran yang dapat disampaikan yaitu pertama, dilihat dari hasil penelitian pada tahap minat responden tergolong dalam kategori sedang, karena dalam mencari informasi anggota subak hanya mengandalkan PPL. Sebaiknya anggota subak mencari sumber informasi lebih banyak lagi informasi selain dari PPL, seperti petani yang sudah berhasil menerapakan SRI, jika bisa petani mencari informasi di media cetak seperti buku, dan media sosial seperti internet dan lain sebagainya akan lebih menambah wawasan petani tentang metode SRI. Kedua, dalam mencoba SRI memang torgolong dalm kategori tinggi karena anggota subak telah secara serentak mau menggunkan SRI dalam skala yang besar dan menguji masalah timbul serta menguji produktivitas SRI. Namun hasil yang di dapat dari menguji SRI yakni banyak kendala-kendala yang ditemui. Respoden dalam mencoba SRI mungkin ada kesalahan sehingga hasil ujinya menunjukan hal yang tidak bagus. Maka dari itu perlu dilakukan percobaan yang berulang-ulang. Satu kali mencoba tidak akan mungkin mendapatkan hasil yang bagus.
(9)
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION(SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG
DI DESA SELAT, KECAMATAN ABIANSEMAL,
KABUPATEN BADUNG.
I Wayan Sudartana NIM. 1105315076
Menyetujui
Mengesahkan Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Udayana
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Rai, MS NIP.19630515 198803 1 001
Tanggal Lulus: 4 April 2016 Pembimbing I
Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP, MSi NIP. 19780914200012 1 001
Pembimbing II
Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, MSi NIP. 19601114198603 1 002
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION(SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG DI
DESA SELAT, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN
(10)
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION (SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG
DI DESA SELAT, KECAMATAN ABIANSEMAL,
KABUPATEN BADUNG.
Dipersiapkan dan diajukan oleh I Wayan Sudartana
NIM. 1105315076
Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Pada tanggal 4 April 2016
Berdasarkan SK Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana No :54/UN14.1.23/DL/2016
Tanggal : 29 Maret 2016 Tim Penguji Skripsi adalah:
Ketua : Dr. Ir. Ni Wayan Sri Astiti, M.P Anggota :
1. Ir. Nyoman Parining, M.Rur.M
2.
I Made Sarjana.,SP., MSc3. Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, S.P., M.Si 4. Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, M.Si
PROSES PENGADOPSIAN SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
(SRI) OLEH ANGGOTA SUBAK PACUNG DI DESA SELAT,
(11)
RIWAYAT HIDUP
I Wayan Sudartana lahir di Desa Selat Kecamatan
Abiansemal, Kabupaten Badung pada tanggal 20 Maret
1992, merupakan anak pertama dari dua bersudara dari
pasangan I Nyoman Sudarta dan Ni Wayan Darmi.
Penulis mengawali pendidikan di TK Kumara Sari
II Selat pada tahun (1998 s.d 1999). Pendidikan selanjutnya dilakukan di SD N 1
Selat (1999 s.d 2005). Kemudian penulis melanjutkan ke SMP N 4 Abiansemal
(2005 s.d 2008). Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan ditempuh di SMK N 1
Petang (2008 s.d 2011). Pendidikan tinggi dilanjutkan ke jenjang perkuliahan
dengan masuk di Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana
Tahun 2011.
Selama masa kuliah, penulis aktif mengikuti kegiatan dan kepanitiaan
baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus. Di lingkungan kampus aktif
mengikuti kegiatan kepanitiaan dalam berbagai acara yang diselenggarakan
Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Pertanian (OKFP), Forum. Persaudaraan
Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana (FPMHD), menjadi panitia
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana Student Day 2012, sementara di
luar kampus mengikuti kegiatan Sekaa Teruna Teruni di tingkat Banjar Selat dan
(12)
KATA PENGANTAR
“Om Awignamwastu Namah Sidham”
“Om Swastyastu”
Angayubagia Atas Asung Kerta Waara Nugraha yang diberikan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, penulis telah dapat menyelesaikan kewajiban akademis
penyusunan skripsi, sebagai tugas akhir semester mahasiswa Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana. Berjudul “Proses Pengadopsian System Of Rice
Intensification (SRI) oleh Anggota Subak Pacung di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung”. Penulis telah mampu selesaikan skripsi ini untuk melengkapi persyaratan meraih gelar Sarjana Pertanian, diharapkan
kemudian dapat digunakan sebagai rujukan studi kepustakaan dimasa mendatang.
Penulis menyadari dalam penyususnan skripsi ini, penulis didukung oleh
berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak tersebut :
1. Prof. Dr. I Nyoman Rai, MS. Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Udayana yang telah memberikan kemudahan dalam berbagai kebutuhan
akademis Fakultas Pertanian.
2. Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, MSi. Ketua Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Udayana, yang telah membantu penulis
dalam memenuhi kebutuhan akademis Program Studi Agribisnis.
3. Ir. Nyoman Parining, M.Rur.M. Ketua Konsentrasi Pengembangan
Masyarakat, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas
Udayana, atas kemudahan yang telah diberikan dalam pengajuan usulan
(13)
4. Ir.M.TH. Handayani, MP, MAgb selaku Pembimbing Akademik atas
segala bimbingannya dan masukkannya kepada penulis selama menjadi
mahasiswa Program Studi Agribisnis.
5. Para Dosen penguji, yang telah memberikan kritik dan saran yang sifatnya
membangun dalam penyempurnaan skripsi ini.
6. Pembimbing I, Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP, MSi dan Pembimbing
II, Dr. Ir. I Dewa Putu Oka Suardi, MSi, yang dengan penuh kesabaran
memberikan bimbingan dan masukkan kepada penulis dalam
perampungan skripsi.
7. Segenap dosen dan pegawai jurusan Program Studi Agribisnis dan
Fakultas Pertanian yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi
dan pemenuhan berkas untuk menuntaskan skripsi ini.
8. I Dewa Putu Gede, selaku ketua Subak Pacung dan anggota Subak Pacung
yang senantiasa membantu saya dalam berdiskusi mengenai proses
pengadopsian SRI.
9. I Wayan Sudiana selaku kelihan dinas, yang sukarela dan penuh ikhlas
membantu saya dalam melaksanakan penelitian.
10. Kedua orang tua saya, I Nyoman Sudarta (Ayah) dan Ni Wayan Darmi
(Ibu) atas dukungan moral dan rohani yang diberikan untuk saya selama
menjalankan kegiatan sebagai mahasiswa.
11. Kepada adik saya Ni Made Mirayanti atas dukungan moral dan rohani
yang diberikan untuk saya selama menjalankan kegiatan sebagai
(14)
12. Seluruh teman Konsentrasi Pengembangan Masyarakat dan Konsentrasi
Pengembangan Bisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana Angkatan
2011, yang mendukung dan memotivasi saya dalam perampungan skripsi.
13. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Saya ucapkan terimakasih banyak atas segala bantuannya selama
perampungan skripsi ini.
Penulis menyakini bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini,
maka dari itu kritik yang konstruktif adalah solusi terbaik untuk membangun
pondasi akademis yang lebih ilmiah dan berkualitas. Dengan kerendahan hati,
penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi positif dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, dan pengembangan kesejahteraan petani. “Om Santih, Santih, Santih, Om”
Denpasar, April 2016
(15)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM………...………. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..………….……... iii
ABSTRACT……….………. iv
ABSTRAK………..... v
RINGKASAN……….………..... vi
HALAMAN PERSETUJUAN…………..……….. ix
TIM PENGUJI…………....……… x
RIWAYAT HIDUP………. xi
KATA PENGANTAR………. xii
DAFTAR ISI………..………...….……. xv
DAFTAR TABEL………..………. xvii
DAFTAR GAMBAR……….……. xviii
DAFTAR LAMPIRAN……….. xix
I. PENDAHULUAN…...……… 1
1.1Latar Belakang……….……….. 1
1.2Rumusan Masalah………….…….……… 6
1.3Tujuan Penelitian……….……….. 7
1.4Manfaat Penelitian………...……….. 7
1.5Ruang Lingkup penelitian………...……….. 8
II. TINJAUAN PUSTAKA……….…… 9
2.1 System Of Rice Intensification (SRI)……... 9
2.1.1 Pengertian SRI………..……... 9
2.1.2 Keunggulan metode SRI……… 10
2.1.3 Prinsip-prinsip budidaya padi organik metode SRI 10 2.1.4 Teknik budidaya padi organik metode SRI……….. 11
2.1.5 Pertanian padi organik metode SRI dan Konvensional……….. 13
2.2 Adopsi Inovasi ………....………. 14
2.2.1 Pengertian adopsi inovasi………. 14
2.2.2 Proses pengadopsian inovasi………. 16
2.3 Kategori Adopter………...…..………..…… 23
2.4 Subak………. 26
(16)
III. METODE PENELITIAN…...………....... 30
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian……….……….…. 30
3.2 Jenis Data Penelitian……….………… 31
3.3 Sumber Data Penelitian………..……… 31
3.4 Teknik Pengumpulan Data……….……… 32
3.5 Instrumen Penelitian………...……… 32
3.6 Populasi dan Sampel………..……… 34
3.7 Variabel dan Pengukuran Variabel.……….………. 35
3.8 Batasan Operasional Variabel…….…….………. 37
3.9 Metode Analisis Data………...………..………. 39
IV. GAMBARAN UMUM PENELITIAN……..………. 42
4.1 Gambaran Umum Subak Pacung………..…… 42
4.1.1Letak Geografis Subak Pacung…..…..…….……..… 42
4.1.2Potensi Subak Pacung……….. 42
4.1.3Sarana dan prasarana Subak Pacung………....……… 43
4.1.4Struktur organisasi Subak Pacung……….. 44
4.1.5Kegiatan penyuluhan yang dilakukan di Subak Pacung 45 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 46
5.1Karakteristik Responden……… 46
5.1.1 Umur responden…………..……… 46
5.1.2 Status perkawinan ……… 47
5.1.3 Jumlah anggota rumah tangga responden….…….. 47
5.1.4 Tingkat pendidikan responden……….. 48
5.2Proses Pengadopsian SRI oleh Anggota Subak Pacung . ….. 50
5.2.1 Tahap sadar ………...………. 53
5.2.2 Tahap minat ……….……… 54
5.2.3 Tahap menilai ………...……….. 56
5.2.4 Tahap mencoba ……….……….. 58
5.2.5 Tahap adopsi ……….. 60
5.3Kategori Adopter Anggota Subak Pacung………..…… ….. 61
VI. SIMPULAN DAN SARAN……….. 67
6.1Simpulan………...…... 67
6.2Saran……….……….……….…… 68
DAFTAR PUSTAKA………..……….…… 69
(17)
DAFTAR TABEL
Nomer Halaman
2.1 Perbandingan Metode SRI dengan Metode Konvensional……… 14 3.1 Variabel, Indikator, Parameter, dan Pengukuran Data …………. 36 3.2 Presentase Skor dan Kategori Skor…..……….………. 40 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Angota Rumah Tangga 48 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan …………
49
5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Proses Pengadopsian SRI …. 50
5.4 Pencapaian Skor pada Proses Pengadopsian SRI………..………... 52
(18)
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Halaman
2.1 Kategori Adopter …..……… 26 2.2 Kerangka Pemikiran ………. 29 5.1 Kategori Adopter Subak Pacung……… 65
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
No. Lampiran Halaman
1. Nama Anggota Subak Pacung Sebagai Responden …………..……… 72
2. Kuesioner Proses Pengadopsian System Of Rice Intensification (SRI) oleh Anggota Subak Pacung di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung…… ... 73
3. Reabilitas dan Validitas Kuesioner ……….………. 81
4. Karakteristik Responden Anggota Subak Pacung ……….. 82
5. Tabulasi Kuesioner ………. 83
(20)
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan vital yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, untuk dapat melakukan kehidupan secara produktif. Berdasarkan
Peraturan PemerintahRI No. 68 Tahun 2002,tentang ketahanan pangan merupakan
hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk
manusia Indonesia yang berkualitas, mandiri dan sejahtera melalui perwujudan
ketersediaan pangan yang cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta
tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia dan terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Berdasarkan pengalaman di banyak Negara menunjukkan bahwa
tidak ada satu Negara pun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap
sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu (BKP, 2002).
Ketahanan pangan merupakan ukuran terhadap gangguan di masa depan
atau ketiadaan suplai pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan,
gangguan perkapalan, kelangkaan bahan bakar, ketidakstabilan ekonomi,
peperangan, dan sebagainya. Ada tiga komponen yang mencakup ketahanan
pangan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan.
Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup
untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah kemampuan memiliki sumber daya,
secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan pangan bernutrisi.
Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan
(21)
2
(FAO) menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan dari ketiga komponen
tersebut dalam kurun waktu yang panjang (Pribadi, 2005).
Indonesia menjadi kekurangan pasokan pangan.Rendahnya laju
peningkatan produksi pangan dan terus menurunnya produksi di Indonesia antara
lain disebabkan oleh: (1) Produktivitas tanaman pangan yang masih rendah dan
terus menurun, (2) Peningkatan luas areal penanaman-panen yang stagnan bahkan
terus menurun khususnya di lahan pertanian pangan produktif. Kombinasi kedua
faktor di atas memastikan laju pertumbuhan produksi dari tahun ke tahun yang
cenderung terus menurun. Di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi
menjadi salah satu tantangan utama dalam permasalahan pangan di Indonesia.
Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka permintaan pangan terus
meningkat. Selain itu, tantangan lainnya adalah pemanasan global yang
berdampak pada perubahan iklim dan adanya persaingan pangan untuk konsumsi
dan bioenergi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan
upaya-upaya khusus dalam pembangunan pertanian pangan khususnya dalam kerangka
program ketahanan pangan nasional (Kadin, 2008).
Pemerintah melakukan berbagai upaya mengatasi permasalahan tersebut
untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia. Adapun upaya yang dilakukan
pemerintah antara lain: 1) Ekstensifikasi pertanian merupakan suatu usaha guna
meningkatkan hasil panen, perluasan hasil pertanian, hasil peternakan, perikanan,
perluasan areal peternakan, areal penangkapan ikan lewat budidaya ikan dan
lain-lainnya. 2) Diversifikasi pertanian merupakan sebuah usaha yang digunakan untuk
penganekaragaman. 3) Intensifikasi pertanian merupakan sebuah usaha guna
(22)
3
produksi dan teknologi tepat guna, sehingga dapat menghasilkan produksi sesuai
yang kita harapkan. 4) Rehabilitasi pertanian merupakan suatu usaha untuk
memulihkan kembali kemampuan untuk berproduksi sumber daya pertanian yang
kritis dan memulihkan usaha tani di daerah-daerah yang masih rawan, sehingga
dapat menghasilkan hasil yang memadai dan mutu yang baik. Upaya lain yang
dilakukan pemerintah dalam peningkatan produksi pangan adalah memberikan
bantuan pada petani seperti memberikan subsidi pupuk yang berkualitas.
Pemerintah juga telah melakukan pengendalian konservarsi lahan pertanian,
mencetak lahan pertanian baru dan intensifikasi sistem pertanian dengan
menerapkan tekhnologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan sekaligus
mempertahankan kualitas lingkungan (BKP, 2012).Mulyana(2012),beberapa
upaya untuk mengurangi kerawanan/kerentanan pangan antara lain dengan cara:
1. Membangun infrastruktur agar terjalin integrasi antara sumber pasokan bahan pangan dan distribusinya dengan mengembangkan sentra-sentra produksi dan
daerah-daerah lumbung-lumbung pangan baru.
2. Membangun partisipasi masyarakat dalam mengembangkan cadangan pangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat tersebut.
3. Membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan peningkatan kualitas konsumsi melalui penganekaragaman dan diversifikasi konsumsi pangan.
4. Meningkatkan pelayanan kesehatan bagi ibu-ibu hamil dan menyusui, dan balita.
5. Merevitalisasi SKPG untuk melakukan deteksi dini untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan pangan .
(23)
4
Agar upaya tersebut dapat berjalan dengan baik maka perlu didukung oleh
adanya teknologi.Sejak abad ke 17 sampai sekarang sudah beberapa varietas baru
yang bermunculan, seperti jenis padi IR, PB, VUTW, C4 dan sebagainya. Di
samping itu berbagai teknik-teknik budidaya dan teknologi berupa alat pertanian
juga telah diciptakan dalam upaya meningkatkan produksi pangan. Dimana
varietas baru, teknik-teknik budidaya dan alat pertanian yang modern dapat
memberikan konstribusi yang lebih besar dalam rangka mengurangi kesenjangan
pangan dan memperluas kesempatan kerja, mampu memanfaatkan peluang
ekonomiyang terjadi sebagai dampak dari globalisasi. Untuk itu, diperlukan
sumber daya manusia pertanian yang berkualitas dan handal. Sehingga petani atau
pelaku usaha tani mampu membangun usaha tani yang berdaya guna dan berdaya
saing. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan SDM pertanian yakni
melalui kegiatan penyuluhan pertanian
Kabupaten Badung jumlah penduduk (2013) mencapai 589.000jiwa dan
luas lahan sawah 25% atau sekitar 10.195 Ha dari total luas kabupaten yakni
41.852 Ha.Struktur perekonomian masih bertumpu pada sector pertanian. Potensi
agraris dapat dilihat melalui persentase perkembangan jumlah penduduk yang
bekerja di sektor pertanian, yakni sektor pertanian merupakan sektor keempat
terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Badung (BPS Provinsi Bali, 2013).
Kabupaten Badung merupakan suatu wilayah yang mengembangkan
sektor pariwisata yang berada di Badung Selatan dan sektor pertanian yang berada
di Badung Utara. Namun, dengan semakin gencarnya pengembangan terutama
yang berkaitan dengan pengembangan proyek pariwisata di Badung selatan
(24)
5
pertanian menjadi lahan terbangun mengakibatkan penurunan produksi pangan
atau beras dan berdampak pada distribusi persentase sektor pertanian pada PDRB
Kabupaten Badung. Kurun waktu 5 tahun terakhir, rata-rata alih fungsi lahan
mencapai 60,2 ha, sedangkan periode 2003 sampai dengan 2005 mencapai 101,3
ha.Saat ini luas sawah di Kab. Badung 9.984 ha, dengan rata-rata produksi lima
tahun terakhir sebanyak 118.667 ton, dan produktivitas 62,43 kwintal/ha.
Produktivitas dua tahun terakhir diatas rata-rata, namun total produksi
mengalami penurunan. Disebabkan adanya perbaikan irigasi dan kekeringan
berdampak penurunan luas panen mencapai sekitar 19%, disamping adanya alih
fungsi lahan. Dari data ini, surplus beras juga mengalami penurunan dari rata-rata
6.826 ton tahun 2013 menjadi 3.712 ton tahun 2014. Namun hal ini masih
diimbangi dengan produksi kedelai, kacang tanah dan ubi jalar rata-rata lima
tahun terakhir mencapai 1.129 ton; 478 ton dan 8.890 ton (Adi, 2015).
Penurunan hasil total produksi tersebut, Pemerintah Badung terus
mengembangkan pertaniannya. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Badung, antara lain;
memberikan penyuluhan terhadap petani tentang inovasi baru, perbaikan
infrastruktur, permodalan, subsidi dan bantuan saprodi, pelatihan pengolahan
hasil, promosi, pameran dan pemasaran hasil.
Lokasi penyuluhan dalam upaya meningkatkan produksi pangan padi ada
di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung,tepatnya di Subak
Pacung. Awal dilaksanakan penyuluhan di Subak Pacung yakni pada bulan
(25)
6
Pertanian di Desa Selat khususnya di Subak Pacung dikembangkan untuk
meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pendapatan petani agar para
petani dapat hidup sejahtera maka melalui tangan penyuluhan mengenalkan
sebuah inovasi tentang pengembangan System Of Rice Intensification (SRI)
kepada masyarakat petani. System Of Rice Intensification (SRI) adalah teknik
budidaya padi yang mampu meningkatkan produktifitas padi dengan cara
mengubah pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara, terbukti telah berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50%, bahkan di beberapa tempat
mencapai 100% (Mutakin, 2005). Pengembangan sistem ini merupakan suatu
sistem pertanian yang berdasarkan pada prinsip Process Intensification (PI) dan
Production on Demand (POD) (Ramshaw, 2001).
Penyuluh dalam memberikan penyuluhanmenjadwalkan delapan kali
pertemunan dengan pihak anggota subak untuk memperkenalkan inovasi
SRI.Dalam kegiatan ini pemerintah memberikan dana yang bersumber dari
APBN-TP.2004. Namuninovasi System Of Rice Intensification (SRI) ini diduga
belum diadopsi dengan baik oleh anggota Subak Pacung.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan pada penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses pengadopsian System Of Rice Intensification (SRI) olehanggota Subak Pacung?
2. Bagaimana kategori adaptor anggota Subak Pacung dalam mengadopsi
(26)
7
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengadopsian System Of Rice Intensification (SRI) olehanggota Subak Pacung.
2. Untuk mengetahuikategori adaptor Anggota Subak Pacung dalam mengadopsi
System Of Rice Intensification (SRI).
1.4Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Bagi anggota Subak Pacung, penelitian dapat menambah pengetahuan dalam
proses pengadopsian inovasi dalam mendukung program pemerintah untuk
meningkatkan produksi pangan dan mempertahankan ketahanan pangan.
2. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan terutama dalam hal keterikatan dengan proses pengadopsian
inovasi oleh petani. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan refrensi
untuk melakukan penelitaian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi mahasiswa, dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama
perkuliahan pada kehidupan nyata dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar
kesarjanaan pada Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
4. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam membuat
(27)
8
1.5Ruang Lingkup
Pengembangan System Of Rice Intensification (SRI) di Subak Pacung,
Desa Selat Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung adalah sebuah program
untuk meningkatkan produksi padi dan menjaga ketahanan pangan di Kabupaten
Badung. Ruang lingkup penelitian ini menekankan pada proses pengadopsian
System Of Rice Intensification (SRI) oleh anggota Subak Pacung, dimana proses
pengadopsian Sistem Of Rice Intensification (SRI) ini terdiri dari beberapa
tahapan antara lain: sadar, minat, menilai, mencoba dan adopsi. Selain itu, peneliti
juga ingin mengetahui bagaimana kategori adaptor anggota Subak Pacung dalam
(28)
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Sistem Of Rice Intensification (SRI)
2.1.1 Pengertian Sistem Of Rice Intensification (SRI)
Kementrian Pertanian (2014) memaparkan bahwa SRI sebagai teknik
budidaya padi pada lahan irigasi dan lahan tadah hujan yang ketersediaan airnya
terjamin secara intensif dan efisien dalam mengelola tanah, tanaman dan air
melalui pemerdayaan petani/kelompok/P3A/gapoktan dan kearifan lokal. SRI
merupakan model pertanian yang menekankan pada pengolahan sistem pertanian
yang ramah lingkungan. Metode ini pertama kali ditemukan secara tidak disengaja
di Madagaskar antara tahun 1983 -84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang
Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di
sana. Oleh penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis
dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris
populer dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI (Mutakin,
2005).
Hasil metode SRI sangat memuaskan. Di Madagaskar, pada beberapa
tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI
memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha. Metode SRI minimal menghasilkan
panen dua kali lipat dibandingkan metode yang biasa dipakai petani. Hanya saja
diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk
bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup
(29)
10
dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan
cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhannya (Mutakin, 2005).
2.1.2 Keunggulan Metode SRI
Keunggulan dari metode SRI yaitu 1) Tanaman hemat air, selama
pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen memberikan air max 2 cm, paling
baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak
(irigasi terputus). 2) Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg/ha. Tidak memerlukan
biaya pencabutan bibit, tidak memerlukan biaya pindah bibit, tenaga tanam
kurang. 3) Hemat waktu, ditanam bibit muda 5 - 12 hari setelah semai (hss), dan
waktu panen akan lebih awal. 4) Produksi meningkat, di beberapa tempat
mencapai 11 ton/ha. 5) Ramah lingkungan, tidak menggunaan bahan kimia dan
digantikan dengan mempergunakan pupuk organik (kompos, kandang dan
mikrooragisme lokal), begitu juga penggunaan pestisida (Mutakin, 2005).
Bila dihubungkan dengan tahapan adopsi maka penyuluhan tentang
keunggulan inovasi berada pada tahap sadar. Penyuluh dalam menyebarluasakan
suatu inovasi memakai metode massal seperti siaran pedesaan (TV, radio, surat
kabar) dan kompaye. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian adopter terhadap
suatu inovasi.
2.1.3 Prinsip-Prinsip Budidaya Padi Organik Metode SRI
Beberapa prinsip budidaya padi organik metode SRI yaitu 1)
Tanamanbibit muda berusia kurang dari 12 hari setelah semai (hss) ketika bibit
(30)
11
30, 35 x 35 atau lebih pindah tanam harus sesegera mungkin (kurang dari 30
menit) dan harus hati-hati agar akar tidak putus dan ditanam dangkal. 3)
Pemberian air maksimal 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan
sampai pecah (irigasi berselang/terputus). 4) Penyiangan sejak awal sekitar 10 hari
dan diulang dua sampai kali dengan tiga interval 10 hari. 5) Sedapat mungkin
menggunakan pupuk organik (Mutakin, 2005).
Prinsip-prinsip dari suatu inovasi biasanya diberikan pada tahap sadar agar
adopter lebih tertarik pada inovasi tersebut. Metode yang dilakukan oleh penyuluh
yaitu metode massal.
2.1.4 Teknik Budidaya Padi Organik Metode SRI
Penyuluh dalam memberikan penyuluhan mengenai teknik budidaya SRI
memakai metode berkelompok yakni mengumpulkan petani untuk diajak
berdiskusi tentang inovasi yang diberikan. Teknik budidaya SRI ini jika
dihubungkn pada tahapan adopsi maka berada pada tahap minat. Dimana petani
pada tahap minat akan menginginkan pengetahuan lebih dalam lagi mengenai
inovasi SRI.
Penjelasan tentang teknik budidaya padi organik metode SRI adalah
sebagai berikut.
1. Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang
cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur,
maka telur akan terapung. Benih yang baik untuk dijadikan benih adalah benih
(31)
12
dalam air biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari,
kemudian disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam
wadah segi empat ukuran 20 x 20 cm. Selama 7 hari. Setelah umur 7-10 hari
benih padi sudah siap ditanam (Mutakin, 2015).
2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah untuk tanam padi metode SRI tidak berbeda dengan cara
pengolahan tanah untuk tanaman padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk
mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari
gulma. Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan
menggunakan traktor tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan
tanah diratakan untuk mempermudah mengontrol dan mengendalikan
air(Mutakin, 2005).
3. Perlakuan Pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan
penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan.
Kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional
adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim tanam. Setelah
kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang
disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada
tahap pengolahan tanah kedua agar pupuk bisa menyatu dengan
tanah(Mutakin, 2005).
4. Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus
(32)
13
hanya untuk mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air
pada sistem padi organik dapat dilakukan sebagai berikut yaitu pada umur
1-10 HST tanaman padi digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1cm,
kemudian pada umur 10 hari dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan
penyiangan tanaman tidak digenangi. Untuk perlakuan yang masih
membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari menjelang penyiangan
tanaman digenang. Pada saat tanaman berbunga, tanaman digenang dan
setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi kembali sampai
panen.Pengendalian hama dan penyakit pada SRI tidak mengunakan bahan
kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi gangguan
hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan pengendalian
secara fisik dan mekanik (Mutakin, 2015).
2.1.5 Pertanian Padi Organik Metode SRI dan Konvesional
Perbandingan SRI dengan metode konvensional dan lebih meyakinkan
petani padi yang ingin mencoba beralih dari sistem konvensional ke SRI. Jika
dihubungkan dengan tahapan adopsi makaperbandingan metode SRI dengan
metode konvensioanal berada pada tahap menilai. Teknik yang digunakan oleh
penyuluh pada tahap ini yakni melakukan Denplot atau sejenisnya agar para
petani melihat secara nyata dan tidak hanya sebatas teori. Berikut perbandingan
(33)
14
Tabel 2.1
Perbandingan Metode SRI dengan Metode Konensional No Metode konvensional Metode SRI
1 2 3 4 5 6
50 kg benih per ha
Umur 25-30 hari baru ditanam Jumlah anakan maksimal 26 batang
Tiga bahkan lebih bibit yang ditanam
Menggunakan pupuk NPK
Penggenangan berlanjut
15 kg per ha
Umur 7-12 hari sudah ditanam Jumlah anakan maksimal 56 batang
Hanya satu bibit yang ditanam
Dapat murni organik, anorganik mampu gabungan organik dengan anorganik.
Tanah mecacak (kondisi lembab) Sumber: Ikisar,2000
2.2Adovsi Inovasi
2.2.1 Pengertian Adopsi Inovasi
Inovasi merupakan istilah yang telah digunakan secara luas dalam
berbagai bidang baik industri, jasa, pemasaran maupun pertanian. Dalam
perspektif pemasaran, Simamora (2003) menyatakan bahwa inovasi adalah suatu
ide, praktek, atau produk yang dianggap baru oleh individu atau grup yang
relevan. Sedangkan Kotler (2003) mengartikan inovasi sebagai barang, jasa, ide
yang dianggap baru oleh seseorang.
Secara umum, inovasi didefinisikan sebagai suatu ide, praktek atau obyek
yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit
adopsi lain. Thompson dan Eveland (1967) mendefinisikan inovasi sama dengan
(34)
15
rangka mengurangi ketidakteraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai
suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk
mencapai tujuan tertentu.
Fullan (1996) menyatakan bahwa tahun 1960-an adalah era dimana banyak
inovasi-inovasi pendidikan kontemporer diadopsi, seperti matematika, kimia dan
fisika baru, mesin belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran
individu, pengajaran secara team (team teaching) dan termasuk dalam hal ini
adalah sistem belajar mandiri.
Sedangkan Rogers menyatakan bahwa inovasi adalah "an idea, practice,
or object perceived as new by the individual” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu). Dengan definisi ini maka kata perceived
menjadi kata yang penting karena pada mungkin suatu ide, praktek atau benda
akan dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya
tidak, tergantung apa yang dirasakan oleh individu terhadap ide, praktek atau
benda tersebut.
Berdasarkan defenisi diatas, dapat dijelaskan bahwa dalam suatu inovasi,
terdapat 3 unsur yang terkandung didalamnya; yang pertama adalah ide atau
gagasan, kedua metode atau praktek, dan yang ketiga produk (barang atau jasa).
Untuk dapat dikatakan dengan sebuah inovasi, maka ketiga unsurtersebut harus mengandung sifat “baru”. Sifat baru tersebut tidak mesti dari hasil penelitian yang mutakhir. Namun baru disini dinilai dari sudut pandang penilaian individu yang
(35)
16
2.2.2 Proses Pengadopsian Inovasi
Faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu
sendiri. Inovasi yang akan di introduksikan harus mempunyai kesesuaian (daya
adaptif) terhadap kondisi biofisik, social, ekonomi, dan budaya yang ada dalam
masyarakat penerima (adopter) tersebut. Jadi inovasi yang ditawarkan tersebut
hendaknya inovasi yang tepat guna.
Adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor sifat atau karakteristik inovasi,
sifat atau karakteristik calon pengguna, pengambilan keputusan adopsi, saluran
atau media yang digunakan, kualifikasi penyuluh. Strategi untuk memilih inovasi
yang tepat guna adalah menggunakan kriteria sebagai berikut:
1. Inovasi harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh adopter.
2. Inovasi harus memberikan keuntungan bagi adopternya.
3. Inovasi harus memiliki kompatibilitas atau keselarasan.
4. Inovasi harus mendayagunakan sumber daya yang sudah ada.
5. Inovasi tersebut terjangkau oleh financial, sederhana, tidak rumit dan mudah
diperagakan.
6. Inovasi harus mudah untuk diamati.
Adopsi inovasi merupakan suatu proses mental atau perubahan perilaku
baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan
(psycomotor) pada diri seseorang sejak ia mengenal inovasi. Rogers and
Shoemaker(1971),proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan/mental yang
terjadi pada saat menghadapi suatu inovasi, dimana terjadi proses penerapan suatu
(36)
17
Berdasarkan penjelasan tersebut, terlihat bahwa proses adopsi didahului
oleh pengenalan suatu inovasi (introduksi) kepada masyarakat, selanjutnya terjadi
proses mental untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Jika hasil dari
proses mental tersebut adalah keputusan untuk menerima suatu inovasi maka
terjadilah adopsi.Proses adopsi melalui beberapa tahapan yaitu kesadaran
(awareness), perhatian (interest), penaksiran (evaluation), percobaan (trial),
adopsi dan konfirmasi (Mundy, 2000). Setelah suatu inovasi di adopsi oleh
pengguna, maka proses selanjutnya yang diharapkan adalah terjadinya difusi
inovasi. Difusi adalah proses dimana inovasi disebarkan pada individu atau
kelompok dalam suatu sistem sosial tertentu (Soekartawi, 1988).
Tipe-Tipe Putusan Inovasi
Adapun tipe-tipe keputusan dalam inovasi adalah sebagai berikut.
1. Keputusan otoritas ( authority decision) Keputusan ini dibuat oleh atasan atau
suatu lembaga, pemerintah, pabrik, sekolah dan sebagainya
2. Keputusan Individu ( individual decision) Keputusan ini dilaksanakan oleh
individu/ seseorang terlepas dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh
masyarakat (collective) dalam sistem sosial
3. Keputusan bersama (collective decision) Keputusan ini disepakati dan
dilaksanakan secara bersama atau melalui consensus masyarakat dalam sistem
sosial
Teori difusi inovasi yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers, pada
dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi disampaikan melalui
saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as
(37)
18
the process by which an innovation is communicated through certain channels over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan dengan
penyebaran pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam istilah Rogers
(1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.” Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat empat elemen pokok, yaitu:
1. Inovasi: gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif menurut pandangan
individu yang menerimanya. Jika suatu ide dianggap baru oleh seseorang
maka ia adalah inovasi
2. Saluran komunikasi: ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi, sumber paling
tidak perlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya komunikasi dan (b)
karakteristik penerima. Jika komunikasi dimaksudkan untuk memperkenalkan
suatu inovasi kepada khalayak yang banyak dan tersebar luas, maka saluran
komunikasi yang lebih tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi
jika komunikasi dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima
secara personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran
interpersonal.
3. Jangka waktu: proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang mengetahui
sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya, dan pengukuhan
terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan dimensi waktu. Paling tidak
(38)
19
keinovatifan seseorang: relatif lebih awal atau lebih lambat dalam menerima
inovasi, dan (c) kecepatan pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
4. Sistem sosial: kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat
dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi
dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan inovasi.
Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang berpengaruh
terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan
keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi
tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis
keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi
(communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan
(5) peran agen perubah (change agents).
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi
mencakup:
1. Tahap Munculnya Pengetahuan (knowledge) ketika seorang individu (atau unit
pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami eksistensi dan
keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi berfungsi.
2. Tahap Persuasi (kersuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil
keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik .
3. Tahap Keputusan (decisions) muncul ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada
(39)
20
4. Tahapan Implementasi (implementation), ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5. Tahapan Konfirmasi (confirmation), ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan untuk
menerimaan atau menolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
Menurut Rogers (1960) proses adopsi itu terjadi mulai seseorang
mendengar suatu ide baru sampai akhirnya ia melaksanakannya (mengadopsinya).
Proses difusi merupakan proses perembesan atau merembesnya inovasi ke dalam
masyarakat sampai mencapai mengenai sebagian besar anggota masyarakat
tersebut. Proses adopsi dan difusi mempunyai hubungan yang sangat erat. Proses
adopsi terjadi pada orang-orang secara individual, sedangkan proses difusi
terjadinya perembesan inovasi di masyarakat.
Tahapan-tahapan adopsi dalam proses adopsi atau penerimaan, ada lima
tahap, yaitu :
1. Tahap kesadaran atau penghayatan (awareness stage).
Tahap pertama kali mendengar tentang inovasi. Pada tahap ini sasaran sudah
maklum atau menghayati sesuatu hal yang baru yang aneh tidak biasa
(kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik atau mengandung
kekeliruan, cara baru dapat meningkatkan hasil usaha dan pendapatannya, cara
baru dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi). Hal ini diketahuinya
karena hasil berkomunikasi dengan penyuluh. Tahapan mengetahui adanya
inovasi dapat diperoleh seseorang dari mendengar, membaca atau melihat,
(40)
21
2. Tahap Minat atau tertarik (interest stage).
Mencari informasi lebih lanjut. Pada tahap ini sasaran mulai ingin mengetahui
lebih banyak perihal yang baru tersebut. Ia menginginkan
keterangan-keterangan yang lebih terinci lagi. Sasaran mulai bertanya-tanya. Hanya
keberhasilan dan penjelasan petani golongan early adopterlah yang dapat
menghilangkan kebimbangan petani yang telah menaruh minat.
3. Tahap Penilaian (evaluation stage).
Menimbang manfaat dan kekurangan penggunaan inovasi. Pada tahap ini
sasaran mulai berpikir-pikir dan menilai keterangan-keterangan perihal yang
baru itu. Juga ia menghubungkan hal baru itu dengan keadaan sendiri
(kesanggupan, resiko, modal, dll). Pertimbangan-pertimbangan atau penilaian
terhadap inovasi dapat dilakukan dari tiga segi, yaitu teknis, ekonomis dan
sosiologis. Misalkan inovasi yang diperkenalkan adalah jenis padi baru,
segi-segi teknis yang dinilai adalah tingkat produktivitasnya, pemeliharaannya
mudah atau tidak, umurnya lebih pendek daripada lokal atau tidak, mudah
terserang hama dan penyakit atau tidak dan sebagainya. Penilaian berikutnya
dilakukan terhadap segi ekonominya; penilaian segi ini dilakukan terhadap
semua biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produksi untuk satuan luas
tertentu pada suatu periode kegiatan berproduksi dan nilai yang diperoleh dari
hasil penjualan hasil produksinya. Selisih antara nilai penjualan dari nilai
pengorbanan yang diperlukan dihitung dalam nilai uang, merupakan
keuntungan yang dapat diperoleh dari usaha tani tersebut. Keuntungan inilah
yang akan diperbandingkan dengan keuntungan yang diperoleh jika seseorang
(41)
22
manfaat penerapan inovasi tersebut bagi masyarakat di sekitar usaha taninya,
apakah penerapan inovasi ini dapat memberikan lapangan kerja baru bagi
keluarganya atau masyarakat disekitarnya. Jika penilaian telah dilakukan dan
kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa penerapan inovasi tersebut
menguntungkan, maka seseorang akan melangkah ke tahap berikutnya.
4. Tahap Percobaan (trial stage)
Menguji sendiri inovasi pada skala kecil. Sasaran sudah mulai mencoba-coba
dalam luas dan jumlah yang sedikit saja. Sering juga terjadi bahwa usaha
mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi sasaran mengikuti (dalam pikiran
dan percakapan-percakapan), sepak terjang tetangga atau instansi mencoba hal
baru itu (dalam pertanaman percobaan atau demosntrasi). Kalau ia sudah
yakin tentang apa yang dianjurkan, maka ia kan mengetrapkannya secara lebih
luas. Bila gagal dalam percobaan ini, maka petani yang biasa akan berhenti
dan tidak akan percaya lagi. Tapi petani yang maju dan ulet akan mengulangi
percoabaannya lagi, sampai ia mendapat keyakinannya.
5. Tahap Penerimaan (adoption)
Menerapkan inovasi pada skala besar setelah membandingkannya dengan
metoda lama. Sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru
itu, maka ia mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu. Ia juga akan
mengajurkannya kepada tetangga atau teman-temannya. Dalam prakteknya
pentahapan tadi tidak perlu secara berurutan dilaluinya. Dapat saja sesuatu
tahap dilampaui, karena tahap tersebut dilaluinya secara mental. Tidak semua
orang mempunyai waktu, kesempatan, ketekunan, kesanggupan dan keuletan
(42)
23
akhir dan mendapat sukses. Kegunaan praktis bagi para penyuluh pertanian
perihal proses adopsi adalah untuk mengetahui sampai tahap mana sasaran
yang dihadapinya itu. Konseptualisasi proses adopsi telah sangat dikenal dan
dipakai oleh para peneliti difusi selama ini. Namun tahapan-tahapan tersebut
tidak selalu dilalui secara berurutan, bisa saja salah satu tahapan proses
tersebut di loncati, khususnya pada saat percobaan. Sealain itu, proses tersebut
selalu diakhiri dengan keputusan mengadopsi padahal kenyataanya bisa saja
diakhiri dengan penolakan.
2.3Kategori Adopter
Ibrahim et. al. (2003) menggolongkan adopter berdasarkan kecepatan
adopsi terhadap suatu inovasi menjadi lima golongan, yaitu:
1. Innovators (inovator). Golongan perintis jumlahnya tidak banyak dalam
masyarakat. Karakteristik golongan ini gemar mencoba inovasi dan berani
mengambil resiko (risk taker). Pendidikannya lebih tinggi dari rata-rata pada
masyarakatnya serta aktif mencari informasi, baik melalui tulisan, audio visual
maupun ke sumber-sumber teknologi secara langsung. Umurnya setengah
baya dan memiliki status sosial yang tinggi, serta ditunjang sumber keuangan
yang mapan. Pada umumnya berpartisipasi aktif dalam menyebarkan inovasi.
2. Early adopter (golongan pengikut dini). Golongan ini mempunyai tingkat
pendidikan yang tinggi, gemar membaca buku, suka mendengarkan radio,
memiliki faktor produksi non lahan yang yang relatif lengkap sehingga dapat
menerapkan suatu inovasi. Golongan pengetrap dini memiliki status sosial
(43)
24
memiliki status ekonomi yang baik. Pada umumnya golongan ini memiliki
prakarsa besar, aktif dalam kegiatan masyarakat dan suka membantu
pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Golongan ini dapat dijadikan mitra
penyuluh pertanian dalam menyebarkan inovasi sehingga mempercepat proses
adopsi kelompok sosialnya.
3. Early majority (golongan pengikut awal). Golongan ini mempunyai tingkat
pendidikan rata-rata seperti anggota masyarakat lainnya. Golongan ini dapat
menerima inovasi selama inovasi tersebut memberikan keuntungan
kepadanya. Golongan pengetrap awal mempunyai status sosial ekonomi
sedang. Pada umumnya memiliki umur lebih dari 40 tahun dan
berpengalaman. Pola hubungan yang dilakukan cenderung lokalit dan kurang
giat mencari informasi tentang inovasi. Keputusan menerima adopsi
diperhitungkan dengan teliti, sebab kegagalan penerapan inovasi sangat
mempengaruhi penghidupan dan kehidupannya.
4. Late majority (golongan pengikut akhir). Golongan ini pada umumnya berusia
lanjut dan memiliki pendidikan yang rendah. Status sosial ekonominya sangat
rendah dan lambat menerapkan inovasi. Salah satu faktor penghambat diri
dalam penerapan inovasi ini adalah pengalaman pahit masa lalunya. Dengan
status ekonomi yang rendah, kegagalan penerapan suatu inovasi akan
mengancam penghidupan dan kehidupannya. Pola hubungan yang dilakukan
lokalit, sehingga akselerasi penerapan inovasi dapat dilakukan, apabila
golongan penerap awal juga menerapkan inovasi.
5. Laggard(Kelompok Kolot/Tradisional). Golongan penolak ini pada umumnya
(44)
25
rendah, bahkan buta huruf. Status sosial ekonominya sangat rendah dan tidak
suka perubahan-perubahan.
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter
(penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam
menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah
pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk
lebih memperjelas, dapat diformulasikan suatu gambar proses introduksi, adopsi,
difusi inovasi yang berasal dari sumbernya.
1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.
Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang
dihormati, akses di dalam tinggi
3. Early Majority (Pengikut dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal.
Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi
atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5. Laggards (Kelompok kolot/tradisional): 16% terakhir adalah kaum
kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan
(45)
26
Gambar 2.1 Kategori adopters
2.4Subak
Subak merupakan sistem irigasi yang dijalankan secara tradisional dan
telah menjadi kegiatan secara turun temurun untuk mengolah lahan pertanian.
Subak sebagai masyarakat hukum adat yang bersifat sosial religius yang secara
historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi dibidang tata guna air
ditingkat usaha tani. Sedangkan Pitana menunjukkan ciri dasar dari subak yaitu:
1. Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk
anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan
aturan-aturan keorganisasian (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis.
2. Subak mempunyai suatu sumber air bersama. Sumber air bersama ini berupa
bendungan (empelan) di sungai, mata air, air tanah atau saluran utama suatu
sistem irigasi
3. Subak mempunyai areal persawahan
(46)
27
5. Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (pura yang berhubungan
dengan persubakan )
Berdasarkan pengertian Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 Pasal 1
huruf h dan juga ciri yang ditunjukkan oleh Pitana tentang subak tersebut, terlihat
jelas bahwa subak merupakan organisasi sosial religius dan tidak hanya sebagai
sistem irigasi. Sebagai organisasi subak memiliki struktur kepengurusan dan
aturan tersendiri untuk mengatur anggota-anggotanya.
Struktur kepengurusannya subak hampir sama dengan struktur organisasi
pada umumnya yaitu terdapat ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara. Pada
organisasi subak dipimpin oleh pekaseh (pimpinan subak) yang dibantu oleh
beberapa orang petajuh (wakil).Petajuh ini biasanya melaksanakan tugas rangkap
sebagai petengen / bendahara dan penyarikan / juru tulis. Apabila subak memiliki
wilayah yang luas dan jumlah anggotanya ratusan maka akan dibagi lagi dalam
bentuk tempekan yang dipimpin oleh kelian tempekan.
Subakmemiliki aturan tersendiri yang disebut awig-awig subak yang
mengatur anggota subak. Awig-awig subak dibuat berdasarkan hasil dari
musyawarah para anggota subak atau lebih dikenal dengan sangkepan. Aturan
subak berisi perintah, larangan dan kebolehan serta sanksi dalam kelembagaan
subak. Bentuk dari awig-awig subak ada dua yaitu awig-awig tertulis yang berisi
aturan pokok dan pararem tertulis yang sifatnya lebih fleksibel sebagai aturan
pelaksana.
Suyatna (1982) menyatakan bahwa peraturan tentang waktu menanam
(47)
28
subak tentang penertiban penanaman disawah menurut masa atau musim yang
yang ditetapkan oleh subak tersebut.
Menurut suyatna (1982) sawah yang tidak ditanami tanpa alasan, dapat
dikenakan denda. Dendanya menjadi dua kali lipat dan diberi peringatan serta
serta sawah tidak mendapatkan pembagian air jika terlambat membayar tersebut.
Ada beberapa kelompok tani yang bertujuan mendapatkan upah disamping tujuan
saling membantu yaitu sekeha memule dan sekeha manyi. Mereka saling membatu
agar anggota, dan dapat upah jika pekerjanya datang dari luar anggota. Upah
berupa uang dan makan atau barang. Orang yang tidak memiliki sawah juga dapat
menjadi anggota sekeha memule dan sekeha manyi.
2.5Kerangka Pemikiran
Pengembangan System Of Rice Intensification (SRI) adalah bentuk
kegiatan yang dibuat oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Badung yang kegiatannya dilaksanakan di Subak Pacung dalam upaya
meningkatkan produksi pangan. Kegiatan ini memiliki indikator yang diukur
berdasarkan proses pengadopsian inovasi anggota Subak Pacung dan kategori
adopter anggota Subak Pacung, Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten
Badung dan kemudian dilakukan penelitian melalui analisis deskriptif kuantitatif.
Selanjutnya hasil penelitian akan memberikan rekomendasi pada Dinas Pertanian,
(48)
29
Gambar 2.2
Kerangka pemikiran penelitian proses pengadopsian SRI oleh Subak Pacung di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BADUNG
PENGEMBANGAN System Of Rice
Intensification (SRI)
SUBAK PACUNG
KATEGORI ADEPTER PROSES ADOPSI INOVASI
1. Innovators
2. Early Adopters
3. Early Majority
4. Late Majority
5. Laggards
1. Sadar 2. Minat 3. Menilai 4. Mencoba
5. Adopsi
Analisis Deskriptif Kualitatif
Hasil Analisis
(1)
memiliki status ekonomi yang baik. Pada umumnya golongan ini memiliki
prakarsa besar, aktif dalam kegiatan masyarakat dan suka membantu
pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Golongan ini dapat dijadikan mitra
penyuluh pertanian dalam menyebarkan inovasi sehingga mempercepat proses
adopsi kelompok sosialnya.
3. Early majority (golongan pengikut awal). Golongan ini mempunyai tingkat pendidikan rata-rata seperti anggota masyarakat lainnya. Golongan ini dapat
menerima inovasi selama inovasi tersebut memberikan keuntungan
kepadanya. Golongan pengetrap awal mempunyai status sosial ekonomi
sedang. Pada umumnya memiliki umur lebih dari 40 tahun dan
berpengalaman. Pola hubungan yang dilakukan cenderung lokalit dan kurang
giat mencari informasi tentang inovasi. Keputusan menerima adopsi
diperhitungkan dengan teliti, sebab kegagalan penerapan inovasi sangat
mempengaruhi penghidupan dan kehidupannya.
4. Late majority (golongan pengikut akhir). Golongan ini pada umumnya berusia lanjut dan memiliki pendidikan yang rendah. Status sosial ekonominya sangat
rendah dan lambat menerapkan inovasi. Salah satu faktor penghambat diri
dalam penerapan inovasi ini adalah pengalaman pahit masa lalunya. Dengan
status ekonomi yang rendah, kegagalan penerapan suatu inovasi akan
mengancam penghidupan dan kehidupannya. Pola hubungan yang dilakukan
lokalit, sehingga akselerasi penerapan inovasi dapat dilakukan, apabila
golongan penerap awal juga menerapkan inovasi.
5. Laggard(Kelompok Kolot/Tradisional). Golongan penolak ini pada umumnya berusia lanjut, jumlahnya sangat sedikit dan tingkat pendidikannya sangat
(2)
rendah, bahkan buta huruf. Status sosial ekonominya sangat rendah dan tidak
suka perubahan-perubahan.
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok adopter
(penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan dalam
menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan rujukan adalah
pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji oleh Rogers (1961).
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk
lebih memperjelas, dapat diformulasikan suatu gambar proses introduksi, adopsi,
difusi inovasi yang berasal dari sumbernya.
1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang
dihormati, akses di dalam tinggi
3. Early Majority (Pengikut dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi
atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5. Laggards (Kelompok kolot/tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan
(3)
Gambar 2.1 Kategori adopters
2.4Subak
Subak merupakan sistem irigasi yang dijalankan secara tradisional dan
telah menjadi kegiatan secara turun temurun untuk mengolah lahan pertanian.
Subak sebagai masyarakat hukum adat yang bersifat sosial religius yang secara
historis tumbuh dan berkembang sebagai organisasi dibidang tata guna air
ditingkat usaha tani. Sedangkan Pitana menunjukkan ciri dasar dari subak yaitu:
1. Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk
anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan
aturan-aturan keorganisasian (awig-awig) baik tertulis maupun tidak tertulis.
2. Subak mempunyai suatu sumber air bersama. Sumber air bersama ini berupa
bendungan (empelan) di sungai, mata air, air tanah atau saluran utama suatu
sistem irigasi
3. Subak mempunyai areal persawahan
(4)
5. Subak mempunyai satu atau lebih Pura Bedugul (pura yang berhubungan
dengan persubakan )
Berdasarkan pengertian Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 Pasal 1
huruf h dan juga ciri yang ditunjukkan oleh Pitana tentang subak tersebut, terlihat
jelas bahwa subak merupakan organisasi sosial religius dan tidak hanya sebagai
sistem irigasi. Sebagai organisasi subak memiliki struktur kepengurusan dan
aturan tersendiri untuk mengatur anggota-anggotanya.
Struktur kepengurusannya subak hampir sama dengan struktur organisasi
pada umumnya yaitu terdapat ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara. Pada
organisasi subak dipimpin oleh pekaseh (pimpinan subak) yang dibantu oleh beberapa orang petajuh (wakil).Petajuh ini biasanya melaksanakan tugas rangkap
sebagai petengen / bendahara dan penyarikan / juru tulis. Apabila subak memiliki
wilayah yang luas dan jumlah anggotanya ratusan maka akan dibagi lagi dalam
bentuk tempekan yang dipimpin oleh kelian tempekan.
Subakmemiliki aturan tersendiri yang disebut awig-awig subak yang mengatur anggota subak. Awig-awig subak dibuat berdasarkan hasil dari
musyawarah para anggota subak atau lebih dikenal dengan sangkepan. Aturan
subak berisi perintah, larangan dan kebolehan serta sanksi dalam kelembagaan
subak. Bentuk dari awig-awig subak ada dua yaitu awig-awig tertulis yang berisi aturan pokok dan pararem tertulis yang sifatnya lebih fleksibel sebagai aturan pelaksana.
Suyatna (1982) menyatakan bahwa peraturan tentang waktu menanam
(5)
subak tentang penertiban penanaman disawah menurut masa atau musim yang
yang ditetapkan oleh subak tersebut.
Menurut suyatna (1982) sawah yang tidak ditanami tanpa alasan, dapat
dikenakan denda. Dendanya menjadi dua kali lipat dan diberi peringatan serta
serta sawah tidak mendapatkan pembagian air jika terlambat membayar tersebut.
Ada beberapa kelompok tani yang bertujuan mendapatkan upah disamping tujuan
saling membantu yaitu sekeha memule dan sekeha manyi. Mereka saling membatu
agar anggota, dan dapat upah jika pekerjanya datang dari luar anggota. Upah
berupa uang dan makan atau barang. Orang yang tidak memiliki sawah juga dapat
menjadi anggota sekeha memule dan sekeha manyi.
2.5Kerangka Pemikiran
Pengembangan System Of Rice Intensification (SRI) adalah bentuk kegiatan yang dibuat oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten
Badung yang kegiatannya dilaksanakan di Subak Pacung dalam upaya
meningkatkan produksi pangan. Kegiatan ini memiliki indikator yang diukur
berdasarkan proses pengadopsian inovasi anggota Subak Pacung dan kategori
adopter anggota Subak Pacung, Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten
Badung dan kemudian dilakukan penelitian melalui analisis deskriptif kuantitatif.
Selanjutnya hasil penelitian akan memberikan rekomendasi pada Dinas Pertanian,
(6)
Gambar 2.2
Kerangka pemikiran penelitian proses pengadopsian SRI oleh Subak Pacung di Desa Selat, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.
DINAS PERTANIAN, PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BADUNG
PENGEMBANGAN System Of Rice Intensification (SRI)
SUBAK PACUNG
KATEGORI ADEPTER PROSES ADOPSI INOVASI
1. Innovators 2. Early Adopters 3. Early Majority 4. Late Majority 5. Laggards 1. Sadar
2. Minat 3. Menilai 4. Mencoba 5. Adopsi
Analisis Deskriptif Kualitatif
Hasil Analisis