HUBUNGAN ANTARA USG APPENDISITIS AKUT DENGAN JUMLAH LEUKOSIT SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

DENGAN JUMLAH LEUKOSIT SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran WEGIG AMANU

G 0008038

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, .............2011

Wegig Amanu NIM. G0008038

Wegig Amanu, G0008038, 2011. Hubungan USG Appendisitis Akut dengan Jumlah Leukosit. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret,

Surakarta.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Mei 2011 di RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposive random sampling dengan kriteria inklusi adalah (1) Rekam medik pasien appendisitis dengan riwayat pemeriksaan USG (2) Rekam medik pasien appendisitis dengan pemeriksaan darah lengkap (3) Rekam medik pasien dengan jenis kelamin laki – laki (4) Rekam medik pasien dengan riwayat operasi. Sampel tidak dapat dipilih jika (1) Rekam medik pasien apendisitis tanpa riwayat pemeriksaan USG (2) Rekam medik pasien apendisitis tanpa pemeriksaan darah lengkap (3) Rekam medik pasien apendisitis dengan jenis kelamin perempuan (4) Rekam medik pasien yang tanpa riwayat operasi. Diperoleh 42 data dan dianalisis menggunakan uji Chi Square

Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara USG appendisitis dengan jumlah leukosit. Hasil uji Chi Square menunjukkan nilai p = 0.013

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan antara USG appendisitis dengan jumlah leukosit

Kata kunci : USG, appendisitis akut, jumah leukosit

Wegig Amanu, G0008038, 2011. The Correlation between Acute Appendicitis USG and Total Leukocytes. Medical Faculty of Sebelas Maret University Surakarta.

Research Purpose: This research aims to determine the correlation of acute appendicitis USG by the number of leukocytes.

Research Methods: This research is a descriptive analytic cross sectional approach implemented in May 2011 in RSUD Dr. Moewardi. Sampling was conducted in purposive random sampling with inclusion criteria were (1) The medical records of patients with a history of appendicitis ultrasonography examination (2) The medical records of patients with appendicitis which has a complete blood count (3) The medical records of male patients (4) Medical records patients with a history of surgery. Samples can not be selected if (1) The medical records of patients without a history of appendicitis ultrasonography examination (2) The medical records of appendicitis patients without complete blood count (3) The medical records of female appendicitis patients(4) Medical records of patients without a history of surgery. 42 data obtained and analyzed using Chi Square test.

Research Result: This research showed a significant correlation between appendicitis USG and the number of leukocytes. Chi Square test results demonstrate the value of p = 0,013.

Research Conclusion: There is a correlation between Acute Appendicitis USG and Total Leukocytes

Key words: USG , acute appendicitis, the number of leukocytes

Alhamdulillaah, segala puji syukur bagi Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan taufik, hidayah, dan kekuatan serta kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan laporan penelitian dengan judul “Hubungan USG Appendisitis Akut dengan Jumlah Leukosit”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam

penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes, selaku Ketua Tim Skripsi beserta Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Dr. Suyono, dr. Sp. Rad (K), selaku Pembimbing Utama yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

4. Dr. Ida Bagus Metria, dr., Sp.B KBD, selaku Pembimbing Pendamping yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasihat.

5. Dr. Widiastuti,dr., Sp. Rad (K), selaku Penguji Utama yang telah memberikan bimbingan dan nasehat.

6. Ipop Syarifah, Dra., M.Si, selaku Anggota Penguji yang telah memberikan bimbingan dan nasehat.

7. Bapak, Ibu, kakak serta seluruh keluarga yang telah memberi dukungan moral, material, serta senantiasa mendoakan untuk terselesaikannya skripsi ini.

8. Teman-teman Kost Techno House yang selalu memotivasi penulis dengan tawa dan semangatnya.

9. Teman-teman mahasiswa angkatan 2008.

10. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, ……….. 2011

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ....................................................33

Tabel 4.2 Analisis tentang USG Appendisitis dengan Jumlah Leukosit ...............35

Tabel 4.3 Analisis tentang USG Appendisitis dengan Sel Polomorfonuklear......36

Tabel 4.4 Analisis tentang USG Appendisitis dengan Sel Netrofil Segmen ........38

Gambar 2.1 Anatomi Appendiks................................................................... 5 Gambar 2.2 Appendisitis Akut...................................................................... 9 Gambar 2.3 Appendisitis Akut Purulenta...................................................... 10 Gambar 2.4 Appendisitis Akut Gangrenosa.................................................. 11 Gambar 2.5 Appendisitis Infiltrat.................................................................. 11 Gambar 2.6 Appendisitis Abses..................................................................... 12 Gambar 2.7 Appendisitis Perforasi................................................................. 13 Gambar 2.8 Appendisitis Kronis..................................................................... 14 Gambar 4.1 Presentase Sampel Berdasarkan Umur....................................... 34 Gambar 4.2 Grafik Presentase Antara USG Appendisitis dengan Jumlah

Leukosit...................................................................................... 35

Gambar 4.3 Presentase Antara USG Appendisitis dengan Jumlah Sel PMN.. 37

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran

Lampiran 2. Surat Izin Peminjaman Data Rekam Medik

Lampiran 3. Surat Izin Peminjaman Data Foto Rontgen

Lampiran 4. Surat Izin Penelitian dari RSUD Dr. Moewardi

Lampiran 5. Data Sampel Penelitian

Lampiran 6. Hasil Analisis Data Penelitian

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ditjen Bina Yanmedik Depkes RI, penyakit saluran pencernaan menempati urutan ke tiga dari 10 penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kematian 6.590 dari 225.212 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 2,93% tahun 2007 dan 6.825 dari 234.536 kasus dengan CFR 2,91% tahun 2008 (Depkes, 2008).

Salah satu penyakit pada saluran pencernaan adalah infeksi pada appendiks yang disebut dengan appendisitis (Gipson, 2003). Appendisitis menyebabkan abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah (Tambunan,1994). Penelitian di Amerika Serikat terdapat 680.000 kasus appendisitis dengan Incidence Rate (IR) 25 per 10.000 penduduk (Hardin,1995).

Appendisitis dapat terjadi pada semua umur, paling sering pada dewasa muda umur 10-30 tahun dengan rasio pria : wanita sebanding. Gejala appendisitis berupa abdomen akut memberikan gambaran klinis yang sama dengan gangguan penyakit lain sehingga sulit untuk dibedakan (Schwartz, 2000). Hal ini mengakibatkan appendisitis sulit didiagnosis dan terlambat untuk ditangani sehingga terjadi komplikasi berupa perforasi, peritonitis, dan abses. Gejala appendisitis pada anak-anak, orang tua, dan wanita hamil tidak spesifik dan biasanya diketahui setelah terjadi komplikasi (Schrock, 1995).

sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe. Setelah dibentuk, sel – sel ini diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkan. Manfaat leukosit yang sesungguhnya adalah sebagian besar diangkut ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, dengan demikian menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen – agen infeksius ( Guyton, 2007).

Leukositosis adalah keadaan bila jumlah leukosit meningkat, yaitu melebihi 10000/mm³. Dalam prakteknya leukositosis berarti peningkatan jumlah leukosit netrofil, sehingga melebihi 60% jumlah seluruh leukosit. Jumlahnya bisa sampai 80% dari seluruh leukosit. Leukositosis terjadi bila ada jaringan cidera atau infeksi, sehingga pada tempat cidera atau radang dapat terkumpul banyak leukosit untuk turut membendung infeksi (Sutisna, 1998).

Pemeriksaan jumlah leukosit dan pemeriksaan USG membantu menegakkan diagnosis appendisitis akut. Berdasarkan pada tingginya angka insiden, prevalensi dan mortalitas akibat apendisitis di Indonesia, maka peneliti merasa tertarik untuk melakuan penelitian tentang hubungan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit?

Untuk mengetahui adanya hubungan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris adanya hubungan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit. Bagi dunia penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan acuan untuk penelitian yang akan datang.

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penegakkan diagnosis appendisitis akut.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Appendiks

a. Definisi

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju katup ileocaecal (Sjamsuhidajat, 2005).

b. Anatomi

Appendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung. Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens appendisitis pada usia tersebut. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Terdapat tiga tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks. Gejala klinik appendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (di belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah

Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua minggu setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai puncaknya berjumlah sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami atropi dan menghilang pada usia 60 tahun (Sjamsuhidajat, 2005).

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis , sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X . Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks divaskularisasi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri appendiks termasuk end arteri . Bila terjadi penyumbatan pada arteri ini, maka appendiks mengalami ganggren (Gambar 2.1) (Sjamsuhidajat, 2005).

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis (Guyton, 2007).

Imunoglobulin sekretoaris yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks adalah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfoid sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh ( Guyton, 2007).

2. Appendisitis

a. Definisi

Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura , dan Enterobius vermikularis (Kumar, 2007).

ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing 4%, dan sebab lainnya 1% (Collin, 1990).

b. Patofisiologi

Appendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendisitis. Obstruksi intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks. Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang akut, kemudian terjadi proses irreversible meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan (Price, 1995).

Appendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendisitis Appendisitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendisitis

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Sjamsuhidajat, 2005).

c. Klasifikasi

1) Appendisitis Akut

a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menjadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri didaerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendisitis kataral terjadi a. Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menjadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri didaerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendisitis kataral terjadi

Gambar 2.2 Appendisitis Akut Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

b. Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen (Thomson,1997).

Gejalanya ditandai dengan rangsangan peritoneum

Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda tanda peritonitis umum (Gambar 2.3) (Thomson, 1997).

Gambar 2.3 Appendisitis Akut Purulenta Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

c. Appendisitis Akut Gangrenosa

Bertambahnya tekanan dalam lumen, akan berakibat aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda- tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Gambar 2.4) (Thomson, 1997).

Gambar 2.4 Appendisitis Akut Gangrenosa Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

d. Appendisitis Infiltrat

Appendisitis infiltrate adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya (Gambar 2.5) (Thomson, 1997).

Gambar 2.5 Appendisitis Infiltrat Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic (Gambar 2.6) (Thomson, 1997).

Gambar 2.6 Appendisitis Abses Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

f. Appendisitis Perforasi

Appendisitis perforasia dalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Gambar 2.7) (Thomson, 1997).

Gambar 2.7 Appendisitis Perforasi Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

2) Appendisitis Kronis

Appendisitis kronis merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada submukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi (Gambar 2.8) (Thomson, 1997).

Gambar 2.8 Appendisitis Kronis Diunduh dari: www.ultrasound-images.com/appendix.htm

d. Gejala Appendisitis

1) Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar, ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien bergerak.

2) Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan.

3) Demam tidak tinggi (kurang dari 38ºC), kekakuan otot, dan

konstipasi.

4) Appendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, 4) Appendisitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah,

5) Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal. Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri (Schrock, 1995).

e. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Jika suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Dapat terjadi perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C (De Jong, 2004).

1) Inspeksi

Dapat terlihat disaat penderita berjalan sambil membungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler (De Jong, 2004).

2) Palpasi

Palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-

tanda peritonitis lokal yaitu :

a. Nyeri tekan di Mc. Burney a. Nyeri tekan di Mc. Burney

muscular lokal.

Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal (De Jong, 2004).

Appendiks yang terletak retroperitoneal , defans muscular mungkin tidak ada, akan tetapi bisa ditemukan adanya nyeri pinggang. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung.

a. Nyeri tekan kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

b. Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)

c. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan (De Jong, 2004).

Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah

(Gartner, 2002).

3) Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata (De Jong, 2004).

Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.

pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan musculus psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di musculus psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan musculus obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (De Jong, 2004).

Psoas sign ditandai dengan nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul paha kanan (De Jong, 2004).

Dasar anatomi dari tes psoas adalah appendiks yang mengalami peradangan kontak dengan musculus psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan) (De Jong, 2004).

f. Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan darah : didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan a. Pemeriksaan darah : didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan

b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis (Craig, 2011).

2) Abdominal X – Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak (Humes, 2007).

3) Ultrasonografi

Pemeriksaan USG dilakukan apabila hasil pemeriksaan fisik meragukan, terutama pada wanita dan jika dicurigai adanya abses. USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya (Humes, 2007).

4) Barium enema

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai

5) CT-Scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses (Humes, 2007).

6) Laparoscopi

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks (Humes, 2007).

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

1) Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita

2) Operasi

Bila diagnosis sudah tepat dan jelas ditemukan appendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang

appendiks

(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah) (Oswari, 2000).

3. Ultrasonografi

a. Definisi

Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu imaging diagnostic (pencitraan diagnostik) untuk pemeriksaan alat – alat tubuh, dimana dapat mempelajari bentuk, ukuran, anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan sekitar (Iwan, 2005).

1) Prinsip Ultrasonografi

Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi lebih tinggi dari pada kemampuan pendengaran telinga manusia, sehingga tidak bisa mendengarnya sama sekali. Suara yang bisa didengar manusia mempunyai frekuensi antara 20 – 20000 Hz. Pemeriksaan USG ini menggunakan gelombang suara yang frekuensinya 1-10 MHz (Iwan,

Gelombang suara frekuensi tinggi tersebut dihasilkan dari kristal-kristal yang terdapat dalam suatu alat yang disebut transduser. Perubahan bentuk akibat gaya mekanis pada kristal, akan menimbulkan tegangan listrik. Fenomena ini disebut efek piezo-electric, yang merupakan dasar perkembangan USG selanjutnya. Bentuk kristal juga akan berubah bila dipengaruhi oleh medan listrik. Sesuai dengan polaritas medan listrik yang melaluinya, kristal akan mengembang dan mengkerut, maka akan dihasilkan gelombang suara frekuensi tinggi (Iwan, 2005).

2) Cara Kerja Alat Ultrasonografi

Transduser bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik oleh transduser, yang dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh yang akan dipelajari. Sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat terus menembus jaringan yang akan menimbulkan bermacam– macam eko sesuai dengan jaringan yang dilaluinya (Iwan, 2005).

Pantulan eko yang berasal dari jaringan- jaringan tersebut akan membentur transduser, dan kemudian diubah Pantulan eko yang berasal dari jaringan- jaringan tersebut akan membentur transduser, dan kemudian diubah

Jaringan tubuh mempunyai impendance acustic tertentu. Dalam jaringan yang hiterogen akan ditimbulkan bermacam-macam eko, jaringan tersebut dikatakan echogenic . Sedang pada jaringan yang homogeny hanya sedikit atau sama sekali tidak ada eko, disebut anechoic atau echofree atau bebas eko. Suatu rongga berisi cairan bersifat anechoic, misalnya: kista, asites, pembuluh darah besar, pericardial atau pleural efusion. Dengan demikian kista dan suatu masa solid dapat dibedakan (Iwan, 2005).

3) Pemakaian Klinis

USG digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai kelainan organ tubuh. USG digunakan antara lain :

a. Menemukan dan menentukan letak massa dalam rongga perut dan pelvis

b. Membedakan kista dengan massa yang solid

c. Mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta, c. Mempelajari pergerakan organ (jantung, aorta,

d. Pengukuran dan penentuan volume

e. Biopsi jarum terpimpin

f. Menentukan perencanaan dalam suatu radioterapi (Iwan, 2005).

4) Ultrasonografi pada appendisitis

Penggunaan Ultrasonografi (USG) untuk evaluasi pasien dengan keluhan nyeri perut di UGD sudah demikian luas. Terutama yang di dapat pada USG terdiri dari tervisualisasinya appendiks yang non compressible, dengan diameter antara dinding terluar lebih dari 6-7 mm, diameter single wall lebih dari 2 mm, lumen dilatasi dan adanya cairan periappendiceal (Jeffrey, 1998).

Tiga kriteria untuk diagnosis appendicitis melalui USG, yaitu : appendiks yang non compressible, tidak adanya peristaltic di appendiks, diameter keseluruhan lebih dari 6 mm (Jeffrey, 1998).

Menggunakan USG dengan resolusi tinggi (5-7 Mhz) dan dengan teknik kompresi daerah abdomen bagian bawah, scaning dimulai dari atas titik tendon maksimal, berangsur- angsur menaikkan tekanan pada ke dalaman struktur yang di scan baik pada potongan longitudinal maupun transversal.

ileosekal , ilium dan juga kasus-kasus pada appendiks. Ultrasonografer yang terampil dapat menemukan lebih dari 70% kasus pada appendiks, biasanya terlihat colap, tubulus tidak terisi cairan dan ukuran diameter kurang dari 6 mm dan tebal dinding kurang dari 2 mm (Murtala, 2011).

Kriteria ultrasonografi pada kasus appendisitis akut adalah appendiks tidak dapat dikompresi sehingga diameter lebih dari

7 mm dengan tebal dinding lebih dari 2 mm, tipe eko pada lumen adalah hypoechoid. Kemungkinan terdapatnya batu pada appendiks, dan cairan disekitar ujung appendiks sehingga terjadi ruptur. Gambaran peristaltik dapat membedakan antara secum dan ileum. Jika appendiks terletak di retrosecal maka ultrasonografer sangat sulit untuk mengambil gambaran. Pada color doppler ultrasonografi , appendiks normal tidak terlihat. Hanya sedikit sinyal color doppler yang terjadi, ini menandakan adanya kenaikan vaskularitas pada dinding appendiks atau fossa iliaca kanan pada appendisitis akut (Murtala, 2011).

Dengan menggunakan frekuensi ultrasonografi resolusi tinggi diharapkan dapat mengurangi angka appenditomi tanpa appendisitis dan juga perforasi. Untuk mendapatkan keakuratan Dengan menggunakan frekuensi ultrasonografi resolusi tinggi diharapkan dapat mengurangi angka appenditomi tanpa appendisitis dan juga perforasi. Untuk mendapatkan keakuratan

Keuntungan dari penggunaan USG adalah cepat, non invansif, berisiko rendah dan akurat. Sedangkan kerugiannya, diagnosis sulit ditegakkan bila appendisitis tidak terlihat, terlebih pada pasien dengan obesitas (Hals, 2000).

4. Leukosit

Leukosit, disebut juga sel darah putih, merupakan unit sistem pertahanan tubuh yang mobil. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe. Setelah dibentuk, sel-sel ini diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkan (Guyton, 2007).

Manfaat leukosit yang sesungguhnya ialah sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, dengan demikian menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton, 2007).

Enam macam sel darah putih yang biasa ditemukan dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, monosit, limfosit, dan Enam macam sel darah putih yang biasa ditemukan dalam darah. Keenam sel tersebut adalah netrofil polimorfonuklear, eosinofil polimorfonuklear, basofil polimorfonuklear, monosit, limfosit, dan

Manusia dewasa mempunyai sekitar 7000 sel darah putih per mikroliter darah. Presentase normal berbagai jenis sel darah putih dari jumlah total sel darah putih kira – kira sebagai berikut: netrofil polimorfonuklear 62,0%, eosinofil polimorfonuklear 2,3%, basofil polimorfonuklear 0,4 %, monosit 5,3%, limfosit 30,0 % (Guyton, 2007).

Sel polimorfonuklear berasal dari mielosit sumsum tulang. Sel yang muda, intinya tidak terbagi (nonsegmented), sedangkan sel yang dewasa intinya terbagi (segmented) menjadi beberapa lobus (polinukleus). Dalam darah normal sel muda (nonsegmented) ini hanya merupakan 3-6% dari seluruh leukosit, sedangkan yang dewasa (segmented) merupakan lebih kurang 60% dari seluruh leukosit (Sutisna, 1998).

Leukositosis adalah keadaan bila jumlah leukosit meningkat, yaitu melebihi 10000/mm³. Dalam prakteknya leukositosis berarti peningkatan jumlah leukosit netrofil, sehingga melebihi 60% jumlah seluruh leukosit. Jumlahnya bisa sampai 80% dari seluruh leukosit. Leukositosis terjadi bila ada jaringan cidera atau infeksi, sehingga

turut membendung infeksi (Sutisna, 1998). Peradangan ditandai oleh (1) vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan; (2) peningkatan permeabilitas kapiler, memungkinkan kebocoran banyak sekali cairan di dalam ruang interstisial; (3) sering kali terjadi pembekuan cairan di dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah yang besar; (4) migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan (5) pembengkakan sel jaringan. Beberapa dari sekian produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamine, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitasi (guyton, 2005). Tanda-tanda makroskopik radang yaitu membengkak (tumor), berwarna kemerah-merahan (rubor), nyeri (dolor), menjadi agak hangat (calor) dan daya geraknya berkurang (functio laesa) (Sutisna, 1998).

B. Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit.

USG Apendisitis

Apendisitis akut

1. Kemotaksis

2. Peningkatan permiabel vaskuler

Akumulasi

Leukosit

Inflamasi

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Rancangan cross sectional adalah suatu rancangan penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan yang paling sering digunakan karena secara metodelogik paling mudah dilakukan dan hanya diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqurrahman, 2004).

B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Rekam Medik Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.

C. Subyek Penelitian

1. Populasi Sumber Rekam Medik Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tahun 2010, dengan riwayat penyakit Appendisitis.

2. Kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Rekam medik pasien appendisitis dengan riwayat pemeriksaan USG

b. Rekam medik pasien appendisitis dengan pemeriksaan darah lengkap

c. Rekam medik pasien dengan jenis kelamin laki – laki

d. Rekam medik pasien dengan riwayat operasi

3. Kriteria esklusi sebagai berikut:

a. Rekam medik pasien appendisitis tanpa riwayat pemeriksaan USG a. Rekam medik pasien appendisitis tanpa riwayat pemeriksaan USG

d. Rekam medik pasien yang tanpa riwayat operasi

e. Rekam medik pasien dengan riwayat : lymphadenitis mesenteric, entero-klitis, ileitis terminalitis, ureter kolik dextra, pecahnya folikel ovarium dextra, salphingitis dextra, torsi kista ovarium dextra, KET, pyelonephritis, batu ginjal kanan, ulcus pepticum, cholecystitis, pancreatitis, divert iculitis, pneuritis, infark myocard, menstruasi, desminorea

D. Teknik Sampling Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan teknik Purposive Sampling , yaitu suatu teknik pemilihan sampel yang dipilih berdasarkan kelompok yang sesuai dengan kriteria inklusi, kemudian subjek dipilih secara acak, sehingga setiap subjek dalam populasi yang telah dikelompokkan memiliki kemungkinan yang sama untuk dipilih (Hadi, 2000).

E. Identifikasi Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas

: Jumlah leukosit

2. Variabel terikat

: USG apendisitis

F. Definisi Operasional Variabel

1. Jumlah leukosit adalah jumlah sel leukosit pada penderita appendisitis akut, yang diperoleh dari hasil rekam medis penderita. Skala pengukuran : nominal.

penderita yang di diagnosis berdasarkan pemeriksaan USG. Skala pengukuran : nominal.

G. Rancangan penelitian

H. Alat, Bahan dan Cara Kerja

1. Alat dan Bahan

Rekam medik penderita appendisitis akut.

2. Cara Kerja :

a. Mengumpulkan rekam medis penderita appendisitis akut berdasarkan gambaran USG.

b. Membaca jumlah leukosit penderita.

c. Menganalisis hasil.

Appendisitis

USG appendisitis

akut positif

USG appendisitis akut negatif

Leukosit meningkat

Leukosit Normal

Leukosit meningkat

Leukosit

Normal

Analisis data (Chi Square )

Data yang diperoleh dianalisis dengan Chi Square test untuk menentukan nilai signifikasi hubungan dari kedua variabel.

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai Hubungan antara USG Appendisitis Akut dengan Jumlah Leukosit dilaksanakan di Bagian Rekam Medik Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta. Sampel penelitian berjumlah 42 orang terdiri dari

26 sampel dengan pemeriksaan USG appendisitis akut positif dan 16 sampel dengan pemeriksaan USG appendisits akut negatif. Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

A. Karakteristik sampel penelitian Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

No.

Kelompok Umur

10 - 19 tahun

20 - 29 tahun

30 - 39 tahun

40 – 49 tahun ≥ 50 tahun

Jumlah

12

11

42

28

21

26

10

10 100

Gambar 4.1 Presentase Sampel Berdasarkan Umur Tabel dan gambar 4.1 menunjukkan bahwa selama penelitian, subjek penelitian untuk appendisitis paling banyak pada umur 10 – 19 tahun ( 28 % ), sedangkan kasus paling sedikit adalah pada umur 0 – 9 tahun ( 5 % ).

B. Analisis Bivariat Uji Tabulasi silang atau Chi Square Data dalam penelitian ini dianalisis dengan uji Chi Square, dengan uji tersebut dapat diketahui apakah hubungan yang teramati antara kedua variabel secara statistik bermakna. Penelitian ini mengamati hubungan antara variabel bebas jumlah leukosit dengan variabel terikat USG appendisitis akut. Setelah hasil Chi Square didapat maka dapat dilihat nilai signifikasinya. Hubungan signifikan jika p < 0.05.

Tabel 4.2 Analisis tentang USG Appendisitis dengan Jumlah Leukosit

Variabel

Jumlah Leukosit

Total

meningkat P

n (%)

Tidak meningkat

n (%)

USG appendisitis akut negatif

USG appendisitis akut positif

Gambar 4.2 Grafik Persentase antara USG Appendisitis dengan Jumlah Leukosit Gambar 4.2 Grafik Persentase antara USG Appendisitis dengan Jumlah Leukosit

Tabel 4.3 Analisis tentang USG Appendisitis dengan Jumlah Sel Polimorfonuklear (PMN)

Variabel

USG appendisitis

USG appendisitis Jumlah

akut positif

akut negative

Sel PMN meningkat

20 (76.9)

5 (31.2)

25 Sel PMN tidak meningkat

2 (7.7)

4 (25)

6 Tanpa pemeriksaan

4 (15.4)

7 (43.8)

11 Jumlah

26 (100)

16 (100)

42

Gambar 4.3 Grafik Persentase antara USG Appendisitis dengan Jumlah Sel PMN

Tabel dan gambar 4.3 menunjukkan kelompok pemeriksaan USG appendisitis akut positif dengan peningkatan jumlah sel PMN sebanyak 20 orang (76.9%), tanpa disertai peningkatan sel PMN sebanyak 2 orang (7.7%) dan tanpa pemeriksaan sebanyak 4 orang (15.4%). Pada kelompok pemeriksaan USG appendisitis akut negatif dengan peningkatan jumlah sel PMN sebanyak 5 orang (31.2%), tanpa disertai peningakatan jumlah sel PMN sebanyak 4 orang (25%) dan tanpa pemeriksaan sebanyak 7 orang (43.8%).

Tabel 4.4 Analisis tentang USG Appendisitis dengan Jumlah Sel Netrofil Segmen

Variabel

USG appendisitis

USG appendisitis Jumlah

akut positif

akut negatif

Sel netrofil segmen

7 meningkat

Sel netrofil segmen

- tidak meningkat

Tanpa pemeriksaan

Tabel 4.3 menunjukkan kelompok pemeriksaan USG appendisitis akut positif dengan peningkatan jumlah sel netrofil segmen sebanyak 7 orang (26.9%) dan tanpa pemeriksaan sebanyak 19 orang (73.1%). Pada kelompok pemeriksaan USG appendisitis akut negatif tanpa pemeriksaan sel netrofil segmen sebanyak 16 orang (100%).

PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Hubungan USG Appendisitis Akut dengan Jumlah Leukosit” dilakukan sejak bulan Juni sampai dengan September 2011 di Bagian Rekam Medis Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan didapatkan

42 sampel yang terdiri dari 26 sampel dengan hasil pemeriksaan USG appendisitis akut positif dan 16 sampel dengan hasil pemeriksaan USG appendisitis akut negatif.

Sampel dalam penelitian ini seluruh berjenis kelamin laki - laki. Hal ini dikarenakan untuk mengendalikan faktor perancu yang ada. Penyakit appendisitis akut mempunyai rasio yang sebanding pada kasus wanita maupun pria (Schwartz, 2000). Berdasarkan distribusi responden menurut jenis umur dengan menempati prosentase tertinggi pada rentang umur 10 – 40 tahun dengan perincian, rentang umur 0 – 9 tahun sebesar 5%, umur 10 – 19 tahun sebesar 28%, umur 20 – 29 tahun sebesar 21%, umur 30 – 39 tahun sebesar 26%, umur 40 – 49 tahun sebesar 10% dan umur ≥ 50 tahun sebesar 10%. Hal ini sesuai dengan penelitian Jehan (2001) bahwa penderita appendisitis berusia diatas 15 tahun didapat prosentase sebesar 48,3%, kelompok umur 15-30 tahun 68,3%, umur 31-40 tahun 23,3%, 41-

50 tahun 6,7% dan 51-61 tahun 1,7%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sebesar 80,7% responden menunjukkan peningkatan jumlah leukosit pada USG 50 tahun 6,7% dan 51-61 tahun 1,7%. Penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara USG appendisitis akut dengan jumlah leukosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sebesar 80,7% responden menunjukkan peningkatan jumlah leukosit pada USG

Ultrasonografi (USG) merupakan pemeriksaan yang paling sering dipilih sebagai modalitas diagnostik appendisitis karena mempunyai beberapa keunggulan, yaitu: non invasif, aman, efek radiasi tidak ada (aman bagi wanita hamil dan anak-anak), relatif murah dan mudah dilakukan, waktu yang diperlukan singkat. Kekurangannya pemeriksaan USG sangat tergantung ketrampilan pemeriksa, lokasi appendiks yang bervariasi untuk tiap orang sehingga teknik pemeriksaan USG sangat penting diperhatikan.

Penilaian klinik merupakan bagian yang paling penting sebagai evaluasi awal pada kasus suspek appendisitis, sedang imaging radiologi merupakan penunjang diagnostik untuk membantu menegakkan diagnosis appendisitis yang penting dilakukan sebelum menentukan tindakan operasi terutama penderita yang gejala klinisnya meragukan. Pada orang dewasa sensitivitasnya dilaporkan antara 75-89%, spesifisitasnya 95%, dan tingkat akurasi mencapai 87-96% (Jeffrey, 1998).

Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau imun spesifik (natural/ innate/ native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Pertahanan non spesifik terdiri atas pertahanan fisik/mekanik, pertahanan biokimia, pertahanan humoral, pertahanan selular. Pertahanan spesifik terdiri atas

Th3, Tdth, Tc) (Baratawidjaja, 2006). Salah satu sistem pertahanan non spesifik selular adalah leukosit. Leukosit merupakan unit sistem pertahanan tubuh yang mobile. Leukosit sebagian dibentuk di sumsum tulang dan sebagian lagi di jaringan limfe. Setelah dibentuk, sel – sel ini diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian tubuh yang membutuhkan. Manfaat leukosit yang sesungguhnya ialah sebagian besar diangkut secara khusus ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius, dengan demikian menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen infeksius (Guyton, 2007).

Salah satu fungsi dari leukosit adalah fungsi fagositosis. Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan selanjutnya mempresentasikan kepada sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Fagositosis yang efektif pada invasi kuman dini akan dapat mencegah timbulnya infeksi. Dalam kerjanya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis, menangkap, memakan, fagositosis, memusnahkan dan mencerna (Baratawidjaja, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan jumlah leukosit yang signifikan pada kasus appendisitis akut dengan pemeriksaan USG. Dalam penelitian ini, responden dengan kenaikan jumlah leukosit sebanyak 21 orang dan tanpa disertai kenaikan leukosit sebanyak 5 orang. Dari hasil tersebut terdapat peningkatan leukosit relatif, dimana sesungguhnya peningkatan jenis leukosit Hasil penelitian menunjukkan peningkatan jumlah leukosit yang signifikan pada kasus appendisitis akut dengan pemeriksaan USG. Dalam penelitian ini, responden dengan kenaikan jumlah leukosit sebanyak 21 orang dan tanpa disertai kenaikan leukosit sebanyak 5 orang. Dari hasil tersebut terdapat peningkatan leukosit relatif, dimana sesungguhnya peningkatan jenis leukosit

Hasil pengamatan terhadap peningkatan netrofil segmen menunjukkan presentase sebesar 100% pada responden yang mempunyai riwayat pemeriksaan jumlah netrofil segmen. Sejumlah besar netrofil segmen dari darah mulai menginvasi daerah peradangan setelah peradangan dimulai. Oleh karena itu netrofil segmen bertanggung jawab terhadap lini pertahanan awal dari tubuh.

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara USG appendisitis dengan jumlah leukosit

B. Saran

1. Berdasarkan hasil penelitian, dalam pemeriksaan laboratorium terhadap appendisitis akut perlu adanya perhatian terhadap jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit yaitu jumlah netrofil segmen.

2. Pemeriksaan Ultrasonografi sangat menunjang dalam proses mendiagnosis appendisitis akut maupun kronik.