BAB I SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA A. Pengertian Filsafat Analitis - Filsafat Bahasa : Peran teori Analitika Bahasa dan Semiotika dalam Budaya Kontemporer - repository civitas UGM

BAB I
SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA

A. Pengertian Filsafat Analitis

Filsafat analitis (Analytical Philosophy) adalah satu
mainstream dalam bidang filsafat yang muncul sebagai
reaksi atas pemikiran neohegelianisme yang masuk ke
Inggris pada pertengahan abad kesembilanbelas. Para
filsuf Inggeris yang dapat dikategorikan sebagai filsuf
analitis awal seperti: G.E.Moore dan Bertrand Russell
menganggap bahwa ungkapan filsafat neohegelianisme
itu selain sulit dimengerti, tetapi juga telah menyimpang
dari logika akal sehat. Charlesworth, salah seorang
pemerhati Filsafat analitis mengomentari bahwa filsafat
di Inggris setelah melewati kurun waktu lima puluh
tahun mulai bangkit dalam suatu bentuk revolusi
menentang

pengaruh


pemikiran

neohegelianisme

(Charlesworth, 1959 : 1).
Hamersma,
menegaskan

penulis

bahwa

Filsafat

filsafat

Barat

analitis


Moderen
melahirkan
1

kecenderungan filsafat yang bercorak logosentrisme.
Logosentrisme artinya terkait dengan bahasa, teks, isi
pemikiran, kata, dan pembicaraan. Tujuan analisis
bahasa adalah menghasilkan pengetahuan yang benar
tentang dunia, karena unsur-unsur terkecil bidang pikiran
(mind), yaitu unsur terkecil dari bahasa (logical
atomism) merupakan gambaran dari unsur paling kecil
bidang matter, yaitu atomic facts. Hamersma menyitir
pemikiran Russell yang menekankan analisis bahasa
sebagai jalan aman untuk menghindari spekulasi
metafisis

sebagaimana

yang


dilakukan

penganut

neoidealisme (Hamersma, 1983: 135-141).
Sejatinya

benih-benih

filsafat

analitis

sudah

muncul dalam pemikiran Immanuel Kant yang secara
tajam memilah dan membedakan beberapa bentuk
putusan. Menurut Quine dalam artikelnya yang berjudul
Two Dogmas of Empiricism, Kant membedakan antara
kebenaran analitis dan sintesis yang dipengaruhi

pemikiran Hume tentang pembedaan antara relasi
gagasan dan fakta, sebagaimana pula halnya pembedaan
yang dilakukan Leibniz tentang pembedaan antara
kebenaran akal dan kebenaran fakta. Kebenaran akal
2

bagi Leibniz berarti benar dalam semua dunia yang
mungkin (Quine, 1997: 197). Hamersma membedakan
tiga macam pengetahuan dalam pemikiran Kant, yaitu
pengetahuan analitis - a priori, sintetis - a posteriori, dan
sintetis - a priori (Hamersma, 1983: 29).
Pertama,

pengetahuan

analitis

adalah

jenis


pengetahuan yang predikat sudah termuat dalam subjek,
predikat dapat diketahui melalui analisis subjek. Contoh:
Lingkaran ini bulat; jumlah sebuah sudut segitiga adalah
180 derajat. Solomon menjelaskan tentang analitis dalam
pemikiran Kant sebagai berikut:
―Analytic (of) a sentence or truth) demonstrably
true (and necessasarily true) by virtue of the
logical form or the meanings of the components
words. The concept was introduced by Kant, who
defined it in terms of a sentence (he called it a
judgment) in which the predicate was contained
in the subject and added nothing to it‖ (Solomon,
1992: 329).
Berdasarkan penjelasan Solomon ini ada dua ciri
penting yang terdapat dalam pernyataan analitis yaitu
predikat

sudah


termasuk

ke

dalam

subjek

dan

pengetahuan analitis ini tidak menambahkan sesuatu
yang baru.
3

Kedua, pengetahuan sintetis-a posteriori adalah
jenis pengetahuan yang predikatnya dihubungkan dengan
subjek berdasarkan pengalaman inderawi. Solomon
menegaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan a
posteriori adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh
setelah dialami, after experience or empirical . Contoh:

―hari ini cuaca panas sekali‖, ini merupakan hasil
pengamatan inderawi (Solomon, 1992: 330).
Ketiga, pengetahuan sintetis - a priori yaitu jenis
pengetahuan

yang

menempatkan

akal

budi

dan

pengalaman inderawi secara serentak. Contoh: 10 x 100
=1000. Ilmu pengetahuan alam juga bersifat sintetis - a
priori, sehingga untuk penjelasannya diperlukan sebuah
analisis struktur seluruh proses pengetahuan (Hamersma,
1983: 29). A priori menurut Solomon bebas dari semua

pengalaman. Ia menegaskan:
‖A priori knowledge is always necessary, for there
can be no imaginable instances that would refute it
and no intelligible doubting of it. Knowledge is a
priori if it can be proven independently of
experience‖ (Solomon, 1992: 330).
Kant sendiri menegaskan tentang bentuk putusan
analitis dan sintetis dengan mengatakan bahwa dalam
4

semua keputusan dimana relasi subjek pada predikat
dipikirkan (Kant menyebutnya keputusan afirmatif),
maka relasi tersebut hanya dapat dibedakan dalam dua
cara. Relasi pertama, predikat B termasuk ke dalam
subjek A. Relasi kedua, predikat B terletak di luar
konsepsi A. Relasi pertama dinamakan Kant dengan
istilah keputusan analitis, sedangkan relasi kedua
dinamakannya keputusan sintetis. Keputusan analitis
yang bersifat afirmatif menunjukkan bahwa hubungan
antara


predikat

dengan

subjek

diketahui

melalui

identitas, sedangkan dalam keputusan sintetis hubungan
antara predikat dengan subjek diketahui tanpa identitas.
Kant menegaskan hal tersebut dalam pernyataan sebagai
berikut:
‖In all judgements wherein the relation of a
subject to the predicate is cogitated (I mention
affirmative judgements only here; the application
to negative will be very easy), this relation is
possible in two different ways. Either the predicate

B belongs to the subject A, as somewhat which is
contained (though covertly) in the conception A; or
the predicate B lies completely out of the
conception A, although it stands in connection with
it. In the first instance, I term the judgement
analytical, in the second, synthetical. Analytical
5

judgements (affirmative) are therefore those in
which the connection of the predicate with the
subject is cogitated through identity; those in
which this connection is cogitated without identity,
are called synthetical judgements‖ (Kant, 2009:
25).
Sebagaimana yang diketahui dalam pemikiran
Kant, bentuk penyimpulan analitis - a priori merupakan
ciri pemikiran rasionalisme yang menyatakan bahwa
predikat sudah dengan sendirinya termasuk ke dalam
subjek; tidak dengan sendirinya mengenai kenyataan;
tidak memberikan pengertian baru. Pernyataan analitis a priori hanya merupakan pengertian formal, suatu

tautologi,

sebenarnya

menegaskan

tentang

berikut:‖Analytical

hanya
analitis

judgements

suatu

konsep.

dalam

Kant

pernyataan

(affirmative)

are

therefore those in which the connection of the predicate
with the subject is cogitated through identity” (Kant,
2009: 15). Contoh: Lingkaran itu bulat. Bulat merupakan
hakikat dari sebuah lingkaran, sehingga pernyataan
―lingkaran

itu

bulat‖

hanya

merupakan

bentuk

penegasan. Menurut Quine, sebuah pernyataan dikatakan
analitis bilamana pernyataan itu benar atas dasar makna
6

dari pernyataan itu sendiri dan terbebas dari fakta
(Quine, 1994: 197).
Adapun bentuk penyimpulan sintetis-a posteriori
adalah perpaduan dari dua atau beberapa komponen
sehingga membentuk pengertian baru. Sifat sintetis a
posteriori yaitu adanya relasi subjek dan predikat
berdasarkan objek riil, sehingga menimbulkan kesatuan
dari hal-hal yang berbeda. Contoh: Tembok kampus
UGM itu berwarna krem. Krem bukanlah merupakan
keniscayaan dari tembok kampus UGM tersebut, dalam
hal ini perpaduan tembok dan warna krem lebih
didasarkan pada pencerapan inderawi manusia (a
posteriori), karena bisa saja terjadi tembok gedung itu
dicat dengan warna selain krem (misalnya: putih). Kant
kemudian memadukan kedua bentuk penyimpulan itu
menjadi sintetis – a priori, yaitu bentuk penyimpulan
yang predikat belum dengan sendirinya termasuk ke
dalam subjek, namun memberikan pengertian baru.
Contoh: Air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius;
Bumi berputar sekitar porosnya setiap 24 jam. Sifat
sintesis a priori ini ialah pengertian umum-universal dan
pasti (Harun Hadiwijono, 1980 : 65; Bakker, 1984: 90).
7

Kant sendiri menjelaskan tentang pengetahuan a priori
dan a posteriori
istilah

bahwasanya yang dimaksud dengan

pengetahuan

meletakkannya

a

dalam

priori,

yaitu

pengertian

kita

akibat

akan
yang

ditimbulkannya, bukan sebagai seperti pengetahuan yang
tergantung pada pengalaman, melainkan pengetahuan
yang sama sekali terlepas dari pengalaman. Pengetahuan
a priori ini berbeda dengan pengetahuan empiris, ia
bersifat murni, karena di dalamnya tidak ada unsur
empiris. Kant mencontohkan pengetahuan a priori dalam
proposisi ―setiap perubahan ada penyebabnya‖, alasan
Kant perubahan merupakan suatu konsepsi yang dapat
dijabarkan dari pengalaman (Kant, 2009:29).
Di samping itu Kant mementingkan pengetahuan
empiris (empirical knowledge) yang menentukan sebuah
objek melalui persepsi. Pengalaman adalah sebuah
sintesis persepsi, namun tidak termuat dalam persepsi
melainkan terkandung dalam pengalaman itu sendiri
dalam suatu kesadaran kesatuan sintesis dari bermacammacam

persepsi.

Kesatuan

sintesis

inilah

yang

membentuk hakikat dalam berbagai pengetahuan tentang
objek yang diindera, yakni dalam pengalaman

yang
8

dibedakan dari intuisi atau sensasi indera semata
(Cassirer, 1968: 152).
Judowibowo menengarai bahwa filsafat analitis
yang menaruh perhatian terhadap analisis bahasa sebagai
sebuah metode penyelidikan filsafati ini berkembang dan
dapat dibagi ke dalam tiga tahap yang berbeda, yaitu
tahap Atomisme Logis (Logical Atomism), Positivisme
Logis (Logical Positivism), dan Filsafat Bahasa Biasa
(Ordinary Language Philosophy) (Judowibowo, TT: 3).
Berdasarkan hasil penelusuran penulis atas sejarah
perkembangan pemikiran filsafat analitis, maka sejatinya
sejarah perkembangan filsafat analitis dapat ditelusuri
dalam lima tahap, yaitu tahap perintis filsafat analitis
yang didukung filsuf analitis awal seperti: G.E.Moore
dan B.Russell; tahap penentuan bahasa ideal bagi
filsafat yang dimotori oleh B.Russell dan Ludwig
Wittgenstein periode Tractatus (dinamakan Atomisme
Logis); tahap penentuan kriteria makna ungkapan
filsafati yang dikemukakan A.J.Ayer sebagai tokoh
Positivisme Logis; tahap kesadaran atas pentingnya
bahasa biasa sebagai bentuk komunikasi yang hakiki
yang

dimotori

Ludwig

Wittgenstein

periode
9

Philosophical Investigations dan J.L.Austin (Ordinary
Language Philosophy); tahap penerapan filsafat
analitis ke dalam berbagai kajian ilmiah seperti yang
dilakukan

J.F.Lyotard.

Kelima

tahap

tersebut

memainkan peranan penting sekaligus memperlihatkan
corak pemikiran yang cukup berbeda, meskipun tentu
saja ada kemiripan yang dapat ditemukan dalam setiap
tahapan.
Russell sebagai salah seorang tokoh filsafat analitis
menegaskan

bahwa

tugas

sentral

filsafat

ialah

memahami dunia, untuk dapat menjalankan tugas sentral
filsafat tersebut menurut Russell ada dua kewajiban
filosofis. Pertama, menganalisis keyakinan-keyakinan
filosofis yang paling penting, sehingga menjadikan para
filsuf kritis terhadap dirinya sendiri dan pemikiran orang
lain mengenai apa makna dan kandungan dari keyakinan
tersebut. Kedua, memiliki dasar-dasar yang memadai
sebagai syarat

untuk meyakininya dengan cara

mengajukan bukti atau argumen yang kuat dan valid
tentang kebenaran keyakinan filosofis, sekaligus mampu
menjawab secara efektif kritik terhadap keyakinan yang
dimiliki para filsuf

(Magee, 2000: 120-121). Tugas
10

filsafat analitis lainnya yang tidak kalah penting, yaitu
memberikan klarifikasi terhadap pernyataan-pernyataan
filsafat

itu

sendiri,

sehingga

tidak

terjadi

kesalahpahaman atas gagasan yang diungkapkan para
filsuf. Wittgenstein menegaskan tugas filsafat itu dalam
pernyataan berikut:
―The object of philosophy is the logical clarification
of thoughts. Philosophy is not a theory but an
activity. A philosophical work consist essentially of
elucidations. The result of philosophy is not a
number of philosophical propositions, but to make
propositions clear‖ (Wittgenstein, 1995: 77).
(―Objek filsafat adalah klarifikasi logis dari
pemikiran-pemikiran. Filsafat bukanlah sebuah teori
namun suatu aktivitas. Sebuah karya filosofis
dasarnya terdiri dari penjelasan-penjelasan. Hasil
dari filsafat bukanlah sejumlah proposisi filosofis,
tetapi untuk membuat proposisi menjadi jelas‖).
Filsafat analitis bertitik tolak dari asumsi bahwa
analisis linguistik merupakan satu-satunya aktivitas
filosofi yang sah, karena para filsuf analitis menganggap
bahwa pernyataan metafisis sebagai persoalan yang tidak
mengandung arti atau omong kosong (nonsense). Tujuan
analisis linguistik adalah menjadikan setiap pernyataan
sedapat mungkin sesuai dengan data atau pengalaman,
11

sekaligus menjelaskan permasalahan dan menghilangkan
kekaburan dalam pernyataan filosofis. Filsafat itu pada
hakikatnya hanya membicarakan bahasa, sehingga
apabila seorang filsuf telah memutuskan bahwa suatu
pernyataan itu bermakna, dan memberitahukan tentang
alam dan tidak hanya tentang caranya mempergunakan
perkataan, maka tibalah giliran para ahli sains untuk
menguji kebenaran pernyataan tersebut (Titus, dkk,
1984:367-368).
Hans-Johann Glock dalam karyanya What is
Analytic Philosophy? menjelaskan bahwa istilah filsafat
analitis itu sesungguhnya merupakan istilah teknis yang
dipergunakan oleh para akademikus, mahasiswa, dan
intelektual profesional yang bertitik tolak dari tradisi
intelektual yang mengakui paradigma atas sebuah
fenomena historis yang bersifat intrinsik tentang cara
kerja metode analitika bahasa. Istilah analisis sendiri
pada mulanya dijabarkan dari persoalan yang diajukan
Socrates

untuk

seperti:‖kebaikan‖,

mendefinisikan
―pengetahuan‖,

beberapa
yang

istilah

kemudian

dikembangkan oleh Plato sebagai pembagian atau
pembelahan (division). Istilah analysis sendiri berasal
12

dari bahasa Yunani analusis yang artinya membubarkan
(dissolving) dan melepaskan (loosening up). Istilah
tersebut juga dihubungkan dengan konsep analysandum
yaitu sesuatu yang akan dianalisis, dan analysans,
kegiatan menganalisis (Glock, 2008: 21).
Martinich dan David Sosa dalam karyanya Analytic
Philosophy: An Anthology menjelaskan bahwa istilah
filsafat analitis merupakan sebuah gerakan filsafat yang
pada awalnya muncul di Inggris untuk melakukan
perincian atas konsep yang kompleks sehingga dapat
ditemukan konsep yang lebih sederhana. Sebagai contoh:
konsep pengetahuan (knowledge) yang dipahami ke
dalam beberapa konsep seperti: kebenaran, kepercayaan,
dan pembenaran, kemudian dianalisis sehingga menjadi
kepercayaan yang dibenarkan (justified true belief).
Filsafat analitis pada awalnya mendapat pengaruh dari
Frege dan Russell, kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Wittgenstein, hingga memengaruhi tokoh-tokoh
seperti;

A.J.Ayer,

Mereka

dipandang

Austin,
sebagai

G.Ryle,
filsuf

W.V.O.Quine.
analitis

yang

mengembangkan berbagai konsep pemikiran tentang
analitika bahasa (Martinich and Sosa, 2001: 1-3).
13

Martinich dalam karyanya yang lain, A Companion
To Analytic Philosophy menegaskan bahwa istilah umum
filsafat analitis secara praktis digunakan pada paruh
pertama abad keduapuluh di negara-negara berbahasa
Inggris dan Jerman, kemudian berkembang pula di
Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Analisis
konsep bertujuan untuk memecah konsep-konsep yang
kompleks ke dalam bentuk komponen-komponen yang
lebih sederhana. Rancangan konseptual inilah yang
membedakan aktivitas filosofis dari berbagai analisis
yang

yang

diterapkan

terhadap

objek-objek

nir-

konseptual (Martinich and Sosa, 2001: 1).
Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan para
pemikir dan komentator di atas maka dapat dipahami
bahwa filsafat analitis merupakan sebuah gerakan yang
pada

awalnya

muncul

di

Inggris,

kemudian

memengaruhi pemikiran filsafat secara luas dengan
fokus utama pada kegiatan menganalisis

konsep

pemikiran agar diperoleh kejelasan makna. Analisis
konsep pemikiran dapat berkembang secara luas, karena
bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan
dan pemikiran itu merupakan seni dalam kehidupan
14

sosial. Quine dalam kata pengantar bukunya Word and
Object menegaskan bahwa bahasa adalah seni sosial,
karena dalam mendapatkan bahasa seseorang sangat
tergantung pada isyarat hubungan antara subjek tentang
apa yang dikatakan dan kapan itu dikatakan (Quine,
1994: ix). Dengan demikian analisis konsep mutlak
diperlukan untuk mendapatkan kejelasan makna dan
menghindarkan pemaknaan subjektif yang berlebihan
dalam memahami suatu objek. Dalam hal ini problem
arti atau makna merupakan salah satu fokus pembicaraan
para filsuf analitis

B. Kajian Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang
filsafat yang menaruh perhatian terhadap penggunaan
bahasa dalam bidang filsafat. Para filsuf analitis
meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan penggunaan
bahasa dalam bidang filsafat, sehingga menimbulkan
kekacauan dan kesalahpahaman atas makna yang
sesungguhnya. Para filsuf analitis menengarai bahwa
salah satu sumber kekacauan bahasa dalam filsafat
bersemi dalam cabang metafisika. Kaum metafisikus
15

dianggap paling bertanggungjawab atas penggunaan
bahasa

yang

bernuansa

ketidaktersuratan
(vagueness),

ambiguitas

(ambiguity),

(inexplicitness),

sehingga

diperlukan

kekaburan
klarifikasi

dan

penjernihan atas bahasa filsafat.
Filsafat bahasa lahir sebagai sikap skeptis atas
ungkapan metafisika yang mengaburkan makna suatu
ungkapan dengan realitas yang sesungguhnya. Filsafat
bahasa

menurut

Honderich

dalam

The

Oxford

Companion to Philosophy (1995: 937) mengkaji tentang
presupposition of language dan nature of language.
Kajian

tentang

presupposition

of

language

membicarakan masalah bahasa privat, ide bawaan, dan
intensionalitas bahasa. Kajian tentang nature of language
membahas masalah gramatika bahasa, relasi antara
bahasa dengan sistem simbol lain, serta relasi bahasa
dengan interpretasi, penerjemahan, dan analisis.
Kaelan (2009: 5-6) menemukenali filsafat bahasa
itu ke dalam dua macam pengertian; pertama, perhatian
pra filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan
menjelaskan problema dan konsep dalam bidang filsafat.
Kedua, filsafat bahasa sebagaimana halnya dengan
16

cabang-cabang

filsafat

lainnya,

pembahasannya

meletakkan

bahasa

hanya

fokus

sebagai

objek

material filsafat, sehingga membahas hakikat bahasa itu
sendiri.
Toety Herati meletakkan perbincangan filsafat
bahasa

ini

sebagai

bentuk

meta-language

yang

menekankan pada metode analisis sebagai pendekatan
khas filsafat analitis. Lantaran menganalisis bahasa
filsafat maka dinamai filsafat bahasa (Toety Herati,
1984: 73).
C. Pengertian Semiotika
Semiotika

merupakan

bidang

kajian

yang

berkembang cukup pesat dalam wilayah kebahasaan dan
komunikasi. Kedua wilayah tersebut membutuhkan cara
pemahaman yang komprehensif. Semiotika dalam kajian
wilayah kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari jasa
Ferdinand de Saussure; sedangkan semiotika dalam
kajian wilayah komunikasi tidak dapat dipisahkan dari
rintisan pemikiran Charles Sanders Peirce. Studi tentang
tanda yang dinamakan semiotika ini dikembangkan oleh
filsuf, ahli logika, Charles Sanders Peirce dan ahli
linguistik Ferdinand de Saussure. Kedua pakar tersebut
17

menyebutnya dengan istilah yang mirip, namun sedikit
berbeda. Peirce menamakan studi tentang tanda dengan
istilah semeiotic, sedangkan Saussure menyebutnya
dengan istilah semiology.
Kedua tokoh ini dianggap sebagai pemicu kelahiran
semiotika dalam dunia ilmiah, meskipun keduanya
memiliki pemikiran yang khas dan melahirkan dua
mainstream dalam dunia semiotika. Sepintas terlihat
bahwa kedua mainstream itu menimbulkan cara pandang
yang berbeda, namun sesungguhnya keduanya saling
melengkapi, lantaran baik wilayah kebahasaan maupun
komunikasi pada hakikatnya merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Di satu pihak bahasa merupakan sarana bagi
komunikasi, sedangkan di pihak lain komunikasi
membutuhkan bahasa untuk mengungkapkan gagasan
pemikiran.
Bahasa

merupakan

suatu

bentuk

tanda

yang

disepakati oleh para penggunanya, sehingga tumbuh dan
berkembang dalam kebudayaan manusia yang dinamis
dan terbuka. Proses perkembangan bahasa bertitik tolak
dari kebutuhan komunikasi untuk saling mengenal satu
sama lain, mengidentifikasi sesuatu, mengekspresikan
18

gagasan. Bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan
kajian yang banyak dibicarakan dalam semiotika, karena
kajian tentang tanda termasuk hal yang menjadi
perhatian para tokoh semiotika.
Umberto Eco dalam karyanya Theory of Semiotics
menyatakan bahwa setiap tindakan untuk berkomunikasi
dengan atau antar mahluk hidup menuntut syarat atas
suatu sistem penandaan menjadi suatu kondisi yang
dibutuhkan. (Eco, 1976: 9). Dalam karyanya itu Eco
mengemukakan daftar beberapa batas suatu bidang
seperti: semiotika kebun binatang, tanda-tanda pabrik
tua, strategi berkomunikasi, kode-kode perasaan, kode
musik, bahasa formal, bahasa tulisan, bahasa asli,
komunikasi visual, sistem objek, susunan alur, teks
estetis, komunikasi massa, pidato, dan lain-lain (Eco,
1976: 9-10). Dengan demikian terlihat bahwa semiotika
mencakup wilayah kajian yang sangat luas dan beragam,
bahkan pada gilirannya memberi pengaruh besar bagi
perkembangan budaya kontemporer sebagaimana yang
tercermin dalam kehidupan manusia dewasa ini.

19

BAB II
PERSOALAN MAKNA DALAM STATEMEN
FILSAFAT
Salah satu masalah yang paling banyak menarik
perhatian para filsuf bahasa dan semiotikawan adalah
masalah arti atau makna ungkapan (problem of
meaning). Stephen Ullmann menyatakan bahwa makna
merupakan istilah yang paling ambigu dan paling
kontroversial dalam teori bahasa. Alasannya, pernyataanpernyataan akan makna biasanya membuang sebagian
unsur yang ada pada sasaran gejala makna, sedangkan
teori tentang tanda (semiotika) yang bersifat teknis
haruslah

menyajikan

kata-kata

yang

dipertajam

maknanya (Ullmann, 2009 :65). Kendatipun demikian
problem makna tetap mendapat perhatian yang besar di
kalangan para ahli bahasa dan para filsuf bahasa,
meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Bab ini
akan membahas problem makna dalam kajian Filsafat
Bahasa dan Semiotika agar dapat dilihat relasi antara
kedua bidang kajian tersebut, sekaligus dapat menarik
perbedaan di antara keduanya.
20

A. Problem Makna Dalam Filsafat Bahasa
Problem makna ungkapan di kalangan para filsuf
bahasa melahirkan beberapa teori seperti: Teori ideasi,
teori tingkah laku, dan teori acuan, namun teori arti yang
paling banyak menarik perhatian para ahli filsafat bahasa
adalah teori acuan (Referential theory), meskipun kedua
teori lainnya juga tidak kalah pentingnya dalam kajian
filsafat tanda. Oleh karena itu untuk memperjelas
perbedaan dan menunjukkan karakteristik masingmasing teori arti itu berikut akan dipaparkan ketiga jenis
teori arti tersebut.
1. Teori Ideasi (Ideasional Theory)
Teori ini yang pada mulanya digagas oleh John
Locke dalam karyanya An Essay Concerning Human
Understanding. Locke mengatakan bahwa penggunaan
kata merupakan markah gagasan yang dapat diindera,
dan gagasan itu berpihak pada pengertian yang tepat dan
langsung.

The use, then, of words, is to be sensible

marks of ideas; and the ideas they stand for are their
proper and immediate signification, ujar Locke (Locke,
21

2004: 251). Locke menyatakan bahwa kata-kata atau
ungkapan bahasa itu sesungguhnya merupakan tandatanda yang dapat diinderai dari gagasan penggunanya.
Seseorang yang menggunakan tanda bahasa itu merekam
gagasan tentang tanda itu ke dalam pikirannya. Ketika
seseorang mengungkapkan kata-kata kepada orang lain
sesungguhnya orang tersebut bermaksud menyampaikan
gagasan

yang

ada

dalam

pikirannya

atau

yang

diketahuinya kepada pihak lain. Locke menegaskan hal
itu dalam pernyataan sebagai berikut:
―Words, in their immediate signification, are the
sensible signs of his ideas who uses them. The use
men have of these marks being either to record
their own thoughts, for the assistance of their own
memory or, as it were, to bring out their ideas, and
lay them before the view of others: words, in their
primary or immediate signification, stand for
nothing but the ideas in the mind of him that uses
them, how imperfectly soever or carelessly those
ideas are collected from the things which they are
supposed to represent. When a man speaks to
another, it is that he may be understood: and the
end of speech is, that those sounds, as marks, may
make known his ideas to the hearer‖ (Locke, 2004:
251).
(―Kata-kata, dalam pemaknaan langsung, adalah
tanda-tanda yang masuk akal atas ide-ide orang
22

yang yang menggunakannya. Mereka yang
menggunakannya memiliki tanda ini, baik untuk
mencatat pemikiran mereka sendiri, untuk
membantu memori mereka sendiri atau untuk
menunjukkan ide-ide mereka, dan meletakkan
pandangan mereka sebelum pandangan orang lain:
kata-kata, pada dasarnya atau pemaknaan langsung,
bukanlah untuk menggantikan sesuatu tetapi
gagasan ada dalam pikiran orang yang
menggunakannya, betapapun tidak sempurnanya,
namun ide-ide tersebut dihimpun dari hal-hal yang
mereka anggap mewakili. Ketika seorang berbicara
kepada yang lain, itu berarti bahwa dia dapat
dimengerti: dan akhir wicara bahasa adalah, bahwa
suara-suara, sebagai tanda, menjadikan gagasannya
dikenal pendengarnya").
Alston dalam bukunya Philosophy of Language,
menengarai

bahwa

teori

ideasi

ini

berupaya

menemukenali arti kata pada gagasan yang menimbulkan
dan yang ditimbulkannya. Alston menegaskan bahwa the
ideational theory is based on an equally fundamental
insight – that words have the meaning they do only
because of what human beings do when they use
language. Prinsip umum teori ini menggariskan bahwa
kata

mengandung

makna

lantaran

manusia

mempergunakan bahasa. Teori ini fokus pada aspekaspek

dalam

komunikasi,

dalam

upaya

untuk
23

mendapatkan ciri-ciri penggunaan bahasa, maka hal itu
memberikan unit-unit linguistik makna yang mereka
miliki (Alton, 1964: 19).
Judowibowo menegaskan bahwa menurut teori
ideasi ini, apa yang memberi arti atau makna dari suatu
kata atau ungkapan bahasa adalah kenyataan bahwa kata
atau ungkapan bahasa ini secara teratur digunakan dalam
komunikasi

sebagai

suatu

tanda

(mark)

untuk

menyatakan suatu ide kepada pihak lain. Jika suatu kata
atau ungkapan bahasa itu digunakan menurut teori
ideasi, maka harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
‖1) harus ada ide dalam pikiran si pembicara, 2) si
pembicara harus mengeluarkan kata atau ungkapan
bahasa agar orang lain mendengar bahwa ide yang
dimaksud itu ada dalam pikiran si pembicara pada
waktu itu, 3) apabila komunikasi itu berhasil, maka
ungkapan bahasa tadi harus menimbulkan ide yang
sama dalam pikiran si pendengar‖ (Judowibowo,
TT: 19).
Toety Herati menegaskan bahwa teori ideasi ini
menghubungkan makna kata dengan suatu idea atau
representasi psikis yang ditimbulkan kata tersebut
kepada kesadaran (Toeti Heraty, 1984: 76). Berdasarkan
24

pemaparan singkat tentang teori ideasi tersebut, maka
keterkaitan teori ideasi dengan filsafat tanda menjadi
jelas, yakni adanya ide dalam pikiran si pembicara
merupakan sebuah proses kehadiran tanda, karena ide
bisa muncul manakala ada tanda yang memicu timbulnya
ide. Contoh: Ketika ide tentang pesawat helikopter
muncul di benak para ilmuwan (Leonardo da Vinci),
maka ide itu tidaklah berasal dari wilayah kosong atau
tak bertuan, melainkan tanda yang diperlihatkan oleh
gerak terbang seekor capung. Ide yang lebih rumit,
misalnya ide naga yang ada dalam pikiran masyarakat
Cina, meskipun naga itu hewan dongeng yang bersifat
khayali, karena tidak ada dalam kenyataan, namun tandatanda seperti: ular besar bertanduk, berkaki, dan
bersayap bisa berasal dari gabungan beberapa jenis
hewan seperti: ular, burung, dan dinosaurus. Ide dipicu
oleh tanda, dan pada gilirannya tanda baru dapat lahir
dari ide-ide berikutnya. Dengan demikian ada relasi yang
saling melengkapi antara ide dan tanda, sehingga
merangsang pengamatan subjek.

25

2. Teori Tingkah laku (Behavioral Theory)
Teori ini menemukenali (mengidentifikasi) arti
ungkapan bahasa dengan situasi pengucapan dan
tanggapan atau reaksi yang dilakukan lantaran adanya
ucapan tersebut. Bentuk paling sederhana dari teori
tingkah laku ini terletak pada arti suatu ungkapan bahasa
yang menempatkan situasi pengungkapan bahasa dari si
pembicara

dan

tanggapan

(response)

yang

ditimbulkannya pada pendengar (Judowibowo, TT: 18).
Teori tingkah laku ini menanggapi bahasa sebagai
semacam kelakuan dan mengembalikannya kepada
stimulus dan response. Makna menurut teori tingkah
laku adalah rangsangan untuk menimbulkan perilaku
tertentu sebagai tanggapan atas rangsangan itu tadi
(Toeti Heraty, 1984: 76).
Gagasan teori tingkah laku menurut Alston diambil
alih dari psikologi dengan kesadaran akan kompleksitas
yang terlibat di dalamnya. Bentuk sederhana teori
tingkah laku ini ditemukan dalam karya para ahli
linguistik yang mengambil alih gagasan tentang tingkah
laku yang terdapat dalam pikiran psikolog dengan
26

menyadari akan kerumitan yang terdapat di dalamnya.
Bloomfield mengatakan bahwa makna suatu bentuk
linguistik adalah situasi yang ada dalam diri si pembicara
dan tanggapan yang timbul dari si pendengar (Alston,
1964: 26).
Inti pemikiran teori tingkah laku ini terletak pada
situasi pengucapan yang dilakukan si pembicara
sehingga menimbulkan tanggapan dari si pendengar.
Beberapa contoh yang diucapkan si pembicara yang
diharapkan menimbulkan tanggapan (baik langsung
maupun tidak) kepada pendengar antara lain:
a. ―Tolong ambilkan saya kunci di atas meja itu!‖
b.―Dapatkah anda mengecilkan suara musik itu,
karena suaranya sangat mengganggu konsentrasi
belajar saya?‖
c. ―Silahkan keluar dari raungan ini, jika anda tidak
setuju dengan keputusan saya!‖
Ketiga ungkapan di atas mengandaikan ada situasi
tertentu yang berlaku antara si penyampai dan si
pendengar. Ungkapan pertama mengandaikan adanya
situasi yang lebih akrab, sehingga si pembicara
mengajukan permohonan atau meminta tolong kepada si
27

pendengar. Ungkapan kedua mengandaikan situasi yang
menunjukkan adanya gangguan suara (misalnya: musik)
yang menyulitkan si pembicara dalam konsentrasi
belajar, sehingga meminta toleransi kepada si pendengar
(dalam hal ini orang yang menyetel radio). Ungkapan
ketiga mengandaikan adanya situasi perbedaan pendapat
dalam

pengambilan

keputusan,

sehingga

pihak

pengambil keputusan mengusir pihak yang tidak setuju
dengan pendapatnya. Ketiga situasi yang berbeda
dilontarkan dengan ungkapan yang berbeda pula,
sehingga tanggapan yang diharapkan juga berbeda.
Kendatipun demikian teori tingkah laku ini beranggapan
bahwa tanggapan (response) yang diharapkan itu benarbenar terjadi. Meskipun hal itu belum tentu terjadi dalam
kenyataan, misalnya dalam ungkapan pertama yang
terkait dengan permohonan tolong, namun belum pasti si
pendengar akan memenuhi permintaan si pembicara
dengan berbagai alasan seperti: memang tidak kunci di
atas meja tempat pembicaraan atau si pendengar tidak
mau mengambilkan kunci karena si pendengar sendiri
sedang sibuk atau memang enggan untuk menuruti
permintaan itu. Alston menyebutkan adanya tiga alasan
28

mengapa teori tingkah laku itu tidak dapat berlangsung
sebagaimana mestinya. Pertama, ada keseragaman yang
sama untuk beberapa kalimat yang berbeda dengan
makna yang berbeda. Kedua, melalui kalimat deklaratif
yang harus melakukan suatu bentuk peristiwa yang jauh
dari situasi pengucapan, sehingga ada tekanan yang kuat
untuk menemukan beberapa bentuk situasi umum.
Misalnya: ―Mozart mengarang lagu pada usia 25 tahun‖.
Situasi pengucapan itu terjadi sekitar tahun 1781, karena
Mozart lahir pada tahun 1766. Dengan demikian
keseragaman situasi tidak mencukupi secara radikal
untuk membedakan beberapa pernyataan dari pernyataan
lainnya dengan makna yang berbeda. Ketiga, dalam
semua kasus akan timbul kesulitan besar untuk
menemukan bentuk umum yang melahirkan tanggapan
yang jelas pada pengucapan kalimat yang dibuat.
Contoh: ―silahkan masuk!‖ merupakan sebuah ungkapan
yang jelas, tetapi tanggapan yang timbul bisa berbedabeda, karena orang yang mendengar pernyataan itu
punya alasan yang berbeda untuk tidak masuk ke dalam
seperti yang dikehendaki oleh si penutur. Misalnya:

29

karena orang yang mendengar tidak ingin bertemu
dengan si penyapa.
Teori tingkah laku didasarkan atas asumsi bahwa
setiap ungkapan yang dilontarkan dalam situasi umum
akan menghasilkan tanggapan yang sama.

3. Teori Acuan (Referential Theory)
Teori acuan didasarkan pada suatu asumsi bahwa
setiap

ungkapan

bahasa

yang

dipergunakan

itu

membicarakan atau mengacu pada sesuatu. Teori acuan
merupakan jawaban pertama atas pertanyaan tentang
makna kata atau ungkapan. Makna kata atau ungkapan
menurut teori acuan, dianggap identik dengan objek
yang menjadi acuan kata atau ungkapan tersebut. Contoh
yang paling banyak dijumpai ialah nama diri (proper
names) yang langsung menunjuk satua ekstralinguistik
yang sekaligus menjadi makna nama tersebut.Teori
acuan dalam perkembangan selanjutnya beranggapan
bahwa makna suatu kata atau ungkapan identik dengan
relasi antara kata dan acuannya (Toeti Heraty, 1984: 76).
Senada

dengan

pernyataan

di

atas,

maka

Judowibowo juga menengarai bahwa ada dua versi
30

dalam teori acuan, yang pertama menyatakan bahwa arti
sebuah kata atau ungkapan adalah sesuatu yang
diacunya. Versi kedua teori acuan menyatakan bahwa
arti sebuah kata atau ungkapan dan acuan adalah
hubungan antara acuan dengan ungkapan atau kata
(Judowibowo, TT: 15). Teori acuan versi kedua lebih
luas pengertiannya daripada versi pertama yang hanya
menempatkan arti pada sesuatu yang diacu, karena relasi
atau hubungan

antara acuan dengan ungkapan

mengandaikan lingkup yang lebih luas.
Gottlob Frege menyatakan bahwa ada relasi antara
pengertian

(Sinn)

dan

acuan

(Bedeutung).

Frege

mempersoalkan bagaimana terbentuknya relasi antara
objek atau relasi antara nama-nama atau tanda-tanda
objek. Frege menyatakan bahwa sebuah relasi akan
mengungkapkan sesuatu pada dirinya sendiri, dan tentu
saja setiap sesuatu itu berdiri pada dirinya sendiri, bukan
pada sesuatu yang lain. Apabila seseorang mengatakan
bahwa a = b, maka itu berarti nama atau tanda a dan b
dimaksudkan sebagai sesuatu yang sama, sehingga relasi
antara tanda-tanda tersebut harus dijelaskan. Dalam hal
ini relasi antara nama-nama atau tanda-tanda hanya
31

sejauh mereka dinamakan atau ditandakan sesuatu,
namun pemberian nama itu sendiri bersifat arbitrer.
Frege menegaskan bahwa tanda dan nama dipahami
sebagai bentuk penunjukkan nama diri (proper names).
Pengertian dari sebuah nama diri dimunculkan setiap
orang yang sudah cukup akrab dengan bahasa yang
dipergunakannya. Acuan sebuah nama diri adalah objek
itu sendiri yang ditunjuk melalui artinya, gagasan yang
dimiliki dalam hal ini cenderung bersifat subjektif.
Misalnya seseorang mengamati bulan menggunakan
teleskop, ia membandingkan bulan itu sendiri pada
acuannya, maka bulan itu adalah objek yang diamati,
yang diperantarai oleh objek kaca pembesar
merupakan alat kelengkapan

yang

teleskop, dan melalui

retina mata si pengamat. Citra optik dalam teleskop
terletak di satu sisi dan tergantung pada sudut
pengamatan. Apabila pengamatan itu dilakukan oleh
beberapa pengamat, maka hal itu akan menjadi lebih
objektif (Frege, 2008: 113-115).
Acuan (Bedeutung) menurut Toety Herati (1984:
75-76), tidak dapat dipertahankan sebagai satu-satunya
penjelasan tentang makna, karena dalam kenyataan
32

berbahasa satu acuan dapat disebutkan dengan kata atau
ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya: ―isteri abang
saya‖ dan ―kakak ipar saya‖. Demikian pula halnya
dengan kata-kata deiktik seperti: ―aku‖, ―kini‖, ―tadi‖,
―nanti‖, ―di sini‖ adalah kata yang dalam struktur bahasa
menunjuk pada tempat dan situasi tuturan. Kata-kata
deiktik itu menurut Toety Herati menunjukkan koordinat
ruang dan waktu (spasiotemporal), yakni saat dan tempat
kata-kata itu diucapkan (Toety Herati,1984: 75-76).
Ullmann mengemukakan konsep teori acuan
(Referensial) berdasarkan model segitiga dasar yang
diajukan Ogden dan Richards bahwa ada relasi anatara
pikiran sebagai referensi dengan lambang dan acuan itu
sendiri (Ullmann, 2009: 66).
Meskipun tidak ada satu teori arti yang cukup
memuaskan untuk memahami secara tuntas masalah arti,
namun ketiga teori arti di atas memberi gambaran
tentang cara para ahli untuk mengungkap asal muasal
makna dari suatu ungkapan. Penelusuran alur pemikiran
para filsuf analitis tentang berbagai persoalan yang
terkait dengan upaya untuk menjernihkan persoalan
bahasa dalam dunia filsafat pada khususnya, dan bidang33

bidang studi lainnya pada umumnya, kiranya perlu
dilakukan.

B. Makna dalam Semiotika
Semiotika merupakan sebuah kajian ilmiah yang
mendapat perhatian serius dari banyak peminat budaya
dan filsafat dewasa ini. Semiotika bersumber dari bahasa
Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Gorny dalam
sebuah artikel ilmiah, mendefinisikan semiotika sebagai
sebuah ilmu tentang tanda dan atau sistem tanda. Dalam
definisi tersebut ada dua asumsi, yaitu tanda, dan sesuatu
yang diketahui tentang tanda itu. Dalam penjelasannya
Gorny menggambarkan pemikiran St. Augustine yang
menyadari sulitnya membedakan sesuatu dari tanda.
Oleh karena itu menurut Augustine, seseorang harus
mampu mengetahui sesuatu dan membicarakan tentang
sesuatu hanya dengan bantuan tanda, yakni melalui
penempatan kembali sesuatu dengan tanda-tandanya.
Selanjutnya oleh Peirce, seorang pelopor semiotika
modern, hal tersebut dinamakannya dengan terminologi
fixed

idea,

gagasan

yang

pasti.

34

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:
h.1).
Ada pula yang mendefinisikan semiotika sebagai
bentuk penerapan metode linguistik atas objek selain
bahasa alami, artinya semiotika terkait dengan bahasa
dalam pengertian artifisial. Dengan demikian semiotika
adalah

suatu

cara

pandang

atas

segala

sesuatu

sebagaimana hal tersebut dibentuk dan berfungsi sesuai
dengan bahasa. Semiotika mencakup segala hal yang
dapat digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem
kekeluargaan, permainan kartu, bahasa isyarat, ekspresi
wajah, seni memasak, ritual agama, dan lain-lain.
(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:
h.2).
Chandler memberikan julukan khusus kepada
manusia sebagai homo significans, artinya manusia
adalah mahluk pembuat tanda dan selalu terkait dengan
pemahaman makna tanda. Manusia menyadari bahwa
kehidupan di sekitarnya dipenuhi dengan berbagai
macam tanda, baik yang dapat ditafsir langsung maupun
yang membutuhkan pemahaman secara lebih mendalam.
35

Tanda selalu melibatkan aktivitas mental dan pikiran
manusia, sehingga

pemikiran

manusia mengalami

pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan
kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan
memaknai

tanda.

(Chandler,

http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02.ht
m1, page 1).
Tanda itu sendiri dapat mengambil berbagai bentuk
dalam kata, suara, bau, rasa, tindakan, atau objek.
Namun bukan berarti setiap tanda mengandung makna
secara intrinsik, ia mengandung makna manakala kita
menanamkan itu ke dalamnya. Segala sesuatu dapat
menjadi sebuah tanda sepanjang seseorang menafsirkan
itu sebagai bermakna, mengacu atau menggantikan
sesuatu yang lain. Manusia hanya berpikir dalam tanda,
ujar Peirce dalam Elements of Logic (1998: 169).
Namun penafsiran makna suatu tanda terkait dengan
sistem konvensi yang dikenal luas, hal ini dikenal
dengan istilah simbol..
Van Zoest mengajukan dua pengertian tentang
semiotika, yaitu pengertian sederhana dan pengertian

36

yang luas. Semiotika dalam pengertian yang sederhana
adalah studi penggunaan dan proses tanda (Zoest, 1991:
54). Semiotika dalam pengertian yang lebih luas adalah
studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda; cara berfungsi tanda, hubungannya dengan
tanda-tanda yang lain, pengiriman dan penerimaan oleh
mereka yang menggunakan tanda (van Zoest, 1992: 5).
John Locke mengungkapkan pemikiran tentang
tanda ke dalam filsafat melalui karyanya Essay
Concerning Human Understanding. Ia menjelaskan
bahwa bentuk wicara bahasa yang kabur dan tidak
berarti, dan penyalahgunaan bahasa merupakan hal yang
bersifat misteri bagi ilmu, sehingga kata-kata menjadi
sukar dipahami dan

diterapkan. Ada kata-kata yang

sedikit mengandung makna, namun ada pula kata-kata
yang tidak mengandung makna apa pun. Setiap kata
dapat dipelajari dan dipahami secara keliru, sehingga
menimbulkan spekulasi yang tinggi, menurut Locke
memang tidak mudah untuk meyakinkan bagi seseorang
yang mengatakan atau yang mendengarkan, bahwa
sesungguhnya mereka menutupi ketidaktahuan dan hal
ini jelas merupakan rintangan untuk mendapatkan
37

pengetahuan yang benar (Locke, 1910: 8-9). Tuhan
menurut Locke dalam sebuah artikelnya yang berjudul
Meaning and Reference, merancang manusia untuk
menjadi mahluk sosial yang mampu mencipta bahasa.
Kemampuan bahasa terlihat dalam kemampuan berbagai
organ yang dapat mengartikulasikan suara, yang
dinamakan kata (Locke, 1965: 53). Salah satu butir
penting dalam sumbangsih Locke terhadap pemikiran
tentang tanda adalah penegasannya tentang perlunya ide
yang jelas dan terpilah (clear and distinct) dalam
pemikiran dan pernyataan setiap orang, meskipun ia
menyadari

bahwa

mengungkapkan

tidak

setiap

pengertian

orang

secara

dapat

sempurna.

Pemahaman atas sesuatu hal dalam pikiran seseorang
menurut Locke, sangat ditentukan dari apa yang
seseorang lihat dan persepsi, ini yang dinamakannya
sebagai

bentuk

gagasan

yang

sudah

ditentukan

(determined idea), yakni di saat gagasan itu secara
objektif ada dalam pikiran seseorang setiap saat, dan
kemudian digabungkan pada nama atau suara yang
diartikulasikan. Gagasan yang sudah diwujudkan ke
dalam bentuk kata atau suara, menurut Locke merupakan
38

tanda (sign) yang terus menerus hadir dalam pikiran
seseorang untuk mewakili objek yang sama (Locke,
1910: 12).
Eugene Gorny dalam artikelnya yang berjudul
What

is

Semiotics?

(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:
hal. 2-3) mengajukan tiga definisi mengenai semiotika.
Pertama, semiotika adalah sebuah ilmu tentang tanda
dan atau sistem tanda. Dalam definisi ini Gorny
menjelaskan bahwa seseorang mampu mengetahui dan
membicarakan tentang sesuatu hanya dengan bantuan
tanda, yaitu melalui penempatan kembali sesuatu objek
dengan tandanya. Oleh karena itu Gorny menegaskan
semiotika

adalah

sebuah

sarana

yang

mempertimbangkan sesuatu sebagai tanda dan sistem
tanda. Kedua; semiotika adalah sebuah penerapan
metode linguistik pada objek selain bahasa alami. Disini
semiotika merupakan suatu cara pandang atas sesuatu
sebagaimana halnya fungsi bahasa. Segala sesuatu dapat
digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem kekerabatan,
permainan kartu, gerak tubuh dan ekspresi wajah, seni
kuliner,

ritual

keagamaan.

Lebih

lanjut

Gorny
39

menyatakan bahwa semiotika adalah sebuah transfer dari
bahasa metafor ke dalam fenomena yang non-linguistik.
Ketiga;

semiotika

sebagai

suatu

ilmu

yang

dilembagakan oleh para semiotikawan. Tanda orientasi
semiotika

sebagai

penggunaan

karya

terminologi

yang

diterima

semiotika

adalah

konvensional

(seperti: sign, code, signification, semiosis, etc) bersama
dengan acuan pada karya semiotika lainnya. Dengan
demikian definisi semiotika yang ketiga ini adalah
semiotika sebagaimana yang dimaksudkan oleh para
semiotikawan.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang
tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda
merupakan sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu
yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang
dapat diamati dapat disebut tanda, karena itu tanda tidak
hanya terbatas pada benda, namun bisa berupa peristiwa.
Sebagai contoh: sebuah bendera kecil, sebuah isyarat
tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan
makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf,
peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu,
letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga,
40

rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat,
berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk
bersudut

tajam,

kekhawatiran,

kecepatan,

kelengahan

kesabaran,

semuanya

itu

kegilaan,
dianggap

sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Jack Solomon dalam bukunya The Signs of Our
Time menjelaskan bahwa semiotika merupakan ilmu
tentang tanda yang erat kaitannya dengan kehidupan
budaya dan ditentukan oleh enam prinsip sebagai
berikut. Pertama; semiotika selalu mempertanyakan
pandangan umum hal-hal tertentu, karena pandangan
tersebut merupakan ―pandangan komunal‖. Kedua;
semiotika merupakan pandangan orang awam yang
biasanya dimotivasi oleh ketertarikan kultural yang
mempengaruhi kesadaran yang terkait dengan alasan
ideologis. Ketiga; semiotika merupakan sebuah sikap
budaya

yang

cenderung

untuk

menyembunyikan

ideologinya di belakang perlindungan alam, memberikan
keyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah biasa dan
alamiah serta mengutuk praktik kebudayaan yang
berseberangan
Keempat;

sebagai

semiotika

hal

yang

merupakan

tidak

alamiah.

sebuah

cara
41

mengevaluasi

sistem

dalam

praktik

kebudayaan,

seseorang harus memiliki latar belakang ketertarikan.
Kelima; Semiotika merupakan sebuah kerangka mitis,
artinya manusia tidak memersepsikan dunianya secara
langsung, namun melihatnya lewat saringan berupa
mode semiotik atau kerangka mitis. Keenam; semiotika
merupakan

sebuah

barometer

kebudayaan

yang

menandakan adanya pergerakan dinamis dari sejarah
sosial (Solomon, 1988: 10).
Deborah

L.Smith-Shank

pendekatan

semiotika

dalam

menyatakan

bahwa

semiotika

pendekatan

yang

memahami

yang

menerapkan

bidang

pendidikan

merupakan

sebuah

kodrat

makna,

pengetahuan, budaya, bahkan kehidupan (termasuk
manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam). Oleh
karena itu semiotika dapat dipergunakan pula sebagai
pendekatan terhadap landasan filsofis pendidikan.
Sebuah tanda, lanjut Deborah, dapat bersifat verbal,
visual, isyarat, musik, dan lain-lain. Sebuah tanda
menggantikan sesuatu yang dinamakan objek melalui
penciptaan interpretan yang merupakan sebuah tanda
ekstra (tambahan) yang menggantikan beberapa aspek
42

objek. Interpretan itu boleh jadi sebuah pemikiran atau
notasi yang menghadirkan kembali suatu objek, tetapi
interpretan bukan merupakan objek itu sendiri. Lebih
lanjut Deborah menegaskan pemikiran salah seorang
tokoh semiotika, yakni Peirce tentang tanda dalam
pengalaman manusia di dunia ini selalu diperantarai
melalui tanda, sehingga seseorang
mengetahui

objek

secara

penuh

tidak pernah
dan

langsung.

Seseorang hanya dapat mengetahui objek secara parsial,
hanya melalui penafsiran atas tanda-tanda dari objek
yang memberikan kepadanya pandangan sekilas pada
beberapa hal atau kapasitas objek (Deborah, 2005: 225226).
Semiotika sebagai teori tentang tanda sangat
terkait dengan interpretasi dan klasifikasi. Interpretasi
diperlukan dalam kaitannya dengan menafsirkan makna
dari

sebuah

tanda.

Klasifikasi

diperlukan

dalam

kaitannya dengan kemampuan untuk memilah-milahkan
dan menempatkan tanda dalam kategori yang tepat.
Sebagai contoh seorang ahli zoologi mengetahui
klasifikasi hewan yang dapat diinterpretasi berdasarkan
bahasa objek (object-language) yang khusus. Misalnya:
43

apabila

seorang

zoologis

membicarakan

tentang

‖mamalia‘, maka kemampuan ahli zoologi tersebut untuk
melakukan klasifikasi kategori atas ‖mamalia‖ menjadi
sangat penting. Misalnya: penelusuran tentang asal mula
seekor anjing mulai dari species, family hingga genus.
(Eco, 1984: 54-55). Semiotika juga dapat dipergunakan
untuk menginterpretasi dan mengklasifikasi perihal
budaya, termasuk wayang. Misalnya interpretasi atas
tokoh-tokoh film sebagai simbol kebaikan dan kejahatan;
simbol kejujuran dan kelicikan; simbol keteguhan
prinsip dan keraguan, dan seterusnya.
Tanda dan logika adalah dua hal yang saling terkait
dalam rangka membentuk penafsiran pemikiran manusia.
Oleh

karena

itu

sebuah

momen

pikiran

akan

memperlihatkan bahwa berbagai fakta yang sudah siap
untuk diasumsikan manakala persoalan logis atau
tidaknya suatu tanda dipertanyakan. Dengan demikian
setiap bentuk transformasi pikiran dari sangsi menjadi
percaya merupakan hal yang mungkin terjadi. Subjek
dalam transformasi terarah pada beberapa aturan yang
mengikat seluruh pikiran seseorang. Objek penalaran itu
ditemukan berdasarkan pertimbangan dari sesuatu yang
44

sudah siap untuk diketahui, bukan dari sesuatu yang
tidak diketahui. Konsekuensinya, sebuah penalaran
dianggap

baik

manakala

menghasilkan

sebuah

kesimpulan yang benar dari premis-premis yang benar
pula. Dengan demikian persoalan validitas murni bertitik
tolak dari fakta, bukan pemikiran, dan fakta itu dibentuk
dan disusun dalam premis (Buchler, 1955:7-9). Relasi
timbal balik antara logika dan tanda identik dengan relasi
antara premis atau pernyataan dengan fakta, karena
premis

atau

pernyataan merepresentasikan

logika,

sedangkan fakta merepresentasikan tanda.
Namun untuk mendapatkan artikulasi tanda yang
tepat dibutuhkan kejernihan pikiran, sehingga hal
pertama yang penting diketahui adalah bahwasanya
logika mengajarkan kepada seseorang bagaimana cara
membuat gagasan atau pikiran dalam diri seseorang
sehingga menjadi terang atau jernih. Seseorang yang
mengetahui dengan baik apa yang dipikirkannya berarti
ia memiliki pemahaman tentang makna, hal tersebut
memberikan dasar yang kuat bagi pikiran yang baik
(Buchler, 1955: 25).

45

BAB III

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PARA
FILSUF ANALITIS

Sebagaimana

yang

diungkapkan

di

atas

bahwasanya pemikiran dalam filsafat analitis dapat
dibagi ke dalam lima tahap perkembangan dengan corak
yang khas, yaitu tahap perintis dengan tokoh utama
Moore; tahap Atomisme Logis dengan tokoh utama
Russell dan Wittgenstein periode Tractatus; tahap
Positivisme Logis dengan tokoh utama A.J.Ayer; tahap
Filsafat Bahasa Biasa dengan tokoh utama Wittgenstein
periode Philosophical Investigations, dan tahap aplikatif
dengan tokoh utama J.F.Lyotard. Pengkajian atas
pemikiran dalam filsafat analitis akan difokuskan pada
pemikiran para filsuf tersebut di atas.
A. G.E. Moore (1873 – 1958)
George Edward Moore termasuk salah satu filsuf
Inggris yang paling gigih menentang pandangan
neohegelianisme yang berk