TINJAUAN FLEKSIBILITAS RUANG APARTEMEN B

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

TINJAUAN FLEKSIBILITAS RUANG APARTEMEN
BERSUBSIDI YANG BERORIENTASI PADA
PENGGUNA
Yunita Setyoningrum
Program Studi Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Kristen Maranatha
Jl. Prof. drg. Soeria Sumantri no.65, MPH, Bandung
e-mail: yunita.setyoningrum@gmail.com

ABSTRAK
Penataan layout ruang pada hunian apartemen seringkali dilakukan berdasar pada pertimbangan
ekonomi dan efisiensi oleh pihak arsitek pengembang tanpa melakukan studi terhadap calon
pengguna. Pengguna apartemen sendiri di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya merupakan
perorangan lajang ataupun keluarga inti (nuclear family). Tipikal pengguna semacam ini akan
mengalami perkembangan kebutuhan, antaralain pertambahan jumlah anggota keluarga, perubahan
hubungan sosial antaranggota keluarga, serta peningkatan kebutuhan ruang seiring meningkatkan
usia ataupun keadaan ekonomi keluarga. Untuk itu diperlukan kecermatan dari desainer ruang
hunian apartemen untuk lebih memikirkan solusi ruang yang fleksibel, dimana pengguna nantinya
dapat mengatur sendiri ruang yang dihuninya sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Fleksibiltas
merupakan faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan hunian dengan tujuan

penggunaan ruang jangka panjang. Dalam tulisan ini, aspek-aspek yang menyangkut kebutuhan
pengguna apartemen berkaitan dengan perkembangan kebutuhannya akan ditinjau sebagai
landasan pemikiran perencanaan ruang unit apartemen berorientasi pada pengguna yang
berkesinambungan.
Kata kunci: Tata ruang, Hunian apartemen, Fleksibilitas, Perkembangan kebutuhan pengguna
.

1. LATAR BELAKANG
Apartemen saat ini menjadi salah satu alternatif pilihan hunian yang digemari oleh
masyarakat urban, disamping rumah tinggal biasa. Pilihan menghuni apartemen
memiliki keuntungan-keuntungan yang lebih dibandingkan rumah tinggal biasa,
yaitu kemudahan akses ke wilayah-wilayah strategis dalam kota dan kepraktisan
serta efisiensi hidup, karena biasanya apartemen dibangun pada wilayah-wilayah
kota yang strategis. Disamping itu di dalam sebuah apartemen, pada umumnya
terdapat fasilitas penunjang yang mendukung aktivitas harian penghuninya,
seperti pertokoan, kantor sewa, supermarket, apotik, dan fasilitas olahraga. Faktor
ini merupakan pertimbangan utama bagi masyarakat urban yang memiliki
kesibukan tinggi dan cenderung bergerak cepat (mobile). Faktor keamanan
lingkungan juga merupakan keuntungan yang diperoleh pada saat seseorang
menghuni apartemen. Lingkungan yang telah tertata, dengan tempat parkir dan

sistem keamanan yang terintegrasi biasanya ditawarkan oleh pengelola apartemen.

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

Pada apartemen bersubsidi, sasaran pengguna adalah masyarakat menengah ke
bawah, dengan tingkat pendapatan sekitar 4,5 juta/bulan dan diperuntukkan bagi
orang-orang yang belum memiliki hunian. Masyarakat yang memilih tinggal
dalam apartemen di kota-kota besar di Indonesia pada umumnya adalah lajang
ataupun keluarga kecil baru dengan mobilitas tinggi, yang merasa tidak
membutuhkan hunian yang luas, dan mengutamakan kepraktisan dalam hidup.
Dengan memilih tinggal di apartemen, mereka mendapatkan keuntungan berupa
kemudahan-kemudahan seperti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian,
muncul permasalahan sosial baru dari keberadaan apartemen ini, yaitu:
a. Kurangnya perhatian pihak perencana dan pengembang pemukiman publik
terhadap fakta bahwa tiap manusia memiliki keunikan, dan terdapat
kebutuhan manusia untuk mengekspresikan keunikannya tersebut.
b. Kurangnya perhatian pihak perencana dan pengembang pemukiman publik
terhadap fakta bahwa tiap manusia atau keluarga merupakan bagian dari
masyarakat dan lingkungannya, sehingga patut dipikirkan hubungan dan
keterkaitan sosial antara satu manusia/keluarga dengan manusia/keluarga

lainnya.
(Christopher Alexander et.al dalam The Scope of Social Architecture: 123)
Permasalahan sosial ini telah menjadi bahan pemikiran dan dicermati oleh pihak
pengembang pemukiman publik dan pemerhati sosial di seluruh dunia, terutama
di negara-negara maju. Kondisi ruang hunian yang seragam, kompak, dan siap
pakai tersebut ternyata memiliki kelemahan yang berorientasi pada kehidupan
sosial penggunanya. Abraham Maslow dalam teorinya mengenai tingkat hierarki
motivasi manusia menyatakan bahwa perilaku dan kegiatan manusia
sesungguhnya berdasar pada enam level kebutuhan, yaitu: 1) fisiologis
(physiological), 2) keamanan (security and safety), 3) rasa sayang dan rasa
memiliki (love and feelings of belonging), 4) kompetensi, prestise, dan
kepercayaan diri (competence, prestige, and esteem), 5) pemenuhan diri (selffulfillment), dan 6) rasa ingin tahu dan keinginan untuk memahami (curiosity and
the need to understand). Pada saat seseorang memasuki sebuah lingkungan baru,
misalnya menghuni apartemen baru, ia akan berusaha beradaptasi untuk
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dalam kondisi hunian yang serba
seragam dan direncanakan oleh pihak lain tanpa terlibat sebelumnya, pengguna
apartemen baru akan berupaya untuk mendapatkan kepuasan atau pemenuhan
terhadap keenam kebutuhan tersebut. Namun kembali lagi pada permasalahan
bahwa tiap manusia adalah pribadi yang unik, proses adaptasi dan usaha
pemenuhan kebutuhan tersebut tidak akan sama atau berjalan dengan baik bagi

semua orang.
Hal ini harus dicermati oleh pihak-pihak perencana dan pengembang apartemen
bersubsidi di Indonesia, dan juga menjadi pekerjaan rumah yang harus
ditindaklanjuti oleh pemerintah, terlebih apabila pemerintah hendak
menyosialisasikan penggunaan apartemen bersubsidi sebagai solusi pemukiman
penduduk yang kian padat. Para perancang dan pengembang apartemen
bersubsidi di Indonesia hendaknya mampu bercermin dari kondisi perumahan
publik di negara-negara maju, dimana studi-studi pengembangan hunian massal
telah banyak dilakukan. Dengan tujuan dan sasaran yang jelas, yaitu untuk

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

meningkatkan kualitas hidup masyarakat kebanyakan, perencanaan unit
perumahan harus direncanakan dengan komunikasi yang terjalin baik antara pihak
perencana dengan calon penggunanya. Pihak perencana dan pengembang
seyogyanya berorientasi pada kebutuhan psikologis, sosial, dan budaya dari calon
pengguna, bukan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata. Apabila
memungkinkan, pemerintah diharapkan mampu mendanai proyek-proyek
eksperimental yang menyangkut sistem ruang apartemen yang berorientasi pada
pengguna.

2.

TINJAUAN KONSEP RUANG HUNIAN DAN TEORI ADAPTASI
MANUSIA

Apartemen bersubsidi menawarkan berbagai pilihan tipe unit, dengan fasilitas
ruang yang berbeda-beda tergantung dari keadaan calon penghuninya, mulai dari
tipe studio, 1-bedroom type, sampai dengan 3-bedroom type.
Hal ini
sesungguhnya memungkinkan pengguna memiliki pilihan sesuai dengan
kondisinya. Namun demikian, desain layout tipe unit yang ditawarkan oleh
apartemen seringkali tidak mampu mengakomodasi perkembangan kebutuhan
penggunanya dalam jangka waktu panjang. Sama halnya seperti rumah tumbuh,
desain unit-unit apartemen hendaknya memikirkan perkembangan kebutuhan
ruang pengguna dalam jangka waktu panjang. Perancangan apartemen bersubsidi
yang diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke bawah, hendaknya
memikirkan kemungkinan perkembangan kebutuhan ruang tersebut, walaupun hal
tersebut tampak sulit dilakukan.
Setiap keluarga penghuni unit apartemen, bahkan individu-individu di dalam
masing-masing keluarga, memiliki karakteristik kebutuhan yang berbeda-beda.

Karakteristik kebutuhan yang berbeda-beda inilah yang menyulitkan perencanaan
ruang apartemen yang ideal, karena apa yang sesuai oleh sebagian orang, mungkin
tidak sesuai untuk sebagian orang lainnya. Untuk itu diperlukan rancangan ruang
unit-unit hunian apartemen yang fleksibel, yang memungkinkan tiap individu
ataupun keluarga yang bermukim di dalamnya menciptakan ruang sesuai dengan
kondisinya dan perkembangan kebutuhannya masing-masing.
Ruang hunian bukanlah semata-mata menyangkut persoalan fisik saja, tetapi juga
menyangkut konsep kognitif antara manusia dengan lingkungannya. Didalamnya
terdapat masalah-masalah substansial yang menyangkut aspek sosial, kognitif,
budaya, dan perilaku, dimana hunian dipandang sebagai simbol atau memiliki
makna tertentu bagi penghuninya. Menurut Jerome Tognoli, ada enam konsep
ideal tentang ruang hunian sebagai produk yang berangkat dari penyesuaian dan
pengoptimalan manusia dengan lingkungannya, ada beberapa aspek makna yang
dituju, yaitu:
• Sentralitas, keberakaran, dan keterikatan pada tempat (place attachment).
Ruang hunian dimaknai sebagai titik pusat dimana aktivitas manusia terjadi di
sekelilingnya. Sentralitas disini juga berarti keberakaran, wilayah teritori, atau
tempat untuk berpulang kembali, bersarang, dan menetap.
Kondisi
lingkungan hunian di masa lampau pada seseorang akan terpatri dalam ingatan

dan menjadi wujud yang ideal bagi orang tersebut tentang ruang hunian

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

sebagai tempat berpulang, bersarang, dan menetap. Penggunaan sebuah ruang
memiliki peranan penting dalam interaksi manusia. Ruang adalah sebuah
media komunikasi dimana manusia menggunakannya untuk menunjukkan
ekspresi dan perasaan, perilaku dan sikap, serta berbagai jenis aktivitas yang
terkait dengan ruang tersebut. Lingkungan fisik dapat mempengaruhi perilaku
manusia dan begitu pula sebaliknya, karena secara personal manusia
membangun kesadarannya sendiri terhadap suatu tempat. Di dalamnya
terdapat suatu ikatan tanpa sadar yang dapat berkembang dan hal tersebut
dapat diukur secara objektif melalui sensasi komunitas dan kepuasan
lingkungan. Manusia dapat menciptakan ikatan emosi yang kuat (strong
bonds) dengan sebuah tempat. Keterikatan emosi manusia pada tempat dapat
tumbuh seiring dengan panjangnya waktu manusia tersebut tinggal dan
beraktivitas di tempat tersebut.
• Kontinuitas, kesatuan, dan urutan.
Ruang hunian dimaknai sebagai
kontinuitas meliputi aspek-aspek: tradisi, keberakaran, siklus kehidupan dan

kematian, waktu, pergantian generasi keluarga, hubungan dengan tempat asal
penghuni, memori terhadap rumah masa kecil, dan hubungan dengan masa
lampau penghuni. Ruang hunian sebagai simbol kesatuan, keteraturan, ritual,
dan kesakralan
• Privacy, perlindungan, keamanan, dan rasa memiliki (sense of belonging).
Ruang hunian dimaknai sebagai tempat untuk berpaling dari ketidakteraturan
dunia luar, di dalamnya diperoleh privacy, rasa aman, nyaman, dan relaks,
kehangatan, dan rasa kekeluargaan. Rumah atau domestifikasi seringkali
ditandai dengan peranan perempuan didalamnya. Wanita dianggap sebagai
‘tempat berpulang’ atau ‘tempat berpaling’ para suami dan anak-anaknya dari
aktivitas mereka di luar rumah. Privacy seringkali dikaitkan dengan rasa
memiliki, dimana apabila penghuni kurang merasa memiliki hunian maka
kebutuhan akan privacy pun akan berkurang.
• Identitas diri dan perbedaan gender. Ruang hunian dimaknai sebagai
keterkaitan antara penghuni dengan huniannya, dimana hunian
menggambarkan ekspresi si pemiliknya.
• Hubungan sosial dan keluarga.
• Konteks sosio-kultural. Ruang hunian dipengaruhi oleh konteks sosial dan
budaya lingkungan di sekitarnya.
(Jerome Tognoli, Residential Environments dalam Handbook of Environmental

Psychology Vol.1, Chapter 17: 657)
Dalam konteks psikologi lingkungan, manusia yang tinggal dalam ruang hunian
buatannya diharapkan untuk menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungan
buatannya tersebut. Menurut Sonnenfield (1966), situasi yang dihadapi manusia
dalam membentuk ruang dan lingkungan huniannya dapat berupa dua model
perubahan, yaitu:
• Adaptasi (adaptation), yaitu dimana manusia/individunya yang berubah sesuai
dengan stimulus yang diberikan lingkungannya
• Penyesuaian (adjustment), yaitu dimana manusia membuat perubahan pada
lingkungannya karena adanya kebutuhan yang dimilikinya.
Ketika manusia merasakan ketidaksesuaian dalam lingkungannya, maka ia akan
merasakan hubungan yang negatif dan ‘mengganggu’ dengan lingkungan tempat

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

tinggalnya itu. Dengan demikian akan terbentuk motivasi dalam diri manusia
untuk mencari keharmonisan atau paling tidak menghentikan hubungan yang
dianggapnya negatif tersebut. Ketika manusia hidup dan beraktivitas dalam
lingkungannya, dalam hal ini ruang hunian, ia akan diharapkan untuk
menyesuaikan diri, beradaptasi dengan lingkungannya tersebut. Namun demikian,

proses adaptasi ini adalah proses yang terus berubah dan dinamis. Brickman and
Campbell (1971) menyatakan bahwa oleh karena kondisi alami level adaptasi
manusia yang terus berubah secara dinamis dan tidak menentu, maka kepuasan
permanen seseorang terhadap lingkungannya merupakan hal yang tidak mungkin.
Hal ini disebabkan karena manusia secara konstan terus berubah, mengganti
pandangannya, mengubah perilakunya, respons emosinya.
Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory) menyebutkan bahwa manusia
menyesuaikan responnya terhadap rangsangan yang datang dari luar sedangkan
stimuluspun dapat diubah sesuai dengan kebutuhan manusia. Dinamakan
penyesuaian respons terhadap stimulus sebagai suatu prtoses adaptasi, sedangkan
penyesuaian stimulus pada keadaan individu adalah sebagai suatu adjustment.
Dikatakan bahwa setiap orang memiliki tingkat adaptasi tertentu terhadap
rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Reaksi pada manusia terhadap
lingkungannya bergantung pada tingkat adaptasi manusia yang bersangkutan pada
lingkungan itu. Makin jauh perbedaan keadaan lingkungan dengan tingkat
adaptasi, maka makin kuat pula reaksi yang akan dilakukan oleh manusia tersebut.
(Bell
Kondisi lingkungan yang sudah hampir sesuai atau sama dengan tingkat adaptasi
dapat dikatakan sebagai suatu kondisi yang optimal. Seorang manusia pada
dasarnya akan cenderung untuk mempertahankan kondisi yang optimal ini

(kondisi homeostatis). Proses adaptasi sangat dipengaruhi oleh faktor kognisi
(proses memperoleh pengetahuan atau usaha untuk mengenali sesuatu melalui
pengamatan sendiri) dan motivasi (dorongan yang muncul pada diri seseorang
secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan
tertentu). Latar belakang dari pengguna yang berbeda-beda akan menyebabkan
proses adaptasi yang berbeda-beda pula. Di sisi lain, ketika keadaan defisit
lingkungan melebihi ambang batas optimal, akan mengakibatkan munculnya
ketidakseimbangan psikologis pada diri seseorang. Hal tersebutlah yang dapat
mengakibatkan stress yang berlebihan pada pengguna. Kondisi ini bagi pengguna
tertentu akan membangkitkan motivasi untuk menanggulangi ketidakseimbangan
tersebut. Bila mekanisme penanggulangan tersebut berhasil maka akan dapat
menurunkan ambang batas stress yang mereka terima, tetapi bila mekanisme
tersebut gagal maka hal ini akan menambah stress yang akan mereka terima.
Berdasar pada pernyataan-pernyataan tersebut, perlu ditinjau kembali penggunaan
apartemen sebagai fasilitas ruang hunian yang berorientasi pada pengguna.

3. ANALISIS

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

Berangkat dari latar belakang kebutuhan terhadap apartemen bersubsidi yang kian
meningkat, konsep ruang hunian pada manusia, dan hakekat bahwa manusia terus
beradaptasi dengan lingkungannya, maka perlu dipikirkan sistem ruang yang
berkesinambungan, dimana manusia pengguna dapat mengubah ruang huniannya
dengan kebutuhan mereka masing-masing. Dengan merencanakan tata ruang
yang fleksibel, maka diharapkan kualitas hidup manusia penggunanya dapat lebih
baik, yaitu karena:
a. Penghuni dapat mengaktualisasikan diri, mengekspresikan individualitas
dan identitas diri mereka pada ruang hunian dimana mereka beraktivitas
dan berinteraksi.
b. Penghuni dengan berbagai latar belakang dapat beradaptasi dengan mudah
dengan lingkungannya. Dengan kemampuan untuk mengontrol ruang dan
lingkungannya, ketidakseimbangan yang dirasakan oleh manusia lebih
mudah ditanggulangi sehingga terhindar dari stress.
Perencanaan tata ruang yang fleksibel pada unit apartemen dapat dilakukan
dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Ruang bebas sekat. Dalam hal ini bukan berarti ruang tidak menggunakan
sekat sama sekali, namun meminimalkan penggunaan sekat-sekat pada
ruang yang bukan merupakan struktur bangunan. Ruang-ruang dibagi
menurut modul yang seragam. Dengan demikian pengguna akan dengan
lebih leluasa menentukan zona interior unit huniannya berdasarkan modul
yang telah ditentukan oleh pihak perencana atau pengembang.
b. Perancangan ruang ’setengah jadi’. Pihak perencana dan pengembang
apartemen menyediakan unit-unit standar yang ’setengah jadi’ sehingga
proses perancangannya dapat diteruskan oleh penghuni apartemen dengan
memodifikasi sendiri elemen-elemen interior yang tersedia didalamnya.
c. Perancangan ruang multifungsi. Pihak perencana dan pengembang
apartemen dapat menyediakan alternatif pembagian zona berdasarkan sifat
privacynya. Dengan membuat ruang multifungsi, kebutuhan terhadap
ruang dapat diminimalkan.
4. KESIMPULAN
Dari kajian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Perencanaan unit apartemen bersubsidi bagi masyarakat kebanyakan
hendaknya mempertimbangkan peningkatan kualitas kehidupan
penggunanya.
Bukan sekedar menempati secara fisik, pengguna
seyogyanya merasakan kualitas hidup yang utuh dan mengalami
pemenuhan konsep-konsep kognitif pada saat menghuni apartemennya
sebagai seorang individu maupun bagian dari komunitas sosial di
lingkungannya.
b. Terdapat kesulitan dalam perencanaan unit apartemen yang tepat untuk
semua orang, oleh karena hambatan komunikasi antara perancang dengan
calon pengguna. Hal ini menyebabkan tata ruang yang seragam, seadanya,
dan keterlibatan pengguna dalam personalisasi ruang teritori huniannya
berkurang. Keterlibatan pengguna dalam proses perancangan dirasa
penting untuk perkembangan perancangan apartemen bersubsidi, karena
dengan demikian tata ruang akan terencana lebih tepat guna.

Seminar Nasional 2009 – Jurusan Teknik Sipil, FT-UKM, 15 Agustus 2009

c. Dalam perencanaan apartemen bersubsidi sebagai fasilitas hunian massal,
perlu dijajaki kemungkinan komunikasi yang baik antara pihak perencana
dengan calon pengguna untuk mengetahui secara pasti kebutuhan para
calon pengguna dan kemungkinan-kemungkinan perkembangannya.
Dengan demikian fleksibilitas tata ruang dapat direncanakan dalam suatu
sistem ruang yang ideal.
d. Pihak perencana mungkin dapat menjalankan solusi perancangan ruang
setengah jadi, dimana proses perancangan selanjutnya dapat dikerjakan
oleh calon pengguna sendiri sesuai dengan kebutuhannya. Perancangan
setengah jadi tersebut seyogyanya menyediakan berbagai kemungkinan
yang fleksibel dan dapat dirakit atau dibangun sendiri dengan mudah oleh
orang awam. Contohnya: desain partisi modular yang dapat dipindahpindahkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hatch, C. Richard, 1984, The Scope of Social Architecture, Van Nostrand
Reinhold Company Inc., New York.
2. Tognoli, Jerome, 1987, Residential Environments dalam Handbook of
Environmental Psychology Vol.1, Chapter 17, Stokols, Daniel; Altman, Irwin,
Editor, John Wiley & Sons, Inc. New York.
3. Canter, David, PhD., A.B.Ps.S., A.I.J, 1974, Psychology for Architects,
Applied Science Publishers, Ltd., London.
4. Altman, I and Carol Werner, 1985, Home Environment, Plenum Pers, New
York.
5. Calhoun, James F and Acocelia, Joan R., 1990, Psychology og Adjustment
and Human Relationship, , Mc Graw Hill, New York
6. D.K. Ching, Francis. 1987, Form, Space and Order: Van Nostrand Reinhold
Co.
7. Mackenzie, Dorothy, 1997, Green Design: Design for the Environment,
Laurence King Publishing, London.
8. Pena, William, 1985, Penyelusuran Masalah sebagai Sebuah Dasar
Penyusunan Program.
9. Panero, Human Dimension, Van Nostrand Reinhold Co., 1979

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

PERANCANGAN THERMAL INSULATOR RUANG BAKAR MIKRO GAS TURBIN

3 71 18

ANALISIS EFEKTIFITAS PEMBERIAN TERAPI CAIRANUNTUK GANGGUANKESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT PADAAN.Z DENGAN GASTROENTERITIS AKUT DI RUANG EMPU TANTULAR RSUD KANJURUHAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

0 53 22

PERAN PERAWAT DALAM IMPLEMENTASI KOLABORATIF PEMBERIAN TERAPI INSULIN SEBAGAI TINDAKAN DALAM PENURUNAN KADAR GULA DALAM DARAH PADA KLIEN DENGAN HIPERGLIKEMI DI RUANG AIRLANGGA RSUD KANJURUHAN KEPANJEN TAHUN 2012

1 55 23

PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM SITUASI PERTEMUAN ANTAR BUDAYA STUDI DI RUANG TUNGGU TERMINAL PENUMPANG KAPAL LAUT PELABUHAN TANJUNG PERAK SURABAYA

97 602 2

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

2. TPM KOTA IPA PAKET B

21 153 17

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TPS UNTUK MENINGKATKAN SIKAP KERJASAMA DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV B DI SDN 11 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2013/2014

6 73 58

TINJAUAN HISTORIS GERAKAN SERIKAT BURUH DI SEMARANG PADA MASA KOLONIAL BELANDA TAHUN 1917-1923

0 26 47