TINGGINYA EKSPRESI mRNA TLR2, KADAR CORONIN-1A DAN BACTERIAL LOAD PADA JARINGAN PARU MENCIT DIABETES MELITUS YANG DIINFEKSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS.
i
TINGGINYA EKSPRESI mRNA TLR2, KADAR CORONIN-1A
DAN BACTERIAL LOAD PADA JARINGAN PARU MENCIT
DIABETES MELITUS YANG DIINFEKSI MYCOBACTERIUM
TUBERCULOSIS
I NYOMAN WANDE
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
(2)
ii
TINGGINYA EKSPRESI mRNA TLR2, KADAR CORONIN-1A
DAN BACTERIAL LOAD PADA JARINGAN PARU MENCIT
DIABETES MELITUS YANG DIINFEKSI MYCOBACTERIUM
TUBERCULOSIS
Disertasi untuk memperoleh Gelar Doktor pada
Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dipertahankan dihadapan Sidang Khusus Badan Perwakilan
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I NYOMAN WANDE NIM: 1190271021
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
(3)
iii
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL: 28 April 2016
Promotor
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD NIP: 195503291980121001
Kopromotor I, Kopromotor II,
Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si Dr.dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K) NIP. 195705131986011001 NIP. 195810101987021001
Mengetahui
Direktur Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) Dr. dr. Komang Bagus Satriyasa, M.Repro NIP. 19590215 198510 2 001 NIP. 196404171996011001
(4)
iv
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup
Pada tanggal: 28 April 2016
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No:1842 / UN14.4/ HK/ 2016
Tanggal: 21 April 2016
Panitia Penguji Ujian Tahap I (Tertutup) adalah: Ketua: Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si Anggota:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD 2. Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si
3. Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K) 4. Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D 5. Prof. Dr. Dr. N. Adiputra, M.OH., PFK., Sp.Erg 6. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, M.Phill 7. Prof. Dr. Jusak Nugraha, dr.,MS.,Sp.PK (K)
(5)
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : I Nyoman Wande
Program Studi : Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana UNUD
NIM : 1190271021
No. Telp/ No. Hp : 0361- 299535/ 08124686885
Email : [email protected]
Judul Proposal : TINGGINYA EKSPRESI mRNA TLR2, KADAR CORONIN-1A DAN BACTERIAL LOAD PADA JARINGAN PARU MENCIT DIABETES MELITUS YANG DIINFEKSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS
Merupakan hasil karya original yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya dan tidak mengandung unsur plagiarisme. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai peraturan yang berlaku.
Denpasar, 18 April 2016
Yang membuat pernyataan,
(6)
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Mengawali ucapan terima kasih ini, perkenankan penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atas asung wara nugraha-Nya Hasil Penelitian Disertasi untuk Ujian Seminar Kelayakan ini dapat diselesaikan. Seminar Kelayakan Naskah Disertasi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Doktor (S3) di Program Studi Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Hasil Penelitian Disertasi ini berjudul: Tingginya Ekspresi mRNA TLR2, Kadar Coronin-1A dan Bacterial Load pada Jaringan Paru Mencit Diabetes Melitus yang Diinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Disertasi untuk Ujian Tertutup ini berkat bantuan dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa syukur dan terima kasih yang tulus kepada: Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD selaku Promotor atas segala arahan dan bimbingan, serta motivasinya untuk menyelesaikan naskah disertasi ini.
Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Yth. Dr. Dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, selaku Kopromotor I atas segala arahan dan bimbingan, serta motivasinya untuk menyelesaikan naskah disertasi ini. Kepada Yth. Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si., Sp.MK(K) selaku Kopromotor II atas segala bimbingan, bantuan, waktu serta motivasinya dalam penyempurnaan disertasi ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana masa bakti 2009-2013 Yth. Prof. Dr. Dr. I Made Bakta, Sp.PD-KHOM dan Rektor universitas Udayana masa bakti 2013-2017, Prof. Dr. Dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana.
Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Yth. Prof. Dr. Dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A, selaku Asisten Direktur I Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Prof. Made Sudiana Mahendra, PhD selaku Asisten Direktur II Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terimakasih pula
(7)
vii
penulis sampaikan kepada Yth. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro selaku ketua dan Dr. dr. Tjokorda Gde Bagus Mahadewa, M.Kes, Sp.BS, MSc selaku sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Udayana, serta Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si dan Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si, Sp.MK (K), selaku mantan ketua dan mantan sekretaris Program Studi Doktor Ilmu Kedokteran, atas kesempatan dan dorongan yang diberikan kepada penulis dalam penyelesaian studi di Program Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Yth. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana masa bakti 2009- 2013 dan yth. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M.Kes, Sp.OT (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana masa bakti 2013-2017 serta yth. Dr. dr. Dw. Pt. Gde Purwa Samatra, Sp.S (K) selaku Kepala Program Studi Pendidikan Dokter atas waktu dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Doktor, Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada Yth. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, Yth. Dr. dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, Yth. Dr. dr. I Dewa Made Sukrama, M.Si.,Sp.MK(K), Yth. Prof. Drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D, Yth. Prof. Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, M.Phill, Yth. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si, Yth. Prof. Dr. Dr. N. Adiputra, M.OH., Yth. Prof. Dr. dr. Jusak Nugraha, MS., Sp.PK(K), Yth. Prof. Dr.dr. AAG. Sudewa Djelantik, Sp.PK(K) dan Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes selaku penguji atas arahan, saran dan pendapatnya untuk kesempurnaan naskah disertasi ini.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dr.dr. Anak Agung Wiradewi Lestari, Sp.PK selaku Kepala Bagian Patologi Klinik FK Unud, dr. Tjokorde Gede Oka, MS., Sp.PK selaku mantan Kepala Bagian Patologi Klinik FK Unud, serta dr. Ida Ayu Putri Wirawati, Sp.PK(K) selaku Kepala Instalasi Patologi Klinik RSUP Sanglah, yang telah mendukung serta memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan program Doktor ini. Ucapan terimakasih penulis juga sampaikan kepada yth. Prof. Dr. dr. AAG. Sudewa Djelantik, Sp.PK(K), dr. Tjokorde Gde
(8)
viii
Agung, Sp.PK, dr. Ida Bagus Putra, MS, dr. Nyoman Sukrama, dr. Ina Yanti Bisma, Sp.PK, selaku para senior di Bagian Patologi Klinik FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar serta Dr. Dr. AAN. Subawa, M.Si, Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si., Dr.dr. Sianny Herawati, Sp.PK, dr. Ni Kadek Mulyantari, Sp.PK(K), dr. Ni Nyoman Mahartini, Sp.PK(K), DGD. Dharma Santhi, S.Si., Apt., M.Kes, DAP. Rasmika Dewi, S.Si, Apt., M.Kes, Drs. AAN. Santa Arjana, Ketut Adi Santika, dan Ibu Wayan Meni. selaku teman sejawat dan staf pegawai di Bagian Patologi Klinik FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar atas segala dukungan dan bantuan yang diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan program doktor ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus disertai penghargaaan kepada seluruh guru-guru yang telah membimbing penulis, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada, Ayahnda I Made Jaman, Ibunda Ni Ketut Rapik, Bapak Mertua I Nengah Sukarata dan Ibu mertua Ni Made Sartini yang telah mengasuh, mendidik, mendukung penulis dengan penuh pengertian, doa dan kasih sayang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Dr. dr. Ni Made Linawati, M.Si., serta putra putri tersayang I Wayan Vedantha Wandira Pratama dan Ni Made Devika Wandira Nalini atas segala dukungan, perhatian, serta pengorbanan yang diberikan selama penulis menyelesaikan program Doktor ini.
Terimakasih penulis ucapkan kepada teman-teman di Program Studi Doktor Universitas Udayana angkatan 2011, dr. IGK Arijana, M SiMed, Gede Wiranatha, Dr drh luh Eka Setiasih, S.Kh. M.Si serta semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan serta penyelesaian Disertasi ini.
Denpasar, Juni 2016
(9)
ix
ABSTRAK
TINGGINYA EKSPRESI mRNA TLR2, KADAR CORONIN-1A DAN BACTERIAL LOAD PADA JARINGAN PARU MENCIT DIABETES
MELITUS YANG DIINFEKSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS
Diabetes melitus (DM) merupakan faktor risiko penting dalam perkembangan tuberkulosis. Frekuensi pasien diabetes dengan tuberkulosis dilaporkan berkisar antara 10-15%, dan prevalensi infeksi tuberkulosis ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes daripada kontrol atau individu yang tidak menderita diabetes melitus. Mekanisme terjadinya peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis pada penderita DM belum sepenuhnya dimengerti. Tuberkulosis meningkat seiring dengan meningkatnya DM dan secara signifikan menyebabkan peningkatan kematian.
Penelitian eksperimen dengan rancangan randomized post test only control group design menggunakan 48 ekor mencit Balb/c yang dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok 1 (K1) mencit normal, Kelompok 2 (K2) mencit yang diinfeksikan kuman M.tuberculosis, Kelompok 3 (P1) mencit yang hanya menderita diabetes melitus, Kelompok 4 (P2) mencit menderita diabetes melitus yang diinfeksikan kuman M.tuberculosis. Pada minggu ke tiga dan ke lima setelah diinfeksi dilakukan pemeriksaan ekspresi mRNA TLR2, kadar Coronin-1A, dan bacterial load jaringan paru mencit. Dilakukan analisis statistik dengan One-Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc dengan LSD. Uji Spearman dilakukan untuk menilai korelasi antar variabel penelitian.
Ekspresi mRNA TLR2 jaringan paru mencit minggu ke tiga pada Kelompok K1 (146,17 ± 39,37 fg/µl), K2 (168,08±22,50 fg/µl), P1 (193,45±70,48 fg/µl), dan P2 (179,53±36,29 fg/µl). Ekspresi mRNA TLR2 jaringan paru mencit minggu ke lima pada Kelompok K1 (150,90 ± 40,73 fg/µl), K2 (172,15±33,89 fg/µl), P1 (199,49±27,78 fg/µl), dan P2 (391,70±146,74 fg/µl). Kadar Coronin-1A jaringan paru mencit minggu ke tiga pada Kelompok K1 (8,80±1,41 ng/ml), K2 (9,22±1,70 ng/ml), P1(9,25±0,89 ng/ml), dan P2 (10,02±1,25 ng/ml). Kadar Coronin-1A jaringan paru mencit minggu ke lima pada Kelompok K1 (8,85 ± 1,41 ng/ml), K2 (9,74±0,38 ng/ml), P1(9,30±0,97 ng/ml), dan P2 (10,77±1,07 ng/ml). Bacterial load jaringan paru mencit minggu ke tiga pada Kelompok K2 (61,49 ±22,39 fg/µl) dan P2 (124,87±35,05 fg/µl). Kadar Bacterial load jaringan paru mencit minggu ke lima pada Kelompok K2 (86,54±32,08 fg/µl) dan P2 (351,93±139,60 fg/µl). Terdapat perbedaan yang bermakna ekspresi mRNA TLR2 antar kelompok penelitian (p=0,000). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kadar Coronin-1A antar kelompok penelitian (p=0,112). Ada perbedaan yang bermakna bacterial load jaringan paru antar kelompok penelitian (p<0,001). Ada korelasi positif antara ekspresi mRNA TLR2 dengan bacterial load jaringan paru (r=0,448, p= 0,028), kadar Coronin-1A dengan bacterial load jaringan paru (r=0,388, p= 0,061).
Terjadi peningkatan ekspresi mRNA TLR2, kadar Coronin-1A serta bacterial load jaringan paru mencit diabetes melitus yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Ada korelasi positif yang bermakna antara ekspresi mRNA TLR2 dengan bacterial load Mycobacterium tuberculosis jaringan paru mencit.
Kata kunci: Diabetes melitus, ekspresi mRNA TLR2, Coronin-1A, Bacterial load, Mycobacterium tuberculosis.
(10)
x
ABSTRACT
THE HIGH EXPRESSION OF mRNA TLR2, CORONIN-1A LEVEL, AND BACTERIAL LOAD IN DIABETES MELLITUS MICE LUNG TISSUE
WHICH WERE INFECTED BY MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS
Diabetes mellitus is an important risk factor in the development of tuberculosis. The frequency of diabetic patients with tuberculosis reported to range between 10-15%, and the prevalence of tuberculosis infection is 2-5 times higher in diabetic patients than controls or individuals who do not suffer from diabetes mellitus. The mechanism of increased susceptibility to tuberculosis in patients with diabetes are not fully understood. The incidence increases with increasing incidence of diabetes and significantly lead to increased mortality.
The study design of randomized experiments with post test only control group design using 48 mice Balb/c were divided into 4 groups. Group 1 (K1) normal mice, group 2 (K2) mice were infected by M. tuberculosis, group 3 (P1) mice were only suffering from diabetes melitus, group 4 (P2) mice with diabetes melitus who are infected by M. tuberculosis. In the third and fifth weeks after infected were examined relative expression of mRNA TLR2, Coronin-1A level, and bacterial load lung tissue of mice. Statistical analysis performed by One-Way ANOVA to see any difference in the results. To see which groups are different done with LSD Post Hoc test. Spearman's test was performed to assess the correlation between variables research.
The expression of mRNA TLR2 lung tissue of mice third week in K1 group (146.17 ± 39.37 fg/µl), K2 (168.08±22.50 fg/µl), P1 (193.45±70.48 fg/µ l), and P2 (179.53±36.29 fg/µl). The expression of mRNA TLR2 lung tissue of mice fifth week on the K1 group (150.90 ± 40.73 fg/µl), K2 (172.15±33.89 fg/µl), P1 (199.49±27.78 fg/µl), and P2 (391.70±146.74 fg/µl). Coronin-1A level in lung tissue of mice third week in K1 group (8.80±1,41 ng/ml), K2 (9.22±1,70 ng/ml), P1 (9.25±0.89 ng/ml) and P2 (10.02±1,25 ng/ml). Coronin-1A level in lung tissue of mice fifth week on the K1 group (8.85±1.41 ng/ml), K2 (9.74±0.38 ng/ml), P1 (9.30±0.97 ng/ml), and P2 (10.77±1.07 ng/ml). Bacterial load in lung tissue of mice third week in the K2 group (61.49 ±22.39 fg/µl) and P2 (124.87±35.05 fg/µl). Bacterial load in lung tissue of mice fifth week in the K2 group (86.54 ±32.08 fg/µl) and P2 (351.93±139.60 fg/µl). There were significant difference expression of mRNA TLR2 between the study group (p = 0.000). There was no significant difference between the levels of Coronin-1A study group (p = 0.112). There were significant differences between the bacterial load lung tissue study group (0,000). There is a positive correlation between the relative expression of mRNA TLR2 with bacterial load lung tissue (r = 0.448, p = 0.028), the levels of Coronin-1A with the bacterial load lung tissue (r = 0.388, p = 0.061).
An increase in expression of mRNA TLR2, Coronin-1A levels and bacterial load lung tissue of mice with diabetes mellitus who are infected with Mycobacterium tuberculosis. There is a significant positive correlation between the expression of mRNA TLR2 with bacterial load lung tissue of mice
Key word: Diabetes mellitus, expression of mRNA TLR2, Coronin-1A, Bacterial load, Mycobacterium tuberculosis.
(11)
xi
RINGKASAN
Diabetes melitus (DM) merupakan faktor risiko penting dalam perkembangan tuberkulosis. Frekuensi pasien diabetes dengan tuberkulosis dilaporkan berkisar antara 10-15%, dan prevalensi infeksi tuberkulosis ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes daripada kontrol atau individu yang tidak menderita diabetes melitus. Pada pengamatan klinis disebutkan bahwa mekanisme terjadinya peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis pada penderita DM belum sepenuhnya dimengerti. Kejadian tuberkulosis meningkat seiring dengan meningkatnya kejadian diabetes dan secara signifikan menyebabkan peningkatan kematian.
Interaksi antara kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) dengan sel tubuh manusia cukup komplek, walaupun beberapa studi yang mendalam telah dilakukan, namun belum sepenuhnya bisa diungkap. Toll-like receptors (TLR) diketahui berperan dalam pengenalan M.tuberculosis. TLR yang terlibat dalam pengenalan M.tuberculosis meliputi TLR2, TLR4, TLR9 , dan kemungkinan juga TLR8. TLR2 bersama dengan TLR6 ditemukan berperan dalam stimulasi produksi IL-1β. TLR2 juga berperan untuk pengeluaran IL-12 dalam makrofag namun tidak pada sel dendritik.
Pada analisis komposisi protein dari fagosom dengan mikobakterial menunjukkan bahwa adanya protein eksklusif yang sangat kuat berperan dalam mempertahankan hidup M.tuberculosis dalam fagosom. Protein tersebut diberi nama TACO (tryptophan-aspartatecontaining coat protein) yang sekarang disebut sebagai Coronin-1. Pada penderita tuberkulosis aktif dan tuberkulosis laten menunjukkan adanya peningkatan kadar Coronin-1A dibandingkan dengan individu sehat.
Penelitian ini untuk menilai adanya peningkatan ekspresi mRNA TLR2, Coronin-1A serta bacterial load M.tuberculosis pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita diabetes melitus. Penelitian ini juga mencari adanya hubungan antara ekspresi mRNA, Coronin-1A dan bacterial load jaringan paru mencit dengan diabetes melitus yang terinfeksi M.tuberculosis. Penelitian ini merupakan penelitian analitik eksperimental sungguhan dengan menggunakan randomized post test only control group design yangbersifat rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri dari 2 kelompok perlakuan dan 2 kelompok kontrol dan dengan periode pengamatan yang berbeda-beda (minggu ke 3 dan 5).
Sebanyak 48 ekor mencit disiapkan untuk penelitian. Sebanyak 24 ekor mencit dilakukan injeksi larutan streptozotocine (STZ) sebanyak 140 mg/kgbb dengan volume 0,5 ml ke dalam intraperitoneum, dan sebanyak 24 ekor mencit sisanya hanya diinjeksikan buffer saline fosfat dengan volume 0,5 ml ke dalam intraperitoneal. Sembilan hari berikutnya dilakukan pemeriksaan gula darah puasa melalui darah kapiler ekor mencit. Kadar glukosa pada kelompok yang diinjeksi streptozotocin dipertahan > 200 mg/dl selama 12 minggu. Pengamatan minggu ke tiga kelompok mencit yang hanya menderita diabetes melitus (DM) (193,45± 70,48 fg/µl) dan kelompok mencit yang menderita DM dan tuberkulosis paru (179,53 ± 36,29 fg/µl) memiliki ekspresi mRNA TLR2 yang lebih tinggi daripada kelompok mecit tuberkulosis paru yang tanpa menderita DM (168,08±22,50 fg/µ l) maupun dengan kelompok mencit normal (146,17±39,37 fg/µl). Pada pengamatan minggu ke lima terjadi peningkatan ekspresi mRNA TLR2 jaringan paru pada kelompok mencit
(12)
xii
yang menderita DM dengan tuberkulosis paru (391,70±146,74 fg/µl) yang lebih tinggi dibandingkan kelompok mencit yang hanya menderita tuberkulosis paru (172,15± 33,89 fg/µl) maupun kelompok mencit yang hanya menderita DM (199,49±27,78 fg/µl) dan kelompok mencit normal (150,90±40,73 fg/µl). Pengamatan minggu ke tiga menunjukkan bahwa kadar Coronin 1A mencit yang menderita diabetes melitus serta menderita tuberkulosis paru (10,02±1,25 ng/ml) lebih tinggi daripada kelompok mencit yang hanya menderita tuberkulosis paru ( 9,22±1,70 ng/ml) maupun dengan kelompok mencit dengan hanya menderita diabetes melitus (9,25±0,89 ng/ml) dan mencit sehat (8,80±1,41 ng/ml). keadaan ini menunjukkan bahwa dengan adanya hiperglikemia pada mencit sebagai hewan coba menyebabkan terjadinya peningkatan kadar Coronin 1A supernatan jaringan paru mencit. Pada pengamatan minggu ke lima setelah dilakukan perlakuan, perihal yang sama tampak bahwa kadar Coronin 1A kelompok mencit yang menderita diabetes melitus dan tuberkulosis paru (10,77±1,07 ng/ml) lebih tinggi daripada kelompok mencit yang hanya menderita tuberkulosis (9,74 ± 0,38 ng/ml) maupun kelompok mencit dengan diabetes melitus saja (9,30 ± 0,97 ng/ml) dan kelompok mencit normal (8,85 ± 1,41 ng/ml). Rerata bacterial load M.tuberculosis jaringan paru kelompok mencit yang menderita diabetes melitus dan tuberkulosis paru (124,87±35,05 fg/µl) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mencit yang hanya menderita tuberkulosis paru (61,49±22,39 fg/µl) pada pengamatan minggu ke tiga. Pada pengamatan minggu ke lima keadaan yang sama tampak bahwa rerata bacterial load M.tuberculosis jaringan paru kelompok mencit menderita diabetes melitus dan tuberlukosis paru (351,93±139,60 fg/µl) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok mencit yang hanya menderita tuberkulosis paru (86,54±32,08 fg/µl). Ada hubungan (korelasi) positif antara ekspresi mRNA TLR2 dengan bacterial load M.tuberculosis jaringan paru mencit dengan kekuatan hubungan sedang (r= 0,448), dan tingkat kemaknaan yang signifikan (p< 0,05). Terdapat korelasi searah antara kadar Coronin-1A dengan bacterial load M.tuberculosis jaringan paru mencit Balb/c dengan kekuatan hubungan yang lemah (r= 0,388), dan tingkat kemaknaan yang tidak signifikan (p> 0,05)
Simpulan penelitian ini menyatakan bahwa Terjadi peningkatan ekspresi mRNA TLR2, kadar Coronin-1A serta bacterial load jaringan paru mencit diabetes melitus yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Ada korelasi positif yang bermakna antara ekspresi mRNA TLR2 dengan bacterial load Mycobacterium tuberculosis jaringan paru mencit. Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara kadar Coronin-1A dengan bacterial load Mycobacterium tuberculosis jaringan paru mencit
(13)
xiii
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ...
LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR/ KOPROMOTOR
Ii iii
LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI... Iv
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………
UCAPAN TERIMA KASIH...
v vi
ABSTRAK ...
ABSTRACT ...
RINGKASAN ...
DAFTAR ISI... Ix
x xi xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN xviii DAFTAR SINGKATAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 8
1.3.1 Tujuan Umum ... 8
1.3.2 Tujuan Khusus ... 8
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1 Manfaat teoritis ... ... 9
1.4.2 Manfaat Praktis ... 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1 Mycobacterium tuberculosis ... 10
2.2 Tahap pengenalan Mycobacterium Tuberculosis ... 12
2.2.1 Toll-like receptor ... 13
2.2.2 NOD Like receptor ... ... 19
2.2.3 C-type lectin ... 20
2.2.4 DC-SIGN ... 20
2.2.5 Dectin-1 ... 21
2.3 Imunitas alamiah dan pertahanan tubuh terhadap M.tuberculosis 22 2.4 Proses fagositosis dan fusi fagolisosom ... 25
2.5 Peranan Coronin-1 dalam menghambat fagositosis oleh makrofag 28
2.6 Diabetes Melitus... 31
2.7 Disfungsi imunologi pada penderita diabetes melitus ... 35
BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir ... 40
(14)
xiv
3.3 Hipotesis Penelitian ... 45
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan penelitian ... 46
4.2 Tempat dan waktu penelitian ... 48
4.3 Populasi dan sampel ... 48
4.3.1 Populasi penelitian ... 48
4.3.2 Kriteria sampel ... 49
4.3.3 Besar sampel ... 49
4.4 Variabel penelitian ... 50
4.4.1 Variabel bebas ... 50
4.4.2 Variabel tergantung ... 50
4.4.3 Variabel kendali ... 50
4.4.4 Definisi operasional variabel ... 51
4.5 Instrumen penelitian ... 54
4.6 Bahan penelitian... 55
4.7 Prosedur penelitian ... 56
4.7.1 Penyiapan suspensi Mycobacterium tuberculosis dan inokulasi intra nasal ... 58
4.7.2 Induksi mencit diabetes melitus ... 59
4.7.3 Real time RT-PCR untuk deteksi ekspresi mRNA TLR2.. 59
4.7.4 Elisa supernatan jaringan paru untuk mengukur kadar Coronin-1A... 64
4.7.5 Pemeriksaan bacterial load jaringan paru mencit dengan metode qPCR... 66
4.8 Teknik analisa data ... 71
BAB V. HASIL PENELITIAN 5.1 Ekpresi relatif mRNA TLR2 jaringan paru mencit……….. 74
5.2 Kadar Coronin-1A jaringan paru mencit ………. 78
5.3 Pemeriksaan bacterial load Myocbacterim tuberculosis jaringan paru mencit dengan metode qPCR………. 81
5.4 Hubungan antara ekspresi relatif mRNA TLR2, Coronin-1A dan bacterial load jaringan paru mencit Balb/c dengan diabetes melitus yang terinfeksi M.tuberculosis………. 83
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Ekepresi relatif mRNA TLR2 jaringan paru mencit... 88
6.2 Kadar Coronin-1A jaringan paru mencit……… 94
6.3 Bacterial load Mycobacterium tuberculosis jaringan paru mencit 98 6.4 Hubungan ekspresi relatif mRNA TLR2, kadar Coronin-1A, dan Bacterial load Mycobacterium tuberculosis jaringan paru mencit……… 101
(15)
xv
6.5 Kebaharuan penelitian……… 103
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan penelitian……… 105
7.2 Saran penelitian ………. 105
DAFTAR PUSTAKA ... 107
(16)
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Distribusi TLR pada berbagai tipe sel, ligan dan asal
ligan... 15 Tabel 2.2 Depek imunologi dan fungsi fisiologis paru pada
penderita diabetes melitus ... 35 Tabel 5.1 Rerata kadar glukosa darah kapiler mencit dengan diabetes
Melitus dan kelompok mencit tanpa diabetes melitus … 73 Tabel 5.2 Rerata ekspresi mRNA TLR2 jaringan paru mencit
hewan coba dan analisis Post Hocdengan LSD……… 75 Tabel 5.3 Rerata kadar Coronin 1A jaringan paru mencit hewan coba
dan analisis Post Hocdengan LSD………. 78 Tabel 5.4 Rerata bacterial load jaringan paru mencit hewan coba
dan analisis Post Hocdengan LSD……….………. 81 Tabel 5.5 Hasil uji korelasi Spearmanantara variabel penelitian… 84
(17)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur dinding Mycobacterium tuberculosis ... 11
Gambar 2.2 Pola reseptor pengenal dalam mengenali mikobakterium dan downstream signaling pathways 12
Gambar 2.3 Pengenalan M.tuberculosis oleh Toll-like receptors .... 17
Gambar 2.4 Pengenalan mikobakterium oleh pattern recognition receptors (PRRs) ... 22
Gambar 2.5 Model aktivitas Coronin-1 dalam makrofag... 30
Gambar 3.1 Kerangka konsep peranan diabetes pada infeksi M.tuberculosis……….. 44
Gambar 4.1 Bagan Rancangan penelitian ... 46
Gambar 4.2 Hubungan Antar Variabel ... 51
Gambar 4.3 Alur Penelitian ... 58
Gambar 5.1 Diagram Scatter korelasi kadar glukosa darah puasa dengan bacterial load M.tuberculosis jaringan paru mencit 85 Gambar 5.2 Resume hasil penelitian ……….. 86
(18)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Surat Pernyataan Bebas Plagiat ... 115 Lampiran 2. Keterangan kelaikan etik…………... 116 Lampiran 3. Surat keterangan kuman Mycobacterium tuberculosis 117 Lampiran 4.Surat Keterangan Strain Mencit……… 118
Lampiran 5. Data penelitian ……… 119
Lampiran 6. Analisis statistik dengan SPSS versi 17………. 130
(19)
xix
DAFTAR SINGKATAN
1. BIR : Baculovirus inhibitor of apoptosis repeat domain 2. CARD : Caspase activation and recruitment domain 3. CSF : Colony-Stimulating Factor
4. DC-SIGN : Dendritic cell-specific intercellular adhesion molecule-3 grabbing nonintegrin
5. DM : Diabetes melitus 6. DNA : Deoxyribonuncleic acid
7. dsRNA : Double stranded Ribonucleic acid 8. HIV : Human Immunodeficiency Virus 9. IFN- : Interferon gamma
10. IL : Interleukin (IL12, dll)
11. IL-1R : Interleukin-1 receptor signaling domain 12. iNOS :inducible nitric oxide synthase
13. IRAK : IL-1 receptor-associated kinases
14. ITAM : Immunoreceptor tyrosine-based activation motif 15. kDa : Kilo Dalton
16. LAM : Lipoarabinomannan
17. LAMP1 : Lysosomal-associated membrane protein 1 18. LM : Lipomannan
19. LPS : Lipopolisakarida
20. LTBI : Latent Tuberculosis infection 21. Mal : MyD88 adaptor-like
22. Man-LAM : Mannose-capped lipoarabinomannan 23. MAP : Mitogen-activated protein
24. MDR-TB : Multi Drug Resistant-Tuberculosis 25. MPI : Mannosyl phosphatidyl-myo-inositol 26. MR : Mannosa Receptor
(20)
xx
28. MyD 88 : myeloid differentiation factor 88 29. NF-B : Nuclear Transcription Factor-B 30. NLR : NOD-like receptor
31. NO : Nitric oxide
32. NOD : Nucleotide oligomerization domain 33. PAMPs : Pathogen-associated molecular pattern 34. PBMC : Peripheral blood mononuclear cell 35. PILAM : Phospho-myo-inositol caps
36. PIM : Phosphatidylinositol mannoside
37. PIMs : Phosphalidyl-myo-inositol mannosides 38. PRRs : Pattern recognition receptors
39. RIP2 : Receptor-interacting protein 2 40. RLR : RIG-like receptor
41. SARM : SAM and ARM-containing protein 42. ssRNA : Single-stranded RNA
43. TACO :tryptophan-aspartatecontaining coat protein 44. TAK1 : TGFβ-activated protein kinase 1
45. TB : Tuberkulosis 46. TfR : Transferrin receptor
47. TGT : Toleransi glukosa terganggu 48. TIR : Toll/interleukin-1 receptor
49. TIRAP : TIR domain-containing adaptor protein
50. TLR : Toll-like receptor (TLR2, TLR4, TLR8, TLR9, dll) 51. TNF : Tumor Necrosing Factor
52. TRAF : TNF receptor-associated factor 53. TRAM : Trif-released adaptor molecule
54. Trif : TIR-domain-containing adaptor inducing interferon-beta 55. WHO : World Health Organization
(21)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala berupa hiperglikemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini merupakan akibat dari adanya defisiensi sekresi hormon insulin, gangguan aktivitas insulin maupun defisiensi transportasi glukosa.
DM terdiri atas dua tipe yaitu tipe 1 yang disebabkan keturunan dan tipe 2 yang disebabkan life style atau gaya hidup. Secara umum, hampir 80% prevalensi diabetes melitus adalah DM tipe 2. Ini berarti gaya hidup/ life style yang tidak sehat menjadi pemicu utama meningkatnya prevalensi DM (Kemenkes RI, 2011a).
Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. Penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%, sedangkan di daerah pedesaan DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Kemenkes RI, 2011a). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi diabetes di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. Diabetes melitus terdiagnosis dokter atau dengan gejala sebesar 2,1 persen. Prevalensi diabetes
(22)
2
melitus yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi diabetes yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur (3,3%) (Kemenkes RI, 2013).
Diabetes melitus merupakan faktor risiko penting dalam perkembangan tuberkulosis. Frekuensi pasien diabetes dengan tuberkulosis dilaporkan berkisar antara 10-15%, dan prevalensi infeksi tuberkulosis ini 2-5 kali lebih tinggi pada pasien diabetes daripada kontrol atau individu yang tidak menderita diabetes melitus (Yamashiro et al., 2005). Pada pengamatan klinis disebutkan bahwa mekanisme terjadinya peningkatan kerentanan terhadap tuberkulosis pada penderita DM belum sepenuhnya dimengerti. Kejadian tuberkulosis meningkat seiring dengan meningkatnya kejadian diabetes dan secara signifikan menyebabkan peningkatan kematian. Dilaporkan juga terjadi peningkatan kejadian reaktivasi lesi tuberkulosis pada penderita diabetes. Survei yang dilakukan di Philadelphia disebutkan bahwa sekitar 8,4% dari 3.106 pasien diabetes mengalami tuberkulosis paru dibanding 4,3% dari 71.757 individu pekerja sehat. Tuberkulosis bisa terjadi sekitar 17% pada penderita yang mengalami diabetes lebih dari 10 tahun dibandingkan dengan 5% pada penderita yang mengalami diabetes kurang dari 10 tahun. Prevalensi tuberkulosis dijumpai tinggi pada penderita yang menggunakan insulin 40 units per hari (Guptan dan Shah, 2000).
(23)
3
Indonesia sekarang berada pada ranking ke lima negara dengan beban tuberkulosis (TB) tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR-TB setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2011b) . Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa Prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2007 dan 2013 tidak berbeda yaitu sebesar 0,4%. Lima provinsi dengan TB tertinggi adalah Jawa Barat, Papua, DKI Jakarta, Gorontalo, Banten, dan Papua Barat. Penduduk yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan, 44,4 persen diobati dengan obat program (kemenkes RI, 2013).
Upaya untuk mengontrol infeksi M.tuberculosis diperlukan koordinasi dari respons imun natural dan adaptif. Kontrol tersebut meliputi juga resolusi terhadap terhadap infeksi yang meliputi patogen yang masih bertahan hidup di dalam makrofag atau membentuk granuloma berupa struktur dinamik yang terdiri atas limfosit aktif dan makrofag yang terus menerus distimulasi (Ma’at, 2009). Walaupun infeksi akut dapat dikontrol oleh sistem imun yang sehat, akan tetapi laten subkronis atau infeksi kronis masih banyak terjadi. Netralisasi terhadap mediator imun seperti IFN- atau TNF, hambatan terhadap iNOS dan penekanan terhadap sel T menyebabkan infeksi tuberkulosis semakin berat. Untuk dapat mengatasi infeksi tersebut diperlukan suatu kerja sama yang berkelanjutan dari
(24)
4
aktivitas sistem imun mulai dari aktivitas sel fagosit sampai aktivitas limfosit T (Scanga et al., 2000).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan hanya berfokus pada peranan dari netrofil, seperti migrasi netrofil ke jaringan yang mengalami inflamasi, kemudian proses fagositosis dan pembunuhan terhadap bakteri tersebut oleh netrofil, karena infeksi yang disebabkan oleh bakteri ekstraseluler sangat sering terjadi pada penderita diabetes. Semua fungsi netrofil yang diperoleh dari pengamatan tersebut menunjukkan adanya gangguan berat pada penderita diabetes (Yamashiro et al., 2005). Pada studi eksperimental yang dilakukan pada mencit diberi streptozotocin untuk membuat tikus diabetes dan diinfeksikan kuman M.tuberculosis secara intravena, menunjukkan adanya penurunan kadar IL-12 dan IFN- pada organ paru, hati dan limfe pada tikus diabetes dibandingkan dengan kontrol tikus yang tidak diabetes. Selain itu juga terjadi penurunan ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS) dibandingkan dengan kontrol tikus yang tidak diabetes. Pada mencit diabetes tampak adanya peningkatan jumlah M.tuberculosis yang hidup dalam organ paru, hati dan limfe (Yamashiro et al., 2005).
Interaksi antara kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) dengan sel tubuh manusia cukup komplek, walaupun beberapa studi yang mendalam telah dilakukan, namun belum sepenuhnya bisa diungkap. Toll-like receptors (TLR) diketahui berperan dalam pengenalan M.tuberculosis. TLR yang terlibat dalam pengenalan M.tuberculosis meliputi TLR2, TLR4, TLR9 , dan kemungkinan juga TLR8. TLR2 membentuk heterodimer dengan TLR1 atau
(25)
5
TLR6 untuk peranannya dalam pengenalan glikolipid dinding sel mikobakterium seperti LAM, LM, glikoprotein 38-kDa dan 19-kDa, phosphatidylinositol mannoside (PIM), triacylated lipoproteins (TLR2/TLR1), atau diacylated lipoproteins (TLR2/TLR6). TLR2 diyakini berperan penting dalam tahap awal pertahanan tubuh alamiah melalui efek rangsangan produksi TNF- oleh makrofag. TLR2 bersama dengan TLR6 ditemukan berperan dalam stimulasi produksi IL-1β. TLR2 juga berperan untuk pengeluaran IL-12 dalam makrofag namun tidak pada sel dendritik (Kleinnijenhuis et al., 2011). Penelitian pada mencit yang mengalami defisiensi TLR2 menunjukkan pembentukan granuloma yang tidak sempurna, dan ketika diinfeksikan dengan M.tuberculosis dosis tinggi, terjadi peningkatan kerentanan terhadap infeksi dibandingkan dengan mencit normal. Mencit dengan defisiensi TLR2 juga menunjukkan gangguan pada kontrol infeksi kronik M.tuberculosis.(Drennan et al., 2004).
Pada penderita DM tipe 1 penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ekspresi mRNA TLR2 dan TLR4 permukaan monosit darah tepi dibandingkan dengan individu sehat. Target akhir TLR seperti nuclear factor B, myeloid differentiation factor 88 (MyD 88), Trif, dan phosphorylated IL-1 receptor-associated kinase secara signifikan meningkat pada diabetes tipe 1. Terjadi peningkatan TNF- dan IL-1β pada penderita tersebut. Ekspresi TLR2 dan TLR4 secara signifikan berhubungan dengan kadar haemoglobin yang terglikosilasi (Devaraj et al., 2008). Keadaan serupa ditemukan pada penderita DM tipe 2 dengan memeriksa pada darah tepi, dikemukakan bahwa terjadi peningkatan respon sitokin tipe 1 (IL-12, IL-2, dan IFN-) dan sitokin alamiah
(26)
6
(IL-1β, IL-6, TNF-, IL-8, dan granulocyte monocyte-CSF) pada DM tipe 2 yang mengalami tuberkulosis dibandingkan dengan penderita tuberkulosis tanpa DM. Sitokin tersebut secara konsisten dan signifikan meningkat pada penderita DM dengan hiperglikemia kronis (Restrepo et al., 2008). Studi mengenai ekspresi TLR2 pada DM dengan infeksi M.tuberculosis pada manusia maupun pada binatang belum pernah diungkap, juga belum ada data mengenai ekspresi TLR2 pada jaringan paru penderita DM dengan infeksi kuman mikobakterium. Diasumsikan bahwa terjadi peningkatan ekspresi TLR khususnnya TLR2 pada individu DM dengan infeksi M.tuberculosis. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya faktor inflamasi yang berperan sebagai ligan dari TLR pada darah tepi yang dapat memacu peningkatan ekspresi TLR, namun di satu sisi ekspresi TLR pada jaringan paru juga akan mengalami peningkatan namun tidak efektif dalam perannya dalam memperkenalkan kuman ke sel fagositosis.
Fagositosis merupakan tahapan penting dari sistem ketahanan tubuh terhadap mikobakterium, baik untuk tujuan mematikan patogen maupun mendegradasi patogen dan selanjutnya mempresentasikan peptide patogen ke limfosit T. Pengenalan TLR pada patogen berakibat ekspresi gen, seperti sitokin inflamasi dan molekul ko-stimulator. Fagositosis patogen yang dilanjutkan dengan presentasi peptida bersama dengan ekspresi gen sitokin inflamasi dan molekul ko-stimulator membangkitkan imunitas adaptif yang bersifat antigen spesifik (Blanderdan Medzhitov, 2004). TLR penting dalam proses pembunuhan mikobakterium intraseluler oleh makrofag melalui induksi antimicrobial peptide cathelicidin. Polymorphism TLR secara signifikan berhubungan dengan penyakit
(27)
7
tuberkulosis pada manusia. Pada keadaan M.tuberculosis hidup lama dalam sel jaringan inangnya, diperkirakan bahwa bagian patogen tersebut memproduksi faktor virulens seperti phosphatase SapM dan protein kinase PknG, menyusun mekanisme dengan memanfaatkan molekul inangnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya di dalam sel. Pada analisis komposisi protein dari fagosom dengan mikobakterial menunjukkan bahwa adanya protein eksklusif yang sangat kuat berperan dalam mempertahankan hidup M.tuberculosis dalam fagosom. Protein tersebut diberi nama TACO (tryptophan-aspartatecontaining coat protein) yang sekarang disebut sebagai Coronin-1. Pada penderita tuberkulosis aktif dan tuberkulosis laten menunjukkan adanya peningkatan kadar Coronin-1A dibandingkan dengan individu sehat (Constantoulakis et al., 2010). Belum ada studi mengenai protein ini pada diabetes dengan infeksi M.tuberculosis baik pada manusia maupun pada binatang.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan:
1.2.1 Apakah ekspresi mRNA TLR2 pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa menderita DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
1.2.2 Apakah kadar Coronin-1A pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
(28)
8
1.2.3 Apakah bacterial load pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa menderita DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
1.2.4 Apakah terdapat hubungan ekspresi mRNA TLR2 dan bacterial load jaringan paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi M.tuberculosis? 1.2.5 Apakah terdapat hubungan kadar Coronin-1A dan bacterial load jaringan
paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi M.tuberculosis?
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk menjelaskan mekanisme perubahan respon imunitas terhadap M.tuberculosis melalui peran TLR2 dan Coronin-1A pada mencit yang menderita DM.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1Untuk membuktikan adanya ekspresi mRNA TLR2 pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa DM yang terinfeksi M.tuberculosis
1.3.2.2Untuk membuktikan adanya kadar Coronin-1A pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa DM yang terinfeksi M.tuberculosis
1.3.2.3Untuk membuktikan adanya bacterial load pada jaringan paru mencit Balb/c yang menderita DM lebih tinggi dibandingkan dengan mencit tanpa DM yang terinfeksi M.tuberculosis.
(29)
9
1.3.2.4Untuk membuktikan adanya hubungan antara ekspresi mRNA dan bacterial load jaringan paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi M.tuberculosis.
1.3.2.5 Untuk membuktikan adanya hubungan antara kadar Coronin-1A dan bacterial load jaringan paru mencit Balb/c dengan DM yang terinfeksi M.tuberculosis.
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pemahaman mendalam terjadinya peningkatan bacterial load jaringan paru pada infeksi M.tuberculosis dengan DM melalui mekanisme fagositosis dan peran TLR2 dalam tahap awal innate immunity sehingga berguna bagi klinisi untuk memperkaya khasanah ilmu dalam pemahaman secara teoritis.
1.4.2 Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai acuan oleh para klinisi dalam memberikan edukasi kepada penderita tuberkulosis paru dengan DM maupun tanpa DM agar dapat menjaga kualitas hidupnya lebih lama dengan jalan mengontrol kadar gula darah atau haemoglobin yang terglikosilasi sehingga memperlambat terjadinya kerusakan paru yang berlebih akibat dari gangguan respon imun seluler khususnya proses fagositosis.
(30)
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) adalah bakteri patogen intraseluler yang tumbuh lambat dan bisa bertahan hidup di dalam makrofag tubuh inangnya. M.tuberculosis merupakan bakteri tahan asam dengan dinding sel mengandung asam mikolik hidropobik dan komponen ini sekitar 50% dari berat kering M.tuberculosis tersebut. Oleh karena lapisan asam mikolik tersebut, masuknya nutrisi ke dalam sel menjadi terganggu sehingga menyebabkan pertumbuhan M.tuberculosis menjadi lambat. Namun hal ini juga menyebabkan ketahanan kuman M.tuberculosis terhadap enzim lisosom menjadi tinggi (Brennan dan Nikaido, 1995). Asam mikolik didistribusikan sebagai lapisan tebal penyusun dinding sel bakteri, sedangkan lapisan internal dari mikobakterium sebagian besar mengandung arabinogalactan, phosphalidyl-myo-inositol mannosides (PIMs), dan peptidoglycans. Di luar lapisan asam mikolik, komponen biomolekul mengandung mannose lain penyusun dinding mikobakterium yaitu mannose-capped lipoarabinomannan (Man-LAM), Lipomannan (LM) dan Mannoglycoproteins (Torrelles dan Schlesinger, 2010). Mannan dan arabinomannan ada pada permukaan sel dan membentuk kapsul luar mikobakterium. Man-LAM, LM dan PIMs termasuk mannosyl phosphatidyl-myo-inositol (MPI) merupakan struktur utama membran plasma (Briken et al., 2004).
(31)
11
Man-LAM adalah bagian mannans terdapat berlimpah pada permukaan sel, merupakan faktor virulens penting dari M.tuberculosis. Man-LAM adalah lipoglikan heterogen dengan karakteristik struktur tripartite inti karbohidrat, MPI, dan beberapa motif mannose-capping (Kleinnijenhuis et al, 2011). Uncapped LAM ditemukan pada M.chelonae, dijumpai pada pertumbuhan lambat dari mikobakterial termasuk juga M.tuberculosis, M.bovis BCG, M.avium dan M.kansasii. Phospho-myo-inositol caps (PILAM) teridentifikasi pada pertumbuhan cepat dari M.smegmatis. PILAM umumnya dianggap sebagai molekul proinflamasi yang menstimuli produksi TNF dan IL-12, sedangkan Man-LAM disamping sebagai molekul anti-inflamasi dan tidak memicu produksi sitokin proinflamasi tetapi lebih menstimulasi produksi IL-10 serta menghambat produksi TNF dan IL-12 oleh sel dendritik atau monosit (cell line) (Nigou et al., 2001).
Gambar 2.1
Struktur dinding Mycobacterium tuberculosis.
Gambar ini menunjukkan secara skematik komponen utama dinding sel dan distribusi masing-masing komponen. Lapisan dalam mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan lapisan arabinogalactan. Membran luar mengandung asam mikolik, glycolipids like (mannose-capped) lipomannan, dan mannoglycoproteins ((Kleinnijenhuis et al., 2011).
(32)
12
2.2 Tahap pengenalan Mycobacterium tuberculosis
Interaksi antara M.tuberculosis dengan sel tubuh sangat kompleks walaupun penelitian yang sangat mendalam dan lama telah dilakukan, namun belum sepenuhnya dapat diungkap. Pada tahap ini difokuskan pada PRRs dalam pengenalan PAMPs spesifik dari mikobakterium, menginduksi sinyal intraseluler untuk memproduksi sitokin dan menginisiasi respons imun adaptif. Secara skematik dijelaskan dalam Gambar 2.2. Reseptor host bagian utama yang ikut terlibat dalam phagositosis bakteri daripada complement receptors dan scavenger receptors (Kleinnijenhuis et al., 2011).
Gambar 2.2
Pola reseptor pengenal dalam mengenali mikobakterium dan downstream signalling pathways
Mikobakterium dapat dikenali melalui pattern recognition receptors (PRRs) yang berbeda-beda pada host. Reseptor intraseluler maupun ekstraseluler keduanya ikut terlibat dalam proses ini. Setelah mengenali mikobakterium, kaskade sinyal intraseluler diaktivasi dengan ditunjukkannya aktivasi transkripsi NF-B. Setelah transkripsi, terjadi induksi produksi kemokin dan/sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi. Tipe kaskade sinyal yang terinduksi tergantung pada tipe PRR yang mengenali komponen M.tuberculosis (Kleinnijenhuis et al., 2011).
(33)
13
2.2.1 Toll-Like Receptors (TLR)
Patogen seperti bakteri, virus, fungi dan protozoa mengekspresikan
seperangkat molekul yang bersifat “class-specific” dan “mutation resistant” yang dinamakan PAMP (pathogen-associated molecular pattern). Sebaliknya sel tubuh yang terlibat dalam sistem immune natural (innate/nonspecific) dapat mengenali PAMP melalui motif PRR (pattern recognition receptor). Dikenal 3 macam anggota family PRR meliputi Toll-like receptor (TLR), NOD-like receptor (NLR) dan RIG-like receptor (RLR). Lokasi TLR berada pada membran sel (plasma) dan membran endosomal, sedangkan lokasi NLR dan RLR berada intraseluler (Ma’at, 2009).
Pada akhir abad ke-20, penelitian yang dilakukan oleh Toll menunjukkan bahwa ada reseptor yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi jamur pada Drosophilia, yang hanya dimiliki oleh respon imun alamiah. Setahun kemudian, reseptor yang dijumpai oleh Toll mirip pada mamalia (sekarang dikenal sebagai TLR4) menunjukkan bahwa reseptor tersebut dapat menginduksi ekspresi gen yang berperan dalam respon inflamasi. Disamping itu ditemukan bahwa adanya point mutation gen TLR4, strain tikus tidak responsif terhadap LPS. Aktivasi imunitas alamiah (innate immunity) merupakan tahap yang penting dalam perkembangan antigen-specific acquired immunity (Takeda dan Akira, 2005).
TLR didistribusikan pada berbagai jenis sel di dalam tubuh, seperti terlihat pada Tabel 2.1. Masing-masing TLR diekspresikan pada subset leukosit yang berlainan, serta setiap TLR mendeteksi atau mengenali PAMP yang berlainan pula.
(34)
14
Aktivitas TLR oleh PAMP spesifik membentuk signal lewat domain TIR guna menginduksi aktivasi NF-B dan ekspresi gen inflamatori untuk mengeleminasi infeksi. Domain TIR berikatan dengan 5 molekul adaptor, seperti MyD88, Mal (MyD88 adaptor-like)/TIRAP (TIR domain-containing adaptor protein), Trif ( TIR-domain-containing adaptor inducing interferon-beta), TRAM (Trif-released adaptor molecule) dan SARM (SAM and ARM-containing protein) (Ma’at., 2009).
Reseptor membran TLR dibagi dalam 2 group: pertama, TLR1, TLR2, TLR4, TLR5, TLR6, TLR10, TLR11, TLR12 dan TLR13 merupakan tipikal TLR permukaan sel. Kedua, TLR3,TLR7 dan TLR9 dijumpai terutama pada membrane endosom. Secara filogenetik, TLR dibagi dalam 6 famili, yaitu TLR1, TLR3, TLR4, TLR5, TLR7 dan TLR11. TLR mengenali dan diaktivasi oleh berbagai macam PAMP, seperti DNA bakterial, LPS, peptidoglikan, asam teikhoat, flagellin, pilin, dsRNA viral, dan zimosan fungi. Sebagai contoh: TLR2 mengenali peptidoglikan dan asam teikhoat dari bakteri Gram positif, sedangkan TLR4 mengenali lipopolisakarida (LPS) dari dinding sel bakteri Gram negatif. Aktivasi TLR tersebut memicu ekspresi berbagai sitokin seperti: IFN-, IL-2, IL-6, IL-8, IL-12, IL-16 dan TNF- (Pasare dan Medzhitov, 2005).
(35)
15
Tabel 2.1
Distribusi TLR pada berbagai tipe sel, ligan dan asal ligan (Ma’at, 2009).
Reseptor Tipe sel Ligan (PAMP) Asal ligan
TLR1 Terdapat diberbagai sel Triasil lipopeptida Faktor terlarut
Bakteri mikobakteria
Neisseria meningitides
TLR2 Sel dendritik, sel
polimorfonuklear dan monosit
Heat Shock Protein 70 Peptidoglikan
Lipoprotein/lipopeptida Virus hepatitis C (core dan protein NS3)
Inang
Bakteri Gram positif
Berbagai patogen virus hepatitis C TLR3 Sel dendritik, sel NK, sel
epithelial dan sel endothelial
dsRNA Virus
TLR4 Makrofag, sel
polimorfonuklear, sel dendritik, sel endothelial, tetapi tidak dijumpai pada limfosit
Lipopolisakarida
Protein ‘envelope’
Taxol
Bakteri Gram negatif
Virus ‘mouse mammary-tumor’
Tumbuhan TLR5 Monosit, sel dendritik ‘
immature’, sel epithelial, sel
NK dan sel T
Flagellin Bakteri
TLR6 Diekspresikan level tinggi pada sel B, dan level rendah pada monosit dan sel NK
Zymosan
Asam lipoteikhoat Lipopeptida diasil
Fungi
Bakteri Gram positif
Mikoplasma TLR7 Sel B, sel dendritik prekursor
plasmasitoid ssRNA Imidasoquinolin Virus Senyawa sintetik TLR8 Monosit, diekspresikan level
rendah pada sel NK dan sel T
ssRNA
Imidasoquinolin
Virus Senyawa sintetik TLR9 Sel dendritik prekursor
plasmasitoid, sel B, makrofag, sel polimorfonuklear, sel NK dan sel mikroglial.
DNA yang mengandung CpG Bakteri, malaria dan virus
TLR10 Sel B, sel dendritik prekursor plasmasitoid
Belum diketahui Belum diketahui TLR11 Belum diketahui Molekul ‘profillin-like’ Toxoplasma
gondii
Respon imun alamiah setelah infeksi mikobakterial diperantarai oleh pengenalan komponen mikobakterial oleh PRR sehingga terjadi aktivasi beberapa TLR. Genom DNA dari strain Mycobacterium bovis, bacillus Calmette-Guerin (BCG), mempunyai kemampuan untuk meningkatkan aktivitas sel NK dan
(36)
16
menginduksi IFN tipe 1 pada sel limfa murine dan sel limfosit darah tepi manusia. Aktivitas imunostimulasi dari DNA mikobakterial ditunjukkan dengan adanya sekuens palindrom yaitu motif 5’-CG-3’, yang sekarang disebut sebagai motif CpG dan dikenal dapat mengaktivasi TLR9 (Hemmi et al., 2000). Dinding sel mikobakterial mengandung beberapa lapisan glikolipid seperti lipoarabinomannan (LAM), lipomannan (LM), dan phosphatidyl-myo-inositol mannoside (PIM) dikenali oleh TLR2. Lipoprotein 19-kDa. M.tuberculosis juga mengaktivasi makrofag melalui TLR2. TLR 4 juga diperkirakan dapat mengenali komponen mikobakterial tersebut (Saiga et al., 2010).
Secara invivo dijelaskan mekanisme pertahanan tubuh melalui signal yang dimediasi oleh TLR dengan menggunakan mencit defisiensi MyD88, komponen penting pada signal TLR. Mencit dengan defisiensi MyD88 sangat rentan dengan infeksi saluran pernafasan oleh kuman M.tuberculosis. Keadaan yang berbeda ditemukan bahwa mencit dengan defisiensi TLR menunjukkan kerentanan terhadap infeksi M.tuberculosis tidak sehebat dibandingkan dengan defisiensi MyD88. Kerentanan mencit dengan defisiensi TLR2 terhadap M.tuberculosis bervariasi dari beberapa penelitian yang berbeda, sedangkan mencit dengan defisensi TLR4 tidak menunjukkan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi M.tuberculosis. Laporan menyebutkan bahwa mencit defisiensi TLR9 rentan terhadap infeksi M.tuberculosis dan lebih rentan lagi jika mencit yang defisiensi pada TLR2 dan TLR9. Penemuan ini mengindikasikan bahwa berbagai macam TLR berperan dalam tahap pengenalan mikobakterium. Laporan terbaru menyebutkan bahwa mencit yang defisiensi TLR2/TLR4/TLR9 menunjukkan kelainan phenotype yang
(37)
17
lebih ringan dibandingkan dengan mencit yang defisiensi MyD88. Perlu studi lebih lanjut apakah hanya TLR atau ada molekul lain selain TLR dalam aktivasi MyD88 untuk mediasi respon imun alamiah terhadap infeksi M.tuberculosis. TLR/MyD88 merupakan komponen independent dari imunitas alamiah yang terlibat dalam induksi respon imun adaptif selama infeksi M.tuberculosis (Saiga et al., 2010).
Gambar 2.3
Pengenalan M.tuberculosis oleh Toll-like receptors
TLR2 mengenali beberapa komponen derivat M.tuberculosis. TLR9 mengenali DNA mikobakterial termasuk motif CpG di dalam endosom. Pengenalan mikobakterial yang TLR-dependent ini menginduksi aktivasi signaling pathways melalui molekul adaptor MyD88 dengan menunjukkan aktivasi ekspresi gen (Saiga et al., 2010).
MyD88 berperan penting dalam aktivasi respons imun alamiah terhadap M.tuberculosis. Selanjutnya IL-1 receptor-associated kinases (IRAK), TNF receptor-associated factor(TRAF) 6, TGFβ-activated protein kinase 1 (TAK1) dan
(38)
18
mitogen-activated protein (MAP) kinase direkrut dalam kaskade signal dengan menunjukkan aktivasi dan translokasi inti dari faktor transkripsi seperti nuclear transcription factor (NF)-B (Takeda dan Akira, 2004). Keadaan ini menunjukkan transkripsi gen yang terlibat dalam aktivasi respon imun alamiah, terutama dalam produksi sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1β, dan IL-12 serta nitric oxide (NO) (Akira, 2003).
TLR4 diaktivasi oleh heat shock protein 60/65, suatu protein yang disekresikan oleh berbagai spesies M.tuberculosis (Bulut et al., 2005). TLR9 mengenali unmethylated CpG motifs dalam DNA bakteri. Studi in vitro menunjukkan bahwa M. tuberculosis menginduksi pengeluaran IL-12 dalam sel dendritik tergantung dengan TLR9. Eksperimen in vivo menunjukkan bahwa ketika mencit diinfeksikan dengan M.tuberculosis dosis tinggi, mencit yang kekurangan TLR9 lebih cepat mati dibandingkan dengan mencit yang normal (Bafica et al., 2005).
TLR8 dapat mengenali single-stranded RNA (ssRNA) virus RNA. Hal yang menarik diungkapkan oleh Davila dkk pada tahun 2008, yaitu terjadi peningkatan ekspresi protein TLR8 dalam makrofag setelah diinfeksikan dengan BCG (Davila et al., 2008). Sampai sekarang hanya penelitian ini yang mengemukakan peran penting TLR8, namun bagaimana mekanisme TLR8 mengenali M.tuberculosis dan signal intraselulernya masih belum jelas.
(39)
19
2.2.2 NOD Like Receptors
NOD like receptors (NLRs) merupakan keluarga dari protein yang sangat mirip dengan keluarga protein plant R (resistance), yang mempunyai peran penting dalam pertahanan terhadap patogen pada tumbuhan. Keluarga NLR pada mamalia mengandung lebih dari 20 anggota dengan struktur yang sederhana. Inti molekul tersebut dibentuk oleh nucleotide-binding domain, yang diberi nama NACHT, NAIP, CIITA, HET-E, dan TP-1 (Shi et al., 2003) atau NOD (nucleotide oligomerization domain). Bagian C-terminal mengandung ulangan seri kaya leucin, yang lebih dahulu mengenali PAMPs dari patogen dan mengawali aktivasi molekul. Bagian N-terminal molekul mengandung bagian efektor dari CARD (caspase activation and recruitment domain), PYRIN, atau BIR (baculovirus inhibitor of apoptosis repeat domain) (Proell et al., 2008). NLR yang mengandung CARD seperti misalnya NOD1 dan NOD2 terlebih dahulu membentuk oligomer dan kemudian merekrut receptor-interacting protein 2 (RIP2) (atau CARD containing kinase-RICK), melalui interaksi CARD-CARD sehingga menunjukkan pengerahan NF-B (Dufner et al., 2006). NOD2 adalah reseptor intraseluler yang memediasi rangsangan produksi sitokin proinflamasi dari infeksi M.tuberculosis. NOD2 merupakan reseptor untuk peptidoglikan bakteri. Mencit dengan defisiensi NOD2 menunjukkan gangguan produksi sitokin proinflamasi dan nitric oxide ketika diinfeksikan dengan M.tuberculosis. Namun kerentanan mencit dengan defisiensi NOD2 terhadap infeksi M.tuberculosis masih bervariasi (Divangahi et al., 2008).
(40)
20
2.2.3 C-Type Lectins
C-type lectins merupakan keluarga PRR yang terlibat dalam pengenalan struktur polisakarida dari patogen. Mannose Receptor (MR, CD206) terdiri dari 8 rantai bagian pengenal karbohidrat dan satu bagian yang kaya cystein. MR banyak diekspresikan pada makrofag alveolar. Rangsangan mikobakterium melalui MR menyebabkan produksi sitokin anti-inflamasi seperti IL-4 dan IL-13, menghambat produksi IL-12, dan kegagalan mengaktivasi respon oksidatif. Man-LAM dan komponen utama lain dari dinding sel M.tuberculosis seperti PIMs merupakan ligan alami mikobakterium untuk MR. Ikatan M.tuberculosis dengan MR dapat menginduksi fagositosis, namun fusi fagosom dengan lisosom terbatas (Kleinnijenhuis et al, 2011).
Perbedaan level mannosylation antara strain M.tuberculosis bisa juga berpengaruh terhadap pengenalan oleh C-type lectins. Torrelles dan Schlesinger pada tahun 2010 menyebutkan bahwa perbedaan virulensi antara strain M.tuberculosis bisa berkaitan dengan ekspresi Man-LAM pada dinding sel (Torrelles dan Schlesinger, 2010).
2.2.4 DC-SIGN
Dendritic cell-specific intercellular adhesion molecule-3 grabbing nonintegrin (DC-SIGN, CD209) berperan penting dalam interaksi antara sel dendritik dengan M.tuberculosis. Reseptor ini terutama diekspresikan pada sel dendritik dalam bentuk sebagai PRR dan reseptor adesi, berperan dalam migrasi sel dendritik dan interaksi antara sel dendritik-sel T. Bagian pengenalan karbohidrat
(41)
21
dari DC-SIGN mengenali Man-LAM dan lipomannans. -glucan (bagian dominan polisakarida kapsul) juga sebagai ligan untuk DC-SIGN. Setelah mengenali struktur M.tuberculosis, DC-SIGN memacu respon imun anti-inflamasi dengan cara maturasi sel dendritik yang terinfeksi dan menginduksi produksi IL-10 (Kleinnijenhuis et al, 2011).
2.2.5 Dectin-1
Dectin-1 merupakan reseptor yang terdiri dari bagian pengenalan karbohidrat ekstraseluler dan bagian ITAM intraseluler. Reseptor ini terutama diekspresikan pada makrofag, sel dendritik, netrofil, dan subset sel T. Dectin-1 terutama mengenali β-glucan yang terdapat pada patogen fungi, namun hal ini juga diperkirakan berperan penting dalam pengenalan M.tuberculosis (Kleinnijenhuis et al, 2011). Laporan terakhir dikemukakan bahwa dectin-1 berperan penting pada pengenalan M.tuberculosis dalam imunitas alamiah dan menginduksi respon Th1 dan Th17 (Van De Veerdonk et al., 2010).
(42)
22
Gambar 2.4
Pengenalan mikobakterium oleh pattern recognition receptors (PRRs)
Beberapa PRR seperti NOD-like receptors dan C-type lectin receptors, memediasi pengenalan M.tuberculosis. NOD2, merupakan anggota NOD-like receptors, mengenali N-glycolyl MDP di dalam sitoplasma sel M.tuberculosis. DC-SIGN dan dectin-1 merupakan anggota dari C-type lectin receptors, berperan pada pengenalan mikobakterium. Selain itu, Mincle menunjukkan pengenalan terhadap TDM (merupakan suatu glikolipid dari dinding sel mikobakterium) (Saiga et al., 2010).
2.3 Imunitas alamiah dan Pertahanan Tubuh Terhadap M. tuberculosis
Tahap pertama dalam aktivasi pertahanan tubuh alamiah dimulai dengan pola pengenalan patogen. PAMPs dari M.tuberculosis dikenali oleh PRRs spesifik yang akan memacu produksi sitokin proinflamasi dan kemokin, fagositosis dan pembunuhan mikobakterium, dan mempresentasikan antigen (Kleinnijenhuis et al., 2011).
(43)
23
Setelah mikobakterium yang ada pada aerosol terhisap melalui udara pernafasan kemudian masuk ke paru, kuman ditangkap oleh makrofag yang ada dalam alveolar. Mikobakterium yang lolos dari pemecahan intraseluler oleh makrofag bisa berkembang biak dan menghancurkan makrofag, setelah pengeluaran kemokin yang dapat merangsang pergerakan monosit atau sel inflamasi lainnya ke paru. Sel inflamasi seperti monosit akan berdiferensiasi menjadi makrofag yang siap untuk memakan mikobakterium namun tidak menghancurkan kuman tersebut (Van Crevel et al., 2002). Pada tahap infeksi ini, mikobakterium berkembang secara logaritmik dan akumulasi produk makrofag dalam darah, namun terjadi kerusakan jaringan paru yang sedikit. Dua sampai tiga minggu setelah infeksi, terjadi perkembangan imunitas sel T dan timbul antigen-specific T lymphocyte, berproliferasi dalam lesi awal atau tuberkel, mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti interferon- (IFN) yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikobakterium intraseluler. Keadaan ini menyebabkan pertumbuhan mikobakterium terhenti dan granuloma pada lesi primer akan menghambat pertumbuhan mikobakterium ekstraseluler. Granuloma mengandung jaringan nekrotik kaseosa sentral, menimbulkan kavitas dan penyebaran secara aerogen kuman mikobakterium (Kleinnijenhuis et al., 2011).
Makrofag adalah sel yang sangat penting dalam kejadian tersebut diatas, terlibat dalam proses pagositosis, membunuh kuman mikobakterium dan mengawali imunitas sel T adaptif. Fagositosis kuman mikobakterium melibatkan reseptor yang berbeda-beda seperti scavenger receptors, mannose receptor (MR), dan complement receptors. Proses fagosistosis bisa melibatkan uptake basil
(44)
24
mikobakterium setelah opsonisasi dengan faktor komplemen dan/ tanpa opsonisasi. Studi invitro menunjukkan bahwa hampir 80% pagositosis M.tuberculosis melalui opsonisasi komplemen diperantarai oleh complement receptor 3 (CR3). Proses pagositosis tanpa melalui opsonisasi penting pada inpeksi primer paru, karena faktor komplemen sebagian besar tidak ada pada daerah alveolar (Kleinnijenhuis et al., 2011).
Makrofag dapat mengeliminasi mikobakterium melalui mekanisme yang berbeda seperti produksi oksigen rekatif dan nitrogen species, asidifikasi fagosom, dan fusi fagosom dengan lisosom (Van Crevel et al., 2002). Nasib mikobakterium intraseluler juga dipengaruhi oleh proses autofagi, merupakan proses seluler melalui komponen sitoplasma, termasuk organela dan patogen intraseluler, kemudian diasingkan dalam double-membrane-bound autophagosome dan dibawa ke lisosom untuk dihancurkan (Kundu dan Thompson, 2008). Aktivasi dari autofagi menunjukkan maturasi dari fagosom, peningkatan asidifikasi fagosom, dan peningkatan pembunuhan mikobakterium dalam makrofag (Gutierrez et al, 2004).
Interaksi antara M.tuberculosis dengan sel sistem imun alamiah dan adaptif menghasilkan sekresi kemokin dan sitokin, yang paling penting yaitu TNF-, sitokin keluarga interleukin-1 (IL-1β, IL-18), IL-12, dan IFN. TNF penting dalam proses pembentukan granuloma, merupakan mekanisme penting dalam membatasi replikasi basil tuberkulosis. IFN mengaktivasi makrofag untuk membunuh dan membatasi pertumbuhan mikobakterium. IFN juga meningkatkan ekspresi molekul MHC klas II untuk meningkatkan presentasi antigen ke sel T.
(45)
25
IFN disekresikan oleh sel NK, sel T CD4+, dan sel T CD8+ pada pengeluaran IL-12 dan IL-18 endogen oleh makrofag dan sel dendritik. Ditunjukkan bahwa individu yang mengalami defisiensi reseptor IFN atau IL-12 terjadi peningkatan kepekaan terhadap infeksi mikobakterium (Kleinnijenhuis et al., 2011).
Beberapa subset makrofag telah diidentifikasi dengan berbagai peran penting masing-masing. Dua subset utama yaitu classical phenotype dan nonclassical/ alternative phenotype. Diferensiasi melalui jalur klasik diinduksi oleh produk mikroba atau IFN menghasilkan induksi efek antimikroba dan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1β, IL-12 (p40), dan IL-23 (Verreck et a.l, 2004; Verreck et al., 2006). Keadaan yang berbeda dijumpai pada subset makrofag nonclassical yaitu gangguan aktivitas antimikroba dan produksi IL-12. Subset ini memiliki kapasitas presentasi antigen yang jelek dan dapat menekan imunitas seluler dengan memproduksi IL-10 (Verreck et al., 2006).
2.4 Proses Fagositosis dan Fusi Fagolisosom
Interaksi antara M.tuberculosis dengan berbagai reseptor menyebabkan terjadinya proses fagositosis. Proses fagositosis memiliki beberapa tahap, antara lain (Kaiser, 2002):
a. Aktivasi
Makrofag non aktif diaktivasi oleh berbagai mediator inflamasi seperti produk mikroba, protein komplemen, sitokin proinflamasi dan prostaglandin. Sebagai akibatnya makrofag memproduksi reseptor glikoprotein permukaan yang meningkatkan kemampuan mereka
(46)
26
menangkap dan mengenali mikroba. Komponen mikroba yang dideteksi oleh reseptor ini dapat berupa peptidoglikan, teichoic acid, lipopolisakarida dan mannose. Selain reseptor mereka juga meningkatkan metabolisme dan efek mikrobisidalnya dengan jalan meningkatkan produksi ATP, enzim-enzim lisosom dan oksidan letal.
b. Kemotaksis
Kemotaksis adalah pergerakan sel fagosit karena adanya zat penarik (attractant) seperti bakteri (protein, kapsul, fragmen dinding sel, endotoksin), komplemen (C5a), kemokin (IL-8), produk fibrin, kinin dan fosfolipid dari sel inang yang rusak.
c. Penangkapan (attachment)
Proses penangkapan ini dapat terjadi melalui opsonisasi terlebih dahulu maupun tidak. Beberapa zat seperti peptidoglikan, teichoic acid, lipopolisakarida, mannan dan glukan pada dinding mikroba (yang tidak ditemukan pada sel manusia) dapat menyebabkan attachment tanpa opsonisasi. Sedangkan attachment mikroba melalui jalur opsonisasi dengan menggunakan antibodi IgG atau protein komplemen C3b dan C4b. Opsonisasi akan meningkatkan kemampuan attachment dari sel fagosit. d. Penelanan (ingestion)
Begitu terjadi attachment, filamen aktin membentuk pseudopodia yang melingkupi kemudian menelan mikroba dan menempatkannya pada suatu fagosom. Di dalam fagosom terjadilah proses survival dari kuman ini. Inang memerlukan zat besi sebagai kofaktor untuk menimbulkan mekanisme
(47)
27
degradasi kuman yang terfagosit, sedangkan M.tuberculosis memerlukan zat besi untuk kelangsungan hidupnya. Sel inang mendapatkan zat besi yang dibutuhkan melalui transferrin receptor (TfR) yang membawa zat besi dari ekstraseluler sebagai transferin dan laktoferin. Kompleks ini kemudian dibawa dalam endosom awal tempat pelepasan zat besi dari reseptornya dalam suasana sedikit asam. M.tuberculosis membuat beberapa strategi agar kebutuhan zat besinya dapat terpenuhi. Yang paling penting adalah mencegah maturasi dari fagosom pada kondisi endosom awal sehingga kuman ini dapat mengakses langsung zat besi yang ada pada endosom tersebut. Strategi lain adalah memproduksi enzim siderophores yang memiliki afinitas tinggi terhadap zat besi intraseluler dan memindahkannya dari protein inang ke enzim mycobactin pada dinding selnya (Collins dan Kaufmann, 2001; Vergne et al., 2004; Ulrichs and Kaufmann, 2004). Fagosom yang mengandung mikroba selain M.tuberculosis akan meneruskan maturasinya sehingga menjadi semakin asam. Kondisi yang asam ini akan memicu terjadinya fusi dengan lisosom yang banyak mengandung enzim hidrolisa, disamping itu fagosom yang matur juga menghasilkan oksigen dan nitrogen reaktif yang fatal bagi mikroba. Dengan menghambat proses maturasi ini akan menyebabkan M.tuberculosis selamat dari degradasi oleh lisosom (Collins and Kaufmann, 2001; Vergne et al., 2004; Ulrichs dan Kaufmann, 2004).
(48)
28
Sel fagosit memiliki kantung yang disebut lisosom dan mengandung berbagai enzim digestif, zat kimia mikrobisidal dan oksigen radikal yang toksik. Lisosom kemudian berfusi dengan fagosom mengakibatkan terjadinya destruksi mikroba.
2.5 Peranan Coronin-1 dalam menghambat fagositosis oleh makrofag
Coronin-1 (Coronin-1a) merupakan anggota dari keluarga protein coronin terekspresi pada vertebrata. Pertama kali dilaporkan peranan Coronin-1 pada leukosit dalam mekanisme survival bakteri intraseluler M.tuberculosis. Walaupun banyak bakteri setelah mengalami internalisasi oleh makrofag maka secara cepat akan terjadi fusi antara fagosom dengan lisosom dan akhirnya akan terjadi destruksi bakteri tersebut. Berbeda dengan M.tuberculosis, setelah internalisasi mikobakteria secara aktif memblok fusi antara fagosom dengan lisosom (Pieters, 2008a).
Coronin 1 (TACO, Tryptophan Aspartate containing Coat protein) merupakan molekul inang yang kemungkinan terlibat dalam blok fusi fagosom dengan lisosom, suatu protein ekslusif menjaga mikobakterial dalam fagosom. Coronin-1 yang terdapat pada makrofag tidak terinfeksi distribusinya hampir sama antara sitosol dan membran, kemudian secara special menjaga fagosom makrofag yang terinfeksi M.tuberculosis hidup, sedangkan pada makrofag dengan infeksi M.tuberculosis mati maka Coronin-1 pada tahap awal mengalami ko-internalisasi namun secara cepat mengalami disosiasi dari fagosom. Setelah terjadi disosiasi, fagosom yang tidak dilapisi coronin-1 mengalami fusi dengan atau matur dalam lisosom, akhirnya terjadi degradasi M. tuberculosis. Diperkirakan peran penting
(49)
29
coronin-1 dalam mencegah fusi fagosom yang mengandung mikobakteria dengan lisosom. Pada jaringan hati, mikobakteria secara efektif dapat dihancurkan dalam sel Kuffer, sedangkan makrofag yang terdapat dalam jaringan hati tidak mengekspresikan Coronin-1. Coronin-1 berperan dalam aktivasi Ca-dependent phosphatase calcineurin. Pada makrofag normal, setelah internalisasi mikobakteria maka fosfatase ini menjadi aktif sehingga memblok fusi fagosom dengan lisosom dengan mekanisme yang belum diketahui dengan pasti, sehingga meningkatkan survival M.tuberculosis dalam makrofag. Pada keadaan defisiensi coronin-1, tidak terjadi aktivasi calcineurin sehingga terjadi fusi fagosom dengan lisosom dan membunuh M.tuberculosis dalam makrofag (Pieters, 2008b; Constantoulakis et al., 2010).
Gambar 2.5
Model aktivitas Coronin-1 dalam makrofag
Pada keadaan makrofag istirahat, Coronin-1 (Coronin-1A) tersebar pada sitoplasma kortex sel. Pada saat masuknya patogen mikobakteria,
(1)
Berbagai klasifikasi DM telah banyak dikemukakan, seperti klasifikasi berdasarkan timbulnya beberapa gejala klinik dan klasifikasi berdasarkan umur pasien. Berdasarkan umur, DM dapat diklasifikasikan menjadi juvenile-onset
(kejadian yang dimulai pada anak) dan adult-onset (kejadian yang dimulai setelah dewasa). Berdasarkan tipe ketergantungan terhadap insulin, DM dapat dibagi menjadi insulin-dependent (ketergantungan insulin) dan non-insulin-dependent
(tidak ketergantungan insulin) (Masharani et al., 2004).
Klasifikasi DM dan katagori yang lain dari regulasi glukosa menurut
American Diabetes Association (ADA), 2015 dapat dibagi mejadi:
a. DM tipe 1, disebabkan karena terjadi kerusakan sel beta pankreas, biasanya ditandai dengan defisiensi absolut insulin,
b. DM tipe 2, merupakan peralihan antara insulin resisten dengan defisiensi insulin relatif terutama defek sekresi insulin dengan insulin resisten c. Gestational diabetes melitus (GDM), diabetes melitus didiagnosis pada
saat trimester kedua atau ke tiga kehamilan
d. Tipe diabetes spesifik yang terjadi oleh penyebab lain: monogenic diabetes syndromes (seperti neonatal diabetes dan maturity-onset diabetes of the young [MODY]), penyakit kelenjar eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan diabetes yang diinduksi oleh obat atau zat kimia (pengobatan HIV/AIDS atau setelah trasnplantasi organ).
DM tipe 1 terjadi lebih sering pada usia muda, namun dapat terjadi pada usia dewasa non obese. Keadaan ini disebabkan oleh kekurangan produksi insulin diikuti dengan plasma glukagon yang tinggi dan keadaan ini dipicu oleh kegagalan
(2)
sel beta pankreas. DM tipe 1 lebih dari 95% disebabkan oleh proses autoimun dan 5% karena destruksi sel beta pancreas yang idiopatik (Masharani et al., 2004).
Sebagian besar DM yang terjadi merupakan DM tipe 2 (perkeni, 2011). DM tipe 2 ini sering juga disebut adult onset atau non insulin dependent diabetes melitus. Hal ini terjadi karena resistensi insulin yaitu suatu kondisi dimana tubuh gagal memakai cukup insulin atau tidak mampu mempergunakan insulin dengan baik, dan ditambang dengan defisiensi insulin secara relatif. Defisiensi insulin secara relatif adalah suatu keadaan tubuh memproduksi insulin tetapi tidak cukup mengubah makanan/glukosa menjadi energi oleh karena kegemukan (ADA, 2015).
Peningkatan risiko tuberkulosis paru aktif pada penderita diabetes melitus (DM) diperkirakan akibat dari adanya gangguan sistem imun yang ada pada penderita DM, peningkatan daya lekat kuman Mycobacterium tuberculosis pada sel penderita DM, adanya komplikasi mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati, dan banyaknya intervensi medis pada pasien tersebut (Wulandari dan Sugiri, 2013).
2.7 Disfungsi imunologi pada penderita diabetes melitus
Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada penderita diabetes bisa disebabkan karena defek pada mekanisme pertahanan tubuh penderita dan gangguan fungsi sel imun. Respon imun yang paling berperan yaitu sistem imun seluler. Derajat hiperglikemia juga mempengaruhi fungsi mikrobisidal dari makrofag, yaitu pada kadar gula darah > 200 mg/dl secara signifikan dapat menekan fungsi pembersihan sel respirasi. Pada penderita diabetes yang terkontrol buruk, dengan kadar haemoglobin yang terglikosilasi tinggi, sering diikuti dengan
(3)
kejadian tuberkulosis yang sangat parah dan bahkan berakhir dengan kematian yang cukup tinggi (Guptan and Shah, 2000).
Tabel 2.2
Defek imunologi dan fungsi fisiologis paru pada penderita diabetes melitus (Guptan and Shah, 2000)
Abnormalitas imunologi pada diabetes mellitus
Disfungsi fisiologi paru pada diabetes mellitus
Abnormal kemotaksis, adherence, fagositosis dan fungsi mikrobisidal sel PMN
Penurunan reaktivitas bronchial Penurunan monosit darah tepi dengan
gangguan fagositosis
Penurunan elastic recoil dan volume paru Transformasi blast yang buruk dari limfosit Penurunan kapasitas difusi
Fungsi opsonin C3 terganggu Sekresi mucus yang berlebihan pada jalan nafas
Penurunan respon pernafasan terhadap hipoksemia
Pasien pneumonia yang didapatkan dari rumah sakit yang memiliki kadar glukosa darah > 11 mmol/l memiliki risiko kematian dan komplikasi yang tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kadar glukosa darah ≤ 11 mmol/l. Peningkatan kadar glukosa darah sebanyak 1 mmol/l berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya komplikasi sebanyak 3% (McAlister et al., 2005). Ditemukan bahwa sekitar 50% pasien rawat inap dengan penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi akut memiliki kadar glukosa darah ≥ 7.0 mmol/l (Baker et al., 2006).
Pada daerah paru yang mengandung udara dilapisi oleh cairan tipis (cairan permukaan saluran nafas) dengan volume dan konsentrasinya diatur dengan seimbang sebagai mekanisme pertahanan paru. Penelitian pada binatang menyebutkan bahwa konsentrasi glukosa pada cairan permukaan saluran nafas 3-20 kali lebih rendah dibandingkan dengan di plasma. Glukosa tidak terdeteksi pada cairan hidung individu sehat yang diperiksa menggunakan alat stick glukosa. Cairan
(4)
saluran nafas bawah individu normal mengandung glukosa sekitar 0,4 mmol/l (Baker et al., 2006). Peningkatan glukosa pada saluran nafas terjadi ketika glukosa darah meningkat. Kadar glukosa cairan hidung sekitar 1-9 mmol/l pada pasien yang menderita diabetes melitus dan sekitar 1-11 mmol/l dalam aspirat bronkial pada pasien yang dirawat di ICU dengan stress hiperglikemia. Konsentrasi glukosa saluran nafas meningkat ketika terjadi inflamasi pada epitel saluran nafas (Philips
et al., 2003).
Glukosa pada sekresi saluran nafas dapat mempercepat infeksi saluran nafas melalui efek langsung pertumbuhan bakteri. Bakteri memecah sakarida menjadi substrat reaksi katabolik dalam menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan gugus karbon (C) untuk biosintesis materi seluler yang baru. Perubahan komposisi nutrisi lingkungan dari saluran nafas bisa menimbulkan perubahan ekspresi gen bakteri yang menimbulkan perubahan virulensi kuman. Kuman patogen pada epitel saluran nafas mengekspresikan sitokin proinflamasi seperti IL-6, IL-8 dan TNF- yang lebih lanjut dapat menimbulkan peningkatan glukosa saluran nafas, peningkatan inflamasi dan beratnya penyakit (Baker et al., 2006).
Studi pada tikus DM tipe 1 yang diinduksi dengan alloxan menunjukkan bahwa netrofil dan makrofag alveolar mengalami gangguan dalam reaksi pengeluaran sitokin dan fagositosis, namun dengan pemberian insulin dapat memulihkan sebagian dari keadaan tersebut. Penemuan utama pada diabetes kronis yaitu pengaruhnya pada respon imun terhadap mikobakterium dengan memperlambat respon imun alamiah sel yang memediasi produksi interferon-. Efek ini disebabkan karena gangguan respon inflamasi cepat oleh makrofag
(5)
alveolar yang terinfeksi, saat migrasi sel dendritik dari paru ke limfonodi lokal (Knapp, 2012).
TNF-, Interferon- dan IL-1β merupakan sitokin inflamasi yang penting. Beberapa studi klinis telah meneliti kadar sitokin serum pada penderita diabetes. Kadar IL-1 dan IFN- serum yang tinggi ditemukan pada penderita diabetes tipe 1 tanpa ketoasidosis yang baru terdiagnosis. Ekspresi mRNA TNF-, IFN- dan IL-1β relatif lebih tinggi tujuh hari setelah infeksi tuberkulosis, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan respon inflamasi pada paru, dan mungkin dapat menjelaskan terbentuknya granuloma besar pada mencit dengan DM tipe 1. Pada tikus dengan DM tipe 1 tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna pada proses fagositosis basil tuberkel dibandingkan dengan tikus normal. Makrofag alveolar tikus diabetes memproduksi lebih sedikit NO (nitric oxide) dibandingkan dengan tikus normal. NO merupakan zat antituberkulosis yang disintesis oleh
inducible NO synthase dalam makrofag. Makrofag alveolar dari tikus diabetes tidak mampu memproduksi NO secara sempurna melalui rangsangan oleh basil tuberkel. Hal ini sangat penting untuk memeriksa kadar insulin darah pada tikus diabetes
karena gangguan dari insulin menyebabkan terjadinya hiperglikemi, yang akhirnya menyebabkan pertumbuhan kuman M.tuberculosis. Mencit diabetes tipe 1 dengan infeksi M.tuberculosis yang diterapi dengan insulin subkutan setiap hari , kadar glukosa darah akan menurun dan jumlah coloni forming unit pada paru dan limfa yang terinfeksi secara signifikan mengalami penurunan. Jadi sangat penting untuk menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal untuk mencegah infeksi
(6)
Pada kasus gagal nafas akut, hiperglikemia dapat menimbulkan efek imunomodulator dengan ditandai dengan meningkatnya produksi sitokin antiinflamasi seperti IL-10, yang dapat mengakibatkan disfungsi mitokondria, dan gangguan fungsi netrofil sehingga menurunkan aktivitas bakterisidal intraseluler, aktivitas opsonisasi, dan imunitas alami. Namun pada penemuan yang lain disebutkan bahwa hiperglikemia dapat meningkatkan respon inflamasi dengan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-, IL-1β, IL-6, IL-8, dan IL-18; peningkatan leukocyte adhesion molecule; induksi nuclear factor-B; dan meningkatkan status prokoagulan. Hiperglikemia juga dapat meningkatkan produksi stress oksidatif yang dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada gagal nafas akut (Honiden and Gong, 2009).
Keadaan hiperglikemia dapat memacu pembentukan advanced glycation end products (AGE), yang sekarang dikenal berperan dalam proses inflamasi dan disfungsi endotel. Interaksi antara AGE dan reseptornya (RAGE) berperan dalam perkembangan terbentuknya fibrosis paru pada kerusakan paru oleh bleomycin
yang merupakan suatu endotoksin yang menginduksi kerusakan paru akut, serta memodulasi terjadinya syok septik. Kadar RAGE yang tinggi dalam sirkulasi berhubungan dengan derajat kerusakan paru dan dampak klinis dari penderita tersebut (Honiden and Gong, 2009).