View of Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  1 Pendahuluan Ajaran Islam yang bersum ber ut am a Al-Qur’an dan Al-Hadit s secara konsept ual disebut dengan Syari’ah. Secara garis besar Sya- ri’ah m eliput i t iga bidang: (1) aki- dah at au keyakinan yang m eru- pakan ajaran yang bersifat ele- m ent er at au m endasar menyang- kut t erut am a eksist ensi Allah, kit ab suci, nabi, qadla-qadar, akhi- rat , yang secara keilm uan dikenal dengan Kalam at au Tauhid at au Teologi Islam , (2) segala hal yang m engajarkan penyucian jiw a dan pem bent ukan m oral yang dikenal dengan Akhlak at au Et ika Islam , dan segala t unt unan hidup prakt is yang m engat ur perbuat an m anu- sia yang menyangkut ibadah (ak- t ivit as rit ual) dan m uam alah (ak- t ivit as sosial), yang dikenal de- ngan Fikih at au Hukum Islam .

  1 Fikih at au hukum Islam (Isla- mic law ) m erupakan salah sat u

  unsur ut am a ajaran Islam . Ber- beda dari dua unsur ut am a ajaran Islam yang lain yakni akidah dan akhlak, fikih m enem pat i posisi pa- ling sent ral karena ia m enandai 1 M uhamm ad Ali al-Sayis, Nasy-

  ’ah al-Fiqh al-Ijt ihadi wa At hwaruh , Kairo: Silsilah al-Buhut s al-Islam iyyah, 1970, hal. 8.

  

Ijtihad: M akna dan Relasinya dengan

Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih

Agus Supriyant o

  Abstract: This art icle explains about ijt ihad and its relation to shari’ah (Islamic law), fiqh

(Islamic jurisprudence) and ushul fiqh (methodology of Islamic jurisprudence). Ijt ihad

  (

  دﺎﮭﺘﺟا

  ,) derives from jahada (st ruggle). Ijtihad is a t echnical t erm of Islamic law t hat

describes t he process of making a legal decision by independent interpret at ion of t he

legal sources (shari’ah), the Qur'an and the Sunnah. In ushul fiqh, t hese qualifications of

mujt ahid can be summed up as (i) an underst anding of t he objectives of t he sharia and

(ii) a knowledge of its sources and met hods of deduction. The "gat es of ijt ihad" w ere

" closed" in t he 10t h cent ury in Sunni fiqh, meaning that ijt ihad is not practiced in Sunni

Islam anymore. In modern application, conservat ive M uslims say t hat most M uslims do

not have t he t raining in legal sources t o conduct ijtihad. They argue that this role w as

t radit ionally given t o t hose who have st udied for a number of years under a scholar.

How ever, liberal movement s w it hin Islam generally argue t hat any M uslim can perform

ijt ihad, given t hat Islam has no generally accept ed clerical hierarchy or bureaucratic

organizat ion. A number of revivalist tendencies have re-opened t he doors of ijt ihad t hough not in a liberal direct ion. keislam an seseorang secara for- m al. Ini dikarenakan fikih berisi ajaran Islam yang bersifat prakt is- im plem ent at if dan bercorak lahi- riah, yang berupa at uran-at uran hidup prakt is yang m eliput i aspek rit ual (ibadah) dan aspek sosial

  (muamalah). Karena begit u pen-

  t ingnya posisi fikih dalam Islam , Joseph Schacht , seorang sarjana Barat t erkem uka yang m endalam i hukum Islam , m engem ukakan bahw a “ hukum Islam m erupakan w ujud pent ing ajaran Islam , aspek paling pokok dari ajaran Islam , int i dan kandungan paling dalam dari Islam it u sendiri… M aka, m ust ahil m em ahami Islam t anpa m em a- ham i fikih at au hukum Islam ” .

2 Fikih at au hukum Islam , seca-

  ra luas, m encakup baik hukum m oral m aupun ket et apan-ket et ap- an hukum dan perundang-undang- an. Sehingga lebih t epat jika dikat akan bahw a sement ara hu- kum m oral diw ahyukan dalam w u- jud t eks-t eks Al-Qur’an dan Sun- nah Nabi sebagai kehendaknya, m aka adalah t ugas kaum m uslim in unt uk m ew ujudkannya dalam ben- t uk ket et apan-ket et apan hukum 2 Joseph Schacht , An Int roduction

  t o Islamic Law , London: Oxford Universit y Press, 1971, hal. 46.

  dalam pelbagai kont eks: sosial, ekonom i, polit ik, dan sebagainya. Sebenarnya, sejum lah at uran hu- kum t elah diberikan oleh Al-Qur- ’an unt uk m ew ujudkan kehendak- Nya. Ket et apan-ket et apan Al-Qur- ’an it u dapat dibagi m enjadi dua kat egori besar, yakni ‘halal’ (se- suat u yang dibolehkan) dan ‘ha- ram ’ (sesuat u yang dilarang). Dua kat egori ini kem udian dikem bang- kan m enjadi lim a kat egori at au yang dikenal dengan ‘hukum yang lim a’ (al-ahkam al-khamsah), yait u ‘w ajib’/ ’fardlu’ (sesuat u perbuat an yang harus dilakukan), ‘m andub’/ ‘sunah’ (perbuat an yang dianjur- kan unt uk dilakakan), ‘m ubah’ (perbuat an yang boleh dilakukan dan boleh juga dit inggalkan), ‘m akruh’ (perbuat an yang dianjur- kan unt uk dit inggalkan), dan ‘ha- ram ’ (suat u perbuat an yang harus dit inggalkan).

  3 Lim a jenis kat egori hukum ini

  sebenarnya bukan pem ilahan hu- kum it u sendiri, t et api lebih seba- gai klasifikasi ragam perbuat an yang bisa mengant arkan realisasi hukum Islam dalam w ujud t indak- 3 Ahm ad Hasan, Pintu Ijt ihad

  Sebelum Tert utup , (Penerjem ah Agah Garnadi), Bandung: Penerbit Pust aka, 1984, hal. 29.

4 At au, dengan kat a

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  3 an m anusia.

  lain, apa yang t erm uat dalam fikih seluruhnya m enyangkut perbuat - an m ukalaf (orang dew asa dan berakal sehat sehingga t erkena kew ajiban hukum ) yang memiliki nilai dan t elah dit ent ukan hukum - nya. Nilai perbuat an it u bisa ber- bent uk w ajib (m isal: m elaksana- kan salat dan puasa Ram adan), sunah at au m andub (m isal: berse- dekah), m ubah (m isal: t ransaksi ekonom i), m akruh (m isal: m ero- kok), dan haram (m isal: m em bu- nuh, m encuri). Jadi, ruang lingkup fikih sebat as mencakup persoalan hukum yang t erkait langsung de- ngan perbuat an m anusia.

  berisi t unt unan perbuat an m anu- sia dengan landasan lim a kat egori hukum sebagaim ana t ersebut di at as, secara t eroret is t erkait dengan syari’ah dan ushul fikih. Syari’ah berposisi sebagai landas- an dasar keberadaan fikih, sem en- 4 Imran Ahsan Khan Nyazee,

  Theories of Islamic Law : The M et ho- dology of Ijt ihad , Kuala Lum pur: The Ot her Press, 2002, hal. 57. 5 Abdul Aziz Dahlan (Ed.),

  Ensiklopedi Hukum Islam , Jakart a : PT Icht iar Baru van Hoeve, 1999, Jilid 1, hal. 335.

  t ara ushul fikih berperan sebagai m et odologi yang bisa dipakai un- t uk m erum uskan hukum -hukum fikih. Proses pem bent ukan ushul fikih sebagai m et odologi, dan bagaim ana ushul fikih m enjalan- kan perannya melahirkan hukum - hukum fikih, secara konsept ual dikenal sebagai ‘ijt ihad’.

  Relasi Syari’ah dan Fikih

  Syari’ah t idak sam a dengan fikih, keduanya m erupakan dua hal yang berbeda, m asing-m asing m em iliki ent it asnya sendiri-sendi- ri. Nam un demikian, keduanya m em iliki hubungan yang saling m elengkapi. Keberadaan yang sat u m em ungkinkan keberadaan yang lain. M eski syari’ah dan fikih m em iliki ikat an yang kuat dan sulit dipisahkan, di ant ara keduanya t erdapat perbedaan yang m en- dasar.

5 Fikih at au hukum Islam yang

  Kat a ‘syari’ah’ secara et im o- logis berart i ‘sum ber/ aliran air yang digunakan unt uk minum ’. Dalam perkem bangan selanjut nya, kat a syari’ah digunakan dengan m engacu kepada ‘jalan yang lurus/ agam a’ (al-thariqah al-

  must aqimah ), dan kedua m akna it u berkait an sat u sam a lain.

  Sum ber at au aliran air m erupakan kebut uhan pokok m anusia unt uk m em elihara keselam at an jiw a dan t ubuh m ereka, sem ent ara jalan yang lurus m erupakan kebut uhan pokok yang akan m enyelam at kan dan m em bawa kebaikan bagi um at m anusia. Dari akar kat a ini, syari’ah diart ikan sebagai agam a yang lurus yang dit urunkan Allah bagi um at m anusia. Dengan kat a lain, syari’ah adalah ket ent uan Allah bagi ham ba-Nya yang m e- liput i persoalan akidah, ibadah, akhlak, dan t at a kehidupan um at m anusia unt uk m encapai kebaha- giaan m ereka di dunia dan akhirat .

  syari’ah dan fikih bisa dikem uka- kan lew at ungkapan berikut . Sya- ri’ah adalah sebuah lingkaran yang besar, sem ent ara fikih adalah ling- karan kecil yang m engurusi apa yang um um nya dipaham i sebagai t indakan hukum . Syari’ah selalu m engingat kan kit a akan w ahyu be- rupa Al-Qur’an dan Al-Hadit s, se- dangkan dalam fikih dit ekankan penalaran dan deduksi yang dilan- daskan pada w ahyu. Jalan syari’ah digariskan oleh Allah dan Rasul- Nya, bangunan fikih dit egakkan 6 Ibid., hal. 334. oleh usaha m anusia. Fikih adalah ist ilah yang digunakan bagi hukum sebagai suat u ilm u, sedangkan syari’ah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (w ahyu).

  7 Oleh karena it u,

  syari’ah bersifat past i dan t ak berubah, sem ent ara fikih bisa berubah sesuai dengan sit uasi dan kondisi. Selain it u, ket ent uan sya- ri’ah bersifat um um yang hanya m enyangkut prinsip-prinsip dasar, sedang ket ent uan fikih bersifat spesifik, dalam art i m enjelaskan bagaim ana prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa dit erapkan da-lam sit uasi dan kondisi t ert ent u.

6 Adapun perbedaan ant ara

  8 Dengan dem ikian, bisa juga

  dikat akan bahw a fikih sebagai pem aham an m anusia at as ajaran Allah, didasarkan pada w ahyu dan akal, kew enangan Allah dan kew e- nangan m anusia sekaligus, di m ana kewenangan Allah lebih t inggi dibanding kew enangan m anusia. Karenanya, dalam cit a hukum Islam , sem ua orang harus t unduk pada ket et apan Allah yang berasal dari Wahyu Sam aw i, yang berbent uk konkret Al-Qur’an yang 7 Ahm ad Hasan, op.cit., hal. 8-9. 8 Abu Am eenah Bilal Philips, The Evolut ion of Fiqh , Kuala Lum pur: A.S.

  Noordeen, 2002, hal. 2.

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  5 dilengkapi Sunnah Nabi. Fikih at au hukum Islam , jika demikian, pada hakikat nya berasal dari Allah dan bert ujuan unt uk m enem ukan dan m erum uskan kehendak-Nya. Ke- hendak Allah bukanlah suat u sis- t em yang st at is dan t elah dit en- t ukan berlaku selam anya t anpa m engalam i perubahan; ia lebih m erupakan sesuat u yang m eliput i seluruh lapangan kehidupan m a- nusia, dan t erungkap secara prog- resif dan dinam is.

  Berdasarkan paparan di at as, kit a bisa m enganalisis bahw a sya- ri’ah didasarkan pada w ahyu (divi-

  ne revelat ion ) dan karena it u ia

  m erupakan akidah/ dogm a, se- m ent ara fikih didasarkan pada akal m anusia (human reason) dengan t et ap berlandaskan pada w ahyu, dan karena it u ia m e- rupakan pem aham an at au pe- nget ahuan m anusia yang dibim - bing w ahyu. Oleh karena it u, pem bent ukan syari’ah secara hist oris berjalan paralel dengan proses t urunnya w ahyu Allah kepada Nabi M uham m ad, di M akah dan M adinah, yang m e- m akan w akt u sekit ar 22 t ahun lebih. Sem ent ara pem bent ukan fikih berlangsung t erus m enerus t anpa pernah berhent i, m engikut i alur kehidupan m anusia yang selalu berkem bang dan berubah.

  Karena Islam m em berikan t unt unan dalam sem ua bidang kehidupan, m aka fikih at au hukum Islam mencakup segi-segi m oral- religius, sosial, polit ik, dan eko- nom i, dalam kehidupan m anusia. Dalam bent uk yang lebih konkret dan konsept ual, fikih m eliput i aspek rit ual (ibadah) sepert i salat , puasa, zakat , haji, dan sebagainya; dan aspek sosial (m uam alah) se- pert i nikah, w aris, hibah, w akaf, t ransaksi ekonomi (jual-beli, per- dagangan, hut ang-piut ang, gadai, dan sebagainya), jinayah (pidana), siyasah (polit ik, pem erint ahan), dan sebagainya. It ulah sebabnya, m engapa seorang m anusia yang bert indak m enurut hukum Islam dalam segala macam sit uasi dan kegiat an, dianggap t elah mem e- nuhi kehendak Allah. Jadi, hukum Islam adalah perw ujudan dari kehendak Allah.

  9 Relasi Fikih dan Ushul Fikih

  Fikih dan ushul fikih m erupa- kan dua hal yang berbeda, t et api ant ara keduanya t erdapat hu- bungan yang saling bergant ung 9 Ahm ad Hasan, op.cit., hal. 38. dan m elengkapi. Keberadaan fikih dit ent ukan oleh ushul fikih, dem i- kian pula ushul fikih ada karena ada fikih. Sehingga, keberadaan keduanya bisa diibarat kan dua sisi dari sat u m at a uang.

  Pengert ian ushul fikih, yang t erdiri dari dua kat a, ‘ushul’ (ushul) dan ‘fikih’ (fiqh), t erbangun dari art i dua kat a yang m em - bent uknya t ersebut . Art i kat a ‘ushul’ dan art i kat a ‘fikih’ diurai- kan m asing-m asing, kem udian art i keduanya dikom binasikan, sehing- ga t erbent uklah art i ‘ushul fikih’. Art i ‘fikih’ t elah diuraikan di at as, dan sekarang akan dibahas art i kat a ‘ushul’.

  Kat a ‘ushul’ m erupakan ben- t uk jam ak dari kat a t unggal ‘ashl’. Secara harfiah kat a ‘ashl’ berart i ‘sesuat u dari m ana sesuat u yang lain berasal’ (somet hing from

  w hich anot her t hing originat es ).

  Inilah alasan m engapa kat a ‘ashl’ secara harfiah berart i ‘akar’ (root ). Kat a ‘ashl’ juga berart i ‘sesuat u yang darinya sesuat u yang lain dibent uk’ (somet hing upon w hich

  anot her t hing is const ruct ed ),

  sehingga secara harfiah kat a ‘ashl’ juga berart i ‘dasar’ (foundat ion). Dalam kasus-kasus t ert ent u, kat a ‘ashl’ disam akan pula dengan kat a

  Arab ‘m ashdar’, yang berart i ‘sum - ber’ (source). Dari beberapa art i harfiah t ersebut , ‘ushul fikih’ (ushul al-fiqh) bisa didefinisikan sebagai “ prinsip-prinsip dasar dan cara-cara (m et ode-m et ode) t er- t ent u yang bisa dijadikan landasan oleh para ahli hukum unt uk m erum uskan hukum Islam yang bersifat prakt is-aplikat if yang berasal dari dalil-dalil t ert ent u Al- Qur’an dan Al-Hadit s” .

  10 Ushul

  fikih bisa juga disebut sebagai “ him punan kaidah dan rum us- rum us yang bisa m elahirkan hu- kum Islam yang bersifat prakt is- aplikat if yang didasarkan pada dalil-dalil t ert ent u Al-Qur’an dan Sunnah Nabi” .

  11 Jika yang dikaji dalam fikih

  adalah perbuat an m ukalaf, m aka pokok bahasan dalam ushul fikih adalah dalil-dalil Al-Qur’an dan Al- Hadit s yang m asih bersifat um um . M aka, dalil-dalil yang m asih ber- sifat um um t ersebut harus Diana- lisis agar m enjadi t erperinci dan spesifik sehingga m udah dipaham i dan diaplikasikan dalam kehidup- 10 Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit . , hal. 26-29. 11 Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh , Kairo: Dar al-Fikr al-

  ‘Arabiyy, 1995, hal. 14.

12 Dari pengert ian ushul fikih

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  7 an sehari-hari. M isalnya, ayat -ayat yang t erkait dengan perbuat an m anusia, m est i dikaji dan dikla- sifikasi m ana yang berupa perin- t ah, dan m ana pula yang berupa larangan.

  sebagaim ana diuraikan di at as, m enjadi jelas di m ana let ak per- bedaan ant ara fikih dan ushul fikih, dan di m ana let ak hubungan ant ara keduanya. Fikih m erupakan t unt unan hidup prakt is-aplikat if dalam bent uk hukum yang diru- m uskan secara sist em at is; sem en- t ara ushul fikih m erupakan prinsip dasar, kaidah, dan m et ode yang dijadikan acuan at au landasan da- lam m erum uskan hukum -hukum dalam fikih. Sehingga, ushul fikih m erupakan dasar at au landasan keberadaan fikih.

   Ijtihad A.Pengertian

  Dalam salah sat u karyanya,

  Al-M ust asyfa , sebuah kit ab yang

  secara khusus m em bahas per- soalan ushul fikih, Im am Al-Ghazali m elukiskan ushul fikih sebagai ‘sebuah pohon yang dit anam oleh m anusia’. Buah-buahan pohon 12 Ibid. t ersebut m enggam barkan hukum - hukum yang m erupakan t ujuan m enanam pohon; bat ang dan cabang-cabangnya adalah m at eri- m at eri t ekst ual yang m em ungkin- kan pohon m enopang dan m ena- hannya. Nam un, agar pohon t er- sebut bisa dit anam , dan m enja- dikannya m enopang buahnya, m anusia harus berperan. Jadi, un- sur t am bahan dalam gam baran m et afora di at as adalah cara m enanam , prinsip-prinsip penalar- an hukum dan herm eneut ika yang digunakan agar pohon t ersebut bisa berbuah. Dan yang t erakhir, m anusia it u sendiri, yang t anpanya pohon t idak akan m enghasilkan t ujuan keberadaannya. M anusia- lah si penanam pohon, yang pem ikiran hukum nya yang kreat if dit ujukan unt uk m em produksi buah, norm a hukum . Para ahli hukum Islam , si penanam pohon it u, yang bisa m elakukan penalar- an hukum sem acam it u disebut ‘m ujt ahid’, yait u ‘orang yang m enggunakan segala usahanya unt uk m endapat kan hukum dari w ahyu at au syari’ah (Al-Qur’an dan Al-Hadit s), dengan m engikut i prinsip-prinsip dan prosedur yang t elah dibangun dalam ushul fikih’. Proses dari penalaran ini disebut

  ‘ijt ihad’, usaha penalaran it u sen- diri.

13 Kat a ‘ijt ihad’ (ijt ihad), dilihat

  17

  Kaelan dan H.M . Bachrun), Jakart a:

  hal. 202, lihat juga Im ran Ahsan Khan Nyazee, op.cit., hal.9, Ali Hasabullah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami , Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1997, hal. 68. 16 Al-Jarjani, Kit ab al-Ta’rifat , Jed- dah: Al-Haram ain, t t., hal. 10. 17 Abu Am eenah Bilal Philips, op.cit . , hal. 147. 18 C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Penget ahuan dalam Islam , (Pener- jem ah Hasan Basari), Jakart a: Pust aka Obor Indonesia, 2002, hal. 138. 19 M aulana M uham m ad Ali, Isla- mologi (Dinul Islam) , (Penerjem ah R.

  . Yang dim aksud 15 Abdul Wahhab Khallaf, op.cit.,

  19

  “ m engguna- kan kem am puan akal secara sungguh-sungguh unt uk m enen- t ukan pendapat di lapangan hu- kum m engenai hal yang pelik dan m eragukan”

  18

  , “ upaya unt uk sam pai kepada suat u keput usan yang m andiri mengenai suat u persoalan hukum ”

  , “ proses pem ikiran yang m enghasilkan hu- kum -hukum Islam lew at penelit ian yang m endalam ”

  dari perspekt if ilm u sharaf at au st rukt ur konjugasi, m erupakan isim m asdar at au kat a benda ben- t ukan dari kat a kerja (fi’il) ijt a-

  16

  , “ m encurahkan segala kem am puan unt uk m erum uskan hukum syara’ dari dalil yang bersifat dhanni (sam ar/ belum past i)

  15

  ham i sebagai “ m encurahkan sega- la kem am puan unt uk m erum us- kan hukum yang berasal dari dalil- dalil Al-Qur’an dan Al-Hadit s”

  M akt abah al-Syuruq al-Dauliyyah, 2004, hal. 142.

  Hukum Islam , (Penerjem ah E. Kusna- diningrat dan Abdul Haris bin Wahid), Jakart a: PT RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 172. 14 M ajm a’ al-Lughah al-‘Arabi- yyah, Al-M u’jam al-Wasit h, Kairo:

  ijt ihad secara definit if t elah dike- m ukakan oleh para fukaha (ahli fikih/ ushul fikih) dengan beragam definisi. M eski t erdapat banyak definisi, dan m asing-masing diru- m uskan dengan susunan redaksi berbeda, t et api t erdapat benang m erah at au persam aan pem a- ham an yang bersifat um um dan esensial. Oleh karena it u, secara um um dan esensial, ‘ijt ihad’ dipa- 13 Wael B. Hallaq, Sejarah Teori

  dasar ‘ijt ihad’ adalah jahada, yang juga m elahirkan kat a benda jahd dan juhd, yang keduanya berart i ‘kesulit an, kesusahan, kesem pit an, kem am puan, keluasan pikiran’.

  hada-yajt ahidu-ijt ihadan . Kat a

14 Apa yang dim aksud dengan

B. Validitas Ijtihad

  w a validit as at au keabsahan Darul Kutubil Islam iyah, 1996, hal.

  dengan t aat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam ayat ini adalah m engikut i ayat at au hadit s yang sudah past i dan jelas pem aha- m annya. Adapun dengan m erujuk kepada Allah dan Rasul-Nya ket ika t erjadi perselisihan, m aksudnya adalah agar kit a bersikap hat i-hat i dan t idak t erjebak ke dalam haw a nafsu, dengan cara berpikir unt uk m enem ukan m akna yang t ersem - bunyi dari ayat at au hadit s t erkait dengan persoalan yang diperse- lisihkan, at au m enerapkan prinsi- prinsip um um syari’ah lew at proses analogi (qiyas), at au m engaplikasikan t ujuan dasar

  orang yang beriman t aat ilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri (umara/ ulama) di antara kamu. Jika t erjadi perselisihan di ant ara kamu (t anazu’) at as suat u persoalan maka kembalikanlah (merujuklah) kamu kepada Allah dan Rasul-Nya (Kit ab Allah dan Hadit s Nabi)” . Yang dim aksud

  Para fukaha secara um um m enggunakan Surah Al-Nisa’ (4) ayat 59 sebagai hujah at au dalil dibolehkannya berijt ihad. Ayat t ersebut berart i: “ Wahai orang-

  1.Landasan Al-Qur’an

  dilakukannya ijt ihad dilandaskan pada Al-Quran, Al-Hadit s dan Akal.

  113.

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  9 dengan ‘m encurahkan segala ke- m am puan, proses pem ikiran, m enggunakan kem am puan akal’ di sini adalah ‘m encurahkan pikiran dengan sunguh-sungguh at au berpikir secara serius dan m en-dalam dengan m enggunakan prinsip-prinsip rasio’. Oleh karena it u, di sini t erdapat ket erlibat an akal m anusia dalam proses m em ahami nash-nash at au dalil-

  Sebagian besar fukaha (jum-

  Unt uk m enut up ruang t erjadi-nya int ervensi akal (pem ikiran m anusia) t erhadap ket et apan w ahyu (syari’ah), at au kem ung-kinan menem pat kan akal di at as w ahyu, m aka para fukaha t elah m erum uskan krit eria dan persya-rat an ijt ihad.

  ‘akal’ at au ant ara ‘syari’ah’ dan ‘pem ikiran m anusia’; dan t ent unya posisi w ahyu t et ap berada di at as akal.

  mut ualisme ant ara ‘w ahyu’ dan

  ayat -ayat Al-Qur’an dan hadit s- hadit s Nabi. Sehingga, t erjalin sinergi bahkan sem acam simbiosis

  dalil Al-Qur’an dan Al-Hadit s, at au

  hur al-fuqaha’ ) m enyat akan bah- syari’ah (maqashid al-syari’ah ) lew at proses pem ikiran.

20 Selain it u, bisa juga diguna-

  kan ayat -ayat yang berisi do- rongan penggunaan akal sepert i

  afalaa t a’qiluun, afalaa t at a- fakkaruun . At au secara lebih det il

  bisa digunakan Surah Al-Nisa’ ayat 83 “ Dan apabila dat ang kepada

  mereka berit a t ent ang keamanan dan ket akut an, mereka menyiar- kan it u. Dan sekiranya mereka kembalikan it u kepada Rasul dan ulil amri (umara/ ulama) di ant ara mereka, niscaya orang-orang di ant ara mereka yang ingin menelit i (yast anbit huunahu) berit a it u akan menget ahuinya dari mereka (Ra-sul dan ulil amri)” . Kat a yast an-bit uun berasal dari t asrif ist an-bat ha-yast anbit hu-ist inbat h .

  Kat a ist inbath berasal dari kat a

  naba-t ha al-bi’ra yang berart i

  ‘m enggali sum ur dan m engeluarkan air dari sum ur t ersebut ’. Ist ilah ist inbat h hukum dalam ushul fikih t ent unya berasal dari sini. Adapun art i ‘is-t inbat h’ adalah ‘m enelit i art i yang t ersem bunyi di dalam nya dengan cara ijt ihad’. Dan ini sam a dengan

  ist ikhraj yang berart i ‘m enarik 20 Ali Hasabullah, ibid., hal. 70.

  kesim pulan dengan analogi (qi- yas)’. Jadi, ayat ini jelas m engakui prinsip penggunaan akal, yang ident ik dengan ijt ihad. M eski perist iw a yang disebut kan dalam ayat t ersebut m erupakan hal khusus, t et api prinsip penggunaan ist inbat h sebagaim ana t ersurat m erupakan prinsip um um.

  21

  2.Landasan Al-Hadits

  Para fukaha biasanya m eng- gunakan hadit s yang berasal dari M u’adz bin Jabal. Ket ika Nabi m e- ngangkat M u’adz sebagai Guber- nur Yam an, beliau bert anya kepa- danya: “ Bagaim ana cara kam u m em ut uskan perkara jika kam u m enghadapi suat u persoalan?” Jaw ab M u’adz: “ Saya akan m em u- t uskan perkara t ersebut berda- sarkan Al-Qur’an?” . Lanjut Nabi: “ Jika t idak ada dasarnya hukum - nya dalam Al-Qur’an ?” . Jaw ab M u’adz: “ Saya akan m em ut uskan berdasarkan Al-Hadit s” . Lanjut Nabi: “ Jika t idak ada dasar hu- kum nya dalam Al-Hadit s ?” . Jaw ab M u’adz: “ Saya akan berijt ihad de- ngan m enggunakan akal saya m eski dan t idak berlebih-lebihan” . M u’adz berkat a : “ Rasul kem udian menepuk dada saya 21 M aulana M uhamm ad Ali, op.cit . , hal. 115.

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  11 seraya berucap ‘segala puji bagi Allah yang t elah m em bim bing ut usan Rasul-Nya t erhadap segala hal yang diridai Allah dan Rasul- Nya’” . Hadit s ini diriw ayat kan oleh Abu Daw ud, Al-Turm udzi, dan Al- Darim i. Selain hadit s ini, ada be- berapa riw ayat yang m enjelaskan bagaim ana Nabi berijt ihad, perin- t ah Nabi kepada para sahabat agar m ereka berijt ihad, dan perse- t ujuan (iqrar) Nabi t erhadap hasil ijt ihad beberapa sahabat .

  22

  Allah t elah m enet apkan Islam sebagai agam a penut up, dan m enjadikan syari’ah (ajaran)nya cocok unt uk segala w akt u dan t em pat . Sem ent ara jum lah nash- nash (ayat dan hadist ) t erbat as, sedangkan pelbagai m asalah dan persoalan yang dihadapi m anusia t erus bert am bah dan berkem - bang, m aka t idaklah m uingkin bagi nash-nash yang t erbat as t ersebut unt uk m enylesaikan pelbagai per- soalan m anusia yang t erus m un- cul. Oleh karena it u, harus dibuka kem ungkinan unt uk m enghadapi dan m enyelesaikan pelbagai per- soalan dengan m em berikan solusi hukum nya lew at ijt ihad, baik 22 Ibid., hal. 70-71. dengan m enggunakan met ode qiyas (analogi) m aupun dengan m enerapkan prinsip ‘kebaikan bagi m anusia’ (al-mashlahah). Jika ijt ihad t idak boleh digunakan, m aka syari’ah (ajaran) Islam akan kehilangan relevansinya bagi kehidupan m anusia di set iap zam an dan t em pat .

  23 Oleh karena it u, m enurut

  M uham m ad Iqbal sebagaim ana dikut ip oleh C.A. Qadir, ijt ihad m e- rupakan prinsip gerak dalam Is- lam .

  24 Lebih lanjut ia berpendapat

3.Landasan Akal

  bahw a Islam , sebagai suat u agam a yang dinam is dan progresif, harus m enyesuaikan diri dengan zam an, dan bahw a prinsip gerak yang dianjurkan oleh Islam adalah prinsip ijt ihad.

  25 Dari uraian di at as dapat di-

  sim pulkan bahw a ijtihad m erupa- kan t unt ut an syari’ah sebagai- m ana bisa dipaham i dari pelbagai ayat dan hadit s yang m endorong m anusia agar berpikir. Di sam ping it u, ijt ihad sebenarnya juga bisa dipaham i sebagai inst rum en int e- lekt ual unt uk m em ahami isi kan- dungan syari’ah secara m endalam , luas, dan kom prehensif. Lebih dari 23 Ibid., hal. 71. 24 C.A. Qadir, loc.cit. 25 Ibid., hal. 180. it u, ijt ihad boleh juga dimaknai sebagai m et odologi pem aham an dan perum usan hukum yang t erkandung dalam pelbagai nash- nash baik Al-Qur’an m aupun Sunnah Nabi.

C. Kemungkinan Ijtihad

  Sejak aw al harus dipaham i bahw a ijt ihad bukanlah sum ber hukum ; sum ber hukum yang sebenarnya t et aplah nash-nash yang berupa ayat -ayat Al-Qur’an dan hadit s-hadit s Nabi. Ijt ihad adalah suat u akt ivit as, pem ikiran m endalam , suat u proses unt uk m enem ukan hukum dari kedalam - an ayat -ayat Al-Qur’an dan hadit s- hadit s Nabi, unt uk dit erapkan pada pelbagai persoalan yang sedang menunggu put usan hu- kum .

26 Jadi, ijt ihad diberlakukan

  dalam perm asalahan yang t idak t erdapat ket ent uannya di dalam Al-Qur’an at au Sunnah Nabi seca- ra langsung.

  ijt ihad dim ungkinkan unt uk diber- lakukan dengan syarat -syarat t er- t ent u. 26 Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit . , hal. 287. 27 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam,

  (Penerjem ah Ghufron A. M as’adi), Jakart a: PT RajaGrafindo Persada, 1999, hal. 161.

  Dari ket iga kandungan sya- ri’ah: akidah/ t auhid/ keim anan, akhlaq/ m oral, dan fikih at au hu- kum Islam , hanya fikih at au hukum Islam yang memiliki kem ungkinan unt uk dijadikan objek ijt ihad. Ini dikarenakan persoalan akidah seperti keesaan Allah, keberadaan surga dan neraka, at au persoalan akhlaq sepert i kejujuran dan kesabaran, didasarkan pada dalil-dalil Al- Qur’an dan Al-Hadit s yang bersifat jelas dan past i (sharih wa qath’i). Sem ent ara fikih at au hukum Islam yang m enyangkut t at a cara ibadah (ukhraw i) dan m uam alah (duniaw i), didasarkan pada dalil- dalil yang bersifat sam ar dan m em erlukan penafsiran (dha-nni).

  Para ulam a m engibarat kan ajaran Islam dengan sebat ang po- hon, yang t erdiri dari akar dan cabang. Akar-akarnya at au ushul adalah persoalan akidah yang se- cara konsept ual dikenal dengan ‘ilm u kalam ’ (al-‘ulum al-ilahi-

27 Oleh karena it u,

  yyah ), sem ent ara cabang-cabang-

  nya at au furu’ disebut dengan fikih yang berisi rum usan hukum - hukum (jurisprudensi) at au t un- t unan hidup yang m enyangkut

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  30 Sedangkan m enyangkut pe-

  ot ent isit as lafal hadit s, m aka 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Ali Hasabullah, op.cit., hal. 68.

  32 Apabila keraguan t erkait dengan

  dim aksud diragukan ot ent isit asnya (dhanni al-t subut ), maka t erbuka kem ungkinan adanya ijt ihad.

  al-dalalah ), dan lafal hadit s

  kinan ijt ihad diberlakukan jika t idak t erdapat nash sam a sekali baik dalam Al-Quran m aupun Al- Hadist . At au jika t erdapat dalil berupa ayat at au hadit s, t et api pengert ian ayat dim aksud bersifat sam ar at au kurang jelas (dhanni

  31 Dengan demikian, kem ung-

  laksanaan (m ekanism e) cam bukan dan apa yang dim aksud dengan t angan, dim ungkinkan adanya ij- t ihad. M isal, apa jenis cam buk yang akan digunakan, dan bagai- m ana cam bukan akan dilaksana- kan, apakah cam bukan dengan keras at aukah pelan. Demikian pula halnya dengan pengert ian t angan; apakah yang dim aksud dengan t angan di sini bat asannya dari siku hingga jari t angan, dan yang dipot ong t angan sebelah kiri at au kanan.

  pakan nash yang jelas (sharih) dan past i (qat h’i).

28 Prinsip pert am a dan ut am a

  13 persoalan ibadah dan m uam a- lah.

  28 Abdul M un’im M ajid, Tarikh al- Hadlarah al-Islamiyyah fi al-‘Ushur al- Wust ha , Kairo: M akt abah al-Anjilu al- M ishriyyah, hal. 175. 29 Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit . , hal. 287.

  sini at inya sudah jelas, karena t idak m ungkin dipaham i lain se- pert i ‘dua rat us cam bukan’ at au ‘pot ong kaki’. Jadi, kat a miah (serat us) dan yad (t angan) m eru-

  faqt ha’u aidiyahuma” . Kat a miat a jaldah (serat us cam bukan) at au qat h’ al-yad (pot ong t angan) di

  at au “ al-sariqu wa al-sariqat u

  zaniyat u wa al-zani fajlidu kulla w ahidin minhuma miat a jaladah”

  bahw a suat u ayat at au hadit s yang m engandung sat u pem aham an yang jelas dan past i sehingga t idak dim ungkinkan adanya pem aham - an lain, m aka t iada peluang bagi ijt ihad.

  al-nash ) at au (la masagha li al- ijt ihadi fima fihi nashshun shari- hun qat h’iyyun ). Ini m enjelaskan

  dalam ijt ihad adalah: ‘t idak ada ijt ihad t erhadap nash yang pe- ngert iannya jelas’ (la ijt ihada ma’a

29 Cont ohnya ayat “ al-

  ijt ihad yang dilakukan diarahkan unt uk m eneliti sanad (rangkaian peraw i) hadit s bersangkut an. Se- m ent ara keraguan yang berkait an dengan dalil ayat (dhanni al-

  perum usan hukum , dalam t asyri’ juga t erjadi proses pem bent ukan dalil-dalil hukum (al-adillah al-

  36 Al- 35 Uraian lengkap t ent ang proses t asyri’ bisa dibaca dalam beberapa buku berikut : ‘Ilm Ushul al-Fiqh oleh Abdul Wahhab Khallaf, Al-Tasyri’ w a al-Fiqh fi al-Islam oleh M anna’ al- Qat ht han, Ushul al-Tasyri’ al-Islami oleh Ali Hasabullah, The Evolut ion of Fiqh oleh Abu Am eenah Bilal Philips, dsb. 36 Unt uk m em aham i lebih lanjut dalil-dalil hukum , bisa dibaca ant ara lain buku: ‘Ilm Ushul al-Fiqh oleh Abdul Wahhab Khallaf, Ushul al-

  yas, Istihsan, M ashlahah M ursa- lah, ‘Urf, Ist ishhab, Syar’u M an Qablana, M adzhab Shahabi.

  Dalil-dalil hukum yang berha- sil dirum uskan lew at proses ijt i- had, t erdiri dari: Al-Qur’an, Al- Hadit s, dan Ijt ihad. Ijt ihad sebagai dalil hukum m eliput i: Ijma’, Qi-

  kannya hukum (maqashid al- syari’ah ).

  syar’iyyah ) dan t ujuan dit et ap-

  35 Selain proses

  dalalah ), m aka ijt ihad dilakukan

  Ijt ihad sebagai suat u aktivit as sekaligus proses berpikir secara m endalam , sebenarnya m erupa- kan bagian dari proses pem - bent ukan fikih at au hukum Islam (t asyri’). Tasyri’ ini berjalan secara bert ahap sebagai berikut : t asyri’ m asa Nabi (dari Nabi m enerim a 33 Ibid. 34 Ibid. w ahyu sam pai beliau m eninggal t ahun 11 H), t asyri’ m asa Khulafa Rasyidun (11 H–40 H), t asyri’ m asa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar (139 H–172 H), t asyri’ m asa Fukaha dan Im am M adzhab (299 H–394 H), dan t asyri’ m asa Taqlid (394 H–Sekarang).

  Fikih

  dan qat h’i al-dalalah), sem at a-m at a unt uk m enggali dan m enerapkan maqashid al-syari’ah (t ujuan paling dasar dan uat am a dari syari’ah).

  t subut

  Um ar bin Khat ht hab, ijt ihad yang beliau lakukan t erkadang m enab- rak ket ent uan t ersebut . Yakni beliau berijt ihad t erhadap nash yang jelas dan past i (qat h’i al-

  dalam bent uk t afsir at au t a’w il unt uk m encari m akna ayat yang t epat , at au m engident ifikasi m ana lafal yang bersifat um um dan m ana yang bersifat khusus.

33 Nam un demikian, khusus unt uk

34 D. Ijtihad dalam Kerangka

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  15 Qur’an dan Al-Hadit s m erupakan dalil ut am a, sem ent ara yang lain m erupakan proses ijtihad yang harus m erujuk pada kedua dalil ut am a t ersebut .

  Sem ent ara t ujuan penet apan hukum (maqashid al-syari’ah ) secara garis besar diarahkan unt uk m em enuhi t iga kat egori kebut uh- an hidup m anusia: kebut uhan dasar (dlaruri), kebut uhan pendu- kung (haji), dan kebut uhan pe- lengkap (tahsini). Selain unt uk m em enuhi ket iga kebut uhan t er- sebut , t ujuan penet apan hukum juga diarahkan unt uk mem elihara (hifdh) lim a keselam at an : agam a (din), ket urunan (nasl), akal (‘aql), hart a (mal), dan kehorm at an (‘irdl).

  set iap m asa t erjadi ijt ihad yang dilakukan baik secara sist em at is m aupun secara sporadis karena ada suat u perm asalahan t ert ent u. Pada m asa Nabi, seluruh ket en- t uan hukum harus berdasarkan w ahyu. Nam un, jika t idak t erdapat w ahyu, m aka Nabi berijt ihad. Apa-

  Tasyri’ al-Islami oleh Ali Hasabullah, Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam oleh M anna’ al-Qat ht han, dsb. 37 Imran Ahsan Khan Nyazee, op.cit . , hal. 242-245.

  bila ijt ihad beliau benar, m aka selesai m asalah. Tet api jika ijt ihad beliau salah, m aka t urunlah w ahyu unt uk m engoreksi ijt ihad beliau yang salah t ersebut . Demikian pula halnya pada m asa Khulafa’ Rasyidun. Jika para sahabat t idak m enem ukan w ahyu unt uk m ene- t apkan hukum , m aka m ereka m elakukan ijt ihad.

  38 Bisa diberikan beberapa con-

  t oh ijt ihad berikut ini. Nabi ber- ijt ihad dalam hal t aw anan perang Badar dengan m enerim a t ebusan. Allah m enganggap ijtihad Nabi keliru, sehingga t urunlah ayat berikut sebagai koreksi t erhadap beliau: “ Tidak patut bagi seorang

  Nabi mempunyai t awanan sebe- lum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi” .

37 Bisa dikat akan bahw a pada

  39 Dan

  diriw ayat kan dari Abu Sa’id al- Khudri, bahw a ada dua orang sedang bepergian. Kem udian t iba- lah w akt u salat , t et api t idak dida- pat kan air unt uk berw udu. M aka keduanya kem udian bert ayam um dan salat . Set elah it u keduanya m enem ukan air. Salah sat u dari keduanya berw udu dan m eng- ulangi salat nya, sem ent ara yang lain t idak. Set elah keduanya ber- 38 Ali Hasabullah, op.cit., hal. 79. 39 Ibid., hal. 77.

  t em u Nabi dan m engadukan per- soalan t ersebut , Nabi berkat a kepada orang yang t idak m eng- ulangi salat nya: “ Kam u benar dan salat m u m em berim u pahala” . Se- m ent ara kepada orang yang berw udu dan m engulangi salat - nya, Nabi berkat a: “ Kam u m enda- pat kan dua pahala” . Nabi m e- nyet ujui (iqrar) t indakan keduanya lew at ijt ihad karena t idak ada dalil hukum nya.

40 Khalifah Abu Bakar berijt ihad

  dengan cara m em erangi orang yang t idak m au m em bayar zakat m eskipun m ereka t elah m elaksa- nakan salat , dengan alasan t idak bahw a kedudukan zakat set ara dengan salat . Sehingga orang yang t idak m au m em bayar zakat sam a hukum nya dengan orang yang t idak m au m elaksanakan salat , m ereka boleh diperangi. Demikian pula dengan ijt ihadnya dalam bent uk penghim punan dan penu- lisan Al-Qur’an, dengan alasan banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam m edan perang, sehingga dikhaw at irkan Al-Qur’an akan punah.

  dikenal luas sebagai orang yang 40 Ibid., hal. 77-78. 41 Ibid., hal. 79-80. berani berijtihad m eski hasil ijt ihadnya bert ent angan dengan dalil qat h’i baik ayat Al-Qur’an m aupun hadit s Nabi. M isal, Um ar m elarang kaum laki-laki m uslim m enikahi w anit a ahli kit ab m es- kipun hal it u dibolehkan, dengan alasan khaw at ir para w anit a m us- lim ah t idak laku kaw in karena kaum lelaki m uslim lebih m em ilih w anit a ahli kit ab. Ijt ihad lain Um ar berupa pendapat nya bahw a t alak t iga dalam sat u w akt u adalah sah.

  Hal ini berbeda dengan pendapat Nabi dan Abu Bakar bahw a t alak t iga dalam sat u w akt u t et ap yang berlaku t alak sat u. Um ar beralasan bahw a kaum m uslim dengan gam - pangnya m enjat uhkan t iga t alak sekaligus dalam sat u w akt u unt uk m ain-m ain. Pendapat Um ar ini dit ujukan unt uk m em beri pelajar- an para pengum bar t alak. Dem i- kian pun Um ar t idak m em ot ong t angan pencuri yang t ert angkap m elakukan pencurian padahal ayat t ent ang pencurian bersifat jelas dan past i (qat h’i). Um ar beralasan bahw a m ereka m encuri karena lapar, sebab pada m asa it u sedang t erjadi paceklik. Apa yang dilakukan Um ar sebagai proses ijt ihad t erbukt i benar karena m em baw a kem aslahat an bagi

41 Khalifah Um ar bin Khat ht hab

  M aslahah , Vol.1, No. 1, Juli 2010

  17 um at . Um ar dikenal luas sebagai orang yang benar im annya, kuat keyakinannya, luas pandangan fi- kihnya, dalam pem aham an aga- m anya, ikhlas segala amalnya, dan selalu berpegang t eguh pada kebenaran dan keadilan.

  lifah Ali bin Abi Thalib, ket ika beliau dit anya t ent ang hukum an bagi pem inum kham er. Ali berij- t ihad dengan berkat a: “ Barang siapa m abuk m aka ia m engigau, dan barang siapa m engigau m aka ia berdust a, sehingga sudah sela- yaknya hukum an bagi pem abuk sam a dengan hukum an bagi pendust a/ penuduh zina” .

  ijt ihad mengalam i puncaknya pada m asa Im am M ujt ahidin at au Im am M adzhab, yang dit andai t erut am a dengan t erbent uknya m adzhab- m adzhab t erut am a em pat m adz- hab: Hanafi (didirikan oleh Im am Abu Hanifah), M aliki (didirikan oleh Im am M alik bin Anas), Syafi’i (didirikan oleh Im am M uham m ad bin Idris Al-Syafi’i), dan Hanbali 42 Ibid., hal. 80-82. 43 Ahm ad Am in, Fajr al-Islam, Kairo: M akt abah al-Nahdlah al-M ish-

  riyyah, 1975, hal. 237.

  (didirikan oleh Im am Ahm ad bin Hanbal).

  Di ant ara keem pat im am t ersebut berlangsung diskusi-dis- kusi m engenai usaha pem benaran pendapat nya m asing-m asing. Dis- kusi-diskusi it u dilakukan at as dasar yang benar dan cara-cara yang lurus. M asing-m asing m eng- gunakan alat pem bukt ian at as pendapat yang dianut nya sert a m em berlakukan syari’at seluruh- nya dan dalam set iap m asalah pokok fikih. Kadang-kadang, per- bedaan pendapat t erjadi ant ara Syafi’i dan M alik, sem ent ara Abu Hanifah m endukung salah sat u- nya; kadang t erjadi ant ara Syafi’i dan Abu Hanifah, sem ent ara M alik m endukung salah sat u. Di dalam diskusi-diskusi inilah m uncul ket e- rangan at as dalil-dalil dan dasar hukum para im am t ersebut , t ent ang sebab ut am a perbedaan pendapat sert a posisi-posisi ijt ihad m ereka.

42 Dem ikian halnya dengan Kha-

43 Fikih yang didukung proses

  44 Fikih at au hukum Islam yang

  diist inbat hkan dari dalil-dalil syari- ’ah m enim bulkan banyak perbe- daan pendapat di kalangan para ulam a yang berijtihad. Perbedaan 44 Ibnu Khaldun, M uqaddimah,

  (Penerjem ah Ahm adie Thoha), Jakar- t a: Pust aka Firdaus, 2001, hal. 587. pendapat it u m uncul karena per- bedaan sum ber dan perbedaan sudut pandang, suat u hal yang t idak bisa dihindarkan. Perbedaan pendapat it u m enyebar seluas- luasnya di dalam Islam.