ANALISIS CERPEN CLARA ATAWA WANITA YANG

ANALISIS CERPEN CLARA ATAWA WANITA YANG DIPERKOSA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURALISME GENETIK
MATA KULIAH TEORI SASTRA

DISUSUN OLEH:
Alya Agustin

2125155068

Rahma Annisa

2125153797

Destriyadi

2125152872

Rezza Budhi Prasetyo

2125154424


Ichan Dames Nugraha

2125152831

Rizqiana Lestari

2125152132

Naning Nur Wijayanti

2125152730

Septio Erostian

2125151557

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2016


DAFTAR ISI
Daftar isi
Bab 1 pendahuluan
1.1 latar belakang
1.2 rumusan madalah
1.3 tujuan
Bab II Landasan teori
Bab III Pembahasan
2.1 teks cerpen Clara atawa Wanita yang DIperkosa
2.2 unsur intrinsik
2.3 unsur ekstrinsik
Bab IV penutup
Kesimpulan
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.


Latar belakang
Cerpen atau cerita pendek merupakan salah satu bentuk prosa naratif fiktif. Isi cerita
dalam cerpen cenderung singkat, padat dan langsung pada tujuan. Konflik didalamnya pun
cenderung lebih ringan dibanding dengan novel atau novelet.
Menurut H.B. Jassin, cerpen ialah sebuah cerita yang singkat yang harus memiliki
bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian serta penyelesaian.
Namun, terkadang seorang penulis cerpen atau cerpenis seringkali menuangkan
kejadian-kejadian yang ada disekitarnya dalam cerpennya. Seperti bencana alam, kerusuhan
atau mungkin hal-hal yang sedang ngetren dijamannya. Seorang cerpenis juga sering
menuangkan pesan-pesan moral tersirat didalam cerpennya.
Untuk memahami isi cerpen, pembaca perlu melakukan kajian atau analisis terhadap
cerpen tersebut. Dalam mengkaji atau menganalisis cerpen, ada beberapa pendekatan yang
dapat kita gunakan, salah satunya adalah pendekatan struktural. Pendekatan struktural
dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Struktural sendiri terbagi
menjadi tiga jenis, yaitu strukturalisme formalis, strukturalisme genetik dan strukturalisme
dinamik.Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran
semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk
kebulatan yang indah (Abrams, 1981:68 dalam Nurgiyantoro, 2007:36). Di pihak
lain,struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur (intrinsik)
yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama

membentuk satu kesatuan yang utuh (Nurgiyantoro, 2007:36).
Analisis yang akan kami gunakan adalah menggunakan pendekatan strukturalisme
genetik, dimana kami selain mengkaji unsur intrinsiknya kami juga mengkaji unsur
ekstrinsiknya. Menurut seorang ahli bernama Goldmann, sturkturalisme genetik merupakan
pendekatan sastra yang bergerak dari teks sebagai fokus yang otonom menuju faktor-faktor
yang bersifat ekstrinsik di luar teks, yaitu penulis sebagai subjek kolektif suatu masyarakat.
Strukturalisme genetik berpandangan bahwa sastra merupakan fenomena zaman, sastra
adalah refleksi kehidupan pengarang pada masanya, sastra adalah produk eksternal yang
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah dan sosial tertentuk.
“Clara atawa wanita yang diperkosa” merupakan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma.
Dalam karyanya itu, Seno mengingatkan kita dengan tragedi yang pernah terjadi di Indonesia

yaitu kerusuhan tahun 1998 silam. Kami akan mengkaji cerpen tersebut menggunakan
pendekatan strukturalisme genetik.
1.2.

Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1. Bagaimana analisis strukturalisme genetik cerpen “Clara atawa wanita yang diperkosa”
karya Seno Gumira Ajidarma?


1.3.

Tujuan
Dalam penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis cerpen “Clara atawa wanita yang diperkosa” karya Seno Gumira Ajidarma
dengan pendekatan strukturalisme genetik

BAB II
LANDASAN TEORI
Strukturalisme genetik merupakan penelitian sosiologi sastra. Menurut Taum (1997: 47)
menyatakan bahwa sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma
dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh
teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Karya sastra memiliki keterkaitan dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam
masyarakat. Watt (dalam Damono, 2000:12-13) menuliskan bahwa ada tigahal yang dapat
diteliti. Ketiga hal dimaksud adalah pertama, sosiologi pengarang memfokuskan perhatiannya
dan integrasi sosial pengarang. Sosiologi karya dan sosiologi pembaca. Kedua, sosiologikarya
sastra menitik beratkan perhatiannya terhadap isi teks karya sastra, tujuan karya sastra dan
masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra. Ketiga,sosiologi pembaca memfokuskan

perhatiannya pada latar sosial pembaca, dampak sosial karya sastra terhadap pembaca, dan
perkembangan sosial pembaca.
Proses penciptaan karya sastra secara tidak langsung bersumber dari masyarakat
oengarang. Hal-hal realitas dalam masyarakat, sebagai bahan mentah karya sastra diolah oleh
pengarang dengan mempertimbangkan pandangan subjektif dan kemungkinan-kemungkinan
baru.
Silbermann (dalam Junus, 1985:84) mengemukakan bahwa terdapat lima penelitian yang
terkait dengan sosiologi seni yang didalamnya termasuk sastra, yaitu: pertama, penelitian
pengaruh seni terhadap kehidupan manusia, kedua penelitian perkambangan dan objek sosial
dalam seni, ketiga penelitian pengaruh seni terhadap pembentukan kelompok dan konflik sosial,
keempat penelitian pertumbuhan dan hilangnya lembaga artistik sosial, dan kelima penelitian
faktor-faktor dan bentuk-bentuk sosial yang mempengaruhi seni.
Max weber (dalam Wellek dan Austin Warren, 1989:124) mengungkapkan, “Gejalagejala sosial dalam sastra bukanlah fakta objektif dan pola perilaku, tetapi merupakan sikap yang
kompleks.” jadi, teks sastra yang ditulis oleh pengarang bukanlah suatu peristiwa yang langsung
terjadi di tengah masyarakat, tetapi pengarang memproses ide yang diperolehnya dengan
imajinasinya sehingga isi karya sastra menarik untuk dipahami.
Hippolyte Taine (dalam Taum, 1997:49) menyatakan, “Karya sastra dapat dijelaskan
menurut tiga faktor, yakni ras, saat (moment), dan lingkungan (milleu).” Ketiga hal tersebut
mengantarkan pemahaman terhadap iklim suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang


yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Ras adalah sesuatu yang diwarisi dalam jiwa
dan raga seseorang. Saat atau moment adalah situasi sosial politik pada suatu periode tertentu.
Lingkungan atau milleu meliputi keadaan alam, iklim dan sosial.
Konsep-konsep tersebut kemudian dikembangkan lebih sitemis dan ilmiah oleh
Goldmann dengan teori strukturalisme genetik (Damono, 1984:41). Strukturalisme genetik
sebagai salah satu teori penelitian sosiologi sastra menumpukkan pada sosiologi teks dan
sosiologi pengarang. Penelitian dengan strukturalisme genetik hendak mengungkap masalah
sosial dalam teks dan integrasi sosial; pengarang dalam masyrakatnya yang tercermin dalam
teks. Oleh karena itu, penelitian dengan pendekatan teori strukturalisme genetik selalu
mengaitkan antara karya sastra, pengarang sebagai penghasil karya, dan masyrakat pengarang
yang dianggap mampu mengkondisikan pengarang untuk menulis. Karya sastra memang
bersumber dalam kehidupan masyarakat, dalam konfigurasi status dan peranan yang terbentuk
dalam struktus sosial, dan dengan sendirinya menerima berbagai pengaruh sosial.
Boelhower (dalam Ratna, 2004:124) menjelaskan bahwa secara ringkas berarti
strukturalisme genetik memberikan perhatian terhadap analisis intriksi dan ekstrinsik. Secara
definisi, Goldmann (dalam Faruk, 1999:13) menjelaskan bahwa strukturalisme genetik adalah
teori sastra yang berkeyakinan bahwa karya sastra semata-mata merupakan suatu struktur statis
dan lahir dengan sendirinya.
Secara umum strukturalisme genetik dibangun oleh prinsip “struktu-historis-dialektik.”
Artinya pemahaman sebuah karya sastra harus berangkat dari struktur teks. Struktur teks yang

dimaksud adalah hubungan bagian dengan keseluruhan. Bagian akan bermakna jika ditempatkan
dalam kontek keseluruham, demikian juga kesluruhan akan bermakna jika dihubungkan dengan
bagian. Pemahaman struktur bagian-keseluruhan mutlak dilakukan oleh peneliti.
Damono (1984:37) menuliskan bahwa, strukturalisme genetik sebagai teori penelitian
sosilogi sastra memiliki empat ciri mendasar. Pertama, perhatian utama strukturalisme genetik
adalah keutuhan atau totalitas. Totalitas lebih penting daripada bagian-bagiannya.
Totalitas dan bagian-bagiannya dapat dijelaskan jika dipandang dari segi hubunganhubungan ang ada antara bagian-bagian itu menyatukannya menjadi totalitas. Kedua,
strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaan, tetapi struktur dibalik kenyataan
empiris. Ketiga, analisis strukturalisme genetik adalah analisis sinkronis dan bukan
diakronis.perhatain dipusatkan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu
waktu. Keempat, strukturalisme genetik mempercayai hukum perubahan bentuk dan bukan
kausalitas.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Teks Cerpen
Clara atawa Wanita yang Diperkosa
Seno Gumira Ajidarma
Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi aku memakai

seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat sebetulnya. Tapi orang-orang
menyebutnya merah. Padahal merah punya arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki
pikiran bahwa orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.
Jadi, aku tidak perlu percaya kepada wanita ini, yang rambutnya sengaja dicat merah. Barangkali
isi kepalanya juga merah. Barangkali hatinya juga merah. Siapa tahu? Aku tidak perlu percaya
kepada kata- kata wanita ini, meski ceritanya sendiri dengan jujur kuakui lumayan mengharukan.
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya
kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan
dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin
yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah
bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena
dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.
Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri.
Beban penderitaan macam apakah yang bisa dialami manusia sehingga membuatnya tak mampu
berkata-kata?
Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah
bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah
sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi
menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif —

pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.
Maka, kalau cuma menyambung kalimat yang terputus-putus karena penderitaan, bagiku
sungguh pekerjaan yang ringan.
***
Api sudah berkobar di mana-mana ketika mobil BMW saya melaju di jalan tol. Saya menerima
telepon dari rumah. ”Jangan pulang,” kata Mama. Dia bilang kompleks perumahan sudah
dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Sinta,
adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana. ”Jangan pulang, selamatkan

diri kamu, pergilah langsung ke Cengkareng, terbang ke Singapore atau Hong Kong. Pokoknya
ada tiket. Kamu selalu bawa paspor kan? Tinggalkan mobilnya di tempat parkir. Kalau terpaksa
ke Sydney tidak apa-apa. Pokoknya selamat. Di sana kan ada Oom dan Tante,” kata Mama lagi.
Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi perusahaan Papa
yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk
tidak mem-PHK para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan kerusuhan. Papa
marah-marah. ”Kita tidak punya uang untuk membayar buruh. Selain produksi sudah berhenti,
yang beli pun kagak ada. Sekarang ini para buruh hidup dari subsidi perusahaan patungan kita di
luar negeri. Mereka pun sudah mencak-mencak profitnya dicomot. Sampai kapan mereka sudi
membayar orang-orang yang praktis sudah tidak bekerja?”
Saya masih ngotot. Jadi Papa putuskan sayalah yang harus mengusahakan supaya profit

perusahaan patungan kami di Hong Kong, Beijing, dan Macao diperbesar. Tetesannya lumayan
untuk menghidupi para buruh, meskipun produksi kami sudah berhenti. Itu sebabnya saya sering
mondar-mandir ke luar negeri dan selalu ada paspor di tas saya.
Tapi, kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus di
rumahnya sendiri? Saya melaju lewat jalan tol supaya cepat sampai di rumah. Saya memang
mendengar banyak kerusuhan belakangan ini. Demonstrasi mahasiswa dibilang huru-hara. Terus
terang saya tidak tahu persis apa yang terjadi. Saya terlalu tenggelam dalam urusan bisnis. Koran
cuma saya baca judul-judulnya. Itu pun maknanya tidak pernah jelas. Namun, setidaknya saya
yakin pasti bukan mahasiswa yang membakar dan menjarah kompleks perumahan, perkotaan,
dan mobil-mobil yang lewat. Bahkan bukan mahasiswa pun sebenarnya tidak ada urusan
membakar-bakari rumah orang kalau tidak ada yang sengaja membakar-bakar.
Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan terlihat api menerangi malam.
Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya
akan segera tiba di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali
menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan berdiri di
tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya. Saya menginjak rem, tidak langsung, karena
mobil akan berguling-guling. Sedikit-sedikit saya mengerem, dan toh roda yang menggesek aspal
semen itu tetap mengeluarkan bunyi Ciiiiiiitttt! Yang sering dianggap sebagai petanda betapa
para pemilik mobil sangat jumawa.
Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.
”Buka jendela,” kata seseorang.
Saya buka jendela.
”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian.
Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh, benarkah
sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah
saya dengan lahir sebagai Cina?

”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar.
Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya dilempar
seperti karung dan terhempas di jalan tol.
”Sialan! Mata lu sipit begitu ngaku-ngaku orang Indonesia!” Pipi saya menempel di permukaan
bergurat jalan tol. Saya melihat kaki-kaki lusuh dan berdaki yang mengenakan sandal jepit,
sebagian tidak beralas kaki, hanya satu yang memakai sepatu. Kaki-kaki mereka berdaki dan
penuh dengan lumpur yang sudah mengering.
”Berdiri!” Saya berdiri, hampir jatuh karena sepatu uleg saya yang tinggi. Saya melihat
seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard, lantas mengambil tas saya.
Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata,
lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya kemarin.
Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan. Sejuta rupiah uang
cash amblas dalam sekejap. Tidak apa-apa. Mobil masih bisa dikendarai dengan kaca pecah, dan
saya tidak perlu uang cash. Di dalam dompet ada foto pacar saya. Orang yang mengambil
dompet tadi mengeluarkan foto itu, lantas mendekati saya.
”Kamu pernah sama dia?”
Saya diam saja. Apa pun maksudnya saya tidak perlu menjawabnya.
Plak! Saya ditampar. Bibir saya perih. Barangkali pecah.
”Jawab! Pernah kan? Cina-cina kan tidak punya agama!” Saya tidak perlu menjawab.
Bug! Saya ditempeleng sampai jatuh.
Seseorang yang lain ikut melongok foto itu.
”Huh! Pacarnya orang Jawa!” Saya teringat pacar saya. Saya tidak pernah peduli dia Jawa atau
Cina, saya cuma tahu cinta.
”Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara refleks bergerak memegang rok
span saya, tapi tangan saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masingmasing memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepaknyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya.
”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah
orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan
menggerayangi dan meremas-remas tubuh saya.
”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….
***

Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu kalau
membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan. Tapi, menjadi terharu tidak baik untuk
seorang petugas seperti aku. Aku harus mencatat dengan rinci, objektif, deskriptif, masih
ditambah mencari tahu jangan-jangan ada maksud lain di belakangnya. Aku tidak boleh langsung
percaya, aku harus curiga, sibuk menduga kemungkinan, sibuk menjebak, memancing, dan
membuatnya lelah supaya cepat mengaku apa maksudnya yang sebenarnya. Jangan terlalu cepat
percaya kepada perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu subjektif. Sedangkan aku bukan
subjek di sini. Aku cuma alat. Aku cuma robot. Taik kucing dengan hati nurani. Aku hanya
petugas yang membuat laporan, dan sebuah laporan harus sangat terinci bukan?
”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”
Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. Ternyata susah sekali
menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya menangis. Kadang-kadang dia pingsan.
Apa boleh buat, aku harus terus bertanya.
”Saya harus tahu apa yang terjadi setelah celana dalam dicopot, kalau kamu tidak bilang, apa
yang harus saya tulis dalam laporan?”
***
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Waktu saya membuka mata, saya hanya melihat
bintang-bintang. Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya
masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah bertiup membawa bau sangit. Saya
menengok dan melihat BMW saya sudah terbakar. Rasanya baru sekarang saya melihat api
dengan keindahan yang hanya mewakili bencana. Isi tas saya masih berantakan seperti semula.
Saya melihat lampu HP saya berkedip-kedip cepat, tanda ada seseorang meninggalkan pesan.
Saya mau beranjak, tapi tiba-tiba selangkangan saya terasa sangat perih. Bagaikan ada tombak
dihunjamkan di antara kedua paha saya. O, betapa pedihnya hati saya tidak bisa saya ungkapkan.
Saya tidak punya kata-kata untuk itu. Saya tidak punya bahasa. Saya hanya tahu bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris untuk urusan bisnis. Kata orang, bahasa Cina sangat kaya dalam
hal menggambarkan perasaan, tapi saya tidak bisa bahasa Cina sama sekali dari dialek manapun,
kecuali yang ada hubungannya dengan harga-harga. Saya cuma seorang wanita Cina yang lahir
di Jakarta dan sejak kecil tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula
penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa
mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang
wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina. Sedangkan
pacar saya saja begitu hati-hati bahkan hanya untuk mencium bibir saya. Selangkangan saya
sakit, tapi saya tahu itu akan segera sembuh. Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai
mati? Siapakah kiranya yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk
dibenci?
Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera
menutupi tubuh saya dengan kain.

”Maafkan anak-anak kami,” katanya, ”mereka memang benci dengan Cina.”
Saya tidak sempat memikirkan arti kalimat itu. Saya bungkus tubuh saya dengan kain, dan
tertatih-tatih menuju tempat di mana isi tas saya berserakan. Saya ambil HP saya, dan saya
dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong
Kong, Sydney, atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica
dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh
diri, melompat dari lantai empat. Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah
hidup ini masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.”
***
Dia menangis lagi. Tanpa airmata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak di kursi. Ia
hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol
telah menolongnya. ”Dia terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah
melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, ”Satu lagi! Hari ini banyak
sekali perkara beginian.
Tahan dia di situ. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan
LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek kembali.
”Jadi kamu mau bilang kamu itu diperkosa?”
Dia menatapku.
”Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu … rok kamu dicopot?”
Dia menatapku dengan wajah tak percaya.
”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?”
Kulihat di matanya suatu perasaan yang tidak mungkin dibahasakan. Bibirnya menganga.
Memang pecah karena terpukul. Tapi itu bukan berarti wanita ini tidak menarik. Pastilah dia
seorang wanita yang kaya. Mobilnya saja BMW. Seorang wanita eksekutif. Aku juga ingin kaya,
tapi meskipun sudah memeras dan menerima sogokan di sana-sini, tetap begini-begini saja dan
tidak pernah bisa kaya. Naik BMW saja aku belum pernah. Aku memang punya sentimen kepada
orang-orang kaya –apalagi kalau dia Cina. Aku benci sekali. Yeah. Kainnya melorot, dan
tampaklah bahunya yang putih….
”Jangan terlalu mudah menyebarkan isyu diperkosa. Perkosaan itu paling sulit dibuktikan. Salahsalah kamu dianggap menyebarkan fitnah.”
Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita, memang
menunjukkan dia wanita yang tegar.

”Saya mau pulang,” ia berdiri. Ia hanya mengenakan kain yang menggantung di bahu. Kain itu
panjangnya tanggung, kakinya yang begitu putih dan mulus nampak telanjang.
”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan banyak perempuan Cina
diperkosa.”
”Tidak, saya mau pulang.”
”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau pulang jalan kaki seperti
itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana dibakar.”
Dia diam saja.
”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu boleh pulang.”
Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya nampak menerawang. Dia
sungguh-sungguh cantik dan menarik, meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku
juga ingin memperkosanya. Sudah kubilang tadi, barangkali aku seorang anjing, barangkali aku
seorang babi — tapi aku mengenakan seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku
sebenarnya. Masalahnya: menurut ilmu hewan, katanya binatang pun tidak pernah memperkosa.
Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada pimpinan. Hanya kepadamu aku
bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.

Jakarta, 26 Juni 1998

3.2 Unsur Intrinsik
1.

Tema

Cerpen yang dikarang oleh Seno Gumira Ajidarma ini mengangkat tema permasalahan
diskriminasi etnis yang pernah terjadi di Indonesia. Dimana warga keturunan Cina diceritakan
mengalami penyiksaan oleh warga pribumi. Banyak orang keturunan Cina yang dibunuh,
diperkosa, dan beragam penyiksaan lain yang dilakukan orang pribumi hanya karena mereka
adalah keturunan Cina.
“Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki. ”Buka jendela,”
kata seseorang. Saya buka jendela. ”Cina!” ”Cina!” Mereka berteriak seperti menemukan intan
berlian. Belum sempat berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh,
benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi
apa salah saya dengan lahir sebagai Cina? ”Saya orang Indonesia,” kata saya dengan
gemetar. Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya
dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.”
2.

Alur

Cerpen ini menggunakan alur campuran. Karena tokoh utama (Clara) menceritakan
kembali kejadian yang dialaminya kepada tokoh “aku”.
“Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa
Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami
dan dirasakannya seolah-olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin
yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah
bisa ku bayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena
dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.”
“Periksa! Masih perawan atau tidak dia!” Tangan saya secara reflex bergerak memegang
rok span saya, tapi tanga saya tidak bisa bergerak. Ternyata sudah ada dua orang yang masingmasing memegagi tangan kanan dan tangan kiri saya. Terasa rok saya ditarik. Saya menyepaknyepak. Lagi-lagi dua pasang tangan menangkap kedua kaki saya. “Aaaaahhh! Tolongngng!”
Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut
saya itu nampak dingin sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh
saya”
3.

Latar

Latar yang digunakan dalam cerpen ini terdiri dari tiga latar, yaitu latar tempat, latar
waktu dan latar suasana.

a.

Latar tempat : di jalan tol dan di kantor polisi
1.

Di jalan tol

“ Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Dikiri jalan terlihat api menerangi
malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh
menit saya akan segera tiba dirumah. Tapi, di ujung itu saya melihat segerombolan orang. Sukar
sekali menghentikan mobil. Apakah saya harus menbraknya? Pejalan kaki tidak dibenarkan
berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin menabraknya….”
2.

Di kantor polisi

“Dia menangis lagi. Tanpa air mata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja dia tergeletak
dikursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang Ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi
jalan tol telah menolongnya. “Dia terkapar telanjang ditepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah
melaporkan soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, “Satu lagi! Hari ini banyak
sekali perkara beginian. Tahan dia d isitu. Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai
ketahuan wartawan dan LSM!” Pesuruh kantor membaukan PPO ke hidungnya. Matanya melek
kembali.”
b.

Latar waktu: malam hari

“ Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Dikiri jalan terlihat api menerangi malam. Jalan
tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam…”
“ …Waktu saya membuka mata saya, saya hanya melihat bintang-bintang. Ditengah semesta
yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin
malam yang basah tertiup membawa bau sangit…”
c.

Latar suasana

Banyak Sekali suasana yang di lukiskan dalam cerpen ini. Berikut akan di bahas mengenai
suasana dalam cerpen ini.
1. Tegang
“Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga sudah dijarah
dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Shinta, adik-adikku, terjebak di dalam rumah dan tidak
bisa kemana-mana.”
2. Sepi
“ Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh
menit saya akan segera tiba di rumah.”

3. Ketakutan
“Saya orang Indonesia,’ kata saya dengan gemetar.”
4. Sedih
“ Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa terharu
kalau membaca roman picisan yag dijual di pinggir jalan.”
5. Mengharukan
“ Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan
membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untk dibenci?”
6. Duka
“ Tabahkalah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Shinta, telah dilempar ke dalam
api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.”
7. Kemarahan
“ Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita,
memang menunjukkan dia wanita yang tegar.”
4.

Penokohan

Dalam cerpen ini terdapat beberapa tokoh. Berikut akan dijelaskan penokohan dari
masing-masing tokoh tersebut.
a. Aku
Tokoh aku dalam cerpen seolah memiliki kekuasaan penuh atas setiap kasus yang
dilaporkan ke kepolisian tempat ia bekerja. Ia adalah orang yang kritis, setiap detil kasus harus ia
ketahui, dan itu pasti ditanyakannya jika perlu. Dikatakannya bahwa ia dapat memutarbalikkan
fakta yang ada dari sebuah kasus.
”Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah
bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah
sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi
menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif. Pokoknya
selalu di sesuaikan dengan kebutuhan.”
Sebagai orang yang berwenang dalam setiap kronologis laporan sebuah kasus, ia haruslah
orang yang jujur walaupun mempunyai kesempatan untuk berbuat munafik. Namun, diakhir
cerita kita tidak tahu persis apa yang diperbuat tokoh aku pada Clara.

“Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu ku laporkan kepada pimpinan. Hanya
kepadamu aku bisa bercerita denga jujur, tapi dengan catatan semua ini rahasia. Jadi, jangan
bilang-bilang.”
b.

Clara

Tokoh Clara sebagai wanita keturunan Cina yang menetap di Indonesia sebagai Warga
Negara Indonesia(WNI) dalam cerpen ini mengalami penyiksaan fisik yang membuat dia merasa
sangat terhina.
”... Saya Cuma seorang wanita cina yang lahir dijakarta dan sejak kecil tenggelam dalam
urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula penyair. Saya tidak tahu apakah didalam
kamus besar Bahasa Indonesia ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa
pahit, dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa bergiliran oleh banyak
orang karena dia seorang wanita Cina.”
Sebagai seorang pengusaha sukses yang tinggal di ibukota, Clara adalah sosok yang ulet,
disiplin, dan cerdas. Ia akan tahu apa yang harus dilakukan dalam saat-saat yang tidak
menguntungkan.
” Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting mengurusi
perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya
ngotot untuk tidak mem-PHK para buruh. Selahin kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan
kerusuhan.”
Clara juga merupakan seorang wanita yang tegar. Tokoh lain yang menjabarkan tokoh
Clara sebagai wanita yang tegar.
”Dimatanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk bercerita,
memang menunjukkan dia wanita yang tegar.”
c.

Mama dan Ayah Clara

Tokoh mama dan ayah dalam cerpen ini merupakan sosok yang cinta keluarga. Hanya
diketahui lewat percakapan telepon. Dengan sangat cemas, mereka memberitahu bahwa keadaan
di luar sudah membahayakan. Tindakan mereka mungkin sudah tepat dengan harapan bahwa
Clara akan mencari bantuan. Itu berarti bahwa mereka sudah melakukan penyelamatan dengan
memberi tahu keadaan membahayakan tersebut pada anggota keluarganya yang lain yaitu Clara.
Tapi ayahnya menjadi sangat terpukul ketika melihat dua anaknya yang lain, adik Clara yaitu
Monica dan Sinta tewas dibakar massa. Nyawa mamanya pun juga tak tertolong.
d.

Pimpinan

Tokoh yang disebut sebagai pimpinan dalam cerpen ini adalah sosok yang tidak
bertanggung jawab yag hanya mementingkan diri sendiri.

” ...Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian. Tahan dia disitu. Jangan sampai ada yang
tahu. Terutama jangan sampai ketahuan wartawan dan LSM!”
e.

25 Laki-laki

Orang-orang yang mencegat Clara di jalan raya, dan sekaligus menganiaya Clara tidak
diketahui persis nama mereka satu per satu. Namun mereka semua termasuk juga biang rusuh di
tempat lainnya adalah manusia yang berakal pendek. Mudah diprovokasi. Perilaku sangat brutal
yang dilakukan manusia yang diciptakan memiliki hati nurani.
”... Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela.
Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.”
”...Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka laci dashboard,
lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan. Berjatuhanlah dompek, bedak, cermin,
sikat alis, sikat bulu mata, lipstik, HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama
pacar saya kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi setengah rebutan.
Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap..”
f.

Ibu Tua

Tokoh ibu tua dalam cerpen ini adalah salah seorang warga yang masih memiliki hati
nurani. Tidak seperti warga-warga lainnya yang membenci Cina. Buktinya ia rela menolong
Clara saat ia menemukan Clara yang menjadi korban pemerkosaan warga.
”...Ia haya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di kampung di tepi
jalan tol telah menolongnya...”
Ia pun murah hati dengan sikapnya yang meminta maaf atas kesalahan warga kepada
Clara.
”Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-bungkuk. Dia segera
menutupi tubuh saya dengan kain. ’Maafkan anak-anak kami,’ katanya..”
5.

Sudut Pandang

Sudut pandang yang digunakan dalam cerpen ini yaitu menggunakan sudut pandang
orang pertama sebagai pelaku sampingan serba tahu. Karena tokoh “aku” dalam cerita ini
menceritakan kembali kejadian yang dialami Clara namun posisinya dalam cerita tidak sebagai
pelaku utama. Dan tokoh “aku” di dalam cerpen ini terlibat sebagai pembuat laporan.
“Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa
Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami
dan dirasakannya seolah- olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin
yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita.

Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan
seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak
nyambung.”
“Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan kalimatku. Sudah
bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan dan hampir semua laporan itu tidak pernah
sama dengan kenyataan. Aku sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi
menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif —
pokoknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan.”
Dari kutipan tersebut sudah terlihat jelas bahwa pelaku utama adalah Clara. Sedangkan
tokoh “aku” hanyalah pelaku sampingan serba tahu yang terlibat sebagai pembuat laporan di
dalam cerpen ini. Tokoh “aku” lah yang menceritakan kembali semua kejadian-kejadian di dalam
cerita.
6.

Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah pemakaian yang bergaya sehingga apa yang diungkapkan tepat
mewakili perasaan dan pikiran dan dapat menimbulkan kesan, imaji, dan indah didengar oleh
pendengar atau dibaca oleh pembaca.[1]
Di dalam cerpen Clara, ada beberapa majas yang digunakan oleh Seno Gumira Ajidarma. Berikut
penjelasannya.
1.

Majas Retorik

Yaitu gaya bahasa penegasan dengan menggunakan kalimat tanya yang tidak memerlukan
jawaban karena jawabannya sudah diketahui[2] . Majas retorik termasuk ke dalam jenis majas
penegasan.
Contoh dalam cerpen Clara:
“…Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang keturunan
Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina?”
“…Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya yang akan membela
kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?”
2.

Majas Personifikasi

Yaitu majas yang membandingkan benda dengan perilaku manusia (penginsanan)[3].
Majas personifikasi termasuk ke dalam jenis majas perbandingan.
Contoh dalam cerpen Clara:
“Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus menyambung-nyambungnya sendiri”

“…Mulut saya dibungkam telapak kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu
nampak dingin sekali…”
3.

Majas Asosiasi

Yaitu perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama.
Majas ini ditandai oleh penggunaan kata bagai, bagaikan, seumpama, seperti, dan laksana[4] .
Majas ini termasuk ke dalam jenis majas perbandingan.
Contoh dalam cerpen Clara:
“Tapi kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya terjebak seperti tikus dirumahnya
sendiri?”
“…Saya dilempar seperti karung dan terhempas dijalan tol”
4.

Majas Repetisi

Yaitu majas perulangan kata-kata sebagai penegasan. Majas ini termasuk ke dalam jenis
majas penegasan.
Contoh dalam cerpen Clara:
“…Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan bisa menipu. Perasaan itu
subjektif…”
“…Sedangkan aku bukan subjek disini. Aku cuma alat. Aku cuma robot…”
7.

Amanat

Dalam cerpen Clara, Seno Gumira Ajidarma mempunyai pesan-pesan yang ingin
disampaikan kepada pembacanya. Penulis menyimpulkan beberapa amanat yang terkandung
didalam cerpen ini. Diantaranya:
Jangan terlalu mudah percaya dengan orang lain, apalagi dengan orang yang baru dikenal. Siapa
pun dan dimana pun, harusnya memiliki kejujuran. Tidak pandang bulu. Apa pun pekerjaannya,
bertindaklah jujur sebagai seorang manusia. Jangan suka memalsukan fakta yang ada. Kita harus
saling menghargai perbedaan yang ada di sekitar kita. Semua manusia sama. Tidak ada yang
pantas untuk dibeda-bedakan antara keturunan Indonesia maupun keturunan Cina, ataupun yang
lainnya. Tetaplah menjadi orang yang tegar. Jangan mau kalah karena penderitaan. Walaupun
kejujuran kita tidak didengarkan oleh orang lain, pada akhirnya kejujuran itu akan terbukti
dengan sendirinya. Kebaikan akan selalu menang.

3.3 Unsur Ekstrinsik

Biografi Penulis
SENO GUMIRA AJIDARMA

Lahir: Boston, 19 Juni 1958
pendidikan formal:
1994 – Sarjana, Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta
2000 – Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia
2005 – Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia

Penghargaan yang diperoleh:
1987 – SEA Write Award
1997 – Dinny O’Hearn Prize for Literary
2005 – Khatulistiwa Literary Award

Aktivitas: Wartawan, Fotografer, Dosen, dan tentu saja Penulis

Profil Seno Gumira Ajidarma
Sumber: Pusat Data dan Analisis TEMPO

Ayah dari Seno Gumira bernama Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas
MIPA Universitas Gadjah Mada. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran
sang ayah. ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan harus
pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno. Dari sekolah dasar sampai sekolah
menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap
sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya.

Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, sampai ia
dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan,
yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. “Aku pernah
diskors karena membolos,” tutur Seno.
Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita
petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia
pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai,
naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan,
ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang
gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena
kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka,
Seno pulang dan meneruskan sekolah. Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak
pakai seragam. “Jadi aku bisa pakai celana jins, rambut gondrong.”
Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elite
perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan
yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan.”
Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N. “Lalu
aku lihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tapi istrinya cantik (Sitoresmi). Itu
kayaknya dunia yang menyenangkan,” kata Seno.
Tertarik puisi-puisi mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun
mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua pada ngenyek Seno sebagai
penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli. Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah
sastra Horison. Tembus juga. “Umurku baru 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu
aku merasa sudah jadi penyair,” kata Seno bangga. Kemudian Seno menulis cerpen dan esai
tentang teater.
Jadi wartawan, awalnya karena kawin muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia butuh
uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. “Nah, dari situ
aku mulai belajar motret,” ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini.

Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya. Tapi mau jadi seniman.
Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura,
nyentrik, rambut boleh gondrong. “Tapi, kemudian karena seniman itu harus punya karya maka
aku buat karya,” ujar Seno disusul tawa terkekeh.
Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media
massa. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku
kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi
Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta
(1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari
Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi
Mata, Seno memperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.
Kesibukan Seno sekarang adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain
bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Juga kini ia membuat komik. Baru saja ia
membuat teater.
Pengalamannya yang menjadi anekdot yakni kalau dia naik taksi, sopir taksinya
mengantuk,

maka

ia

yang

menggantikan

menyopir.

Si

sopir

disuruhnya

tidur.

*********************************************
Transformasi

Seno

Gumira

Oleh: Maria Hartiningsih
Begitu lama ia merasa berada dalam keterbatasan yang membuatnya berpikir bahwa
pemahaman ”yang benar” itu ada. Keterbatasan semacam itu membuat Seno Gumira Adji Darma
(47) menabrak-nabrak dan menghayati pengalaman orang buta yang merayap dalam kegelapan.
Padahal, ketika matanya terbuka, ternyata dunia memang gelap.
Jalan ilmu pengetahuan terstruktur membukakan kesadaran bahwa realitas ”yang benar” adalah
konvensi, kesepakatan; bahwa yang bernama ”realitas” sebenarnya merupakan konstruksi sosialhistoris.

”Segala sesuatu diciptakan karena ada kebutuhan. Teori juga begitu. Mereka lahir dari
yang sudah ada. Postmodernisme lahir karena modernisme, dekonstruksi karena konstruksi,
poststrukturalisme karena strukturalisme,” ujarnya.
Seno tenggelam di dalam samudra ketakterbatasan ilmu pengetahuan ketika meneliti
komik Panji Tengkorak untuk disertasi S-3-nya di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia tak lagi terpaku hanya pada filsafat komik,
sesuatu yang hinggap di benaknya setelah menyelesaikan S-2-nya di jurusan filsafat UI.
Ia menyelesaikan S-3-nya dalam delapan semester diselingi proses kreatifnya melahirkan tiga
novel—salah satu novelnya, Negeri Senja, mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004—dua
naskah drama, skenario, dan puluhan cerita pendek, kolom, esai yang dimuat di berbagai media.
Ia masih bisa melakukan kegiatan yang ia gemari: memotret, bahkan sempat pameran karena ada
teman yang memintanya.
Oleh sebab itu, ia tak mempersoalkan predikat kelulusan ”sangat memuaskan”, karena
melewati standar waktu, meski nilainya cumlaude. ”Lagi pula aku sudah menerima diriku
sebagai mediocre saja. Dari kecil aku tak pernah terobsesi jadi nomor satu.”
Waktu SD, anak pertama dari dua bersaudara yang lahir di Boston, Amerika Serikat, itu
selalu duduk di baris tengah agak depan. ”Yang pintar duduk di belakang, yang kurang bisa
menangkap pelajaran duduk di depan,” kenangnya. Itu membuatnya tidak pernah merasa hebat.
Sebaliknya, selalu merasa kurang. ”Konsekuensinya mahal, karena aku harus belajar keras.”
Tuntas pada usia 20
Seno mulai menulis di SMA, tahun 1974. ”Aku mewajibkan diriku menulis karena aku
suka membaca,” lanjutnya. Ia hidup dari menulis, meski tak bercita-cita menjadi penulis. ”Aku
hanya terobsesi menguasai tulisan,” katanya.
Dulu ia ingin jadi seniman ”biasa” yang bisa merasa bahagia dengan apa adanya. Ia
merasa sudah mencapainya pada usia 17 tahun ketika mengikuti rombongan Teater Alam. Pada
usia 19 tahun ia sudah bekerja di koran sehingga berani menikahi Ike. Pada usia 20 tahun, Timur
Angin—fotografer, lulusan Institut Kesenian Jakarta, tempat ayahnya menyelesaikan S-1-nya di
bidang film—lahir.
”Upacara dalam hidup sudah kutuntaskan pada usia 20 tahun. Aku tak punya target lagi
setelah itu,” tambahnya. ”Semua kujalani dengan ringan.”

Ia terus membaca, menulis, melanjutkan kerja jurnalistiknya. ”Jadi tukang,” katanya.
Tukang?
”Ya,” sergahnya. ”Bukan robot. Untuk jadi tukang keterampilan saja tak cukup. Ada
pergulatan intens. Tukang kayu harus kenal kayu secara personal. Petani harus kenal cuaca,
tanah, air, benih, secara personal.”
Keangkuhan para intelektuallah yang membuat derajat tukang direndahkan. Padahal,
menurut Seno, di dalam ”pertukangan”, ada perfection. Di dalam kesempurnaan ada
penghayatan, ada pengetahuan yang mendukungnya. Juga dalam menulis. Untuk tulisan ilmiah,
misalnya, harus masuk ke proses seorang ilmuwan di mana subjektivitas sangat berperan. Itulah
faktor personal. ”Aku meneliti Panji Tengkorak juga karena faktor itu. Panji Tengkorak lahir
tahun 1968, aku lahir tahun 1958,” katanya.
Tradisi keilmuwan ada di dalam keluarganya. Ayahnya, Mohammad Seti-Adji
Sastroamidjojo (alm), adalah PhD di bidang fisika, dikenal sebagai ahli energi alternatif dari
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ibunya, Poestika Kusuma Sujana (alm), adalah dokter
spesialis penyakit dalam.
Jadi mungkin jeda sebelum ia memutuskan kembali ke bangku kuliah hanyalah ancangancang melanjutkan perjalanannya menuju horizon tak berbatas, seperti dalam impian masa
kecilnya ketika membaca Karl May.
”Foucault menghasilkan karya-karya luar biasa setelah menulis disertasinya yang
menjadi buku Madness of Civilization,” ujarnya, seperti meminta lawan bicaranya paham
maksudnya. Seno menerabas tantangan demi tantangan. Dan bertransformasi. Ia belajar
mengepakkan sayap dari kegetiran dan keangkuhan kekuasaan. Sekarang ia sudah terbang.
Jauh….
Dalam karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Clara atawa Wanita yang Diperkosa”
ditulis pada 26 Juni 1998 di Jakarta. Cerpen ini berlatar peristiwa Mei 1998 yang saat itu sedang
terjadi tragedi-tragedi yang terjadi di bulan Mei walaupun cerpen ini dibuat sebulan setelahnya.
Pada bulan Mei 1998 tidak hanya krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti dimana
tempat mahasiswa Universitas Trisakti di tembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Tapi juga pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh
amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa bahkan terdapat ratusan wanita
keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut
Sumber: Kompas, 19 Agustus 2005

BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa oleh Seno Gumira Ajidarma tidak hanya bisa
dilihat atau dianalisis secara intrinsiknya saja namun unsur ekstrinsik yang berdasarkan sejarah
pun sangat kuat peranannya dalam proses penciptaan karya sastra ini. Dari sebuah sejarah, karya
sastra bisa dibuat seindah mungkin yang tidak hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai estetika
dalam karya namun nilai realita yang kuat juga bisa menjadi dasar pembuatan sebuah karya
sastra. pendekatan strukturalisme genetik memperlihatkan bagaimana pentingnya unsur
ekstrinsik dalam sebuah karya sastra untuk dianalisis, karena karya sastra tidak bisa terlepas dari
asal penciptaannya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lutfi Ariyanto, S.Pd, Bedah Tuntas Kisi-Kisi Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia
SMA/MA 2012, (Yogyakarta:PT. Buku Kita, 2012), hlm. 23
[2] Drs. Suhardi, M. A, Kamus Istilah Bahasa dan Sastra Indonesia, (Banten : Yayasan
Pendidikan
Islam Nurul Falah, 2005), hlm. 198
[3] UGAMA, Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : UGAMA, 2010), hlm. 48

[4] Galuh, Bahasa Indonesia, (Jakarta : MEDIATAMA, 2011), hlm. 29
[1] Lutfi Ariyanto, S.Pd, Bedah Tuntas Kisi-Kisi Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia
SMA/MA 2012, (Yogyakarta:PT. Buku Kita, 2012), hlm. 23
[2] Drs. Suhardi, M. A, Kamus Istilah Bahasa dan Sastra Indonesia, (Banten : Yayasan
Pendidikan
Islam Nurul Falah, 2005), hlm. 198
[3] UGAMA, Bahasa Indonesia, (Yogyakarta : UGAMA, 2010), hlm. 48
[4] Galuh, Bahasa Indonesia, (Jakarta : MEDIATAMA, 2011), hlm. 29
Gustaf Sitepu, sturkturalisme genetik asmaraloka, 2009