Studi Kasus Mycobacterium Tuberculosis yang resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Fatmawati

(1)

STUDI KASUS MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS YANG

RESISTEN TERHADAP ANTIBIOTIK LINI PERTAMA PADA

PASIEN TUBERKULOSIS DI RSUP FATMAWATI

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Farmasi (S.Far)

Oleh :

OGI ANDYKA PUTRA

NIM : 108102000033

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2012


(2)

(3)

(4)

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia. Sholawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menjadi suri tauladan bagi kita hingga akhir zaman. Salah satu nikmat yang telah Allah SWT berikan kepada penulis yaitu dapat terselesainya skripsi yang berjudul “Studi Kasus Mycobacterium Tuberculosis yang resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Fatmawati”.

Dengan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Umar Mansur, M.Sc selaku ketua program studi Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Delina Hasan, M.Kes, Apt selaku Pembimbing I yang telah memberikan kesempatan, arahan dan dukungannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. dr. Anti Dharmayanti, Sp. PK selaku Pembimbing II yang telah memberikan arahan dan dukungannya kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Farida Indyastuti, MM yang telah membantu perijinan dan arahannya sehingga penulis dapat melakukan penelitian di RSUP Fatmawati.

6. Ayahanda H.Samsul Bahri Ali, ibunda tercinta Hj.Nurbi Yusnaini,S.KM, abang dan adik sekeluarga dr.Rian, Agil, Andri dan Dinda yang tiada henti mendoakan, memberikan semangat dan dukungannya, baik moral maupun materil yang tak terhingga kepada penulis.

7. Bu Nurmeilis,M.Si, Apt dan Mba Pia yang telah membantu perijinan penelitian dan penggunaan laboratorium di RSUP Fatmawati selama masa penelitian.

8. Pak Asep, dr. Sita dan seluruh staf diklit RSUP Fatmawati yang telah membantu perijinan dan penelitian di laboratorium patologi klinik RSUP. Fatmawati.

9. Pak Wiwid, Pak Taufik, Pak Joko, Bu Erma, Bu Ros, Bu Desi, Pak Maryo seluruh staf Laboratorium Klinik Instalasi Patologi yang telah mengijinkan saya melakukan penelitian di sana.

10. dr. Suli dari TB-DOTS yang telah membantu saya mengumpulkan jumlah populasi dalam penelitian ini.


(6)

11. Dr. Irianny Pudjiastuti,MARS., Bu Diah, Ka Vian, Bu Astuti seluruh staf IRMIK yang telah membantu saya mengumpulkan data rekam medis dan populasi penelitian.

12. Ibu dan bapak dosen yang mengajar di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan begitu banyak ilmu pengetahuan bagi penulis, yang sangat bermanfaat terutama dan penyelesaian skripsi ini.

13. Teman terbaik penulis, Ayu, Faritz, Ikhsan, Endah yang senantiasa membantu dan bertukarpikiran demi kelancaran skripsi penulis.

14. Rekan satu bimbingan, Irfan, Dini, Febri, Eva, Amel yang telah bersama-sama peneliti melakukan diskusi selama penelitian.

15. Teman-teman seperjuangan Alcoolique dan farmasi angkatan 2008 yang telah menemani penulis selama lebih kurang 3,5 tahun di Program Studi Farmasi. 16. Kakak dan adik kelas Program Studi Farmasi seluruh angkatan yang menjadi

motivator, penghibur sekaligus teman curhat penulis selama menempuh perkuliahan di farmasi.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari para pembaca diharapkan oleh penulis guna meningkatkan kualitas diri penulis ke depan.

Jakarta, 12 November 2012


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI...ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI...iii

LEMBAR PERNYATAAN...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL...x

DAFTAR GAMBAR...xi

DAFTAR LAMPIRAN...xii

DAFTAR SINGKATAN...xiii

ABSTRAK...xv

ABSTRACT...xvi

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...3

1.3. Pertanyaan Penelitian...4

1.4. Tujuan Penelitian...4

1.4.1. Tujuan Umum...4

1.4.2. Tujuan Khusus...5

1.5. Manfaat Penelitian...5

1.6. Justifikasi...5

1.7. Ruang Lingkup...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...7

2.1. Tuberkulosis (TB)...7

2.1.1. Patogenesis...7

2.1.2. Gejala Tuberkulosis...8

2.1.3. Manifestasi Klinik...9

2.2. Mycobacterium Tuberculosis...9

2.2.1. Morfologi dan Fisiologi...11

2.2.2. Sifat-Sifat Pertumbuhan...11

2.3. Diagnosa...11

2.4. Diagnosa Laboratorium...12

2.4.1. Bahan Spesimen...12

2.4.2. Mikroskopik...13


(8)

2.4.4. Pembacaan Jumlah Bakteri...15

2.4.5. Pembiakan...15

2.4.6. Tes Biokimia...18

2.5. Klasifikasi Tuberkulosis...18

2.6. Faktor Risiko...19

2.7. Obat...22

2.7.1. Rifampisin...22

2.7.2. Streptomisin...23

2.7.3. Pirazinamid...25

2.7.4. Isoniasid...26

2.7.5. Etambutol...28

2.8. Pengobatan Tuberkulosis... 30

2.9. Resistensi Tuberkulosis...32

2.9.1. Mekanisme Resistensi...33

2.9.2. Konfirmasi MDR-TB Secara Mikrobiologik...37

2.10. Landasan Teori...39

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS...41

3.1. Kerangka Konsep...41

3.2. Definisi Operasional...41

3.2.1. Drug Resistance Tuberculosis (DR-TB)...41

3.2.2. Multidrug Resistance Tuberculosis (MDR-TB)...42

3.2.3. Subyek...42

3.2.4. Pemeriksaan BTA...42

3.2.5. Jumlah Kuman...42

3.2.6. Hasil pemeriksaan sputum BTA (SPS) yang dicantumkan...42

3.2.7. Rifampisin...43

3.2.8. Streptomisin...43

3.2.9. Laboratorium rujukan...43

3.2.10. Kultur Mycobacterium Tuberculosis Sensitif...43

3.2.11. Kultur Mycobacterium Tuberculosis Resisten...43

3.2.12. Pasien sensitif tuberkulosis...43

3.3. Hipotesis ...43

3.3.1. Rifampisin sudah mengalami resistensi...43


(9)

BAB IV METODE PENELITIAN...44

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian...44

4.1.1. Lokasi...44

4.1.2. Waktu Penelitian...44

4.2. Rancangan Penelitian...44

4.3. Populasi dan Sampel...44

4.3.1. Populasi...44

4.3.2. Sampel...44

4.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi...45

4.4.1. Kriteria Inklusi...45

4.4.2. Kriteria Eksklusi...45

4.5. Langkah – Langkah Penelitian...45

4.5.1. Alat Ukur...45

4.5.2. Pengumpulan Data...45

4.5.2.1. Data yang Dikumpulkan...46

4.5.2.2. Manajemen Data...46

4.5.2.3. Analisis Data...47

4.5.3. Validitas dan Reliabilitas Data...48

BAB V HASIL DAN PENELITIAN...50

5.1. Hasil...50

5.1.1. Jumlah Populasi...50

5.1.2. Jumlah Sampel...50

5.1.3. Karakteristik Sampel Penelitian...51

5.1.4. Kasus Resistensi M.tuberculosis Terhadap Antibiotik Lini Pertama...55

5.1.5. Faktor Dominan Penyebab Resistensi...56

BAB VI PEMBAHASAN...61

6.1. Keterbatasan Penelitian...61

6.2. Pembahasan...61

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN...66

7.1. Kesimpulan...66

7.2. Saran...66

DAFTAR PUSTAKA...67


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT...31

Tabel 2. Dosis paduan OAT kombinasi dosis tetap untuk kategori I...31

Tabel 3. Dosis paduan OAT kombinasi dosis tetap untuk kategori II...32

Tabel 4. Dosis paduan OAT kombinasi dosis tetap untuk pasien TB anak...32

Tabel 5. Jumlah pasien tuberkulosis BTA (+) dengan/tanpa hasil kultur resistensi di RSUP. Fatmawati selama periode Juli 2009 – Juli 2012...50

Tabel 6. Pasien TB dengan hasil pemeriksaan sputum dan pengujian kultur resistensi di RSUP Fatmawati selama periode Juli 2009 – Juli 2012...51

Tabel 7. Hasil analisa statistik univariat terhadap distribusi sampel berdasarkan umur menggunakan SPSS...53

Tabel 8. Karakteristik sampel penelitian berdasarkan jenis pasien di RSUP. Fatmawati pada tahun 2009-2012...54

Tabel 9. Karakteristik sampel penelitian berdasarkan tipe TB paru di RSUP. Fatmawati pada tahun 2009-2012...55

Tabel 10. Hasil uji resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap antibiotik lini pertama pengobatan tuberkulosis di RSUP. Fatmawati sejak Juli 2009 – Juli 2012...55

Tabel 11. Faktor dominan resistensi tuberkulosis di RSUP. Fatmawati berdasarkan jenis pasien pada tahun 2009-2012...58

Tabel 12. Faktor dominan resistensi tuberkulosis di RSUP. Fatmawati berdasarkan tipe TB paru pada tahun 2009-2012...59

Tabel 13. Faktor dominan resistensi tuberkulosis di RSUP. Fatmawati ditinjau dari penggunaan antibiotik pengobatan tuberkulosis pada tahun 2009-2012...60


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Patogenesis Tuberkulosis...8 Gambar 2. Hasil pemeriksaan mikroskopis sputum BTA sewaktu

(sputum pada saat kunjungan pertama)...51 Gambar 3. Hasil pemeriksaan mikroskopis sputum BTA pagi...52 Gambar 4. Hasil pemeriksaan mikroskopis sputum BTA sewaktu (pada

saat pasien diminta mengeluarkan sputumnya lagi)...52 Gambar 5. Distribusi sampel berdasarkan umur di RSUP Fatmawati pada

tahun 2009 – 2012...53 Gambar 6. Karakteristik jenis kelamin pasien TB paru BTA (+) dengan hasil

kultur resistensi laboratorium rujukan RSUP. Fatmawati periode 1 Juli 2009-31 Juli 2012...54 Gambar 7. Persentase resistensi sampel penelitian terhadap antibiotik lini

pertama di RSUP Fatmawati sejak Juli 2009 - Juli 2012...56 Gambar 8. Faktor dominan pasien resisten tuberkulosis di RSUP. Fatmawati

ditinjau dari jenis kelamin pada tahun 2009 - 2012...57 Gambar 9. Faktor dominan pasien resisten tuberkulosis di RSUP. Fatmawati


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pemeriksaan sputum dan pengujian resistensi...70

Lampiran 2. Karakteristik sampel penelitian...72

Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian di RSUP. Fatmawati...74


(13)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome ASKES : Asuransi Kesehatan

ATP : Adenosin Triphosphate

BACTEC : Battle Area Clearance and Training Equipment Consultants

BB : Berat Badan

BJH : Biopsi Jarum Halus

BTA : Basil Tahan Asam

DKI : Daerah Khusus Ibukota

DM : Diabetes Melitus

DNA : Deoxyribonucleic Acid

DOTS : Directly Observed Treatment Short Course DR-TB : Drug Resistance Tuberculosis

E : Etambutol

EMB : Etambutol

ETH : Etionamid

FDA : Federal Drug Administration

FQs : Fluoroquinolon

H : Isoniasid

HDL : Hospital DOTS Linkage

HIV : Human Immunodeficiency Virus

INH : Isoniasid

ISTC : International Standard for Tuberculosis Care

IUATLD : International Union Againt Tuberculosis Lung Disease JAMKESMAS : Jaminan Kesehatan Masyarakat

JAMSOSTEK : Jaminan Sosial Tenaga Kerja KDT : Kombinasi Dosis Tetap KHM : Konsentrasi Hambat Minimum

LJ : Lowenstein Jensen

MDR-TB : Multidrug Resistance Tuberculosis MENKES : Menteri Kesehatan

MGIT : Mycobacterial Growth Indicator Tube MOTT : Mycobacterium Other Than Tuberculosis mRNA : Messenger Rybonucleic Acid


(14)

M.Tb : Mycobacterium tuberculosis

MTT : 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide M.Tuberculosis : Mycobacterium tuberculosis

NRA : Nitratre Reduction Assay OAT : Obat Anti Tuberkulosis PAS : Para Amino Salisilat

PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PMO : Pengawas Menelan Obat

PPM : Public Private Mix PPP : Public Private Partnership

PZA : Pirazinamid

R : Rifampisin

REMA : Resazurin Microtiter Assay RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

RMP : Rifampisin

RNA : Rybonucleic Acid

rRNA : Ribosom Rybonucleic Acid

RS : Rumah Sakit

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

S : Streptomisin

SD : Standar Deviasi

SK : Surat Keputusan

SM : Streptomisin

SPS : Sewaktu, Pagi, Sewaktu.

TB : Tuberkulosis

TBC : Tuberculosis

WHO : World Health Organization

XDR-TB : Extensively Drug Resistance Tuberculosis

Z : Pirazinamid

(+) : Positif


(15)

ABSTRAK

Judul: Studi Kasus Mycobacterium tuberculosis yang Resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Fatmawati

Penyakit tuberkulosis telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya, sementara pengobatan TB yang tidak adekuat dapat menyebabkan resistensi bakteri tuberkulosis terhadap OAT, terutama antibiotik lini pertama yang sudah lama digunakan pada pengobatan tuberkulosis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi kasus Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap antibiotik lini pertama pasien tuberkulosis di RSUP Fatmawati dalam kurun waktu tiga tahun (1 Juli 2009 – 31 Juli 2012) berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA Laboratorium Patologi Klinik RSUP Fatmawati dan pengujian kultur resistensi laboratorium rujukan. Populasi pasien TB dengan BTA (+) selama Juli 2009-Juli 2012 sebanyak 609 pasien, sedangkan pasien yang mendapatkan hasil pengujian kultur dan dijadikan sebagai sampel penelitian berjumlah 88 pasien (14,45%). Hasil uji resistensi menunjukkan bahwa terjadi 31 kasus M.tb yang resisten terhadap antibiotik lini pertama rifampisin, dan 17 kasus

M.tb yang resisten terhadap antibiotik lini pertama streptomisin. Karakteristik sampel antara lain umur pasien memiliki nilai rata-rata 42 tahun dengan standar deviasi 13,6, jenis kelamin 47,7% laki-laki dan 52,3% perempuan, jenis pasien terbanyak adalah pasien umum (64,7%), dan tipe TB paru pasien kasus baru dan kasus kambuh sama banyak, yaitu 43,18%.

Kata Kunci: Studi kasus, Mycobacterium tuberculosis, resistensi, antibiotik lini pertama, tuberkulosis, RSUP. Fatmawati.


(16)

ABSTRACT

Title: Case Study of Resistant Mycobacterium tuberculosis to the First Line Antibiotics from Tuberculosis Patient at RSUP Fatmawati

Tuberculosis has become a health problem in the world, including Indonesia. Prevalence of tuberculosis keeps increasing yearly, meanwhile inadequate tuberculosis medication can causes some drug resistances to occur, especially for the first line antibiotics which have been used in medication for a long time. This

research’s main purpose is to find out about case of resistant Mycobacterium tuberculosis is to the first line antibiotics on tuberculosis patient at RSUP Fatmawati for three years (July 1st 2009 – July 31th 2012) based on sputum check up data from Clinical Pathology Laboratory RSUP Fatmawati and resistance culture test from a partner laboratory. Tuberculosis patient population with BTA (+) since July 2009 until July 2012 was 609 patients, which patient with resistance culture test result and become sample was counted 88 patients (14,45%). Resistance culture test result showed that there was 31 cases of M.tb

resistant to the first line antibiotic rifampycin , and 17 case of M.tb resistance to the first line antibiotic streptomycin. Some of sample characteristics were

patient’s age mean was 42 years with SD value was counted 13,6, male patient

was 47,7% and female patient was 52,3%, the biggest value of patient’s type was public (64,7%), and tuberculosis type for new case and relaps had a same value (43,18%).

Key words: Prevalence, Mycobacterium tuberculosis, resistance, first line antibiotics, tuberculosis, RSUP. Fatmawati.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan di dunia, terutama pada negara berkembang, termasuk Indonesia. Setidaknya diperkirakan terjadi kasus TB paru sebanyak 3,90 juta kasus tiap tahunnya dengan diagnosa Basil Tahan Asam (BTA) positif, di mana 80% kasus tersebut terjadi di negara berkembang dan sepertiganya berada di Asia Tenggara.1 Indonesia menduduki peringkat ketiga kasus TB terbanyak di dunia setelah Cina dan India.2 Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) menunjukkan pada tahun 2007, prevalensi kasus tuberkulosis di Indonesia yang terdiagnosis oleh tenaga medis mencapai 400 per 100.000 penduduk.3 Prevalensi tuberkulosis ini terus meningkat, terbukti pada tahun 2010, angka prevalensi kasus tuberkulosis di Indonesia sudah mencapai 725 per 100.000 penduduk.4

Pengobatan TB yang tidak adekuat dapat menyebabkan timbulnya resistensi bakteri tuberkulosis terhadap OAT. Timbulnya resistensi

M.tuberculosis dapat berupa resistensi obat tunggal (DR-TB) maupun sejumlah atau keseluruhan OAT lini pertama (Multidrug Resistance Tuberculosis). Secara umum resisten adalah suatu keadaan di mana organisme normal telah memiliki kemampuan untuk melawan agen di sekitarnya yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan alaminya.1

Drug Resistance Tuberculosis (DR-TB) seringkali muncul akibat kesalahan penatalaksanaan penyakit tuberkulosis. Terapi TB yang tidak tepat seperti monoterapi OAT tunggal akan menyebabkan bakteri yang rentan akan mati, namun bakteri yang tidak sensitif terhadap OAT tersebut akan tetap hidup. Kelompok bakteri yang masih hidup ini akan menghasilkan populasi bakteri resisten yang lebih besar terhadap obat yang telah diberikan.5 Mekanisme resistensi secara molekuler telah dapat dijelaskan baik pada keseluruhan OAT lini pertama maupun beberapa OAT lini kedua, seperti rifampisin, isoniasid, pirazinamid, etambutol, beberapa antibiotik golongan aminoglikosida dan fluoroquinolon.6


(18)

Laporan terbaru dari Anti-tuberculosis Drug Resistance Surveillance Global Project yang dipublikasikan oleh WHO dan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union) memaparkan persentase timbulnya

multidrug resistance (MDR) pada paling tidak rifampisin (RMP) dan isoniasid (INH) untuk kasus-kasus baru berkisar 0% sampai 22,3%. Persentase terbesar timbulnya MDR-TB sebanyak 60% pada kasus-kasus yang sebelumnya ditangani. Sementara itu kemungkinan timbulnya extensively drug-resistance TB (XDR-TB) yang didefinisikan sebagai MDR-TB dengan tambahan resistensi antibiotika golongan fluoroquinolon (FQs) dan setidaknya satu obat injeksi lini kedua memiliki persentase berkisar antara 0% sampai 30%. Ditemukan sekitar 40.000 kasus XDR-TB di dunia tiap tahunnya.7

Berbagai kemajuan telah dicapai untuk menangani penyakit tuberkulosis di Indonesia, antara lain program DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) di mana Indonesia hampir mencapai target 70/85 (70% kasus TB berhasil ditemukan dan 85% diantaranya berhasil ditangani. Selain itu diperkenalkan juga program HDL (Hospital DOTS Linkage) untuk menjalankan program DOTS di rumah sakit, PPP (Public Private Partnership) atau PPM (Public Private Mix) di mana melibatkan sektor privat untuk menangani kasus TB di Indonesia. Selain itu juga diadakan program DOTS plus untuk menangani kasus-kasus MDR-TB.8 Program DOTS melibatkan komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional, dengan kasus TB yang harus dikuatkan melalui pemeriksaan BTA mikroskopik, pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dan berkesinambungan oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) baik petugas kesehatan, keluarga, ataupun tokoh masyarakat yang memonitor penggunaan obat anti tuberkulosis kepada pasien.9

Selain program DOTS, pada tahun 2006 WHO telah mencanangkan standar pelayanan kasus TB yaitu International Standard for Tuberculosis Care (ISTC). ISTC merupakan standar yang melengkapi penatalaksanaan penanggulangan tuberkulosis nasional yang konsisten. ISTC mencakup standar untuk diagnosa, pengobatan dan standar yang berhubungan dengan kegiatan kesehatan masyarakat.9

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kasus resistensi

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT, terutama antibiotik lini pertama. Penelitian yang dilakukan di balai besar pengobatan paru masyarakat Surakarta


(19)

pada tahun 2009 menyebutkan bahwa ditemukan kasus resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap antibiotik rifampisin sebesar 10,28% dan resistensi terhadap antibiotik streptomisin sebesar 14,95%.10 Persentase yang lebih besar ditemukan pada penelitian mengenai pola resistensi Mycobacterium tuberculosis

pada narapidana di lembaga permasyarakatan kelas 1 pria di Tanjung Gusta Medan periode Juli-Desember 2007, di mana diketahui telah terjadi resistensi antibiotik rifampisin (40%) dan streptomisin (86,7%).1 Kasus resistensi ini dapat terus meningkat, terlebih lagi di kawasan padat penduduk dengan tingkat penularan yang lebih besar.11 Hanya saja informasi mengenai perkembangan kasus resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT lini pertama masih sangat minim, sementara penggunaan obat antituberkulosis harus selalu dilakukan pengkajian untuk memastikan efektifitasnya, terutama penggunaan antibiotik lini pertama. Butuh pengetahuan yang terus berkembang untuk menangani pengobatan TB dengan baik.8

Dalam konteks isu epidemiologi global TB, maka penatalaksanaan kasus TB dititikberatkan pada manfaat surveilens berbasis uji kultur TB dan sensitifias obat terutama pada negara-negara berkembang. Meskipun prevalensi MDR-TB yang tinggi mengakibatkan biaya pengobatan menjadi sangat mahal, akan lebih buruk akibatnya apabila sistem surveilens resistensi obat tersebut tidak dilakukan.12 Oleh karena itu deteksi dini kemungkinan resisten obat antituberkulosis perlu dilakukan. Tidak hanya pada pasien yang dicurigai mengalami MDR-TB, namun juga pasien TB kasus baru yang belum memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana penularan M.Tuberculosis terhadap lingkungan masyarakat seiring dengan meningkatnya penemuan kasus TB di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi kasus resistensi antibiotik tuberkulosis pada penderita TB di RSUP Fatmawati.

1.2. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa:

- Penyakit tuberkulosis tiap tahun terus mengalami peningkatan. Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) menunjukkan pada tahun 2007, angka prevalensi kasus tuberkulosis di Indonesia mencapai 400 per 100.000 penduduk dan meningkat pada tahun 2010 angka prevalensi kasus tuberkulosis menjadi 725 per 100.000 penduduk.


(20)

- Penderita tuberkulosis pada umumnya menolak untuk berobat ke fasilitas kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas dikarenakan kesulitan pengobatan dan pengaruh dari lingkungan masyarakat.

- Penyakit tuberkulosis yang diderita oleh satu orang, apabila tidak diobati dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis pada 5-10 orang lainnya. - Pada umumnya penderita tuberkulosis merasa enggan mengkonsumsi obat anti

tuberkulosis (OAT) setiap harinya selama paling tidak 6 bulan, sehingga diperlukan pengawas minum obat (PMO) yang bertanggung jawab mengawasi dan memastikan penderita meminum OAT setiap hari. Apabila ini tidak dilaksanakan dapat meningkatkan kemungkinan kegagalan pengobatan. Hal ini dapat memicu terjadinya resistensi tuberkulosis.

- Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama, terutama antibiotik rifampisin dan streptomisin sudah lama digunakan di berbagai fasilitas kesehatan termasuk puskesmas dan rumah sakit. Dikhawatirkan dengan tidak rasionalnya penggunaan obat ini menyebabkan Mycobacterium tuberculosis mengalami resistensi terhadap obat anti tuberkulosis lini pertama tersebut.

Berdasarkan permasalahan tersebut diketahui bahwa penderita tuberkulosis dapat menularkan bakteri M.tuberculosis resisten sehingga ditemukan kasus-kasus TB baru dengan bakteri yang telah resisten dengan OAT lini pertama. Tidak adanya deteksi dini dengan pengujian kultur resistensi dapat menambah daftar panjang resistensi obat-obat anti tuberkulosis pada penderita TB tersebut.

1.3. Pertanyaan Penelitian

- Apakah sudah terjadi resistensi M.tuberculosis terhadap antibiotik lini pertama pada pasien tuberkulosis di RSUP Fatmawati?

- Berapakah persentase resistensi M.tuberculosis terhadap antibiotik lini pertamayang muncul pada penderita TB di RSUP Fatmawati?

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan unuk mengetahui jumlah kasus resistensi kuman

M.tuberculosis terhadap antibiotik lini pertama pada pasien TB di RSUP Fatmawati.


(21)

1.4.2. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui jumlah pasien tuberkulosis yang mengalami Drug Resistance Tuberculosis (DR-TB) di RSUP Fatmawati.

- Untuk mengetahui jumlah kasus (persentase) resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap antibiotik lini pertama (rifampisin dan streptomisin) yang digunakan pasien di RSUP Fatmawati berdasarkan data pemeriksaan laboratorium.

1.5. Manfaat Penelitian a. Secara Metodelogi

Metode penelitian ini dapat menjadi contoh atau dapat dijadikan metode untuk mengetahui kasus resistensi dalam penggunaan antibiotik lainnya dalam pengobatan.

b. Secara Aplikatif

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh RSUP Fatmawati sebagai data dasar untuk mengetahui resistensi antibiotik lini pertama pengobatan tuberkulosis di RSUP Fatmawati atau di rumah sakit lainnya yang mempunyai karakteristik pasien yang sama dengan pasien di RSUP Fatmawati.

2. Hasil penelitian ini hendaknya dapat menjadi informasi untuk membuat pengobatan tuberkulosis menjadi lebih efektif.

1.6. Justifikasi

Penelitian yang berjudul “Studi Kasus Mycobacterium tuberculosis yang Resisten Terhadap Antibiotik Lini Pertama pada Pasien Tuberkulosis di RSUP Fatmawati” belum dilakukan di RSUP Fatmawati. Kemungkinan di daerah lain sudah pernah dilakukan, namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan ini, dalam hal besar sampel, waktu penelitian, lokasi penelitian dan kriteria-kriteria inklusi (pasien, jenis penyakit dan jumlah basil pada sputum).

1.7. Ruang Lingkup

Permasalahan tuberkulosis sangat luas baik pengobatan maupun penemuan kasus. Dalam penelitian ini dibatasi pada studi kasus Mycobacterium


(22)

tuberculosis yang resisten terhadap antibiotik lini pertama pada pasien tuberkulosis di RSUP Fatmawati.

- Penelitian ini dilaksanakan di RSUP Fatmawati tepatnya di Laboratorium Klinik Instalasi Patologi dan Instalasi Rekam Medis dan Infokes RSUP Fatmawati.

- Waktu penelitian dimulai dari bulan Agustus sampai bulan September 2012. - Populasi adalah pasien TB paru dengan BTA (+) di RSUP Fatmawati.

- Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis di RSUP Fatmawati dengan hasil BTA positif dan memiliki hasil pengujian kultur resistensi tuberkulosis laboratorium rujukan dalam kurun waktu tiga tahun (1 Juli 2009 hingga 31 Juli 2012). Sampel ditentukan secara purposif sebanyak 100 pasien.

- Obat yang dikumpulkan data resistensinya terhadap M.tuberculosis adalah antibiotik lini pertama pengobatan tuberkulosis, yaitu rifampisin dan streptomisin.

- Desain penelitian ini adalah cross sectional.

- Pengumpulan data resistensi M.tuberculosis terhadap antibiotik diperoleh dari hasil pemeriksaan sputum RSUP Fatmawati dan pengujian kultur resistensi oleh laboratorium rujukan.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex.9 Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kematian, bahkan menjadi urutan kedua setelah infeksi virus HIV-AIDS.13 Mycobacterium tuberculosis telah menjadi patogen dan menginfeksi manusia sejak ratusan tahun. Meskipun uji diagnosa, kemoterapi dan vaksin telah tersedia, penyakit tuberkulosis ini masih sulit untuk dimusnahkan.14 Meningkatnya penyakit tuberkulosis kini berhubungan dengan peningkatan infeksi HIV-AIDS, sehingga strategi DOTS sebagai pengobatan tuberkulosis tidak cukup ampuh untuk mengontrol tuberkulosis, terutama di Afrika dan Uni Soviet.13

2.1.1. Patogenesis

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Masa inkubasi M.tuberkulosis hingga membentuk afek primer biasanya berlangsung dalam waktu 10-20 hari.15 Dari sarang primer akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer (tuberkulosis). Komplek primer tersebut akan mengalami beberapa kemunginan:

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum).

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus).

3. Menyebar dengan cara:

Perkontinuitatum, menyebar ke daerah di sekitarnya. Misalnya pada epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang


(24)

atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.

Penyebaran secara bronkogen, baik di bagian paru tersebut maupun ke paru sebelahnya.

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini kemungkinan berakhir dengan kesembuhan yang meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah menderita ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal.9

Secara ringkas patogenesis terjadinya tuberkulosis digambarkan dalam skema berikut ini (gambar 1.):

Gambar 1. Skema Patogenesis Tuberkulosis.9 2.1.2. Gejala Tuberkulosis

Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka disebut sebagai gejala lokal, yaitu gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). Gejala sistemik adalah gejala yang dirasakan di seluruh tubuh dan tidak spesifik pada satu organ. Gejala tuberkulosis antara lain:


(25)

1. Gejala respiratorik:

- Batuk-batuk selama dua minggu atau lebih. - Batuk berdarah.

- Sesak napas. - Nyeri dada.

Gejala respiratorik sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.9

2. Gejala sistemik: - Demam. - Malaise. - Anoreksia. - Keringat malam. - Berat badan menurun.

Pada tuberkulosis ekstra paru, gejala yang timbul tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.9

2.1.3. Manifestasi Klinik

Tuberkulosis paru mempunyai onset yang cepat dan dapat menular dengan cepat. Manifestasi klinik yang umum terlihat pada penderita tuberkulosis adalah batuk kronik dengan produksi sputum, penurunan berat badan dan rasa lemah.16

2.2. Mycobacterium Tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%).9


(26)

Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan

mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.9

Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan cara gram, tetapi dengan pewarnaan tahan asam. Dibandingkan dengan kuman lainnya, golongan Mycobacterium tahan terhadap asam dan alkali sehingga apabila bahan spesimen mengandung kuman lain mudah dapat dibunuh sehingga spesimen menjadi lebih murni. Tetapi harus diperhatikan kepekatan zat asam dan alkali karena terlalu pekat juga akan membunuh Mycobacterium.17 Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal.9

M.tuberculosis dapat dengan mudah mati bila terpapar sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada suhu rendah (dapat bertahan bertahun-tahun di dalam lemari es). Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut berada dalam keadaan dormant. Pada kondisi ini kuman dapat dibangkitkan kembali dan menjadi bakteri tubekulosis yang aktif.1

Daya tahan Mycobacterium tuberculosis lebih besar apabila dibandingkan dengan kuman lainnya karena sifat hidrofobik permukaan sel. Malakhit hijau dapat membunuh kuman lain tetapi tidak membunuh

Mycobacterium tuberculosis, demikian juga dengan alkali. Dengan fenol 5% diperlukan waktu 24 jam untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis.17 Basil ini dihancurkan oleh iodium tinktur dalam 5 menit, dengan alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10 menit.18


(27)

2.2.1. Morfologi dan Fisiologi a. Mikroskopik:

Pada jaringan tubuh kuman tuberkulosis berbentuk batang halus berukuran 3x0,5 µm. Pada pembenihan berbentuk kokoid dan berfilamen. Tidak berspora dan tidak bersimpai. Pada pewarnaan dengan cara Ziehl-Neelsen atau Tan Thiam Hok kuman berwarna merah dengan latar belakang berwarna biru. Pada pewarnaan fluorochrom kuman berfluoresensi dengan warna kuning oranye.17

b. Kultur:

i. Pembenihan cair.

Medium asam oleat-albumin (Dubos). Pada medium ini mengandung Tween-80, kuman akan tumbuh merata pada seluruh medium. Biasanya pada medium cair, pertumbuhan lebih cepat.9

ii. Pembenihan padat.

Lowenstein-Jensen, medium ini mengandung telur, gliserol, garam-garam mineral, malakhit hijau dan biasanya dicampur dengan penisilin untuk membunuh kuman penyerta lainnya.17 Medium berbasis telur lainnya antara lain Ogawa dan Kudoh. Untuk medium agar dapat digunakan media Middle Brook.9

2.2.2. Sifat-Sifat Pertumbuhan

Mycobacterium tumbuh secara aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa karbon sederhana yang dapat merangsang pertumbuhan. Pertumbuhannya lambat, waktu pembelahan sekitar 20 jam. Suhu pertumbuhan optimum 37oC. Pada perbenihan, pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu. Koloni cembung, kering, berwarna kuning gading. Pengaruh pemanasan daya tahannya sama dengan kuman lainnya, jadi dengan pasteurisasi kuman tuberkulosis ini sudah dapat dibunuh.17

2.3. Diagnosa

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan


(28)

penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.9

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher, terkadang di daerah ketiak.9

2.4. Diagnosa Laboratorium

Diagnosis yang paling pasti dari penyakit tuberkulosis adalah dengan pemeriksaan mikrobiologi dengan cara mengisolasi kumannya. Proses pemeriksaan laboratorium ini melalui beberapa tahapan dan didasarkan pada sampel dan tujuan pemeriksaan.9

2.4.1. Bahan Spesimen

Bahan spesimen dapat berupa dahak segar, cairan lambung, urin, cairan pleura, cairan otak, cairan sendi, bahan biopsi dan lain-lain. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan antara lain:

1. Cara pengambilan dahak tiga kali (SPS) dalam dua kali kunjungan a. Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan pertama kali). b. Pagi (keesokan harinya dengan membawa sputum pagi).

c. Sewaktu/spot (pada saat pada saat pasien diminta mengeluarkan sputumnya lagi).19

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan SK Menkes nomor 241 tahun 2006 tentang standar pelayanan laboratorium kesehatan pemeriksa HIV dan infeksi oportunistik menyatakan persayaratan permintaan pemeriksaan laboratorium harus mencantumkan secara lengkap data berikut:


(29)

1. Tanggal permintaan.

2. Tanggal dan jam pengambilan bahan pemeriksaan.

3. Identitas pasien (nama,umur/tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, nomor telepon) atau identitas bahan pemeriksaan.

4. Identitas pengirim (nama, alamat, nomor telepon). 5. Diagnosis/keterangan klinik.

6. Obat-obatan yang telah diberikan dan lama pemberian. 7. Pemeriksaan laboratorium yang diminta.

8. Nama pengambil bahan pemeriksaan.20

Sementara label wadah bahan pemeriksaan yang akan dikirim ke laboratorium harus mencantumkan:

1. Tanggal dan jam pengambilan bahan pemeriksaan. 2. Identitas pasien atau identitas bahan pemeriksaan. 3. Jenis bahan pemeriksaan.20

2. Pengambilan spesimen cairan

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.9

3. Pengambilan spesimen biopsi

Bahan pemeriksaan hasil biopsi jarum halus (BJH), dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.9

2.4.2. Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik untuk diagnostik adalah yang termudah, tercepat dan termurah. Untuk mendapat hasil yang sebaik-baiknya, maka harus dibuat sediaan yang sebaik-baiknya dan diwarnai dengan cara Tan Thiam Hok (Kinyoun-Gabbett) atau cara Ziehl-Neelsen. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna merah dan latar belakang berwarna biru. Daya mikroskop cahaya biasa sangat terbatas untuk mendeteksi jumlah kuman yang sedikit. Dengan mikroskop fluoresens daya melihat diperbesar sedikit dengan


(30)

luas pandangan yang lebih besar karena lensa objektif yang lebih besar dan gambar yang terlihat cukup jelas karena berfluoresensi dengan zat warna auramin rhodamin. Hasil positif secara mikroskop tentu saja tidak berarti definitif, begitu pula sebaliknya dapat dimengerti bahwa hasil negatif belum tentu tidak ada kuman, harus dipastikan dengan cara pembenihan.17

2.4.3. Cara Pewarnaan

1. Ziehl-Neelsen (Direct Smear Examination): a. Alat dan bahan yang diperlukan:

- Botol gelas berwarna coklat berisi larutan Carbol Fuchsin 0,3%. - Botol gelas berwarna coklat berisi asam akohol (HCl-Alcohol 3%). - Botol coklat berisi larutan Methylen Blue 1%.

- Rak untuk pengecatan slide.

- Baskom untuk ditempatkan di bawah rak. - Corong dengan kertas filter.

- Pipet. - Pinset.

- Pengukur waktu (timer). - Api spiritus.

- Air yang mengalir berupa air ledeng atau botol berpipet berisi air. - Beberapa rak cadangan.

b. Cara pewarnaan:

- Sediaan dahak yang telah difiksasi diletakkan pada rak dengan hapusan dahak menghadap ke atas.

- Diteteskan Carbol Fuchsin 0,3% pada hapusan dahak sampai menutupi seluruh permukaan sediaan dahak.

- Dipanaskan dengan nyala api spiritus sampai mengeluarkan uap. Zat warna tidak boleh mendidih atau kering. Apabila mendidih atau kering maka Carbol Fuchsin akan membentuk kristal (partikel kecil) yang dapat terlihat seperti kuman TB.

- Api spiritus disingkirkan, sediaan didiamkan selama lima menit. - Sediaan dibilas dengan air mengalir pelan sampai zat warna yang


(31)

- Sediaan diteteskan dengan asam alkohol (HCl Alcohol 3%) sampai warna merah pada Fuchsin menghilang.

- Dibilas dengan air mengalir perlahan.

- Diteteskan dengan larutan Methylen Blue 1% pada sediaan sampai menutupi seluruh permukaan.

- Didiamkan selama 10-20 detik.

- Larutan dibuang dan dibilas dengan air mengalir perlahan.

- Sediaan dikeringkan di atas rak pengering di udara terbuka (jangan di bawah sinar matahari langsung).21

2.4.4. Pembacaan Jumlah Bakteri

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari tiga kali pemeriksaan adalah: - Tiga kali positif atau dua kali positif, satu kali negatif → BTA positif.

- Satu kali positif, dua kali negatif → Pemeriksaan BTA diulang tiga kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian jika hasil ulangan diperoleh satu kali positif, dua kali negatif → BTA positif.

- Bila tiga kali negatif → BTA negatif.9

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu:

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+). - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).19

2.4.5. Pembiakan

Pembiakan adalah cara yang paling sensitif untuk mendiagnosis tuberkulosis terutama untuk dahak yang sedikit kumannya dan sulit ditemukan dengan cara mikroskopik. Pembiakan juga penting untuk dapat melakukan tes kepekaan kuman terhadap obat-obatan.17

Pada hasil kultur positif, langsung dapat diperkirakan jenis kuman tahan asam dengan melihat lama pertumbuhan (cepat bila tumbuh dalam 3-4 hari), ada atau tidaknya pigmen dan sebagainya. Kuman Mycobacterium tuberculosis


(32)

tumbuh setelah 2-3 minggu dengan koloni yang timbul dari permukaan berwarna kuning susu atau cream.17

Pemeriksaan kultur (Culture Examination) dengan menggunakan media

Ogawa dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Komposisi media Ogawa:

- Larutan Potasium hydrogen phosphate anhydrous (KH2PO4) 3 gram.

- Sodium glutamate 1 gram. - Aquadest 100 ml.

- Glycerol 6 ml.

- Malachite green 2% 6 ml. - Telur yang telah dikocok 200 ml.

b. Alat dan bahan: - Pipet 10 ml.

- Tabung pembenihan (18x180 mm) dengan tutup. - Rak tabung.

- Penyangga miring. - Inkubator.

- Media Ogawa 3%. - Larutan NaOH 4%. - Lidi kapas steril. - Vortex.

- Lilin cair. c. Cara kerja:

- Larutan NaOH 4% ditambahkan kira-kira sebanyak empat volume dalam sediaan sputum.

- Disimpan dalam inkubator 37oC selama 15 menit. - Diaduk dengan menggunakan vortex.

- Diambil lebih kurang 0,10 ml (volume variatif) menggunakan lidi kapas steril untuk diinokulasikan dengan meratakannya pada dua tabung kultur yang berisi media Ogawa 3%.

- Tabung diletakkan pada rak miring dengan tutup dikendorkan sampai bahan inokulasi kering dan merata, ditutup terlebih dahulu dengan tutup kapas yang dicelupkan pada lilin cair, kemudian ditutup kembali.


(33)

- Pembenihan yang telah ditanami disimpan pada inkubator 37oC sampai sekurang-kurangnya 4 minggu dan diamati setiap minggunya.1

Pemeriksaan kultur dengan medium Lowenstein Jensen dipersiapkan sesuai dengan petunjuk pembuatan produsennya (BBL,Merck). Medium tersebut dipersiapkan dengan cara sebagai berikut:

a. Alat dan bahan: - Pipet 10 ml.

- Tabung pembenihan (20x150 mm) dengan tutup baling-baling (screw capped tubes).

- Rak tabung.

- Basis medium Lowenstein-Jensen (Merck) 18,65 gram - Inkubator.

- Aquadest 300 ml.

- Gliserol (grade reagen) 6 ml. - Telur utuh 500 ml.

b. Cara kerja:

- Ditimbang sebanyak 18,65 gram basis medium LJ. - Dilarutkan dalam 300 ml air destilata.

- Ditambahkan 6 ml gliserol (grade reagen) dan diaduk hingga homogen. - Larutan tersebut disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 30

menit, kemudian didinginkan.

- Ditambahkan 500 ml telur utuh yang telah dihomogenkan terlebih dahulu ke dalam medium, diaduk hingga homogen.

- Sekitar 6-8 ml medium dituangkan ke dalam tube bertutup baling-baling

(screw capped tubes) dengan ukuran 20x150 mm.

- Tube tersebut kemudian disimpan pada suhu 80oC selama 50 menit. - Untuk pemeriksaan sterilitas medium, medium yang telah disiapkan

tersebut diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37oC selama 48 jam, kemudian disimpan dalam refrigerator untuk penyimpanan ketika tidak ditemukan kontaminan.22

Jumlah koloni Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh dalam biakan dihitung dan dilaporkan sebagai berikut:

- 1-19 koloni : Jumlah koloni yang terlihat. - 1+ : 20 - 100 koloni.


(34)

- 2+ : 101 - 200 koloni. - 3+ : 201 - 500 koloni. - 4+ : >500 koloni.

2.4.6. Tes Biokimia

Tes biokimia dilakuan untuk mengidentifikasi keberadaan

Mycobacterium tuberculosis dengan Mycobacterium Other Than Tuberculosis

(MOTT). Berbagai tes tersebut antara lain:

1. Merah netral: Untuk membedakan antara Mycobacterium tuberculosis dan

Mycobacterium bovis terhadap mycobacterium lainnya. Hasil pada

Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis adalah positif. 2. Percobaan niasin: Hasil positif berarti Mycobacterium tuberculosis.

3. Nikotinamida 5000 mikrogram(µg)/ml: Hasil negatif berarti Mycobacterium tuberculosis.

4. Arysulfatasa: Berdasarkan ada tidaknya enzim arylsulfatasa pada kuman. Enzim ini dapat melepaskan phenolphtalein dari ikatannya pada medium yang dapat dideteksi dengan alkali. Hasil pada Mycobacterium tuberculosis adalah negatif.

5. Reduksi nitrat: Berdasarkan ada tidaknya enzim nitrat reduktasa yang dapat merubah nitrat menjadi nitrit. Adanya nitrit dapat diketahui dengan reagen asam sulfanilat. Hasil pada Mycobacterium fortuitum dan Mycobacterium kansasii adalah positif, sedangkan Mycobacterium tuberculosis bisa positif atau negatif.

6. Hidrolisis Tween-80 selama 10 hari: Berdasarkan ada atau tidaknya hidrolisis dilihat dengan indikator merah netral. Hasil pada Mycobacterium kansasii

adalah positif dan Mycobacterium tuberculosis adalah negatif.

7. Pertumbuhan pada 4 (p)-nitro-benzoic-acid 500 µg/ml: Mycobacterium tuberculosis tidak tumbuh, sedangkan Mycobacterium fortuitum tumbuh. 8. Pertumbuhan pada thiacetazone: Mycobacterium tuberculosis tidak tumbuh,

sedangkan Mycobacterium fortuitum tumbuh.17 2.5. Klasifikasi Tuberkulosis

Tipe pasien tuberkulosis ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :


(35)

1. TB kasus baru, yaitu pasien TB yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT sebelumnya, atau sudah pernah menggunakan OAT kurang dari satu bulan.9

2. TB kasus kambuh (relaps), pasien tuberkulosis yang pernah mendapat pengobatan tuberkulosis sebelumnya dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan tuntas, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau kultur TB positif.9

3. TB kasus putus obat/default/drop out, yaitu pasien TB yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.9

4. TB gagal terapi, yaitu pasien TB dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).9

5. TB kasus kronik (persisten), pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.9

2.6. Faktor Risiko

Faktor risiko dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat diubah

(modifiable risk factor) dan faktor risiko yang tak dapat diubah (unmodifiable risk factor).23 Faktor risiko tuberkulosis meliputi usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, kepadatan hunian dan kondisi rumah, status sosial ekonomi dan perilaku individu.

1. Usia.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 menunjukkan peningkatan infeksi tuberkulosis aktif yang terdiagnosa secara bermakna sesuai dengan bertambahnya umur. Hasil RISKESDAS menunjukkan angka tertinggi prevalensi tuberkulosis pada tahun 2010 berada pada usia 55-64 tahun. Di Indonesia, sebagian besar penderita tuberkulosis terjadi mulai dari usia produktif (15-50 tahun) sampai lanjut usia (> 60 tahun).4

2. Jenis kelamin.

Hasil survey menunjukkan laki-laki lebih banyak mengalami penyakit tuberkulosis dibandingkan perempuan. Banyak faktor yang melatarbelakangi


(36)

hal tersebut, terutama pengaruh pola hidup yang tidak sehat termasuk kebiasaan merokok. Pada tahun 2010 hasil survey menunjukkan di Indonesia sebagian besar penderita tuberkulosis dialami oleh pria (0,819%) dibandingkan dengan wanita (0,634%).4

3. Penyakit penyerta.

Umumnya penderita tuberkulosis dalam kondisi malnutrisi dengan berat badan berkisar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang dewasa. Hal ini juga didukung oleh faktor ekonomi yang buruk terutama untuk menyediakan makanan bergizi cukup sehingga banyak ditemukan pasien tuberkulosis dengan status gizi buruk. Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Melitus (DM) dan infeksi HIV-AIDS merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya tuberkulosis. Dalam wabah ini, lebih dari 90% penderita terinfeksi HIV cenderung terkena infeksi TB dengan cepat dan aktif serta serangan infeksi TB juga relatif tinggi dengan mortalitas tinggi.24

4. Kepadatan hunian.

Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA(+).

Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan pedesaan (rural) peluang terjadinya kontak dengan penderita TB lebih besar.11 Namun demikian, hasil RISKESDAS pada tahun 2010 menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Prevalensi tuberkulosis pada tahun 2010 lebih banyak terjadi pada penderita yang tinggal di pedesaan (0,750%) dibandingkan dengan perkotaan (0,703%).4

5. Kondisi rumah.

Dari kondisi lingkungan tempat tinggal dapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi lingkungan yang sehat.


(37)

Rumah dikatakan baik dan aman, apabila kualitas bangunan dan lingkungan dibuat dengan serasi. Adapun karakteristik rumah sehat antara lain:

a. Bahan bangunannya memenuhi syarat.

b. Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela/ventilasi adalah 15% dari luas lantai.

c. Cahaya matahari cukup, di mana cahaya matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendala/genting kaca. Suhu udara yang ideal di dalam rumah antara 18-30oC. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37oC. d. Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus

cukup sesuai dengan jumlah penghuninya.11

6. Status sosial ekonomi keluarga

Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya lingkungan, selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi rendah. Berdasarkan hasil RISKESDAS pada tahun 2010 diketahui bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis tidak memiliki pekerjaan yang memadai. Sebagian bekerja sebagai buruh, nelayan atau petani, sementara sebagian lainnya tidak memiliki pekerjaan. Sama halnya dengan status pendidikan di mana sebagian besar penderita tuberkulosis tidak pernah mendapatkan pendidikan formal/sekolah.4

7. Perilaku

Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya. Kebiasaan merokok menjadi salah satu faktor risiko yang sangat mungkin menyebabkan seseorang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Hasil penelitian Susanto menyatakan bahwa perempuan lebih sering terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Perempuan juga lebih sering mengalami


(38)

kekhawatiran akan dikucilkan dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya.25

2.7. Obat 2.7.1. Rifampisin

- Rumus struktur :

- Rumus molekul : C43H58N4O12.26

- Nama kimia : 5,6,9,17,19,21-Heksahidroksi-23-metoksi 2,4,12,16,18, 20, 22- heptametil-8- [N-(4-metil-1-piperazinil) formimidoil] - 2,7 (epoksipentadeka [1,11,13]trienimino]nafto[2,1-b]furan-1,11-(2H)-dion 21-asetat [13292-46-1].26

- Berat molekul : 823.26

- Pemerian : Serbuk hablur, coklat merah.26

- Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, mudah larut dalam kloroform, larut dalam etil asetat dan dalam metanol.26

- pH sediaan : 4,5-6,5 pada sediaan suspensi 10 gram/liter dalam air bebas CO2..26

- Farmakologi :

Antibiotik ini adalah derivat semisintetis dari rifamisin B yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Rifampisin bersifat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan Mycobacterium tuberkulosis dan Mycobacterium leprae, baik yang berada di luar maupun di dalam sel. Obat ini mematikan kuman yang dorman selama fase pembelahan yang singkat. Maka, obat ini sangat penting untuk membasmi semua basil guna mencegah kambuhnya TBC.

Rifampisin juga aktif terhadap kuman positif dan kuman gram-negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu.


(39)

Resorpsinya di usus sangat tinggi, distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh juga baik. Plasma t1/2 nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di lain pihak, masa paruh ini akan turun pada pasien yang bersamaan waktu menggunakan isoniazid. Dalam hati terjadi deasetilasi dengan terbentuknya metabolit-metabolit dengan kegiatan antibakteri. Ekskresinya melalui empedu.27

- Efek samping :

Menimbulkan warna oranye yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata dan lensa mata. Efek samping yang sering terjadi termasuk kulit kemerahan, trombositopenia, nefritis dan gangguan fungs hati.27

- Dosis :

Oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan, selalu diberikan dalam kombinasi dengan isoniazid 300 mg dan untuk 2 bulan pertama ditambah pula dengan 1,5-2 g pirazinamid setiap hari.27 Dosis rifampisin yang digunakan untuk pengujian resistensi tuberkulosis secara in vitro adalah berkisar antara 2,5 – 10 ppm.7

2.7.2. Streptomisin

- Rumus struktur :

- Rumus molekul : (C21H39N7O12)2,3H2SO4.26

- Nama kimia : bis[N,N¢-bis(aminoiminomethyl)-4-O-[5-deoxy-2-O -[2-deoxy-2-(methylamino)-a-L-glucopyranosyl]-3-C

-formyl-a-L-lyxofuranosyl]-D-streptamine] trisulphate.26 - Berat molekul : 1457.26


(40)

- Pemerian : Serbuk berwarna putih atau keputihan.26

- Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, praktis tidak larut etanol.26

- pH sediaan : pH larutan berkisar 4,5-7,0.26

- Farmakologi :

Antibiotik ini merupakan antibiotik yang termasuk ke dalam golongan aminoglikosida. Antibiotik golongan ini secara umum digunakan untuk melawan bakteri enterik gram negatif, termasuk tuberkulosis. Streptomisin aktif terutama melawan basil tuberkulosis ektraseluler. Aminoglikosida bertindak sebagai inhibitor irreversibel terhadap sintesis protein. Streptomisin masuk ke dalam sel melalui difusi pasif lewat pori-pori dari membran terluar. Obat kemudian diteruskan melalui membran ke dalam sitoplasma melalui proses oxygen-dependent. Tranport ke dalam sel dapat ditingkatkan dengan penambahan senyawa yang aktif terhadap dinding sel bakteri misalnya penisilin atau vankomisin.

Di dalam sel, streptomisin mengikat secara spesifik protein ribosom subunit-30S. Proses inhibisi sintesis protein dapat dilakukan dengan tiga cara:

1. Berinteraksi dengan kompleks inisiasi bentuk peptida.

2. Kesalahan pembacaan mRNA yang menyebabkan kesalahan pembentukan asam amino, berakibat pada ketidakberfungsian protein atau protein yang toksik.

3. Pemutusan polysome menjadi monosome yang tidak berfungsi, efek ini secara umum bersifat irreversibel dan menyebabkan kematian sel.27 - Efek samping :

Streptomisin bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Vertigo dan gangguan pendengaran adalah efek samping yang sering terjadi dan dapat bersifat permanen. Efek samping meningkat terutama untuk pasien lanjut usia.27

- Dosis :

Dosis streptomisin untuk penyakit tuberkulosis adalah 15 mg/kgBB/hari secara intramuskular. Dosis untuk pemberian intra vena pada orang dewasa (20-40 mg/kgBB/hari) dan tidak melebihi 1-1,5 gram untuk anak-anak, diberikan selama beberapa minggu, dilanjutkan dengan 1-1,5 gram dua sampai tiga kali


(41)

seminggu selama beberapa bulan. Dosis streptomisin harus disesuaikan dengan fungsi ginjal. Sebisa mungkin terapi streptomisin tidak lebih dari 6 bulan.

Secara in vitro, kebanyakan basil tuberkulosis akan dihambat dengan streptomisin pada dosis 1-10 ppm. Rata-rata, satu dari 108 basil tuberkulosis dapat menjadi resisten terhadap streptomisin pada dosis 10-100 ppm.27

2.7.3. Pirazinamid

- Rumus struktur :

- Rumus molekul : C5H5N3O.26

- Nama kimia : pyrazine-2-carboxamide.26 - Berat molekul : 123,1.26

- Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga praktis putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau.26

- Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, sukar larut dalam alkohol dan metil klorida.26

- pH sediaan : Pirazinamid tidak aktif pada pH netral, tetapi pada pH 5,5 dapat menghambat basil tuberkulosis dan beberapa mikobakterium lainnya.26

- Farmakologi :

Pirazinamid (PZA) merupakan golongan nikotinamid, stabil dan sukar larut di dalam air. Pirazinamid tidak aktif pada pH netral, tetapi pada pH 5,5 dapat menghambat basil tuberkulosis dan beberapa mikobakterium lainnya pada konsentrasi sekitar 20 ppm. Obat akan ditangkap oleh makrofag dan menimbulkan aktivitasnya melawan mikobakteria yang berada pada lingkungan asam pada lisosom. Pirazinamid diubah menjadi asam pirazinoik, yaitu suatu bentuk aktif obat yang diaktifkan oleh pirazinamidase mikobakterium dan dikoding oleh pncA.

Pirazinamid diserap dengan baik dalam saluran gastrointestinal dan secara luas didistribusikan ke jaringan tubuh, termasuk sumsum tulang yang mengalami peradangan. Waktu paruh pirazinamid adalah 8-11 jam. Komponen induknya dimetabolisme di hati, tetapi metabolitnya dikeluarkan


(42)

melalui ginjal. Pirazinamid adalah obat anti tuberkulosis lini pertama yang dikonjugasikan bersama isoniasid dan rifampisin dalam pengobatan jangka pendek (umumnya 6 bulan) sebagai regimen sterilizing agent melawan organisme intraseluler yang dapat menyebabkan kekambuhan. Basil tuberkulosis dapat menjadi resisten terhadap pirazinamid, tetapi tidak ditemukan resistensi silang terhadap isoniasid atau obat antituberkulosis lainya.27

- Efek samping :

Efek yang umum terjadi pada penggunaan pirazinamid adalah mual, muntah, deman karena obat, hiperurisemia dan hepatotoksisitas (1-5% pasien). Efek samping lain yang muncul pada dasarnya bukan menjadi alasan untuk menghentikan pengobatan. Hiperurisemia dapat memicu arthritis gout akut.27

- Dosis :

Konsentrasi serum sebanyak 30-50 ppm selama 1-2 jam setelah pemberian oral diperoleh pada dosis 25 mg/kgBB/hari. Pirazinamid harus diberikan 25-35 mg/kgBB tiga kali seminggu (bukan harian) pada pasien dengan hemodialisa dan bagi orang-orang yang memiliki kreatinin klirens kurang dari 30 ml/menit. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dosis pirazinamid yang digunakan adalah 40-50 mg/kgBB tiga kali setiap minggunya.27 Dosis pirazinamid yang digunakan untuk pengujian resistensi tuberkulosis secara in vitro berkisar pada 6,25-50 ppm.7

2.7.4. Isoniasid

- Rumus struktur :

- Rumus molekul : C3H7N3O.26

- Nama kimia : Pyridine-4-carbohydrazide.26 - Berat molekul : 137,1.26

- Pemerian : Serbuk kristal atau kristal tak berwarna, putih atau hampir putih.26

- Kelarutan : Mudah larut dalam air, larut sebagian dalam alkohol.26 - pH sediaan : 6,0-8,0.26


(43)

- Farmakologi :

Isoniasid (INH) adalah obat yang paling aktif digunakan dalam pengobatan tuberkulosis yang disebabkan strain tuberkulosis yang rentan. Secara in vitro, isoniasid menghambat pertumbuhan basil pada konsentrasi 0,2 ppm atau lebih rendah dari itu. Isoniasid aktif melawan basil tuberkulosis yang sedang tumbuh. Isoniasid kurang efektif melawan spesies mikobakterium atipikal. Isoniasid mempenetrasi ke dalam makrofag dan aktif melawan baik organisme intraseluler dan ekstraseluler.

Isoniasid menghambat sintesis asam mikolat, di mana merupakan komponen esensial dari dinding sel mikobakterium. Isoniasid adalah prodrug yang diaktifkan oleh KatG, yaitu suatu mikobakterial katalase-peroksidase. Bentuk aktif dari isoniasid merupakan kompleks kovalen dengan suatu asil pembawa protein (AcpM) dan KasA, suatu beta-ketoasil pembawa protein sintetase, yang memblok sintesis asam mikolat dan membunuh sel.

Isoniasid dapat secara langsung diabsorpsi ke dalam saluran gastrointestinal. Isoniasid berdifusi dengan bebas ke seluruh cairan tubuh dan jaringan. Konsentrasi di dalam sistem saraf pusat dan cairan serebrospinal berkisar antara 20% dan 100% pada konsentrasi serum secara simultan.

Metabolisme isoniasid terjadi terutama pada proses asetilasi di dalam hati oleh N-asetiltransferase. Konsentrasi plasma rata-rata dari isoniasid pada asetilator cepat yaitu sekitar 1/3 sampai 1/2 pada asetilator lambat. Waktu paruh rata-rata isoniasid kurang dari satu jam dan tiga jam, berturut-turut. Klirens yang lebih cepat terhadap isoniasid yang disebabkan oleh asetilator cepat umumnya tidak memiliki konsekuensi terapetik ketika dosis yang sesuai telah diberikan setiap harinya, tetapi konsentrasi subterapi dapat muncul bila obat diberikan sekali seminggu atau jika terjadi malabsorbsi.

Metabolit isoniasid dan sebagian kecil dari obat yang tidak berubah dieksresikan terutama melalui urin. Dosis isoniasid tidak perlu disesuaikan untuk pasien dengan gagal ginjal. Pengaturan dosis untuk pasien dengan gangguan hati belum dapat ditentukan dengan pasti (isoniasid dikontraindikasikan untuk pasien hepatitis).27


(44)

- Efek samping :

Demam dan ruam kulit adalah hal yang sering terjadi. Efek merugikan yang dapat diakibatkan oleh penggunaan isoniasid adalah lupus eritema, hepatotoksisitas, dan gangguan saraf. Efek lain yang dapat terjadi antara lain hilangnya nafsu makan, mual, muntah, penyakit kuning dan bahkan kematian apabila obat tidak digunakan dengan benar.27

- Dosis :

300 mg dosis oral (5 mg/kgBB pada anak-anak) akan mencapai konsentrasi plasma puncak pada 3-5 ppm dalam 1-2 jam. Dosis isoniasid yang umum digunakan adalah 5 mg/kgBB/hari; dosis dewasa biasanya diberikan sebanyak 300 mg setiap hari. Sampai 10 mg/kgBB/hari dapat diberikan pada infeksi yang serius atau jika terjadi masalah malabsorbsi. Dosis 15 mg/kgBB atau 900 mg dapat digunakan dua kali seminggu dengan kombinasi antituberkulosis lainnya (misalnya rifampisin 600 mg). Piridoksin, 25-50 mg/hari direkomendasikan pada orang-orang yang cenderung mengalami neuropathy, yaitu efek yang tidak diinginkan dari penggunaan isoniasid. Isoniasid biasanya diberikan secara oral tapi dapat juga diberikan secara parenteral dengan dosis yang sama. Isoniasid sebagai pengobatan tunggal juga diindikasikan pada tuberkulosis laten. Dosis yang digunakan adalah 300 mg/hari (5 mg/kgBB/hari) atau 900 mg dua kali per minggu selama 9 bulan.27 Dosis isoniasid yang digunakan untuk pengujian resistensi tubekulosis secara in vitro berkisar pada 0,02-0,2 ppm.7

2.7.5. Etambutol

- Rumus struktur :

- Rumus molekul : C10H26Cl2N2O2.26

- Nama kimia : (2S,2’S) - 2,2’- (ethylenediimino)dibutan -1- ol dihydrochloride.26

- Berat molekul : 277,2.26

- Pemerian : Serbuk kristal, putih atau hampir putih, higroskopis.26 - Kelarutan : Mudah larut air, larut dalam etanol 96%.26


(45)

- pH sediaan : 3,7-4,0 pada sediaan 0,2 gram dalam 10 ml air bebas CO2.26

- Farmakologi :

Strain Mycobacterium tuberculosis dan mikobakteri lainnya dihambat secara in vitro oleh etambutol pada dosis 1-5 ppm. Etambutol menghambat arabinosiltransferase yang dimiliki mikobakteri, di mana dikoding oleh operon

embCAB. Arabinosiltransferase terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglycan, suatu komponen esensial dalam pembentukan dinding sel.

Etambutol diabsorbsi dengan baik di dalam usus. Sekitar 20% obat dieksresikan dalam feses dan 50% dalam urin dalam bentuk yang tidak berubah. Etambutol terakumulasi pada pasien gagal ginjal, sehingga dosis harus dikurangi setengahnya jika kreatinin klirens kurang dari 10 ml/menit. Etambutol melewati penghalang darah-otak hanya jika terjadi inflamasi di daerah sumsum tulang. Konsentrasi dalam cairan serebrospinal bervariasi, berkisar antara 4% hingga 64% konsentrasi serum pada kasus inflamasi meningitis.27

- Efek samping :

Hipersensitifitas etambutol jarang terjadi. Efek merugikan yang sering terjadi adalah neuritis retrobulbar yang mengakibatkan kehilangan kemampuan penglihatan dan kebutaan warna merah-hijau. Dosis yang berhubungan dengan kemunculan efek samping sepertinya terjadi pada dosis 25 mg/kgBB/hari yang berlanjut selama beberapa bulan. Pada 15 mg/kgBB/hari atau lebih rendah, gangguan penglihatan jarang terjadi. Pengujian penglihatan perlu dilakukan pada pasien yang diberikan etambutol dengan dosis 25 mg/kgBB/hari. Etambutol dikontraindikasikan pada anak-anak yang tidak dianjurkan penggunaannya oleh tenaga medis disebabkan gangguan penglihatan dan buta warna merah-hijau.27

- Dosis :

Setelah pemberian 25 mg/kgBB, konsentrasi puncak 2-5 ppm dicapai dalam 2-4 jam. Etambutol hidroklorida digunakan pada dosis 15-25 mg/kgBB biasanya sebagai dosis tunggal setiap hari dalam kombinasi dengan isoniasid atau rifampisin. Dosis yang lebih tinggi direkomendasikan pada pengobatan tuberkulosis meningitis. Dosis etambutol 50 mg/kgBB diberikan dua kali


(46)

setiap minggu pada kondisi tertentu.27 Dosis etambutol yang digunakan pada pengujian resistensi tuberkulosis secara in vitro berkisar pada 0,5-2 ppm.7

2.8. Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia obat anti tuberkulosis yang sering digunakan dalam pengobatan tuberkulosis di Indonesia adalah:

1. Jenis obat utama (lini 1): - Rifampisin (R). - INH (H). - Pirazinamid (Z). - Streptomisin (S). - Etambutol (E).

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): - Kanamisin.

- Amikasin. - Kuinolon.

- Obat yang masih dalam penelitian: makrolid, amoksisilin+asam klavulanat.

- Beberapa obat yang belum tersedia di Indonesia: i. Kapreomisin.

ii. Sikloserino PAS (dulu tersedia). iii. Derivat rifampisin dan INH.

iv. Thioamides (ethionamide dan prothionamide).9

Berdasarkan standar pengobatan TB yang tercantum dalam International Standard of Tuberculosis Care (ISTC) yaitu semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama; disepakati secara internasional menggunakan obat yang bioavailabilitinya telah diketahui.28 Dosis OAT yang telah ditetapkan oleh PDPI seperti yang tercantum pada tabel berikut:


(47)

Tabel 1. Jenis dan dosis OAT.9 Obat Dosis

(mg/kgBB/hari)

Dosis yang dianjurkan Dosis Maks (mg)

Dosis (mg)/BB (kg) Harian

(mg/kgBB/hari)

Intermitte

(mg/kgBB/kali) <40

40-60 >60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 - 750 1000 1500

E 15-20 15 30 - 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai

BB 750 1000 Keterangan: R=Rifampisin, H=Isoniasid, Z=Pirazinamid, E=Etambutol,

S=Streptomisin.

World Health Organization (WHO) telah mempromosikan strategi DOTS obat paket TB yang memiliki efektifitas harga sejak tahun 1994, tetapi kurang gencar dan baru di tahun 1998 lebih dipromosikan untuk mencegah resistensi. Strategi DOTS ini mengimplementasikan pemberian obat anti tuberkulosis dalam kombinasi dosis tetap (KDT). Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari empat macam OAT, yaitu rifampisin 150 mg, isoniasid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg. Pada saat ini kombinasi tetap yang ada di Indonesia hanya RHZE dan RH.28 Penentuan dosis paduan OAT KDT disesuaikan dengan kategori penyakit TB, yaitu:

1. Penderita TB kategori I:

Dosis paduan obat anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap untuk kategori I tercantum pada tabel berikut:

Tabel 2. Dosis paduan OAT kombinasi dosis tetap untuk kategori I. Berat

Badan

Tahap intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275)

Tahap lanjutan 3x seminggu selama 16 minggu RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 3KDT


(48)

2. Penderita TB kategori II:

Dosis paduan obat anti tuberkulosis kombinasi dosis tetap untuk kategori II tercantum pada tabel berikut:

Tabel 3. Dosis paduan OAT kombinasi dosis tetap untuk kategori II.

Berat Badan

Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)

+ S

Tahap lanjutan 3x seminggu RH (150/150) + E (400)

Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 minggu

30-37 kg 2 tab 4KDT + 500mg

Streptomisin inj. 2 tab 4KDT

2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol 38-54 kg 3 tab 4KDT + 750mg

Streptomisin inj. 3 tab 4KDT

3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol 55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj. 4 tab 4KDT

4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol

≥71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj. 5 tab 4KDT

5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol Keterangan: R=Rifampisin, H=Isoniasid, Z=Pirazinamid, E=Etambutol, S=Streptomisin. 28

3. Dosis OAT KDT pasien TB anak, tercantum pada tabel berikut:

Tabel 4. Dosis paduan OAT kombinasi dosis tetap untuk pasien TB anak.

Berat Badan 2 bulan tiap hari RHZ (75/50/150) 4 bulan tiap hari RH (75/50)

5 - 9 kg 1 tablet 1 tablet

10 - 14 kg 2 tablet 2 tablet

15 - 19 kg 3 tablet 3 tablet

20 - 32 kg 4 tablet 4 tablet

Keterangan: R=Rifampisin, H=Isoniasid, Z=Pirazinamid.28

2.9. Resistensi Tuberkulosis

Resistensi tuberkulosis (Drug Resistance Tuberculosis) adalah kejadian di mana kuman Mycobacterium tuberculosis telah resisten terhadap salah satu


(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil pemeriksaan sputum dan pengujian resistensi.

Sampel Tgl. Diterima Tgl. Pemeriksaan

Pemeriksaan Mikroskopis

(jml. BTA) Jml. Kultur M.tb

Uji Resistensi Kultur Rifampisin Streptomisin

S P S

1 8 Mei 2012 31 Juli 2012 3+ 2+ 1+ 4+ S S

2 17 Apr 2012 31 Juli 2012 - 3+ - 2+ R S

3 10 Mei 2012 18 Jun 2012 3+ - - 2+ S S

4 10 Mei 2012 18 Jun 2012 3+ 3+ - 1+ R R

5 10 Mei 2012 18 Jun 2012 3+ 3+ 3+ 1+ S S

6 10 Mei 2012 18 Jun 2012 2+ - - 2+ S S

7 4 Apr 2012 15 Mei 2012 1+ - - 4+ S S

8 4 Apr 2012 15 Mei 2012 3+ 3+ 3+ 4+ R R

9 4 Apr 2012 15 Mei 2012 - 2+ 3+ 3+ R S

10 4 Apr 2012 15 Mei 2012 1+ 1+ 1+ 4+ S S

11 4 Apr 2012 15 Mei 2012 1+ 2+ 1+ 4+ R R

12 4 Apr 2012 15 Mei 2012 3+ 3+ 3+ 4+ R S

13 4 Apr 2012 15 Mei 2012 2+ 3+ - 4+ S S

14 1 Mar 2012 24 April 2012 2+ 2+ 2+ 3+ R S

15 1 Mar 2012 24 April 2012 3+ 3+ 3+ 1+ R S

16 20 Jan 2012 12 Apr 2012 2+ 3+ 2+ 4+ S S

17 20 Jan 2012 12 Apr 2012 3+ 3+ 2+ 1+ S S

18 20 Jan 2012 12 Apr 2012 - 2+ 1+ 1+ S S

19 9 Feb 2012 14 Mar 2012 2+ 2+ 2+ 4+ S S

20 3 Jan 2012 9 Feb 2012 1+ 1+ 1+ 2+ S S

21 3 Jan 2012 9 Feb 2012 1+ 2+ 1+ 1+ R R

22 3 Jan 2012 9 Feb 2012 1+ 1+ - 4+ S S

23 7 Des 2011 19 Jan 2012 1+ 1+ 1+ 2+ S S

24 7 Des 2011 19 Jan 2012 1+ - - 3+ R R

25 6 Des 2011 19 Jan 2012 - 1+ - 2+ S S

26 6 Des 2011 19 Jan 2012 3+ - - 4+ S S

27 6 Des 2011 19 Jan 2012 1+ 1+ 9 1+ S S

28 22 Nov 2011 22 Des 2011 - 1+ - 1+ S S

29 22 Nov 2011 22 Des 2011 - 2+ - 3+ S S

30 6 Okt 2011 15 Nov 2011 3+ 3+ 3+ 1+ S S

31 6 Okt 2011 15 Nov 2011 1+ 2+ 2+ 3+ S S

32 6 Okt 2011 15 Nov 2011 - 1+ - 1+ S S

33 19 Agus 2011 9 Nov 2011 2+ 2+ 1+ 4+ R R

34 11 Agus 2011 9 Nov 2011 - 1+ 1+ 3+ R R

35 11 Agus 2011 9 Nov 2011 3+ 3+ - 4+ S S

36 15 Sep 2011 29 Sep 2011 - 2+ 2+ 2+ S S

37 15 Sep 2011 29 Sep 2011 - 2+ 1+ 2+ S S

38 15 Sep 2011 29 Sep 2011 3+ 3+ 3+ 3+ S S

39 15 Sep 2011 29 Sep 2011 - 1+ 1+ 2+ S S

40 15 Sep 2011 29 Sep 2011 - 3+ - 4+ R S

41 15 Sep 2011 29 Sep 2011 2+ 3+ 3+ 4+ S S


(2)

44 9 Agus 2011 13 Sep 2011 - 1+ 3+ 1+ S S

45 9 Agus 2011 13 Sep 2011 - 2+ - 3+ S S

46 9 Agus 2011 13 Sep 2011 - 1+ - 1+ S S

47 22 Jun 2011 15 Agus 2011 - 1+ - 1+ S S

48 22 Jun 2011 15 Agus 2011 - 3+ 3+ 1+ R R

49 22 Jun 2011 15 Agus 2011 3+ 3+ 3+ 2+ R R

50 22 Jun 2011 15 Agus 2011 - 1+ 1+ 1+ S S

51 30 Mei 2011 15 Agus 2011 - 3+ - 4+ S S

52 31 Mei 2011 14 Juli 2011 2+ 2+ 2+ 1+ R S

53 31 Mei 2011 14 Juli 2011 3+ 2+ 2+ 1+ S S

54 31 Mei 2011 8 Jun 2011 1+ 1+ - 2+ S S

55 11 Mar 2011 13 Apr 2011 2+ 3+ 3+ 4+ S S

56 16 Des 2010 14 Feb 2011 - 1+ - 2+ S S

57 15 Nov 2010 14 Feb 2011 3+ 3+ 3+ 2+ S S

58 30 Nov 2010 11 Jan 2011 1+ - - 4+ R S

59 30 Nov 2010 11 Jan 2011 3+ 3+ 3+ 4+ S S

60 30 Nov 2010 11 Jan 2011 3+ 3+ 1+ 4+ S S

61 30 Nov 2010 11 Jan 2011 1+ - - 3+ S S

62 7 Okt 2010 18 Nov 2010 - 3+ - 3+ S S

63 7 Okt 2010 18 Nov 2010 - 2+ - 3+ S S

64 7 Okt 2010 16 Nov 2010 3+ 3+ 1+ 3+ S S

65 7 Okt 2010 16 Nov 2010 3+ 3+ 3+ 3+ R S

66 1 Sep 2010 13 Okt 2010 - 3+ - 4+ R R

67 1 Sep 2010 13 Okt 2010 - 1+ - 1+ S S

68 1 Sep 2010 13 Okt 2010 2+ 3+ 3+ 4+ R R

69 21 Juli 2010 1 Sep 2010 3+ 3+ 2+ 3+ S S

70 23 Jun 2010 1 Sep 2010 - 3+ - 4+ S R

71 23 Jun 2010 1 Sep 2010 - 1+ - 3+ R R

72 19 Mei 2010 15 Juli 2010 - 3+ - 4+ S S

73 14 Apr 2010 19 Jun 2010 - 3+ 3+ 2+ S S

74 14 Apr 2010 18 Jun 2010 - 1+ - 1+ S S

75 24 Mar 2010 18 Mei 2010 2+ 1+ - 1+ R S

76 24 Mar 2010 18 Mei 2010 2+ 3+ 3+ 4+ R R

77 24 Mar 2010 18 Mei 2010 - 1+ - 1+ S S

78 2 Mar 2010 28 Apr 2010 - 1+ - 4+ R R

79 2 Mar 2010 28 Apr 2010 1+ 1+ 2+ 1+ S S

80 31 Des 2009 14 Apr 2010 - 3+ - 1+ R S

81 31 Des 2009 18 Feb 2010 1+ 3+ 1+ 4+ R S

82 10 Des 2009 28 Jan 2010 - 2+ - 3+ S S

83 29 Okt 2009 26 Jan 2010 2+ 2+ 2+ 3+ R R

84 29 Okt 2009 31 Des 2009 - 1+ - 1+ R S

85 29 Okt 2009 10 Des 2009 - 2+ - 3+ S S

86 11 Sep 2009 10 Des 2009 2+ 3+ 2+ 4+ R R

87 10 Agus 2009 29 Okt 2009 - 1+ - 2+ R S

88 8 Mei 2009 15 Juli 2009 2+ 5 - 1+ R S

Keterangan: R : Resisten S : Sensitif


(3)

Lampiran 2. Karakteristik sampel penelitian.

Sampel Pasien Umur

(tahun) Jenis Kelamin Diagnosa Jenis Pasien

1 Tn. D 48 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas

2 Tn. WA 63 Laki-laki TB kambuh Askes

3 Ny. S 44 Perempuan TB kasus baru Umum

4 Tn. SS 58 Laki-laki TB kambuh Umum

5 Ny. UA 15 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

6 Tn. FA 17 Laki-laki TB kasus baru Umum

7 Ny. S 42 Perempuan TB kasus baru Askes

8 Ny. MA 43 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

9 Ny. JJ 40 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

10 Ny. DYD 24 Perempuan TB kambuh Umum

11 Ny. AS 33 Perempuan TB kasus baru Umum

12 Ny. AS 52 Perempuan TB putus obat Umum

13 Ny. AT 65 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

14 Tn. AM 34 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas

15 Ny. MD 44 Perempuan TB kambuh Umum

16 Ny. TWA 44 Perempuan TB kambuh Umum

17 Ny. OF 39 Perempuan TB putus obat Umum

18 Ny. SN 35 Perempuan TB gagal terapi Jamkesmas

19 Ny. M 74 Perempuan TB kambuh Umum

20 Tn. YA 28 Laki-laki TB kasus baru Jamkesmas

21 Tn. W 31 Laki-laki TB putus obat Jamkesmas

22 Ny. Y 55 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

23 Ny. IS 37 Perempuan TB kambuh Umum

24 Ny. AK 38 Perempuan TB kasus baru Umum

25 Ny. IS 66 Perempuan TB kasus baru Umum

26 Ny. AL 44 Perempuan TB kasus baru Umum

27 Tn. DA 21 Laki-laki TB kambuh Umum

28 Ny. A 21 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

29 Ny. IY 30 Perempuan TB kasus baru Umum

30 Tn. TS 46 Laki-laki TB kasus baru Umum

31 Tn. AS 34 Laki-laki TB putus obat Umum

32 Tn. RS 34 Laki-laki TB kambuh Umum

33 Tn. ED 46 Laki-laki TB kambuh Umum

34 Ny. NN 30 Perempuan TB kambuh Jamsostek

35 Tn. BY 57 Laki-laki TB kasus baru Umum

36 Tn. KH 39 Laki-laki TB kasus baru Umum

37 Tn. AP 73 Laki-laki TB kasus baru Umum

38 Ny. FI 54 Perempuan TB kambuh Askes

39 Ny. DM 53 Perempuan TB kasus baru Umum

40 Tn. YT 30 Laki-laki TB kasus baru Umum

41 Ny. S 58 Perempuan TB kambuh Umum

42 Ny. N 32 Perempuan TB kasus baru Jamkesmas

43 Ny. RS 47 Perempuan TB kambuh Umum

44 Tn. SS 49 Laki-laki TB kasus baru Umum

45 Tn. EG 51 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas


(4)

48 Tn. JS 39 Laki-laki TB putus obat Jamkesmas

49 Tn. M 43 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas

50 Tn. ST 47 Laki-laki TB kasus baru Umum

51 Ny. M 76 Perempuan TB kasus baru Umum

52 Tn. AS 28 Laki-laki TB kambuh Umum

53 Ny. I 37 Perempuan TB kasus baru Umum

54 Ny. MM 52 Perempuan TB kronik Umum

55 Tn. SA 55 Laki-laki TB kasus baru Umum

56 Tn. RP 28 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas

57 Ny. ST 28 Perempuan TB kambuh Umum

58 Tn. GA 50 Laki-laki TB kambuh Umum

59 Ny. NS 54 Perempuan TB kambuh Umum

60 Tn. B 48 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas

61 Ny. A 30 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

62 Tn. AG 49 Laki-laki TB kasus baru Askes

63 Ny. S 42 Perempuan TB kasus baru Jamkesmas

64 Ny. RBS 52 Perempuan TB kasus baru Umum

65 Ny. N 37 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

66 Ny. SJ 37 Perempuan TB kasus baru Umum

67 Tn. M 20 Laki-laki TB kasus baru Umum

68 Ny. N 37 Perempuan TB putus obat Umum

69 Ny. LB 34 Perempuan TB kambuh Jamkesmas

70 Tn. RM 37 Laki-laki TB kasus baru Umum

71 Tn. Y 41 Laki-laki TB kambuh Umum

72 Tn. LH 31 Laki-laki TB kambuh Umum

73 Tn. SL 27 Laki-laki TB kasus baru Umum

74 Tn. HL 64 Laki-laki TB kasus baru Jamkesmas

75 Tn M 50 Laki-laki TB kronik Umum

76 Tn. ST 41 Laki-laki TB kasus baru Umum

77 Ny. S 53 Perempuan TB kronik Jamkesmas

78 Tn S 59 Laki-laki TB kasus baru Askes

79 Ny. AS 25 Perempuan TB kasus baru Umum

80 Tn. R 47 Laki-laki TB putus obat Umum

81 Ny. SK 18 Perempuan TB relaps Umum

82 Ny. CG 26 Perempuan TB kambuh Umum

83 Tn. AM 32 Laki-laki TB kambuh Jamkesmas

84 Tn. TA 57 Laki-laki TB putus obat Umum

85 Tn. IS 44 Laki-laki TB kambuh Umum

86 Ny. C 59 Perempuan TB kambuh Askes

87 Ny. R 22 Perempuan TB kasus baru Umum


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Angka Kejadian Hepatotoksisitas pada Penderita Tuberkulosis Paru Pengguna Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2010

12 121 83

Kualitas Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Bedah Apendik Di RSUP Fatmawati Jakarta Tahun 2012

1 17 106

RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT TUBERKULOSIS Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Suraka

0 4 14

RESISTENSI KUMAN Mycobacterium tuberculosis TERHADAP OBAT ANTI TUBERKULOSIS PADA PENYAKIT Resistensi Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti Tuberkulosis Pada Penyakit Tuberkulosis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2014

0 3 13

PERBANDINGAN POLA KLINIS PASIEN TUBERKULOSIS PARU DENGAN PENYEBAB MYCOBACTERIUM TUBERKULOSIS DAN MYCOBACTERIUM ATIPIK.

0 6 1

Perbandingan Uji Kepekaan Obat Anti Tuberkulosis Metode Resazurin Microtiter Assay Dengan Metode Proporsional Lowenstein Jensen Pada Strain Mycobacterium Tuberculosis Yang Resisten.

2 12 26

Analisis Molekuler Mycobacterium Tuberculosis Resisten Obat Anti Tuberkulosis pada Pasien HIV Rumah Sakit DR. MOEWARDI Surakarta.

0 0 1

TESIS AKTIVITAS ANTI-Mycobacterium tuberculosis KOMBINASI (-)- EPIGALLOCATECHIN-GALLATE (EGCG) DAN OBAT ANTITUBERKULOSIS LINI PERTAMA

0 0 18

IDENTIFIKASI DAN RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis DARI SPUTUM PASIEN TUBERKULOSIS TERHADAP RIFAMPISIN

0 0 15

RESISTENSI Mycobacterium tuberculosis TERHADAP ANTIBIOTIK RIFAMPISIN PADA PASIEN DOMISILI CILACAP DENGAN KRITERIA MDRTB DROP OUT TUBERCULOSIS PARU DI RSUD CILACAP - repository perpustakaan

0 0 17