CATATAN TERSISA DARI KEMELUT POLITIK DI DPR 2004 - 2009

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

CATATAN TERSISA DARI
KEMELUT POLITIK DI DPR 2004 - 2009
Oleh:

A. IRMANPUTRA SIDIN
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul

ABSTRAK
Dalam Tatib disebutkan bahwa Rapat Paripurna (RP) adalah rapat anggota yang
dipimpin oleh pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan
tugas dan wewenang DPR (Pasal 76 Tatib). RP disini tidak dapat ditafsirkan secara
sepihak bahwa cukup dipimpin oleh Pimpinan DPR sudah memenuhi kualifikasi
yuridis bahwa RP tersebut dapat mengambil keputusan termasuk melakukan
perubahan Tatib guna membentuk komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya. RP
seyogianya korum, namun tidak imperative korum, namun kalau tidak korum,
maka RP tersebut imperative tidak bisa mengambil suatu “keputusan” atas nama
DPR. Korum dimaksud adalah dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota rapat
(yang menandatangani daftar hadir) yang terdiri atas lebih dari separuh unsur
fraksi. Apabila korum tidak terpenuhi dalam waktu yang ditentukan, maka RP

ditunda oleh Pimpinan DPR Tatib DPR menurut saya adalah tergolong verordnung
karena merupakan peraturan perundang-undangan yang mendapatkan kewenangan
delegasi dari UU No.12/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD
dan DPRD (UU Susduk). Salah satu kewenangan delegasi tersebut diantaranya
disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) jo Pasal 102 UU Susduk bahwa tata cara
pelaksanaan tugas dan wewenang DPR diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata
Tertib DPR yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundanganundangan dan kepentingan umum
Key Words: Catatan, Kemelut Politik, DPR

persoalan yuridis tentang penafsiran

Pendahuluan
Kemelut politik di awal masa

Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR.

tugas DPR (Oktober – November 2004)

Seperti


diketahui

bahwa

hasil pemilu 2004, menyimpan sejarah

terbelahnya anggota DPR ini, diawali

hukum

di

ketika sulitnya terjadi kompromi dalam

Republik ini. DPR “terbelah dua” terjadi

rapat penentuan pimpinan komisi-komisi

kekisruhan


politik

antar

Koalisi

di

Kebangsaan

seolah

menjadi

“DPR

Kerakyatan yang terdiri dari Fraksi

Kebangsaan” dan Koalisi Kerakyatan


Partai Demokrat (F-PD), Fraksi Partai

seolah menjadi “DPR Kerakyatan.”

Amanat Nasional (F-PAN), Fraksi Partai

Persoalan yang awalnya hanya persoalan

Persatuan Pembangunan (F-PPP), Fraksi

politik, perebutan “komisi” menjadi

Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), dan

ketatanegaraan

tersendiri

DPR,


yang

kemudian

Komisi

Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FLex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

69

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

BPD) melakukan “boikot” untuk tidak

komisi sebagai alat kelengkapan DPR

menghadiri rapat paripurna yang akan

tanpa kehadiran 5 fraksi dari Koalisi


atau digelar.

Kerakyatan.

Hal

ini

menyebabkan

Koalisi

Kerakyatan-pun

tidak

membentuk DPR tandingan dengan

terjadinya korum untuk pengambilan


membentuk Gabungan Kelompok Fraksi

keputusan DPR, yang disyaratkan bahwa

(Gapoksi), untuk melaksanakan tugas-

setiap rapat DPR dapat mengambil

tugas kedewanan.

keputusan selain dihadiri lebih dari

Terbelahnya DPR akibat fraksi

separuh jumlah anggota DPR, juga harus

politik ini termasuk krusial, maka

dihadiri minimal lebih dari separuh


sesungguhnya DPR kala itu secara

unsur fraksi (Pasal 203 Tatib DPR).

yuridis sedang “mati suri”. Menurut

Dengan

boikot

koalisi

penulis, dari sisi yuridis, perubahan

kerakyatan ini yang terdiri dari 5 fraksi

Tatib tanpa korum rapat sesuai kondisi

menurutnya rapat paripurna yang digelar


tatib sebelumnya, maka RP DPR yang

untuk sebuah keputusan DPR jenis

dilangsungkan sebenarnya tidak terjadi

apapun menjadi tidak sah, karena syarat

sehingga null

lebih dari saparuh unsur fraksi tidak

menurut saya bisa disebut sebagai

terpenuhi mengingat jumlah keseluruhan

“kudeta yuridis” di DPR karena terjadi

fraksi di DPR adalah 10 fraksi. Koalisi


pemaksaan politik dengan mengabaikan

Kebangsaan yang terdiri dari Fraksi

Tatib DPR yang konsekuensinya DPR

Partai Golkar (F-PG), Fraksi Partai

tidak

Demokrat Indonesia Perjuangan (F-

mengubah Tatib yang dapat dianggap

PDIP), Fraksi Partai Bintang Reformasi

sah.

(F-PBR), Fraksi Partai Damai Sejahtera
(F-PDS),


dan

Fraksi

dapat

secara yuridis. Hal ini

mengambil

putusan

Oleh karenanya beralasan jika

Kebangkitan

Koalisi Kerakyatan menganggap bahwa

Bangsa (F-KB) tetap “memaksakan”

putusan DPR membentuk komisi-komisi

Rapat Paripurna (RP) tanpa dihadiri 5

adalah tidak sah, karena putusan DPR

fraksi dari Koalisi Kerakyatan, dengan

itu diambil dalam suatu RP yang tidak

mengambil

korum sesuai dengan Tatib sebelum

keputusan

DPR

akan

perubahan Tatib yang intinya mengubah

diubah oleh kudeta yuridis tersebut.

persyaratan korum guna terpenuhinya

Seharusnya DPR “Kebangsaan”

kuorum RP untuk mengambil putusan

memiliki political wisdom untuk tidak

DPR. Putusan DPR “Kebangsaan” yang

memaksakan RP tanpa korum. Syarat

diambil adalah membentuk komisi-

korum di DPR mengingat bahwa DPR

Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

70

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

bukan representasi politik individual

Kerakyatan tidak menerima keputusan

tetapi

politik

RP

politik

dirasakan terjadi political betrayal yang

seluruh Indonesia, karenanya disepakati

dilakukan oleh Pimpinan DPR. untuk

selain harus dihadiri lebih dari separuh

kemudian

anggota, juga minimal lebih dari separuh

kourum,

unsur fraksi di Tatib karena fraksi di

keputusannya dipertanyakan.

juga

kepartaian

representasi

alias

representasi

DPR

DPR sesungguhnya adalah reinkarnasi
partai politik di luar DPR.

kebangsaan

ini,

“memboikot”

karena

agar

sehingga

tidak

legalitas

Bagaimanapun DPR (Baca: RP)
tidak pernah hadir dengan sebuah

Syarat korum ini juga berkaitan

putusan

untuk

menjalankan

fungsi

sangat erat dengan sistem proporsional

konstitusional

daftar terbuka yang diterapkan dalam

yuridis

Pemilu 2004 kemarin untuk memilih

putusan tidak terpenuhi seperti yang

anggota DPR periode 2004 – 2009,

termaktub dalam Tatib sebelumnya.

dimana individu yang duduk di DPR

apabila

persyaratan

guna

pengambilan

korum

Sebagai

sebuah

wacana

adalah quasi representasi politik rakyat

akademik buat kedepannya mengingat

dan kepartaian.

kekisruhan ini akhirnya hanya menjadi
bisa

sebuah “kemelut politik” karena DPR

Koalisi

kerakyatan dengan jiwa besar kembali

Kebangsaan “nekat” melakukan RP

bergabung dengan DPR Kebangsaan,

tanpa

maka saya akan melakukan penemuan

Dilain

pihak

memahami,

saya

mengapa

dihadiri

Koalisi

Kebangsaan,

karena jika kondisi ini berlarut maka

hukum

bisa menurunkan citra DPR di mata

ketentuan Tatib DPR tersebut yang

publik.

sebelum diubah oleh DPR Kebangsaan.

Hanya

karena

persoalan

(rechtsvinding)

terhadap

pembagian “komisi” membuat DPR

Sah tidaknya keputusan RP

menyamai disfungsi konstitusional. Hal

termasuk pembentukan atau pengisian

ini bisa kontraproduktif sebagai akibat

komisi-komisi di DPR, haruslah sesuai

ketimpangan penyelenggaraan negara,

dengan Tatib DPR yang berlaku sah

eksekutif

sebelumnya.

kehilangan

kekuatan

Pertanyaannya

apakah

pengimbang (check and balances) yang

Tatib yang telah diubah tersebut dapat

dapat

dianggap sah, untuk kemudian dapat

membuka

ruang

besar

bagi

kesewenang-wenangan eksekutif.
Namun,
memahami,

saya
mengapa

pun

dijadikan alas yuridis guna pembentukan
bisa

komisi?

Koalisis
Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

71

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

Pada

prinsipnya

perubahan

Tatib dapat dilakukan namun harus

tersebut

bisa

dikategorikan

sebagai

“kudeta yuridis” terhadap DPR.

melalui pintu Tatib sebelumnya yaitu

Dalam Tatib disebutkan bahwa

Ketentuan Penutup Bab XXXII yang

RP adalah rapat anggota yang dipimpin

menentukan

perubahan

oleh pimpinan DPR dan merupakan

Tatib dapat dilakukan minimal 13

forum tertinggi dalam melaksanakan

anggota atau alat kelengkapan DR yang

tugas dan wewenang DPR (Pasal 76

diajukan secara tertulis kepada Pimpinan

Tatib). RP disini tidak dapat ditafsirkan

DPR untuk diajukan dalam RP untuk

secara sepihak bahwa cukup dipimpin

diambil keputusan. Keputusan yang

oleh Pimpinan DPR sudah memenuhi

dimaksud adalah setuju atau tidak setuju

kualifikasi yuridis bahwa RP tersebut

untuk dilakukan perubahan, dan dalam

dapat mengambil keputusan termasuk

hal RP menyetujui, maka akan dibahas

melakukan

selanjutnya

membentuk komisi dan alat kelengkapan

bahwa

oleh

usul

Badan

Legislasi

(Baleg) dan hasilnya akan dikembalikan

apakah

Tatib

guna

DPR lainnya.
RP seyogianya korum, namun

dalam RP untuk diambil keputusan.
Pertanyaannya,

perubahan

Tatib

tidak imperative korum, namun kalau

yang telah diubah kemarin adalah sah?

tidak

Tentunya yang harus dibedah adalah

imperative tidak bisa mengambil suatu

sudahkah prosedur perubahan tersebut

“keputusan” atas nama DPR. Korum

terpenuhi

memperhatikan

dimaksud adalah dihadiri lebih dari

beberapa variable yaitu usul tertulis

separuh jumlah anggota rapat (yang

“minimal

menandatangani

dengan
13

anggota”

atau

“alat

korum,

maka

daftar

RP

tersebut

hadir)

yang

kelengkapan”; Legalitas keputusan suatu

terdiri atas lebih dari separuh unsur

RP, sudah adakah Badan Legislasi yang

fraksi. Apabila korum tidak terpenuhi

sah, guna pembahasan usul perubahan?

dalam waktu yang ditentukan, maka RP

Jika salah satu variable tidak
terpebuhi misalnya RP yang tidak sah

ditunda oleh Pimpinan DPR paling lama
1 (satu) jam.

atau

Jika setelah sejam juga korum

maka

tidak terpenuhi maka pimpinan DPR

kemudian

dapat membuka rapat tersebut, namun

mengadakan rapat atau sidang yang

rapat tersebut akan membicarakan Surat

mengatasnamakan

Masuk

untuk

mengambil

ketiadaan
perubahan

Baleg
Tatib

keputusan
yang

sah,

untuk

DPR

oleh

suatu

kekuatan politik di DPR, maka hal

dan

Surat

Keluar,

atau

membicarakan penyebab tidak korum,

Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

72

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

mencari solusi politiknya. Sentuhan

jenis rapat yang ada di DPR, namun

akhir dari kondisi RP seperti ini

tidak berarti dapat mengambil keputusan

hanyalah

pokok-pokok

tanpa korum karena keputusan dapat

keputusan dan/atau kesimpulan untuk

diambil secara sah apakah itu melalui

dibicarakan dalam RP berikutnya (vide:

musyawarah atau mufakat atau voting

Pasal 97, 98 dan 99 Tatib DPR).

haruslah memenuhi korum (vide: Pasal

pengumuman

RP tanpa korum tidak bisa

201; 202; 203; 206 dan 209 Tatib).

mengambil keputusan atas nama DPR.

Perlu dipahami kondisi korum

Bagaimana jika RP itu tidak korum

yang diimperatifkan dalam Tatib adalah

sementara keputusan DPR seyogianya

konsekuensi dengan sistem proporsional

segera diambil, maka RP dapat ditunda

Pemilu yang digunakan. DPR mengakui

maksimal 2 (dua) kali dengan tenggak

eksistensi representasi kepartaian yang

waktu masing-masing maksimal 24 jam.

menjelma

Masa penundaan inilah seyogianya diisi

Karenanya syarat korum guna suatu

dengan pendekatan-pendekatan politik

keputusan bahwa lebih dari separuh

untuk mencapai kesepakatan.

anggota rapat terdiri dari lebih separuh

menjadi

fraksi-fraksi.

Bagaimana jika tenggak waktu

anggota fraksi agar keputusan tersebut

penundaan habis, kesepahaman politik

dapat mencerminkan nilai mayoritas

guna suatu keputusan belum tercapai,

politik segenap bangsa.

DPR tidak memberikan secara

Oleh karenanya , RP “DPR

eksplisit cara penyelesaiannya apabila

Kebangsaan” sebenarnya tidak serta

terjadi kebuntuan politik di suatu RP.

merta dapat mengubah Tatib, guna

Tatib DPR hanyalah mengatur situasi

membentuk

“buntu” pada jenis Rapat Komisi;

menjalankan masa maksimal penundaan,

Gabungan

jika masih buntu, RP ditutup untuk

Tatib

Komisi;

Baleg;

Panitia

komisi,

melainkan

Anggaran; BURT; BKSP; Kehormatan;

kemudian

Pansus; Bamus (pasal 203 ayat 3 Tatib).

dibicarakan pada RP berikutnya, dan

Namun,

tidak

diagendakan

untuk

diaturnya

selama tenggat waktu tersebut menjadi

kebuntuan dalam RP oleh Tatib, tidak

ruang komunikasi politik oleh kekuatan

serta merta dengan legitimasi “forum

politik

tertinggi” maka RP dalam kondisi tidak

kesepahaman

korum dapat mengambil keputusan.

koalisi politik tersebut.

Forum Tertinggi, maksudnya

di

DPR

guna

diantara

menemukan
kedua

kubu

disini

Pada kenyataan semua sudah

merujuk kepada derajat diantara semua

terjadi, telah terkrasi dua kubu DPR

Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

73

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

yang

berseteru

kala

“Koalisi

Oleh karenanya perbedaan tafsir

Kerakyatan” hanya mengakui Tatib

akan suatu masalah hukum dalam

sebelumnya sebagai syarat kompromi

lingkup

dengan Kebangsaan. Pada waktu itu,

lembaga pemerintahan baik internal

muncul wacana untuk menyelesaikan

maupun eksternal antar lembaga dapat

perbedaan tafsir yuridis akan kemelut ini

memintakan fatwa ke MA. Namun, yang

di Mahkamah Konstitusi (MK).

kita harus maknai bahwa “fatwa” yang

Pada

itu.

negara

maupun

secara

bahasa normatifnya adalah keterangan,

MK

pertimbangan dan nasihat sesungguhnya

memeriksa,

tidak memiliki daya paksa mengikat

sengketa

keberlakuannya. Jadi “fatwa MA” bisa

kewenangan “antara” lembaga negara

saja tidak diikuti secara radikal, namun

yang kewenangannya diberikan oleh

itu

UUD (Pasal 24C UUD 1945 dan UU

penghancuran moral akan prinsip negara

No.24/2003 tentang MK), misalnya

hukum. Cuma, kelebihan fatwa MA bisa

sengketa

antara

Perwakilan

diproduksi sangat cepat, seperti ketika

Daerah

(DPD)

dengan

Presiden

fatwa MA atas keluarnya Maklumat

lalu

tentang

Presiden Gus Dur tahun 2000 yang

pengangkatan anggota Badan Pemeriksa

membubarkan MPR/DPR, yang hanya

Keuangan (BPK). Jadi, kewenangan MK

dikeluarkan selama kurang lebih dua

tidak dalam ranah konflik internal suatu

hari sejak dimintakannya fatwa MA.

normative
adalah

prinsipnya

lembaga

maka

kewenangan

lembaga

mengadili

dan

beberapa

yang
memutus

Dewan

waktu

lembaga

negara

“eksternal”

artinya

dapat

telah

melakukan

melainkan

konflik

Selain memintakan fatwa ke

sesama

lembaga

MA, sesungguhnya persoalan perbedaan

antara

negara.

tafsir akan Tatib DPR oleh dua kubu di
Perbedaan tafsir tentang Tatib

DPR ini dapat dimintakan uji formil

sesungguhnya lebih pantas diselesaikan

dan/atau materil (judicial review) ke

melalui

Agung.

Dalam.

Mahkamah Agung. Dalam Pasal 24A

No.4/2004

tentang

UUD 1945 jo Pasal 13 UUKK jo Pasal

(UUKK)

31, Pasal 31A UU No.5/2004 tentang

disebutkan bahwa MA dapat memberi

Mahkamah Agung (UUMA) bahwa MA

keterangan, pertimbangan dan nasihat

mempunyai

masalah hukum kepada lembaga negara

peraturan perundang-undangan di bawah

dan

undang-undang

Pasal

Mahkamah
27

UU

Kekuasaan

lembaga

diminta.

Kehakiman

pemerintahan

apabila

wewenang

terhadap

menguji

undang-

undang. MA menyatakan tidak sah
Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

74

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

peraturan perundang-undangan di bawah

Tatib DPR menurut saya adalah

undang-undang atas alasan bertentangan

tergolong verordnung karena merupakan

dengan peraturan perundang-undangan

peraturan

yang lebih tinggi atau pembentukannya

mendapatkan kewenangan delegasi dari

tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

UU No.12/2003 tentang Susunan dan

Putusan MA mengenai tidak

Kedudukan MPR, DPR, DPD dan

perundang-undangan

yang

sahnya peratuaran perundang-undangan

DPRD

dapat diambil baik berhubungan dengan

kewenangan

pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun

diantaranya disebutkan dalam Pasal 26

berdasarkan permohonan langsung pada

ayat (2) jo Pasal 102 UU Susduk bahwa

MA.

Peraturan

tata

yang

dinyatakan

mempunyai

perundang-undangan
tidak

kekuatan

(UU

Salah

delegasi

cara

pelaksanaan

satu

tersebut

tugas

dan

sah,

tidak

wewenang DPR diatur lebih lanjut

hukum

yang

dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang

mengikat.

tidak

Pertanyaannya

Susduk).

apakah

Tatib

DPR dapat dikatakan sebagai suatu

boleh

kepentingan umum.
Dalam

dapat dimintakan judicial review?. Hans

disebutkan

Nawiasky

tentang

norma

dengan

peraturan perundangan-undangan dan

peraturan perundang-undangan sehingga

mengelompokkan

bertentangan

konsepsi

dalam

normative

UU

No.10/2004

Pembentukan

Peraturan

negara menjadi empat kelompok besar

Perundang-Undangan

yaitu Staatsfubdamentalnorm (Norma

bahwa jenis dan hierarki Peraturan

Fundamental

Negara),

Perundang-undangan adalah UUD 1945;

Pokok

Undang-Undang / Peraturan Pemerintah

(Undang-

Pengganti Undang-Undang; Peraturan

Staatsgrundgezets

(Aturan

Negara),

Formell

Gezets

Undang

Formal),

Verordnung

&

Pemerintah;

(UU

Peraturan

PPP-U)

Presiden;

Autonome Satzung (Aturan Pelaksana

Peraturan Daerah serta segala Jenis

dan Aturan Otonom). Aturan Pelaksana

Peraturan Perundang-undangan selain

bersumber dari kewenangan delegasi

yang disebutkan eksplisit dalam hirarki

(delegatie van wetgevingsbevoegdheid)

tersebut,

dan Aturan Otonom bersumber dari

mempunyai kekuatan hukum mengikat

kewenangan

sepanjang diperintahkan oleh Peraturan

atribusi

wetgevingsbevoegdheid)

(atributie
yang

van
kedua

aturan ini berfungsi menyelenggarakan
ketentuan dalam undang-undang.

diakui

keberadaannya

dan

Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Oleh

karenanya

dari

kedua

konsepsi teoritik dan normatif ini maka

Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

75

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

Tatib DPR apabila kedepan terjadi lagi

khususnya Tatib DPR yang berlaku

yang menimbulkan perbedaan tafsir

hanya dalam lingkup internal DPR.

seperti

Kedua,

kekisruhan

politik di

DPR

dalam

konsepsi

normatif,

kemarin dan tidak dapat diselesaikan

peluang untuk lamanya putusan MA

melalui rekonsiliasi atau komunikasi

akan kasus seperti ini kemungkinan bisa

politik kubu-kubu politik di DPR, maka

memakan waktu lama karena UUMA

Tatib DPR ini dapatlah diajukan judicial

tidak

memberikan

batasan

waktu

dengan

keharusan jatuhnya putusan MA akan uji

UU

undang-undang, hal ini tentunya menjadi

Susduk dan/atau UU PPP-U. Putusan

kontraproduktif akan spirit pengajuan

MA judicial review akan Tatib DPR ini,

permohonan untuk kasus politik seperti

sifat memiliki daya paksa mengikat

yang terjadi di DPR tersebut. Namun

secara hukum (rechtskracht). Namun

mengingat krusialnya persoalan politik

kekurangan dari proses judicial review

seperti di DPR kemarin, jika kedepan

ini, pertama, Tatib DPR masih bisa

MA menerima kasus seperti ini, maka

diperdebatkan apakah termasuk dalam

kasus politik akan perbedaan tafsir

peraturan

yang

yuridis seperti ini haruslah menjadi

mengikat secara umum (Pasal 1 ayat (2)

prioritas yang harus diselesaikan secepat

UU PPP-U), mengingat Tatib hanya

mungkin

berlaku dalam lingkup internal DPR,

memberikan kepastian hukum akan

padahal

dinamika

ke

review

MA

memperhadapkannya

dengan

perundang-undangan

dalam konsepsi

teoritiknya

oleh

MA

politik

sehingga

yang

sedang

bahwa segala peraturan perundang-

berlangsung di Republik ini, karena

undangan

tentunya

dapatlah

dimintakan

uji

fungsi

representasi

rakyat

terhadap hukum yang lebih tinggi

dalam proses penyelenggaraan negara

kepada suatu lembaga hukum yang

akan menjadi tersendat.

berwenang

apabila

dianggap

bertentangan dengan peraturan yang

Post Scriptum

lebih tinggi.
Tentunya,

Kedepan, budaya politik harus
MA

apabila

lebih dewasa dalam menyikapi suatu

mendapatkan kasus seperti kekisruhan

masalah

DPR kemarin dengan perbedaan tafsir

Representasi politik di DPR sebaiknya

Tatib DPRm sebaiknya harus melakukan

kembali

penemuan hukum akan uji peraturan

eksistensinya sebagai anggota parlemen

perundang-undangan

adalah dari rakyat dan untuk rakyat.

seperti

ini,

politik

ke

Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

di

khittahnya,

parlemen.

bahwa

76

A Irmanputra Sidin – Catatan Tersisa Dari Kemelut Politik Di DPR 2004 – 2009

Kepentingan
adalah

politik

kepentingan

sesungguhnya
rakyat,

Representatives,

bukan

Electoral

System in the Asia Pacific

kepentingan kekuasaan individu atau

Region.

kelompok politik. Mungkin suatu saat di

Australia.1997.

masa datang, sejarah akan bertutur

Hans Kelsen.1995.Teori Hukum Murni.

Allen@Unwin.

bahwa bangsa ini telah lama “muak”

Alih

dengan budaya politik selama ini, jangan

Rimdipress.

sampai tutur masa depan akan masa kini

Bahasa,

Sumardi,

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu

dan masa lalu dibiarkan berlarut-larut

Perundang-Undangan,

sehingga rakyat akan kembali mencetak

Dasar-Dasar

konstitusinya sendiri dengan caranya

Pembentukannya. Kanisius

sendiri, sehingga eksistensi republik ini

Yogyakarta.1998.

mengalami keterancaman. Semuanya,
sang

Raja

Waktu-lah

menjawabnya,

dan

yang

dapat

sesungguhnya

Pipit

R.

Kartawidja

dan

dan

Mulyana

Kusuma, Sistem Pemilu dan
Konstitusi, Kipp Eropa.

jawabannya dapat dikreasikan sejak
sekarang apabila budaya politik yang
selama

ini

berspirit

kekuasaan

direstorasi berspirit kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Peraturan Tata Tertib Dewan
Perwakilan

Rakyat.

Sekretariat

Jenderal

DPR.2004.
A. Irmanputra Sidin. Kudeta Yuridis
DPR.

Fajar.

November

2004.
------------. Sengketa DPD, Dari Zaman
Plato

Hingga

Jimly.

November. Kompas.
Graham Hassal dan Cheryl Sounders.
The

People’s
Lex Jurnalica/ Vol. 2 /No.1/ Desember 2004

77