BAHASA BUDAYA DAN GAYA BAHASA YANG TERKA

Tugas Final Stilistika:

BAHASA, BUDAYA DAN GAYA BAHASA YANG TERKANDUNG
DALAM SYAIR LAGU TOLAKI “PABITARA”
Dosen Pengampuh: Prof. Dr. H. Sudiro Satoto

Disusun oleh
ILFAN ASKUL PEHALA
S111508006

PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

BAB I
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Wacana sebagai satuan lingual terbesar dalam linguistic memberikan kita suatu hal
yang dapat diteliti secara mendalam baik dari aspek kebahasaan baik mikro dan makro

serta gaya bahasa dan budaya yang dapat memberikan kita gambaran dan pandangan dari
isi kepala si penulis atau penutur itu sendiri. Dalam makalah ini, penulis menampilkan
analisis dari aspek kebahasaan baik mikro dan makro serta gaya bahasa dan budaya dari
sebuah syair lagu daerah suku Tolaki di Sulawesi Tenggara. Bila melihat dari segi teks
atau wacana, syair ini mengarah kepada wacana lisan yang memiliki makna secara
mendalam seperti idiomatis. Selain itu wacana lisan ini memiliki makna kearifan local
yang sarat arti dan nilai luhur.
Syair yang menjadi objek dalam analisis ini merupakan syair yang berisi tentang
nasihat kepada pihak penghulu adat suku Tolaki yang menjadi penengah saat terjadi
kesalahpahaman, perselisihan atau pelanggaran hukum adat; dan menjadi pelaksana
dalam ritual, upacara, prosesi dan sanksi adat. Dalam makalah ini, penulis menganalisis
syair dengan pendekatan linguistic, budaya dan gaya bahasa yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lainnya. Dengan melihat gaya bahasa, kesopanan dan makna dari syair ini;
diharapkan penulis bisa memahami secara mendalam apa saja yang terkandung di dalam
nasehat berbentuk syair ini, baik secara makna atau strukturnya sendiri dalam bentuk
literal yang membentuk makna dan gaya yang berbeda yang secara tidak langsung
membawa penulis memahami nilai kearifan local.
B. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan dari
penulisan makalah ini adalah untuk:


1. Menganalisis dan mendeskripsikan aspek kebahasaan baik mikro, makro dan gaya
bahasa pada syair lagu bahasa daerah Tolaki “Pabitara”

2. Menganalisis dan mendeskripsikan budaya yang terkandung dalam syair lagu
bahasa daerah Tolaki “Pabitara”

BAB II
PEMBAHASAN

A. Unsur Kebahasaan pada syair “Pabitara”
1. Makna
Syair yang menjadi objek pada analisis makalah ini merupakan syair lagu suku
Tolaki yang memiliki nilai filosofis tinggi. Adat merupakan salah satu unsur penting
bagi masyarakat suku Tolaki selain nilai agama, hukum negara, pendidikan dan harga
diri. Syair ini meskipun diterjemahkan secara harfiah, belumlah bisa memberikan
makna yang jelas. Selain itu, lagu ini merupakan lagu kontemporer yang
menggunakan kata-kata dengan variasi tinggi yang berfokus pada pelaksana adat yaitu
tolea dan pabitara dimana liriknya memiliki pesan kepada mereka mengenai apa yang
dilakukan, apa yang harus mereka ingat dan lainnya. Sehingga diperlukan penjelasan

yang bisa menggambarkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh syair ini.
Maka dalam proses pemaknaan ini, penulis menggunakan jenis-jenis makna yang ada
pada bab II untuk memberikan penggambaran secara jelas utamanya makna-makna
yang dicetuskan oleh Leech (1974). Berikut ini adalah penjelasan mengenai makna
syair di atas agar lebih mudah dipahami. Di bawah ini merupakan lirik dari syair
tersebut yang kemudian diterjemahkan secara harfiah atau literal berdasarkan tanya
jawab dari penutur asli suku Tolaki.
Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea nirere
Tuan (yang terhormat) juru bicara adat
Ahlinya hakim adat
Hakim adat yang bijaksana/cerdas
juru bicara adat yang disanjung
Dalam bait ini, dapat kita lihat bahwa ada sapaan terhadap tolea dan pabitara
yang diberikan sanjungan. Mereka dipuji dengan kata bijaksana dan sanjungan. Ini
menandakan betapa pentingnya posisi mereka dalam social masyarakat utamanya
dalam hal adat, kebijaksanaan dan vitalitas mereka dalam pemutusan suatu
masalah yang ada di masyarakat. Pujian bukan hanya sekedar memuji, namun

juga mempertegas posisi mereka dan tanggung jawab mereka terhadap tugas yang
diembankan kepada mereka secara dunia maupun akhirat disebabkan masalah adat

menentukan hajat hidup orang banyak dan stabilitas situasi dan kondisi
masyarakat.
Keila mosaru
Pondulura osara
Ano pesarunoki
Tenggano peowai
Jika sementara membicarakan
Membicarakan adat
Supaya sesuai (tidak melengser dari yang seharusnya)
Tingkatannya urusan (pelaksanaan adat yang sementara berjalan)
Meskipun mereka adalah orang yang berwenang dalam hal adat, ini tidak serta
merta mereka bisa seenaknya memutuskan suatu perkara tanpa adanya dasar-dasar
yang kuat dan melakukan tugas mereka tanpa rambu-rambu yang jelas, mengikat
dan vital. Mereka haruslah bersinergi dengan pemerintah desa/kelurahan, pemuka
masyarakat dan agama serta pihak berwajib (bila terjadi perselisihan atau konflik,
namun polisi tidak bisa ikut campur dalam adat; mereka akan bertindak sesuai
koridor apabila konflik tidak terselesaikan secara adat). Selain itu dalam

pelaksanaan suatu prosesi atau penyelesaian adat, ada aturan-aturan yang telah
disepakati dan sesuai koridornya. Bila mereka melanggar dan berbuat semaunya,
mereka akan mendapat hukuman secara dunia dan akhirat. Bahkan masyarakat
banyak akan memberikan penilaian dan cercaan luar biasa kepada mereka.
Keilaa mosara
Mosaru peowai
Ai pehawai’iki
Sara peparamesi
Jika sementara melaksanakan adat
Membicarakan urusan
Supaya diingat (agar jangan memutarbalikkan hukum adat)
Adat permisi
Senada dengan penjelasan sebelumnya, bahwa dalam proses pelaksanaan adat,
mereka harus meminta izin kepada pihak pemerintah dan agama agar ada sinergi
dan kerjasama dalam menimbang dan memutuskan suatu perkara adat. Sehingga
tidak ada masalah di kemudian hari dan ada kekuatan hukum yang bisa dijadikan
sebagai bukti bahwa pihak pemerintah, pemangku adat dan agama telah berusaha
menyelesaikan suatu masalah secara kekeluargaan dan adat serta agama.
Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara

Pabitara mandara

Tolea me’irou
Tuan (yang terhormat ) juru bicara adat
Ahlinya hakim adat
Hakim adat yang bijaksana/cerdas
Penerima adat bijak/kepala dingin/tenang
Makna dalam bait ini sama dengan bait 1, namun ada hal yang sangat vital
pada bait ini dimana sikap tenang, bijak dan kepala dingin sangatlah krusial. Ini
merupakan factor penentu sukses tidaknya suatu adat dalam memecahkan masalah
yang ada dan bagaimana keberhasilan diplomasi dari tolea dan pabitara itu
sendiri. Dalam pemecahan masalah yang ada, tidak jarang konflik tersebut bisa
berujung dengan darah. Banyak ketegangan terjadi dalam kasus kawin lari, maslah
kesusilaan dan konflik lainnya. Maka diharapkan sebelum hal itu terjadi, mereka
bisa menenangkan suasana yang tegang dan dua pihak yang bersitegang bisa
menahan diri melalui diplomasi keduanya. Apabila keduanya tidak bisa bersikap
seperti yang diharapkan dalam bait ini, apa jadinya masalah yang ada?
Keio nggomosoro
Mosirungako osara
Ano susungawuki

Ule mombabitara
Jika meletakkan (adat)
Menyerahkan/mempersembahkan adat
Agar turunannya (yang melaksanakan hukum adat)
Turunan hakim adat adat (yang biasa melaksanakan prosesi adat)
Salah satu hal yang menjadi perhatian penting dalam prosesi adat adalah
perangkat adat atau orang yang memiliki wewenang dalam hukum adat. Dalam
syair ini, dikatakan bahwa jika dalam pelaksanaan adat, haruslah orang-orang
yang menjadi pelaksananya merupakan dari garis turunan pelaksana adat baik
laki-laki ataupun perempuan dimana ia mampu dan bisa melaksanakannya Namun
ada beberapa tulisan dan pendapat yang mengatakan bahwa pelaksana adat di sini
bisa dari orang biasa yang tidak memiliki garis yang disyaratkan di atas, namun ia
haruslah disumpah oleh orang yang melatih, mengajari dan mendidik ia menjadi
pelaksana adat utamanya tolea.
Keno laa susungawu
Ule mondoleami
Au kate’ise’i
Saru motipu’ako

Jika ada turunanmu

Turunan penerima adat
Kamu akan kualat
Habis tujuh turunan
Bait ini merupakan hal yang sangat penting untuk dipahami dikarenakan
adanya lirik yang berbunyi “Au kate’ise’i” dan “Saru motipu’ako”. Bila kita
melihat pada bait ke 5 dan 6, keduanya masih memiliki relasi yang berkaitan erat.
Dalam bait ke 6, liriknya memberikan gambaran jelas bagaimana jika pelaksanaan
hukum dan aturan adat dilakukan oleh orang yang bukan dari garis keturunan
pelaksana adat, ia pasti terkutuk dan turunan-turunannya akan terkena hukuman
atau kutukan dikarenakan perbuatannya itu sendiri.
Kutukan ini berupa bala atau bencana, musibah, masalah, aib, penyakit
ataupun yang lainnya. Dalam masyarakat Tolaki, hal ini disebut sebagai okula
atau panas yang diasosiasikan dengan bencana disebabkan panas merupakan
simbolisasi dari kemarau berkepanjangan dimana semua hal memalukan, bencana
ataupun hal negatif lainnya disimbolkan dengan panas. Maka lirik dari bait ke 6
mempertegas kembali bagaimana posisi pelaksana adat, fungsi mereka dan posisi
mereka yang tidak bisa dianggap remeh dikarenakan adat di sini memiliki peran
dalam mengatur kelangsungan, stabilitas dan kenyamanan masyarakat sehingga
tidak terjadi konflik.
2. Gaya bahasa

Dalam analisis gaya bahasa pada makalah ini, penulis menggunakan analisis
yang disebutkan Keraf (1981, dalam Satoto, 2012: 151-153). Gaya bahasa dalam
syair ini bila dilihat dari syarat gaya bahasa yaitu 3 unsur dasar telah memenuhi
yang diisyaratkan Keraf (1981); lirik-lirik dalam syair ini telah memenuhi
kejujuran yang tercermin secara keseluruhan pada semua lirik dikarenakan
masalah adat bukanlah hal yang bisa disepelekan dan direkayasa. Selanjutnya
dilihat dari segi sopan santun, ini telah terpenuhi dimana itu dapat dilihat pada
kata-kata seperti Inggomiu, mandara, nirere; yang digunakan untuk menyapa dan
menyanjung orang yang dihormati. Selanjutnya untuk menarik, lirik yang ada
pada syair ini telah memenuhi unsur yang disyaratkan dimana secara makna dan
untaian kata yang ada telah memberikan sesuatu yang menarik bagi
pendengarnya.

Dilihat dari pilihan kata yang digunakan di dalam syair ini, penulis melihat
lirik ini menggunakan gaya bahasa resmi di mana kata-katanya merupakan katakata memiliki variasi tinggi yang hanya digunakan dalam momen tertentu
misalnya urusan adat. Dilihat dari nada yang ada dalam syair, nadanya merupakan
nada yang mulia berdasarkan variasi yang digunakan dan bertenaga dalam
menyampaikan maksud yang disampaikan. Bertenaga di sini berwujud dalam
penegasan akan konsekuensi, pentingnya bersikap bijaksana dan aturan yang
harus dijalankan dalam adat itu sendiri.

Dari sisi langsung tidaknya makna dalam syair ini, penulis melihat adanya
gaya langsung atau retorika dan kiasan. Pada gaya retorika, gaya bahasa ini
memiliki berbagai fungsi antara lain: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan
objek mati, menimbulkan gelak tawa, atau untuk hiasan. Dalam lirik pada lagu ini,
ada beberapa lirik yang merujuk pada klasmus yang merupakan pengulangan
sekaligus juga merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat.
Ini dapat dilihat pada lirik-lirik berikut:
Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea nirere

Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea me’irou

Kedua lirik di atas memperlihatkan adanya pengulangan sebanyak 2 kali pada
2 kata yang ada yaitu tolea dan pabitara. Selanjutnya ada pula eufimisme yang
berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang lain, atau

ungkapan-ungkapan yang halus untuk mengganti acuan-acuan yang mungkin
dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugesti sesuatu yang tidak
menyenangkan. Ini terlihat pada lirik yang dicetak tebal yang menyiratkan
konsekuensi mengerikan dari pelanggaran aturan pelaksana adat, yaitu:
Keno laa susungawu
Ule mondoleami
Au kate’ise’i
Saru motipu’ako
Adalagi litotes yakni gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu
dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari keadaan
sebenarnya. yang terlihat dalam lirik pada awal lagu ini, yakni:

Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea nirere

Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea me’irou

3. Kesopanan
Dari sisi kesopanan syair pada makalah ini, sebagaimana yang ada pada bab I,
penulis melihat bahwa lirik dalam lagu yang ada dalam makalah memiliki unsurunsur kesopanan yang terekspresikan dalam kata-kata utamanya yang ditujukan
kepada pelaksana adat yaitu tolea dan pabitara. Thomas (1995) menyebutkan
adanya prinsip ketertarikan yang dapat menjelaskan penggunaan litotes dan
hiperbola. Litotes dapat terlihat pada lirik:
inggomiu tolea,
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea nirere
Lirik ini memperlihatkan bagaimana si penutur atau pembuat lagu ini
membuat ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan
merendahkan diri. Dalam lirik-lirik tersebut juga terdapat unsur kesopanan Leech
(1983) yakni kerendahan hati (modesty) dan menjaga perasaan (tact) yang
digunakan oleh penutur/penulis lagu untuk membuat mereka senang, merasa
dihargai dan disanjung.
Meskipun demikian kita juga bisa melihat bahwa kesopanan dalam hal ini
memiliki 2 sisi yang memiliki arti besar bagi tolea dan pabitara selaku pelaksana
adat yang memiliki wewenang, tugas dan diawasi oleh masyarakat banyak. 2 sisi
ini ada pada kesopanan yang disebutkan oleh Levinson dan Brown (1987) yaitu
harga diri negatif dan positif. Bila dilihat secara negatif, tolea dan pabitara
memang memiliki hak kebebasan dalam bertindak dan bebas dari paksaan di mana
dalam hal adat, mereka memiliki wewenang untuk menyelesaikan suatu perkara,
namun penulis lagu ini memberikan peringatan secara jelas dalam lirik:

Keila mosaru
Pondulura osara
Ano pesarunoki
Tenggano peowai
Keio nggomosoro
Mosirungako osara
Ano susungawuki
Ule mombabitara
Keno laa susungawu
Ule mondoleami
Au kate’ise’i
Saru motipu’ako
Lirik ini secara tegas mengatakan bahwa meski mereka memiliki kebebasan,
namun mereka terikat pada aturan-aturan yang ada dan bila mereka melanggar
maka ada konsekuensi berat yang akan mereka tanggung. Sedangkan dari sisi
positif, kesopanan dalam lirik pada lagu ini adalah memberikan konsekuensi
kepada mereka untuk menjaga apa yang seharusnya dijaga, apa yang seharusnya
dilakukan dan tidak boleh dilakukan sehingga kebutuhan untuk dihargai oleh
orang lain dan kebutuhan untuk mempertahankan citra diri yang positif dapat
terjaga dimana mempertahankannya itu adalah berpegang teguh pada aturan dan
sikap yang bijaksana sebagaimana yang diisyaratkan dalam lirik:
Inggomiu tolea
Pu’uno pabitara
Pabitara mandara
Tolea me’irou
Dengan melihat secara keseluruhan isi syair dan unsur kesopanan yang ada
maka unsur kesopanan Leech yaitu kesepakatan (agreement) dari dua sisi yaitu
penutur dan mitra tutur atau penulis lagu dan pendengarnya telah tercapai.
B. Kearifan Lokal, Pola Pikir dan Mitos pada syair “Pabitara”
Kearifan local syair lagu ini tercermin dari rangkaian kata-kata yang secara
linguistic atau mikro merupakan kata-kata yang memiliki variasi bahasa dalam ranah
tinggi. Selain itu makna yang digunakan di dalamnya menggunakan makna-makna yang
disebutkan dalam bab sebelumnya berupa makna kontekstual dan kiasan yang
dipengaruhi oleh latar belakang partisipan dan tujuan dari lagu ini sendiri. Ini dapat
dilihat pada susunan kata-kata yang menggunakan kata-kata mandara, nirere dan lainnya

yang memiliki makna leksikal namun berubah secara kontekstual dan memiliki makna
kiasan. Ada juga yang dapat dilihat secara morfologis pada kata inggomiu yang bila
disegmentasikan ke dalam morfem dasar inggo dan +-miu sebagai sufiks yang hampir
sama dengan inggo dan +-‘o. perbedaan morfologis ini menimbulkan makna yang
berbeda di mana kata sebelumnya adalah anda/kamu/engkau dalam variasi tinggi dan
satunya dalam variasi rendah.
Secara makro, lagu ini merupakan salah satu bagian dari budaya Tolaki itu sendiri
yang terwujud dalam beberapa upacara, ritual atau prosesi adat yang dilakukan oleh
pelaksana adat seperti yang disebutkan di atas, yaitu tolea dan pabitara. Dalam lirik sara
peparamesi ini menyiratkan bahwa pelaksana adat haruslah meminta izin kepada pihak
penguasa wilayah atau pemerintah daerah sebagai pelindung dan pengayom masyarakat
dalam suatu penyelesaian perkara adat. Maka dapatlah disimpulkan bahwa Tolaki
memiliki pandangan hidup menghargai dan menjalankan aturan namun tetap
memperhatikan regulasi yang berlaku di suatu wilayah agar tidak terjadi ketimpangan.
Selain itu, Tolaki juga memiliki falsafah hidup yang sampai saat ini dipegang teguh yaitu
Inae konasara ie pinesara, Inae liasara ie pinekasara yang bermakna “Siapa yang
menaati adat (aturan dalam hidup/norma-norma) ia akan dihormati/selamat, siapa yang
melanggar adat maka ia (hidupnya) akan tersia-siakan”. Kalimat ini memiliki relasi pada
lagu di atas menunjukkan bahwa aturan hidup, bermasyarakat dan mematuhi aturan dan
norma baik agama, adat, hukum Negara dan ketertiban merupakan hal yang perlu
diperhatikan agar hidup kita selamat dunia akhirat dan tidak menjadi sia-sia.
Kemudian dalam lirik ini utamanya au kate’ise’i dan saru motipu’ako
menunjukkan bahwa unsur-unsur kekuatan di luar manusia sangat berperan dalam
kehidupan orang Tolaki. Lirik ini menunjukkan bahwa tugas pelaksana adat adalah
sesuatu yang memiliki tanggung jawab dan kejujuran yang sangat besar. Ini adalah suatu
hal yang sensitive, membutuhkan ketenangan dan kearifan dalam menyelesaikan suatu
masalah yang dapat memberikan efek pada hidup orang banyak di dunia dan sesudahnya
hingga keturunan selanjutnya. Bila mereka menganggap sepele hal ini, mengambil
keputusan yang berat sebelah serta merugikan orang lain atau bermain-main mengenai
adat, maka mereka telah menodai atau merusak kehidupan orang lain dan berbuat zalim
kepada orang lain yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka. Kita bisa
memahami bahwa hal ini dapat memancing suatu azab di dunia sebagai hukuman dan
peringatan ataupun di akhirat. Maka konsep hukuman ini bisa di dunia berupa bencana,
teguran dari alam ataupun hal lain yang bisa dikaitkan dengan hal itu dan bagi Tolaki

yang mayoritas Muslim, orang yang zalim ini akan mendapatkan ganjaran yang sesuai
dengan ketidakadilannya itu. Bahkan dalam beberapa kasus, hukuman ini juga berdampak
pada keluarga dan keturunan dari pelaksana adat yang zalim itu.

C. Budaya yang terkandung dalam syair lagu bahasa daerah Tolaki “Pabitara”
Berbicara mengenai masyarakat Tolaki dan tradisi yakni adat istiadat, bahasa dan
budaya merupakan suatu hal yang tak dapat dipisahkan sama satu lain bahkan saling
memberikan pengaruh satu sama lain. Demikian halnya dengan suku Tolaki yang
menggunakan bahasa Tolaki dalam ekspresi kebahasaan mereka atau ekspresi verbal
dalam seni, ritual keagamaan, adat istiadat ataupun yang lainnya, sedangkan budaya atau
perilaku non verba atau adat dijelaskan dan diwujudkan dalam komunikasi melalui
perilaku verbal.
Adat dalam bahasa suku Tolaki disebut dengan osara yakni aturan mengenai apa
yang dilarang untuk dilakukan dan apa yang boleh dilakukan oleh seseorang, keluarga,
kehidupan sosial masyarakat dan pemerintahan. Osara

sebagai perilaku non verbal

bertujuan untuk membina, mengawasi, mengatur dan menegakkan hukum dan aturan
untuk terciptanya kehidupan yang aman, damai dan tertib. Ini tercermin dalam perilaku
verbal yang berbunyi “Luwuako nggo nibutuno osara tambuoki, nggo nibutuno osara
tambuoki suere, nggo tekono ine amboronga nggo-nggo nime’ambo’ako.”, yang
bermakna “Semua tujuan adat istiadat/hukum adat adalah untuk terwujudnya ketertiban
hukum, ketertiban sosial dan kesejahteraan hidup masyarakat.” Pentingnya adat bagi suku
Tolaki dapat dilihat dalam ujaran yang berbunyi “Inae konasara ie pinesara, Inae liasara
ie pinekasara” yang bermakna “Siapa yang mematuhi adat hidupnya tenang/dihargai,
Siapa yang melanggar adat akan mendapat kesusahan”.
Kebudayaan suku Tolaki yang sarat dengan perilaku verbal dalam pelaksanaannya
dan melibatkan elemen-elemen verbal dan non verbal terdapat dalam adat istiadat dan
tradisi dan perilaku non verbal dalam wujud ritual dan upacara ataupun pernikahan semua
sangat sarat dengan perilaku verbal yang terwujud dalam satuan-satuan lingual yang
mencerminkan kearifan local, pola piker dan pandangan hidup suku Tolaki.
Adat yang disimbolkan dengan kalo sara dan perangkat adat berupa alat-alat atau
benda yang simbolis yang disebutkan di atas berupa pu’uno patonggasu, tawano, popolo
dan sara pe’ana termasuk pemangku adat yakni tolea dan pabitara termasuk puutobu atau
toonomotuo dan tuturan yang digunakan dalam upacara adat merupakan kearifan local
atau system pengetahuan local yang memiliki tujuan, makna dan filosofi untuk membina,

mengawasi, mengatur dan menegakkan hukum dan aturan untuk terciptanya kehidupan
yang aman, damai dan tertib pada masyarakat Tolaki dan harus dipatuhi oleh masyarakat
Tolaki, jika tidak maka aka nada bencana, musibah ataupun kutukan lainnya yang disebut
dengan okula. Ini sesuai dengan falsafah hidup Suku Tolaki yang berbunyi “Inae
konasara ie pinesara, Inae liasara ie pinekasara” yang bermakna “Siapa yang
mematuhi adat hidupnya tenang/dihargai, Siapa yang melanggar adat akan
mendapat kesusahan”. Maka dengan demikian kearifan local tersebut telah
mencerminkan pola pikir atau pandangan hidup masyarakat Tolaki.
Pola pikir atau pandangan hidup secara mikro atau kepada Tuhan, Yang Tertinggi,
Penguasa Alam dan Pencipta; adat merupakan representasi aturan kehidupan
bermasyarakat yang bertujuan untuk mengatur, menjaga, merawat dan mencegah konflik
ataupun bencana sehingga tercipta kehidupan yang aman dan damai. Dengan ini, maka
kehidupan masyarakat akan melimpah kesejahteraan dan rezeki. Mereka meyakini
bencana yang datang merupakan ujian ataupun teguran dari Penguasa Alam yakni Allah
SWT.; karena adanya pelanggaran adat, hukum, norma utamanya kesusilaan. Secara
makro atau dunia, adat sangat menghargai kebersamaan dan kedamaian dan posisi wanita.
Ini tersirat pada sara pe’ana yang memperlihatkan bagaimana wanita dan keluarganya
sangat ditinggikan. Adat dalam kawin lari juga memperlihatkan bahwa peranan adat
sebagai jalan keluar yang mengedepankan perdamaian memberikan “restu” atau
legitimasi pasangan sejoli demi cinta mereka meskipun orang tua kedua belah pihak tidak
setuju, bila adat sudah memutuskan perkara, mereka harus setuju. Jika mereka tidak
mematuhi hal itu, mereka akan mendapat sanksi social dan hukuman dari Yang Kuasa.
Maka dapat dilihat secara jelas bahwa pola pikir suku Tolaki dalam adat secara mikro
dan makro bukan hanya hukuman dari alam dan dunia berupa bencana, kutukan, sanksi
social dan lainnya. Namun kehidupan yang aman, damai, sejahtera dan jauh dari aib
merupakan hal yang sangat dijaga dan adat adalah jalan keluarnya.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lirik pada syair lagu “Pabitara” yang menggunakan bahasa daerah Tolaki
merupakan lagu kontemporer yang bermakna dalam dan mewakili pandangan filosofis
masyarakat Tolaki terhadap adat itu sendiri di mana peranan adat sebagai aturan hidup
yang mengikat dan mencerminkan nilai kearifan lokal serta pelaksana adat sebagai orang
yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan adat yang terikat pada aturan dan
konsekuensi berat yang disandangnya menyebabkan mereka memiliki penghargaan secara
signifikan kepada mereka. Namun di balik itu semua, bukan berarti mereka bisa
sewenang-wenang atau semaunya dalam mengambil keputusan dalam penyelesaian suatu
masalah, keseimbangan dan keadilan berdasarkan aturan secara adat, agama dan hukum
Negara merupakan hal yang sangat krusial agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
Dari segi linguistic atau mikro; lagu ini memiliki makna yang mendalam bila
dipahami secara kontekstual dan memerlukan latar belakang pemahaman tentang budaya
Tolaki berdasarkan unsur makna leksikalnya. Kemudian dari segi kesopanan ada dalam
lagu ini yang terlihat secara jelas utamanya dari kesopanan Leech (1983) yaitu kerendahan
hati (modesty) dan menjaga perasaan (tact) dan kesepakatan (agreement), Thomas (1995)
yaitu prinsip ketertarikan utamanya litotes yang ada dalam lirik dan Brown dan Levinson
(1987) yang menunjukkan adanya harga diri positif dan negatif dari tolea dan pabitara
yang terimplikasi dalam lirik-lirik dari penulis lagu.
Dari segi kearifan lokal atau makro, dapat terlihat bagaimana pola pikir masyarakat
Tolaki secara falsafah hidup yang mencerminkan pandangan hidup menghargai dan
menjalankan aturan namun tetap memperhatikan regulasi yang berlaku di suatu wilayah
agar tidak terjadi ketimpangan. Sedangkan dari pandangan hidup dunia, lirik pada lagu ini
mencerminkan adanya konsekuensi berat dari Tuhan apabila terjadi pelanggaran terhadap
aturan adat utamanya kesewenangan, pelanggaran dan ketidakadilan dalam pelaksanaan
adat
B. Saran

Diperlukan analisis mendalam untuk pendeskripsian hasil analisis pada lirik lagu ini baik
secara linguistic maupun sastra untuk memahami latar belakang kebudayaan dan social
dari lagu ini sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Black, Elizabeth. 2011. Stilistika Pragmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika
Aditama
Fernandez, Inyo Yos. 2015. Materi Mata Kuliah Etnolinguistik: Kajian Ilmu Disiplin
Linguistik dan Antropologi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Satoto, Soediro. 2012. Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Ombak.