ETIKA KRISTIANI DAN KEHIDUPAN BERMASYARA

ETIKA KRISTIANI DAN KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT DI INDONESIA
Dr. Elkana Chrisna Wijaya1
Fenomena yang terjadi di negeri ini sehubungan dengan konflik-konflik atas
nama “agama,” apalagi yang berkaitan langsung dengan Kekristenan, seringkali
menimbulkan berbagai persepsi bagi yang mendengarnya. Pertama,
“membosankan/menjengkelkan,” karena beberapa kali bahkan seringkali Agama Kristen
atau umat Kristiani “dituding” sebagai “pemicu masalah/konflik,” yang menimbulkan
keresahan dan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang cinta damai.
Kedua, “menarik,” karena dari “konflik-konflik agama” yang terjadi di Indonesia,
“Agama Kristen atau umat Kristiani” jarang absen dari ranah konflik tersebut dan tidak
ada habis-habisnya untuk dielaborasi, dan sepertinya akan “selalu” menjadi “isu
sepanjang masa” (dari mulai kekristenan itu ada). Ketiga, “ironi,” karena dengan kedua
tanggapan di atas, memunculkan stigma bahwa “seolah-olah” umat Kristiani “tidak
melaksanakan” tanggung jawab dan panggilannya di tengah-tengah dunia.
Mengingat kondisi dan situasi di Indonesia, yang kehidupan masyarakatnya
serba majemuk dalam berbagai hal, dan agama diyakini memiliki peranan yang sangat
penting dalam menjaga tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, tidak terkecuali
Agama Kristen. Pemahaman akan pentingnya peranan agama, tergambar melalui
ideologi Bangsa Indonesia, Pancasila, yaitu pada sila yang pertama: “Ketuhanan yang
Maha Esa.” Ideologi itu dikuatkan dengan UUD 1945, pasal 29, yang berbunyi: “(1)

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.(2) Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Itulah sebabnya, Negara mengakui adanya
enam (6) agama di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Budha,
Hindu, dan Agama Kepercayaan.Dengan demikian, harapan terciptanya masyarakat
yang hidup secara damai, tertib dan harmonis serta toleransi umat beragama dapat
tercapai, seperti yang menjadi tujuan dari keberadaan masyarakat itu sendiri.Olaf
Herbert Schumann menjelaskan bahwa:
Tujuan masyarakat sendiri adalah mengusahakan suatu suasana kehidupan
sejahtera, bahagia, dan damai untuk semua anggotanya. Itu berarti setiap individu
dan kelompok harus mengorbankan sesuatu dari kebebasannya dan hak-haknya,
apabila hal itu bertentangan dengan kepentingan pihak lain atau kesejahteraan
umum.2

1

Penulis adalah Direktur Pascasarjana dan Dosen di STT Harvest Semarang, yang mengampu
matakuliah: Teologi Sistematika, Hermeneutika, Homiletika dan Kepemimpinan Kristen.
2


Olaf Herbert Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2011), 263.

Namun pada kenyataannya, harapan dan cita-cita yang luhur tersebut, tidak
sesuai atau dibarengi dengan realitas yang ada. Meskipun telah diatur dalam falsafah
Negara dan Undang-Undang Dasar 1945, justru keberagaman agama seringkali
ditengarai dan dituding sebagai pemicu munculnya berbagai konflik di Indonesia,
“Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik
antar agama sering kali tidak terelakkan.”3 Bahkan tidak jarang pula agama menjadi
kambing hitam bagi munculnya konflik antar umat beragama. Salah satunya seperti
fenomena yang belum lama ini terjadi, yaitu tabrakan maut di Kendal, yang terjadi pada
tanggal 18 Juli 2013, di mana beberapa anggota salah satu ormas yang ada di Jawa
Tengah (Temanggung) menjadi pelaku penabrakan tersebut. Dalam pembelaannya,
ormas tersebut itu mengatasnamakan isu agama sebagai alasan yang melatarbelakangi
terjadinya peristiwa tabrakan maut tersebut, seperti yang dituliskan dalam VOA–Islam,
yang berbunyi:
SUKOREJO, KENDAL– Jum’at (19/7/2013)pagi menjelang siang, kontributor
voa-islam.com di Sukorejo Kendal mengabarkan bahwa bentrok yang terjadi pada
Rabu (17/7/2013) petang bukanlah antara warga dengan Front Pembela Islam
(FPI).Namun, bentrok yang mengakibatkan tiga laskar FPI Temanggung luka

parah adalah bentrok antara FPI melawan preman Kristen Kafir.Para preman
Kristen Kafir yang saat itu membekengi tempat pelacuran atau lokalisasi di daerah
Sukorejo tidak terima dengan aksi FPI. Jadi, bentrok hari Rabu (17 Juli 2013 -red)
kemarin itu bukan warga Sukorejo dengan FPI. Tapi para preman Kristen dengan
FPI. . . .4
Terlepas dari benar atau salah persoalan di atas, tentunya sebagai masyarakat
Indonesia yang cinta damai dan mengutamakan keharmonisan dan toleransi beragama,
konflik yang mengatasnamakan agama diharapkan tidak lagi muncul dalam ranah
masyarakat Indonesia yang majemuk. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” seharusnya
menjadi pengobar semangat kesatuan dan persatuan.
Umat Kristiani di Indonesia adalah bagian dan merupakan anggota masyarakat
Indonesia. Sudah semestinya, jika orang Kristen pun wajib mendukung terwujudnya
masyarakat yang harmonis, tertib dan damai. Dalam menghadapi konflik yang terjadi
dalam kehidupan bermasyarakat, orang Kristen mestinya wajib memiliki etika atau sikap
yang benar, wawasan yang luas, serta bijak dalam menyikapi setiap konflik agama yang
terjadi, seperti yang dituliskan oleh Paul F. Knitter dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Teologi Agama-Agama:
. . . umat Kristiani (tetapi bukan hanya umat Kristiani) wajib untuk bersikap serius
terhadap agama-agama lain, lebih memahami mereka, berdialog dengan mereka,
dan bekerja sama dengan mereka. . . . menunjukkan berbagai keuntungan yang

bisa membuat kehidupan di dunia ini lebih bermanfaat dan iman menjadi lebih
kuat sebagai akibat dari berhubungan dengan dan belajar dari mereka yang
beragama lain.5

3

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/07/19/25904/fpi-tidak-bentrok-denganwarga-sukorejo-tapi-preman-kristen/
4

5

Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2012), ix.

Ungkapan senada juga diberikan oleh Emanuel Gerrit Singgih dalam bukunya yang
berjudul Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, bahwa:
Dialog terbuka antara para penganut agama dapat mengantarkan kita untuk
menghargai yang ada pada orang lain dan yang menjadi keyakinan kita. Dialog
juga diharapkan dapat mengantar kita untuk mengatasi bersama masalah-masalah
nasional, seperti misalnya kemiskinan dan keterbelakangan.6

Pemahaman dan keyakinan yang berbeda dengan masyarakat atau agama yang lainnya,
tidak seharusnya menjadikan umat Kristen menjadi umat yang eksklusif dan
memisahkan diri dari segala kewajibannya sebagai anggota atau bagian dari masyarakat,
seperti yang diungkapkan oleh Singgih:
Orang Kristen di Indonesia tidak hidup sendirian, melainkan bersama yang lain
dalam sebuah masyarakat keagamaan yang bersifat majemuk. Ia harus hidup
menghayati imannya di tengah mereka yang beragama lain, yang juga menghayati
imannya masing-masing.7
Sebenarnya persoalan atau isu dengan topik “konflik agama,” dan menjadi
kelompok minoritas yang didiskreditkan, bukanlah masalah atau isu yang baru bagi
kekristenan. Hal tersebut sudah sering terjadi sejak awal mula munculnya kekristenan di
bumi ini, seperti yang telah ditulis dan disaksikan oleh Alkitab, bahkan berulang-ulang
kali diungkapkan oleh Tuhan Yesus sendiri, salah satunya yang diungkapkan melalui
tulisan Matius, seperti: “Lihat, Aku mengutus kami seperti domba di tengah-tengah
serigala, . . .8 Bahkan dalam doa-Nya, Tuhan Yesus juga menyatakan secara terangterangan mengenai hal tersebut, bahwa: “Aku telah memberikan firman-Mu kepada
mereka dan dunia membenci mereka, karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku
bukan dari dunia.”9
Dengan demikian, “dibenci, dianiaya, didiskreditkan, bahkan dibunuh,”
bukanlah hal yang baru bagi orang-orang Kristen dari permulaan sampai dengan
sekarang. Namun, masalah tersebut menjadi semakin berat dan mengacaukan banyak

hal, manakala dalam kehidupan bermasyarakat, ada orang-orang Kristen yang seringkali,
baik yang sengaja maupun tidak sengaja “lupa” akan panggilan dan peranannya sebagai
garam dan terang bagi dunia, sehingga membuat masyarakat di sekitarnya menerima
dengan pandangan yang negatif, bahkan tidak jarang memusuhi, seperti gambaran di
atas. Ke-eksklusif-an dan “perasaan” bahwa diri sendiri yang “paling benar,” tetapi tidak
dibarengi dengan sikap dan tindakan yang benar, acapkali membuat yang lainnya
menjadi “resah.” Akibatnya sering terjadi konflik-konflik yang tidak diinginkan, salah
satunya seperti yang diceritakan di atas.

6

Emanuel Gerrit Singgih, Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, (Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2007), 196.
7
Ibid, 196.
8

Matius 10:16.

9


Yohanes 17:14.

Etika Kristiani yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah, seperti yang
dijelaskan dalam pengertian etika dalam kamus Webster’s New Word Dictionary, 3rd
College Edition, yaitu: “kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan,keyakinan yang
berbeda dari individu atau kelompok.” Di dalam Bahasa Yunani, kata Etika berasal dari
kata ethos, yang berarti: “keberadaan diri, jiwa dan pikiran yang membentuk seseorang.”
Tentunya dalam hal ini berbicara tentang karakter, jiwa maupun sikap dan kebiasaan
yang positif atau membangun. Dengan demikian, Etika Kristiani adalah karakter atau
sikap maupun kebiasaan yang muncul dari keyakinan yang diterima seseorang, yang
dalam hal ini mengandung keyakinan yang memiliki nilai-nilai Kristiani seperti yang
telah diamanatkan dalam Firman-Nya.
Tuhan Yesus menjelaskan panggilan dan peranan orang-orang percaya yang
diserukan dalam khotbah di bukit, bahwa:
Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia
diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah
terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang,
Smelainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.

Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka
melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.10
Homer A. Kent menjelaskan penafsirannya mengenai “garam” dan “terang” dalam
Matius 5:13-16, yaitu:
Garam. Pengawet makanan yang biasa, sering kali dipakai secara simbolis. Orang
percaya merupakan penahan dari kerusakan dunia. Orang yang tidak percaya
sering kali terlindung dari perbuatan kejahatan karena ada kesadaran moral yang
dapat ditelusuri dari pengaruh Kristen. . . . sekalipun demikian, ilustrasi Kristus
mungkin hanya kiasan saja untuk menunjukkan keganjilan dari seorang percaya
yang tidak berguna. Kamu adalah terang. Orang percaya secara positif berfungsi
sebagai penerang dunia di dalam gelap karena memiliki Kristus yang adalah
Terang Dunia (Yoh. 8:12). Terang Kristus seharusnya bercahaya untuk umum,
bagaikan kelompok rumah dari batu putih di suatu kota di Palestina. . . .11
Tidak berbeda dengan pandangan di atas, R.E. Nixon, dalam Tafsiran Alkitab Masa
Kini, juga menjelaskan bahwa:
Garam sangat berguna untuk mengawetkan. Bagi rabi garam berarti hikmat (bnd.
Kol. 4:6). Hidup dan perkataan yang bijaksana dari murid-murid akan
mempengaruhi masyarakat, . . . Terang dunia menurut rabi-rabi adalah Allah,
Adam, Israel, hukum Taurat, Bait Allah atau Yerusalem. Orang Yahudi, sedikitnya
dalam anggapan mereka tentang diri mereka sendiri, dan orang Kristen, samasama disebut oleh Paulus sebagai terang dunia (Rm. 2:19; Flp. 2:15). Tapi dalam

PB, Yesus-lah yang terutama Terang Dunia (Yoh. 8:12).12
10

Matius 5:13-16.

11
Homer A. Kent, Injil Menurut Matius dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe, peny. Charles F.
Pfeiffer dan Everett F. Harrison, pen., Yayasan Penerbit Gandum Mas, (Malang: Gandum Mas, 2001), vol.
3:35.

Menjadi “garam” dunia dan “terang” dunia yang dimaksudkan di sini adalah
sama dengan “menjadi berkat, berguna” bagi orang lain (dunia), baik dalam perkataan,
sikap, tindakan dan seluruh eksistensi kehidupan iman Kristiani. Yang di maksud
dengan dunia, tentunya bukan hanya mengacu pada “dunia Kristiani” saja, melainkan
mencakup semuanya, yaitu termasuk di luar dunia Kristiani. Dan ketika orang Kristen
menjadi berguna atau memberkati orang lain dengan perbuatan yang baik, yang
mendatangkan manfaat bagi orang, hal tersebut membuat orang lain (dunia)
menyaksikan kemuliaan Allah dalam pribadi orang Kristen tersebut. Schumann
menyampaikan pandangannya, bahwa:
Roh Kudus memanggil manusia untuk mengambil alih tugas yang dahulu Allah

berikan kepada manusia (Adam) ketika Dia menciptakannya: menjadi rekan
sekerja Allah dalam memelihara dan melindungi ciptaan-Nya. Jadi, manusia yang
dipanggil Allah dan dikaruniai Roh Kudus bukan hanya diselamatkan dan
dibenarkan untuk diri sendiri, melainkan juga diberi kemampuan untuk menjadi
manusia yang benar di tengah-tengah ciptaan ini sebagai makhluk yang dalam
banyak hal hidup terikat atau bersekutu dengan makhluk lainnya.13
Charles Norris Cochrane, dalam bukunya yang berjudul Christianity and Classical
Culture pernah menggunakan ungkapan-ungkapan yang luar biasa, yang digunakan
untuk menggambarkan keberadaan kekristenan di masa lalu, seperti yang dikutip oleh
John W. de Gruchy, yaitu: “Apabila Konstantinus menganggap kekristenan sebagai
tonikum yang sangat dibutuhkan untuk masyarakat yang sakit, Theodosius memandang
kekristenan sebagai pemberi tranfusi darah masyarakat yang menjelang ajal.”14
Sungguh, alangkah mulia dan besarnya panggilan dan peranan orang Kristen,
bila dilaksanakan dengan penuh pengabdian dan tanggung jawab yang besar, seperti
yang dikehendaki Tuhan, yaitu menjadi berkat, berdaya guna dan bermanfaat serta
menjadi penjawab kebutuhan, baik rohani maupun jasmani bagi masyarakat di
sekitarnya. Dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi, Rasul Paulus menasihati Jemaat
Filipi, dan implikasinya bagi orang-orang percaya (Kristen) di masa kini:
Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantahbantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah
yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang

sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di
dunia.15
Dengan demikian, “Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah
banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.”16
12

R.E. Nixon, Matius dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini, pen., H.P. Nasution, (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 1999), vol. 3:71.
13
Schumann, Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian, 266.
14

Charles Norris Cochrane, Christianity and Classical Culture, dikutip oleh John W. de Gruchy,
Agama Kristen dan Demokrasi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 62.
15

Filipi 2:14-15.

16

Yohanes 15:8.

Konklusi
Umat Kristiani sebagai bagian dan merupakan anggota masyarakat Indonesia,
tidak bisa berpangku tangan melihat fenomena-fenomena yang meresahkan di atas.
Sekalipun sebagai kelompok minoritas, kondisi “dibenci, dianiaya, didiskreditkan,”
“seolah-olah” sudah merupakan destiny dari Umat Kristiani, namun sebagai umat
Kristiani yang bijak dan taat akan Firman-Nya, hendaklah keberadaan tersebut
diminimalisir. Oleh karena itu kontribusi yang mesti ada pada umat Kristiani sebagai
perwujudan dari etika Kristiani yang bertanggung jawab dalam kehidupan
bermasyarakat di Indonesia adalah:
1. Mengerti, menyadari, dan memahami serta melaksanakan tanggung jawab dan
peranannya sebagai “garam” dan “terang,” berguna dan menjadi berkat dalam segala
hal bagi dunia, khususnya masyarakat di Indonesia, seperti yang telah diuraikan
sebelumnya.
2. Umat Kristiani wajib mendukung dan terlibat aktif dalam mewujudkan masyarakat
Indonesia yang harmonis, tertib dan damai.
3. Dalam menghadapi konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, orang
Kristen wajib memiliki sikap yang benar, wawasan yang luas, serta bijak dalam
menyikapi (tidak terprovokasi) setiap konflik yang terjadi.

BIBLIOGRAFI:
Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Cochrane, Charles Norris.Christianity and Classical Culture.Dikutip oleh John W. de
Gruchy. Agama Kristen dan Demokrasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Kent, Homer A.Injil Menurut Matius dalam Tafsiran Alkitab Wycliffe.peny. Charles F.
Pfeiffer dan Everett F. Harrison, pen., Yayasan Penerbit Gandum Mas. Malang:
Gandum Mas, 2001.
Knitter, Paul F.Pengantar Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2012.
Nixon, R.E.Matius dalam Tafsiran Alkitab Masa Kini. pen., H.P. Nasution. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1999.
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2013/07/19/25904/fpi-tidak-bentrokdengan-warga-sukorejo-tapi-preman-kristen/
Schumann, Olaf Herbert. Agama-Agama Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2011.

Singgih, Emanuel Gerrit. Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat. Yogyakarta: Taman
Pustaka Kristen, 2007.