HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU DENGAN DIABETES MELITUS SEBAGAI FAKTOR RISIKO SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU DENGAN DIABETES MELITUS SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Yohana Endrasari G0008186

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

Yohana Endrasari. G0008186, 2011, Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai Faktor Risiko. Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control. Subjek penelitian yang diambil adalah pasien yang berobat ke BBKPM Surakarta dan berusia lebih dari 30 tahun. Pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan data primer dari kuesioner yang dilakukan mulai dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2011. Pasien berjumlah 122 pasien yang dibagi dalam dua kelompok, terdiri dari 61 pasien tuberkulosis paru sebagai kelompok kasus dan 61 pasien paru noninfeksi kronis sebagai kelompok kontrol. Pasien yang berobat dilihat apakah menderita diabetes melitus apa tidak. Kemudian data dianalisis menggunakan uji statistik Chi Square

dilanjutkan dengan penghitungan Odds Ratio .

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh data dari kelompok kasus, 14 pasien memiliki diabetes melitus dan 47 pasien tidak memiliki diabetes melitus.

Sedangkan pada kelompok kontrol, 5 pasien memiliki diabetes melitus dan 56 pasien tidak memiliki diabetes melitus. Kemudian analisis statistik dengan Chi

Square dengan taraf signifikansi p < 0,05 didapatkan hasil p = 0,025 dan Odds Ratio (OR) = 3,3.

Simpulan Penelitian : Penderita diabetes melitus beresiko menderita tuberkulosis paru 3,3 kali lebih besar dibanding yang tidak menderita diabetes melitus.

Kata Kunci : Tuberkulosis Paru, Diabetes Melitus, Faktor Risiko

Yohana Endrasari. G0008186, 2011. The Correlation between Lung Tuberculosis and Diabetes Mellitus as a Risk Factor. Script, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University.

Objective : The purpose of this study was to analyze the correlation between lung tuberculosis and diabetes mellitus as a risk factor.

Method : This research was an observational analytic study with case control approach. Research subject taken was patient came to BBKPM Surakarta and aged more than 30 years old. Sampling technique used in this research was purposive sampling. Data were collected by using primary data from questionnaires from July to August 2011. Total patients were 122 patients who were divided into two groups, consisted of 61 patients of lung tuberculosis as the case group, and 61 patients of noninfectious chronic disease as the control group. Patients who came to clinic were examined, whether suffered from diabetes mellitus or not. Data were analyzed using Chi Square test

, and then continued with calculation of Odds Ratio.

Result : In this study the data obtained from the cases group, 14 patients had a history of diabetes mellitus and 47 patients did not have a history of diabetes mellitus. Whereas in the control group, 5 patients had a history of diabetes mellitus and 56 patients did not have history of diabetes mellitus. Based on statistical analysis by Chi Square test with a significance level p < 0.05, p = 0.025 is obtained and from the Odds Ratio table obtained OR = 3.3.

Conclusion : People who suffer from diabetes mellitus have risk for lung tuberculosis 3, 3 times higher compared to people who do not suffer from diabetes mellitus.

Key Words : Lung Tuberculosis, Diabetes Mellitus, Risk Factor.

Alhamdulillahirabbil`alamin, segala puji syukur peneliti panjatkan ke haridat Allah SWT atas segala karunia-Nya dalam menyelesaikan skripsi dengan judul

“Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai

Faktor Risiko”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P., selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi.

4. Balgis, dr., Sp.Ak., M.Sc., CM-FM., AIFM., selaku pembimbing pendamping atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan kritik serta saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Dr. Kiyatno, dr., M.Or., PFK., AIFO., selaku anggota penguji yang telah memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

7. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarkat Surakarta yang telah banyak membantu penulis selama pengambilan data.

8. Seluruh Staf SMF Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan.

9. Imam Suyoso, S.Pd. dan Jajuk Jurijatmi, S.Pd, M.Pd., selaku orang tua serta saudara-saudara saya yang telah memberikan doa, motivasi, dukungan, dan semangat bagi penulis dengan penuh kasih sayang.

10. Sahabat-sahabat saya di Pondok Asri, Agatha, Erika, Maya, dan Ucil, serta teman-teman keluarga besar Pendidikan Dokter 2008 yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada penulis.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, Desember 2011

Tabel 1. Tabel Kontangensi 2x2. Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin. Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Umur. Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan. Tabel 5. Hubungan antara Tuberkulosis Paru dengan Diabetes Melitus sebagai

Faktor Risiko.

Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK. Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran. Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian.

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Lampiran 2. Surat Ijin Telah Selesai Melakukan Penelitian di BBKPM Surakarta. Lampiran 3. Data Pasien yang Berobat di BBKPM Surakarta. Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Chi Square. Lampiran 5. Lembar Persetujuan. Lampiran 6. Formulir Persetujuan. Lampiran 7. Kuesioner.

Lampiran 8. Ethical Clearance.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular pada saluran pernapasan bagian bawah yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff dan Mukty, 2009). Penyakit ini menjadi problem kesehatan dunia sebab sepertiga penduduk dunia saat ini terinfeksi dengan basil tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2006). WHO memperkirakan bahwa jumlah terbesar kasus tuberkulosis paru baru di tahun 2009 terjadi di daerah Asia sebesar 50 %, dimana Indonesia menempati urutan ke-5 setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2010). Pada tahun 2007, prevalensi semua tipe tuberkulosis paru di Indonesia sekitar 565.614 kasus. Insidensi kasus baru tuberkulosis paru BTA positif sekitar 236.029 kasus. Pada tahun 2009 prevalensi kasus tuberkulosis paru BTA positif sebesar 61 % dari seluruh kasus tuberkulosis paru yang ada. Sedangkan kematian tuberkulosis paru 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (WHO, 2009).

Tingginya kasus tuberkulosis paru ini dipengaruhi oleh sistem imunitas tubuh, seperti HIV, gizi buruk, kemiskinan, dan kepadatan penduduk (Crofton, 2002). Selain faktor-faktor tersebut, beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (Sen, 2009). Diabetes melitus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan meningkatnyanya kadar gula darah dan memiliki komplikasi Tingginya kasus tuberkulosis paru ini dipengaruhi oleh sistem imunitas tubuh, seperti HIV, gizi buruk, kemiskinan, dan kepadatan penduduk (Crofton, 2002). Selain faktor-faktor tersebut, beberapa penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko tuberkulosis paru (Sen, 2009). Diabetes melitus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan meningkatnyanya kadar gula darah dan memiliki komplikasi

Sama halnya dengan prevalensi tuberkulosis paru, prevalensi diabetes melitus setiap tahunnya juga tinggi. Berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (WHO), Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Secara teori diabetes melitus mempunyai pengaruh terhadap penyakit infeksi. Sehingga diduga diabetes melitus juga mepengaruhi kondisi kesehatan pasien tuberkulosis paru. Beberapa penelitian menunjukan bahwa diabetes melitus dapat menimbulkan perbedaan manifestasi klinis dan respon terhadap pengobatan tuberkulosis paru, terutama bila kadar gula darah pada pasien tinggi (Dooley dan Chaisson, 2009).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.

1. Aspek teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.

b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan penelitian lebih lanjut, misalnya penelitian dengan faktor-faktor risiko lain yang tidak diteliti.

2. Aspek praktis Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk meningkatkan upaya pencegahan penyakit tuberkulosis paru terutama pada pasien yang telah menderita penyakit diabetes melitus.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tuberkulosis Paru

a. Definisi

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang menyerang saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff dan Mukty, 2009). Basil yang bersifat aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ukuran basil tuberkulosis ini 0,3 x 2 sampai 4 mm, di mana ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah (Price dan Wilson, 2008). Lebih dari 60 % struktur dinding sel dari Mycobacterium tuberculosis mengandung lipid. Tingginya konsentrasi lipid tersebut dapat dihubungkan dengan sifat bakteri yang tahan asam (Todar, 2011). Mycobacterium tuberculosis tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram- positif ataupun gram-negatif. Jika sudah diwarnai dengan bahan celup dasar, organisme ini tidak dapat diwarnai dengan alkohol tanpa menghiraukan pengobatan iodin. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan “tahan asam” yaitu 95 % etil alkohol. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam (Brooks, et al., 2008).

Pada tuberkulosis paru, tempat masuknya kuman Mycobacterium tuberculosis adalah saluran pernapasan. Infeksi ini terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkulosis berasal dari orang yang terinfeksi (Price dan Wilson, 2008). Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru (Amin dan Bahar, 2007). Basil tuberkulosis yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi lalu membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear yang tampak pada tempat tersebut memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Berhari-hari kemudian, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus. Proses yang berjalan terus-menerus ini menyebabkan bakteri terus difagosit dan berkembang biak di dalam makrofag (Price dan Wilson, 2008).

1) Tuberkulosis Paru Primer

Tuberkulosis paru primer adalah bentuk penyakit pada orang yang belum pernah terpajan, sehingga tidak pernah tersensitisasi

(Kumar, et al., 2007). Basil yang menetap dalam jaringan paru, akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru ini akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia

Bahar, 2007). Kemudian manifestasi yang muncul pada perkembangan penyakit dapat berupa konsolidasi parenkim, atelektasis, limfadenopati, efusi pleura ataupun miliar. Konsolidasi biasanya bersifat unifokal dengan melibatkan multilobar (25 %). Konsolidasi dapat terjadi pada lobus manapun, tetapi paling sering dilaporkan bahwa pada orang dewasa, lobus bawah lebih sering terkena (Djojodibroto, 2009).

Dampak utama tuberkulosis paru primer adalah memicu timbulnya hipersensitivitas dan resistensi. Basil yang terdapat pada fokus jaringan parut yang dapat hidup bertahun-tahun bahkan seumur hidup, dapat reaktivasi ketika pertahanan pejamu melemah. Penyakit dapat berkembang menjadi tuberkulosis primer progresif. Hal ini banyak terjadi pada orang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh, seperti AIDS, malnutrisi, atau usia lanjut (Kumar, et al., 2007).

2) Tuberkulosis Paru Post Primer

Tuberkulosis paru post primer atau tuberkulosis paru sekunder (reinfection) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitasi. Secara umum, tuberkulosis paru sekunder terjadi karena reaktivasi bakteri yang dorman terutama saat resistensi pejamu melemah. Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer. Selain itu, penyakit ini dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau besarnya Tuberkulosis paru post primer atau tuberkulosis paru sekunder (reinfection) merupakan pola penyakit yang terjadi pada pejamu yang telah tersensitasi. Secara umum, tuberkulosis paru sekunder terjadi karena reaktivasi bakteri yang dorman terutama saat resistensi pejamu melemah. Namun, dapat juga terjadi segera setelah infeksi primer. Selain itu, penyakit ini dapat terjadi akibat reinfeksi eksogen karena berkurangnya proteksi yang dihasilkan penyakit primer atau besarnya

Tuberkulosis paru sekunder umumnya terbatas di apeks satu atau kedua lobus atas yang kemungkinan besar berkaitan dengan tingginya tegangan oksigen di sana. Respon jaringan terjadi segera dan nyata yang cenderung membatasi fokus karena memang sudah terdapat hipersensitivitas. Dengan begitu, kelenjar getah bening regional kurang begitu terlibat. Namun, kavitasi hampir selalu terjadi pada tuberkulosis paru sekunder yang tidak diobati, dan erosi yang mengenai saluran napas menjadi sumber penularan melalui sputum yang dikeluarkan (Kumar, et al., 2007).

c. Klasifikasi

Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam (BTA) tuberkulosis paru dibagi menjadi:

1) Tuberkulosis Paru BTA Positif

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan tiga batang kuman BTA pada satu sediaan dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum (Amin dan Bahar, 2007). Cara pengumpulan sputum tiga kali, yaitu Sewaktu, Pagi, dan Sewaktu (SPS) atau setiap pagi tiga kali berturut-turut (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD):

a) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

b) Ditemukan 1 - 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah

kuman yang ditemukan.

c) Ditemukan 10 - 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).

d) Ditemukan 1 - 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).

e) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+). Dikatakan tuberkulosis paru BTA positif jika:

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen sputum menunjukkan hasil BTA positif.

b) Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan BTA positif dan menunjukkan gambaran radiologi tuberkulosis aktif.

c) Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan positif dan biakan kuman positif.

2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Dikatakan tuberkulosis paru BTA negatif jika:

a) Hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

b) Hasil pemeriksaan sputum menunjukkan BTA negatif dan biakan

Mycobacterium tuberculosis positif.

1) Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

2) Kasus Kambuh

Adalah pasien tuberkulosis paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan OAT dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan sputum BTA positif atau biakan positif.

3) Kasus Default atau Drop Out

Adalah pasien tuberkulosis paru yang telah menjalani pengobatan OAT lebih dari satu bulan dan tidak mengambil obat selama dua bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

4) Kasus Gagal

Adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

5) Kasus Kronis

Adalah pasien tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori dua dan dengan pengawasan yang baik.

a) Hasil pemeriksaan sputum BTA dan biakannya negatif, serta gambaran radiologi paru menunjukkan lesi tuberkulosis yang tidak aktif atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung.

b) Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT dua bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

d. Diagnosis

1) Gambaran Klinis

a) Gejala Respiratori

(1) Batuk lebih dari 2 minggu. (2) Sputum awalnya bersifat mukoid, kemudian berubah menjadi

mukopurulen sampai purulen. (3) Batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasasi dan ulserasi pembuluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah massif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen.

(4) Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Bila nyeri bertambah berat telah terjadi pleuritis luas. (5) Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus. (6) Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut

tuberkulosis paru.

(1) Panas badan sedikit meningkat pada siang atau sore hari. (2) Menggigil dapat terjadi bila panas badan meningkat dengan

cepat tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama.

(3) Keringat malam umumnya baru timbul bila proses telah lanjut. (4) Anoreksia dan penurunan berat badan. (5) Malaise.

(Alsagaff dan Mukty, 2009).

2) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, demam (subfebris), badan kurus, dan berat badan menurun. Tempat keadaan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Perkusi yang redup dan auskultasi suara bronkial akan didapatkan bila dicurigai ada infiltrat yang agak luas. Selain itu, akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring (Amin dan Bahar, 2007).

3) Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis yang paling penting untuk diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan sputum. Pada tuberkulosis paru,

sputum yang mengandung BTA merupakan satu-satunya penegakan sputum yang mengandung BTA merupakan satu-satunya penegakan

Sputum berasal dari mukus (sekret kelenjar) paru, bronkus, dan trakea yang dikeluarkan melalui mulut. Pada orang dewasa normal, bisa diproduksi sejumlah 100 ml mukus dalam saluran napas setiap hari. Mukus ini dibawa menuju ke faring dengan gerakan pembersihan normal silia. Jika terbentuk mukus berlebihan, proses normal pembersihan tidak efektif lagi, sehingga mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intratorakal dan intraabdominal yang tinggi, lalu dibatukkan sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan mungkin disebabkan gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi.

Sputum yang terbentuk perlu dievaluasi sumber, warna, volum, dan konsistensinya. Sputum dapat dihasilkan dari sinus (saluran hidung) dan saluran napas bagian bawah. Warna sputum juga penting untuk dievaluasi sebab warna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi dan warna hijau menunjukkan adanya penimbunan pus yang timbul karena verdoperoksidase yang dihasilkan oleh Leukosit Polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, lekat, dan berwarna abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronis. Sedangkan sputum yang banyak Sputum yang terbentuk perlu dievaluasi sumber, warna, volum, dan konsistensinya. Sputum dapat dihasilkan dari sinus (saluran hidung) dan saluran napas bagian bawah. Warna sputum juga penting untuk dievaluasi sebab warna kekuning-kuningan menunjukkan infeksi dan warna hijau menunjukkan adanya penimbunan pus yang timbul karena verdoperoksidase yang dihasilkan oleh Leukosit Polimorfonuklear (PMN) dalam sputum. Sifat dan konsistensi sputum juga dapat memberikan informasi yang berguna. Sputum yang berwarna merah muda dan berbusa merupakan tanda edema paru akut. Sputum yang berlendir, lekat, dan berwarna abu-abu atau putih merupakan tanda bronkitis kronis. Sedangkan sputum yang banyak

4) Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar ialah foto toraks (PA). Gambaran radiologis akan tampak bercak-bercak seperti awan dengan batas yang tidak tegas saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumoni. Bayangan akan terlihat seperti bulatan dengan batas tegas yang dikenal sebagai lesi tuberkuloma bila lesi masih diliputi jaringan ikat. Lesi yang berupa kavitas, bayangannya seperti cincin yang mula-mula berdinding tipis kemudian lama-lama menjadi sklerotik dan terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Lesi yang terbentuk kalsifikasi dan bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi (Amin dan Bahar, 2007).

Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association , berdasarkan luasnya, tuberkulosis paru dinyatakan sebagai berikut:

a) Minimal lesion

Luas sarang-sarang yang terlihat tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis media, apeks, dan iga-iga depan. Sarang-sarang

soliter dapat berada di mana saja tidak harus berada dalam daerah tersebut. Tidak ditemukan adanya kavitas.

Luas sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, sedangkan bila ada kavitas tidak melebihi 4 cm. Jika sifat bayangan sarang-sarang berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus.

c) Far advanced tuberculosis

Luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada kalsifikasi kedua di atas atau bila ada kavitas, maka diameter keseluruhan semua lubang lebih dari 4 cm.

5) Pemeriksaan Penunjang Lain

a) Analisis cairan pleura.

b) Pemeriksaan histopatologi jaringan.

c) Pemeriksaan darah.

d) Uji tuberkulin. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

e. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif yang berlangsung selama 2 - 3 bulan dan dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 - 6 bulan. Obat lini pertama yang biasa digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin.

maksimal 300 mg. Efek samping ringan dapat berupa gejala pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki, dan nyeri otot. Keadaan ini terkait dengan terjadinya defisiensi piridoksin (Vit B6) sehingga dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 10 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks. Kelainan akibat defisiensi piridoksin dapat berupa sindrom pellagra. Efek samping berat yang dapat terjadi berupa hepatitis imbas obat yang timbul pada kurang lebih 0,5 % pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, OAT yang bersifat hepatotoksik (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid) dihentikan dan pengobatan tuberkulosis paru dilanjutkan sesuai pedoman pengobatan tuberkulosis paru pada keadaan khusus.

Obat lini pertama selanjutnya adalah rifampisin dengan dosis harian

8 - 12 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal 600 mg. Efek samping ringan berupa sindrom flu (demam, menggigil, nyeri tulang), sindrom perut (sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare), dan sindrom kulit (gatal-gatal). Efek samping berat rifampisin dapat berupa hepatitis imbas obat, sesak napas, dan bila terjadi salah satu gejala, seperti purpura, anemia hemolitik, syok, gagal ginjal, maka pengobatan dengan rifampisin harus segera dihentikan dan tidak diberikan lagi walaupun gejala telah menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada urin, keringat, air mata, dan air liur. Hal itu terjadi karena metabolisme obat dan hal ini tidak berbahaya.

dengan dosis harian 20 - 30 mg/kgBB/hari. Efek samping utama obat ini hepatitis imbas obat. Dapat pula terjadi nyeri akibat serangan artritis gout yang disebabkan oleh penimbunan asam urat. Bila kadar asam urat terlalu tinggi mungkin obat perlu diganti. Dapat juga terjadi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang lain.

Etambutol diberikan pada pasien tuberkulosis paru dengan dosis harian 15 - 20 mg/kgBB/hari. OAT ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman serta buta warna hijau dan merah. Gangguan penglihatan akan kembali normal beberapa minggu setelah obat dihentikan.

Streptomisin sebagai OAT diberikan pada dosis harian 15 - 18 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 1000 mg. Efek samping utama adalah kerusakan nervus VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Gejalanya adalah telinga mendenging, vertigo, dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan streptomisin diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Efek samping ringan lainnya yang dapat terjadi adalah demam, sakit kepala, muntah, eritema pada kulit, dan kesemutan sekitar mulut. Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin (Cahyadi dan Venty, 2011).

a. Definisi

PPOK adalah penyakit paru kronis yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonirreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya.

1) Bronkitis Kronis

Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronis berdahak minimal tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut–turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya.

2) Emfisema

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli.

Pada prakteknya, cukup banyak penderita bronkitis kronis juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh dan memenuhi kriteria PPOK.

b. Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil, yaitu inflamasi,

fibrosis, metaplasi sel goblet, dan hipertrofi otot polos yang menyebabkan obstruksi jalan napas.

bronkus, peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, infiltrasi sel-sel radang, hipertrofi otot polos pernapasan, serta distorsi akibat fibrosis. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif.

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomis dibedakan menjadi tiga jenis emfisema, yaitu:

1) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru. Jenis ini sering disebabkan oleh kebiasaan merokok yang lama.

2) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah.

3) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura.

Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK

1) Anamnesis

a) Keluhan (1) Sesak napas yang bertambah berat bila beraktivitas. (2) Kadang-kadang disertai mengi. (3) Batuk kering atau dengan dahak yang produktif. (4) Rasa berat di dada.

b) Riwayat penyakit Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu.

c) Faktor predisposisi (1) Usia > 45 tahun. (2) Riwayat merokok aktif atau pasif. (3) Terpajan zat beracun (polusi udara, debu pekerjaan). (4) Batuk berulang pada masa kanak-kanak. (5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).

2) Pemeriksaan Fisik

a) Secara umum (1) Penampilan pink puffer atau blue bloater. (2) Pernapasan pursed-lips. (3) Tampak denyut vena jugularis dan edema tungkai bila telah

terjadi gagal jantung kanan.

(1) Inspeksi: barrel chest, penggunaan otot bantu napas, dan

peleburan sela iga. (2) Palpasi: fremitus melemah dan sela iga melebar. (3) Perkusi: hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, dan hepar terdorong ke bawah. (4) Auskultasi: suara napas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung terdengar jauh.

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

3. Asma

a. Definisi

Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronis saluran napas yang menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas sehingga menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi (napas berbunyi ngik-ngik), sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama malam menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Yayasan Asma Indonesia, 2004).

Semua bentuk asma didasari oleh respon bronkokonstriksi yang berlebihan (hiperresponsivitas jalan napas) terhadap berbagai rangsangan. Hiperresponsivitas ini dibuktikan dengan meningkatnya sensitivitas terhadap zat bronkokonstriktif, seperti histamin atau prostaglandin. Mediator-mediator inflamasi tersebut akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis subepitel, sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas.

Sel dan elemen seluler yang banyak berperan pada gangguan asma adalah sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Episode berulang pada individu yang rentan berhubungan dengan adanya obstruksi aliran udara yang luas tetapi sering bersifat reversibel baik secara spontan atau dengan pengobatan. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis, saluran napas menyempit pada fase tersebut. Inflamasi juga disebabkan oleh adanya peningkatan sensitivitas akibat berbagai rangsangan (Morris, 2010). Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi (Sundaru dan Sukamto, 2006).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008) membedakan faktor risiko asma secara umum menjadi 2 kelompok, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

1) Faktor Genetik

a) Hiperreaktivitas.

b) Atopi/alergi bronkus.

c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik.

d) Jenis kelamin.

e) Ras/etnik.

2) Faktor Lingkungan

a) Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, jamur).

b) Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari).

c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur).

d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID)

e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray).

f) Stres emosional.

g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif.

h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan.

i) Exercise induced asthma, aktifitas tertentu yang dapat

menyebabkan kambuhnya asma. j) Perubahan cuaca.

a. Definisi

ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus, tanpa atau disertai radang parenkim paru.

b. Patogenesis

Saluran pernapasan selalu terpapar oleh dunia luar, sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efesien. Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu keutuhan epitel mukosa, gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi setempat, dapat menjadi sistem pertahanan terhadap infeksi, maupun partikel dan gas yang ada di udara.

Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran napas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak, akibat infeksi yang terdahulu. Selain itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah

asap rokok dan gas SO 2 , polutan utama dalam pencemaran udara, sindroma imotil, pengobatan dengan O 2 konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).

1) ISPA yang Disebabkan Virus

Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinis yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. Dalam klinis dikenal enam kelompok besar virus pernapasan sebagai penyebab ISPA, yaitu Orthomyxovirus, Paramyxovirus, Metamyxovirus, Adenovirus, Piconarvirus, dan Coronavirus .

Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternal, dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4 - 7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah, dan insomnia. Kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.

Di klinis dikenal enam gambaran sindroma ISPA yang disebabkan virus, yaitu:

a) Sindroma Koriza.

b) Sindroma Faring.

c) Sindroma Faringkonjungtiva.

d) Sindroma Influenza.

f) Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akut.

2) ISPA yang Disebabkan oleh Micoplasma pneumonia

Penularan banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang terjadi dalam keluarga maupun di asrama. Gejala klinis berupa nasofaringitis, bronkitis, bronkopneumonia, atau pleuritis. Sering pula dilaporkan ada infeksi sekunder oleh Diplococcus pneumonia, Neiseria kataralis , dan Haemophilus influenza.

3) Psitakosis-Ornitosis

Psitakosis-Ornitosis menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung. Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri, sedang ornitosis banyak terdapat pada burung merpati. Cara infeksi terjadi melalui pernapasan, juga dari benda-benda yang tercemar atau melalui gigitan. Gejala klinis bervariasi, dari gejala ringan pada saluran napas sampai pada keadaan yang lebih berat berupa pneumonia.

4) Demam Q (Demam Queensland)

Disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella bunetti gejala klinis yang menonjol ialah infeksi saluran pernapasan dengan atau tanpa penyulit radang paru.

(Alsagaff dan Mukty, 2009).

a. Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton dan Hall, 2008). Insulin adalah hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia, atau gula darah yang meningkat, adalah efek umum diabetes yang tidak terkontrol dan dari waktu ke waktu, menyebabkan kerusakan yang serius pada banyak sistem tubuh, terutama saraf, dan pembuluh darah (WHO, 2011).

b. Epidemiologi dan Prevalensi

Setiap tahun, jumlah penderita diabetes melitus kian meningkat. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia. Data WHO mengungkapkan, beban global diabetes melitus pada 2000 adalah 135 juta, di mana beban ini diperkirakan akan meningkat terus menjadi 366 juta orang setelah 25 tahun (tahun 2025). Kecenderungan kenaikan kejadian diabetes melitus secara global, dipicu oleh peningkatan kesejahteraan suatu populasi, sehingga dimungkinkan dalam kurun waktu 1 – 2 dekade silam, kekerapan diabetes melitus di Indonesia telah meningkat secara signifikan (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, 2008).

Klasifikasi etiologis diabetes melitus:

1) Diabetes Melitus Tipe I

Adalah diabetes mellitus tipe dependen insulin, yaitu defisiensi insulin akibat berkurangnya produksi hormon insulin, yang kemudian dibagi menjadi dua sub tipe:

a) Autoimun, akibat disfungsi kerusakan autoimun dengan kerusakan

sel-sel beta sehingga sekresi insulin berkurang.

b) Idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui

penyebabnya.

2) Diabetes Melitus Tipe II

Adalah diabetes melitus tipe nondependen insulin, diakibatkan oleh karena sekresi hormon insulin yang berkurang atau karena penurunan sensitivitas reseptor pada membran sel terhadap insulin. Onsetnya dimulai saat dewasa.

3) Diabetes Gestasional Adalah diabetes melitus yang terjadi pada masa kehamilan, hal ini karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa.

4) Diabetes Melitus Tipe Lain. (American Diabetes Association, 2005).

Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan dipikirkan bila:

1) Keluhan khas diabetes melitus, berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.

2) Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

(Gustaviani, 2007).

e. Diagnosis

1) Kadar gula darah sewaktu (plasma vena) khas diabetes melitus. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl.

2) Kadar glukosa plasma

75 gram pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) (Gustaviani, 2007).

6. Hubungan antara Diabetes Melitus dengan Tuberkulosis Paru.

Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi diabetes melitus, terutama diabetes melitus tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas fisik yang umumnya terjadi pada negara-negara yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga disertai dengan peningkatan prevalensi tuberkulosis paru, banyak terjadi terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Seperti Cina dan India, Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi diabetes melitus, terutama diabetes melitus tipe II. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup, meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas fisik yang umumnya terjadi pada negara-negara yang mulai mengalami industrialisasi. Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga disertai dengan peningkatan prevalensi tuberkulosis paru, banyak terjadi terutama pada negara-negara berpenghasilan rendah-menengah. Seperti Cina dan India,

Diabetes melitus menggambarkan suatu kelainan metabolik dengan berbagai etiologi yang ditandai oleh hiperglikemia kronis dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, sebagai akibat defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Diabetes melitus dapat mempengaruhi suatu penyakit infeksi, baik dengan meningkatkan frekuensi kejadiannya maupun manifestasi klinisnya. Hal tersebut disebabkan adanya hiperglikemia dapat menimbulkan gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel dan fungsi fagosit (Jeon dan Murray, 2008).

Pertahanan tubuh melawan infeksi Mycobacterium tuberculosis sebagian besar di mediasi oleh respon imun seluler. Limfosit T CD4 merupakan sel yang memainkan peran paling penting dalam respon imun adaptif terhadap Mycobacterium tuberculosis. Apoptosis atau lisis sel-sel yang terinfeksi oleh sel T CD4 juga dapat memainkan peranan dalam mengontrol infeksi. Limfosit T CD4 ini akan berdiferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2, yang memproduksi sitokin. Sel Th1 yang dipengaruhi oleh IL-12 dalam perkembangannya dari naïve cells memiliki peranan dalam pertahanan tubuh yaitu dengan menginduksi produksi sitokin yatiu IFN- dan IL-2. IFN-

ofag untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis yaitu dengan dengan cara

endositosis. Endosistosis Mycobacterium tuberculosis ke dalam makrofag ini menyebabkan terjadinya sekresi sitokin dan kemokin. IFN-

TNF-

merekrut monosit. IFN-

antigen sehingga merekrut lebih banyak limfosit T CD-4 dan atau limfosit sitotoksik. Selain itu, IFN-

ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) yang menghasikan nitric oxide (NO). NO yang dibantu dengan TNF- menyebabkan timbulnya reactive nitrogen intermediates dan radikal bebas lainnya yang mampu menyebabkan destruksi oksidatif mulai dari dinding sel hingga DNA Mycobacterium tuberculosis. Sedangkan Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-10, IL-13, dan berperan pada timbulnya imunitas humoral (Raviglione, et al., 2008; Bhatt, 2007; Raja, 2004; Stalenhoef, et al., 2008).

IFN- mensitesis TNF-

untuk mensekresi IL-1. IL-1 merupakan mediator inflamasi yang berperan pada imunitas nonspesifik. IL-1 menginduksi makrofag untuk memproduksi sitokin IL-6 yang mengakibatkan hiperglobulinemia yang merupakan karakteristik pada Tuberkulosis paru. IL-6 juga merangsang sumsum tulang untuk memproduksi neutrofil. Disamping untuk menginduksi makrofag untuk memproduksi sitokin IL-6, IL-1 juga menginduksi makrofag untuk memproduksi TNF- pada imunopatologi pada tuberkulosis paru dan meningkatkan ekspresi reseptor IL-2 untuk merangsang proliferasi sel T. Proliferasi sel T

2006; Bukhary, 2008). Kemungkinan penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada penderita diabetes melitus dapat berupa defek pada fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan pejamu. Mekanisme yang mendasari terjadinya hal tersebut masih belum dapat dipahami hingga saat ini, meskipun telah terdapat sejumlah hipotesis mengenai peran sitokin sebagai suatu molekul yang penting dalam mekanisme pertahanan manusia terhadap tuberkulosis paru. Selain itu, ditemukan juga aktivitas bakterisidal leukosit yang berkurang pada pasien diabetes melitus, terutama pada mereka yang memiliki kontrol gula darah yang kurang baik (Jeon dan Murray, 2008).

Tingginya kadar gula darah pada pasien diabetes melitus merupakan media yang baik bagi Mycobacterium tuberculosis untuk tumbuh, hidup, dan berkembang biak. Terdapat juga peningkatan kadar gliserol dan nitrogen pada pasien diabetes melitus Keadaan ini akan membantu pertumbuhan dari basil tuberkulosis, di mana hal ini dianggap ikut berperan sebagai penyebab terjadinya penyakit. Akibat gangguan imunologi tersebut menyebabkan daya tahan tubuh dan kemampuan dalam memperbaiki jaringan yang terinfeksi menurun. Sehingga pasien diabetes melitus rentan terserang Mycobacterium tuberculosis (Ezung, et al., 2002; Goswami, et al ., 2001; Mboussa, et al., 2003; Sen, et al., 2009).

Keterangan:

: Menyebabkan. : Menyebabkan, mempengaruhi.

Faktor risiko : Kegemukan Pola makan salah Obat-obatan Proses menua Stress

Hiperglikemia

Diabetes Melitus

Produksi IL-12, Th1, IFN- IL-1 dan TNF- .

Respon imun seluler

Paru rentan infeksi

Tuberkulosis paru

Infeksi Mycobacterium tuberculosis

Faktor keturunan

Terdapat hubungan antara tuberkulosis paru dengan diabetes melitus sebagai faktor risiko.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan case control, dimana bentuk rancangan penelitian ini mengikuti proses perjalanan penyakit ke arah belakang berdasarkan urutan waktu.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta pada bulan Juli-Agustus 2011.

C. Subjek Penelitian

Pasien yang sedang berobat di BBKPM, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Inklusi

a. Kasus

1) Pasien dengan Tuberkulosis Paru.

2) Usia > 30 tahun.

3) Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent.

b. Kontrol

1) Pasien penyakit paru noninfeksi kronis.

2) Usia > 30 tahun

3) Bersedia ikut penelitian yang dinyatakan dengan informed consent.

a. Pasien yang menderita HIV/AIDS.

b. Merokok.

c. Pasien yang mengkonsumsi alkohol.

d. Pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid/oral.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Metode ini merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005).

E. Besar Sampling

Keterangan: n :jumlah sampel.

:nilai simpangan dari rata-rata pada distribusi normal standar yang dibatasi oleh = 0,05. Sehingga = 1,96.

:nilai simpangan rata-rata distribusi alternatif yang dibatasi ol

p o :proporsi terpajan pada kelompok kontrol = 4,3%.

dengan peningkatan atau penurunan besarnya Odds Ratio.(R). p 1 : p o R/ [1+ p o (R-1)] = 16,82 %.

p : (p o+ p 1 )/2.

q : 1 – p. R : besarnya peningkatan atau penurunan Odds Ratio yang diinginkan.

(Budiarto, 2002). Dari perhitungan diatas maka besar sampel dari tiap-tiap kelompok (kasus dan kontrol) masing-masing sampel adalah sebesar 61 orang.

F. Rancangan Penelitian

Gambar 3. Skema Rancangan Penelitian

1. Variabel Bebas

: diabetes melitus.

2. Variabel Terikat

: tuberkulosis paru.

3. Variabel luar

a. Terkendali : usia, merokok, alkohol, dan kortokosteroid oral.

b. Tidak terkendali : kemiskinan, tempat tinggal, dan status gizi.

H. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel Bebas

Diabetes Melitus

a. Definisi

Gangguan metabolisme berupa hilangnya toleransi karbohidrat yang ditandai dengan kadar gula darah sewaktu (plasma vena) mg/dl atau kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ditambah gejala khas diabetes melitus (Gustaviani, 2007). Dalam penelitian ini, diagnosis diabetes melitus ditegakkan oleh dokter.

b. Skala pengukuran: nominal.

c. Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner.

Tuberkulosis Paru

a. Definisi

Penyakit yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura, disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff dan Mukty, 2008). Dalam penelitian ini penegakan diagnosis tuberkulosis paru dilakukan oleh dokter spesialis paru.

b. Skala pengukuran: nominal.

c. Alat ukur: hasil diagnosis dokter dan ditanyakan oleh peneliti melalui kuesioner.

3. Kontrol

a. PPOK

1) Definisi