PERAN KECENDERUNGAN NEOPHILIA DAN PENDAP

PERAN KECENDERUNGAN NEOPHILIA DAN PENDAPATAN PRIBADI TERHADAP PERILAKU IMPULSE BUYING PEMBELIAN SMARTPHONE PADA KONSUMEN USIA PRODUKTIF

Ayun Ngainurrohmah Universitas Brawijaya Malang [email protected]

ABSTRACT

This research was aimed to understand the role of neophilia and personal income, both simultaneously and partially, to impulse buying behavior for smartphone on productive aged consumers. The sample of this research were 125 bank employees who work in several major banks Malang branch offices. Sampling technique that was used is purposive sampling. Neophilia and impulse buying tendency were measured with Likert-like scale which was a result of transadaptation and modification of previous researches. Meanwhile, variable of personal income was gathered from the subject’s information. The data analysis was using multiple regression method with F test (for simultaneous hypotesis testing) and T test (for partial hypotesis). The result showed that neophilia tendency and personal income simultaneously have significant effect on impulse buying behavior for smartphone. However, personal income did not have effect on impulse buying behavior for smartphone, while neophilia tendency did partially.

Keyword : neophilia, personal income, impulse buying, smartphone

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan neophilia dan pendapatan pribadi baik secara simultan maupun parsial terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone pada konsumen usia produktif. Sampel dalam penelitian ini adalah pegawai bank yang berada di Kantor Cabang Kota Malang sejumlah 125 orang. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah purposive sampling. Variabel neophilia dan impulse buying tendency scale diukur menggunakan skala Likert yang merupakan hasil transadaptasi dan modifikasi dari penelitian sebelumnya. Sedangkan variabel pendapatan pribadi diukur melalui data demografis berbentuk rentangan. Analisis yang digunakan adalah uji regresi berganda dengan menggunakan uji F (untuk uji hipotesis secara simultan) dan uji T (untuk uji hipotesis secara parsial). Hasilnya, kecenderungan neophilia dan pendapatan secara simultan berpengaruh terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone pada konsumen usia produktif. Selain itu, kecenderungan neophilia secara parsial berpengaruh terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone. Akan tetapi, pendapatan pribadi jika berdiri sendiri tidak memiliki pengaruh apapun terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone ini.

Kata Kunci : neophilia, pendapatan pribadi, impulse buying, smartphone

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Saat ini, budaya konsumerisme telah menjadi gaya hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Biasanya banyaknya produk yang muncul dikarenakan adanya permintaan pasar, dengan banyaknya produk yang beredar di pasar saat ini nampaknya tidak harus menunggu adanya permintaan. Produsenlah yang secara aktif menarik minat konsumen dan memberikan informasi terkait produknya melalui berbagai informasi. Salah satu informasi tersebut adalah iklan. Saat ini, produsen sudah semakin kreatif dalam menyampaikan informasi produknya melalui iklan. Iklan mampu menarik konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Saat ini banyak media yang digunakan oleh produsen untuk mempromosikan produknya. Banyaknya media yang digunakan untuk mempromosikan sebuah produk dan intensitasnya yang cukup tinggi terbukti mampu meningkatkan konsumsi para konsumen terhadap produk yang diiklankan. Hal ini karena, pada dasarnya sebuah promosi melalui iklan dapat meningkatkan konsumsi seseorang terhadap suatu barang. Banyaknya informasi produk yang diterima melalui iklan oleh konsumen menjadikan konsumen mengetahui berbagai jenis barang termasuk barang-barang yang kurang terlalu dibutuhkan. Hal ini kemudian memungkinkan individu tertarik untuk membeli dan memunculkan perilaku konsumsi terhadap barang-barang tersebut. Ketika intensitas dalam pemberian informasinya terlalu tinggi, maka perilaku konsumsi dapat mengarah ke perilaku konsumtif.

Perilaku konsumtif menurut Anggasari (1997) merupakan suatu tindakan membeli barang-barang yang kurang atau tidak diperlukan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Artinya, seseorang menjadi lebih mementingkan faktor keinginan (want) daripada kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata. Perilaku konsumtif sangat erat kaitannya dengan perilaku impulse buying yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, para konsumen melakukan pembelian secara impulsif (terus-menerus) tanpa adanya pertimbangan yang matang. Engel dan Blakcwell (1995) mendefinisikan impulse buying atau yang sering disamaartikan dengan unplanned buying sebagai suatu tindakan pembelian yang dibuat tanpa direncanakan terlebih dahulu sebelumnya atau keputusan pembelian dilakukan pada saat berada di dalam toko. Impulse buying merupakan suatu reaksi yang cepat dan spontan dalam melakukan suatu kegiatan pembelian terhadap produk tertentu saat masuk ke dalam toko.

Pada dasarnya, setiap perilaku memiliki alasan-alasan yang mendasari terbentuknya perilaku tersebut. Perilaku merupakan aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respon serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Sunaryo, 2004). Selain itu Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 1993). Menurut Notoatmodjo (1993) faktor-faktor yang berperan dalam pembentukan perilaku dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar individu yang meliputi objek, orang, kelompok, dan hasil-hasil kebudayaan yang disajikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Sedangkan faktor internal merupakan faktor yang berada dalam diri individu itu sendiri yaitu berupa kepribadian, kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi dan sebagainya untuk mengolah pengaruh- pengaruh dari luar.

Pada penelitian ini, peneliti mengkaji keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dengan perilaku impulse buying. Salah satu faktor yang menjadi bagian dalam faktor internal terbentuknya perilaku impulse buying adalah kepribadian atau personal traits. Baru-baru ini, Pada penelitian ini, peneliti mengkaji keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dengan perilaku impulse buying. Salah satu faktor yang menjadi bagian dalam faktor internal terbentuknya perilaku impulse buying adalah kepribadian atau personal traits. Baru-baru ini,

stres. Hawkins, et.al (1980), juga mendefinisikan novelty seeking sebagai rasa ingin tahu seseorang untuk mencari variasi dan perbedaan. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan sifat novelty seeking memiliki kecenderungan untuk mencintai hal-hal yang baru. Orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap hal-hal baru inilah yang disebut sebagai neophilia atau neophiliacs (Janda, 2001).

Seseorang dengan kepribadian neophilia (Janda, 2001) memiliki kecenderungan untuk bahagia karena mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang dinamis dan terus menghadirkan kebaruan. Selain itu, para neophiliacs cenderung selalu menginginkan pengalaman yang baru dalam hidupnya karena mereka cenderung mudah bosan dengan apa yang dialami atau dimilikinya saat ini. Terdapat beberapa faktor yang mengindikasikan seseorang dianggap memiliki kecenderungan neophilia atau tidak. Faktor-faktor tersebut meliputi penerimaan terhadap perubahan sosial, nostalgia, kebiasaan yang unik, adanya perubahan secara personal, keberanian untuk mengambil resiko, dan meremehkan sesuatu yang bersifat normatif. Kriteria-kriteria inilah yang menjadi dasar pengukuran terhadap individu apakah individu tersebut memiliki kecenderungan neophilia atau tidak.

Penelitian ini secara khusus membahas tentang perilaku impulse buying terhadap pembelian produk smartphone atau telepon seluler pintar dengan mencari hubungan serta kontribusi kecenderungan neophilia terhadap perilaku tersebut. Hal ini karena perkembangan smartphone saat ini sangat pesat. Smartphone tengah menjadi perbincangan masyarakat luas dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Zheng dan Ni (2006) mendefinisikan smartphone sebagai sebuah kelas baru pada teknologi telepon seluler yang mampu memfasilitasi akses data dan pemrosesan informasi dengan kemampuan komputasi secara signifikan. Berbagai fungsi, fitur, dan tampilan yang ditawarkan setiap produsen smartphone menjadikan harga yang ditentukan untuk setiap jenis produk sangat bervariasi. Mulai dari ratusan ribu sampai bahkan ratusan juta rupiah. Semakin canggih dan semakin lengkap fitur dan kemudahan yang ditawarkan akan semakin tinggi pula harganya. Rentang harga yang ditentukan pada sebuah produk smartphone cenderung lebih tinggi dari pada rentang harga sebuah produk rumah tangga atau makanan di swalayan. Oleh karena itu, tingkatan harga sebuah smartphone menjadi suatu pertimbangan khusus dalam proses pembelian smartphone. Dalam hal ini, harga sangat tergantung pada kondisi keuangan masing-masing konsumen. Kondisi keuangan juga bergantung pada seberapa besar pendapatan yang diterima oleh masing-masing individu. Sehingga peneliti mempertimbangkan variabel pendapatan pribadi (personal income) sebagai faktor eksternal yang berhubungan langsung dengan kemampuan membayar atau membeli suatu barang sebagai salah satu variabel yang berperan dalam membentuk perilaku impulse buying.

Pendapatan pribadi yang identik dengan pengasilan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (2008) didefiniskan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh individu, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan individu yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Pendapatan pribadi dalam hal ini merupakan salah satu variabel demografi dalam perilaku impulse buying. Variabel ini sekaligus berperan sebagai salah satu faktor eksternal yang turut berkontribusi dalam perilaku impulse buying. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti melakukan sebuah penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Kecenderungan Neophilia dan Pendapatan pribadi Terhadap Perilaku Impulse Buying Pembelian Smartphone Pada Konsumen Usia Produktif”.

Hipotesis

1. H a1 : Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

H 01 : Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

2. H a2 : Kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

H 02 : Kecenderungan neophilia secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

3. H a3 : Pendapatan pribadi secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

H 03 : Pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

TINJAUAN PUSTAKA Neophilia

Neophilia berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri atas dua kata yaitu neo (baru) dan philia (cinta). Secara harfiah, neophilia dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap hal baru (Gibbin, 2001). Bentuk perilakunya yakni novelty seeking merupakan aspek dari inovasi yang berhubungan dengan keinginan seseorang untuk mencari tahu stimuli baru yang ada (Hirschman, 1980). Sehingga, novelty seeking dapat dikatakan sebagai aktualisasi dari neophilia. Secara logika, seseorang yang memiliki kecintaan terhadap sesuatu hal, maka ia akan cenderung berusaha mencari hal tersebut untuk mendapatkannya. Demikian juga dengan orang yang memiliki kecintaan terhadap hal baru (neophilia). Baik secara sengaja ataupun tidak, mereka juga akan memiliki kecenderungan untuk mencari hal-hal baru tersebut. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi kepuasannya sebagai bentuk aktualisasi id yang bersifat irasional (Calvin, 1995). Perilaku di mana seseorang terus menerus berusaha mencari hal-hal baru dalam hidupnya yang disebut sebagai novelty seeking.

Reios dan Choi (2004) yang meneliti tentang novelty seeking, menjelaskan bahwa novelty seeking berhubungan dengan sebuah pengalaman baru di mana tingkat kebaruan menjadi fungsi ketidaksesuaian antara pengalaman masa lalu dengan masa kini. Orang- Reios dan Choi (2004) yang meneliti tentang novelty seeking, menjelaskan bahwa novelty seeking berhubungan dengan sebuah pengalaman baru di mana tingkat kebaruan menjadi fungsi ketidaksesuaian antara pengalaman masa lalu dengan masa kini. Orang-

Pendapatan Pribadi Samuelson dan Nordhaus (1996) menyatakan bahwa pendapatan adalah total uang

yang diterima atau terkumpul dalam satu periode tertentu. Menurut Sukirno (2006) pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diterima oleh penduduk atas prestasi kerjanya selama satu periode tertentu, baik harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Rahardja dan Manurung (2000), pendapatan adalah total penerimaan (uang dan bukan uang) seseorang atau suatu rumah tangga selama periode tertentu. Menurutnya juga, pendapatan uang (money income) adalah sejumlah uang yang diterima pada periode tertentu sebagai balas jasa atas faktor produksi yang diberikan.

Pendapatan pribadi atau pendapatan individu (Gardner, 1973) didefinisikan sebagai jumlah penghasilan yang diperoleh dari jasa-jasa produksi yang diserahkannya pada suatu waktu tertentu atau yang diperolehnya dari harta kekayaannya, dan pendapatan nasional tidak lebih dari penjumlahan semua pendapatan individu. Menurut Rahardja dan Manurung (2001), pendapatan pribadi adalah bagian pendapatan nasional yang merupakan hak individu-individu dalam perekonomian, sebagai balas jasa keikutsertaan mereka dalam proses produksi. Selain itu, pendapatan perseorangan (personal income) juga dapat diartikan sebagai jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun.Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapatan pribadi mengacu pada total penerimaan yang diterima oleh setiap penduduk atau personal individu sebagai balas jasa atas keikutsertaannya dalam suatu proses produksi tertentu baik secara aktif maupun pasif yang diterima dalam kurun waktu tertentu.

Terdapat dua jenis pendapatan menurut Friedman dalam Putong (2009) mengemukakan dua jenis pendapatan yang dikaitkan dengan pola konsumsi individu. Setiap pendapatan yang diterima oleh individu pada dasarnya berasal dari dua jenis pendapatan ini. Pertama pendapatan permanen adalah adalah pendapatan jangka panjang atau pendapatan rata-rata. Sementara itu, Mankiw (2007) mengartikan pendapatan permanen adalah bagian pendapatan yang diharapkan untuk terus bertahan di masa depan. Jadi konsumsi yang dilakukan berdasarkan pendapatan permanen cenderung relatif tetap dan dapat dipertahankan sepanjang hidup. Kedua, pendapatan transitoris merupakan pendapatan tidak tetap dan tidak dapat dipastikan jumlahnya di masa yang akan datang. Sementara itu Mankiw (2007) menyatakan bahwa pendapatan transitor merupakan pendapatan yang tidak diharapkan untuk terus bertahan. Hal ini karena sifatnya yang tidak tetap dan tidak dapat dipastikan.

Impulse Buying Pemahaman tentang konsep pembelian impulsif (impulse buying) dan pembelian

tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak dibedakan. Engel dan Blacwell (1982), mendefinisikan unplanned buying sebagai suatu tindakan pembelian tidak direncanakan (unplanned buying) oleh beberapa peneliti tidak dibedakan. Engel dan Blacwell (1982), mendefinisikan unplanned buying sebagai suatu tindakan pembelian

Kecenderungan impulse buying meliputi dua aspek yaitu aspek kognitif dan afektif. Aspek kognitif, berkaitan dengan adanya kekurangan atau bahkan tidak adanya perencanaan dan pertimbangan dalam pembuatan keputusan untuk membeli. Sedangkan aspek afektif, berkaitan dengan kesenangan dan ketertarikan untuk membeli, adanya dorongan untuk membeli, sulit untuk meninggalkan barang yang akan dibeli, dan terkadang timbul penyesalan setelah membeli suatu barang. Sementara itu, Loundon dan Britta (1993) mengemukakan karakteristik produk yang mempengaruhi perilaku impulse buying diataranya memiliki harga yang rendah, adanya sedikit kebutuhan pada produk tersebut, siklus kehidupan produknya pendek, ukuran kecil atau ringan, dan mudah disimpan.

Smartphone Produk-produk mobile phone, smartphone, dan PDA phone memberi keunggulan

masing-masing dan memiliki karakter unik yang berbeda jika dibandingkan produk komunikasi lainnya. Mobile phone yang dikenal dengan ponsel adalah alat komunikasi yang terkoneksi jaringan komunikasi wireless melalui gelombang radio atau transmisi satelit. Kebanyakan mobile phone menyediakan komunikasi suara, SMS atau short message service, MMS atau multimedia message service, dan belakangan ini, ponsel tersebut juga telah didukung dengan layanan internet, seperti browsing dan e-mail. PDA (Personal Digital Assistant) yaitu suatu perangkat telepon kecil yang mampu mengombinasikan fitur seperti fungsi komputer, telepon, faksimile, internet dan jaringan. Peranti ini biasanya memiliki pena yang dinamakan ‘stylus’ sebagai pengganti keyboard untuk memasukkan data. PDA kini tampil dengan stylus dan keyboard untuk mempermudah penggunaan (Koran Jakarta, 2009).

Smartphone atau ponsel pintar merupakan kombinasi dari PDA dan ponsel, namun lebih berfokus pada bagian ponselnya (Chuzaimah et.al, 2010). Smartphone (Zaki, 2008) secara harfiah berarti telepon pintar, yakni telepon seluler yang memiliki kemampuan seperti komputer pada umumnya meskipun masih terbatas. Beberapa kemampuan komputer menurut Blissmer (2002) adalah menerima input, memproses input tersebut sesuai dengan programnya, menyimpan perintah-perintah dan hasil dari pengolahan, serta menyediakan output dalam bentuk informasi. Zheng dan Ni (2006) mendefinisikan smartphone sebagai sebuah kelas baru pada teknologi telepon seluler yang mampu memfasilitasi akses data dan pemrosesan informasi dengan kemampuan komputasi secara signifikan. Selain memiliki fungsi tradisional yang terdapat pada telepon selular seperti menelpon dan sms, smartphone dilengkapi dengan manajemen informasi personal (PIM) Smartphone atau ponsel pintar merupakan kombinasi dari PDA dan ponsel, namun lebih berfokus pada bagian ponselnya (Chuzaimah et.al, 2010). Smartphone (Zaki, 2008) secara harfiah berarti telepon pintar, yakni telepon seluler yang memiliki kemampuan seperti komputer pada umumnya meskipun masih terbatas. Beberapa kemampuan komputer menurut Blissmer (2002) adalah menerima input, memproses input tersebut sesuai dengan programnya, menyimpan perintah-perintah dan hasil dari pengolahan, serta menyediakan output dalam bentuk informasi. Zheng dan Ni (2006) mendefinisikan smartphone sebagai sebuah kelas baru pada teknologi telepon seluler yang mampu memfasilitasi akses data dan pemrosesan informasi dengan kemampuan komputasi secara signifikan. Selain memiliki fungsi tradisional yang terdapat pada telepon selular seperti menelpon dan sms, smartphone dilengkapi dengan manajemen informasi personal (PIM)

Terdapat beberapa ciri bagi sebuah telepon seluler agar dapat dikatakan sebagai smartphone. Pertama, sebuah telepon harus memiliki sebuah sistem operasi. Sebagai contoh smartphone BlackBerry menjalankan BlackBerry OS dari RIM (Research In Motion), Galaxy S II menjalankan OS Android dari Google, dan iPhone menjalankan iOS dari Apple. Kedua, memiliki perangkat lunak (software) seperti address book dan contact manager, maka smartphone memiliki software yang bisa melalukan lebih dari apa yang dilakukan sebuah ponsel. Selanjutnya, memiliki web access dan kemudahan akses data. Selain itu, sebuah smartphone biasanya dilengkapi dengan QWERTY keyboard dan perangkat layar sentuh. Ciri yang terakhir sebuah smartphone adalah adanya layanan messaging (layanan pesan) seperti surat elektronik (e-mail), dan instant messaging seperti AOL Instant Messenger (AIM), Yahoo Messenger (YM) juga Google Talk (GTalk).

METODE PENELITIAN Varibel Penelitian

Variabel independen (bebas) yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi. Sedangkan variabel dependen (terikat) adalah perilaku impulse buying

Subjek Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai bank baik konvensional

maupun syariah yang ada di Kota Malang. Sedangkan sampelnya adalah pegawai bank dengan rincian tiga bank konvensional dan satu bank syariah kantor cabang Kota Malang sejumlah 125 orang dengan syarat memiliki pendapatan, memiliki smartphone dan berada pada usia 18-44 tahun.

Alat Ukur

1. The Neophilia Scale (Gibbin, 1989) The neophilia scale (TNS) merupakan suatu instrumen atau skala yang digunakan

untuk mengukur kecenderungan neophilia pada seseorang. Skala ini disusun oleh Ian Walker dan Keith Gibbins pada tahun 1989 dan dipublikasikan melalui jurnal yang berjudul “Expecting the Unexpected: An Explanation of Category Width”. Kemudian pada tahun 2001, skala ini kembali dipublikasikan oleh Louis Janda dalam kumpulan alat tes psikologi “The Psychologist’s Book of Personality Tests”. Saat ini, penggunaan skala ini di Indonesia masih belum ditemukan. Oleh karena itu, untuk dapat menggunakannya di Indonesia, harus dilakukan proses adaptasi dengan teknik yang ilmiah. Skala ini memiliki

6 dimensi utama yang menjadi ciri-ciri kecenderungan neophilia. Keenam dimensi tersebut adalah social change (perubahan sosial), nostalgia (keengganan untuk 6 dimensi utama yang menjadi ciri-ciri kecenderungan neophilia. Keenam dimensi tersebut adalah social change (perubahan sosial), nostalgia (keengganan untuk

2. Pendapatan pribadi Pada dasarnya variabel pendapatan pribadi tidak diukur menggunakan alat ukur

khusus. Informasi ini diperoleh melalui identitas subjek pada kuisioner yang telah disusun sedemikian rupa menjadi satu kesatuan alat ukur. Data ini disajikan dalam rentangan tertentu dan subjek hanya harus memilih salah satu kategori yang sesuai dengan jumlah pendapatan yang diterimanya setiap bulan. Pendapatan ini merupakan gaji bersih pegawai dalam waktu satu bulan.

3. Impulse Buying Tendency Scale (IBTS) – Versi Indonesia (Herabadi, 2003) Impulse buying tendency scale pertama kali dikembangkan oleh Weun, Jones, dan

Beatty (1998) dan dipublikasikan melalui jurnal yang berjudul “The development and validation of the impulse buying tendency scale”. Kemudian, Herabadi (2003) dalam desertasinya melakukan adaptasi impulse buying tendency scale ke dalam bahasa Indonesia. Skala ini terdiri dari 2 dimensi utama yakni kognitif dan afektif. Dimensi kognitif berkaitan dengan adanya kekurangan atau bahkan tidak adanya perencanaan dan pertimbangan dalam pembuatan keputusan untuk membeli. Sementara dimensi afektif berkaitan dengan kesenangan dan ketertarikan untuk membeli, adanya dorongan untuk membeli, sulit untuk meninggalkan barang yang akan dibeli, dan terkadang timbul penyesalan setelah membeli suatu barang.

Metode Analisis Analisis yang dilakukan bertujuan untuk melakukan uji hipotesis. Berdasarkan

desain penelitian dan tujuan yang akan dicapai, peneliti menggunakan analisis regresi berganda dengan Uji F untuk analisis simultan dan Uji T untuk analisis parsial.

HASIL

1. Dengan menggunakan Uji F diketahui nilai F hitung adalah sebesar 3,258. Jika dibandingkan dengan F tabel maka, nilai tersebut tampak lebih besar. Selain itu, Berdasarkan hasil olah data menggunakan SPSS, diketahui pula nilai signifikansinya adalah sebesar 0,42 yang

lebih kecil dari α (0,05). Oleh karena itu, H 01 dapat ditolak dan H a1 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Hal ini berarti, seseorang akan cenderung lebih kecil dari α (0,05). Oleh karena itu, H 01 dapat ditolak dan H a1 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Hal ini berarti, seseorang akan cenderung

γ=1,094+0,643X 1 − 0,011X 2

Keterangan : Y

: Impluse Buying yang telah ditransformasikan X1 : Neophilia yang telah ditransformasikan X2 : Pendapatan pribadi yang telah ditransformasikan

Berdasarkan persamaan di atas, dapat dilihat bahwa tanpa adanya variabel lain yang mempengaruhi, secara keseluruhan subjek penelitian ini memiliki tingkat kecenderungan impulse buying sebesar 1,094. Saat variabel neophilia muncul dan dengan asumsi bahwa variabel yang lain dianggap konstan (nilainya tetap atau sama dengan 0), dapat diprediksikan bahwa setiap kenaikan 1% neophilia akan menaikkan kecenderungan impulse buying sebesar 0,643%.

2. Dengan menggunakan Uji T diketahui nilai t hitung adalah sebesar 2,543. Jika dibandingkan dengan T tabel maka, nilai tersebut tampak lebih besar Ha. Selain itu, Berdasarkan hasil olah data menggunakan SPSS, diketahui pula nilai signifikansinya adalah sebesar 0,012 yang

lebih kecil dari α (0,05). Oleh karena itu, H 02 dapat ditolak dan H a2 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Hal ini berarti, jika seseorang memiliki kecenderungan neophilia, maka sedikit banyak akan memicu timbulnya perilaku impulse buying saat membeli smartphone.

3. Dengan menggunakan Uji T diketahui nilai T hitung adalah sebesar -1,85. Jika dibandingkan dengan T tabel maka, nilai tersebut tampak lebih kecil. Selain itu, Berdasarkan hasil olah data menggunakan SPSS, diketahui pula nilai signifikansinya adalah sebesar 0,854 yang

lebih besar dari α (0,05). Oleh karena itu, H a3 dapat ditolak dan H 03 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Tingkat pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Hal ini menunjukkan bahwa, pendapatan seseorang jika berdiri sendiri tanpa adanya dukungan variabel lain (yang mempengaruhi impulse buying) tidak akan memicu timbulnya perilaku impulse buying dalam membeli smartphone.

PEMBAHASAN

1. Kecenderungan neophilia dan pendapatan pribadi secara bersama-sama (simultan) mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

Hasil uji statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa, neophilia bersama- sama dengan pendapatan turut berpengaruh terhadap perilaku impulse buying dengan R Hasil uji statistik yang telah dilakukan menunjukkan bahwa, neophilia bersama- sama dengan pendapatan turut berpengaruh terhadap perilaku impulse buying dengan R

Adapun faktor-faktor lain yang berpotensi mempengaruhi perilaku impulse buying dengan proporsi sebesar 94,9% tersebut telah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya. Perdani (2011) melalui penelitiannya, menunjukkan bahwa emosi positif, respons lingkungan belanja, interaksi pelanggan dengan pelayan toko, dan hedonic shopping value berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif. Sedangkan Pricilia (2013) melalui penelitiannya juga mengungkapkan bahwa motivasi, persepsi, pembelajaran, dan memori juga mempengaruhi perilaku impulse buying. Beatty dan Ferrell (1998) melalui penelitiannya juga menyatakan bahwa variabel internal seperti kondisi situasional konsumen (ketersediaan waktu dan uang) dan variabel perbedaan individual (kesenangan berbelanja) berpengaruh terhadap kecenderungan seseorang dalam impulse buying. Meskipun berbeda objek penelitian, namun ada kemungkinan bahwa faktor-fator pada ketiga penelitian tersebut turut mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian smartphone pada pegawai bank.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, neophilia bersama-sama dengan pendapatan akan berpengaruh terhadap perilaku impulse buying pembelian smartphone. Pada dasarnya, kecenderungan neophilia ini seringkali diaktualisasikan dalam perilaku novelty seeking (Tierney, 2012). Novelty seeking merupakan aspek dari inovasi yang berhubungan dengan keinginan seseorang untuk mencari tahu stimuli baru yang ada (Hirschman, 1980). Stimuli baru yang dibahas di sini berupa model, fitur, jenis, dan juga hal-hal lain yang melekat pada sebuah smartphone.

Tingkat konsumsi smartphone di Asia Tenggara termasuk Indonesia tergolong sangat tinggi. Hal ini diindikasikan dengan tingkat pertumbuhan pasar smartphone di Asia Tenggara yang tergolong mengesankan (Hutajulu, 2013). GFK Asia (lembaga riset kelas internasional asal Jerman yang meneliti pasar retail dan teknologi) menemukan sebanyak 7,7 juta unit ponsel terjual pada tiga bulan pertama di tahun 2012 di Singapura, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Indonesia sendiri membukukan angka 1,4 milyar USD untuk penjualan ponsel pada tahun 2011. Informasi ini menunjukkan bahwa tingkat konsumsi smartphone di Asia Tenggara termasuk Indonesia tergolong tinggi. Sehingga memicu para produsen untuk secara aktif memproduksi smartphone baru dan memasarkannya di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kehadiran smartphone baru di pasaran juga diikuti dengan hadirnya model, fitur, jenis, dan tampilan yang baru pula. Hal ini pada akhirnya memicu konsumen untuk mencari tahu produk- produk smartphone edisi terbaru.

Pada dasarnya, membeli smartphone tidak semudah membeli barang-barang rumah tangga atau makanan ringan di swalayan. Beragamnya fungsi, fitur, dan tampilan yang ditawarkan setiap produsen smartphone menjadikan konsumen harus benar-benar mempertimbangkan smartphone yang dipilih agar sesuai dengan aktivitasnya sehari-hari. Selain itu, harganya yang sangat bervariasi dan relatif tinggi menjadikan sebagian orang harus memikirkan dengan matang saat memutuskan untuk membeli sebuah smartphone. Sehingga, diperlukan uang yang cukup untuk membeli smartphone. Salah satu sumber Pada dasarnya, membeli smartphone tidak semudah membeli barang-barang rumah tangga atau makanan ringan di swalayan. Beragamnya fungsi, fitur, dan tampilan yang ditawarkan setiap produsen smartphone menjadikan konsumen harus benar-benar mempertimbangkan smartphone yang dipilih agar sesuai dengan aktivitasnya sehari-hari. Selain itu, harganya yang sangat bervariasi dan relatif tinggi menjadikan sebagian orang harus memikirkan dengan matang saat memutuskan untuk membeli sebuah smartphone. Sehingga, diperlukan uang yang cukup untuk membeli smartphone. Salah satu sumber

Kedua variabel (neophilia dan pendapatan pribadi) memberikan kontribusi sebanyak 5,1% dalam membentuk perilaku impulse buying. Hal ini karena terdapat banyak proses kognitif yang terjadi pada perilaku impulse buying pada saat membeli smartphone. Adanya berbagai pertimbangan terkait harga, kebutuhan, dan berbagai atribut yang melekat pada smartphone. Selain itu, saat akan membeli smartphone, konsumen harus pergi ke sebuah toko khusus handphone yang bagi sebagian orang cukup menguras waktu dan tenaga. Sehingga proses membeli tersebut tidak dilakukan secara spontan, sehingga tidak termasuk dalam kategori perilaku impulse buying.

2. Kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kecenderungan neophilia secara parsial mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif. Artinya, dalam penelitian ini ditemukan satu variabel baru yang turut berkontribusi dalam memicu timbulnya perilaku impulse buying pada seseorang yaitu neophilia. Berdasarkan persamaan regresi yang terbentuk, dapat diprediksikan bahwa setiap kenaikan 1% neophilia akan meningkatkan kecenderungan impulse buying sebesar 0,643%. Dalam hal ini variabel lain dianggap konstan (nilainya tetap atau sama dengan 0).

Neophilia sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri atas dua kata yaitu neo (baru) dan philia (cinta). Secara harfiah, neophilia dapat diartikan sebagai kecintaan terhadap hal baru (Gibbin, 2001). Seseorang dengan kecenderungan neophilia (neophiliacs) akan lebih menerima perubahan sosial. Salah satu dampak perubahan sosial adalah munculnya berbagai tekonologi canggih di masa sekarang yang salah satunya adalah smartphone. Para neophiliacs ini menjadi impulsif membeli smartphone karena pada dasarnya mereka telah menerima kemunculan berbagai teknologi baru tersebut dan memanfaatkannya untuk menunjang aktivitas-aktivitas mereka. Selain itu, mereka tidak suka menggunakan metode-metode lama dalam menyelesaikan pekerjaan atau sekedar beraktivitas sehari-hari. Bahkan neophiliacs dengan nilai yang ekstrim, cenderung akan melakukan penolakan terhadap masa lalu yang bersifat “lama”. Hal ini akan berdampak pula pada penolakan terhadap tradisi-tradisi tertentu yang juga bersifat “lama”. Sehingga lebih terbuka kepada hal-hal baru.

Selain itu, neophiliacs juga cenderung memiliki selera unik yang digunakan untuk memilih smartphone. Besar kemungkinan, smartphone yang dipilih memiliki fitur dan bentuk yang unik dan belum banyak digunakan oleh orang lain. Sehingga jika ada smartphone yang memiliki model atau fitur baru, maka mereka akan secara spontan tertarik untuk membeli. Seorang neophiliacs juga cenderung terbuka pada perubahan secara personal. Ia tidak segan-segan mengganti smartphone yang dipakainya saat ini dengan smartphone lain yang lebih baru. Padahal bagi beberapa orang, mengganti smartphone berarti harus memindah semua data dan harus melakukan penyesuaian lagi dengan smartphone baru. Dalam hal ini, para neophiliacs justru berani mengambil resiko untuk secara impulsif membeli dan mengganti smartphone-nya saat ini dengan smartphone baru.

Neophilia memiliki keterkaitan dengan innovativeness (Day, 2003). Innovativeness adalah bentuk kepribadian yang memberikan dorongan bagi konsumen untuk mencoba objek maupun ide baru yang belum pernah mereka coba sebelumnya. Innovativeness telah terbukti sebagai penentu keputusan untuk mengadopsi suatu produk baru (Robertson dan Kennedy, 1968). Pada dasarnya, kecenderungan neophilia ini seringkali diaktualisasikan Neophilia memiliki keterkaitan dengan innovativeness (Day, 2003). Innovativeness adalah bentuk kepribadian yang memberikan dorongan bagi konsumen untuk mencoba objek maupun ide baru yang belum pernah mereka coba sebelumnya. Innovativeness telah terbukti sebagai penentu keputusan untuk mengadopsi suatu produk baru (Robertson dan Kennedy, 1968). Pada dasarnya, kecenderungan neophilia ini seringkali diaktualisasikan

Selain itu, dinamika hadirnya smartphone di Indonesia nampak cukup mendukung hasrat yang dimiliki oleh para novelty seeker. Tingkat pertumbuhan pasar smartphone di Asia Tenggara tergolong mengesankan (Hutajulu, 2013). Produksi smartphone yang cukup tinggi menarik para novelty seeker untuk secara impulsif melakukan pembelian terhadap produk smartphone khususnya edisi terbaru.

Jika dikaji lebih dalam, terdapat beberapa individual personality yang mempengaruhi novelty seeking ( Schweizer, 2004) . Pertama couriosity, yaitu adanya keingintahuan yang kuat terhadap suatu kejadian atau situasi tertentu. Hadirnya smartphone baru bagi para novelty seeker cukup menarik untuk dicari tahu lebih dalam. Sehingga mereka menjadi penasaran dan kemudian membelinya untuk memenuhi rasa penasarannya. Kedua, excitability, artinya kecenderungan di mana seseorang mudah dirangsang oleh suatu stimulus tertentu sehingga mudah tergoda akan beberapa stimulus di sekitarnya seperti iklan dan ajakan orang-orang di lingkungannya. Adanya excitability menjadikan konsumen lebih mudah tergoda dan terpengaruh oleh orang-orang disekitarnya. Apalagi jika ada iklan smartphone yang menarik dan ajakan dari teman- teman disekitarnya. Hal ini juga akan memicu timbulnya perilaku impulse buying.

Ketiga, impulsiveness, yaitu adanya dorongan yang kuat dari dalam diri seseorang secara terus-menerus untuk berperilaku tertentu sehingga sulit untuk dikendalikan. Yang, Huang, dan Feng (2011), menyatakan bahwa suatu perilaku impulse buying juga dipengaruhi oleh karakteristik impulsifitas setiap individu. Sudah sewajarnya, para novelty seeker yang memiliki kepribadian impulsif akan berperlaku impulsif juga saat membeli smartphone. Faktor keempat, easily bored, di mana para novelty seeker cenderung mudah bosan akan apa yang mereka alami atau miliki saat ini sehingga kurang menyukai sesuatu yang bersifat rutin dan konstan. Hal ini memicu mereka untuk sering “gonta-ganti” smartphone atau sekedar membeli yang baru dan meninggalkan yang lama.

Kelima, disinhibition atau kecenderungan untuk bebas dan mencari sensasi dalam bentuk aktivitas sosial yang bersifat hedonik. Hedonik dalam hal ini adalah berbelanja khususnya smartphone.Seseorang yang gemar bersenang-senang seperti berbelanja, akan cenderung berbelanja secara impulsif. Apalagi jika pada dasarnya novelty seeker tersebut memiliki hedonic shopping value (kegemaran berbelanja), maka kecenderungan impulse buying-nya akan semakin kuat. Hal ini sejalan dengan penelitian Pricila (2013) yang menyatakan bahwa hedonic shopping value berpengaruh signifikan terhadap pembelian impulsif. Terakhir, proactivity, di mana seseorang memiliki mobilitas yang tinggi dan didukung dengan adanya kecenderungan untuk bertahan serta melakukan berbagai aktivitas. Mobilitas tinggi rupanya mendukung permintaaan terhadap smartphone (Zhang dan Watts, 2008). Sehingga para novelty seeker yang cenderung proaktif akan lebih banyak membutuhkan smartphone.

Selain itu, kebutuhan kognitif, pengaruh dan penilaian sosial, serta kebutuhan akan prestasi juga mendorong seseorang untuk mencari hal-hal baru. Dalam hal ini, kebutuhan kognitif dan kebutuhan untuk berprestasi merupakan berperan sebagai faktor eksternal. Perilaku novelty seeking akan berdampak pada kreativitas yang diwujudkan dalam Selain itu, kebutuhan kognitif, pengaruh dan penilaian sosial, serta kebutuhan akan prestasi juga mendorong seseorang untuk mencari hal-hal baru. Dalam hal ini, kebutuhan kognitif dan kebutuhan untuk berprestasi merupakan berperan sebagai faktor eksternal. Perilaku novelty seeking akan berdampak pada kreativitas yang diwujudkan dalam

Selain neophilia, terdapat faktor kepribadian lain juga memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap terbentuknya perilaku impulse buying pembelian smartphone. Kepribadian mengacu kepada pola-pola normal dari perilaku yang ditunjukkan individu, seperti atribut-atribut, sifat-sifat, dan kebiasaan yang membedakan individu dengan individu lainnya (Churchill Jr & Gilbert A 2005). Salah satu faktor kepribadian itu adalah kecenderungan impulsifitas itu sendiri. Yang, Huang, dan Feng (2011), menyatakan bahwa suatu perilaku impulse buying juga dipengaruhi oleh karakteristik impulsifitas setiap individu. Jika pada dasarnya seseorang cenderung berperilaku impulsif dalam berbagai hal, maka dalam melakukan pembelian baik itu smartphone maupun barang lain, ia juga akan cenderung impulsif.

3. Pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian produk smartphone konsumen usia produktif

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pendapatan pribadi secara parsial tidak mempengaruhi perilaku impulse buying pembelian smartphone pada konsumen usia produktif. Jadi, ketika seseorang memiliki pendapatan tapi tidak ditunjang dengan adanya personal trait berupa neophilia, maka tidak akan timbul perilaku impulse buying. Dalam hal ini pendapatan hanya berperan sebagai variabel pendukung yang memperkuat perilaku impulse buying. Di sisi lain, sebuah penelitian (Yang et.al, 2011) menunjukkan bahwa bukan pendapatan yang mempengaruhi perilaku impulse buying, namun ketersediaan uanglah yang secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku impulse buying. Namun, ketersediaan uang ini nampaknya juga harus diimbangi dengan personal trait lain misalnya neophilia. Jika seseorang hanya memiliki ketersediaan uang yang cukup sementara tidak memiliki motivasi atau dorongan apapun untuk membelanjakannya, maka orang tersebut tidak akan membelanjakan uangnya.

Pendapatan pribadi atau pendapatan individu (Gardner, 1973) dapat didefinisikan sebagai jumlah penghasilan yang diperoleh dari jasa-jasa produksi yang diserahkannya pada suatu waktu tertentu atau yang diperolehnya dari harta kekayaannya. Pendapatan subjek penelitian yang merupakan pegawai bank ini tergolong sebagai pendapatan permanen di mana pendapatan tersebut merupakan bagian pendapatan yang diharapkan untuk terus bertahan di masa depan (Friedman dalam Putong, 2009). Jadi konsumsi yang dilakukan berdasarkan pendapatan permanen cenderung relatif tetap dan dapat dipertahankan sepanjang hidup. Oleh karena itulah, pada jenis ini, pola konsumsi mengacu pada seberapa besar pendapatan yang diterima pada jangka waktu tertentu. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan hanya berpengaruh pada tingkat konsumsi seseorang yang cenderung stabil. Untuk pola konsumsi yang mengarah pada impulsifitas, pendapatan seorang pegawai bank tidak memiliki pengaruh apapun.

Hal ini sejalan dengan pendapat Putong (2009) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang adalah tingkat pendapatan dan kekayaannya. Sangat lazim apabila tinggi rendahnya daya konsumsi seseorang berhubungan dengan tinggi rendahnya tingkat pendapatan, karena perilaku konsumsi secara psikologis memang berhubungan dengan tingkat pendapatan. Artinya, bila pendapatan tinggi maka konsumsinya akan semakin tinggi (baik secara kuantitas maupun kualitas) karena ini berhubungan dengan pemenuhan kepuasan yang tak terbatas itu.

Apabila pendapatan rendah maka konsumsinya juga relatif rendah karena berhubungan dengan keinginan bertahan hidup, jadi konsumsi untuk bertahan hidup dan pemenuhan kepuasan yang tinggi sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.

Pola konsumsi erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan merupakan suatu keinginan untuk memiliki dan menikmati barang dan atau jasa yang pemuasannya bersifat jasmani dan rohani. Berdasarkan intensitasnya, terdapat kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang sangat harus terpenuhi, artinya apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Contoh: sandang, pangan, papan, pekerjaan, dan sebagainya. Kedua, kebutuhan sekunder, merupakan kebutuhan yang pemenuhannya setelah kebutuhan primer terpenuhi. Contoh: pendidikan, pariwisata, rekreasi, dan sebagainya. Ketiga, kebutuhan tersier, merupakan kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Contoh: mobil, motor, komputer, handphone, tablet, dan sebagainya. Berdasarkan Keterangan tersebut, smartphone tergolong sebagai kebutuhan tersier. Namun, bagi sebagian besar orang, smartphone sudah menjadi kebutuhan primer sehingga harus dipenuhi meskipun tidak secara impulsif.

Faktor yang menyebabkan tidak adanya pengaruh pendapatan terhadap perilaku impulse buying dapat dikaji melalui objek sasarannya. Smartphone yang identik dengan ponsel canggih (dilihat dari berbagai fitur yang melekat pada sebuah smartphone), harga yang relatif tinggi, dan tingkat kebutuhan yang tinggi, kemungkinan kurang sesuai untuk dibeli secara impulsif. Secara umum smartphone merupakan telepon seluler yang memiliki sistem operasi, perangkat lunak (software), adanya web access, papan tombol QWERTY dan perangkat layar sentuh, serta memiliki layanan messaging (layanan pesan) (gopego.com). Dengan berbagai keunggulan yang ada, harga yang ditentukan pada setiap produk smartphone tidaklah sama seperti harga harga baju atau barang-barang di departement store.

Loundon dan Britta (1993) mengemukakan terdapat beberapa karakteristik produk yang mempengaruhi perilaku impulse buying yakni memiliki harga yang rendah, adanya sedikit kebutuhan pada produk tersebut, siklus kehidupan produknya pendek, ukuran kecil atau ringan, dan mudah disimpan. Dalam hal ini smartphone tidak secara keseluruhan memenuhi kriteria tersebut. Hanya karakteristik memiliki ukuran kecil atau ringan serta mudah disimpan yang dipenuhi oleh sebuah produk smartphone. Kriteria lain seperti harga nampaknya tidak dapat dipenuhi. Harga smartphone cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan barang-barang lain yang pernah dijadikan objek penelitian impulse buying (baju, makanan ringan, dan sebagainya). Selanjutnya, kebutuhan terhadap smartphone juga relatif tinggi. Sehingga konsumen memiliki kriteria-kriteria tertentu dalam membeli smartphone. Karakteristik ketiga yang tidak dipenuhi adalah siklus smartphone yang relatif panjang. Pada umumnya, orang-orang yang membeli smartphone mempertimbangkan dengan baik tingkat ketahanan dan keawetan smartphone yang dibelinya. Hal ini membuat smartphone memiliki siklus kehidupan yang relatif panjang. Oleh karena itu, smartphone dari segi produknya sendiri kurang mampu menimbulkan perilaku impulse buying.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh dari penelitian ini, dapat diambil

kesimpulan mengenai hasil penelitian bahwa: kesimpulan mengenai hasil penelitian bahwa:

b. Pada konsumen usia produktif khususnya 18-44 tahun, kecenderungan neophilia secara parsial dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku impulsif saat membeli smartphone

c. Pada konsumen usia produktif khususnya 18-44 tahun, pendapatan jika tidak disertai adanya kecenderungan neophilia tidak dapat mempengaruhi seseorang untuk secara langsung berperilaku impulsif saat membeli smartphone

d. Berdasarkan usia, tidak ada perbedaan kecenderungan neophilia pada subjek penelitian. Namun, untuk pendapatan dan kecenderungan berperilaku impulse buying terdapat perbedaan

e. Berdasarkan jenis kelamin, baik dari segi kecenderungan neophilia, pendapatan, maupun perilaku impulse buying tidak menunjukkan adanya perbedaan

f. Berdasarkan lokasi penelitiannya (lingkungan perbankan), kecenderungan neophilia dan impulse buying menunjukkan adanya perbedaan. Sedangkan pendapatan tidak ada perdedaan di antara keempat bank yang menjadi lokasi penelitian

2. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran sebagai berikut :

a. Saran Metodologis

1) Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel neophilia hendaknya mencari literatur yang lebih luas. Variabel ini tergolong masih baru dan belum memiliki teori kuat yang mendasarinya. Sehingga literaturnya harus lebih diperkaya.

2) Penelitian selanjutnya yang menggunakan variabel neophilia hendaknya menggunakan metode kualitatif agar dapat memberikan informasi yang lebih mendalam. Metode kualitatif dianggap mampu mengungkap suatu permasalahan secara lebih mendalam.