PERILAKU TOKOH UTAMA DALAM RUMAH PERAWAN

PERILAKU TOKOH UTAMA DALAM RUMAH PERAWAN (NEMURERU BIJO) KARYA KAWABATA YASUNARI TERHADAP KEMATIAN: PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA TESIS

Oleh : Urip Zaenal Fanani Nim : 98745004 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA FEBRUARI 2002

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan lingkungannya, dan perilaku merupakan tanggapan atau reaksi seseorang terhadap lingkungan. Salah satu contoh perilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya yaitu ketika manusia menghadapi kematian. Sebagai makhluk berjiwa, siapa pun tidak bisa luput dari kematian karena kematian merupakan kenyataan. Meskipun demikian, dalam kenyataan, Whitehead (1996:167) menyatakan bahwa kematian kurang mendapat perhatian, masalah kematian justru ingin dihindari dari kehidupan. Seseorang tidak punya kesempatan, bahkan tidak mau berpikir tentang kematian secara serius.

Perhatian terhadap kematian mengalami perkembangan sesuai dengan kehidupan, dan perhatian terhadap kematian dirasakan oleh manusia usia lanjut atau mereka yang menderita sakit keras. Jika masih muda dan sehat, seseorang tidak memikirkan kematian. Siapa pun tidak bisa membayangkan kematiannya sendiri, kapan dan di mana dirinya akan mati (Freud dalam Whitehead,1996:167).

Pengarang Jepang yang tulisan-tulisannya berkait dengan kematian adalah Kawabata Yasunari (1899-1972). Kaisoo no Meijin (Tukang Menyaksikan Kuburan) (1923), Shitai Shookainin (Pemerkenal Jenazah) (1912), Nemureru Bijo (Rumah Perawan) (1964), Utsukushisa to Kanashimi to (Keindahan dan Kepiluan) (1961) merupakan karya-karyanya (Rosidi,1989:75). Jika melihat karya sastra Kawabata Pengarang Jepang yang tulisan-tulisannya berkait dengan kematian adalah Kawabata Yasunari (1899-1972). Kaisoo no Meijin (Tukang Menyaksikan Kuburan) (1923), Shitai Shookainin (Pemerkenal Jenazah) (1912), Nemureru Bijo (Rumah Perawan) (1964), Utsukushisa to Kanashimi to (Keindahan dan Kepiluan) (1961) merupakan karya-karyanya (Rosidi,1989:75). Jika melihat karya sastra Kawabata

Kawabata Yasunari menerima hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan pada tahun 1968. He was awarded the Nobel prize for literature in 1968 (Sasaki,1987:195). Seperti dinyatakan oleh Sasaki (1987:195), bahwa Kawabata Yasunari ’s principal works are “Izu no Odoriko” (“The Izu Dancer”), “Yukiguni” (“Snow Country”), “Senbazuru” (“A Thousand Cranes”), “Yama no Oto” (“The Sound of the Mountain”). Karya utama Kawabata Yasunari adalah Izu no Odoriko (Penari Izu), Yukiguni (Daerah Salju), Senbazuru (Seribu Burung Bangau), dan Yama no oto (Deru Gunung). Dan menurut Petterson dalam Rosidi (1989:75), Nemureru Bijo (Rumah Perawan) merupakan karya Kawabata yang paling indah karena melukiskan batas antara hidup dan mati. Selain itu, kelebihan Nemureru Bijo (Rumah Perawan) adalah “maut” senantiasa mengandung implikasi puitis yang kaya. Yukio Mishima dan Edward Seidensteiker termasuk orang-orang yang berpendapat bahwa Nemureru Bijo (Rumah Perawan) merupakan karya Kawabata yang terbaik. Seperti dalam kutipan:

Among those who claim that “The House of Sleeping Beauties” to be Kawabata's best work are Yukio Mishima and Edward Seidensteiker (http://www.eurus.dti.ne.jp/~northfox/book/kawabata.html 1 ) .

Mishima Yukio dalam Rosidi (1989:75) juga menyatakan bahwa Kawabata Yasunari sebagai pemuja keperawanan, banyak gadis muda berperan dalam karya Kawabata.

Mishima has offered the interesting theory that it is because she is the epitome of the unattainable. Once she is attained, she becomes, of course, something other than the object of the yearning (Seidensticker,1980:116 ).

Nemureru Bijo (Rumah Perawan) diterbitkan secara bersambung pada tahun 1961 dan tahun 1964, menceritakan tentang seorang lelaki tua yang melewatkan malamnya di rumah perawan dan menikmati keindahan pemandangan perawan telanjang bulat yang ditidurkan. Di dalam rumah perawan, terdapat peraturan bahwa lelaki-lelaki tua boleh berbuat apa saja, kecuali melukai atau memerawani perawan telanjang bulat yang ditidurkan. The rule of the house is that he can do anything with the girls except injure them or deflower them (Seidensticker,1980:123). Yang dimaksud dengan melukai atau memerawani adalah memasukkan jarinya ke mulut gadis yang sedang tidur, atau mencoba melakukan apa saja yang serupa dengan itu

(Kawabata,1977:5) 2 . Makna kalimat “melakukan hal serupa dengan itu” adalah memasukkan sesuatu ke dalam “mulut”, lelaki-lelaki tua tidak boleh mengadakan

“hubungan badan” dengan perawan telanjang bulat yang ditidurkan. Nemureru Bijo (1964) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Seidensticker menjadi The House of Sleeping Beauty. Kemudian Asrul sani menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Rumah Perawan (1977).

Sepengetahuan penulis, Nemureru Bijo (Rumah Perawan) diteliti oleh Sulistiowati, mahasiswa IKIP Surabaya (1998). Skripsinya berjudul ”Analisis

Bentuk-Bentuk Kecemasan Tokoh Utama Menurut Pikoanalisa Freud: Studi Kasus Novel Nemureru Bijo

Karya Kawabata Yasunari” 3 . Dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa kecemasan tokoh utama Eguci disebabkan oleh tekanan-tekanan dan

ketegangan-ketegangan. Bentuk kecemasan tersebut yaitu kecemasan riil, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral (Sulistiowati,1998).

Luxemburg (1992:63-4) menyatakan, salah satu jenis dalam menginterpretasi karya sastra, yaitu dengan penafsiran yang bertitik tolak pada problematik tertentu, misalnya permasalahan psikologi, dan kematian merupakan salah satu jenis psikologi sastra. Psikologi Sastra menurut Wellek dan Warren (1989:89), mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu: psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi, sebagai studi proses kreatif, sebagai studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pengarang). Dari keempat pengertian ini, penulis mempergunakan psikologi yang diterapkan pada karya sastra karena perilaku tokoh utama terhadap kematian merupakan objek yang akan diteliti.

1.2 Fokus

Berdasarkan uraian di atas, fokus dalam penelitian ini adalah:

a. Aspek psikologis apa yang terdapat dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan)?

b. Bagaimanakah perilaku tokoh utama Eguci dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan) terhadap ”kematian” perawan-perawan yang ditidurkan? b. Bagaimanakah perilaku tokoh utama Eguci dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan) terhadap ”kematian” perawan-perawan yang ditidurkan?

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan perilaku tokoh utama dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan) karya Kawabata Yasunari terhadap kematian melalui pendekatan psikologi.

2. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah:

a. Membuktikan aspek psikologis yang terdapat dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan)

b. Mendeskripsikan perilaku tokoh utama Eguci dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan) terhadap kematian sementara perawan-perawan yang ditidurkan.

c. Mendeskripsikan perilaku tokoh utama Eguci dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan) terhadap kematian perawan yang sesungguhnya.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan telaah sastra Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan telaah sastra

BAB II Kajian Pustaka

2.1 Konsep Tokoh Utama dan Penokohan

Dalam karya sastra selalu ada tokoh-tokoh atau pelaku tertentu. Sumardjo (1986:144) menyatakan bahwa tokoh-tokoh pelaku memiliki berbagai watak sesuai dengan kemungkinan watak pada manusia. Di lain pihak, Satoto (1995:25) berpendapat bahwa tokoh adalah peran dalam cerita fiksi dimana setiap tokoh di dalam karya fiksi memiliki karakter.

Tokoh dalam karya fiksi dapat digolongkan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling berperan dalam suatu cerita, dan tokoh tambahan adalah tokoh dalam karya sastra yang tidak banyak berperan. Sukada (1987:65) menyatakan bahwa tokoh utama selalu mendukung ide pengarang dan mendapat porsi pelukisan lebih banyak dari tokoh-tokoh lain, dan tokoh tambahan adalah tokoh yang kehadirannya mengkongkritkan keberadaan tokoh utama baik yang mendukung maupun yang menentang ide tokoh utama.

Tokoh-tokoh cerita dapat dibedakan menjadi beberapa jenis penamaan berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan. Seorang tokoh dapat saja dikategorikan kedalam beberapa jenis penamaan sekaligus, misalnya sebagai tokoh utama, tokoh protagonis, tokoh berkembang, tokoh tipikal (Nurgiyantoro,1998:176). Dari tokoh yang ada, tokoh utama merupakan pemegang kunci perjalanan cerita.

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro,1998:176-77).

Kemudian Aminuddin (1995:81) menyatakan bahwa dalam menentukan tokoh utama dan tokoh tambahan dalam suatu cerita, pembaca dapat menentukan dengan cara melihat keseringan pemunculannya dalam suatu cerita, dan lewat petunjuk dari pengarang. Tokoh utama pada umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan, dan menjadi judul cerita. Selain itu untuk menentukan tokoh utama dapat dilakukan dengan cara lewat intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, lewat petunjuk pengarang, lewat judul cerita.

Dalam memahami watak pelaku, dapat menelusurinya lewat tuturan pengarang, gambaran lingkungan kehidupannya dan cara berpakaian, gambaran perilaku, cara berbicara tentang dirinya sendiri, jalan pikirannya, tokoh lain berbicara tentangnya, tokoh lain berbicara dengannya, bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi terhadapnya, dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh lainnya (Aminuddin,1995:81).

Berdasarkan pendapat Sumardjo, Sukada, Satoto, Nurgiyantoro, dan Aminuddin di atas penulis akan menganalisis perilaku tokoh utama Eguci saja karena Eguci paling berperan dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan). Selain itu, dalam pendekatan psikologi penelitian ini menggunakan teori Freud karena dalam kritik Berdasarkan pendapat Sumardjo, Sukada, Satoto, Nurgiyantoro, dan Aminuddin di atas penulis akan menganalisis perilaku tokoh utama Eguci saja karena Eguci paling berperan dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan). Selain itu, dalam pendekatan psikologi penelitian ini menggunakan teori Freud karena dalam kritik

Penokohan, menurut Jones adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Tokoh-tokoh dalam suatu cerita perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta perilaku batinnya agar wataknya dapat dikenal oleh pembaca, karena mereka hanyalah rekaan pengarang. Pengarang dapat memaparkan watak tokohnya saja, tetapi dapat juga menambahkan komentarnya tentang watak tersebut.

2.2 Konsep Kematian

Seseorang mengalami kematian bila jantung berhenti berdenyut dan pernapasan sudah tidak ada lagi. Tetapi ada peristiwa, meskipun orang diperkirakan sudah mati karena jantung berhenti berdenyut dan pernapasan sudah tidak ada lagi, ternyata dapat hidup kembali. Untuk kematian seperti ini, dunia kedokteran modern membedakannya dengan kematian biologis dan kematian klinis. Kematian biologis adalah otak sudah tidak berfungsi dan tidak dapat dihidupkan kembali, sedangkan Seseorang mengalami kematian bila jantung berhenti berdenyut dan pernapasan sudah tidak ada lagi. Tetapi ada peristiwa, meskipun orang diperkirakan sudah mati karena jantung berhenti berdenyut dan pernapasan sudah tidak ada lagi, ternyata dapat hidup kembali. Untuk kematian seperti ini, dunia kedokteran modern membedakannya dengan kematian biologis dan kematian klinis. Kematian biologis adalah otak sudah tidak berfungsi dan tidak dapat dihidupkan kembali, sedangkan

Veatch dalam Shannon (1995:58-60) berpendapat, ada empat penyebab kematian, yaitu tidak ada pernapasan dan peredaran darah, dua unsur yaitu tubuh dan jiwa terputus, kematian otak, dan kematian neocortex. Neocortex yaitu dasar biologis bagi kesadaran diri sudah tidak ada lagi, sebagai individu sudah mati, tetapi secara fisik masih hidup. Dari penyebab kematian neocortex, seseorang dikatakan sudah mati karena jantung berhenti berdenyut dan pernapasan sudah tidak ada lagi, tetapi dapat hidup kembali sehingga ditemui mayat masih bernafas.

Berdasarkan pendapat Veatch dalam Shannon (1995:58-60) tentang penyebab kematian di atas, kematian dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan) adalah kematian sementara dan kematian sesungguhnya. Dengan kata lain keempat penyebab kematian yaitu tidak terjadi pernafasan, tubuh dan jiwa terputus, kematian otak, dan neocortex terdapat dalam Nemureru Bijo (Rumah Perawan). Kematian sementara terdapat pada kunjungannya ke rumah perawan yang pertama sampai kelima, sedangkan kematian sesungguhnya terdapat hanya pada kunjungan kelima, karena satu diantara dua perawan yang ditidurkan mati.

2.3 Konsep Perilaku Tokoh Utama Terhadap Kematian.

Perilaku tokoh dapat dilihat dari dua aspek, yaitu secara analitik dan secara dramatik. Secara analitik adalah deskripsi pengarang terhadap perwatakan tokoh Perilaku tokoh dapat dilihat dari dua aspek, yaitu secara analitik dan secara dramatik. Secara analitik adalah deskripsi pengarang terhadap perwatakan tokoh

Freud dalam Hall (1964:74) berpendapat bahwa naluri dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death instincts). Naluri kehidupan ditujukan kepada pemeliharaan kehidupan manusia sebagai individu, sedangkan naluri kematian bertujuan menghancurkan dan menceraikan apa yang sudah bersatu, karena tujuan terakhir setiap makhluk hidup adalah kembali ke keadaan inorganik.

Naluri kehidupan dan naluri kematian bersifat “konservatif”, kedua-duanya berusaha untuk mempertahanakan suatu keadaan yang lebih dahulu. Naluri kehidupan berusaha mempertahankan kehidupan yang sudah ada, sedangkan naluri kematian berusaha untuk mempertahankan keadaan inorganik (Freud,1987:xxxix). Dari uraian tentang pemeliharaan kehidupan sebagai individu sampai kembali kepada keadaan inorganik, dapat disimpulkan bahwa akhir dari kehidupan adalah kematian.

Freud dalam Hall (1964:3) menyatakan bahwa psikologi membidangi individu dengan segenap bentuk aktivitasnya, perbuatan, perilaku dan kerja selama hidupnya. Perilaku tidak hanya mencakup kegiatan motoris saja, tetapi juga setiap penampilan dari kehidupan. Seorang yang diam dan mendengarkan musik atau melihat televisi Freud dalam Hall (1964:3) menyatakan bahwa psikologi membidangi individu dengan segenap bentuk aktivitasnya, perbuatan, perilaku dan kerja selama hidupnya. Perilaku tidak hanya mencakup kegiatan motoris saja, tetapi juga setiap penampilan dari kehidupan. Seorang yang diam dan mendengarkan musik atau melihat televisi

Kematian adalah suatu peristiwa yang pasti terjadi dan menimpa setiap orang (Herman Feifel dalam Koswara,1987:107), sedangkan Heidegger menyatakan bahwa kematian yang dapat diterima dengan ketulusan dan kelapangan akan dapat membantu manusia untuk hidup lebih bahagia. Menurut Jaspess dan Simmel dalam Koswara (1987:18)., kematian bukanlah semata-mata sebagai akhir dari keberadaan manusia melainkan bagian dari hidup keberadaan manusia. Pengingkaran terhadap kematian tidak saja merupakan perilaku yang tidak otentik tetapi juga bisa menjadi sumber dari pengasingan diri

Hal sangat menonjol dalam menghadapi kematian adalah rasa takut, orang tidak akan tenang dan mudah menghadapi kematian. Kematian setiap orang membawa keguncangan, bahkan bisa mengubah kehidupan seseorang. Ada dua kelompok berbeda di dalam pandangan mengenai ketakutan akan kematian. Kelompok pertama berpendapat hanya harapan akan kebakaan personal yang mampu mendamaikan manusia dengan kenyataan kematian. Kelompok kedua berpendapat ketakutan akan kematian dapat diatasi seandainya kematian diterima sebagai kebinasaan total bagi masing-masing orang tanpa harus mempercayai adanya kehidupan baka. Kelompok kedua ini mempunyai jenis yang dapat dibedakan menurut cara mereka mengatasi ketakutan. Menurut Epicurus, dasar dari ketakutan akan kematian adalah keyakinan bahwa kematian merupakan puncak penderitaan atau Hal sangat menonjol dalam menghadapi kematian adalah rasa takut, orang tidak akan tenang dan mudah menghadapi kematian. Kematian setiap orang membawa keguncangan, bahkan bisa mengubah kehidupan seseorang. Ada dua kelompok berbeda di dalam pandangan mengenai ketakutan akan kematian. Kelompok pertama berpendapat hanya harapan akan kebakaan personal yang mampu mendamaikan manusia dengan kenyataan kematian. Kelompok kedua berpendapat ketakutan akan kematian dapat diatasi seandainya kematian diterima sebagai kebinasaan total bagi masing-masing orang tanpa harus mempercayai adanya kehidupan baka. Kelompok kedua ini mempunyai jenis yang dapat dibedakan menurut cara mereka mengatasi ketakutan. Menurut Epicurus, dasar dari ketakutan akan kematian adalah keyakinan bahwa kematian merupakan puncak penderitaan atau

Perilaku tehadap kematian dibagi menjadi lima tahap yaitu: menyangkal dan menyendiri, marah, tawar menawar, depresi, menyerah dan pasrah. Penderita yang menyadari bahwa penyakitnya benar-benar akan membawa kematian adalah shock (keterkejutan). Penyangkalan menjadi pertahanan sementara dan akan segera disusul dengan perilaku menerima. Bila tahap penyangkalan tidak bisa dipertahankan lagi biasanya berlanjut pada tahap kedua yaitu perasaan marah, dimana dokter, perawat, keluarga dan lingkungan selalu dianggap tidak benar. Tahap berikutnya yaitu tawar menawar dimana merupakan usaha penderita untuk menunda kematian. Tawar menawar umumnya dilakukan secara rahasia dihadapan Tuhan. Pada tahap berikutnya yaitu depresi, merupakan rasa sedih sangat mendalam karena harus bersiap-siap untuk berpisah dengan dunia seluruhnya untuk selamanya. Rasa sakit seolah-olah tidak ada, perjuangan telah selesai, dan tiba saatnya untuk istirahat terakhir sebelum perjalanan panjang segera dimulai (Whitehead,1996:165-70).

Bagi Kawabata, kematian merupakan renungan panjang. Salah satu sebab karya Kawabata banyak bertalian dengan maut adalah kehidupan Kawabata sejak kecil penuh kesengsaraan. Kawabata secara berturut-turut ditinggal mati oleh orang- orang yang dicintainya yaitu bapak, ibu, nenek, kakak perempuan satu-satunya, dan kakek. Kematian anggota keluarga ketika dia masih kecil dan hidup yatim piatu sangat mempengaruhi karya-karyanya.

Kesepian dan keheningan, begitu juga suasana bau maut senantiasa mengambang dalam karya-karyanya (Rosidi,1985:VII). Menurut Kawabata dalam Rosidi (1998:77) bahwa kematian dapat ditawar dengan cara hidup kreatif yaitu dengan berkesenian, karena dengan berkesenian dia dapat menolak kehadiran kematian, sebaliknya jika ia tidak dapat lagi mempertahankan hidup berkesenian kehadiran maut akan sulit ditolaknya. Apabila ia menyimak karya seni terutama yang antik, ia dilanda perasaan bahwa kini dan hanya kini benar-benar hidup. Kalau di depannya tidak ada karya seni yang dapat dilihat, maka ia merasa sebagai manusia yang menderita karena bagaikan tiba di ambang maut dan tidak berdaya menolak kematian. Hal ini dialami sendiri oleh Kawabata terutama ketika tidak menulis lagi setelah mendapat hadiah Nobel.

Ucapan Aristoteles bahwa hidup memang singkat tetapi seni abadi rupanya menjadi bagian dari kesadaran hidupnya. Tetapi sangat disayangkan, perilaku menentang tindakan bunuh diri Kawabata dimasuki oleh semangat bushido Jepang, yaitu kode moral kaum samurai mati dengan cara terhormat (Hadiputro,1999:87). Bukan kematian wajar yang diterimanya, tetapi Kawabata mati dengan cara bunuh diri. He committed suicide in 1972 (Sasaki,1987:195).

2.4 Konsep Psikologi Sastra

Budi Darma (1999:1) menyatakan, tiga alasan pokok mengapa psikologi masuk ke dalam studi sastra yaitu, a) untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra yang, langsung atau tidak langsung, mencerminkan perilaku Budi Darma (1999:1) menyatakan, tiga alasan pokok mengapa psikologi masuk ke dalam studi sastra yaitu, a) untuk mengetahui perilaku dan motivasi para tokoh dalam karya sastra yang, langsung atau tidak langsung, mencerminkan perilaku

Tiga aliran penting dalam psikologi modern adalah psikologi psikoanalisis, behaviorisme, dan psikologi humanistik (Darma,1999:1). Dalam penelitian ini hanya dipergunakan psikologi psikoanalisis karena penulis akan meneliti perilaku tokoh utama dalam karya sastra yang langsung atau tidak langsung mencerminkan perilaku dan motivasi manusia. Pendekatan psikologis bersumber pada psikoanalisis Freud (Semi,1993:65), karena dalam melahirkan teori psikoanalisa, Freud banyak menggali persoalan jiwa manusia dari karya-karya sastra (Darma,1999:1).

Psikoanalisis Freud paling kuat pengaruhnya, baik dalam studi sastra maupun dalam penulisan karya sastra. Psikoanalisis merupakan wahana untuk melakukan interpretasi terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan psikologis (Darma,1999:7). Kritik sastra psikoanalisis dipergunakan untuk menganalisis tokoh yang mengalami gangguan jiwa. Psikoanalisa, dengan demikian dalam sastra dipergunakan untuk menghadapi orang-orang yang jiwanya tidak sehat (Darma,1999:3).

Menurut psikoanalisis, jiwa manusia memiliki tiga komponen, yaitu: id, ego, dan superego. Dalam diri seseorang yang berjiwa sehat, id, ego, dan superego Menurut psikoanalisis, jiwa manusia memiliki tiga komponen, yaitu: id, ego, dan superego. Dalam diri seseorang yang berjiwa sehat, id, ego, dan superego

Id adalah tersalurkannya kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan, yang dicurahkan dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar (Hall,1995:30). The child brings into the world an unorganized chaotic mentality (Freud,1938:12). Id mempertahankan sifat kanak-kanak, id suka mendesak, impulsive, irrasional, asosial, mementingkan diri sendiri, dan suka dengan kesenangan (Hall,1995:36). Di lain pihak, menurut Budi Darma (1999:3) id adalah dorongan alamiah jiwa manusia untuk berpikir dan bertindak apa pun sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa kendali, dan tanpa keinginan untuk membatasi diri.

Ego mengontrol dan memerintah id dan superego dan memelihara hubungan dengan dunia luar, jika ego melakukan dengan bijaksana, maka terdapatlah harmoni dan keselarasan, tetapi kalau ego mengalah atau menyerahkan kekuasaanya terlalu banyak pada id, kepada superego, maka akan terjadi kejanggalan dan keadaan tidak teratur (Hall,1995:37). Ego adalah penyeimbang antara tuntutan-tuntutan pengendalian diri dan pembatasan diri. Dalam kedudukannya sebagai penyeimbang, ego adalah kepanjangan kesadaran pikiran (the conscious thinking mind). Kesadaran inilah yang mengendalikan kata-kata, tindakan-tindakan, dan pikiran-pikiran seseorang dalam menghadapi masyarakat sebagai sebuah dunia luar di luar dunia dirinya sendiri (Darma,1999:4).

Superego adalah kode moril dari seseorang, perpaduan yang dialami seorang anak dari ukuran-ukuran orang tuanya mengenai apa yang baik dan saleh, apa yang buruk dan batil (Hall,1995:41). Agar superego mempunyai pengawasan terhadap anak, seperti yang dimiliki orangtua, penting bagi superego untuk mempunyai kekuatan mendesakkan ukuran morilnya (Hall,1995:41). Superego adalah perwujudan wewenang ayah dan masyarakat, yaitu wewenang untuk mengendalikan dan membatasi dengan keras keinginan-keinginan tanpa kendali dan tanpa pembatasan diri dalam id (Darma ,1999:3).

Dalam interpretasi sastra, masing-masing komponen yaitu id, ego, dan superego berdiri sendiri-sendiri. Kegunaan interpretasi sastra adalah melihat gejala di balik ketiga komponen yang dari kulit luar nampak satu, namun sebenarnya bukan satu. Karena itu dalam menemukan gejala yang tersembunyi dalam jiwa tokoh dalam karya sastra, dicari kunci-kunci yang berupa kata-kata, pikiran-pikiran, tindakan dalam karya sastra untuk melihat apa sebenarnya yang berada di balik kunci-kunci itu (Darma,1999:4).

Dari teori tentang id, ego, dan superego di atas, tokoh utama Eguci senang mengunjungi rumah perawan setelah diberitahu oleh Kiga tua, dan kunjungan tersebut dilakukannya sebanyak lima kali. Eguci berusia enam puluh tahun, sebagai orang tua harus mengendalikan dan membatasi keinginan-keinginan selama mengunjungi rumah perawan. Kesadaran sebagai orang tua inilah yang mengendalikan kata-kata, tindakan-tindakan, dan pikiran-pikiran Eguci dalam menghadapi masyarakat sebagai sebuah dunia luar di luar dunia dirinya sendiri.

Selain id, ego, dan superego, Freud berpendapat bahwa dalam kehidupan terdapat tiga prinsip fundamental, yaitu prinsip kesenangan (the pleasure principle), prinsip konstansi (the principle of constancy), dan prinsip realitas (the reality principle) (Freud,1987:xxii). Prinsip kesenangan (the pleasure reality) merupakan prinsip kehidupan yang pertama sebagai perwujudan id (Hall,1995:40). Hidup psikis cenderung menghindarkan ketidak-senangan dan sebanyak mungkin memperoleh kesenangan (Freud,1987:xxii). Ketegangan dirasakan sebagai penderitaan, sedangkan pertolongan ketegangan dirasakan sebagai kesenangan atau kepuasan. Dalam Hall (1995:30) disebutkan, tujuan dari prinsip kesenangan adalah membebaskan seseorang dari ketegangan, sehingga sedapat mungkin menjadi tetap (konstan).

Menurut prinsip konstansi (the principle of constancy) hidup psikis berkecenderungan untuk mempertahankan kuantitas ketegangan psikis pada taraf yang serendah mungkin atau setidak-tidaknya pada taraf yang sedapat mungkin stabil. Konstansi atau stabilitas ini dihasilkan di satu pihak dengan melepaskan energi psikis yang sudah ada pada subjek dan lian pihak dengan menghindarakn bertambahnya ketegangan, misalnya melalui “pertahanan” (defence) melawan pertambahan tersebut (Freud,1987:xxii).

Pada anak kecil, prinsip konstansi dan prinsip kesenangan menguasai semua proses psikis. Tetapi makin lama subjek yang mencari kesenangan harus ditangguhkan, supaya diberi preferensi pada pemuasan yang lebih sesuai dengan realitas. Dari prinsip konstansi dan prinsip realitas, Freud berpendapat adanya prinsip Pada anak kecil, prinsip konstansi dan prinsip kesenangan menguasai semua proses psikis. Tetapi makin lama subjek yang mencari kesenangan harus ditangguhkan, supaya diberi preferensi pada pemuasan yang lebih sesuai dengan realitas. Dari prinsip konstansi dan prinsip realitas, Freud berpendapat adanya prinsip

Ketiga prinsip di atas yaitu prinsip kesenangan (the pleasure principle), prinsip konstansi (the principle of constancy), dan prinsip realitas (the reality principle) dialami oleh Eguci. Sebagai orang tua, ia senang mengunjungi rumah perawan dengan menikmati keindahan pemandangan perawan-perawan telanjang bulat yang ditidurkan. Usia enam puluh tahun dan peraturan rumah perawan yang tidak memperbolehkan lelaki-lelaki tua berbuat tidak senonoh, misalnya dengan memasukkan jari ke mulut perawan yang ditidurkan, membuat Eguci sadar akan keberadaan dirinya sebagai orang tua yaitu ayah dari ketiga anak perempuan.

Karya sastra berhubungan dengan kenyataan sosial yang dialami oleh masyarakat. Oleh sebab itu, untuk menelaah dan memahami karya sastra tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Karya sastra dapat didekati dari berbagai aspek, yaitu aspek sosiologis, politis, religius, psikologis, antropologis dan sebagainya (Damono,1985:4). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan psikologis karena dalam menganalisis sebuah karya sastra, pendekatan psikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya sastra membahas tentang peristiwa kehidupan manusia (Koswara,1990:76).

Sastra merupakan gejala kejiwaan, di dalamnya terkandung fenomena- fenomena kejiwaan yang tercermin lewat pelaku tokoh-tokohnya. Aminuddin (1990:93) menyatakan bahwa karya sastra dan psikologi mempunyai hubungan yang fungsional, yaitu sama-sama untuk mempelajari kejiwaan seseorang. Hanya Sastra merupakan gejala kejiwaan, di dalamnya terkandung fenomena- fenomena kejiwaan yang tercermin lewat pelaku tokoh-tokohnya. Aminuddin (1990:93) menyatakan bahwa karya sastra dan psikologi mempunyai hubungan yang fungsional, yaitu sama-sama untuk mempelajari kejiwaan seseorang. Hanya

Untuk mengetahui aspek psikologi tokoh dalam karya sastra, diperlukan psikologi sastra sebagai studi sastra untuk meneliti aspek psikologi yang ditunjukkan tokoh-tokoh dalam karya sastra tersebut. Telah disebutkan sebelumnya bahwa istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian yaitu, studi pengarang sebagai tipe atau pribadi, studi proses kreatif, studi tipe-tipe atau hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan studi dampak sastra terhadap pembaca (Wellek dan Warren,1990:90). Di pihak lain, Andre Harjana (1991:65-66) menyatakan bahwa pembahasan karya sastra yang menganut aliran psikologi bertujuan untuk menganalisis jiwa pengarang melalui karya sastra, juga menggunakan pengetahuan tentang persoalan-persoalan psikologi. Dengan menggunakan pertolongan pengetahuan psikologi, pembaca dapat mengamati tingkah laku pada tokoh dalam suatu roman atau novel.

Aminuddun (1990:89) berpendapat, sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra didukung oleh tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan tekstual, dan pendekatan reseptif pragmatis. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif lewat karya ciptanya, pendekatan tekstual adalah mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra, Aminuddun (1990:89) berpendapat, sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra didukung oleh tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekspresif, pendekatan tekstual, dan pendekatan reseptif pragmatis. Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang mengkaji aspek psikologis penulis dalam proses kreatif lewat karya ciptanya, pendekatan tekstual adalah mengkaji aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra,

Lingkungan dan psikologi manusia beserta tingkah lakunya merupakan suatu kesatuan, saling terkait, dan saling mempengaruhi. Sangat penting bagi manusia untuk memahami lingkungan di mana ia berada, agar dapat menyesuaikan diri. Calhoun dan Acocella (1995:432) menyatakan bahwa memahami lingkungan sama besarnya dengan memahami diri sendiri dan sosial. Ketika seseoramg melihat lingkungan fisik, ia tidak hanya melihat kenyataan objektif tetapi juga melihat kenyataan subjektif.

Dalam memahami lingkungan secara subjektif sangat terlihat pada peta kognitif pada diri manusia yaitu gambaran seseorang tentang suatu lingkungan (Calhoun dan Acocella, 1990:432). Sementara itu Wirawan (1988:82) menjelaskan bahwa peta mental adalah proses yang memungkinkan seseorang mengumpulkan, mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil serta menguraikan kembali informasi tentang lokasi lingkungan geografis. Dengan menggunakan peta kognitif ini dapat diketahui bahwa, jika orang yang berbeda melihat lingkungan yang sama, ternyata mempunyai cara pandang yang sangat berbeda terhadap lingkungan tersebut. Hal tersebut dapat menciptakan perubahan pribadi terhadap lingkungan.

Perubahan pribadi terhadap lingkungan ini dapat dilihat melalui dua proses yaitu perhatian selektif dan pembiasaan. Proses perhatian selektif adalah sesuatu yang diinginkan seseorang atau dipahami terhadap rangsangan yang ditunjukkan oleh lingkungan kepadanya, sedangkan apa yang tidak diinginkan maka orang tersebut akan menyaringnya (Calhoun dan Acocella,1990:433). Kemudian ada dua kriteria yang digunakan untuk proses seleksi, yaitu proses kerelevanan dan proses pembiasaan.

Secara otomatis seseorang akan membedakan antara hal yang relevan dan tidak relevan dengan kebutuhan. Hal relevan biasanya lebih dahulu dipahami dan diingat, sedangkan hal yang tidak relevan akan diabaikan. Kriteria kedua adalah keajegan informasi karena dalam pemahaman lingkungan, informasi yang paling menarik adalah informasi yang selalu ajeg tentang lingkungan tersebut. Hal inilah yang dapat menentukan apa yang akan dipahami seseorang dalam lingkungannya.

Proses pembiasaan adalah suatu proses yang menyebabkan perubahan pemahaman seseorang terhadap lingkungan. Jika seseorang terbiasa terhadap suatu rangsangan, maka menyebabkan kurang tanggap untuk berbuat sesuatu terhadap rangsangan tersebut (Calhoun dan Acocella,1990:434). Lebih lanjut dinyatakan bahwa proses pembiasaan ini menyebabkan orang menerima tanpa mengeluh kondisi lingkungan yang tidak terima sehingga semakin orang tersebut menerima keadaan, maka akan terlihat semakin alami keadaan tersebut. Dan hal inilah yang mengakibatkan orang untuk berhenti memperhatikan keadaan lingkungannya (Calhoun dan Acocella,1990: 436).

2.4.1 Hubungan Lingkungan Dengan Manusia

Lingkungan merupakan tempat yang memungkinkan tindakan manusia terjadi dan merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya (Calhoun dan Acocella,1990:411). Tahap paling awal dari hubungan manusia dengan lingkunganya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan individu datang dengan sifat-sifat individualnya, pengangalaman masa lalu, bakat, minat, perilaku, dan berbagai ciri kepribadiannya (Wirawan,1988:48).

Dalam kenyataan, lingkungan terdiri atas objek-objek yang harus ditangkap keberadaanya melalui indera-indera, seperti indera penglihatan menangkap cahaya dan benda-benda, pendengaran menangkap gelombang suara, pengecap menangkap rasa, dan indera perasa menangkap suhu udara (Wirawan,1995:45). Lingkungan merupakan tanah yang dapat dicetak menurut kehendak manusia, dan manusialah yang memanipulasi dunia sekitarnya. Padahal sesungguhnya dunia juga memanipulasi manusia sehingga manusia itu berperilaku sesuai dengan tempat di mana ia berada (Calhoun dan Acocella,1995:412). Sejalan dengan pendapat tersebut, dinyatakan oleh Poduska (1990:40), bahwa reaksi dan interaksi seseorang dengan alam sekitar dapat diubah dan diramalkan. Tingkah laku, perilaku, karakter seseorang merupakan hasil pengaruh dari lingkunganya atau alam sekitar dari sejumlah kondisi- kondisi yang mempengaruhinya.

John Locke dalam Gerungan (1997:9) menyatakan bahwa manusia ketika dilahirkan ibarat kertas putih, dan lingkungan di mana seseorang tumbuh yang akan mengisi goresan-goresan di atas kertas itu. Lingkungan mempunyai peran yang sangat besar terhadap manusia dalam menentukan tingkah laku, perilaku dan karakter seseorang. Tindakan-tindakkan yang dilakukan oleh seseorang tidak bisa dipisahkan dari tempat tindakan itu berlangsung (Krasner dan Ullmann dalam Calhoun dan Acocella,1990:412). Ditambahkan bahwa manusia sebagai individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan tingkah laku melalui belajar. Kebiasaan belajar misalnya, seseorang dipengaruhi oleh meja belajar. Semua itu hanya sebagian kecil dari perilaku. Keseluruhan kehidupan, pikiran, emosi dan tindakan manusia membentuk interaksi dengan lingkungan dan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan (Calhoun dan Acocella,1990:412).

2.4.2 Pengaruh Lingkungan Terhadap Perilaku

Pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia, menurut Calhoun dan Acocella (1990:412-14), terdapat empat cara. Pertama, lingkungan menghalangi perilaku, sehingga membatasi apa yang akan dilakukan manusia. Kedua, lingkungan mengundang atau mendatangkan perilaku sehingga akan menentukan bagaimana seseorang itu bertindak. Ketiga, lingkungan membentuk diri yaitu yang menentukan arah perkembangan kepribadian pada masa yang akan datang. Keempat, lingkungan akan mempengaruhi citra diri. Lingkungan sekitar menentukan apa yang dapat dilakukan, apa yang harus dilakukan dan dapat menjelaskan siapa dirinya.

Pengaruh lingkungan terhadap individu akan menghasilkan persepsi terhadap lingkungan tersebut. Jika persepsi itu berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan seimbang. Keadaan ini biasanya akan dipertahankan oleh individu tersebut karena menimbulkan perasaan-perasaan yang menyenangkan. Sebaliknya, jika persepsi yang dihasilkan berada di luar batas maka individu itu akan mengalami tekanan dalam dirinya (Wirawan,1988:48).

Skinner dalam Koswara (1988:80) menyatakan seseorang cenderung untuk mengulang tingkah lakunya di masa datang jika hasil yang diperoleh positif yaitu menyenangkan. Tetapi seseorang akan menghentikan tingkah lakunya, jika hasil yang didapat negatif yaitu merugikan atau tidak menguntungkan. Seseorang akan selalu mengulangi perilakunya jika ia mendapat respon yang positif dan menghentikan atau menghilangkan tingkah lakunya jika ia mendapat respon yang negatif.

Lingkungan yang tidak menyenangkan akan menimbulkan tanggapan yang tidak menyenangkan pula dalam diri seseorang. Respon tidak menyenangkan itu dapat berupa marah, malu, resah dan gelisah. Marah adalah tanggapan yang dirasakan seseorang karena merasa terkungkung dalam suatu keadaan karena tidak bisa leluasa bergerak. Dan juga seseorang merasa bahwa hak miliknya telah disalahgunakan orang dengan tidak benar sehingga hal itu dapat merusak citra dirinya (Poduska,1990:196).

Malu adalah gambaran hati yang merasa terhina. Seseorang merasa perbuatan yang telah dilakukan merupakan perbuatan baik tetapi oleh orang lain dianggap sebagai perbuatan jelek. Perasaan malu ini timbul tidak hanya dari tindakan yang telah dilakukan, tetapi juga dari pengaruh tempat di mana ia berada. Resah dan Malu adalah gambaran hati yang merasa terhina. Seseorang merasa perbuatan yang telah dilakukan merupakan perbuatan baik tetapi oleh orang lain dianggap sebagai perbuatan jelek. Perasaan malu ini timbul tidak hanya dari tindakan yang telah dilakukan, tetapi juga dari pengaruh tempat di mana ia berada. Resah dan

Jika lingkungan tidak menyenangkan akan menimbulkan tanggapan yang tidak menyenangkan, tetapi sebaliknya jika keadaan lingkungan menyenangkan maka akan menimbulkan tabggapan yang menyenangkan pula. Tanggapan tersebut antara lain damai dan tenang, puas dan bahagia. Perasaan damai dan tenang adalah suatu perasaan tiada beban yang mengganggu. Seseorang seakan-akan lepas dari segala masalah yang yang dihadapinya, tidak merasakan kekacauan dan tidak resah, yang dirasakan hanya tenang seperti keadaan sunyi (Kubi, 1987:244). Puas dan bahagia adalah perasaan di mana gembira karena yang diinginkan telah terpenuhi lebih dari cukup. Seseorang dapat menikmatinya dengan perasaan tanpa beban sehingga perasaan puas dan bahagia membawa rasa syukur terhadap apa yang telah didapat (Kubi,1987:74).

BAB III Metode Penelitian

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, karena menurut Sunarto (1997:36) hampir semua penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu dalam rangka memahami dan menggambarkan semua gejala yang diteliti. Selain itu, sesuai dengan judul penelitian ini, peneliti tidak saja memperhatikan bagaimana subjek yang diteliti berinteraksi tetapi juga memperhatikan makna perilakunya. Bogdan dan Taylor (1975:4) menyatakan penelitian kualitatif adalah proses penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian ini data perilaku didapatkan dari novelet Nemureru Bijo (Rumah Perawan) karya Kawabata Yasunari baik dari teks terjemahan Asrul Sani maupun teks asli berbahasa Jepang.

3.2 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah perilaku tokoh utama terhadap kematian. terdiri dari objek utama dan objek penunjang. Objek utama adalah novelet Rumah Perawan (1977) yaitu naskah terjemahan bahasa Indonesia oleh Asrul Sani, terdiri dari 93 halaman, sedangkan naskah asli berbahasa Jepang, Nemureru Bijo (1964) terdiri dari 64 halaman terbitan Chuôkôronsha, Tokyo (1964) menjadi objek Objek dalam penelitian ini adalah perilaku tokoh utama terhadap kematian. terdiri dari objek utama dan objek penunjang. Objek utama adalah novelet Rumah Perawan (1977) yaitu naskah terjemahan bahasa Indonesia oleh Asrul Sani, terdiri dari 93 halaman, sedangkan naskah asli berbahasa Jepang, Nemureru Bijo (1964) terdiri dari 64 halaman terbitan Chuôkôronsha, Tokyo (1964) menjadi objek

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan metode pustaka yaitu menggunakan sumber- sumber pustaka sebagai acuan dalam penelitian. Metode pustaka diterapkan pada saat mencari data dan mengumpulkan data dari sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis meliputi buku, majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong,1989:124).

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data penelitian ini dilakukan sepanjang penelitian berlangsung dan dilakukan secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian. Data terdiri data utama dan data penunjang, dimana data utama adalah perilaku tokoh utama terhadap kematian dengan menggunakan pendekatan psikologi, dan data penunjang adalah referensi tentang perilaku, psikologi dan kematian.

Teknik analisis data menggunakan analisis isi (content analyisis) dan analisis deskriptif. Analisis isi (content analyisis) merupakan tehnik analisis data yang lebih menekankan pada makna data yaitu makna yang terdapat dalam novelet, sedangkan analisis deskriptif adalah tehnik analisis data dengan mendeskripsikan data-data apa adanya sehingga menimbulkan kejelasan dan mudah dipahami oleh pembaca

(Bailey,1987:300 dalam Supratno,1998:18). Tehnik analisis deskriptif, mendeskripsikan aspek psikologis perilaku tokoh utama terhadap kematian.

BAB IV Biografi Pengarang, Hasil Karya dan Eksistensi Kepengarangannya

Dalam bab ini akan diuraikan biografi pengarang, hasil karya dan eksistensi kepengarangannya. Riwayat pengarang untuk mengetahui latar belakang kehidupan Kawabata Yasunari, hasil karya untuk mengetahui karya sastra yang dihasilkan oleh Kawabata Yasunari sehingga mampu mendapat hadiah Nobel, dan eksistensi kepengarangannya untuk membuktikan bahwa Kawabata Yasunari adalah pemuja keperawanan. Ketiga hal tersebut perlu diuraikan karena berkait dengan karya terbaik Kawabata Yasunari yaitu Nemureru Bijo (Rumah Perawan).

4.1 Biografi Pengarang

Kawabata Yasunari dilahirkan pada tahun 1899 di Osaka. Ia hanya dua bersaudara dengan kakak perempuan yang usianya lebih tua empat tahun. Ayahnya seorang dokter, wakil kepala rumah sakit di Osaka dan mempunyai minat yang besar terhadap puisi Cina dan seni lukis. Namun sayang, ketika usia Kawabata Yasunari masih dua tahun, ayahnya meninggal dunia karena penyakit paru-paru. Dan tepat satu tahun kematian ayahnya, ibunya pun meninggal akibat tertular penyakit ayahnya.

Dalam usia tiga tahun, Kawabata Yasunari sudah menjadi yatim piatu. Kemudian ia diasuh oleh kakek dan neneknya. Pada usia tujuh tahun ia mulai memasuki bangku SD, tetapi baru empat bulan menginjak SD neneknya meninggal. Selama di SD ia sering tidak masuk sekolah karena keadaan badannya yang lemah Dalam usia tiga tahun, Kawabata Yasunari sudah menjadi yatim piatu. Kemudian ia diasuh oleh kakek dan neneknya. Pada usia tujuh tahun ia mulai memasuki bangku SD, tetapi baru empat bulan menginjak SD neneknya meninggal. Selama di SD ia sering tidak masuk sekolah karena keadaan badannya yang lemah

Pada usia tiga belas tahun, Kawabata Yasunari tamat Sekolah Dasar dan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama. Semasa kecil ia bercita-cita ingin menjadi seorang pelukis, tetapi ketika kelas dua SMP ia berubah cita-cita ingin menjadi seorang novelis. Bersama teman sekelasnya ia membentuk kelompok anak- anak yang bercita-cita menjadi novelis. Mereka membuat karangan-karangan yang kemudian dimuat di majalah sekolah. Banyak majalah-majalah sastra dan kesenian yang telah dibacanya dan pada usia empat belas tahun ia mulai menulis puisi bentuk baru maupun tradisional Jepang serta menulis karangan lainnya.

Pada usia lima belas tahun, kakek yang mengasuh dan dekat dengannya meninggal dunia. Lengkap sudah penderitaan Kawabata Yasunari karena ditinggal mati oleh orang-orang terdekatnya. Penderitaan itu membuatnya menulis Juurokusai no Nikki (Buku Harian di Usia Enam Belas Tahun) sebagai karya pertamanya yang dikenal masyarakat. Kematian keluarga secara berturut-turut yang dialaminya ketika masih kecil, sehingga menjadi yatim piatu itu sangat mempengaruhi karya-karyanya. Kesepian dan keheningan yang ia rasakan begitu juga suasana berbau maut senantiasa terlihat dalam karangannya. Para pengritik dan pengamat karya Kawabata Yasunari mengatakan bahwa karyanya selalu mempertentangkan kemudahan melawan maut, sehingga hal itu menjadi tema utama karya-karyanya. Para pengkritik karya

Kawabata Yasunari mengatakan bahwa karya-karyanya selalu mempertentangkan kemudahan melawan maut, sehingga hal itu menjadi tema utama karya-karyanya.

Setelah kematian kakeknya, ia pidah ke asrama sekolah sampai tamat SMP, kemudian melanjutkan ke SMA yang ada di Tokyo. Karena mengalami kejenuhan hidup di asrama, untuk pertama kalinya yaitu pada usia sembilan belas tahun, Kawabata Yasunari melakukan perjalanan wisata seorang diri ke Semenanjung Izu. Dalam perjalanan itu tanpa sengaja ia berjumpa dengan rombongan penari penghibur, kemudian bersama-sama rombongan anak wayang tersebut ia menyusuri jalan-jalan yang ada di Semenanjung Izu. Pengalaman perjalanannya itu menjadi bahan penulisan novelet Izu no Odoriko (Penari Izu). Ketika duduk di kelas dua SMA, bersama teman sekolahnya Kawabata Yasunari menerbitkan majalah sekolah yang diberi nama “Chiyo”.